Sunteți pe pagina 1din 6

ASMA

Asma adalah gangguan inflamsi pada jalan nafas. Asien-pasien mengalami batuk, mngi, dada terasa seperti diikat, dan dispnea ( sesak nafas), yang sering memburuk saat malam atau pagi hari. Terdapat variasi keparahan dan frekuensi seragam. Asma dapat didefinisikan sebagai peningkatan responsivitas bronkus terhadap berbagai stimulus, bermanifestasi sebagai penyempitan jalan napas yang meluas keparahannya berubah secxara spontan maupun sebagai akibat pengobatan. Ciri khas utama asma adalah sebagai berikut : 1. Penyempitan jalan nafas dan aliran udara yang terganggu, umumnya reversibel secara spontan atau setelah pengobatan. 2. Peningkatan sensitivitas terhadap stimulus yang menyebabkan bronkokostriksi (hiperresponsivitas). 3. Peningkatan jumlah sel inflamasi (eosinofil, sel mast, neutrofil, limfosit T) dalam bronkus. Terjadi jugaterjadi juga hipersekresi mukus, blokade jalan yang disebabkan oleh kebocoran vaskular akibat radang dan adema, yang semuanyamembatasi aliran udara. Kerusakan epitel (pengelupasan epitel) ditunjukkan dengan gelungan sel-sel epitel (spinal Curschmann) dalam mukus, yang juga mengandung membran sel eosinofil (kristal CharcotLeyden). Pada asma berat kronik, terjadi remodeling struktur jaringan dinding jalan napas, termasuk peningkatan isi otot polos bronkus. Hal tersebut menyebabkan penyempitan jalan napas ireversibel dan membatasi efektifitas bronkodilator. Prevalensi Prevalensi asma meningkat, di negara-negara Barat, di masa >5% populasi mungkin simtomatim dan mendapatkan pengobatan. Bersamaan dengan prevalensi yang meningkat terjadi peningkatan mortalitas, meskipun ada perbaikan pengobatan. Di Inggris, satu dari tujuh orang memiliki penyakit alergi dan lebih dari 9 juta orang mengalami mengi pada tahun lalu. Jumlah remaja dengan asma hampir berlipat dua selama lebih dari 12 tahun terakhir ini. Klasifikasi Asma dapat digolongkan sebagai asma ekstrinsi, yang memiliki penyebab eksternal pasti, dan asma intrinsik, yang tidak memiliki penyebab eksternal yang dapat diidentifikasi. Asma ekstrinsik sering terjadi sebagai akibat respons alergi, dengan terbentuknya antibodi

IgE terhapan antigen spesifik (asma alergik atau atopik) dan cenderung mulai pada masa kanak-kanak dengan gejal-gejala yang semakin kutang berat seiring perta,bahan usia; ~80% penderita asma adalah atopik. Asma intrinsik biasanya terjadi pada orang dewasa dan tidak membaik. Asma atopik Individu-individu yang secara cepat menghasilkan IgE terhadap antigen tertentu cenderung mudah mengalami asma. Antigen-antigen utama meliput protein pada butiran fese dari dari tungau debu rumah yang merupakan penyebab asma paling sering di seluruh dunia serbuk sari (polin) rumput dan kelupasan kulit dari hewan peliharaan. Faktor generik, polusi atmosferik, dan asap rokok ibu saat hamil, semuanya merupakan predisposisi peningkatan kadar IgE dan perkembangan asma dan hiper-responsivitas jalan napas di kemudian hari. Inhalasi alergen oleh orang atopik mengalwali respons segera (bronkokonstiksi) yang biasanya berkurang dalam 2 jam (gambar 23b); keadaan tersebut reversibel dengan bronkolator sereti agonis
2-adrenoseptor,

salbutamol. Keadaan tersebut sering diikuti

respons fase lambat dalam 3-12 jam berupa bronkokonstriksi , inflansi, dan edema jalan na[as, serta hiper-responsivitas, yang kurang rentan terhadap bronkodilator. Beberapa seperti isosianat hanya menyebabkan fase lanjut tersendiri. Peningkatan hiper-responsivitas dapat meningkatkan serangan asma rekuren selama beberapa hari. Respons segera disebabkan oleh degranulasi sel mast yang diinduksi oleh antigen/IgE dan pelepasan histamin, prostaglandin D2 (PgD2), dan leukotrien C4 dan D4 (LTC4, LTD4); semuanyaini menyebabkan bronkokonstriksi, peningkatan produk mukus, dan kebocoran vaskular (gambar 23d). Pada fase lambat, mediator dan sel mast dan limfosit T teraktivasi menyebabkan infiltrasi neutrofil dan eosinofil. Eosinofil terdapat dalam jumlah besar pada bronkus asmatik dan melepaskan leukotrien, faktor pengaktivasi btrombosit (platelet activating factor, PAF), protein dasar utama (major basic protein, MBP), dan protein kationik eosinofil (eosiniphil cationic protein, ECP). MBP dan ECP berperan pada kerusakan sel epitel, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap alergi, pelepasan kemoatraktan eosinofil (misalnya eotaksin, RANTES) dan sitokin seperti faktor perangsang-koloni makrofag granulosit (granulocyte macrophage colony-stimulating factor, GM-CMF), serta pajanan ujung saraf aferen serat C yang melepaskan tachykinin proinflamasi.

Asma akibat obat Aspirin dan obat-obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) lain mencetuskan serangan asma pada 5% penderita asma. Obat-obat tersebut menghambat jalur siklooksigenase (cyclooxygenase, COX) yang mensintesis prostaglandin dan menggeser metabolise asam arakidonat dari COX ke arah jalur lipoksigenase dan produksi LTC4 dan LTD4. Asma yang diinduksiaspirin sebagian dipulihkan dengan terapi antileukotrien. Bronkus memiliki sedikit inervasi simpatis, tetapi epinefrin (adrenalin) dalam sirkulasi yang bekerja melalui
2-adrenoseptor

pada otot polos menyebabkan bronkodilatas.

Akibatnya antagonis -adrenoseptor seperti propanolol dapat menyebabkan bronkokonstriksi pada penderita asma. Keadaan tersebut bahkan dapat terjadi dengan oabt-obat
1-selektif

dan

pengguanaanya untuk penyakit kardiovaskuler sebaiknya dihindari dari penderita asma. Faktor-faktor lain (gambar 23b) Penderita asma memliki jalan nafas yang hiper-responsif dan iritan yang tidak mempengaruhi individu yang sehat dapat mencetuskan serangan asma atau memperburuk gejala, misalnya asap rokok dan uap dari pembuangan. Olahraga dan inhalasi udara dingin sering mencetuskan mengi pada penderita asma, kemungkinan melulai pengeringan dan pendingin epitel bronkus. Keadaan tersebut sering terjadi pada anak-anak. Stres emosional juga dapat menginduksi serangan asam. Infeksi virus tertentu (rhinovirus, parainfkuenza, virus sinsisial respiratori) juga berhubungan dengan serangan asma. Saat ini juga dipercaya bahwa terdapat komponen genetik genetik untuk asma. Penilaian Fungsi paru: diagnosis asma ditegakkan bila bronkodilator inhalasi menyebabkan >15% perbaikan pada volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (forced expiratory volume, FEV1) atau kecepatan aliran ekspirasi puncak (peak expiratory flow rate, PEFR). Tidak adanya perbaikan tidak menyingkirkan asma-pasien mungkin saja dalam keadaan remisi dan asma berat kronik tidak bersifat reversibel. Resistensi jalan napas paling kecil terjadi pada pertengahan hari dan paling berat terjadi pada pukul 3-4 pagi. Pengukuran serial PEFR di pagi hari, tengah malam, dan saat istirahat berguna untuk mengidentifikasi peningkatan variasi pembatasan aliran udara yang khas pada asma dan untuk menilai respons terhadap terapi sepanjang waktu. Asma yang tidak terkontrol memperlihatkan penurunan PEFR pagi hari yang khas (morning dipping). Asma karena pekerjaan dicurigai bila PEFR membaik

setelah istirahat sejenak dari bekerja. Tes fungsi paru sering dilakukan bersamaan dengan tes olahraga pada anak-anak, yang sering memperlihatkan asma akibat olahraga. Tes provokasi bronkus (bronchial provocation test) digunakan untuk menentukan hiper-responsivitas bila asma dicurigai tetapi pengukuran PEFR tidak mendukung diaknosis. Pasien menghirup histamin atau metakolin (analog asetilkolin)yang dosisnya ditingkatkan sampai FEV1 berkurang 20%. Dosis yang menyebabkan hal tersebut (PD20FEV1) sangat dikurangi pada penderita, yang selalu hiper-responsif. Tes tusuk kulit (skin prick test) mengidentifikasi faktor ekstrinsik. Timbulnya urtika di sekitar tempat tusukan menunjukkan sensitivitas alergen. Pajanan terhadap alergen yang teridentifikasi harus segera diminimalkan (misalnya mengganti perabot rumah untuk mengurangi tungau debu-rumah; membuang hewan peliharaan), karena setelah muncul secara permanen, asma ekstrinsik tidak reversibel. Hanya 50% pasien dengan asma karena pekerjaan sembuh dengan menghindari faktor pencetus. Terapi Tujuan terapi adalah pengontrol jangka panjang dan semua pasien kecuali mereka dengan gejala paling ringan harus mendapatkan obat anti-inflamasi serta bronkodilator. Panduan internasional menyetujui regimen pengobatan secara bertahap (gambar 24a). Terapi asma berpusat pada senyawa-senyawa inhalasi (gambar 24b). Inhalasi memaksialkan penyampaian obat ke bronkus tetapi meminimalkan efek samping sistemik. Inhaler dosis terukur merupakan sistem penya paian yang paling sering digunakan, meskipun hanya ~15% dosis yang dapat mencapai paru (gambar 23c). Agonis
2-adrenoseptor

seperti salbutamol merupakn bronkodilator yang kuat dan

cepat, juga merupakan pilihan pertama untuk meredakan gejala-gejala akut. Obat tersebut mengaktivitas adenilat siklase untuk meningkatkan adenosin monofosfat siklik (cyclic adenosine monophosphate, cAMP) dan juga dapat mengurangi pelepasan mediator dari sel inflamasi dan saraf jalan napas.
2-agonis

kerja lama seperti salmeterol memungkinkan


2-agonis

regimen dengan dosis dua kali sehari. Penggunaan jangka panjang penurunan efektivitas (toleransi).

disertai dengan

Antagonis reseptor muskarinik (ipratropium) menyebabkan blok efek asetilkolen dari saraf parasimpatis, dan merupakan bronkodilator yang cukup efektif dan ,engurangi sekresi mukus.

Obat tersebut lebih efektif melawan iritan daripada alergen. Dapat ditambahkan pada agonis.

2-

Kortikostetoid seperti beklometasonmerupakan obat anti-inflamasi paling penting. Obat tersebut mengurangi jumlah eosinofil dan aktivitas serta aktivitas makrofag dan limfosit. Kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan utama terapi asma jangka panjang. Namun, obat tersebut dapat memiliki efek samping yang signifikan, termasuk kandidiasis oral (5%) dan suara serak. Dapat terjadi retardasi pertumbuhan pada anak-anak yang mendapat kortikosteroid inhalasi jangka panjang. Kortikosteroid oral seperti prednisolon mungkin diperlukan pada pasien-pasien asma yang tidak dikontrol dengan steroid inhalasi, tetapi bahaya efek simpang lebih besar. Terapi kombinasi yang mengandung jadua ateroid ditambah
2-agonis

beguna untuk penderita asma sedang/berat.

Kromoglikat dan nedocromil menghambat pelepasan mediator inflamasi (mediator radang) dan mencegah aktivitas sel mast dan epsinofil. Kadua obat tersebut juga dapat menekan aktivitas saraf sensorik dan melepaskan neuropeptida. Meskipun obat ini tidak bermanfaat pada serangan akut, penggunaan profilaktik mengurangin baik fase segerah maupun lanjut pada respons asmatik dan hiper-responsivitas. Obat-obat tersebut kurang kuat dibandingkan steroid, dan hanya efekktif untuk mengobati asma ringan dan asma yang diinduksi olahraga. Namun, obat tersebut memiliki sedi,it efek samping dan sering menjadi obat pilihan untuk anak-anak. Penggunaan kedua obat tersebut telah semakinberkurang sejak diperkenalkan steroid dosis rendah yang lebih aman, lebih murah, lebih efektif, dan tidak perluh sering diminum. Xantin seperti teofilin memiliki aksi bronkodilator dan sedikit aksi anti-inflamasi dan diberikan per oral. Obat tersebut menghambat fosfodiesterase yang memecah cAMP. Terbatasnya penggunaan obat tersebut akibat efek samping yang banyak dari kisaran terapeutik yang sempit; sebagian diatasi oleh sediaan lepas landas. Xantan digunakan sebagai obat lini kedua pada asma, terutama bila pada asma yang resisten steroid. Terapi antileukotrien diberikan dalam dua bentuk: antagonis reseptor cysLT (LTC4/D4) seperti montelukast, dan inhibitor 5-lipoxygenase seperti zileuton. Keduanya memiliki efikasi yang sama untuk menimbulkan bronkokonstriksi yang disebabkan oleh alergen, olahraga, dan udara dingin dengan pemulihan ~50%. Obat-obat tersebut efektif untuk mengobati asma yang sensitif aspirin, termasuk leukotrien yang memiliki peran kunci
2-agonis

tidak efektif dalam mengontrol gejala dan

pada keadaan ini. Antileukotrien memperbaiki fungsi paru pada penderita asma ringan dan sedang, tetapi manfaat paling besar mungkin untuk penderita asma yang sangat berat yang mendapatkan steroid. Kedua jenis obat diberikan per oral dan relatif memiliki kerjalama, dengan sedikit efek samping. Antagonis histamin tidak terbukti berguna pada asma, meskipun antihistamin nosedatif yang lebih baru seperti terfenadin dapat meredakan asma alergi ringan. Terapi baru: antibodi anti-IgE rekombinan (omalizumab) telah terbukti efektif untuk asma alergi sedang maupun berat, dengan menurunkan tingkat IgE spesifik antigen. Antibodi antisitokin (misalnya anti-IL-13) sedang dikembangkan, tetapi tidak terbukti. Masalah-masalah dalm pengobatan Kegagaln mengontrol asma sering dihubungkan dengan kepatuhan yang buruk terhadap regimen pengobatan-misalnya disebabkan oleh munculnya tekana pada anak-anak. Kepatuhan juga dapat buruk bila asma tampak terkontrol, sehinggal pasien menghentikan terapi (misalnya steroid, kromoglikat) karena merasa sembuh. Teknik penggunaan inhaler yang buruk sering ditemui. Eduksi dan pelatihan untuk pasien merupakan kunci terapi asma. Asma tidak terkontrol berat-status asmatikus Keadaan ini memerlukanpengobatan dan rawat inap segera. Indikasi:

ketidakmampuan melengkapi kalimat(bicara seperti telegraf), laju respirasi tinggi, takikardia, PEFR <50% yang diprediksi. Berbahaya mengancam nyawa bila terjadibradikardia/hipotensi, sianosis atau koma/kelelahan, dan/atau PEFR <30% yang diprediksi. Pengobatan: perlu segera diberi -

agonis yang dinebulisasi dalam oksigen dan steroid intravena, dan berikutnya diberi prednisolon oral. Pada kasus yang tidak sembuh, ventilasi mungkin diperlukan.
2-agonis

intravena atau xantin dan

S-ar putea să vă placă și