Sunteți pe pagina 1din 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Diabetes Mellitus (DM)

2.1.1. Definisi Diabetes Mellitus (DM) Diabetes melitus adalah sindrom kelainan metabolisme karbohidrat yang ditandai hiperglikemia kronik akibat defek pada sekresi insulin dan atau tidak adekuatnya fungsi insulin. Diabetes melitus tipe II adalah kelompok DM akibat kurangnya sensitifitas jaringan sasaran (otot, jaringan adiposa dan hepar) berespon terhadap insulin. Penurunan sensitifitas respon jaringan otot, jaringan adiposa dan hepar terhadap insulin ini, selanjutnya dikenal dengan resistensi insulin dengan atau tanpa hiperinsulinemia ( R.M. Tjekyan, S., 2007). Berdasarkan WHO Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak cukup memproduksi insulin, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah

(hyperglycaemia) (WHO, 2008).

2.1.2. Etiologi Diabetes Mellitus (DM) Faktor yang diduga menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia ini adalah adanya kombinasi antara kelainan genetik, obesitas, inaktifitas, faktor lingkungan dan faktor makanan (R.M. Tjekyan, S., 2007). Produksi insulin yang cukup atau ketidakmampuan sel untuk menggunakan insulin dengan benar dan efesien akan menyebabkan hiperglikemia dan diabetes. Kondisi ini akan mempengaruhi kebanyakkan sel-sel otot dan jaringan lemak. Hasil dari kondisi ini disebut sebagai resistansi insulin. Ini adalah masalah utama pada Diabetes Mellitus Tipe II. Dalam Diabetes Mellitus Tipe II ini juga dijumpai penurunan sel beta

Universitas Sumatera Utara

secara stabil yang mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar gula darah (Medicinenet.com, 2005). Diabetes Mellitus Tipe I adalah kurangnya insulin secara mutlak. Hal ini terjadi kerana adanya gangguan dalam proses memproduksi insulin daripada sel beta di pankreas akibat daripada kerusakan sekunder (Medicinenet.com, 2005). Pada dasarnya, jika seseorang itu ada resisten terhadap insulin, prnghasilan insulin di dalam tubuhnya akan meningkat sehingga mencapai suatu tahap tertentu untuk mengatasi kondisi ini. Setelah itu, jika produksi insulin berkurang atau insulin tidak dapat dilepaskan, maka terjadilah hiperglikemia (Medicinenet.com, 2005).

2.1.3. Faktor Risiko Diabetes Mellitus (DM) Faktor risiko diabetes tipe II terbagi kepada 3 yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah, diperbaiki dan lain-lain (Tedjapranata, M., 2009). Faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti ras, etnik, riwayat keluarga dengan diabetes, usia > 45 tahun, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4 kg, riwayat pernah menderita DM Gestasional, riwayat berat badan lahir rendah < 2,5 kg (Tedjapranata, M., 2009). Faktor risiko yang dapat diperbaiki adalah seperti berat badan lebih (indeks massa tubuh > 23kg/m2, kurang aktivitas fisik, hipertensi(>140/90 mmHg), dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl, diet tinggi gula rendah serat (Tedjapranata, M., 2009). Faktor risiko lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita sindrom ovarium poli-kistik, atau keadaan klinis lain yang terkait dengan ressitensi insulin,sindrom metabolik, riwayat toleransi glukosa terganggu/glukosa darah puasa terganggu, riwayat penyakit kardiovascular (stroke, penyempitan pembuluh darah koroner

jantung,pembuluh darah arteri kaki) (Tedjapranata, M., 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.1.4. Klasifikasi Diabetes Mellitus (DM) Diabetes Mellitus (DM) dibahagikan kepada 2 jenis yaitu Diabetes Mellitus Tipe I dan Diabetes Mellitus Tipe II (American Heart Association, 2007). Diabetes Mellitus Tipe II adalah paling sering dijumpai terutamanya pada dewasa. Walaubagaimanapun kasus pada remaja dan anak-anak untuk Diabetes Mellitus tipe II juga makin meningkat. Diabetes Mellitus Tipe II ini adalah disebabkan oleh penghasilan insulin yang tidak cukup atau penggunaan insulin yang tidak efesien (resistansi insulin) (American Heart Association, 2007). Diabetes Mellitus Tipe I biasanya dijumpai pada anak-anak. Diabetes jenis ini disebabkan pankreas tidak dapat menghasilkan insulin atau penghasilannya sedikit (American Heart Association, 2007).

Klasifikasi DM Endokrinologi

yang

dianjurkan oleh

PERKENI

(Perkumpulan

Indonesia) adalah yang sesuai dengan anjuran klasifikasi

DM menurut American Diabetes Association (ADA) 1997, sebagai berikut (Shahab, A., 2006): 1. Diabetes Melitus tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut) : Autoimun Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya) 2. Diabetes Melitus tipe 2 (bervariasi mulai dari yang terutama dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin) 3. Diabetes Melitus tipe lain : A. Defek genetik fungsi sel beta : Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) 1,2,3. DNA mitokondria B. Defek genetik kerja insulin

Universitas Sumatera Utara

C. Penyakit endokrin pankreas : pankreatitis tumor pankreas /pankreatektomi pankreatopati fibrokalkulus D. akromegali sindrom Cushing feokromositoma hipertiroidisme E. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat glukokortikoid, hormon tiroid tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain-lain F. Infeksi : Rubella kongenital, Cytomegalovirus (CMV) G. Sebab imunologi yang jarang : antibodi anti insulin H. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM : sindrom Down, sindrom Kleinfelter, sindrom Turner, dan lain-lain. 4. Diabetes Melitus Gestasional (DMG) Endokrinopati :

2.1.5. Tanda dan Gejala Diabetes Mellitus (DM) Kedua-kedua jenis diabetes memiliki gejala yang sangat mirip. Gejala pertama berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Gula tumpah ke dalam urin ketika kadar gula darah naik di atas 160-180 mg / dL. Ketika tingkat gula dalam urin meningkat lebih tinggi lagi, ginjal mengeluarkan air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar gula, maka menghasilkan air seni yang berlebihan, jadi penderita diabetes sering buang air kecil dengan volume yang banyak

Universitas Sumatera Utara

(poliuria). Buang air kecil yang berlebihan mengakibatkan rasa haus yang tidak normal (polidipsia). Selain itu disebabkan kehilangan kalori yang berlebihan dalam urin, maka berat badan penderita Diabetes Mellitus (DM) akan menurun. Untuk mengkompensasinya, penderita DM akan sering merasa lapar. Gejala lain untuk Diabetes Mellitus (DM) termasuk penglihatan kabur, pusing, mual, dan menurunnya daya tahan semasa melakukan aktivitas ( Kishore, P. MD, 2008). Pada penderita Diabetes Mellitus Tipe I, gejalanya sering muncul secara tiba-tiba dan dramatis. Dalam Diabetes Mellitus Tipe I ini bisa terjadinya ketoasidosis diabetikum. Hal ini terjadi karena tubuh tidak bisa menghasilkan insulin atau penghasilan insulinnya tidak adequate, maka sel-sel tubuh tidak dapat menggunakan gula yang terdapat di dalam darah, jadi sel-sel tubuh akan menjalani mekanisme back-up untuk memperolehi energi supaya sel-sel tubuh bisa hidup. Sel-sel lemak akan mulai lisis dan menghasilkan keton. Keton ini memberikan energi kepada sel tetapi akan menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan buang air kecil yang berlebihan, penurunan berat badan, rasa mual, muntah, kelelahan, dan pada anak-anak terutmanya sakit perut. Selain itu, pasien Diabetes Mellitus Tipe I juga cenderung untuk bernafas lebih dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keadaan keasaman dalam darah. Di samping itu, pasien Diabetes Mellitus Tipe I ini nafasnya berbau seperti penghapus cat kuku. Jika tidak diobati, ketoasidosis diabetikum ini bisa mengakibatkan koma dan kematian dalam beberapa jam ( Kishore, P. MD, 2008). Pada penderita Diabetes Mellitus Tipe II mungkin tidak memiliki gejala apapun selama bertahun-tahun atau berpuluhan tahun sebelum mereka didiagnosis. Gejala yang mungkin muncul adalah gejala yang halus. Gejala-gelaja yang bisa didapati pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II pada awalnya adalah peningkatan urinasi dan haus yang ringan dan keadaannya akan menjadi semakin buruk. Akhirnya, penderita DM Tipe II

Universitas Sumatera Utara

akan merasa sangat lelah, penglihatannya kabur, dan mungkin mengalami dehidrasi ( Kishore, P. MD, 2008). Oleh karena penderita Diabetes Mellitus Tipe II dapat

menghasilkan insulin, maka ketoasidosis tidak terjadi. Namun, kadar gula darah dapat menjadi sangat tinggi (sering melebihi 1.000 mg / dL). Kadar gula darah yang tinggi ini adalah akibat dari stres, infeksi atau penggunaan narkoba. Kadar gula darah yang tinggi ini bisa mengakibatkan dehidrasi yang parah, kebingungan mental, pusing, dan kejang, yang disebutkan koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik ( Kishore, P. MD, 2008). 2.1.6. Patogenesis Diabetes Mellitus Terdapat 2 jenis diabetes yaitu Diabetes Mellitus Tipe I dan Tipe II. Diabetes mellitus tipe I juga disebut insulin dependent diabetes mellitus (IDDM), atau juvenile diabetes melitus. Dalam diabetes mellitus tipe I, pankreas mengalami serangan autoimmune oleh tubuh sendiri, dan menyebabkan sel-sel pankreas tidak bisa menghasilkan insulin. Antibodi abnormal telah ditemukan di sebagian besar pasien dengan diabetes mellitus tipe I. Antibodi adalah protein dalam darah yang merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh. Pasien yang menderita diabetes mellitus tipe I harus bergantung pada obat insulin untuk bertahan hidup. Pada penyakit autoimun, seperti diabetes mellitus tipe I, sistem kekebalan tubuh secara keliru memproduksi antibodi dan sel-sel inflamasi yang menentang jaringan tubuh sendiri dan menyebabkan kerusakan pada jaringan tubuh sendiri. Pada pasien Diabetes Mellitus Tipe I, sel-sel beta pankreas yang bertanggung jawab untuk produksi insulin diserang oleh sistem kekebalan tubuh. Hal ini diyakini bahwa warisan genetik mungkin suatu faktor risiko berkembangnya antibiotik yang abnormal. Selain itu, paparan terhadap infeksi virus tertentu (gondok dan Coxsackie virus) atau racun-racun lingkungan hidup lainnya bisa memicu respons antibodi abnormal yang merusakan sel-sel pankreas. Terdapat beberapa antibodi

Universitas Sumatera Utara

yang dijumpai pada diabetes mellitus tipe I yaitu anti-islet sel, anti-insulin dan anti-glutamat dekarboksilase (Medicinenet.com, 2005). Diabetes mellitus tipe II juga disebut sebagai non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM), atau orang dewasa diabetes mellitus (AODM). Dalam diabetes mellitus tipe II, pasien dapat memproduksi insulin, tetapi tidak dapat menggunakannya secara adequate, terutama pada pasien yang mengalami resistensi insulin. Pada

kebanyakkan kasus, biasanya penghasilan insulin banyak, hanya jadi masalah apabila sel-sel tubuh seperti sel lemak dan sel otot kurang peka terhadap insulin. Selain masalah dengan peningkatan resistensi insulin, pelepasan insulin oleh pankreas mungkin juga mengalami kerusakan dan suboptimal. Pada penderita diabetes tipe mellitus II penghasilan insulin dari beta sel akan berkurang(Ini adalah faktor utama bagi banyak pasien dengan diabetes tipe mellitus II yang pada akhirnya memerlukan terapi insulin.). Akhirnya, hati pada pasien DM akan terus memproduksi glukosa melalui proses yang disebut glukoneogenesis meskipun kadar glukosa meningkat (Medicinenet.com, 2005). Glukosa yalah gula yang paling sederhana ditemukan dalam makanan. Glukosa digunakan sebagai energi untuk sel-sel tubuh supaya berfungsi secara normal. Karbohidrat dalam makanan dipecah menjadi glukosa di dalam usus halus kemudian diserap oleh usus halus dan dibawa oleh aliran darah untuk kegunaan semua sel-sel dalam tubuh. Namun, glukosa tidak dapat memasuki ke dalam sel jika tanpa bantuan insulin. Dalam hal ini, insulin memainkan peranan sebagai transportasi untuk menghantar glukosa memasuki ke dalam sel-sel. Tanpa insulin, sel-sel akan kekurangan glukosa untuk digunakan sebagai sumber energi, meskipun, adanya glukosa di dalam aliran darah. Akhinya, glukosa yang lebih ini atau glukosa yang tidak digunakan ini akan diekskresikan dalam urin (Medicinenet.com, 2005). Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh sel-sel khusus (sel beta) dari pankreas. (Pankreas adalah organ mendalam dalam perut

Universitas Sumatera Utara

terletak di belakang perut.) Selain membantu glukosa memasuki sel-sel, insulin juga penting dalam mengatur rapat tingkat glukosa dalam darah. Setelah makan, kadar glukosa darah akan meningkat, untuk mengatasi peningkatan kadar glukosa, pankreas biasanya melepaskan lebih banyak insulin ke dalam aliran darah untuk membantu glukosa memasuki sel-sel dan menurunkan kadar glukosa darah setelah makan. Ketika kadar glukosa darah diturunkan, maka pelepasan insulin dari pankreas dihentikan. Seperti diuraikan di atas, pada pasien dengan diabetes, insulin adalah baik tidak ada, relatif cukup untuk kebutuhan tubuh, atau tidak digunakan dengan baik oleh tubuh. Semua faktor ini menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) (Medicinenet.com, 2005). 2.1.7. Diagnosis Diabetes Mellitus Diagnosis Diabetes Mellitus (DM) harus didasarkan atas

pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah

pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah dilakukan di laboratorium klinik. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler (Gustaviani, R., 2007). Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnotik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif (Gustaviani, R., 2007).

Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM sebagai berikut: (Shahab, A., 2006) 1. Usia > 45 tahun 2. Berat badan lebih: BBR >110% berat badan idaman atau IMT > 23kg/m2 3. Hipertensi ( 140/90mmHg) 4. Riwayat DM dalam garis keturunan 5. Riwayat abortus berulang, melahirkan anak cacat atau berat badan lahir bayi > 4000gram 6. Riwayat DM pada kehamilan 7. Dislipidemia HDL 35mg/dl dan atau trigliserida 250mg/dl 8. Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu)

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvea pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200mg/dl (Gustaviani, R., 2007).

Universitas Sumatera Utara

Cara penatalaksanaan TTGO (WHO 1985) adalah seperti berikut : Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup). Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan. Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih diperbolehkan. Diperiksa kadar glukosa darah puasa. Diberikan glukosa 75gram(orang dewasa) atau 1,75gram/kgBB(anakanak), dilarutkan dalam air 250ml dan diminum dalam waktu 5 menit. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. Kriteria diagnostik Diabetes Melitus (Shahab, A., 2006) 1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl , atau 2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl (Puasa berarti tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir ) atau Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO.

2.1.8. Komplikasi Diabetes Mellitus : Komplikasi yang dapat timbul adalah komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi akut termasuk ketoasidosis diabetik, hipoglikemi dan hiperglikemia hiperosmolar non ketotik. Untuk

ketoasidosis diabetik adalah kedaaan dekompesasi kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias,terutama diakibatkan oleh defisiensi insulin absolute atau insulin relative. Hipoglikemia adalah penurunan kadar glukosa dalam darah dan biasanya disebabkan peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, asupan karbohidrat yang kurang. Hiperglikemia Hiperosmolar non ketotik pula adalah suatu dekompensasi metabolik pada pasien diabetes tanpa disertai adanya ketosis, gejalanya adalah dehirasi

Universitas Sumatera Utara

berat, hiperglikemia berat, dan gangguan neurologis (Gustaviani, R., 2007). Diabetes Mellitus juga bisa menyebabkan komplikasi kronis yaitu mikroangiopati dan makroangiopati. Dimana mikroangiopati meliputi retinopati diabetikum, nefropati dan neuropati. Yang dimaksudkan retinopati diabetekum adalah disebabkan karena kerusakan pembuluh darah retina. Faktor tejadinya retinopathy diabetik adalah lamanya menderita diabetes, umur penderita , control gula darah, serta faktor sitemik seperti hipertensi dan kehamilan. Nefropati diabetikum yang ditandai dengan ditemukannya kadar protein yang tinggi dalam urin dan disebabkan adanya kerusakan pada glomerulus . Nefropati diabetikum merupakan faktor resiko untuk menjadi gagal ginjal kronik. Neuropati diabetikum biasanya ditandai dengan hilangya rasa sensorik terutama bagian distal diikuti dengan hilangnya reflex. Selain itu juga bisa terjadi poliradikulopati diabetikum yang merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan pada satu atau lebih akar saraf dan dapat disertai dengan kelemahan motorik. Makroangiopati adalah penyakit jantung koronor. Diabetes Mellitus mempercepat pengerasan pembuluh darah

(aterosklerosis) dalam pembuluh darah yang lebih besar.Penyakit jantung koroner adalah disebabkan kurangnya supply darah ke (Gustaviani, R., 2007). jantung

Tabel 2.1. Komplikasi jangka panjang dari diabetes Yang terjadi Organ/jaringan yg terkena Pembuluh darah Plak aterosklerotik terbentuk & menyumbat arteri berukuran besar atau sedang di jantung, otak, tungkai & penis.

Komplikasi

Sirkulasi yang jelek menyebabkan penyembuhan luka yang jelek & bisa menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

Dinding pembuluh darah kecil mengalami kerusakan sehingga pembuluh tidak dapat mentransfer oksigen secara normal & mengalami kebocoran Mata Terjadi kerusakan pada pembuluh darah kecil retina

penyakit jantung, stroke, gangren kaki & tangan, impoten dan infeksi

Gangguan penglihatan dan pada akhirnya bisa terjadi kebutaan

Ginjal

Penebalan pembuluh darah ginjal

Fungsi ginjal yang buruk Gagal ginjal

Protein bocor ke dalam air kemih

Darah tidak disaring secara normal

Saraf

Kerusakan saraf karena glukosa tidak dimetabolisir secara normal karena aliran darah berkurang

Kelemahan tungkai yang terjadi secara tiba-tiba atau secara perlahan

Berkurangnya rasa, kesemutan & nyeri di tangan dan kaki

Kerusakan saraf menahun

Sistem saraf otonom

Kerusakan pada saraf yang mengendalikan

Tekanan darah yang naik-turun

Universitas Sumatera Utara

tekanan darah dan saluran pencernaan

Kesulitan menelan serta perubahan fungsi pencernaan disertai serangan diare

Kulit

Berkurangnya aliran darah ke kulit serta hilangnya rasa yang menyebabkan cedera berulang

Luka, infeksi dalam (ulkus diabetikum)

Penyembuhan luka yang jelek

Darah

Gangguan fungsi sel darah putih

Mudah terkena infeksi, terutama infeksi saluran kemih dan kulit

Jaringan ikat

Gluka tidak dimetabolisir secara normal sehingga jaringan menebal atau berkontraksi

Sindroma terowongan karpal Kontraktur Dupuytren

(Kishore, P. MD, 2008)

Universitas Sumatera Utara

2.2.

Nefropati Diabetik :

2.2.1. Definisi Nefropati Diabetik Nefropati Diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam atau > 200 mg/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurang waktu 3 sampai 6 bulan (Hendromartono, 2007).

2.2.2. Etiologi Penyebab utama untuk nefropati diabetik yalah diabetes mellitus. Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya Nefropati Diabetika. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase Nefropati Diabetika yang lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika) (Walaa, S., 2004).

2.2.3. Patofisiologi Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan dengan efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada NIDDM) yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen, lebih sensitif terhadap pengaruh angiotensin II dibanding arteriole aferen, dan mungkin inilah yang dapat menerangkan mengapa pada diabetes yang tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik dan ada hiperfiltrasi glomerus (Djokomuljanto R., 1999). Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang

Universitas Sumatera Utara

terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut. Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati diabetik ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF- yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler. Hiperglikemi kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Pada awalnya glukosa akan mengikat residu asam amino secara non enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlangsung terus akan terjadi Advance Glycation End Products (AGEs) yang irreversible. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa sel matriks ekstraseluler, serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi sesuai tahap-tahap pada mogensen. Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien DM. Penelitian pada hewan DM menunjukkan adanya vasokonstriksi arteriol sebagai akibat kelainan renin/angiotensin sistem. Diperkirakan bahwa hipertensi pada DM terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus (Hendromartono, 2007).

2.2.4. Patologi

Universitas Sumatera Utara

Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan membran basalis, ekspansi mesangium (berupa akumulasi matriks ekstra selular; penimbunan kolagen tipe IV, laminin dan fibronektin) yang kemudian akan menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan / atau difus ( Kimmelstiel Wilson), hyalinosis arteriolar aferen dan eferen, serta fibrosis tubulo interstisial (Hendromartono, 2007).

Tabel 2.2. Karakteristik Nefropati Diabetik Karakteristik Nefropati Diabetik Peningkatan material matriks mesangium Penebalan membran basalis glomerulus Hialinosis arteriol aferen dan eferen Atrofi tubulus Fibrosis interstisial

2.2.5. Diagnosis Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan seperti di bawah ini: 1. DM 2. Retinopati Diabetika 3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan serta kadar kreatinin serum >2,5mg/dl (Lestariningsih, 2004).

Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada: A. Anamnesis Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polipagi, penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan,

Universitas Sumatera Utara

luka sukar sembuh, gatal-gatal pada kulit, ginekomastia, impotens (Lestariningsih, 2004). B. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Mata Pada Nefropati Diabetika didapatkan kelainan pada retina yang merupakan tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan Funduskopi, berupa :
i.

Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam kapiler retina.

ii.

Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah kapiler vena.

iii.

Eksudat berupa : Hard exudate. Berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang lama. Cotton wool patches. Berwarna putih, tak berbatas tegas, dihubungkan dengan iskhemia retina.

iv.

Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi kapiler.

v.

Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.

vi. vii.

Neovaskularisasi Bila penderita jatuh pada stadium terakhir (stadium IV-V) atau CRF end stage, didapatkan perubahan pada.(Lestariningsih, 2004) : Cor kardiomegali

C. Pulmo oedem pulmo D. Pemeriksaan Laboratorium Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2 minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau

Universitas Sumatera Utara

proteinuria satu kali pemeriksaan plus kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl (Lestariningsih, 2004).

Mikroalbuminuria Mikroalbuminuria umumnya didefnisikan sebagai ekskresi albumin lebih dari 30 mg/ hari dan dianggap sebagai prediktor penting timbulnya nefropati diabetik (Hendromartono, 2007).

Tabel 2.3. Laju Ekskres Albumin Urin: Laju Ekskresi Albumin Urin Kondisi

Perbandngan Albumin Urin Kreatinin (ug/mg)

24 jam (mg/hari) Normoalbuminuria Mikroalbumnuria Makroalbuminuria <30 30-300 >300

Sewaktu <20 20-200 >200 <30 30-300 (299) >300

International Society of Nephrology (ISN) menganjurkan penggunakan perbandingan albumin-kretinine (albumin-creatinine ratio-ACR) untuk kuantufikasi proteinuria serta sebagai sarana follow up. Perlu dingat bahwa banyak penyebab mikroalbuminuria di samping DM. Penyebab proteinuria lain yang sering ditemukan adalah tekanan darah tinggi serta umur lanjut. Selain itu, kehamilan, asupan protein yang sangat tinggi, stress, infeksi sistemk atau saluran kemih, dekompensasi metabolik akut, demam, latihan berat dan gagal jantung dapat meningkatkan laju enskresi albumin urin (Hendromartono, 2007).

Diagnosis ditegakkan jika 2 dari 3 pemeriksaan berturut-turut dalam 3 bulan menunjukkan adanya mikroalbuminuria (Hendromartono, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Ada beberapa kondisi yang berhubungan dengan mikroalbuminuria antara lain : a. Mikroangiopati diabetik b. Penyakit kardiovaskuler c. Hipertensi d. Hiperlipidemia karena itu jika ditemukan mikroalbuminuria maka perlu dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan lain.

Urinalisis rutin untuk deteksi protein

Negatif

Positif

Tes untuk mikroalbumin (30-300mg/hari) Jika tes mikroalbumin Positif, ulang dua kali Dalam 3 bulan Jika 2 dari 3 tes positif, diagnosis mikroalbuminuria ditegakan

Nefropati yang jelas Tentukan jumlah eskskresi protein Memulai terapi

Memulai Terapi

Gambar 2.1. Penapisan untuk mikroalbuminuria. ( disadur dari DenFronzo Diabetic Nephropaty, ADA, 2004 )

Universitas Sumatera Utara

Pantau kreatinin serum

Periksa adanya retinopati

Cari penyebab lain kelainan

Periksa adanya kelainan penyakit jantung skemik

mikroalbuminuria

Periksa adanya penyakit pembuluh darah perifer

Periksa dab obati hipertensi secara agresif

Periksa profil lemak

Perketat kendali gula darah

Stop merokok

Gambar 2.2. Pemeriksaan lanjutan mikroalbuminuria. (Disadur dari Vora JP & Ibrahim AA : Clinical Manifestations and Natural History of Diabetic Nephropathy, 2003) Pada saat diagnosa diabetes melitus ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan rutin. Pemantauan yang dianjurkan oleh American Diabetes Assaciation (ADA) adalah pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kretinin serum dan klirens kretinin (Hendromartono, 2007).

Tabel 2.4. Pemantauan Fungsi Ginjal pada Pasien Diabetes Tes Evaluasi awal Follow-up* Penentuan Sesudah Diabetes tipe 1 : Tiap tahun setelah 5 tahun Diabetes tipe 2 : Tiap tahun setelah diagnosis ditegakkan.

Mikroalbum pengendalian gula inuria darah awal (dalam 3 bulan diagnosis

Universitas Sumatera Utara

ditegakkan) Klirens Kreatinin Saat awal diagnosis ditegakkan Tiap 1-2 tahun sampai laju filtrasi glomerulus <100 ml/men/1,73m2, kemudian tiap tahun atau lebih sering Kreatinin serum Saat awal diagnosis ditegakkan Tiap tahun atau lebih sering tergantung dari laju penurunan fungsi ginjal

Untuk mempermudah evaluasi, NKF menganjurkan perhitungan laju filtrasi glomerulus dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault yaitu : ( 140 umur ) x Berat badan Klirens Kreatinin = ------------------------------------------- x ( 0,85 untuk wanita ) 72 Kreatinin Serum

Sebagian besar kasus proteinuria yang timbul pada pasien diabetes adalah diabetik nefropati. Tetapi harus tetap disadari bahwa ada kasus-kasus tertentu yang memerlukan evaluasi lebih lanjut, terutama bila ada gambaran klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah kepada penyakit-penyakit glomerulus non-diabetik (hematuria

makroskopik, cast sel darah merah dll), atau kalau timbul azotemia bermakna dengan proteinuria derajat sangat rendah, tidak ditemukannya retinopati (terutama pada diabetes mellitus tipe 1), atau pada kasus proteinuria yang timbul sangat mendadak serta tidak melalui tahapan perkembangan nefropati. Pada kasus-kasus seperti ini, dianjurkan

pemeriksaan melalui biopsi ginjal (Hendromartono, 2007).

Universitas Sumatera Utara

S-ar putea să vă placă și