Sunteți pe pagina 1din 35

PENDAHULUAN

Di Sulawesi Selatan terdapat dua sentra pengembangan sapi perah yaitu Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Sinjai. Kegiatan pengembangan sapi perah di Kabupaten Sinjai dimulai pada bulan Desember 2001 melalui bantuan ternak sapi perah dari Direktorat Jenderal Peternakan. Populasi dan produktivitas ternak sapi perah di Sulawesi Selatan selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun. Tingkat pertumbuhan populasi sapi perah selama tiga tahun terakhir hanya mencapai 1,08% per tahun, sedangkan produksi susu dalam negeri juga hanya mencapai 3035% dari permintaan (Anonim, 2010a). Usaha peternakan di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala, yang mengakibatkan produktivitas ternak masih rendah.Salah satu kendala tersebut adalah masih banyaknya gangguan reproduksi menuju kemajiran pada ternak betina. Akibatnya, efisiensi reproduksi akan menjadi rendah dan kelambanan perkembangan populasi ternak. Dengan demikian perlu adanya pengelolaan ternak yang baik agar daya tahan reproduksi meningkat sehingga menghasilkan efisiensi reproduksi tinggi yang diikuti dengan produktivitas ternak yang tinggi pula (Hayati dan Choliq, 2009). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan rumusan masalah adalah kelainan reproduksi yang tinggi akan mempengaruhi rendahnya penampilan reproduksi bagi suatu usaha peternakan, sehingga penting untuk dilihat dan diketahui.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelainan/gangguan reproduksi pada ternak sapi perah betina yang terdapat di Kabupaten Sinjai. Kegunaan penelitian adalah untuk memperbaiki gangguan kelainan reproduksi dan memperbaiki penampilan reproduksi ternak sapi perah di Kabupaten Sinjai.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Sapi Perah Ternak sapi perah adalah ternak yang menghasilkan susu melebihi kebutuhan anak anaknya. Produksi susu tersebut dapat dipertahankan sampai waktu tertentu atau selama masa hidupnya walaupun anak anaknya sudah disapih atau tidak disusui lagi. Dengan demikian, susu yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh manusia. Jenis ternak perah yang ada antara lain sapi perah, kambing perah, dan kerbau perah yang dipelihara khusus untuk diproduksi susunya. Sapi perah Fries Holland (FH) berasal dari propinsi Belanda Utara dan propinsi Friesland Barat. Bangsa sapi FH terbentuk dari nenek moyang sapi liar (Bos Taurus) typicus primigenius yang ditemukan di negeri Belanda sekitar 2000 tahun yang lalu (Sudono, 1999). Sapi Fries Holland atau FH, di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian atau disingkat Holstein. Sedangkan di Europa disebut Friesian. Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi, dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainya, dengan kadar lemak susu yang rendah (Sudono dkk, 2003). Sapi perah yang paling banyak dikembangkan di Indonesia khususnya di Kabupaten Sinjai adalah sapi perah Fries Holland (FH) (Anonim, 2011 b). Sapi perah FH mulai dimasukkan di Indonesia pada tahun 1891-1892 di daerah Pasuruan Jawa Timur dan sejak tahun 1900 masuk ke daerah Lembang Jawa Barat (Siregar, 1989). Untuk lebih mengembangkan sapi perah di Indonesia maka pada tahun 1434 didatangkan 22 ekor pejantan FH dari negeri Belanda dan ditempatkan di Grati dan Pasuruan. Survei pada tahun 1964 menunjukkan produksi susu sapi

Grati mencapai 6,61% atau berkisar 2,02 kg/hari dengan panjang laktasi 8,73 bulan (Rahma, 2006). Pada tahun 1962 didatangkan sapi FH dari Denmark, tahun 1964 didatangkan dari negara Belanda sebanyak 1354 ekor sapi FH, dan pada tahun 1979 didatangkan lagi sapi FH dari Australia dan Selandia Baru sehingga lama periode 1979-1984 jumlah sapi perah yang tersebar di Indonesia adalah 67.000 ekor (Muljana, 1985). Ciri-ciri dari sapi FH, yaitu: 1. Warna bulu hitam dan putih 2. Pada kaki bagian bawah dan juga ekor juga terdapat warna putih 3. Tanduknya pendek, akan tetapi menghadap ke muka 4. Kebanyakan pada dahinya terdapat belang warna putih yang berbentuk segitiga 5. FH mempunyai sifat jinak, dengan demikian mudah dikuasai juga tentang pembawaannya 6. Mempunyai ambing yang kuat dan besar 7. Tidak tahan panas 8. Lambat dewasa dapat dikawinkan umur 18 bulan 9. Berat badan sapi jantan 850 kg betina 625 kg 10. Produksi susu perahannya 4500-5500 liter dalam satu masa laktasi dengan kadar lemak 3,7% 11. Tubuhnya tegap.

B. Manajemen Reproduksi Pubertas Alat reproduksi sapi dara telah terbentuk jauh sebelum dilahirkan. Sesudah dilahirkan organ tersebut berkembang tahap demi tahap sampai hewan mencapai dewasa kelamin dan mampu untuk mengandung dan melahirkan anak. Sesudah akil balik, alat reproduksi berkembang terus, sampai tercapai pertumbuhan yang sempurna sesuai dengan perkembangan badannya (Muljana, 1985). Pubertas dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu saat organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Pubertas pada hewan betina ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi (Toelihere, 1985). Pertumbuhan pubertas yang cepat pada sapi dara Holstein dimulai selama bulan ketujuh sesudah lahir. Menjelang bulan kesepuluh pertumbuhan cepat saluran kelamin terhenti dan pertumbuhan umum mulai melambat. Dengan makanan dan manajemen yang baik seekor sapi dara dapat dikawinkan pada umur 10 sampai 15 bulan sesudah mencapai berat kira-kira 340 kg (Toelihere, 1985). Bila pubertas telah tercapai, pertumbuhan tenunan folikel disertai dengan pelepasan substansi hormon, yang disebut estrogen, menyebabkan sapi dara menunjukkan tanda-tanda berahi. Satu ovum biasanya dilepaskan segera sesudah berahi, dan ovum memasuki tuba fallopii, dimana kemungkinan ovum tersebut akan bertemu dan dibuahi oleh spermatozoa (Muljana, 1985). Umur Beranak Pertama Sapi dara yang dipelihara dengan baik pada umur 13 sampai 15 bulan sudah mencapai berat yang cukup untuk dikawinkan, sehingga pada umur sekitar dua tahun sapi betina telah dapat berproduksi. Menurut Lindsay dkk, (1982)

bahwa pada beberapa keadaaan, perkawinan betina sengaja ditunda dengan maksud agar induk tidak terlalu kecil waktu melahirkan. Induk yang terlalu kecil pada waktu melahirkan maka kemungkinan akan terjadi distokia. Umur ternak betina pada saat pubertas mempunyai variasi yang lebih luas daripada bobot badan pada saat pubertas (Nuryadi, 2000). Hal ini berarti bahwa bobot badan lebih berperan terhadap pemunculan pubertas daripada umur ternak. Umur dan bobot badan pubertas dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik. Walaupun umur dari sapi dara sudah cukup untuk dikawinkan atau dengan kata lain sudah mengalami dewasa tubuh tidak berarti mengalami dewasa kelamin. Alasan bahwa sapi dara harus mengalami dewasa kelamin adalah membantu dalam proses kelahiran, karena kelahiran yang tidak normal banyak terdapat pada sapi-sapi yang baru pertama kali melahirkan (Purba, 2008). Deteksi Berahi Deteksi berahi yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan suatu perkawinan selain ketepatan dan kecepatan saat melakukan perkawinan, pemeriksaan berahi yang efektif memerlukan pengetahuan yang lengkap tentang tingkah laku sapi yang berahi baik normal ataupun tidak. Deteksi berahi paling sedikit dilaksanakan dua kali dalam satu hari, pagi hari dan sore/malam hari. Dalam pelaksanaan deteksi berahi bagi para inseminator maupun peternak sukar untuk dapat mengetahui saat yang tepat awal terjadinya estrus (berahi). Terjadinya berahi pada ternak di sore hari hingga pagi hari mencapai 60%, sedangkan pada pagi hari sampai sore hari mencapai 40% (Lubis, 2006). Menurut Ihsan (1992) deteksi berahi umumnya dapat dilakukan dengan melihat tingkah laku ternak dan keadaan vulva.

Secara fisiologis, berlangsungnya siklus berahi ini melibatkan aktivitas sistem syaraf dan sistem hormonal dalam tubuh sapi, sehingga dapat dikatakan bahwa reproduksi sapi berlangsung secara neuro hormonal. Jika sapi tersebut masuk dalam pengecekan satu siklus berahi (rata-rata 18-23 hari), tanda chalking orange pada pangkal ekor menghilang, vulva terlihat bengkak, panas, dan merah maka sapi tersebut dapat dikawinkan, untuk memastikan estrus lebih tepat lagi, cervic dapat diraba, jika agak keras (tegang) maka sapi tersebut positif estrus dan harus segera dikawinkan sebelum terlambat (Purba, 2008). Sistem Perkawinan Sistem perkawinan merupakan gambaran dari beberapa metode

perkawinan untuk program pengembangbiakan sapi. Masa berahi seekor sapi cukup singkat, untuk itu diperlukan pengamatan secara teliti terhadap tanda-tanda berahi seekor ternak agar program perkawinan dapat berjalan sesuai rencana. Sistem perkawinan ternak dapat dilakukan dengan dua cara yakni perkawinan alam dan perkawinan secara buatan. 1. Perkawinan Alam Perkawinan alam dilakukan oleh seekor pejantan yang langsung memancarkan sperma kedalam alat reproduksi betina dengan cara kopulasi. Terlebih dahulu pejantan mendeteksi kondisi berahi betina dengan menjilati atau membau di sekitar organ reproduksi betina bagian luar setelah itu pejantan melakukan penetrasi.

2. Perkawinan Buatan Perkawinan buatan sering dikenal dengan Inseminasi Buatan (IB) atau Artificial Insemination (AI) yaitu dengan memasukkan sperma kedalam saluran reproduksi betina dengan menggunakan peralatan khusus (Blakely dan Bade, 1988). Service per conception Service per conception adalah sebuah ukuran kesuburan induk sapi yang dikawinkan dan berhasil menjadi bunting. Service per conception dapat dihitung dengan membagi jumlah total perkawinan pada sekelompok ternak dengan jumlah induk yang bunting. Menurut Toelihere (1985) bahwa nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6 sampai 2,0. Makin rendah nilai tersebut, makin tinggi kesuburan hewan - hewan betina. Sebaliknya makin tinggi nilai S/C, makin rendahlah nilai kesuburan kelompok betina tersebut. Keberhasilan service per conception dipengaruhi oleh kualitas semenyang secara langsung dipengaruhi oleh proses penanganan dan penyimpanannya. Semen sebaiknya disimpan dalam liquid nitrogen dengan temperatur -196oC dengan container yang terbuat dari stainless steel maupun alumunium (Bearden dan Fuquay, 1992). Pemeriksaan Kebuntingan Sapi yang diduga tidak berahi setelah dikawinkan kemungkinan bunting. Pemeriksaan kebuntingan sapi dilakukan satu sampai satu setengah bulan setelah inseminasi terakhir. Pemeriksaan dilakukan dengan cara palpasi rektal yaitu memasukkan tangan pada bagian rektal, jika ovarium terasa asimetris atau adanya pembesaran di salah satu ovari, bisa dikatakan sapi tersebut bunting. Selain itu

perabaan dapat dilakukan pada bagian fetal membran (percabangan uteri) yang terasa membesar, pemeriksaan ini dilakukan oleh dokter hewan atau veteriner yang mempunyai keahlian dalam hal reproduksi (Purba, 2008). Umur kebuntingan 1,5 bulan sangat muda dan dapat mengakibatkan pecahnya embrio yang masih sangat kecil. Jika sapi tersebut positif bunting maka diberi tanda dengan chalking green pada pangkal ekor. Sejarah perkawinan sapi yang bersangkutan termasuk tanggal melahirkan, tanggal dan jumlah IB yang dilakukan pada seekor sapi harus tercatat dengan baik sehingga dapat dipelajari terlebih dahulu. Catatan perkawinan dan reproduksi yang lengkap sangat bermanfaat untuk menentukan umur kebuntingan secara tepat dan cepat (Toelihere, 1985). Kelahiran Partus sebagai akhir dari suatu proses kebuntingan dan merupakan suatu sistem mekanisme fisiologis kompleks dalam proses pengeluaran fetus dan plasenta dari uterus sapi yang mengalami kebuntingan. Proses partus sangat berhubungan dengan siklus hormonal yang melibatkan induk dan fetus dalam suatu mekanisme partus. Proses ini dimulai dari hipotalamus fetus yang sudah mengalami maturasi akan menyekresikan corticotrophic releasing factor untuk merangsang kelenjar hipofisa menghasilkan adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari kelenjar korteks adrenal yang menghasilkan kortisol fetus (Peters dan Ball, 1987). Calving Interval Frekuensi melahirkan sangat penting bagi peternak dan pembangunan peternakan, karena setiap penundaan kebuntingan ternak mempunyai dampak

ekonomis yang penting. Pada peternakan sapi perah yang ideal, kelahiran harus diusahakan 12 bulan sekali. Efisiensi reproduksi dan keuntungan peternakan sapi perah dapat maksimal ketika rata-rata calving interval untuk sekelompok ternak sekitar 13 bulan (Fricke dkk, 1998). Menurut Bahari (2007) selang beranak dapat dipakai sebagai ukuran efisiensi reproduksi. Selang beranak yang ideal berkisar antara 12 sampai 15 bulan. Adanya selang beranak yang panjang dapat disebabkan oleh faktor manajemen, yaitu kesengajaan menunda kebuntingan atau karena faktor genetik. Selang beranak juga mempunyai pengaruh terhadap lama laktasi dan produksi susu. Umur Sapih Secara alamiah pedet akan menyusu pada induknya sekehendak pedet tanpa pembatasan. Pedet bersama induk sampai dengan disapih, yakni pada saat pedet tersebut berumur 6 sampai 9 bulan. Biasanya kondisi pedet akan tumbuh lebih cepat dan kuat (Muljana, 1985). Ditambahkan oleh Siregar (1989), pedet sapi perah sudah boleh disapih pada umur 11 minggu. Namun banyak peternak sapi perah yang menyapih pedetnya pada umur lebih dari 11minggu. C. Gangguan Reproduksi Tinggi rendahnya produksi ternak tergantung bagaimana reproduksinya. Secara keseluruhan penurunan daya reproduksi dan kematian merupakan masalah reproduksi yang belum ditangani secara baik. Umur melahirkan pertama kali dapat dipengaruhi oleh pakan, sehingga membuat siklus berahi selanjutnya tidak normal (lebih panjang/pendek). Beberapa gangguan reproduksi secara umum dipengaruhi oleh lingkungan, hormonal, genetik (anatomi), dan penyakit/infeksi.

10

Lingkungan Khususnya dalam hal pemberian pakan, harus diupayakan dengan baik dan seimbang terutama pada umur muda (Herwiyanti, 2006). Pakan yang kurang otomatis akan membuat perkembangan alat reproduksi juga terhambat, dan sekresi hormon terganggu. Begitu juga saat pakan yang berlebih menyebabkan obesitas, pada sapi dara akan mengganggu perkembangannya sedangkan pada sapi dewasa mengganggu ovulasi. Defisiensi vitamin A menyebabkan abortus, defisiensi vitamin AD3E menyebabkan anestrus. Saat defisiensi mineral Phosfor (P) akan terjadi hipofungsi ovari, dan lambat untuk pubertas. Mineral Cuprum (Cu), Ferum (Fe), Cobalt (Co) dapat menyebabkan kegagalan berahi, begitu juga dengan induk yang kekurangan iodium maka pedet akan premature dan kondisi lemah saat kelahiran. Saat sapi masuk dalam tahap menyusui akan menghambat hormon GnRH. Iklim juga menjadi salah satu faktor, panas yang berlebih dalam jangka waktu yang lama membuat sapi tidak menunjukkan tanda-tanda berahi. Lingkungan juga berhubungan dengan senilitas/ketuaan, gigi yang aus sehingga sapi tidak nafsu makan akibatnya defisiensi (Purba, 2008). Hormonal Silent heat bisa disebabkan kekurangan hormon estrogen, sapi yang sudah tua, atau berahi setelah melahirkan. Diantara hewan ternak, silent heat banyak dijumpai pada hewan betina yang masih dara, artinya berahi pertama pada hewan betina yang baru mencapai dewasa kelamin sering dalam bentuk silent heat. Demikian juga apabila hewan betina yang mendapat ransum dibawah kebutuhan normal, atau induk yang sedang menyusui anaknya atau diperah lebih dari dua kali dalam sehari. Akan tetapi, kasus silent heat ini paling sering terjadi pada

11

induk yang berahi pertama kali setelah melahirkan. Kasus ini juga rentan terjadi pada hewan yang mengalami defisiensi mineral terutama fosfor dan selenium (Anonim, 2004c). Kasus silent heat dapat mencapai 77% pada ovulasi pertama setelah melahirkan, 54% pada ovulasi kedua, dan 30% pada ovulasi ketiga pasca melahirkan pada sapi perah yang berproduksi tinggi. Menurut Hopkin (1986), tidak adanya korpus luteum pada siklus berahi sebelumnya menyebabkan konsentrasi progesteron sangat rendah dalam darah saat ovulasi pertama setelah melahirkan, hal ini menyebabkan ovarium kurang responsif terhadap hormon yang dikeluarkan oleh hipofisa anterior. Oleh karena itu, pada siklus berahi berikutnya menyebabkan silent heat (Hardjopranjoto, 1995). Berahi pendek adalah induk sapi yang berahinya berjalan sangat cepat (2-3 jam) disertai ovulasi. Kedua keadaan ini disebabkan oleh karena korpus luteum dari ovulasi pertama menghasilkan sedikit progresteron, sehingga ovarium kurang respontif terhadap LH. Berahi pendek/subestrus adalah suatu keadaaan pada hewan betina yang menunjukan gejala berahi secara klinis hanya beberapa jam saja, disertai terjadinya ovulasi pada ovariumnya. Waktu berahinya pendek dan kadang-kadang muncul pada malam hari. Oleh karena itu, lama berahinya hanya 3-5 jam saja, sering tidak dapat dideteksi oleh pemiliknya sehingga ternak tersebut diduga menderita anestrus. Terlebih apabila deteksi berahi hanya dilakukan sekali dalam sehari, ada kemungkinan sub estrus tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan pada saat ovulasi, induk hewan tidak dapat dikawinkan, akibatnya satu kesempatan hewan betina bunting terlewatkan. Penyebab kasus berahi pendek/subestrus ini dapat diterangkan mirip dengan pada kasus silent heat. Kasusnya banyak terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu pasca

12

melahirkan. Penanggulangannya adalah dengan menggunakan pejantan pengusik dengan libido yang tinggi, sehingga keadaan berahi pendek dapat dikenali oleh pejantan (Hardjopranjoto, 1995). Hipofungsi ovarium adalah suatu keadaan dimana ovarium mengalami penurunan fungsinya dari normal, dapat muncul pada saat yang beragam, sering terjadi pada sapi dara menjelang pubertas dan sapi dewasa partus atau setelah inseminasi tapi tidak terjadi konsepsi. Ovarium yang mengalami hipofungsi berbentuk agak bulat, rata, licin dan agak kecil dibandingkan dengan normal. Toelihere (1981), menyatakan bahwa berbagai gangguan post-partum seperti retensio sekumdinae, distokia, paresis purpuralis, ketosis, mastitis dan kelahiran kembar dapat menyebabkan penundaan berahi. Anestrus karena hipofungsi disebabkan oleh keadaan gizi yang buruk dari sapi yang bersangkutan. Pada sapi sapi yang demikian pengobatan umumnya kurang bermanfaat sebelum gizinya diperbaiki. Aktivitas ovarium secara tidak langsung tertekan oleh penyakit penyakit yang menimbulkan kelemahan kronis dan keadaan yang demikian sering kali penyebabnya tidak terlihat terutama pada kasus kasus yang sporadis. Faktor yang diduga kuat sebagai penyebab sistik ovari adalah kegagalan hipofisa untuk melepaskan LH yang cukup untuk ovulasi dan perkembangan corpus luteum, meskipun mekanisme terjadinya belum diketahui secara pasti. Dugaan adanya defisiensi LH itu timbul karena pemberian LH penderita sistik ovari memberikan efek kuratif yang baik.

13

Genetik Sifat hereditas (menurun): ovari kecil tidak berkembang, apabila terjadi pada keduanya maka sapi harus diafkir karena adanya saluran reproduksi yang tidak berkembang. Untuk sifat yang tidak menurun: ovarium hanya satu, freemartin (kembar jantan dan betina) (Purba, 2008). Penyakit Penyakit ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa dan lainnya. Akibat yang ditimbulkan dari bakteri salah satunya adalah Brucellosis sedangkan virus dapat menyebabkan IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis). Beberapa gangguan reproduksi yang sering dialami oleh sapi perah adalah sebagai berikut : 1. Nimfomania (berahi setiap hari) Penyebab dari nimfomania itu sendiri karena produksi susu yang tinggi tetapi tidak diimbangi dengan nutrisi (intake nutrisi rendah) sehingga kekurangan hormon LH (Luteinizing hormon). Jika dilakukan palpasi rektal pada bagian ovarium maka akan terasa salah satu ovarium atau kedua-duanya membesar dan terdapat cairan, dindingnya tipis, diameter lebih dari 2,5 cm serta gejala berahi terus menerus. Persentase yang terhitung pada kasus seperti ini menunjuk angka 5%, tetapi kejadiannya dalam kelompok berbeda-beda. Untuk penanganan kasus ini sapi akan diberikan injeksi hormon LH (Luteinizing Hormon) sebanyak 3 ml. Hormon tersebut akan disuntikkan secara intrauteri menggunakan gun plastik. 2. RFM (Retensi Fetal Membran) Secara fisiologik selaput fetus tinggal dalam waktu 3 sampai 8 jam postpartum. Apabila selaput tersebut menetap lebih lama dari 8 sampai 12 jam,

14

kondisi ini dianggap patologik dan terjadilah retensio secundinae (Toelihere, 1985). Penyebabnya adalah kegagalan lepasnya vilia kotiledon fetus dari kripta karankula maternal karena dorongan myometrium yang lemah. Uterus akan terus berkontraksi dan sejumlah besar darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. Karankula maternal mengecil karena suplai darah berkurang dan kripta karankula berdilatasi. Retensio secundinae sebenarnya adalah suatu proses kompleks yang meliputi pengurangan suplai darah diikuti oleh penciutan strukturstruktur plasenta maternal dan fetal, perubahan-perubahan degeneratif dan kontraksi uterus yang kuat (Toelihere, 1985). Plasenta tersebut harus keluar, karena akan mempengaruhi proses reproduksi selanjutnya. Bakteri yang menempel pada plasenta akan masuk kedalam organ reproduksi. Jasad-jasad renik seperti Brucella abortus, Tuberculosis, Campylobacter fetus dan berbagai jamur menyebabkan placentitis. 3. Endometritis (Lendir Infeksi) Infeksi endometrium merupakan peradangan pada bagian uterus yang paling ringan. Pada umumnya disebabkan oleh infeksi jasad renik yang masuk ke dalam uterus melalui cervic dan vagina. Kuman-kuman yang sering masuk melalui cervic dan vagina adalah Strepthococcus, Staphylococcus, Coli (berasal dari feses, mungkin pada waktu inseminasi buatan, atau pertolongan distokia maupun retensio). Endometritis penyebab utama kemajiran (Toelihere, 1985). 4. Metritis Metritis atau peradangan seluruh bagian uterus meliputi semua lapisan dinding uterus. Kejadiannya berlangsung dua minggu setelah beranak. Sifat toksiknya terjadi dalam waktu 3-5 hari setelah melahirkan. Metritis umumnya

15

disertai septicemia berat atau toksemia (metritis septika). Penyebab infeksi yang paling banyak ditemukan adalah kuman-kuman koliform seperti, E.coli, Strepthoccocus, Staphiloccocus dan defisiensi mineral. Gejala yang sering timbul biasanya tampak lesu, menahan rasa sakit, produksi susu akan menurun, tidak mampu untuk berdiri, anoreksia, dan keluarnya discharge (cairan) encer berwarna coklat dan berbau amis. Pada saat dilakukan palpasi rektal menunjukan uterus membesar (tidak normal), cervic teraba lebih besar dari biasanya, dan kadangkadang bila uterus ditekan maka akan mengeluarkan leleran yang bersifat mucopurulent. Keadaan ini memungkinkan tidak teraturnya siklus berahi (Subronto dan Tjahajati, 2001). 5. Pyometra Pyometra berasal dari dua kata, yaitu pyo yang artinya nanah dan metra yang artinya uterus. Pyometra merupakan penyakit dimana terjadi penimbunan nanah pada uterus akibat terjadinya endometritis kronis. Untuk memastikan apakah sapi tersebut bunting atau mengalami pyometra, sebaiknya dilakukan pengamatan fisik dan pemeriksaan, tepatnya eksplorasi rektal. Pada pemeriksaan fisik, sapi yang mengalami pyometra akan menunjukkan pembesaran perut yang simetris. Hal ini terjadi karena nanah yang tertimbun dalam uterus akan mengisi kedua kornu. Badan kelihatan kurus dengan bulu yang kusam. Pada saat sapi berbaring, akan keluar kotoran berupa nanah dari lubang vagina. Sebaliknya yang terjadi pada sapi yang bunting. Pembesaran perut mengarah ke kanan, karena di sebelah kiri terdapat rumen, sehingga pertumbuhan fetus akan ke kanan. Badan kelihatan gemuk dengan bulu yang mengkilat. Selain itu, tidak ada kotoran yang keluar dari lubang vagina. Hasil eksplorasi rektal menunjukkan bahwa penyebab

16

pembesaran perut yang simetris pada pyometra adalah karena nanah mengisi kedua kornu uterus. Mukosa uterus terasa lebih tebal dari normal, dan jika uterus ditekan akan berfluktuasi karena ada tekanan balik dari cairan dalam uterus. Tidak ditemukannya karunkula, arteri uterina mediana tidak teraba dan tidak ditemukannya fetus dalam uterus. Beda halnya jika sapi tersebut bunting, melalui eksplorasi rektal akan ditemukan fetus yang hanya tumbuh pada salah satu koruna, dan koruna lainnya tetap kecil. Dinding uterus menipis, mengikuti pertumbuhan fetus. Arteri uterina mediana teraba dan karunkulapun teraba pada dinding uterus. 6. CL Persisten Corpus luteum persisten terjadi karena adanya atau pernah terjadi kelainan-kelainan di dalam uterus berupa endometritis, pyometra, retensio secundinae, maserasi dan mumifikasi fetus dan kelainan lain yang mengganggu fungsi endometrium. Anestrus yang berhubungan dengan patologi uterus dan corpus luteum yang fungsional, disebabkan oleh kegagalan pelepasan bahan luteolitik dari endometrium, sehingga corpus luteum gagal beregresi dan siklus berahi terganggu. Karena corpus luteum yang menetap umumnya berhubungan dengan patologi atau pengembangan uterus misalnya pada keadaan pyometra, mumifikasio dan maceratio foetalis, mukometra, retensio secundinae atau dengan kematian embryonal dan penyakit-penyakit lain. Corpus luteum persisten umumnya menetap selama ada gangguan patologi tersebut, sampai waktu yang cukup lama. Selama itu pula hewan tidak menunjukkan tanda-tanda berahi. Apabila corpus luteum persisten. Setelah pelaksanaan inseminasi yang tidak fertil, biasanya hewan betina tersebut disangka bunting, setelah pemeriksaan rektal
17

ternyata hewan betina tidak bunting dan ovariumnya mengandung corpus luteum persisten. Untuk mendiagnosa adanya corpus luteum persisten, selain gejala klinis dan eksplorasi rektal, suatu sejarah reproduksi ternak yang bersangkutan akan sangat membantu. Pada palpasi rektal, corpus luteum persisten dapat dirasakan berupa benjolan pada permukaan ovarium yang konsistensinya kenyal dan dapat dibedakan dengan konsistensi folikel matang yang berfluktuasi. Apabila corpus luteum berlangsung beberapa bulan, maka corpus luteum tersebut akan terletak di dalam ovarium dan makin sulit didiagnosa. Tanpa diagnosa kebuntingan secara teratur, corpus luteum persisten dapat bertahan sampai 6 bulan sesudah perkawinan (Roberts, 1971). Penanggulangan terhadap adanya corpus luteum persisten harus didasarkan pada diagnosa perbandingan yang teliti, memerlukan pencatatan yang sempurna dan beberapa eksplorasi rektal. Penyingkiran corpus luteum persisten dapat dilakukan secara manual melalui rektum (Enukleasi) atau penyuntikan preparat hormon prostaglandin (PGF 2.) intra uterin atau preparatpreparat analognya secara intra muscular seperti pada penyerentakan berahi. Pada umumnya dipilih cara manual karena prostaglandin cukup mahal harganya. Penyingkiran corpus luteum persisten dengan cara manual merupakan metode yang paling sederhana dan praktis, namun demikian penggunaannya harus sejarang mungkin. Corpus luteum harus dilepaskan seluruhnya dan dijatuhkan ke dalam rongga perut dan tidak dalam bursa ovarium, dimana ia dapat menyebabkan adhesi. Adhesi karena manipulasi yang kasar terhadap ovarium adalah sebab umum dari kemajiran yang permanen (Dowson, 1961). Salah satucara untuk menghilangkan corpus luteum persisten adalah dengan memberikan prostaglandin (PGF 2), karena selain dapat menyerentakkan berahi juga dapat dipergunakan

18

untuk mengobati gangguan reproduksi pada ternak sapiyang disebabkan oleh corpus luteum persisten. 7. Kista Ovarium (ovaria, folikuler dan luteal) Status ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih struktur berisi cairan dan lebih besar disbanding dengan folikel masak. Penyebab terjadinya kista ovarium adalah gangguan ovulasi dan endokrin (rendahnya hormone LH). Sedangkan factor predisposisinya adalah herediter, problem social dan diet protein. Adanya kista tersebut menjadikan volikel de graf (folikel masak) tidak berovulasi (anovulasi) tetapi mengalami regresi (melebur) atau mengalami luteinisasi sehingga ukuran volikel meningkat, adanya degenerasi lapisan sel granulose dan menetap paling sedikit 10 hari. Akibat sapi-sapi menjadi anestrus atau malah menjadi nymphomania (kawin terus). Penanganan yang dilakukan yaitu dengan : Sista ovaria : prostaglandin (jika hewan tidak bunting) Sista folikel : Suntik HCG/LH (Preynye, Nymfalon) secara intramuskuler sebanyak 200 IU. Sista Luteal : PGH 7,5 mg secara intra uterine atau 2,5 ml secara intramuskuler, selain itu juga dapat diterapi dengan PRID/CIDR intra uterina (12 hari). Dua sampai lima hari setelah pengobatan sapi akan birahi. D. Kegagalan Reproduksi Sapi Perah Kegagalan reproduksi merupakan masalah yang besar pengaruhnya terhadap usaha peternakan sapi perah, karena kelangsungan produksi susu akan

19

terganggu. Ada beberapa faktor yang dapat mengakibatkan kegagalan reproduksi seperti faktor tatalakasana pemeliharaan dan faktor internal ternak.

1.

Faktor tatalaksana pemeliharaan. Hal-hal yang berhubungan dengan faktor tatalaksana pemeliharaan sapi

perah yaitu mutu genetik sapi yang dipelihara, pakan yang diberikan (sejak pedet/anak sampai dewasa), pengelolaan reproduksi (deteksi berahi, pengetahuan peternak, ketepatan waktu kawin dan keahlian inseminator). Kesalahan dalam tatalaksana pemeliharaan juga dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan pada ternak tersebut, sehingga ternak akan mengalami kelainan-kelainan pada alat reproduksinya. Semua kegiatan tersebut harus mendapat perhatian dan pengawasan yang intensif, dengan sistem pencatatan yang akurat. 2. Faktor internal ternak. Kegagalan reproduksi karena faktor internal ternak dapat disebabkan oleh kerusakan alat-alat reproduksi karena penyakit, kelainan fungsi hormonal, dan kelainan bentuk anatomis dari alat-alat reproduksi, sehingga kurang/tidak berfungsi. Jadi inti dari faktor internal ini sebenarnya adalah fertilitas. Fertilitas diartikan sebagai daya atau kemampuan untuk memproduksi keturunan dari seekor hewan/ternak, banyak faktor yang berpengaruh sangat komplek serta saling terkait. Oleh karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas masih bersifat dugaan, walaupun ada yang sudah diketahui secara pasti. Untuk meningkatkan fertilitas kita perlu pengetahuan tentang anatomi dan fungsi reproduksi ternak tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas antara lainfaktor anatomis, fisiologis serta nutrisi (Anonim, 2011d).

20

MATERI DAN METODE

A. Materi Penelitian Penelitian ini menggunakan 44 ekor sapi perah FH betina pada pengembangan kelompok tani Pattiroang, unit kandang induk di Desa Barania Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai. Dalam peneilitian ini peralatan dan bahan yang digunakan adalah vaginoscopy, senter, kapas, alkohol, iodium 2%, tissue, plastic sheats dan tissue. B. Metode Penelitian 1. Vaginoscopy Seluruh ternak diperiksa dengan menggunakan vaginoscopy yang telah disterilkan dengan menggunakan alcohol. Vaginoscopy dimasukkan kedalam

saluran reproduksi melalui vulva sampai mencapai pintu serviks. Dengan menggunakan senter, kondisi internal organ reproduksi hingga pintu serviks diamati. Jika terdapat cairan (discharge) dengan menggunakan spoit diambil dan dimasukkan ke dalam cawan petri kemudian diamati warna dan baunya. 2. Palpasi Rektal Palpasi rektal dilakukan untuk mengetahui kondisi serviks, uterus, tanduk uterus dan ovarium. C. Koleksi Data dan Parameter yang diukur Informasi umum ternak sapi yang dipelihara meliputi : induk/dara, paritas, total IB, melahirkan terakhir, dan BCS (Body Condition Score) Informasi saat kelahiran meliputi : normal, RFM dan distokia.

21

Informasi kondisi uterus meliputi : bunting / tidak buntingnya ternak, infeksi, dan pyometra. Informasi kondisi ovarium : normal/tidak aktif, dan kista (folikel/luteal) D. Analisa Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif berdasarkan hasil persentase, rata-rata dan standar deviasi. Interval antara melahirkan dan IB pertama pada ternak yang normal dan yang mempunyai salah satu kelainan reproduksi dibandingkan dengan menggunakan t- student (Sudjana, 2005).

22

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. BCS (Body Condition Score) dan Paritas Ternak Sapi Perah Kondisi BCS dan paritas ternak sapi perah yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.Deskrpsi BCS dan Paritas Ternak Sapi Perah di Kecamatan Sinjai

Barat Kabupaten Sinjai. Parameter BCS 2,00 2,25 2,50 2,75 3,00 3,25 Total Paritas 1 2 Total Jumlah Ternak 1 7 13 13 8 2 44 37 7 44 % 2,3 15,9 29,5 29,5 18,2 4,5 100 84,0 15,9 100,0

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 44 ekor ternak sapi perah yang digunakan dalam penelitian ini, terdapat 21 ekor atau 47,8% dengan BCS 2.5 atau kurang dan sebanyak 13 ekor atau 29,6% menunjukkan BCS sedang atau 2,75. Sedangkan sebanyak 10 ekor atau 22,7% menunjukkan BCS baik 3,00 atau di atasnya. Rendahnya kondisi tubuh sapi perah di Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai mungkin disebabkan karena kekurangan nutrisi. Hal tersebut dapat dilihat dari skor kondisi tubuh sapi perah yang rendah (BCS<2.75). Kondisi tubuh yang tidak ideal pada sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti manajemen pemeliharaan teutama asupan nutrisi. Selain itu kondisi sapi tersebut dipengaruhi
23

oleh penyakit. Kondisi sapi yang demikian akan mempengaruhi alat vital yang lain misalnya alat reproduksi. Metode Body Condition Score adalah suatu metode pengukuran kritis terhadap keefektifan sistem pemberian pakan pada sapi perah, bertujuan untuk mengetahui pencapaian standar kecukupan cadangan lemak tubuh yang akan mempengaruhi dalam penampilan produksi susu, efisiensi reproduksi dan herd longevity. Pelaksanaan pemeriksaan kondisi tubuh pada bibit sapi perah diperoleh melalui estimasi penilaian secara visual terhadap kuantitas jaringan lemak kulit, perhitungan nilai BCS sebesar 5 poin (1 sampai 5) dengan penambahan nilai 0,25 (Quarter point) dihitung berdasarkan kondisi subcutan lemak tubuh pada pangkal ekor dan sekitar tulang belakang, hips,ribs, pin bone. Langkah pertama dalam menjelaskan masuk sistem penentuan nilai, maka apabila garis dari tulang hook, ke thurl sampai ke tulang pin berbentuk sudut runcing/lancip (V) atau berbentuk bulan sabit (U). Biasanya langkah ini sering paling sulit untuk membuat penilaian, khususnya jika sapi memiliki nilai BCS dekat 3,0 atau 3,25. Jika ragu-ragu apakah berbentuk V atau U maka penilaian dapat dilanjutkan dengan langkah-langkah, melihat badan sapi dari bagian belakang. Amati jaringan kulit lemak sampai bagian hook dan tulang pin dan pangkal ekor dan jaringan pengikat pangkal ekor. Dari poin ini penilaian biasanya dapat untuk menentukan nilai yang tepat.

24

2. Kondisi Fisiologi Reproduksi Ternak sapi Perah Kondisi fisiologi reproduksi ternak sapi perah di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kondisi Fisiologi Reproduksi Ternak Sapi Perah Di Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai barat. Uraian Bunting Tidak Bunting 1. Bersiklus Normal 2. Kelainan Reproduksi Total Jumlah Ternak 12 15 17 44 % 27,3 34,1 38,6 100

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa hanya terdapat 27,3% ternak yang bunting. Selebihnya sebesar 72,7% dengan kondisi yang tidak bunting. Dari ternak sapi yang tidak bunting tersebut, terdapat 38,6% dengan berbagai macam kelainan reproduksi dan 34,1% masih bersiklus normal. Dengan kondisi tersebut di atas, mungkin disebabkan oleh manajemen pemeliharaan dan manajemen reproduksi yang kurang mendukung. Manajemen pemeliharaan dan manajemen reproduksi berhubungan dengan kondisi fisiologis tubuh, tidak terkecuali dengan aspek reproduksi. Pola manajemen yang baik akan berdampak pada kondisi fisiologis organ-organ reproduksi. Terkait dengan hal tersebut setelah diagnosa melalui perlakuan palpasi diketahui aktifitas reproduksi sapi perah, yaitu uterus dan ovarium. Seperti halnya Tabel 3 dapat dilihat pada diagnosa uterus sebesar 38,2% uterus normal atau 13 ekor sapi perah. Sedangkan lainnya mengalami peradangan pada rahim (endometritis), baik yang hanya endometritis, endometritis dengan pyometra dan endometrius diikuti dengan urovagina. Meskipun proporsi diagnosa uterus lebih dominan normal namun pada saat diagnosa ovarium, banyak folikel yang tidak aktif (38,2%).
25

Faktor yang terkait dengan endometritis, yaitu retensio sekundinarum, distokia, faktor manajemen, dan siklus birahi yang tertunda. Selain itu, endometritis biasa terjadi setelah kejadian aborsi, kelahiran kembar, serta kerusakan jalan kelahiran sesudah melahirkan. Endometritis dapat terjadi sebagai kelanjutan kasus distokia atau retensi plasenta yang mengakibatkan involusi uterus pada periode sesudah melahirkan menurun. Endometritis juga sering berkaitan dengan adanya korpus luteum persisten (CLP). Endometritis adalah keradangan pada dinding uterus yang umumnya disebabkan oleh partus. Dengan kata lain endometritis didefinisikan sebagai inflamasi dari endometrium. Derajat efeknya terhadap fertilitas bervariasi dalam hal keparahan radang, waktu yang diperlukan intuk penyembuhan lesi endometrium, dan tingkat perubahan permanen yang merusak fungsi dari glandula endometrium dan/atau merubah lingkungan uterus dan/atau oviduk. Organisme nonspesifik primer yang dikaitkan dengan patologi endometrial adalah corynebacterium pyogenes dan gram negatif anaerob. Kebanyakan sapi perah post partum mengalami beberapa derajat enometritis kecuali dapat sembuh antara 4059 hari post partum (Bretzlaff,1987). Gangguan keseimbangan hormon seperti hifofungsi ovarium sehingga ovarium tidak aktif. Selain itu corpus luteum persisten. Kondisi ini terjadi karena tertahannya corpus luteum sehingga Kadar progesteron tinggi di luar masa kebuntingan persisten, CL ini tetap besar ukurannya dan tetap menghasilkan progesteron sehingga sekresi FSH dan LH dihambat folikel tidak tumbuh dan tidak ada estrogen. Kista disebabkan kelenjar hipofisa anterior gagal melepaskan LH dalam darah dengan kadar yang cukup, FSH normal maka terjadi pertumbuhan folikel

26

tidak normal pada ovarium. Kondisi tersebut menyebabkan folikel yang tidak matang bertambah banyak pada ovarium. Pengobatan untuk kondisi ini adalah dengan pemberian LH dan PGF2 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kista ovari, 45% kasus diderita oleh sapi yang memproduksi susu tinggi. Pakan, sapi perah yang memperoleh pakan dengan kandungan protein tinggi, mendorong terjadinya produksi susu yang tinggi disertai dengan kista ovarium 48 % kasus terjadi pada musim dingin didaerah yang mempunyai 4 musim. Genetik, induk sapi yang menderita kista ovarium, bila dapat bunting dan beranak cenderung untuk timbul lagi kista ovarium pada siklus birahi berikutnya. 3. Kondisi Uterus dan Ovarium Ternak Sapi Perah Kondisi uterus dan ovarium ternak sapi perah di Kabupaten Sinjai dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :
Tabel 3.Kondisi Uterus dan Ovarium Ternak Sapi perah yang tidak Bunting di Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai.

Diagnosis Uterus Normal Endometritis Endometritis + Pyometra Endometritis+Urovagina Ovarium Inaktif Kista CL Persisten Total

Jumlah Ternak 13 2 1 1 13 3 1 17

% 38,2 5,8 2,9 2,9 38,2 8,8 2,9 100

27

4. Interval Antara Melahirkan dan Kembali Bunting

Presentase rata-rata interval antara melahirkan dan kembali bunting pada ternak sapi perah di Kabupaten Sinjai pada ternak sapi yang normal yaitu 15 % dan ternak sapi perah yang mengalami kelainan yaitu 17%. Adapun interval tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4.Interval antara Melahirkan dan kembali bunting Di Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai.

Uraian Interval antara melahirkan dan kembali bunting Interval antara melahirkan dan IB pertama

Fungsi (fx) N Mean dan STDev Minimum Maximum Mean dan STDev Minimum Maximum

Bunting 12 509,5196,1 154 856

Tidak Bunting Normal Kelainan 15 17 532,8 65,1 581,226,9 508 549 691 581

Satu siklus berahi adalah jarak antara berahi yang satu sampai dengan berahi berikutnya (Partodihardjo 1980). Arthur (1975) menjelaskan, bahwa terjadinya siklus berahi berhubungan dengan keadaan ovarium, yang sebagian besar pada mamalia rnencapai puncak berahi pada saat terjadi pelepasan satu atau lebih ovum. Ternouth (1983) menyatakan, bahwa panjang siklus berahi pada sapi dibedakan antara sikIus pendek yang terjadi kurang dari 18 hari, dan siklus panjang yang berkisar antara 25 - 48 hari. Sedangkan pada sapi perah siklus berahi berkisar antara 17 - 24 hari, dengan rata-rata 21 hari (Hawk and Bellows dalam Hafez, 1980). Toelihere (1981) membagi siklus berahi dalam dua tahap, yaitu tahap folikuler yang meliputi proestrus dan estrus; dan tahap luteal yang meliputi metestrus dan diestrus. Sedangkan Arthur (1975) dan Fincher (1956) membagi siklus berahi dalam lima tahap, yaitu tahap proestrus, estrus, metestrus,

28

diestrus dan anestrus. Selain itu Ternouth (1983), Partodihardjo (1980) dan Toelihere (1981) juga menyatakan, bahwa secara umum sikIus berahi meliputi tahap proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Proestrus adalah tahap sebelum estrus, dimana folikel De Graaf bertumbuh (Toelihere 1981). Pertumbuhan folikel tersebut terjadi atas pengaruh Follicle Stimulating Hormone (FSH), dengan menghasilkan sejumlah estradiol yang semakin bertambah (Baker dalam Ternouth, 1983). Pada tahap ini keadaan uterus meluas, mukosa uterus padat dan udemat, dan kelenjar menjadi aktif (Arthur 1975). Disamping itu vagina menjadi hiperemis, serviks mulai mengalami relaksasi dan sekresi serviks menjadi lebih cair dan berlebihan (Baker dalam Ternouth, 1983). Pada tahap ini hewan rnulai rnenampakkan gejala berahi, walaupun pejantan belum mau untuk mengadakan kopulasi (Partodihardjo 1980). Estrus sering diartikan sebagai tahap penerimaan pejantan (Arthur 1975). Pada tahap ini serviks dalam keadaan relaksasi, vagina meluas, vulva merah dan bengkak (Baker dalam Ternouth, 1983 dan Partodihardjo 1980). Ditambahkan oleh Arthur (1975), bahwa kelenjar serviks dan kelenjar uterus banyak mengeluarkan cairan lendir yang kental. Dengan palpasi rektal terhadap ovarium diternukan adanya folikel yang matang. Ovarium terasa sedikit menonjol, licin dan halus pada salah satu permukaannya. Pada sapi perah estrus terjadi selama 12 - 24 jam, dan ovulasi terjadi di 10 - 11 jam setelah akhir estrus, sedangkan estrus pertama setelah partus terjadi sesudah 32 - 69 hari. Menurut pendapat Hawk and Bellows (dalam Hafez 1980), estrus pada sapi perah terjadi selama 13 - 17 jam dan ovulasi terjadi 25 - 32 jam setelah mulai estrus, sedangkan jarak estrus pertama dengan kelahiran berkisar antara 20 - 70 hari. Metestrus adalah tahap segera setelah estrus, dimana korpus luteum tumbuh

29

secara cepat dari sel-sel granulose folikel yang telah pecah (Arthur 1975 dan Toelihere 1981). Tahap metestrus sebagian besar berada dibawah pengaruh hormon progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum (Toelihere 1981). Selain itu Partodihardjo (1980) menambahkan, bahwa pada tahap ini sapi telah menolak pejantan untuk aktivitas kopulasi. Ditambahkan juga oleh Arthur (1975), bahwa pada tahap ini pembuluh darah dan kelenjar mukosa uterus menjadi sangat aktif, sedangkan sekresi dari vagina menjadi berkurang. Serviks mulai menutup, kadang-kadang disertai dengan sedikit perdarahan yang mengalir dari uterus ke vagina (Partodihardjo 1980). Pendapat ini diperkuat oleh Baker, 1983 yang menyatakan, bahwa dalam tahap ini 30% kejadian yang menunjukkan terjadinya perdarahan pada sapi. Toelihere (1981) menambahkan, bahwa tahap ini berlangsung selama 3 - 5 hari. Interval antara IB adalah jarak antara IB pertama dan IB selanjutnya (Yusuf dkk, 2010). Untuk mencapai hasil inseminasi yang maksimum, maka ternak sapi harus secara regular diinseminasi apabila ternak tersebut belum bunting pada inseminasi sebelumnya dan kembali menunjukkan tanda tanda berahi pada siklus berikutnya. Secara umum dan normalnya bahwa ternak sapi secara regular bersiklus dengan rata-rata 21 hari (Peters dan Ball, 1987). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Sinjai interval antara melahirkan sampai IB terakhir yang normal 595,5 dan yang mengalami kelainan 595,6. Hasil tersebut menunjukkan tingginya angka ketidaknormalan siklus ovarium yang diakibatkan oleh gangguan reproduksi pada ternak sapi yang pada akhirnya menurunkan penampilan reproduksi dengan memperpanjang jarak antara melahirkan dan kembali bunting serta jarak kelahiran. Oleh karena itu diperlukan

30

kontrol reproduksi sebelum IB dilaksanakan dalam upaya mengefektifkan pelaksanaan IB ini yang pada akhirnya dapat memperbaiki tingkat reproduksi. Terdapat dua variabel penting dalam kontrol reproduksi sebelum inseminasi dilakukan, yakni : deteksi berahi, dan ketepatan waktu pelaksanaan inseminasi buatan. Kontrol reproduksi dimaksudkan sebagai tindakan pengawasan yang dilakukan oleh peternak pada keadaan berahi ternak betina termasuk sejauh mana dan metode yang peternak lakukan dalam mendeteksi berahi. Pengetahuan tentang gejala berahi ini ikut menentukan keberhasilan program IB yang dilakukan. Dengan kemampuan untuk mendeteksi berahi maka peternak akan sangat terbantu untuk memastikan waktu untuk pelaksanaan IB.

31

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai kelainan reproduksi ternak sapi Perah di Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kelainan reproduksi sapi perah di Kabupaten Sinjai menunjukkan presentase yang tinggi yakni mencapai 38,6% 2. Gangguan reproduksi ternak sapi perah di Kabupaten Sinjai disebabkan endometritis, urovagina, pyometra, inaktif, kista dan corpus luteum Persisten. 3. Kondisi BCS (Body Condition Score) ternak sapi perah yang rendah (BCS <2,75) menunjukkan angka yang tinggi sebesar 47,8%. Saran Untuk mempertahankan dan meningkatkan jumlah populasi sapi perah di Kabupaten Sinjai, maka kepada peternak dan Instansi terkait dalam hal ini Dinas Peternakan perlu memperhatikan tatalaksana pemeliharaan sapi perah dan memperhatikan faktor yang menyebabkan penurunan produktivitas sapi perah, seperti tingginya angka gangguan reproduksi.

32

DAFTAR PUSTAKA Anonim.2010a. Pedoman Pelaksanaan Inseminasi Buatan pada Ternak Sapi. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta Anonim.2011b. Sapi Perah.http://www.iasa.pusat.org.com (Diakses, 27 Februari 2011). Anonim, 2004c. Kegagalan reproduksi sapi perah. http://www.duniasapi.com. (Diakses, 27 Februari 2011). Anonim.2011d. Kelainan Reproduksi Sapi Perah.http://www.iasa.pusat.org.com (Diakses, 27 Februari 2011). Arthur, G.H. 1975. Veterinary Reproduction and Obstetrics. Fourth edition. Bailliere, Tindall, London. Baker KF, RJ Cook. 1983. Biological Control of Plant Pathogens. San Francisco: WH. Freeman. Bahari, 2007.Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya : Jakarta Bearden HJ, and JW Fuquay. 1992. Applied Animal Reproduction Third Edition Prentice Hall, Englewood Cliffs. New Jersey. Blakely, J. and D. H.Bade, 1988.The Science of Animal Husbandry. Penterjemah: B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Bretzlaff K.1987. Rationale for treatment of Endometritis in The Dairy Cow. Vet Clin.North Am. Food. Anim. Pract 3: 593-0607. Fincher, M.G., W.J. Gibbons, K. Mayer, S.E. Park. 1956. Diseases of Cattle. American Veterinary Publication,ING., Evanston, Illinois. Hardjopranjoto, 1995.Beternak sapi perah, Kanisus, Jakarta. Hayati dan Choliq, 2009. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Hafez, E.S.E.edition.1980. Reproduction in Farm Animals. Fourth Edition and Febiger, Philadelphia, USA. Herwiyanti, E.M.P, 2006. Makalah Seminar Pelatihan Inseminator pada Sapi/Kerbau BIB Singosari: Malang

33

Hopkin. 1986. Reproduction in DomesticAnimals. Third edition. Academic Press, London. Ihsan, N. 1992. Diktat Inseminasi Buatan. Program Studi Inseminasi dan Pemuliaan Ternak. Animal Husbandry Project. Universitas Brawijaya: Malang Lindsay D.R, K.W Enwistle dan A Winantea. 1982. Reproduksi Ternak di Indonesia. Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Brawijaya: Malang Lubis, O.P, 2006. Makalah Seminar Pelatihan Inseminator pada Sapi/Kerbau BIB Singosari: Malang Muljana, W. 1985. Kegunaan dan Pemeliharaan Sapi Perah. CV Aneka Ilmu, Semarang. Nuryadi. 2006. Dasar-Dasar Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya: Malang Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara,Jakarta. Peters A.R. and P.J.H. Ball. 1987. Reproduction in Cattle. Butterworths. London. Purba, 2008. Gangguan reproduksi sapi perah di PT Greenfield Indonesia, Malang. Direktorat Program Diploma IPB Rahma, 2006. Pengaruh Bangsa Sapi Fries Hollend dan Sahiwal Cross Terhadap Produksi Air Susu dan Kualitas Dangke yang Di Hasilkan. Skripsi Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Siregar, S. B. 1989. Sapi Perah, Jenis, Teknik Pemeliharaan, dan Analisa Usaha. Cetakan Pertama. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal.4-88. Subronto dan Tjahajati, I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Tarsito. Bandung. Sudono, A. 1999.Ilmu Produksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sudono, A., R. F. Rosdiana, dan B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta. Terrnouth, J .H.QueenslandAustralia.1983. Dairy Cattle Research techniques. Department of Primary Industries, Brisbane, Australia.

34

Toelihere M.R. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Universitas Indonesia Press: Bogor Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Edisi pertama. Angkasa, Bandung. Fricke, P. M., J. N. Guenther, and M. C. Wiltbank. 1998. Effect of decreasing the dose of GnRH used in a protocol for synchronization of ovulation and timed AI in lactating dairy cows. Theriogenology 50:12751284 Yusuf, M., Nakao, T., Ranasinghe, R.M.S.B.K. Gautam, G., Long, S.T., Yoshida, C., Koike, K., Hayashi, A. 2010. Reproductive performance of repeat breeders in dairy herds. Theriogenology 73: 1220-1229

35

S-ar putea să vă placă și