Sunteți pe pagina 1din 7

Si Ambisius dan Einstein Girl

Derap langkahnya serasa gempa bumi. Tubuhnya

besar tinggi, seperti gentong. Bahkan kau tak bisa berjalan berjajar

dengannya saat menyusuri koridor sekolah kami. Karena aku bisa

memastikan, ukuran koridor itu tidak akan muat menampung

kalian. Semua bagian tubuh laki – laki ini pun menunjukkan

konstruksi yang melebar. Mulai dari wajah, bibir, sampai perutnya.

Kaca matanya tebal, minusnya mungkin sudah tak bisa terobati

dengan operasi. Dia paling tidak tahan berdiri dengan sikap

sempurna saat upacara Senin. Dan sepertinya, dia juga mempunyai

masalah dengan sistem ekskresinya. Karena setiap waktu, dia

selalu berkeringat dan setiap harinya dia lah orang yang paling

sering kulihat bolak – balik ke toilet. Laki – laki ini bernama

Andar. Dia merupakan orang yang sangat berambisi bisa menjadi

seperti Albert Einstein, bahkan bisa dikatakan ia sangat terobsesi.

Hari – harinya selalu dihabiskan di perpustakaan

bersama ensiklopedia sains yang tebalnya akan segera membuatku

ciut untuk membukanya. Aku bisa memastikan Andar pasti sudah

pernah membaca semua ensiklopedia sains yang ada di

perpustakaan sekolah kami bahkan mungkin ia juga telah melahap

semua ensiklopedia sains yang terpajang di perpustakaan kota

kami.

Aku cukup mengenal Andar. Meskipun kami tidak

terlalu dekat, tapi kami cukup akrab satu sama lain. Tapi tak

banyak kutahu mengenai Andar. Pengetahuanku tentangnya sama

saja dengan pengetahuan teman – temanku yang lain. Kami


mengenal Andar sebagai seorang laki – laki yang berambisi bisa

menjadi seperti Einstein.

“Kamu tahu nggak. Di galeri ponselnya itu hanya

berisikan foto – foto Einstein saja,” ujar Restia padaku suatu hari

ketika kami masih duduk di kelas X. Kami sedang menunggu

jemputan kala itu.

“Wah, yang benar, Res?”

“Iya, benar,” Restia melanjutkan lagi. “Dia itu benar

– benar terobsesi menjadi Einstein. Aku takut kalau pada akhirnya

dia harus menemukan kenyataan bahwa dia tidak bisa

mencapainya, dia bisa stress.”

Aku terbelalak. Bisa kurasakan darahku seketika

mengalir dengan deras. Di saat itu pun otak kananku mencerna

ucapan Restia itu dengan cara yang berbeda. Aku mencernanya

sebagai sebuah celaan. Mengapa kita harus mengkhawatirkan

orang lain sementara orang itu masih mempunyai peluang untuk

mencapai mimpinya itu. Tidak kah Restia sadar ketika dia

mengatakan hal itu kepada seseorang yang tidak terlalu teguh dan

ulet, dia bisa mematikan keinginan orang itu untuk bermimpi.

Bukankah seharusnya kita mendukung mimpi – mimpi teman kita

selama itu masih di koridor yang benar, selama itu masih positif.

Dan menurutku, bermimpi menjadi seperti Albert Einstein itu

merupakan hal yang positif.

“Tapi dia pintar kan di kelas?”

“Iya, lumayan. Tapi dia agak ceroboh. Andar itu

anak yang kurang sabar.”


“Oh …”

Beberapa waktu setelah itu, ketenanganku diusik

oleh sebuah SMS.

Dear, Miss Tassa

You’re Einstein Girl.

So, join to our organization or

we’ll throw little boy at your

home and we’ll kidnap your sister.

SMS yang bernada mengancam dari nomor yang

tak kukenal itu sedikit banyak telah mengusik ketenanganku. Tapi

lama setelah itu, orang yang mengirimkan SMS itu menjadi teman

diskusiku. Ia mengajakku berlogika, merenungkan alam semesta,

berkutak – katik dengan teorinya, serta membicarakan berbagai

macam teori – teori yang dikemukakan oleh seorang fisikawan

ternama, Albert Michael Einstein. Satu hal yang paling tak

kumengerti mengenai orang ini yaitu kebiasaannya memanggilku

Einstein Girl. Siapakah gerangan orang misterius ini?

Aku mencoba untuk mencari tahu. Tapi aku

memang sengaja tak menanyakan hal itu kepada orang misterus

itu. Sebab aku sangat yakin, ia tak akan mau mengungkapkan jati

dirinya kepadaku. Apakah dia salah seorang yang mengagumiku,

mungkin saja. Tapi aku merasa terlalu tersanjung jika ia

menganggapku seperti laksana Einstein Girl.

Aku sama sekali tak sama dengan pria jenius itu.

Bahkan untuk menyelesaikan soal – soal fisika satandar untuk anak

SMA saja, aku belum terlalu becus. Padahal mungkin menurut


seorang Einstein yang sesungguhnya, perkara itu sungguh sangat

mudah. Mungkin hanya dalam hitungan seper sekian detik saja

Einstein bisa menyelesaikannya.

Suatu sore di ruangan les matematikaku.

“Apakah aku boleh meminjam ponselmu?” tanyaku

pada Mita. Mita, gadis periang itu pun memberikan ponselnya

kepadaku. “Aku mau mencocokkan apa nomor yang masuk ke aku

ini ada di kontak kamu,” tambahku lagi. Mita hanya tersenyum dan

aku pun mulai menekan tuts – tuts ponsel itu dengan nomor

misterius yang dimiliki oleh seseorang yang selalu memanggilku

Einstein Girl. Dan setelah selelsai memasukkan kedua belas angka

itu, aku pun menekan tombol “yes” dan kini terungkap sudah jati

diri pemilik nomor itu. Ternyata Andar, pria gemuk dengan

konstruksi tubuh yang melebar dan sangat terobsesi menjadi

Einstein.

***

Setahun kemudian, kami pun masuk ke jurusan

masing – masing. Aku berpikir aku akan berada dalam satu jurusan

dengan Andar, di jurusan IPA. Tapi ternyata tidak, Andar masuk

jurusan IPS dan aku masuk ke jurusan IPA. Menurut kabar yang

kudengar dari teman – teman sekelasnya, nilai fisika Andar tidak

merestuinya untuk masuk ke jurusan yang bisa menjadi pintu

gerbang baginya menjadi seperti seorang Einstein.

Tapi tak kulihat ia menjadi patah semangat karena

semua itu. Aku selalu melihatnya bertengger di perpustakaan

menekuri ensiklopedia – ensiklopedia sains dan sejenisnya yang


sama sekali belum sempat kusentuh selama ini. Obsesinya amat

bulat dan aku meyakini ia pasti bisa mencapai mimpinya itu.

“Hai, Ndar!” seruku riang. Kali itu aku bertemu

dengannya di perpustakaan kota kami. Aku sedang mencari

referensi untuk membuat laporan biologi.

“Hai,” balasnya. Andar, yang sudah mengetahui

bahwa aku telah mengungkap jati dirinya sebagai orang yang

memanggilku Einstein Girl, membalas sapaanku ramah dengan

suara besarnya seperti biasa.

“Apa yang kamu lakukan, Ndar?” tanyaku retoris

sebab hanya orang buta yang tak bisa melihat apa yang sedang

dilakukan Andar sekarang. Laki – laki dengan konstruksi badan

melebar itu sedang berdua – duaan di pojok perpustakaan,

memeluk mesra pacarnya yang berupa sebuah ensiklopedia

mengenai nuklir.

Andar hanya menengadah saja seraya menunjukkan

ensiklopedia yang sedang ia baca. Lalu ia kembali menekuri

ensiklopedianya itu.

“Eh Andar, bisa kah kamu membantuku? Tahu

alasan mengapa serbuk sari itu bisa menempel ke kepala putik

tidak?” tanyaku.

Andar terlihat berpikir sejenak. Dan dengan

mantapnya ia berkata, “Gula. Gula memberikan kehidupan pada

semua makhluk hidup. Ketika benang sari menempel di atas kepala

putik, kepala putik itu lengket karena ada sekret berupa glukosa di

atasnya. Itulah yang memancing serbuk sari atau pollen untuk


menempel di atas kepala putik.”

Aku terdiam sesaat. Takjub. Aku merasa Andar

benar – benar salah masuk jurusan. Seharusnya dia sekarang

berada di dalam jurusan yang sama denganku, jurusan IPA. Ah,

pasti guru – guru akan menyesal jika mengetahui bahwa pemuda

ini benar – benar hebat dalam bidang sains. Dan tak perlu

mempedulikan nilai fisikanya yang tak memenuhi syarat itu.

Belum tentu setiap anak yang masuk ke jurusan IPA sekarang

mendapatkan nilai fisika dengan jalan yang benar.

“Ka … kamu tahu dari mana?” tanyaku terbata –

bata.

“Aku pernah membaca soal itru. Dan setelah aku

membuktikannya sendiri, memang benar. Di atas kepala putih yang

ditempeli serbuk sari itu memang ada lendir dan rasanya manis.”

“Terima kasih ya, Ndar!” ucapku sambil tersenyum

menatapnya. Aku tak bisa menyembunyikan kekagumanku pada

laki – laki yang memiliki ukuran tubuh dua kali lipat dariku itu.

“Ah, biasa saja,” balas Andar sambil mengucek –

ucek kaca matanya dengan mengangkat kaca mata tebalnya

beberapa senti.

Andar tak mengetahui bahwa menurutku hal yang

biasa menurutnya itu sangat luar biasa. Di dalam hatiku aku

mantap meyakini bahwa suatu saat si Ambisius ini bisa menggapai

mimpinya menjadi seperti seorang Einstein. Mungkin saja dia bisa

memenangkan hadiah nobel. Meski jurusan IPA di SMA secara

nyata menolaknya, tapi aku yakin dia tidak akan berputus asa
untuk mencapai obsesinya itu. Dan aku juga harus bersyukur bisa

mengenyam dasar – dasar sains di SMA. Aku akan berusaha untuk

menjadi Einstein Girl, sebuah panggilan yang sangat kusukai dan

aku tak akan melepaskannya begitu saja. Aku harus mengejarnya,

agar aku bisa menjadi seorang Einstein Girl juga.

S-ar putea să vă placă și