Sunteți pe pagina 1din 15

178

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2010

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Amplifikasi Somatosensori Pada Penderita dengan Keluhan Nyeri Ulu Hati
Factors Related to Somatosensory Amplification of Patients with Epigastric Pain
Elly Noerhidajati 1*, Izzudin2, dan Hery Djagat P3
ABSTRACT Background: In general practice, psychological disorder (depression, anxiety, and somatoform) is often undiagnosed. Comordity of psychological disorder and Functional Gastrointestinal Disorders are relatively high. Psycosocial factor plays a role in pathophysiology of the Functional Gastrointestinal Disorders, although the causative correlation has not been establised. Somatosensory amplification is one of the risk factors that explain the somatization process. This study was conducted to find out whether Psychiatric Disorder influence the occurrence of somatosensory amplification, and what factors influence the occurrence of somatosensory amplification of patients with epigastric pain. Design and Method: Analytical research uses crossectional method. 180 Subjects with epigastric pain treated at Poli IPD RSDK meeting the criteria were included in the study. Somatosensory amplification was measured by Somatosensory Aplification Scale (SSAS), painful degree by Visual Analog Scale (VAS), Depression and Anxiety by PPDGJ III, and Somatoform disorder by DSM IV, Depression degree by HDRS, Anxiety degree by HARS. Data processing by SPSS-12 program, with significant limit 0,05. Design and Method: Analytical research uses crossectional method. 180 Subjects with epigastric pain treated at Poli IPD RSDK meeting the criteria were included in the study. Somatosensory amplification, painful degree Somatoform disorder, Depression and anxiety degree were measured by Somatosensory Aplification Scale (SSAS), Visual Analog Scale (VAS), PPDGJ III, DSM IV, HDRS, HARS respectively. SPSS-12 program was used for data analysis with (significancy p<0.05). Result: Out 108 subjects, 36 subjects had depression, 22 had anxiety and 6 had somatoform disorder. There was a significant difference in the mean of SSAS score between patients with psychiatric disorder and patients without psychiatric disorder. There is a significant difference in the mean of SSAS score between patients with psychososial stressor and patients without psychosocial stressor. There was a significant difference in the average SSAS score among sex, painful degree, and painful period. Conclusion: Psychiatric disorder, sex, psychososial stressor, painful degree, and painful period have relation with somatosensory amplification of patiens with epigastric pain (Sains Medika, 2(2):178-192). Key words: somatosensory amplification, psychiatric disorder, psychosocial stressor, sex, painful degree, painful period ABSTRAK Pendahuluan: Dalam praktek umum, gangguan psikiatri (depresi, cemas, dan gangguan somatoform) sering tidak terdiagnosis. Hal ini terjadi karena penderita datang dengan keluhan fisik dan gangguan psikiatri masih dianggap stigma. Komorbiditas gangguan psikiatri dan gangguan gastrointestinal fungsional cukup tinggi. Faktor psikososial berperan dalam patofisiologi gangguan gastrointestinal fungsional, walaupun masih sulit dikatakan sebagai hubungan kausatif. Amplifikasi somatosensori adalah salah satu faktor untuk menerangkan proses somatisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan terjadinya amplifikasi somatosensori pada penderita dengan keluhan nyeri ulu hati. Metode Penelitian: Penelitian analitik dengan metode crossectional. Subyek dengan keluhan nyeri ulu hati, yang memenuhi kriteria inklusi 108 orang. Dinilai amplifikasi somatosensori dengan Somatosensory Amplification Scale (SSAS), derajat nyeri dengan Visual Analog Scale (VAS), Depresi dan Cemas menurut PPDGJ III, dan gangguan Somatoform menurut DSM IV. Derajat depresi dengan HDRS, derajat cemas dengan HARS. Pengolahan data dengan program SPSS-12, dengan batas kemaknaan 0,05. 1 * 2 3 Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universits Islam Sultan Agung Semarang E-mail : el-noer@yahoo.com Staf SMF/Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Staf Ilmu Penyakit Dalam sub Gastroenterologi FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi Semarang

Faktor Terkait Somatosensori Pada Penderita Ulu Hati

179

Hasil Penelitian: Ada perbedaan rerata skor SSAS yang bermakna antara penderita dengan gangguan psikiatri dan penderita tanpa gangguan psikiatri. Ada perbedaan rerata skor SSAS yang bermakna antara penderita yang mengalami stresor psikososial dan tanpa stresor psikososial. Ada perbedaan rerata skor SSAS yang bermakna di antara jenis kelamin, derajat nyeri, dan lama nyeri. Kesimpulan : Gangguan Psikiatri, jenis kelamin, stresor psikososial, derajat nyeri, dan lama sakit berhubungan dengan amplifikasi somatosensori pada penderita dengan keluhan nyeri ulu hati (Sains Medika, 2(2):178-192). Kata kunci: amplifikasi somatosensori, gangguan psikiatri, stresor psikososial, perbedaan jenis kelamin, derajat nyeri-Lama nyeri

PENDAHULUAN Dalam praktek sehari-hari, baik pada praktek umum maupun praktek spesialis, sebagian besar pasien datang dengan keluhan fisik. Pasien yang datang ke tempat praktek, seringkali tidak didapatkan kelainan organik yang bermakna, sehingga dokter membuat diagnosis sesuai dengan keluhan pasien. Dokter biasanya baru menyadari adanya gangguan psikiatri setelah dilakukan berbagai macam pemeriksaan dan pengobatan tanpa hasil yang memuaskan. Bila sejak awal sudah dilakukan pendekatan psikosomatik pada setiap pasien yang datang berobat, baik dengan penyakit organik atau tanpa adanya penyakit organik, hal ini tidak akan terjadi (Shatri, 2005). Gelder et al. (1996) melaporkan bahwa komorbiditas antara penyakit fisik dan gangguan psikiatri ada beberapa macam, yaitu: (1) faktor psikologis sebagai penyebab penyakit fisik, (2) gangguan psikiatri yang ditunjukkan dengan gejala fisik, (3) gangguan psikiatri akibat penyakit fisik, (4) gangguan psikiatri dan penyakit fisik yang terjadi secara bersamaan. Gangguan psikiatri yang mendasari terjadinya masalah somatik pada pasien yang berkunjung ke dokter adalah gangguan cemas, depresi dan gangguan somatoform. Dalam praktek umum proporsi depresi diperkirakan sekitar 12%, sedangkan cemas proporsinya diperkirakan sekitar 7% (Shatri, 2005). Fink et al. dalam Budiyono (2005) melaporkan bahwa prevalensi gangguan somatoform sekitar 30%. Maier dan Falkai (dalam De Waal et al., 2004) melaporkan tingginya komorbiditas Gangguan Somatoform dengan cemas dan depresi. Simon et al. dalam Shatri (2005) melaporkan data penelitian epidemiologi yang dilakukan WHO pada tahun 1991-1992, di 15 negara pada pasien yang berobat di pelayanan kesehatan primer dengan keluhan fisik, 10%20% menderita cemas dan atau depresi. Cemas dan depresi sering tidak terdiagnosis karena pasien berobat dengan keluhan somatik. Dalam praktek sering dilakukan pemeriksaan penunjang berlebihan, walaupun hal ini kadang dilakukan atas permintaan pasien, tetapi tidak jarang atas inisiatif dokter,

180

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2010

sehingga menyebabkan pemborosan biaya. Keadaan ini terjadi karena gangguan yang berhubungan dengan faktor kejiwaan masih sering dianggap sebagai suatu stigma, serta keterbatasan komunikasi dan waktu antara dokter dan pasien (Shatri, 2005). Pasien dengan gangguan somatoform, selain cemas dan depresi juga sering datang ke praktek dokter dengan keluhan somatiknya. Ciri utama gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang-ulang, disertai dengan permintaan pemeriksaan medis, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga sudah dijelaskan oleh dokter bahwa tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya (Mudjaddid, 2005; Syamsulhadi, 2001). Gangguan psikiatri terutama cemas dan depresi banyak dilaporkan terjadi pada gangguan gastrointestinal fungsional, paling sering pada kasus dispepsia dan Irritable Bowel Syndrome (IBS). Peranan faktor psikologis cukup besar pada perjalanan penyakit ini, walaupun sulit untuk dikatakan sebagai hubungan kausatif (Djojoningrat, 2005; Nasution, 2005, Daldiyono et al., 1991). Gangguan fungsional saluran cerna tidak fatal, tetapi keluhan-keluhan penderita sangat mengganggu kegiatan sehari-hari. Angka bolos kerja menjadi tinggi, dan mengakibatkan pengeluaran biaya tidak sedikit, bahkan menurunkan kualitas hidup (Mudjaddid, 2005). Keluhan dispepsia terdiri atas nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang, dan sendawa. Keluhan dispepsia ini sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. Nyeri ulu hati merupakan keluhan dispepsia yang paling sering menjadi alasan utama untuk berobat ke ahli gastroenterologi dan penyebab bagi seseorang untuk tidak bekerja (Makmun, 2005). Amplifikasi somatosensori adalah suatu konsep baru yang merupakan salah satu faktor untuk menerangkan somatisasi. Menurut gagasan/hipotesa tersebut, individuindividu yang mengalami somatisasi cenderung merasakan berbagai sensasi fisik yang sesungguhnya bersifat normal, sebagai sensasi-sensasi yang luar biasa mengganggu. Amplifikasi dipertimbangkan berkaitan dengan gangguan somatisasi. Amplifikasi tersebut mempunyai 3 elemen, yaitu: (1) tubuh yang menjadi hipersensitif terhadap berbagai jenis sensasi yang tidak menyenangkan, (2) pemusatan perhatian secara selektif hanya pada sensasi-sensasi berintensitas lemah yang jarang terjadi, (3) reaksi terhadap sensasi tubuh tersebut dengan emosi dan kognisi (kecenderungan untuk merasakan sensasisensasi yang ada bersifat lebih mengganggu, dan lebih menakutkan dari pada

Faktor Terkait Somatosensori Pada Penderita Ulu Hati

181

sesungguhnya (Barsky dan Wyshak, 1990; Gulec dan Sayar, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan terjadinya amplifikasi somatosensori pada penderita dengan keluhan nyeri ulu hati.

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan memakai metode cross sectional. Tempat penelitian di poliklinik Penyakit Dalam (poli umum dan gastroenterologi) Rumah Sakit Dr. Kariyadi (RSDK) Semarang, yang dikerjakan mulai Desember 2006 sampai Juli 2007. Populasi penelitian ini adalah penderita rawat jalan dengan keluhan nyeri ulu hati yang berobat di bagian Penyakit Dalam RSDK. Sampel yang digunakan sebanyak 108 orang yaitu populasi yang memenuhi kriteria inklusi, sebagai berikut: (1) bersedia menjadi responden, (2) tidak ada riwayat operasi abdomen, (3) tidak menderita psikotik dan gangguan mental organik. Kriteria eksklusi jika ditemukan gangguan konversi. Penderita yang bersedia mengikuti penelitian, mengisi kuesioner penelitian, mengisi Somatosensory Amplification Scale (SSAS) untuk menilai adanya hipersensitivitas viseral, Visual Analog scale (VAS) untuk mengetahui derajat nyeri, dan dilakukan wawancara klinis psikiatri menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III (PPDGJ III) untuk gangguan depresi dan cemas serta gangguan somatoform menurut Diagnostic and Statistical Mental Disorders IV (DSM IV). Derajat depresi dinilai dengan Hamilton Depression Rating Scale (HDRS) dan derajat cemas dengan Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRSA). SSAS telah didemontrasikan untuk mengukur sensitivitas individual terhadap sensasi tubuh yang normal tanpa disertai penyakit yang serius. SSAS merupakan skala pelaporan diri yang terdiri dari 10 item yang menanyakan kepada responden, mana diantara 10 pertanyaan tersebut yang mencerminkan karakter responden secara umum. Skala berkisar dari 1 sampai 5. Nilai skor dengan cara menjumlahkan nilai masingmasing item (Barsky dan Wyshak, 1990; Sayar dan Ismail, 2001; Sayar et al., 2005; Gulec dan Sayar, 2007). Skala penilaian obyektif untuk mengukur tingkat depresi memakai HDRS, yaitu skala depresi yang sudah digunakan secara luas, memiliki 21 pernyataan dengan masingmasing mempunyai skor 0-2 atau 0-4, dan skor total 0-64. Penilaian dilakukan dari wawancara klinis dengan penderita, di mana skor < 18 adalah normal (N), skor 18-24

182

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2010

depresi ringan (DR), skor 25-34 depresi sedang (DS), skor 35-51 depresi berat (B), dan skor 52 atau lebih termasuk depresi sangat berat (SB) (Hawari, 2001). Skala penilaian obyektif untuk mengukur derajat cemas memakai Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A). Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masingmasing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (score) antara 0-4, yang artinya adalah: nilai 0 jika tidak ada gejala (keluhan), nilai 1 jika gejala ringan, nilai 2 jika gejala sedang, nilai 3 jika gejala berat, dan nilai 4 jika gejala berat sekali. Penilaian atau pemakaian alat ukur ini melalui teknik wawancara langsung. Masing-masing nilai angka dari ke 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang, yaitu : jika total nilai <14 maka tidak ada kecemasan, 14-20 ada kecemasan ringan, 21-27 kecemasan sedang, 28-41 kecemasan berat, dan 42-56 kecemasan berat (Hawari, 2001). Penilaian stresor psikososial berdasarkan PPDGJ II. Durasi stresor ditentukan dalam satu tahun. Jenis stresor psikososial dikelompokkan dalam masalah perkawinan, problem orang tua, hubungan interpersonal, pekerjaan, keuangan, lingkungan hidup, penyakit fisik/trauma. Derajat stresor psikososial dimodifikasi dari taraf stresor psikososial menurut PPDGJ II. Taraf stresor dinilai, sebagai berikut: tidak ada untuk derajat 0; ringan untuk derajat ringan; sedang untuk derajat sedang; berat dan sangat berat kategori derajat berat; serta malapetaka (Depkes RI, 1983). VAS digunakan untuk mengukur derajat nyeri, yaitu gejala nyeri yang dirasakan pasien. VAS menunjukkan tidak nyeri sampai tingkat nyeri yang hebat, dimana 0 derajat tidak nyeri, 1-3 derajat nyeri ringan, 4-7 derajat nyeri sedang, 8-10 derajat nyeri berat (Meilala, 2004; Campbell, 2000). Data yang diperoleh ditampilkan dalam distribusi frekuensi untuk nominal / ordinal dan ditampilkan nilai-nilai deskriptifnya (rerata, SD, dan nilai minimum dan maksimum) untuk data skala ratio. Data berskala ratio sebelum dilakukan uji hipotesis dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan Kolomogorov-Smirnov test. Analisis hubungan antar variabel bebas yang berskala ratio dengan skor SSAS (variabel terikat) menggunakan Pearson. Analisis perbedaan rerata skor SSAS di antara dua katagori variabel bebas menggunakan uji t tidak berpasangan, dan uji one way Anova untuk menganalisis perbedaan rerata skor SSAS di antara beberapa (lebih dari 2) katagori

Faktor Terkait Somatosensori Pada Penderita Ulu Hati

183

variabel bebas. Pengolahan data menggunakan menggunakan software SPSS-12, dengan batas kemaknaan p<0,05.

HASIL PENELITIAN Karakteristik Subyek Penelitian Gambaran lengkap dari karakteristik subyek penelitian tersaji dalam tabel 1. Tabel 1. Karakteristik demografi subyek penelitian
No.
1.

Karakteristik
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Tingkat Pendidikan SD SMP/MTs SMA/SMK Diploma/Strata Jenis Pekejaan PNS Wiraswasta Karyawan Swasta Buruh Petani Pelajar/Mahasiswa Ibu Rumahtangga Pensiunan Tidak bekerja Status Pernikahan Menikah Belum Menikah Janda/Duda Agama Islam Katholik Kristen Hindu

Jumlah (%)
34 (31,5) 74 (68,5) 17 (15,7) 32(29,6) 37(34,3) 22(20,4) 21(19,4) 12(11,1) 27(25,0) 4(3,7) 4(3,7) 13(12,0) 20(18,5) 5(4,6) 2(1,9) 76(70,4) 27(25,0) 5(4,6) 100(92,6) 5(4,6) 2(1,9) 1(0,9)

2.

3.

4.

5.

6.

Suku bangsa Jawa Sunda Menado Palembang Dayak Bali

102(94,4) 2(1,9) 1(0,9) 1(0,9) 1(0,9) 1(0,9)

184

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2010

Berdasarkan catatan medik diketahui bahwa dari 108 pasien yang datang dengan keluhan nyeri ulu hati, hanya 22 subyek (20,37%) yang sampai pada diagnosis definitif. Sedangkan 86 subyek (79, 62%) baru sampai anamnesa dan pemeriksaan fisik, serta sebagian telah dilakukan pemeriksaan laboratorium. Dari 22 subyek dengan diagnosis definitif, ternyata 7 subyek (31, 81%) dengan diagnosis fungsional dan 15 subyek (68,18%) dengan kelainan organik. Gambaran lengkap diagnosis definitif tersaji di Tabel 2. Tabel 2. Deskripsi diagnosis medis subyek penelitian

No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Diagnosis medis umum Sirosis hepatis Gastritis erosif GERD Iskemik anteroseptal Tumor ginjal Kolelithiasis Gastritis kronis Hepatitis B Diabetes Melitus Dispepsia fungsional Gangguan fungsional lain

Jumlah (%) 2 ( 9,09) 4 (18,18) 1 ( 4,54) 1 ( 4,54) 1 ( 4,54) 1 ( 4,54) 1 ( 4,54) 1 ( 4,54) 3 (13,63) 4 (18,18) 3 (13,63)

Deskripsi variabel-variabel penelitian Variabel-variabel yang menjadi perhatian dalam penelitian adalah gangguan psikiatri, jenis kelamin, stresor psikososial, derajat nyeri, lama menderita nyeri ulu hati, dan skor SSAS. Hasil uji Kolomogorov-Smirnov menunjukkan bahwa untuk data skor SSAS dan umur, distribusinya normal (p > 0,05), sedangkan data lama sakit dan derajat nyeri, terdistribusi tidak normal (p < 0,05). Gambaran lengkap distribusi frekuensi dari variabel-variabel penelitian tersaji dalam Tabel 3.

Faktor Terkait Somatosensori Pada Penderita Ulu Hati

185

Tabel 3. Deskripsi frekuensi varibel penelitian

No. 1.

Variabel Gangguan Psikiatri Depresi Cemas Somatoform Tidak ada gangguan psikiatri Derajat Depresi Ringan Sedang Berat Derajat Cemas Ringan Sedang Berat Stresor psikososial Ada stresor Tidak ada stresor Jenis Stressor Perkawinan Problem Ortu Hub. interpersonal Penyakit Fisik Pekerjaan Faktor Keluarga Keuangan Lingkungan Tidak ada stresor Taraf Stresor Ringan Sedang Berat Derajat Nyeri Ringan Sedang Berat Lama Sakit Kurang 3 bulan Lebih 3 bulan

Jumlah (%) 36 (33,3) 22 (20,4) 6 (5,6) 44 (40,7) 17(15,7) 12(11,1) 7(6,5) 11(10,2) 11(10,2) 0 68(63,0) 40(37,0) 17 (15,7) 6 (5,6) 8(7,4) 3(2,8) 10(9,3) 9(8,3) 14(13,0) 1(0,9) 40(37,0) 13(12,0) 28(25,9) 27(25,0) 5(4,6) 88(81,5) 15(13,9) 43(39,8) 65(60,2)

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Rerata skor pada penderita dengan gangguan psikiatri (32,81) lebih tinggi dibandingkan penderita tanpa gangguan psikiatri (28,23). Somatoform rerata skor SSAS paling tinggi (35,67), dibandingkan depresi (32,78) dan cemas (32,09). Hasil uji Anova

186

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2010

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata skor SSAS antara penderita dengan gangguan psikiatri dengan penderita tanpa gangguan psikiatri (p 0,0001). Hasil uji-t menunjukkan ada perbedaan rerata skor SSAS antara penderita lakilaki dengan penderita perempuan (p = 0,006), di mana rerata skor pada perempuan (32,0) lebih tinggi dibanding pada laki-laki (28,7). Hasil uji-t menunjukkan bahwa ada perbedaan skor rerata SSAS antara penderita dengan stresor psikososial dan penderita tanpa stresor psikososial (p = 0,002.) Rerata skor SSAS penderita dengan stresor psikososial lebih tinggi (32,29) dibandingkan dengan penderita tanpa stresor psikososial (28,65). Hasil uji anova menunjukkan bahwa rerata skor SSAS berdasarkan derajat nyeri berbeda secara signifikan ( p=0,041). Hasil uji t menunjukkan bahwa rerata skor SSAS berdasarkan lama nyeri perbedaan yang bermakna dengan nilai p=0,015, antara subyek lama nyeri lebih dari 3 bulan (31,93) dengan lama nyeri kurang dari 3 bulan (28,97). Rerata skor SSAS berdasarkan derajat depresi menunjukkan ada kecenderungan skor SSAS yang meningkat sesuai beratnya derajat depresi, walaupun secara statistik tidak bermakna ( p = 0,070). Rerata skor SSAS berdasarkan derajat stresor psikososial menunjukkan bahwa subyek dengan stresor yang berat rerata skor SSAS lebih tinggi dibandingkan yang derajat ringan dan sedang. Ada perbedaan bermakna di antara derajat stresor psikososial (p= 0,023).

PEMBAHASAN Prevalensi gangguan psikiatri pada penderita dengan keluhan nyeri ulu hati yang berobat di poli umum dan gastroenterologi RSDK 59,3%. Gangguan psikiatri tersebut adalah depresi 33,3%, cemas 20,4%, dan gangguan somatoform 5,6%. Hasil ini lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Harsal et al., di RSCM pada tahun 1991 yang menemukan 57, 69% depresi, dan 51, 92% campuran depresi dan cemas. Pada penelitian tersebut populasinya adalah penderita dispepsia non ulkus (diagnosis medis), sementara pada penelitian ini populasinya hanya penderita dengan keluhan nyeri ulu hati. Selain populasi yang berbeda, instrumen yang dipakai juga berbeda. Pada penelitian Harsal juga tidak dilakukan wawancara klinis psikiatri. Tetapi komulatif prevalensi gangguan psikiatri hampir sama, sekitar 60%.

Faktor Terkait Somatosensori Pada Penderita Ulu Hati

187

Gangguan somatoform penelitian ini adalah Hipokondriasis dan Gangguan Dismorfik Tubuh. Dalam penelitian ini tidak ditemukan Gangguan Somatisasi kemungkinan karena 79, 62% penderita yang datang dengan keluhan nyeri ulu hati belum sampai pada diagnosis pasti. Selain itu juga karena tingginya komorbiditas antara Gangguan Somatoform dengan cemas dan depresi. Pada penelitian ini, terlihat adanya perbedaan rerata skor SSAS yang bermakna (p=0,0001) antara subyek dengan gangguan psikiatri dan subyek tanpa gangguan psikiatri. Rerata skor SSAS pada penderita yang mengalami gangguan psikiatri(32,81) lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak mengalami gangguan psikiatri (28,23). Adanya perbedaan yang bermakna pada rerata skor SSAS, menunjukkan adanya hubungan antara gangguan psikiatri dengan amplifikasi somatosensori (Junadi, 1995). Pada penelitian ini terlihat bahwa adanya gangguan psikiatri menyebabkan terjadinya amplifikasi somatosensori. Akan tetapi, amplifikasi somatosensori seharusnya berperan pada pembentukan gejala somatik (proses somatisasi) pada subyek yang mengalami gangguan psikiatri. Hubungan kausatif tidak bisa dibuktikan oleh karena penelitian ini adalah penelitian crossectional. Sehingga perlu penelitian lebih lanjut, terutama penelitian dengan desain kohort. Gangguan depresi sering disertai gejala somatik. Hal ini karena pada depresi sering terjadi persepsi yang negatif tentang dirinya, termasuk tentang keadaan fisiknya, menjadi lebih sensitif terhadap kejadian-kejadian somatik yang tidak menyenangkan. Sedangkan pada gangguan cemas sendiri memang terjadi gejala/aktivitas otonom yang meningkat, yang menyebabkan atau bermanifestasi sebagai keluhan fisik. Sementara karena keluhan fisiknya penderita yang mengalami gangguan cemas akan bertambah cemas (Sayar dan Ismail, 2001; Barsky et al., 1999). Gangguan Somatoform mempunyai rerata skor SSAS paling tinggi (35,67), dibandingkan depresi (32,78) dan cemas (32,09). Hal ini kemungkinan karena pada penelitian ini gangguan somatoformnya adalah hipokondriasis. Pada hipokondriasis terjadi preokupasi gejala fisik yang sebenarnya normal, tetapi dipersepsikan salah oleh individu sebagai suatu penyakit yang berbahaya. Dari 108 subyek penelitian didapatkan laki-laki sebanyak 34 (31,5%) dan perempuan 74 (68,5%). Hal ini menunjukkan perempuan lebih banyak mencari

188

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2010

pertolongan medis dan lebih sering melaporkan gejala somatik. Hasil sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa skor rerata SSAS pada wanita lebih tinggi (32,0 5,91) dibandingkan laki-laki (28,7 5,63) dengan nilai p=0,006. Adanya perbedaan yang bermakna, menunjukkan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan amplifikasi somatosensori (Barsky et al., 1999). Hasil ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Jones MP dari divisi gastroenterologi Northwestern University, Chicago pada tahun 2004. Pada kelompok subyek dengan dispepsia fungsional, subyek perempuan mempunyai rerata skor SSAS yang lebih tinggi (30 6) dibandingkan laki-laki (26 6), dengan nilai p=0,0005 (Gregory dan Berry, 1999). Kemungkinan hal ini karena pengaruh faktor sosial (peran sakit) dan biologi (hormonal). Keadaan ini juga yang menyebabkan mengapa wanita lebih sering datang ke pusat pelayanan kesehatan/dokter. Rerata skor SSAS pada subyek yang mengalami stresor psikososial lebih tinggi (32,29) daripada subyek tanpa stresor psikososial (28,65), dan perbedaan ini secara statistik bermakna (p=0,002). Hal ini secara implisit menunjukkan adanya hubungan antara stresor psikososial dan amplifikasi somatosensori (Barsky et al., 1999). Menurut teori, dalam merespon stresor terjadi perubahan dalam perilaku, neurokimiawi, dan imunologis tubuh sesuai dengan kapasitas penyesuaian diri individu tersebut. Perubahan itu bisa bersifat fisiologis sebagai respon terhadap stresor, atau menjadi keadaan patologis yang menetap. Mekanisme yang tepat yang mengatur sehingga stres ditransformasikan menjadi efek patologis belum banyak diketahui. Penjelasan yang umum dipakai adalah adanya keterlibatan aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA axis), termasuk juga respon oleh sistem saraf simpatis. Bila aksis HPA ini rusak, misalnya oleh karena stres kronik, atau sebagai konsekuensi dari gangguan neuropsikiatris, maka akan terjadi persistensi aksis HPA. Hal ini berakibat terjadi penekanan terhadap pertumbuhan, disfungsi sistem imun, dan gangguan otak yang terlokalisir, yang dapat menimbulkan gangguan pada fungsi kognitif, seperti belajar dan memori (Pasiak et al., 2005). Nyeri adalah suatu perasaan subyektif, dimana aspek emosional sangat berperan. Nyeri sering dihubungkan dengan depresi. Dalam penelitian ini, penderita yang datang ke poli 88 (81,5%) dengan keluhan nyeri sedang, dan 15 (13,9%) dengan nyeri berat.

Faktor Terkait Somatosensori Pada Penderita Ulu Hati

189

Hanya sedikit 4,6% yang datang dengan nyeri ringan. Hal ini menunjukkan bahwa penderita yang datang ke poli sangat terganggu dengan nyerinya. Kemungkinan karena RSDK merupakan rumah sakit rujukan, sehingga yang datang berobat sudah mengalami pemeriksaan sebelumnya di Puskesmas atau di Rumah Sakit Daerah dan keluhannya belum berkurang. Pada penelitian ini ada perbedaan rerata skor SSAS yang bermakna (p=0,041) antara subyek dengan nyeri ringan (26,60), nyeri sedang (30,69), dan nyeri berat (33,87). Adanya perbedaan yang bermakna ini, secara implisit menunjukkan adanya hubungan antara derajat nyeri dengan amplifikasi somatosensori. Semakin berat derajat nyeri, rerata skor SSAS semakin tinggi. Derajat nyeri tidak berhubungan dengan derajat jejas, karena nyeri dan penderitaan lebih berkaitan dengan implikasi nyeri dan status psikologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata lama nyeri adalah 20,55 ( 28,78) bulan. Hal ini menunjukkan bahwa subyek yang datang ke poli sudah cukup lama menderita nyeri ulu hati. Pada penelitian ini juga terlihat ada perbedaan yang bermakna (p=0,015) antara subyek dengan lama nyeri kurang dari 3 bulan (28,97), dengan yang lama nyeri lebih dari 3 bulan (31,93). Hal ini secara implisit menunjukkan adanya hubungan antara lama nyeri dengan amplifikasi somatosensori (Barsky et al., 1999). Penelitian ini adalah penelitian pendahuluan, sehingga mempunyai beberapa kelemahan. Pertama, penelitian ini adalah penelitian cross sectional, maka tidak mungkin untuk menentukan arah hubungan kausal tersebut. Kedua, hal yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasi hasil penelitian ini adalah sifat sampel penelitian. Ini merupakan populasi medis, sehingga hubungan antara gangguan psikiatri dengan amplifikasi dapat dirancu oleh morbiditas medis, dimana dalam penelitian ini morbiditas medis merupakan variabel yang tidak kami nilai. Ketiga, variabel perancu dalam penelitian ini belum dinilai. Zonderman dan kawan-kawan menggarisbawahi betapa berbahayanya menyimpulkan bahwa kekhawatiran pasien terhadap suatu penyakit sebagai hipokondriakal, tanpa menilai status medis pasien tersebut dalam waktu yang bersamaan. Mungkin saja morbiditas medis itu sendiri yang mengakibatkan gangguan psikiatri dan amplifikasi (Barsky dan Wyshak, 1990).

190

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2010

KESIMPULAN Komorbiditas gangguan psikiatri pada penderita yang berobat dengan keluhan nyeri ulu hati di poli umum dan poli gastroenterologi bagian IPD RSDK 59,3%. Ada hubungan antara gangguan psikiatri dengan amplifikasi somatosensori pada penderita dengan keluhan nyeri ulu hati. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan amplifikasi somatosensori pada penderita dengan keluhan nyeri ulu hati. Ada hubungan antara stresor psikososial dengan amplifikasi somatosensori pada penderita dengan keluhan nyeri ulu hati. Ada hubungan antara derajat nyeri dengan amplifikasi somatosensori pada penderita dengan keluhan nyeri ulu hati. Ada hubungan antara lama nyeri dengan amplifikasi somatosensori pada penderita dengan keluhan nyeri ulu hati. Gangguan psikiatri, jenis kelamin, stresor psikososial, derajat nyeri dan lama nyeri berhubungan dengan amplifikasi somatosensori pada penderita dengan keluhan nyeri ulu hati.

SARAN Keberadaan komorbiditas gangguan psikiatri yang cukup tinggi pada penderita yang berobat dengan keluhan nyeri ulu hati, perlu dilakukan pendekatan psikosomatik sejak awal dengan penatalaksanaan yang holistik. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan kerja sama antara Bagian Psikiatri dan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, khususnya sub Gastroenterologi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai variabel morbiditas medis, sehingga hubungan gangguan psikiatri dengan amplifikasi somatosensori tidak rancu dengan morbiditas medis. Penelitian dengan desain kohort perlu juga dikembangkan. Terus dikembangkan lebih lanjut modifikasi dari alat ukur, agar dapat ditingkatkan tingkat reliabilitasnya, karena faktor kultural yang berbeda menyebabkan instrumen SSAS harus dimodifikasi lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA Barsky AJ, Wyshak G., 1990, Hypochondriasis and Somatosensory Amplification, British Journal of Psychiatry,157, 404-409. Barsky AJ, Orav EJ, Ahern DK, Rogers MP, Gruen SD, Liang MH., 1999, Somatic Style and Symptom Reporting in Rhematoid Arthritis, Psychosomatic 40:5, September: 396403.

Faktor Terkait Somatosensori Pada Penderita Ulu Hati

191

Budiyono DA., 2005, Gangguan Psikosomatik dalam Dilematika Ambiguitas Gangguan Somatoform, Konggres PDSKJI ke V, Medan. Campbell WI., 2000, Practical methods for pain intensity measurements, In: Braddom RL: Physical medicine and rehabilitation, 2nd ed,. WB Saunders Co. Philadelphia. Daldiyono, Harsal A, Shastri H, Mudjaddid et al., 1991, Aspek Psikis pada Kelainan Traktus Gastrointestinal, Tinjauan Khusus Cemas dan Depresi pada Dispepsia Non Ulkus, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI/RSCM. De Waal MW, Arnold IA, Eekhof JAH, Van Hemert AM., 2004, Somatoform Disorders in General Practice, Prevalence, Functional Impairment and Comorbidity with Anxiety and Depressive Disorders, British Journal of Pcychiatry: 184; 470-476. Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1983, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia II , Departemen Kesehatan, Jakarta. Djojoningrat D., 2005, Sindroma Tumpang Tindih antara Irritable Bowel Syndrome dan Dispepsia Fungsional, Dalam: Simadibrata M, Syam AF, editor, Update In Gastroenterology 2005, Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 1- 4. Gelder M, Geth D, Mayou R, Cowen P editor., 1996, Psychiatry and Medicine, In: Oxford Textbook of Psychiatry, 3 rd ed. Oxford University Press: 342 350. Gregory RJ, Berry SL., 1999, Measuring Counterdependency in Patients With Chronic Pain, Psychosomatik Medicine 61: 341-345. Gulec H, Sayar K., 2007, Reliability and validity of the Turkish from of the Somatosensory Amplification Scale, Psychiatry and Clinical Neurosciences, 61, 25-30. Hawari D., 2001, Manajemen Stres Cemas dan Depresi, Balai Penerbit FK UI, Jakarta. Makmun D., 2005, Pendekatan Klinik Nyeri Perut, Dalam: Rani Aziz A, Manan C, Djojoningrat D, Kolopaking MS, Makmun D, Abdullah M, Syam AF, dkk., Dispepsia Sains & Aplikasi Klinik, Edisi ke-2, Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 87-94. Meilala L., 2004, Terapi Rasional Nyeri, Tinjauan Khusus Nyeri Neuropatik, Aditya Media Yogyakarta. Mudjaddid E., 2005, Peran Psikopatologi pada Sindrom Kolon Iritabel: Seberapa Penting? Dalam: Simadibrata M, Syam AF, editor, Update In Gastroenterology 2005, Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 54-64. Nasution H., Juli 2005, Reaksi Psikofisiologik (psikosomatis) yang terbanyak pada saluran cerna, Konggres PDSKJI ke V, Medan. Pasiak T, Aswin S, Susilowati R., Juli 2005, Hubungan Reseptor Dopamin D1 di Cortex Prefrontalis Tikus (Rattus norvegicus) dengan Memori Kerja Setelah Stres Kronik, BNS: 155 165.

192

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2010

Sayar K, Barsky AJ, Gulec H., 2005, Does Somatosensory Amplification Decrease With Antidepressant Treatment? Psychosomatics: 46(4): 340-344. Sayar K, Ismail, 2001, The Predictors of Somatization: A Review, Bulletin of Clinical Psychopharmacology; 11; 266-271. Shatri H., 2005, Pendekatan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Cemas dan Depresi, Dalam: Kolopaking SM, Sari NK, Harimurti K, Laksmi PW editor, Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2005, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 6275. Syamsulhadi M., Gangguan Psikosomatik Dan Komorbiditas Gangguan psikiatrik Dengan Penyakit Medik Lain, Simposium Liaison Psychiatry dan Psikiatri Sosial, Surakarta.

S-ar putea să vă placă și