Sunteți pe pagina 1din 12

JURNAL LARINGOLOGI

KORELASI GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE DAN POSTERIOR LARYNGITIS

DISUSUN OLEH : ALDILA AKHADIYATI N GAGAT RAGIL ANDARU P ENSAN GALUH PERTIWI G99122016 G99122050 G99122040

Pembimbing: dr. Sudarman Sp.THT-KL(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2012

Korelasi Gastroesophageal Reflux Disease dan Posterior Laryngitis

Abstrak Latar Belakang Selama bertahun-tahun terakhir banyak studi yang telah dilakukan mempelajari hubungan timbal balik antara gastroesophageal reflux disease (GERD) dan berbagai penyakit dari saluran nafas atas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami kemungkinan hubungan sebab akibat antara GERD dan laryngitis posterior (PL). Metode. Penelitian ini melibatkan 103 pasien dengan keluhan gastrointestinal. prosedur diagnostic termasuk riwayat medis, gastroskopi dan directoscopy laring. Data yang diperoleh diolah menggunakan metode klasik dari statistik deskriptif, serta chi-kuadrat Pearson tes, uji t Student, rank sum test dan Fisher parametric analisis varians. Hasil. Dari jumlah total 103 pasien yang diperiksa, 33 (32%) didiagnosis dengan PL, sementara GERD didiagnosa pada lima pasien yang diperiksa semua kelompok PL (15% dari pasien dengan PL).pada subyek yang tersisa PL disebabkan oleh faktor lain. Semua pasien dengan GERD memiliki PL dan sensasi globus sementara 80% pasien GERD memiliki gejala yang menonjol dari rasa sakit. Kesimpulan. Hasil dari penelitian ini adalah indikasi dari hubungan kausal antara GERD dan PL.

Pendahuluan Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian yang berkaitan dengan hubungan GERD dan penyakit lain (keganasan pada laring, otitis, laryngitis posterior, pakiderma, laryngitis granulomatosa, asma, rinosinusitis, stenosis subglotis, ulkus dekubitus, Rainkers edema) telah dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi bagian belakang laring laringitis posterior dan kaitannya dengan GERD.

Kurangnya bukti atau sumber ilmiah dalam penelitian yang mencari hubungan antara GERD dan PL bukan indikasi kurangnya hubungan pada kedua penyakit itu, sementara itu hubungan yang telah diketahui sebelumnya bukanlah suatu hubungan sebab-akibat. Terdapat dua klaim pernyataan pertama : refluks laryngitis bukanlah suatu kesatuan klinis yang terpisah (separate clinical entity) dan pernyataan kedua : refluks laryngitis adalah suatu kesatuan klinis sesungguhnya (real clinical entity). Telah banyak penelitian sebelumnya yang mempunyai hasil yang controversial mengenai hubungan antara penyakit tersebut. Pihak yang berlawanan dalam hubungan GERD dan PL memperdebatkan bahwa tidak terdapat bukti langsung pada defek laring yang dipicu oleh GERD dan pada mekanisme yang tidak langsung pun, hubungan laryngitis dan GERD tidak spesifik, sehingga pasien sering didiagnosis menderita penyakit lain. Hanya 10-20% dari pasien PL yang didiagnosis GERD. PL memiliki ciri khas dengan adanya edema dan heperemis pada daerah interaritenoid dan aritenoid, dengan jembatan mukus (kumpulan mucus yang ada membentuk jembatan di antara aritenoid), di antaranya, dan pada daerah penonjolan yang luas, dapat dibagi klasifikasi dalam 3 tipe berdasarkan karakteristik yang telah disebutkan di atas. PL dinyatakan dengan skor Hanson (1998) dan masih diterapkan untuk diagnosis PL. PL juga terkait dengan kebiasaan merokok, alcohol, kortikosteroid inhalasi, batuk persisten, dan faktor lain yang menyebabkan perubahan motilitas esophagus. Histopalogi PL ialah hilangnya silia pada sel epitel silindris pada laring. Gejalanya bermacam-macam, mulai dari kadang serak sampai hilangnya suara, batuk, sensasi globus, salvias yang meningkat, dan nyeri. Skor Red untuk pasien PL menggunakan analisis warna kuantitatif dari eritem pada penyakit ini. Terlebih lagi, kesimpulan digambarkan berdasarkan penelitian bahwa gejala dan tanda pada PL meningkat setelah pemberian omeprazole inhibitor pompa proton (PPI). Hal itu menyimpulkan pula bahwa

banyak pasien PL yang tidak mempunyai esofagitis, dan memungkinkan bahwa mereka mempunyai non erosive GERD (NGERD). PPI diperlukan dalam terapi 3-6 bulan, 2 kali sehari, walaupun isu mengenai GERD-induced inflammation (inflamasi akibat GERD) masih controversial. GERD didiagnosis berdasarkan endoskopi bahwa terdapat adanya inflamasi esophagus pada pasien dengan gejala seperti dada terbakar, regurgitasi, dan sulit menelan. Refluks esophagus, didiagnosis berdasarkan adanya gejala regurgitasi dari isi lambung dan sensasi globus, dibuktikan pada 50% populasi orang dewasa. Peneliti lain melaporkan sebanyak 87%. Refluks esofagitis dibuktikan dengan endoskopi atau adanya bukti histologi pada inflamasi esophagus pada pasien dengan gejala tersebut di atas. Penerapan teknologi modern memberi kontribusi penting pemahaman dan diagnosis GERD (pH monitoring: catheter-based pH testing, Bilitec, impedansi intraluminal, dan Bravo capsule pH monitoring). Tujuan penelitian ini untuk mencari hubungan yang mungkin atau hubungan sebab akibat antara GERD dan PL, untuk menjawab apakah GERD adalah penyebab PL atau hanyalah manifestasi yang terkait.

Metode Penelitian ini melibatkan 103 pasien dengan gejala gastrointestinal. Semua pasien diperiksa di poliklinik otorinolaringologi dan gastroenterology.

Pemeriksaan dilakukan pada Januari sampai dengan Juni 2005. Penelitian ini adalah penelitian prospektif, acak (pasien yang dirujuk oleh dokter keluarga ke spesialis THT, dan dipilih berdasarkan daftar gejala), unisentris. Parameter untuk penelitian ini adalah: -PL: hiperemis, edema pada aritenoid dan daerah interaritenoid dengan jembatan mucus 0,5 cm di sekitar aritenoid. -GERD: peradangan esophagus dengan bukti endoskopi pada pasien dengan gejala.

Prosedur diagnosis dilakukan pada semua pasien termasuk: riwayat kesehatan, laringoskopi indirek, laringoskop direk, dan gastroskopi. Pasien diperiksa dengan endoskopi fleksibel, dan hasilnya dicatat dengan sistem VHS. Data diperiksa dengan alat yang sama dan dengan monitor yang sama oleh dua orang gastoenterologis dan spesialis THT. Riwayat kesehatan dilibatkan sebagai informasi dengan gejala atau kebiasaan tertentu: nyeri pada faring, salivasi berlebihan, batuk, serak, sensasi globus (sensasi ada bola atau sesuatu di tenggorok, iritasi terus-menerus yang menyebabkan batuk atau bengkak), sesak napas malam hari, mengorok, asma, rinosinusitis, alkoholik, dada seperti terbakal, dan merokok. Kami telah membandingkan ada dan tidaknya gejala tertentu yang berkaitan dengan PL maupun GERD, jenis kelamin pasien dan usia pasien, dan hubungan kejadian PL dengan GERD Deskripsi numerik dalam studi ini ditampilkan dengan metode klasik statistik deskriptif, yaitu arithmetic mean dan mean value median, standard deviasi, koefisien variasi, dan standard eror yang diukur sebagai variabilitas, mencakupi minimal dan maximal value. Tergantung dengan kondisi variabel masing-masing, analisis hasil studi diolah dengan Pearson statistik, untuk membandingkan perbedaan antara frekuensi dan karakteristik nonparametrik, untuk satu atau dua karakter. Fishers probabilitas test digunakan untuk limitasi numerik untuk tabel dua kali dua. Perbandingan rata-rata dari karakteristik parametrik diolah dengan students t test untuk dua kelompok data. Rank sum test sebagai unji nonparametrik digunakan pada sampel independen, sementara equivalent paired test untuk sampel dependen. Untuk perbandingan tiga kelompok data atau lebih diolah dengan ANOVA untuk data parametrik sementara analisis nonparametrik non varians digunakan untuk mengolah data non parametrik. Metode single corelatuon dan regresion digunakan untuk menganalisis asosiasi. Pada semua metode analisis, level signifikansi yang digunakan sebesar 0.05.

Regresi logistik digunakan untuk menganalisis pengaruh gejala pada outcome, misalnya tipe penyakit. ANOVA dengan proporsi digunakan untuk menganalisa hubungan antara PL dan GERD. Database dan pemrosesan data dilaksanakan menggunakan program institusi yang dikembangkan oleh Institut of Medical Statistics and Informatics, Faculty of Medicine, Belgrade.

Hasil Total 103 pasien diperiksa di poliklinik otolaringologi dan

gastroenterologi, 53 diantaranya pria, rata-rata berusia 58 tahun, 50 diantaranya wanita, rata-rata usianya 60 tahun. Pasien termuda berusia 23 tahun, dan yang tertua 80 tahun. Salivasi meningkat, batuk, globus, merokok, masing-masing berhubungan dengan PL. Analisis kebiasaan dan gejala pada pasien yang diperiksa berdasarkan jenis kelamin mereka menunjukan signifikansi secara statistik pada wanita dengan nocturnal dispnea (p<0.05) dan rhinosinusitis (p<0.01), penggunaan alkohol (p<0.01) dan merokok (p<0.01) ditemukan pada laki-laki. Distribusi PL dan GERD berdasarkan jenis kelamin, secara statistik tidak menunjukkan signifikansi. Salivasi yang meningkat pada pasien dengan PL dibuktikan pada hampir setengah pasien dengan PL (tabel 1). Analisis korelasinya antara PL dan salivasi yang meningkat terbukti secara statistik berhubungan dengan beda antar kelompok (x2=8.826; df=1; p<0.05). hal ini dapat dijelaskan dengan lebih baik bahwasannya salivasi yang meningkat pada pasien PL (45,5%) dibandingkan dengan pasien yang tidak meningkat salivasinya sekitar 17,1%. (tabel 1) Insidensi gejala batuk pada pasien PL sangat tinggi, terbukti 20 dari 33 pasien memiliki gejala tersebut. Analisis korelasi antara PL dan onset batuk dibuktikan secara statistik (x2=9.129; df=3; p<0.05). apabila ditunjukkan dengan persentase maka pasien PL yang memiliki gejala batuk sekitar 60,6% dengan perbandingan yang tidak memiliki gejala batuk 37,1%. (tabel 1)

Sensasi globus nampak pada lebih dari setengah pasien PL (56,0%) (tabel 1). Analisis korelasi antara fenomena globus dengan insidensi PL adalah (x2=10.129; df=3; p<0.05). perbedaannya secara prosentase yaitu pasien menunjukan gejala fenomena globus sekitar 57,6% dan yang tidak memiliki gejala tersebut 27,1%. (tabel 1) Kebiasaan merokok pada pasien PL secara statistik signifikasn (p<0,05) (tabel 2). Analisis korelasi antara kebiasaan merokok dan insidensi PL dijelaskan secara statistik adalah (x2=10.074; df=3; p<0.05). secara prosentase dapat dijelaskan bahwa pasien PL yang memiliki kebiasaan merokok sekitar 48,5% sedangkan yang tidak memiliki kebiasaan merokok ada 21,4%. Analisis statistik korelasi insidensi PL dengan peningkatan salivasi, batuk, fenomena globus dan merokok (koefisien korelasi : 0.277; 0.268; 0.298; dan 0.310) sementara ditinjau dari semua kasus sekaligus nilai p<0.05. merokok menjadi faktor yang paling berhubungan kuat dengan insidensi PL. Gejala heartburn muncul pada 23 pasien dengan PL diantara 33 pasien (p<0.05) dan 3 pasien diantaranya merupakan kelompok GERD. Nyeri sebagai gejala muncul pada hampir seluruh dari total pasien GERD. Analisis korelasi antara insidensi GERD dengan onset nyeri secara statistik (x2=6.945; df=1; p<0.05). secara prosentase dapat dituliskan bahwa 80% pasien GERD menunjukan gejala heartburn dibandingkan 20.4% pasien yang tidak menunjukan gejala tersebut. Sensasi globus nampak pada hampir seluruh pasien GERD. Analisis korelasi antara fenomena globus dengan insidensi GERD adalah (x2=7.844; df=1; p<0.01). perbedaannya secara prosentase yaitu pasien menunjukan gejala fenomena globus sekitar 100% dan yang tidak memiliki gejala tersebut 33.7%. (tabel 2). Pasien dengan GERD 8 tahun lebih tua (67.5) dari rata-rata kelompok yang diobservasi (59) dan secara statistik signifikan (uji t; t=4.138; p<0.05) Analisis secara statistik hubungan GERD dengan gejala nyeri dan fenomena globus (koefisien korelasi: 0.246 dan 0.263) ditinjau dari semua kasus

maka nilai p<0.05). hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian GERD dianalisis dan ditemukan bahwa 60% pasien GERD adalah perokok aktif. Analisis antara hasil yang dikonfirmasi secara statistik menunjukan signifikansi adanya korelasi antara insidensi PL dan GERD (koefisien korelasi : 0.634 dengan nilai p<0.01) 33 pasien dengan PL, 5 diantaranya memiliki penyakit GERD (15%) dan semua pasien GERD memiliki penyakit PL. Analisis hubungan antara GERD dan kejadian PL secara statistik memiliki perbedaan (x2= 8.058; df=1; p<0.01). secara prosentase dapat dijelaskan bahwa 100% pasien GERD memiliki penyakit PL dan 28.5% bebas PL. (Tabel 3). Hasil tersebut membuktikan pasien GERD memiliki kemungkinan lebih besar mengidap penyakit PL (perbandingan pasien GERD dapat berkembang menjadi PL adalah 4:1 dibandingkan pasien PL yang tidak memiliki penyakit GERD). Analisis tersebut membuktikan bahwa onset terjadinya salivasi yang meningkat, fenomena globus dan kebiasaan merokok muncul paling banyak pada pasien PL, sedangkan keluhan yang paling banyak pada pasien GERD adalah nyeri, sensasi globus dan semua pasien GERD memiliki PL. Studi ini tidak mereview korelasi kanker laring dan laringitis kronis dengan insidensi GERD dan PL.

Tabel 1. Munculnya peningkatan salivasi, batuk, sensasi globus, dan merokok pada pasien dengan PL pasien Peningkatan salivasi tidak ya total tidak ya total tidak ya total tidak ya total Tanpa PL Dengan 18 PL total 76 27 103 57 46 103 65 38 103 72 31 103 15 33 13 20 33 14 19 33 17 16 33 58 12 70 44 26 70 51 19 70 55 15 70 Gejala batuk Sensasi globus Merokok

Tabel 2. Onset nyeri dan sensasi globus pada pasien dengan GERD pasien nyeri tidak n Tanpa GERD Dengan 1 GERD total 79 76.7 24 23.3 103 100 65 63.1 38 36.9 103 100 0.9 4 3.8 5 4.8 0 0 5 4.8 5 4.8 78 % ya n % total n % Sensasi globus tidak n % ya n % 32 Total n 98 % 95.1

75.7 20

19.4 98

95.1 65

63.1 33

Tabel 3. Hubungan antara posterior laringitis (PL) dan gastroesophageal reflux disease (GERD) Diagnosis PL [n(%)] absent n GERD Absent present total 70 0 70 % 67.9 0 67.9 Present n 28 5 33 % 27.2 4.9 32.1 n 98 5 103 % 95.1 4.9 100 Total

Diskusi Epitel yang menutupi mukosa laring adalah ganda: semu, berbentuk silindrik, bersilia dan meliputi sebagian besar laring dan epitel skuamosa berlapis tanpa keratinisasi, meliputi pita suara dan permukaan epiglottic atas. Epitel skuamosa berlapis dari mukosa esophagus memiliki fungsi pertahanan terhadap serangan keasaman refluks, sementara struktur

supraesophageal tidak memiliki fungsi seperti ini,

dan dengan demikian diagnosis klinis GERD dapat disangkal karena dengan adanya metaplasia epitel, Berbeda dengan ini, manifestasi klinis PL disebabkan oleh suatu refluks Serangan refluks yang asam, yaitu pepsin, menyebabkan ulserasi mukosa dan perdarahan submukosa, sementara tripsin menyebabkan edema submukosa, namun penyebab peradangan kronis di bagian otorhinolaryngology disebabkan oleh GERD masih diragukan Hasil penelitian ini, sama dengan yang dilaporkan dalam sebagian besar studi analisis: dari 103 pasien yang diperiksa, 33 (32%) memiliki PL, yang darinya lima juga memiliki GERD, memberikan presentase 15%, sedangkan

kejadian PL dilaporkan di 35%, sementara kejadian GERD berkisar antara 10 dan 20% . Dari 33 pasien dengan PL, GERD terbukti terdapat pada lima pasien disebabkan oleh faktor lain Pasien dengan GERD

(15%) sedangkan sisanya

berada di kelompok dengan PL. Onset PL di sisa 28 pasien tanpa GERD bisa dijelaskan oleh kurang episode panjang dari refluks lambung (Jumlah serangan dan durasi), untuk menghasilkan metaplasia epitel pada ketahanan mukosa esofagus, diperlukan untuk diagnosis GERD.

GERD terjadi 60% pasien dengan radang tenggorokan kronis, serta 71% pasien dengan karsinoma laring. Penelitian dibuktikan bahwa terjadinya laringitis refluks berhubungan dengan fungsi waktu paparan refluks. Lamanya paparan dan banyaknya serangan memiliki korelasi positif dengan

GERD. Pengobatan pasien PL dengan PPI menyebabkan respon yang menguntungkan. Enam dari dua belas Pasien PL berespons terhadap terapi PPI dibandingkan dengan hanya satu respons positif dari 10 pasien yang diberikan plasebo Pemantauan berkala pasien dengan gastroesophageal refluks dianjurkan menggunakan videostroboscopy,\ biopsi dan pengobatan PPI minimal tiga minggu 6. Pada pasien dengan keluhan berkelanjutan dan gejala klinis nya terbukti, terapi dilanjutkan bahkan setelah tiga bulan. Terapi dihentikan pada kontrol rutin jika

pasien berubah gaya hidup dan jenis gizi, yang, dalam sinergisme dengan terapi, memberikan kontribusi terhadap pengobatan penyakit. Dalam kasus dugaan PL, uji omeprazole dapat dilakukan untuk memverifikasi atau menyingkirkan diagnosis. Efek omeprazol pada pengobatan GERD dibuktikan dengan pemantauan videostroboscopic dari perubahan dan pengamatan vocal cord related Pasien yang didiagnosis PL diberikan PPI meskipun GERD tidak dikonfirmasi oleh gastroskopi. Mereka sembuh adalah bukti tidak langsung NGERD. Enam dari dua belas pasien dengan PL memiliki nilai pH hypopharyngeal normal, tetapi dua dari 10 individu sehat memiliki nilai pH yang abnormal, yang dapat

mengarah pada kesimpulan bahwa nilai pH tidak signifikan berkorelasi dengan penyakit pada bagian posterior laring Penelitian pada pasien dengan fenomena globus sebagian besar dibuktikan diagnosis achalasia dan terganggu motilitas esofagus, sementara GERD dan PL jarang Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa GERD tidak berkorelasi dengan jenis kelamin, merokok dan heartburn, yang hasilnya sama dengan penulis lain pada pasien dengan fenomena globus Dalam penelitian ini, batuk dan sensasi globus terdapat pada 38% dan 27% pasien PL signifikansi statistik

tertinggi pada pH terganggu diamati pada pasien dengan karsinoma laring (71%) dan pasien dengan stenosis (78%) diikuti oleh pasien dengan sensasi globus (58%) dan mereka dengan PL (60%). Baik edema atau eritema adalah tanda spesifik dan eritema tidak selalu berhubungan dengan refluks. Namun demikian, diharapkan dari penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan masalah ini

Kesimpulan Penelitian ini menegaskan hubungan antara GERD dan PL, meskipun sejumlah besar pasien PL bebas dari GERD. Gejala umum yang paling sering untuk PL dan GERD adalah fenomena globus. Sementara itu, pengobatan PL menggunakan PPI adalah terapi yang paling rasional, bila tidak didapatkan penyebab yang jelas. Prosedur Terapi ditentukan oleh pemeriksaan klinis, analisis

laboratorium dan pemeriksaan endoskopi, Namun, penilaian klinis diperlukan dan akan mengarahkan pada keputusan akhir bila bukti yang tersedia tidak memberikan jawaban jelas

S-ar putea să vă placă și