Sunteți pe pagina 1din 163

A Historiography of Violence and the

Secular State in Indonesia: Tuanku


Imam Bondjol and the Uses of History

JEFFREY HADLER

This essay is a revisionist history of the Padri War and


the place of Tuanku Imam Bondjol in the intellectual
history of the Minangkabau people of West Sumatra,
of the Dutch colonial state, and of Indonesian
nationalism. The Tuanku Imam is an official “national
hero” from the early nineteenth century, a putative
Wahhabi, and leader of the Padri War, the first
Muslim-against-Muslim jihad in Southeast Asia. The
essay examines the Tuanku Imam in contemporary
sources and then his construction as a serviceable
trope of controlled Islam, Minangkabau patriotism, or
Indonesian nationalism by successive states. Using
memoirs by the Tuanku Imam and his son, Sutan
Caniago, the essay analyzes the Tuanku’s renunciation
of Wahhabism in the face of matrifocal opposition and
the interplay of three connected texts that serve to
secularize the story of the Padri War.

The Journal of Asian Studies Vol. 67, No. 3 (August) 2008: 971–1010.
© 2008 The Association for Asian Studies, Inc. doi:10.1017/S0021911808001228

1
A Historiography of Violence and the
Secular State in Indonesia: Tuanku
Imam Bondjol and the Uses of History

JEFFREY HADLER

This essay is a revisionist history of the Padri War and


the place of Tuanku Imam Bondjol in the intellectual
history of the Minangkabau people of West Sumatra, of
the Dutch colonial state, and of Indonesian nationalism.
The Tuanku Imam is an official “national hero” from the
early nineteenth century, a putative Wahhabi, and leader
of the Padri War, the first Muslim-against-Muslim jihad
in Southeast Asia. The essay examines the Tuanku Imam
in contemporary sources and then his construction as a
serviceable trope of controlled Islam, Minangkabau
patriotism, or Indonesian nationalism by successive
states. Using memoirs by the Tuanku Imam and his son,
Sutan Caniago, the essay analyzes the Tuanku’s
renunciation of Wahhabism in the face of matrifocal
opposition and the interplay of three connected texts that
serve to secularize the story of the Padri War.

The Journal of Asian Studies Vol. 67, No. 3 (August) 2008: 971–1010.
© 2008 The Association for Asian Studies, Inc. doi:10.1017/S0021911808001228

2
Sebuah Historiografy Tentang Kekerasan
dan Negara Sekuler di Indonesia: Tuanku
Imam Bondjol dan Penggunaan Sejarah

JEFFREY HADLER

Tulisan ini merupakan versi revisi sejarah


Perang Padri dan tempat Tuanku Imam
Bondjol dalam sejarah intelektual rakyat
Minangkabau di Sumatera Barat, sejarah
jajahan Belanda dan nasionalisme Indonesia.
Tuanku Imam adalah seorang pahlawan
nasional resmi dari awal abad ke sembilan
belas, seseorang yang dianggap beraliran
Wahabi, dan pemimpin Perang Padri, perang
Jihad pertama Muslim melawan Muslim di
Asia Tenggara. Tulisan ini meneliti Tuanku
Imam dalam sumber sumber kontemporer dan
kontruksinya Islam dengan segala
peraturannya, patriotisme Minangkabau atau
nasionalisme Indonesia setelah itu. Dengan
menggunakan memoir tentang Tuankum
Imam dan putranya Sutan Caniago, tulisan ini
menganalisi penyangkalan Tuanku terhadap
aliran Wahhabi dalam menghadapi
perlawanan matrifocal (matrilineal) tiga teks
yang berkaitan yang membuat kesan seakan
Perang Padri seakan perang yang sekuler,
tidak bernuansa agama.

3
Pada tanggal 6 November 2001, Bank Nasional Indonesia
mengeluarkan uang kertas yang menampilkan gambar Tuanku Imam
Bondjol. Gambar itu terlihat mencolok, dimana seorang pria dengan
wajah garang dan jambang panjang, mengenakan turban, dengan
jubah putih yang terurai di bahu sebelah kirinya. “Tuanku Imam
Bondjol” adalah sebuah gelar resmi yang diberikan kepada seorang
pria bernama Muhamad Sahab. Ketika kecil ia dipanggil Peto Syarif.
Lahir di daerah Minangkabau di Sumatera Barat sekitar tahun 1772 dan
wafat di luar kota Menado, Sulawesi Utara pada tahun 1854. “Tuanku”
adalah gelar yang diberikan kepada ulama tingkat tinggi di Sumatera
Barat yang merupakan kekuasaan yang diakui dalam ilmu-ilmu Islam
seperti tauhid, fikih dan tasauf. Sedangkan kata “Imam” menunjukkan
bahwa beliau adalah seorang pemimpin agama walaupun nama yang
kedua ini biasanya merujuk kepada beberapa karakteristik individual
dari orang orang yang dianggap alim. Paling tidak dari lima puluh
Tuanku yang merupakan generasi berikut dari Tuanku Imam Bondjol,
kita menemukan Tuanku Bujang, Tuanku Kecil, Tuanku Gemuk, Tuanku
Hitam, Tuanku Tua dan lain sebagainya (Sjafnir 1988). Kata “Bondjol”
merupakan ejaan lama dari kota Bondjol, kota dimana Tuanku Imam
Bondjol membangun bentengnya dan juga tempat dimana pada tahun
1833 hingga tahun 1837 beliau memimpin perang melawan
pencaplokan Belanda atas Dataran Tinggi Minangkabau. Pada makalah
ini, saya mengikuti konvensi Bahasa Indonesia dan penggunaan ejaan
lama daro kata Bondjol untuk merujuk kepada beliau dan kepada kota
kecil tersebut.

Di Indonesia, Tuanku Imam merupakan pahlawan nasional


resmi dari awal abad kesembilan belas, seorang yang dianggap
pengikut aliran Wahabi, dan pemimpin Perang Padri yang sering

4
digambarkan sebagai perang jihad pertama Muslim melawan Muslim di
Asia Tenggara. Sejak tahun 2002, para cendekiawan telah secara
konsisten menelusuri jejak sejarah kekerasan berbau Islam di Asia
Tenggara kembali pada perang ini dan kepada Tuanku Imam. Michaell
Laffan menunjukkan bahwa gerakan Padri sebagai contoh yang “paling
mencolok” dari apa yang ia sebut sebagai gerakan aktivis Islam,
kendati ia ragu apakah gerakan ini dapat dianggap sebagai gerakan
Wahabi (Laffan 2003, 399-400). Para cendekiawan yang lainnya tidak
terlalu mempermasalahkan akan Perang Padri tersebut. Pada bulan
September 2004, Merle Ricklefs memberikan kuliah tentang Islam dan
politik di Indonesia yang membuka dengan sebuah rujukan kepada
perayaan dua ratus tahun Perang Padri sebagai perayaan ke 200 tahun
reformis berdarah dan kekerasan Islam di Indonesia. Dan pada tahun
2005, Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta, memberikan perkuliahan
tentang militan Islam, yang mana ia sebutkan:

Kita jangan sampai terpedaya dengan


perkembangan-perkembangan terakhir ini.
Nyatanya, radikalisme di antara orang Islam di
Indonesia bukanlah hal yang baru. Walaupun
Islam di Asia Tenggara secara umum
dipandang sebagai Islam yang damai dan
moderat, akan tetapi sejarah Islam di kawasan
ini menunjukkan bahwa radikalisme di antara
orang Islam, sebagaimana yang akan dibahas
segera, telah hidup selama paling tidak dua
abad, ketika gerakan Padri yang dianggap
gerakan Wahabi di Sumatera Barat pada abad
ke 18 dan ke 19 memaksa orang Islam yang
lainnya di daerah itu untuk tunduk kepada
pemahaman agama Islam mereka. Gerakan
kekerasan ini bertujuan menyebarkan Islam
yang murni seperti yang dipraktikan oleh Nabi
Muhammad dan rekannya. Akan tetapi,

5
gerakan Padri gagal mendapat dukungan dari
mayoritas orang Islam dan hasilnya gerakan ini
merupakan satu-satunya hal ikhwal dari
radikalisme Muslim di seluruh Asia Tenggara.

Setelah peristiwa 11 September, kaum Muslim dapat


dimaafkan karena memperhatikan uang kertas tersebut, mendengarkan
perkataan dari para sejarahwan Indonesiaini, dan berfikir apakah
negara Indonesia telah warnai oleh pengaruh teror berbau agama.
Gambar Tuanku Imam Bondjol cukup memuakkan bagi para mereka
yang melihatnya yang terbiasa dengan gambar boneka dan orkestra
gong yang menggema seperti halnya beberapa kelompok Islam masa
kini seperti Laskar Jihad dan Front Pembela Islam.

Tapi bagi orang Indonesia dan kebanyakan sejarahwan


Indonesia, kemunculan gambar Tuanku Imam Bondjol pada uang
kertas 5000 rupiah tidak mengkhawatirkan dan mengagetkan. Di negeri
Belanda pada tahun 1928, Muhammad Hatta memberikan pidato
polemiknya dalam bahasa Belanda yang berjudul “Free Indonesia”.
Dalam pidatonya tersebut, Ia mencela Penjajah Belanda karena telah
memaksa kaum jajahannya untuk mempelajari pahlawan-pahlawan
legenda seperti William Tell, Giusepe Mazzini, William of Orange, dan
beberapa yang lainnya sambil meremehkan perjuangan-perjuangan
orang Indonesia dalam melawan pendudukan orang Eropa: “Maka
kebanyakan kaum muda Indonesia menyamai tuan-tuannya dan
memanggilnya pahlawan, seperti Diponegoro, Toeankoe Imam, Tengku
Oemar, dan banyak lainnya, ppemberontak, penjarah, penjahat, dan
lainnya’ (1928, 11). Setelah Hatta, sejak tahun 1945, Sukarno telah
merujuk Tuanku Imam Bondjol sebagai yang pejuang pertama dari tiga
serangkai pahlawan yang berperang melawan penjajahan Belanda:
Tuanku Imam Bondjol dari Minangkabau di Sumatera Barat,
Diponegoro dari Jawa Tengah dan Teuku Oemar dari Aceh (Soekarno

6
1950). Imam Bondjol kini merupakan sebuah nama jalan yang lazim di
beberapa kota di Indonesia. Universitas Islam Negeri di Sumatera Barat
dinamai Imam Bondjol. Dan pada bulan November 1973, Tuanku Imam
Bondjol secara resmi dijadikan sebagai pahlawan nasional, satu dari
sedikit yang hidup pada masa ketika konsep nasionalisme Indonesia
muncul.

Setelah lengsernya Suharto, ahli sejarah di Indonesia telah


mengalihkan perhatiannya pada tempat dari para pahlawan nasional
dan penciptaan sejarah Indonesia. Kajian-kajian ini bergantung kepada
masa-masa kekerasan di Indonesia dan trauma – pembunuhan tahun
1965 dan 1966, kerusuhan tahun 1999. Para cendekiawan juga telah
menganggap peran pahlawan nasional dalam konteks kedaerahan
mereka. Tuanku Imam Bondjol cukup menarik. Kisahnya telah ditulis
oleh penduduk dari sebuah provinsi yang jauh dari pusat pemerintahan
penjajah. Di daerah Minangkabau seringkali berkecamuk kekerasan
dan berseberangan dengan penjajah sementara masyarakat setempat
seringkali menganggap mereka sebagai bagian dari pusat
pemerintahan.

Saya akan secara singkat meninjau Perang Padri dan


menggambarkan masyarakat Minangkabau. Selain sumber-sumber
pada catatan kaki, pemahaman saya terhadap Perang Padri pertama
didasarkan atas memoir Tuanku Imam Bondjol sendiri. Keterangan
tertulis ini, sebagai salah satu sumber terpenting dalam kajian
mengenai Indonesia pada abad ke-19, memiliki sejarah yang cukup
bermakna. Terjemahan dari memoir ini, yang dibuat tahun 1839 muncul
pada awalnya sebagai appendix B pada seorang warga negara
Belanda pemaparan terhadap perang tersebut. Pada tahun 1910an,
versi bahasa Minangkabau dengan tulisan Arab dari memoir ini beredar
luas di Sumatera Barat dan ini digambarkan oleh Ph. Van Ronkel dalam
sebuah artikel pada Indische Gids (1915). Pada tahun 1939, L. Dt. R.

7
Dihoeloe menggunakan memoir ini dan mewancarai kaum tua untuk
menerbitkan pertama kalinya ringkasan memoir ini dalam bahasa
Melayu. Versi Dihoeloe yang kemudian menjadi sumber kisah tentang
Tuanku Imam Bondjol pada masa-masa berikutnya. Pada tahun 1979,
ahli sejarah Sjafrir Aboe Nain membenahi dan menulis kembali versi
asli dari memoir tersebut, dan menggunakannya dalam tulisannya yang
berjudul “Intellectual History of Islam in Minangkabau”, 1784-1832.
Transliterasi Sjafrir dari tulisan Naskah Tuanku Imam Bondjol, yang
saat itu dianggap sebagai sebuah komponen tambo (sejarah
tradisional) dari Naali Sutan Caniago, anak Tuanku Imam Bondjol,
tersedia hanya dalam 280 lembar kopinya saja. Hanya pada tahun
2004 transliterasi tersebut secara resmi diterbitkan oleh Pusat Studi
Islam dan Minangkabau di Padang.

Sumber sejarah Minangkabau penting lainnya bagi sejarah


Perang Padri adalah otobiograpi yang ditulis oleh Syekh Jalaluddin,
yang ditulis atas permintaan pemerintahan kolonial pada awal tahun
1820. Jalaludin kemudian diancam oleh kaum Padri dan tulisannya
memberikan sebuah sejarah reformasi Islam pada awal abad ke
delapan belas juga sebagai kritik terhadap kaum Padri dari gerakan
kaum reformis. Sejalan dengan ‘klarifikasi’ yang ditulias oleh Syekh
Jalaludin, memoir Imam Bondjol berlaku sebagai apa yang mungkin
dianggap otobiography yang pertama dalam Bahasa Melayu. Ini juga
merupakan tulisan yang menampilkan interioritas personal yang jelas
serta resonansi emosional yang dikarenakan ditulis secara simultan
untuk pembaca berbahasa Belanda dan untuk generasi mendatang
Minangkabau, dari perspektif seorang anak desa, dan bukan seorang
pesuruh juga seorang reformis Muslim yang menaruh perhatian
terhadap struktur keluarga dan kehidupan sehari-hari.

Jumlah tulisan dan buku yang ditulis oleh pemerintah kolonial


Belanda dan prajuritnya memberikan sumber tambahan tentang Perang

8
Padri. Hal in telah disintesiskan dalam monograph Christine Dobbin,
yang berjudul Islamic Revitalization in a Changing Peasan Economy:
Central Sumatera, 1784-1847 (1983). Penelitian Dobbin memang luar
biasa dan bukunya dipuji sebagai kajian yang paling lengkap tentang
jihad (Keddie 1994, 472). Perhatian saya terhadap budaya
Minangkabau muncul dari kajian saya sendiri tentang interaksi antara
Islam, budaya matrilineal; dan kolonialisme. (Hadler 2008).

Tulisan ini akan mengangkat beberapa hal, antara lain:

1. Posisi khusus Tuanku Imam Bondjol dalam perang menghasilkan


sebuah hasil yang luas dimana ia berperan penting dan dimana
para ulama lainnya kurang berperan penting.

2. Hasil dan historiography telah dikaitkan dengan usaha-usaha


negara untuk mengkontrol Sumatera Barat dan membatasi potensi
para reformis Islam dalam perang melawan pemerintahan kolonial,
Demokrasi Termpimpin, dan masa Orde Baru. Akan tetapi, hal ini
tidaklah membawa kita ke dalam pengertian yang sembrono akan
militan Islam dan penindasan. Akan tetapi kekhawatiran negara
akan pemberontakan Islam membawa kembali keinginan untuk
kedamaian dan konsiliasi. Perang Padri tidaklah terkenal,

3. Akan tetapi, sosok Tuanku Imam Bondjol tetap menjadi tokoh yang
teguh dalam perlawanan dan otonomi lokal masyarakat
Minangkabau. Menjelang akhir karir militernya, Tuanku Imam
Bondjol menjauhkan dirinya dari aliran Wahabi dan kekerasan antar
sesama anggota, kemudian merubah perang saudara menjadi
perang melawan agresi Belanda. Hidup Tuanku Imam Bondjol dapat
dibaca sebagai sebuah penolakan protonasionalis dari perpecahan

9
agama demi kepentingan kesatuan anti penjajahan. Dari tahun 1930
hingga tahun 1998 (denga jeda dari tahun 1950 sampai tahun
1957), Indonesia mengalami sejumlah rezim represive yang
mengawasi dengan ketat wacana politik dan secara efektif
mengkontrol penulisan sejarah. Tuanku Imam Bondjol muncul pada
tahun 1930an sebagai sebuah tokoh kunci yang bersejarah dalam
fiksi popular Sumatera. Fiksionasisi dari sejarah tidak hanya
mendapat pengawasan ketat tersebut tapi juga memancing debat
keras hhingga tahun 1960an, ketika penerbitan dari : “Tuanku Rao:
Hambali Islamic Teror in the Batak Lands” (1816-1833) memaksa
pemikiran ulang kembali akan kisah mengenai Perang Padri dan
kekerasan Tuanku Imam Bondjol.

Tinjauan

Suku Minangkabau terkonsentrasi di Sumatera Barat dan


merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia serta terkenal
di dunia sebagai suku bangsa dengan masyarakat yang matrilineal.
Peggy Sunday (2002) membuat sebuah argumen menarik tentang
kebiasaan masyarakat Minangkabau. Kaum elit menggunakan kata
bahasa Belanda ‘matriarchaat’ dan mengklaim bahwa dalam
egalitarianisme gender, masyarakat Minangkabau memang merupakan
masyarakat matrilineal. Tentu saja kontradiksi yang tampak antara
Islam dan matrilinealisme telah terbentuk selama dua ratus sejarah
Minangkabau. Masyarakat Minang terus berjuang dalam konflik:
warisan Islam, hak anak, dan hukum tempat tinggal semuanya bersifat

10
patrilineal dan patrilokal, sementara masyarakat Minangkabau terikat
erat dengan rumah rumah adat yang besar yang diwariskan dari
generasi wanita ke generasi yang lainnya, yang ditentukan oleh leluhur
wanita.

Orang Minang yang tinggal di Sumatera Barat memiliki rumah


besar. Rumah tersebut dibagi menjadi tiga area, area yang lebih rendah
yang dekat dengan pintu berfungsi sebagai tempat umum untuk
menerima tamu; daerah di tengah untuk makanan, yang juga dijadikan
tempat tidur untuk anak-anak, gadis dan wanita tua serta area di
belakang, yang merupakan beberapa kamar tidur yang disediakan
untuk kamu wanita menerima suaminya. Ketika seorang gadis menikah,
ia diberi sebuah kamar baru, kamar terbesar yang jauh dari pintu.
Wanita yang lainnya tergeser ke kamar lain. Jika kamar-kamar lainnya
sudah terisi, maka wanita yang paling tua terpaksa harus pindah ke
bagian lain dari rumah yang terletak di ujung. Jika wanita tua itu secara
seksual masih aktif, maka akan dibuatkan kamar baru. Jika tidak, maka
ia harus bergabung dengan wanita tua dan anak kecil di lantai jika
malam tiba. Jika anak-anak kecil itu mencapai pubertas, maka anak-
anak kecil pria harus pindah dari rumah yang berukuran panjang itu dan
tidur di surau. Ketika mereka tumbuh menjadi remaja pria, maka
mereka harus merantau dan meninggalkan desa untuk mencari
penghasilan di dunia luas, yang disebut dengan ‘rantau’. Hanya ketika
ia telah memperoleh nilai sosial tertentu melalui perdagangan atau
pendidikan, maka seorang laki-laki muda diperbolehkan kembali ke
desa sebagai calon mempelai pria potensial bagi anak gadis dari
keluarga lain. Banyak dari perantau Minangkabau ini tidak kembali dari
perjalannya, namun lebih memilih menetap di kota-kota besar diseluruh
Indonesia. Mulai dari Borneo, Semenanjung Malay, dan Sulawesi,
desa-desa dan pemerintahan lokal mulai mengikuti jejak menganut
Islam dan bahkan mengikuti penampilan para pengelana Minangkabau
ini. Dan meskipun mereka memiliki struktur sosial matrilineal, orang

11
Minangkabau pada umumnya dianggap sebagai salah satu kelompok
etnis yang religius (Walapun standard-standard untuk mengukur tingkat
religius dan kemampuan aplikasinya pada unit-unit masyarakatnya
diluar individual sulit untuk ditentukan).

Laporan awal abad keenam belas menunjukkan bahwa


setidaknya seorang Raja Minangkabau telah menganut Islam (Pires
1990, 164), dan seorang berketurunan Portugis yang mendatangi
pegunungan ini pada tahun 1684 melaporkan para haji di kalangan
bangsawan (Dias 1995). Minangkabau hanya mengalami gerakan yang
terorganisir dan bersifat institusional untuk beralih pada Islam pada abad
ketujuh belas ketika sebuah pusat tarekat Sufi (organisasi mistis)
dibentuk di pesisir pantai Ulakan (Amrullah 1929; Suryadi 2001, 2004).
Azra menyatakan bahwa “para pemercik reformisme” (2004, 145)
pertama kali terpicu pada akhir tahun 1600 ketika para anggota dari
jaringan kerja siswa Ulakan menyaksikan dengan kekecewaan atas
terlalu berlebihannya para rekan mereka dalam memperingati kematian
pendiri tarekat. Pada abad kedelapan belas, permintaan Amerika dan
Eropa atas kopi, merica, dan kayu manis menciptakan suatu ledakan
pada perekonomian pegunungan yang merusak sistem perdagangan
tradisional dan mendatangkan pengaruh-pengaruh intelektual baru
melalui pelabuhan Tiku, yang berjarak dekat dari Ulakan. Desa-desa
terpencil dengan tanah yang tandus mengeruk kekayaan dengan
menanam tanaman baru yang sangat menguntungkan tersebut,
sehingga mengancam pengaruh para petani beras yang menganut
paham tradisional. Banyak para reformis Muslim yang berasal dari desa-
desa yang mendadak makmur ini (Dobbin 1977). Pada akhir abad
kedelapan belas, reformasi Islam telah membawa tarekat
Naksyabandiyah, Syattariyah, dan Qadiriyyah kepada pegunungan, dan
sekolah Islam yang dikepalai oleh Tuanku nan Tuo menjadi pusat bagi
pergerakan reformis.

12
Syekh Jalaluddin mengingat cerita-cerita ayahnya mengenai
periode sebelum perang saudara pada tahun 1780 dan perubahan-
perubahan keagamaan yang tengah terjadi di minangkabau (Kratz dan
Amir 2002). Jalaluddin menggambarkan situasi-situasi keagamaan di
Minangkabau pada akhir abad kedelapan belas ketika ayahnya
merupakan seorang reformis Islam dan seorang pendidik. Pada tahun
1780, sekolah-sekolah agama yang terpusat menyebar sepanjang
daerah pegunungan. Para reformis berpindah dari sekolah yang berada
dibawah pengaruh Sufi lama di Ulakan, berjarak dekat dengan kota
pesisir Pariaman, dengan menempuh perjalanan melalui Kamang dan
Rao di daerah pegunungan, dengan singgah sebentar di koto Gadang,
dan akhirnya menetap di Batu tebal dimana pada akhirnya mereka
mendapatkan dukungan yang memadai untuk mempertahankan empat
puluh jemaah yang diperlukan untuk menjalankan shalat Jumat.
Merupakan sebuah kesalahan besar dengan menganggap bahwa
pendidikan agama pada periode pra-Padri, para penduduk Minangkabau
sebelum dijajah sepenuhnya ditempatkan dan dipusatkan pada rumah-
rumah ibadah di pedesaan. Para cendekia agama menyebarkan
pengalaman dan koneksi pada pusat-pusat keagamaan di mekah,
madinah, dan bahkan Aceh—dunia pembelajaran Islam pada dasarnya
bersifat kosmopolitan. Para reformis ini mulai menciptakan serangan
kedalam pusat kota. Dan pusat-pusat tarekat yang memegang peranan
penting, khususnya dengan guru-guru yang berkuasa, telah lama
menarik hati para pengikut.

Pemberian perhatian pada kehidupan pribadi dan perilaku sehari-


hari merupakan pembicaraan yang umum dan berbeda pada dunia
Islam pada akhir abad kedelapan belas (Metcalf 1982). Sepanjang awal
tahun 1700, Islam dan ulama terutama menyoroti pemerintahan dan
kerajaan. Namun, pergerakan-pergerakan baru reformis Islam ini lebih
terlibat dengan kehidupan sehari-hari rakyat; fatwa membahas masalah-
masalah kehidupan berkeluarga, pernikahan, dan tata cara yang sesuai

13
agama. Mulai dari Afrika Barat melalui Asia Selatan dan masuk kedalam
dunia Melayu, akhir abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan
belas menghadirkan reformis Muslim lokal dan pergerakan-pergerakan
pembangkitan kembali yang memiliki tujuan yang sama dan retorika
keras yang sama (Hardy 1972, 53; Jones 1994, 18-20; Ahmed 1996, 39;
Vikor 1999).

Namun, meskipun kaum Padri memiliki banyak pembaruan,


mereka lebih mendalam menentang kebiasaan adat lokal; hak waris
matrilineal Minangkabau dan tempat tinggal setelah menikah harus di
pihak wanita yang sangat berlawanan dengan hukum syariah dan tidak
mungkin diabaikan. Telah muncul konsekuensi bagi pembicaraan baru
mengenai kehidupan pribadi ini. Di Indonesia, perhatian pada kehidupan
keluarga dan kehidupan sehari-hari pada akhir abad kedelapan belas
dan awal abad kesembilan belas menandakan apa yang pada awal
abad keduapuluh dikenal sebagai moderen. Pada abad kesembilan
belas, lingkup publi bagi Islam dikembangkan seputar permasalahan
bahwa negara penjajah tidak berbagi (walaupun Belanda, dan, pada
tingkat yang lebih rendah, Inggris memang berupaya mengendalikan
kehidupan pribadi dari rakyat yang dijajahnya). Para muslim tidak
diperkenankan berpolitik—di Hindia Belanda bagian timur, para haji
dilarang bekerja pada pemerintahan sipil kolonial—namun mereka
bersikap “politis” dalam membahas masalah-masalah sosial. Dari Mekah
pada akhir abad kesembilan belas, Shiekh Ahmad Khatib dari
Minangkabau berkampanye melawan hak waris matrilineal di daerahnya
(Huda 2003). Para muridnya dan pembacanya menjadi inti pergerakan
reformis awal abad kedua puluh. Ketika pada tahun 1910, pemerintah
kolonial mencoba memperkenalkan politik partisipasi nominal pada
pribumi, mereka mengharapkan sebuah proses perlindungan diri yang
panjang. Bagi para ulama, pembelajaran perubahan tidak diperlukan
untuk perilaku yang bertentangan dengan agama, dan menjadi mimpi
buruk bagi pemerintah kolonial, mereka jatuh kedalam lingkungan politik

14
yang sepenuhnya dikembangkan oleh para ulama.

Terjebak dalam gelombang reformasi Islam pada abad kedelapan


belas, Tuanku nan Tuo, seorang reformis moderat dimana ditangannya
kaum Padri di masa mendatang bersatu, mendesak aplikasi hukum
Islam yang lebih ketat, kehadiran yang lebih baik pada shalat Jumat,
pelarangan judi dan mabuk, dan penghentian perampokan dan
perbudakan yang tiba dengan perdagangan yang meningkat.
Perdagangan ini juga menghasilkan kekayaan baru, dan lebih banyak
orang memiliki sarana untuk menjalankan ibadah haji. Hijaz dan Mekah
menjadi penuh dan gempar pada akhir abad kedelapan belas dan awal
abad sembilan belas. Dari dekade akhir abad kedelapan belas, para
Wahabi terlibat dalam kampanye penaklukan di sana, untuk sementara
waktu menempati Mekah pada tahun 1803 dan merebut kota tersebut
dari tahun 1806 sampai 1812. Para pengikut Wahabi menolak
interpretasi tekstual karena inovasi dan permintaan yang bersifat taat
pada cara hidup yang mengikuti Al-Quran dan Hadits. Di Hijaz, kaum
Wahabi membakar buku-buku, menghancurkan kubah, menghancurkan
makam-makam dan situs perjalanan suci, dan menurut seorang
cendekia yang kecewa, mereka juga terlibat dalam sebuah “kampanye
pembunuhan dan penjarahan di seluruh Arab” (Algar 2002, 20).

Suatu waktu setelah pendudukkan Wahabi pada tahun 1803, tiga


orang haji dari Minangkabau kembali dari Mekah, dimana, menurut
setiap catatan sejarah, mereka telah dipengaruhi oleh ajaran laskar
penakluk itu. Namun, kejadian yang kebetulan bukanlah merupakan
bukti, dan tidak dalam satu catatan Minangkabau apapun yang
ditemukan menyebutkan Wahabisme pada era perang Padri. Meski
demikian, beberapa nasionalis Indonesia berfokus pada penolakan yang
jelas dari Tuanku Imam Bondjol atas ajaran Wahabisme ini dan
merangkul sebuah visi masyarakat Minangkabau yang melibatkan kaum
elit tradisional. Penulis lainnya menyatakan bahwa beliau tidak pernah

15
terlalu puritan, dengan menunjuk pada buku catatan yang disimpan oleh
orang-orang Bonjol yang berisi tulisan Tuanku mengenai peramal (Dawis
dan marzoeki 1951, 65--75). Sebuah teks yang didapatkan di benteng
Bonjol dan sekarang disimpan di ruang baca manuskrip perpustakaan
Universitas Leiden menunjukkan ilustrasi rumah tangga Nabi
Muhammad dan situs-situs suci di Mekah. Ini bukanlah bahan bacaan
yang tentunya disetujui ajaran Wahabi. Di Indonesia saat ini, Imam
Bondjol disamakan dengan seseorang dengan keyakinan religius
mendalam, protonasionalis dan perlawanan anti-kolonial, dan bahkan
patriot Minangkabau. Opini populer ini juga dinyatakan oleh para
cendekia seperti E. B. Kielstra (1887) dan B. Schrieke (1920), yang
menambahkan bahwa Tuanku Imam Bondjol, dan bahkan pergerakan
Padri secara umum, seharusnya tidak dianggap Wahabi. Kaum Padri
mengizinkan para peziarah (yang menjalankan haji) untuk berziarah ke
makam, tanpa berupaya untuk menetapkan suatu hierarki pada
pemerintahan Minagkabau yang terdesentralisasi secara tradisional, dan
mengizinkan para muslim untuk menghormati kelahiran Nabi
Muhammad melalui perayaan Maulid (Pada pernyataan terakhir ini,
Schrieke merujuk pada Jalaluddin, yang tentunya bukan seorang Padri;
lihat Dobbin 1972, 9; Steenbrink 1984, 35-36).

Namun, setiap komentator kontemporer dari Belanda dan Inggris,


dan setiap partisipan dalam perang, tidak ragu untuk mengindikasikan
bahwa pergerakan ini didasari pada ajaran Abdul Wahab. Dalam sebuah
surat tahun 1820 yang ditujukan pada William Marsden, Thomas Raffles
menyatakan bahwa kaum Padri “nampaknya menyerupai Wahabi dari
padang pasir. Mereka telah membuktikan bahwa mereka tidak berbelas
kasihan dan tiran; namun peraturan mereka nampaknya diperhitungkan
untuk direformasi dan diperbaiki, karena peraturan mereka
memperkenalkan semacam wewenang yang sangat diinginkan diseluruh
Sumatera” (1835, 84). P. J. Veth, dalam pendahuluannya pada catatan
religius dari perang Padri, menghubungkannya dengan Wahabi (Stuers

16
1849, xcix), dan pada sejarah Sumatera pertama yang ditulis dalam
bahasa Melayu, yang ditulis dengan suatu bias anti-padri, pengaruh
Abdul Wahab ditegaskan sebagai fakta (Moeda 1903, 55). Pada tahun
1939, salah satu penulis biografi fanatik Tuanku tanpa ragu akan
menyebut pergerakan Padri sebagai “Wahabi” (Dihoeloe 1939, 29-30).
Label “Wahabi” pada awalnya dianggap sebagai sebuah penghinaan,
yang mengindikasikan bahwa ideologi reformis sama sekali tidak asing
dalam konteks Melayu. Saat ini, Wahabisme Padri merupakan masalah
kebanggaan bagi para Muslim reformis Indonesia yang radikal. Tidak
mungkin mengetahui dengan sangat pasti apakah ketiga haji tersebut
secara langsung dipengaruhi oleh Wahabisme ketika tengah berada di
Mekah (Roff 1987, 37-39). Satu hal yang jelas ialah bahwa bagi para
haji yang kembali ini, budaya Minangkabau tradisional tidak dapat
diterima; matrilineal dan rumah gadang matrilokal tidak dapat
dikompromikan dengan ajaran esensial Islam. Salah seorang haji, yang
dikenal sebagai Haji Miskin, bersekutu dengan para reformis yang lebih
tidak sabar dalam lingkungan Tuanku nan Tuo yang telah mendirikan
desa-desa yang dibentengi, menumbuhkan janggut, memakai jubah dan
turban, dan berupaya menciptakan kembali budaya Arab di
pengunungan Sumatera Barat. Kombinasi dari reformis lokal dan
semacam pengaruh yang menyerupai Wahabi inilah yang kemudian
dikenal sebagai pergerakan Padri. Pada sebuah penentangan terbuka
dengan kekerasan terhadap kaum pendukung Materi, ektremis kaum
Padri, Tuanku nan Renceh, membunuh bibi dari pihak ibunya (Steijn
Parvé 1854, 271-72). Kaum Padri mendeklarasikan jihad melawan kaum
elit matrilineal, dengan membakar rumah gadang dan membunuh para
tokoh pemuka tradisional yang menjunjung tinggi adat dihadapan
perintah agama. Perang Padri ini merupakan serangkaian konflik yang
berlarut-larut, dan “negara” Padri, yang dipengaruhi oleh tradisi politik
Minangkabau yang bersifat desentralisasi dan demokratis, kekurangan
hierarki administratif yang jelas. Desentralisasi kekuasaan

17
memungkinkan semacam peperang gerilya yang tidak mendorong
pertempuran yang klimatis atau tragis. Pada tahun 1815, kaum Padri,
dengan menggunakan skenario pembicaraan damai, membantai rumah
bangsawan Pagaruyung yang berjarak dekat dengan Batu Sangkar (H.
1838, 130). Mereka berbalik melawan Tuanku nan Tuo dan Syekh
Jalaluddin, dengan menyebut mereka Rahib Tuo dan Rajo Kafir (Kratz
dan Amir 2002, 41).

Selama dua puluh tahun, perlawanan sporadis diantara reformis


dan tradisionalis memaksa Sumatera Barat dalam keadaan tidak stabil.
Bertekad untuk merehabilitasi perekonomian Belanda pasca perang
Napoleon (terlebih lagi setelah mundurnya Belgia pada tahun 1830) dan
dengan teriming-imingi rumor emas dan kekuasaan istana
Minangkabau, pada tahun 1821, pemerintah kolonial Belanda kembali
ke pelabuhan Padang, menandatangani perjanjian dengan tradisionalis,
dan mengirimkan pasukan menuju perbukitan. Pada titik inilah dimana
arsip Belanda yang luas mengambil alih catatan sejarah Perang Padri.
Menurut sejarah ini, serangkaian kesepakatan dan penghianatan pada
seluruh pihak yang berkonflik membubuhkan dua belas tahun
pertempuran yang sulit. Namun pada tahun 1830, Pihak Belanda
mampu memperkuat kembali pasukan mereka dengan tentara Belanda
dan orang Jawa yang baru memenangkan pertempuran melawan
Diponegoro, dan pada tahun 1832, Belanda telah mengalahkan Bonjol
dan nampaknya menggabungkan Sumatera Barat kedalam jajahannya
yang semakin berkembang. Namun, jatuhnya kaum Padri pada tahun
1833 diikuti oleh penyatuan reformis muslim dan tradisionalis matrilineal
dalam sebuah perlawanan baru terhadap pendudukan asing. Enam
tahun selanjutnya berlangsung peperangan yang ganas, dan pada tahun
1838, Minangkabau dikalahkan, para pemimpin mereka dibunuh atau
diasingkan seperti halnya Tuanku Imam Bondjol. Menurut catatan arsip
dan sejarah yang ada dari Belanda, kemenangan ini dihasilkan dari
masuknya Belanda kedalam kopnflik pada pihak tradisionalis adat

18
matrilineal yang mencegah Sumatera berubah menjadi pos Wahabi
yang permanen. Memoar Tuanku Imam Bondjol mengungkap
kebohongan pada cerita ini.

Ketika para reformis dikalahkan secara militer, argumen-argumen


mereka atas interpretasi yang ketat atas Al-Quran dan Hadits tetap
diyakini di Sumatera Barat. Selama dua abad, para intelektual
Minangkabau telah terpanggil untuk mmebela keberadaan adat
matrilineal dihadapan kritik yang kuat dari para reformis Islam. Dan
meskipun terdapat prediksi secara terus- menerus atas kematian yang
mendekat atas “matriarchate” Islam mereka, orang-orang Minangkabau
telah berhasil mempertahankan dan memperkuat tradisi yang bersifat
matrilienal mereka. Perang Padri dan kritik reformis atas adat
Minangkabau mendesak para pendukung adat untuk menyatakan dan
mempertahankan legitimasi kepercayaan mereka. Secara paradoks,
neo-Wahabismelah yang memelihara adat matrilineal di Minangkabau;
di Kerala di India bagian Selatan dan negeri sembilan di Malaysia, adat
matrilineal runtuh dibawah serangan yang lebih merusak dari negara
kolonial dan pelopor modernitas awal abad kedua puluh (Peletz, 1988,
1998; Arunima 2003).

Perang (Kata-kata)

Pegunungan Minangkabau, dimana ketiga haji “Wahabi” kembali,


tidaklah statis. Perkebunan kopi kecil telah menghasilkan kekayaan
individual yang cukup besar, dan pusat-pusat Islam lokal dan tarekat
telah ada, yang membangun sebuah jaringan kerja regional dari
pengaruh religius dan persahabatan. Sebuah sistem jalan setapak yang

19
luas yang menghubungkan desa-desa pegunungan ke pesisir barat dan
ke sungai-sungai yang mengalir dari timur ke Selat Malaka (Asnan
2002). Pasar harian yang berotasi bergantian diantara berbagai kota,
parameternya ditandai oleh jarak dimana seekor lembu yang bermuatan
penuh barang dapat pulang dan pergi pada satu malam. Pasar ini
merupakan sebuah kesempatan untuk menyebarkan berita, untuk
menceritakan cerita-cerita tradisional, dan untuk mendapatkan relasi di
luar desa. Hal ini merupakan prototipe rantau—sebuah kesempatan bagi
perjaka muda untuk meninggalkan rumah dan mendampingi ibu dan
ayah mereka mengarungi dunia yang lebih luas, meskipun masih
terbatas. Sistem pasar ini merupakan salah satu sarana utama dimana
identitas dan bahasa Minangkabau dipelihara. Dan perampokan yang
merajalela—masalah utama kaum Padri—telah mengacaukan sirkuit
tradisional ini.

Catatan asal-usul Tuanku Imam Bondjol menegaskan bahwa


orang tua beliau ialah orang arab atau bahkan orang Maroko (Djaja
1946, 5). Tergantung dari penulisnya, perubahan narasi ini mungkin
telah memperbaiki catatan identitas Tuanku sebagai Muslim (khususnya
karena beliau bukan seorang haji) atau menghilangkan asosiasi Melayu
dan protonasionalisnya (dengan ini menjelaskan sebagai keturunan
Arab, kaum Padri memiliki kecenderungan terhadap kekerasan dan
kebencian terhadap wanita). Dalam memoarnya sendiri dan dalam
catatan Belanda pada periode yang sama, sama sekali tidak disebutkan
nenek moyang asing. Beliau merupakan seorang penduduk desa dari
bukit Alahan panjang di bagian utara pegunungan Minangkabau. Alahan
Panjang merupakan wilayah yang miskin dan gersang, dan anak laki-laki
lokal khususnya didorong untuk bermigrasi keluar dan mencari
kekayaan. Tuanku Imam Bondjol muda menjelajahi jaringan kerja
sekola-sekolah Islam, dengan belajar pada guru-guru yang berbeda
sesuai dengan spesialisasi mereka. Yang terpenting, beliau merupakan
murid dari ayahnya sendiri, Khatib Bayanudian, dan pada akhirnya

20
bergabung dengan surau ayahnya sebagai guru dengan gelar Peto
Syarif.

Sebagai seorang alim muda pada akhir tahun 1790, Tuanku


mengantar pelindungnya, Ketua adat Datuk Bandaharo, ke pusat
reformis yang dipimpin oleh Tuanku nan Tuo. Tuanku dan Datuk
merupakan bagian dari pergerakan reformis disana ketika ketiga orang
yang telah haji kembali, dan Tuanku sangat terinspirasi oleh ajaran yang
menyerupai Wahabi dan cara berpakaian yang mereka pakai dan
panggilan hati mereka untuk kembali pada syariah. Beliau bergabung
dengan Padri, namun beliau tidak dianggap menjadi salah satu yang
kasar dan agresif diantara mereka, terdapat satu kelompok yang dikenal
sebagai Harimau Nan Salapan (Delapan Macan). Dari memoar ini, jelas
bahwa Datuk Bandaharo merupakan penjaga rahasia Tuanku dan
mungkin pemimpinnya. Pada awal tahun 1800, kedua orang ini
membangun benteng Padri di Alahan Panjang untuk membayar jihad
mereka. Kekuatan anti-Padri berkonsentrasi melawan mereka, dan
Datuk Bandaharo diracun dan meninggal. Pada titik inilah Tuanku
merelokasi bentengnya ke dasar Gunung Tajadi di desa Bonjol, yang
kemudian berubah menjadi Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1807.

Perang Padri, sampai ke intervensi Belanda, merupakan perang


saudara yang pahit. Tuanku Imam Bondjol melihat pada kedelapan
Macan, dan khususnya Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh, mengikuti
mereka sebagai contoh dan menjadikan bentengnya sebagai pusat jihad
di daerah utara. Berdasarkan memoar beliau, kita mengetahui bahwa
Tuanku Imam Bondjol mengatur pembakaran desa Koto Gadang dan
memerintahkan Tuanku Tambusai dan Tuanku Rao untuk membawa
jihad lebih jauh ke utara sampai dataran Batak. Benteng Bonjol menjadi
semakin makmur karena Tuanku Imam Bondjol merampas ternak, kuda,
hasil pertambangan, dan budak-budak selama kampanyenya. Pada titik
ini dalam karir Tuanku, Belanda bergabung didalam pertempuran dan di

21
lembah-lembah utama perlahan mulai mencaplok wilayah Padri. Haji
Miskin telah terbunuh (Tuanku Nan Renceh kemudian meninggal
dikarenakan penyakit), dan tempat kekuasaan Padri beralih menuju
utara, ke Bonjol. Kekuatan tuanku Imam menghasilkan keberhasilan
yang besar dalam mengislamkan Batak bagian selatan dan bahkan
mencapai tepi Danau Toba. Ia membuat kontak dengan para pemimpin
Muslim di Aceh dan berdiri tenang memimpin pergerakan penggugah
yang menyebar di seluruh bagian utara Sumatera. Sementara Belanda
muncul di pusat Minangkabau dan mulai secara langsung melawan
kekuatan Bonjol, Tuanku Imam berada dalam posisi militer yang kuat.
Kavalerinya dan pengetahuannya atas dataran dan pegunungan
tidaktertandingi, dan pasukannya terbukti mampu mengalahkan
kekuatan Belanda (Kroef 1962, 151-53; Clarence-Smith 2004, 276).
Kendali atas sawah dan tanah perkebunan, dan juga pertambangan
emas, menjamin makanan dan perbekalan para tentaranya. Namun,
pada memoarnya, tuanku merasa ragu dan merasa perlu untuk
menegaskan kembali fokus perjuangannya. Beliau merenung selama
delapan hari dan kemudian memanggil para penasehatnya untuk
pertimbangan mendalam. “Terdapat banyak hukum Quran yang telah
kita abaikan. Bagaimana menurut kita?” (Adapun hukum kitabullah
banyaklah nan terlampau dek oleh kita. Itupun bagaimana pikiran kita?)
Para penasehatnya menegaskan, “Kita telah mengabaikan banyak
hukum Quran” (Banyak lagi nan terlampau hukum kitab oleh kita) (Imam
Bondjol 2004, 39).

Dengan barang rampasan beliau, Tuanku mendanai empat


pengikutnya, termasuk Tuanku Tambusai dan keponakan matrilinealnya
bernama Fakih Muhammad, mengirim mereka untuk menjalankan haji
untuk memperoleh “hukum Allah yang sesungguhnya” (kitabullah nan
adil/hukum Kitabullah sebenarnya) di Mekkah (Imam Bonjol 2004, 39-
40). Tuanku terus berperang secara agresif, membakar desa-desa
musuh, membunuh bangsawan, dan membangun mesjid. Namun sang

22
haji kembali dengan berita yang tidak diharapkan: Mereka melaporkan
bahwa di Mekah, kaum Wahabi telah jatuh dan hukum-hukum yang
dipelajari oleh Haji Miskin tidaklah benar. Didalam teks naskah, Tuanku
Imam Bondjol sekarang membuat perubahan naratif yang luar biasa.

Tuanku Imam Bondjol semakin berhati-hati dan penuh


penyesalan. Beliau segera mengembalikan rampasan perang dan
mengadakan rapat besar yang terdiri atas seluruh Tuanku dan hakim,
basa dan panghulu (pemimpin adat), mendeklarasikan gencatan senjata
dan menjanjikan bahwa beliau tidak akan lagi turut campur dalam
pekerjaan wewenang tradisional. Sementara perselisihan tetap tidak
terselesaikan, rakyat setuju untuk mengikuti hukum adat basandi syarak
—syariah sebagai dasar adat.

Dan mereka menerima hukum Al-Quran dan mereka mengikuti


Quran. Sehingga, seluruh barang rampasan perang dikembalikan
kepada para pemiliknya. Dan pada hari Jumat, ketika semua
orang tiba di mesjid, dan mereka belum memulai shalat mereka
kemudian Tuanku Imam, dihadapan seluruh hakim, memperbaiki
beberapa hal sehingga kembali seperti semula. “Saya berbicara
kepada seluruh pemimpin adat dan seluruh bangsawan di negara
ini. Dan meskipun lebih banyak musuh akan datang dari segala
penjuru arah daripada memerangi mereka, kamu para pemimpin
adat dan saya akan tinggal dibawah rasa hormat atas satu sama
lain dan perdamaian dan saya tidak akan lagi campur tangan
dalam kehidupan para pemimpin adat di Negari Alahan Panjang.
Sehingga saya mengembalikan segala yang apa buruk dan baik
di nagari ini” [konfederasi desa].

Dan terbawalah hanyolai hukum kitabullah dan terpakai kitabullah

23
hanyolai. Jadi pulanglah segala harta rampasan dankembali
hanyolai kepada segala yang punya dan pada hari Jumat dan
sekalian sudah tiba dalam mesjid, antara lagi belum lagi
sembahyang maka beliau Tuanku Imam memulangkan hanyolai
masa itu dan sekalian hakim. “Kepada sekalian basa dan
penghulu dengan segala raja-raja dalam nagari ini. Dan jikalau
ada lagi datang musuh dari kiri dan kanan melainkan lawan oleh
basa dan penghulu saya hendak tinggal dituahnya hanyolai dan
tidak lagi saya amoh masuk dalam pekerjaan segala basa dan
penghulu di dalam nagari Alahan Panjang ini. Dan memulangkan
saya buruk dan baik nagari ini”

“Sekarang anda berbicara kepada kami seperti ini Tuanku dan


pada Andalah sekarang harapan kami berlabuh. Anda akan
menggantikan para tetua kami, dan jika dijajah atau ditekan, kami
akan mengadu pada anda dan anda akan menjadi pelindung
kami.” Ini merupakan permintaan seluruh pemimpin adat pada
Tuanku Imam. Sehingga mereka mengaplikasikan hukum sesuai
dengan ajaran Quran. Dan para pemimpin adat menggunakan
hukum adat basandi syarak—syariah sebagai dasar adat. Dan
jika ada masalah dengan adat, maka akan dibawa pada para
pemimpin adat. Dan jika terdapat masalah dengan hukum Islam,
maka akan dibawa kehadapan empat ahli Islam. Sehingga,
informasi ini menyebar pada setiap nagari dan luhak dari nagari
Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai [garis depan Mandailing]
sampai ke Agam dan Tanah Datar, sampai 50 Koto dan Lintau.
Dan sehingga sampai hari ini setiap nagari menggunakan divisi
pemerintahan ini.

24
“Sungguhpun demikian, kata Tuanku kepada kami, melainkan
Tuanku juga yang kami harapkan. Adapun Tuanku oleh kami
akan ganti ninik mamak oleh kami dan kalau sasak dan
sempitnya pada kami melainkan tempat mengadu juga dan
pemelihara Tuanku juga kepada kami.” Itulah permintaan
sekalian basa dan penghulu kepada Tuanku Imam. Dan
kemudian itu terpakailah hukum nan sepanjang kitabullah. Dan
jikalau ada bersalahan adat pulang kepada basa dan penghulu.
Dan jikalau ada bersalahan kitabullah pulang kepada malin nan
berempat. Maka masyurlah tiap-tiap nagari dan lukah dan nagari
rao Tambusai lalu pula ke luhak Agam dan luhak Tanah Datar
sampai sekarang kini, lainnya terpakai juga pada tiap-tiap luhak
dan nagari. (Imam Bonjol 2004, 53-55)

Ini merupakan teks yang rumit dan yang bahasanya menyimpang dari
naratif lain yang langsung tanpa basa basi dari naskah Tuanku Imam
Bonjol. Tuanku menulis memoarnya selama berada dalam pengasingan
di ambon dan Manado (lihat gambar 2). Beliau memikirkan pembaca
ganda yaitu pemerintah kolonial Belanda dan generasi Minangkabau,
dengan mengetahui bahwa pihak militer Belanda akan membaca
memoar itu dan anaknya akan membawa memoar tersebut ke Sumatera
Barat. Rapat yang digambarkan di sini merupakan saat transformasi
dalam sejarah Minangkabau. Perang Padri sebagai perang reformasi
Islam ditinggalkan. Tuanku menyerah dalam perjuangannya
memurnikan Islam di Minangkabau dan segera meninggalkan rumahnya
dan mesjidnya di Bonjol. Bahasa yang digunakan beliau juga terlalu
ambigu. Beliau pada saat yang bersamaan disanjung dan dicemoooh
oleh para mantan musuhnya.

Dalam memoarnya, kehendak Tuanku Imam untuk melawan


sesama saudara Minangkabaunya hancur ketika beliau mengetahui

25
bahwa ajaran Wahabi tidak dapat dipercaya. Dalam sebuah tindakan
dengan keberanian moral yang besar, Tuanku kepada publik
mengumumkan ideologinya, menciptakan perbaikan, dan meminta maaf
atas penderitaan yang telah disebabkan perang ini. Dalam memoarnya,
para musuh Imam Bondjol merespon secara kaku, memandang beliau
sebagai seorang pelindung. Namun masih terdapat beberapa
ambiguitas dan bahkan kemarahan dalam bahasa yang digunakan.
Mereka menuntut Tuanku Imam menggantikan para tetua mereka,
orang-orang cenderung terbunuh oleh kaum Padri dalam peperangan
mereka melawanan kekuasaan tradisional. Dan tidak jelas apakah
Tuanku Imam menunjuk pengganti atau secara langsung mengambil
nyawa orang-orang yang ia bunuh. Dalam harapannya akan kedamaian,
Tuanku menggunakan istilah dituahnya. Ini merupakan bentuk
pemberkahan dari pihak bangsawan yang umumnya dilakukan oleh
jenis-jenis bangsawan yang ingin dihilangkan oleh kaum Padri. Tuanku
Imam Bonjol mengembalikan status quo sebelum perang saudara,
dengan membatasi kekuasaan agama pada urusan syariah dan
mengizinkan para pemimpin adat untuk membahas maslaah-masalah
sosial. Beliau menyatankan bahwa “adat basandi syarat”—syariah akan
bersifat fundamental, bahkan pada pertanyaan-pertanyaan adat sosial.
Bahkan pegawai pemerintah Belanda melaporkan pada tahun 1837
penerimaan yang meluas atas formula ini, “Adat barsan di Sarak dan
Sarak barisan di adat,” yang menegaskan bahwa baik hukum Islam dan
adat lokal tersusun secara mutual dan interdependen (Francis 1839,
113-14). Imam Bondjol mengklaim semacam kemenangan dalam
akomodasinya dengan para tradisionalis. Padahal kita mengetahui
bahwa beliau telah membubarkan Padri sebagai pergerakan
kebangkitan Muslim dan bahwa beliau akan segera mundur sementara
dari perannya sebagai pemimpin.

Suara pendapat memoar sekarang telah habis; Tuanku imam


ingin berdamai dengan “Company” (istilah umum untuk pemerinta

26
kolonial Belanda lama setelah pembubaran VOC), beliau lelah hidup
dalam sebuah negara yang kepemimpinannya terbagi (Imam Bonjol
2004, 43). Segera setelah pertemuan dengan para pemimpin lokal,
beliau menghimpun keluarganya dan meninggalkan Bonjol menuju
Alahan Panjang, menyerahkan bentengnya pada tiga pemimpin adat.
Dalam hitungan hari ketiga panghulu ini setuju untuk menyerahkan
Bonjol pada Belanda dengan catatan bahwa pasukan belanda tidak
akan mengganggu benteng tersebut. Namun, tentara Belanda dan Jawa
segera mengusir penduduk Minangkabau dari Bonjol dan menempati
benteng tersebut, dengan menggunakan rumah Tuanku dan bahkan
mesjid beliau sebagai garnisun. Tuanku Imam mengetahui hal ini dan
mengadakan rapat dengan Komandan Belanda Elout. Dalam
percakapan mereka, Tuanku Imam menawarkan gencatan senjata,
dengan menjelaskan bahwa ia telah berusia enam puluh tahun dan
terlalu letih untuk bertempur. Elout menawarkan pensiun dan menunjuk
Tuanku Mudo, anak didik Tuanku Imam Bondjol, sebagai bupati Alahan
Panjang. Namun perdamaian tidak bertahan lama. Baik kaum Padri dan
tradisionalis murka pada penyalahgunaan benteng dan mesjid oleh
tentara Belanda dan Jawa. Setelah terjadi sebuah insiden penganiyaan
pekerja Minangkabau oleh Belanda dimana seorang pria tertembak,
pekerja Minangkabau tersebut (menurut cerita dalam memoar) lari
mengamuk, membunuh soerang tentara Jawa yang berkemah di dalam
mesjid dan 139 orang Eropa yang bertugas di kota tersebut. Pada 11
Januari, 1833, perang memasuki fase yang baru, yaitu perang
perlawanan bersama rakyat Minangkabau terhadap pendudukan
Belanda.

Tuanku Imam Bondjol kembali lagi menjadi pemimpin militer, dan


memoar tetap sangat terperinci. Beliau seringkali diburu, tinggal di hutan
belantara, terlibat dalam peperangan gerilya melawan Belanda. Tuanku
Imam tidak lagi merupakan seorang revolusioner yang ingin mengubah
masyarakat yang rusak dan mengajarkan agama pada orang-orang

27
senegaranya. Beliau berupaya mengusir penjajah asing, dan beliau
berusaha bertahan. Memoar yang ditulis menggambarkan sebuah
kehidupan yang berganti dari rumah ke rumah, menulis daftar nama
para ibu dan anak yang terbunuh dalam pertempuran, memimpikan hari-
hari yang damai di Alahan Panjang. Tuanku Imam Bondjol bukan lagi
seorang pria yang diberkahi dengan pengabdian dari para pengikut
setianya. Memoarnya menjadi sebuah teks atas keraguan dan
kegentaran. Tuanku Imam Bondjol lelah hidup di hutan dan takut atas
kesejahteraan keluarganya. Beliau menjadi semakin bersikap
mendamaikan, dengan berpidato pada para elit tradisional dan
memastikan mereka atas posisi esensial mereka dalam masyarakat
Minangkabau, menemui pemerintah Belanda dan berupaya
memenangkan jaminan perlindungan bagi anak-anaknya. Pertempuran
tetap berlangsung sangat mengerikan, namun perlahan, Belanda
memenangkannya dan mengambil alih Bonjol, dengan mengalahkan
perlawanan Minangkabau pada tahun 1837. Residen Francis dan
pegawai pemerintah Belanda lainnya memutuskan bahwa Tuanku Imam
terlalu berbahaya untuk mengizinkannya tetap tinggal di Sumatera
Barat. Sebagaimana beliau minta, beliau diasingkan ke Jawa, kemudian
ke Ambon, dan pada akhirnya ke Manado, dimana setelah lima tahun
yang penuh dengan sakit-sakitan, “pada tahun-tahun terakhirnya, dan
sayangnya” (Imam Bonjol 2004, 190), Tuanku Imam meninggal.

Tuanku Imam Bondjol memiliki ilham penyesalan menyangkut


ajaran yang menyerupai wahabi dan kemudian kehidupan kedua yang
menggabungkan peperangan dengan pembicaraan damai. Namun
sebagaimana ditegaskan laporan Belanda, karirnya ditandai oleh
kekerasan yang ekstrim. Pada tahun 1820, reformis moderat jalaluddin
mengutarakan pengalamannya sendiri dalam perang bagi pendengar
bahasa Belanda. Jalaluddin mengeluhkan bahwa memang, tradisionalis
Agam tidak ubahnya seperti perang, tidak mampu membedakan halal
dari haram, dan bersedia menjual ibu dan saudara mereka denga harga

28
yang sesuai. Namun kaum Padri lebih buruk.

Terdapat aspek-aspek yang baik dari Tuanku Padri, mereka


mengatur berdoa dan mendorong berzakat dan berpuasa selama
Ramadan, dan menjalankan haji ketika mereka mampu, dan
memperbaiki mesjid dan tempat-tempat pemandian, dan
memakai pakaian yang sesuai, dan memerintahkan orang-orang
untuk mengejar pengetahuan dan berdagang. Tedapat aspek-
aspek buruk dari Tuanku Padri yang melakukan pembakaran
rumah, yang [tanpa pemerintah adat] menunjuk pemerintahan di
desa, dan membunuh tanpa sebab yang jelas, dimana mereka
membunuh seluruh ulama [yang tidak sepakat dengan mereka],
dan membunuh seluruh intelektual, menyebut mereka
pengkhianat, dan menjarah dan merampas, dan mengambil
wanita yang memiliki suami, dan menikahi para wanita yang
memiliki kedudukan yang tidak sesuai tanpa persetujuan mereka,
dan menangkap orang-orang dan menjualnya menjadikannya
budak, dan menjadikan tawanan sebagai gundik, dan menghina
orang-orang bangsawan, dan menghina para tetua, dan
menyebut mereka yang taat sebagai kafir, dan mengutuk mereka.

Adapun yang baik sebalah Tuanku Padri ialah mendirikan


sembahyang dan mendatangkan zakat dan puasa pada bulan
Ramadan, dan naik haji atas kuasa, dan perbaiki mesjid dan
perbaiki labuh tepian, dan memakai rupa pakaian yang hala, dan
menyuruhkan orang menuntut ilmu, dan berniaga. Adapun
sekalian yang jahat daripada Tuanku Padri menyiar membakar,
dan menyahkan orang dalam kampungnya, dan membunuh
orang dengan tidak hak, yaitu membunuh segala ulama, dan

29
membunuh orang-orang yang berani, dan membunuh orang yang
cerdik cendekiawan, sebab ber’udu atau khianat, dan merabut
dan merampas, dan mengambil perempuan yang bersuami, dan
menikahkan perempuan yang tidak sekupu dan tidak relanya,
dan menawan orang yang berjual dia, dan bepergundi tawanan,
dan mehinakan orang yang mulia2, dan menghinakan orang
tuha, dan mengatakan kafir orang beriman, dan mencala dia.
(Kratz dan Amir 2002, 49)

Reaksi para orang Eropa terhadap kekerasan kaum Padri ini


akan memberikan implikasi yang luas bagi pengetahuan mengenai
orang Indonesia. William Marsden yang berketurunan Inggris dan
Sumatera yakin bahwa kerajaan Minangkabau merupakan pusat
kebudayaan dunia Melayu—sebuah tempat dimana Sansekerta dan
budaya India pertama bersentuhan, menyatu dalam kehidupan
masyarakat dan pada akhirnya melepaskan Melayu karena muncul
orang Jawa. Pada essay awal yang sangat berpengaruh, Marsden
merekomendasikan suatu eksplorasi pada kerajaan Minangkabau,
dimana teks-teks asli transmisi Hindu-Melayu mungkin ditemukan, tanpa
dipengaruhi oleh bahasa Arab (Marsden 1807, 218, 223). Gagasan
bahwa Minangkabau merupakan “rumah nenek moyang” orang-orang
Melayu telah membentuk ilmu bahasa Indonesia, sebagaimana terus
membentuk persepsi diri orang Minangkabau sampai saat ini (Cust
1878, 133; andaya 2000). Karenanya Perang Padri merupakan
ancaman bagi Pagaruyung, istana Minangkabau kuno dan sumber
budaya Melayu (Drakard 1999). Minangkabau diberikan sebuah posisi
khusus dalam strata kultural Indonesia. Essay Marsden menyatakan
Minangkabau sebagai titik kontak India bagi dunia Melayu. Istana
Pagaruyung, kerajaan yang diceritakan di pegunungan Minangkabau,

30
bagi para murid Ilmu Indonesia pada abad kedelapan belas
menempatkan orang-orang Melayu pada dasar kultural yang sama
sebagaimana para tetangganya yang lebih Hindu, orang-orang Jawa.

Ketika Raffles melakukan ekspedisinya yag terkenal menuju


pegunungan Padang pada tahun 1818, hipotesis Marsden diuji. Rafles
menempuh perjalanan ke daerah pedalaman dari Padang, mencari
kerajaan legendaris “Pageruyong,” dan menemukan sebuah reruntuhan
dimana batas-batasnya hanya ditandai oleh pepohonan buah dan
kelapa. Dalam suatu prestasi alkimia arkeologi, Raffles membayangkan
kerajaan ini dari puing-puing dan semak belukar. “kota yang dulunya
luas” telah tiga kali terbakar, dan peperangan Padri yang terus-menerus
telah meninggalkan benteng Hindu-Melayu yang besar dan tertutup
rumput liar. Didesa suruaso, Raffles dan rombongannya dikawal menuju
“kediaman terbaik yang disandang tempat ini—menuju istana, sebuah
rumah kayu kecil sekitar tiga puluh kaki, terletak dengan indah di tepi
Sungai Emas (Soongy Amas). Disini kita diperkenalkan pada Tuan
Gadis yang memerintah kota.” Reruntuhan ini (atau reruntuhan
khayalan) merupakan bukti dari sjarah yang hebat dan agung dari
melayu, sebuah peradaban yang dahulu menyaingi Jawa dan sekarang
terbukti “memburuk.” Dan ketika Raffles mengakhiri tangga batu sebuah
mesjid kecil, ia menemukan prasasti “Kawi asli” [Sansekerta Jawa kuno],
kita mengetahui apa yang harus disalahkan untuk perusakan tragis ini:
Islam. Nekropolis Pagaruyung, “situs dari banyak gedung luas sekarang
telah hilang” seperti bayangan, dibatasi tanah kering dan “sedikit
pepohonan yang patut dimuliakan.” Melankolis, mengutip dari Brata
Yudha, Raffles masih dapat melihat istana dari sebuah pohon tebu yang
berdiri, tahta yang digores pada sebuah batu datar besar (Raffles 1830,
358-60).

Misi Raffles menandai permulaan dari penetrasi asing yang


meluas dan terus-menerus kedalam perbukitan Sumatera Barat.

31
Kesedihannya, kegagalannya untuk menemukan kerajaan Hindu-jawa
yang dapat melegitimasi budaya Melayu, akan membuat Islam
Minangkabau dianggap kejam dalam tulisan banyak cendekiwan yang
mengikutinya menjelajahi pegunungan. Dan persinggahannya di
serambi mesjid, sebuah pengungkapan bukti “asli” asal mula Hindu,
dapat berfungsi sebagai sebuah perumpamaan bagi penggalian
syncretic yang kemudian dilakukan oleh para ahli antropologi Indonesia.

Arsip

Kita beralih pada bentuk teks khusus dari Naskah Tuanku imam
Bondjol. Teks ini terdiri atas tiga bagian berbeda. Bagian pertama
berjumlah 190 halaman merupakan memoar Tuanku Imam Imam
Bondjol sendiri, mulai dari masa mudanya sampai kematiannya di
menado, yang dibawa ke Sumatera Barat oleh putra tuanku, Sutan
Saidi, yang menemani beliau dalam pengasingan. Halaman 191-324
merupakan memoar dari putra yang lain, Naali Sutan Caniago, yang
bertempur disisi ayahnya di hutan dan yang diberikan posisi dalam
pemerintah kolonial Belanda sebagai bagian dari persyaratan
penyerahan diri Tuanku. Bagian ketiga, halaman 325-332, berisi menit-
menit (proses verbal) dua pertemuan yang diadakan di pegunungan
Minangkabau pada tahun 1865 dan 1875. Banyak kumpulan manuskrip
Melayu berisi bermacam-macam teks dan yang tidak berkaitan
digabungkan dalam satu volume. Mereka tidak dibaca secara
intertekstual. Dalam kasus Naskah Tuanku Imam Bondjol, tepatnya
keterkaitan teks yang memberikan potensi untuk cerita Tuanku.

Akademisi belanda Ph. S. van Ronkel, yang diberikan akses pada


manuskrip pada tahun 1910, ketika manuskrip tersebut berada dibawah
kepemilikan keturunan Tuanku di Lubuk Sikaping, baca bagian ketiga

32
sebagai teks yang berbeda dan terpisah. Dalam sebuah artikel
mengenai “Pembentukkan Kode hukum Kami di Pesisir Pantai Barat
Menurut Notasi dalam sebuah Manuskrip Melayu,” ia mencatat bahwa
tiga penulis yang berbeda telah menulis bagian-bagian individual (1914,
251). Van Ronkel meringkas bagian ketiga dari Naskah, yang
menggambarkan perhimpunan besar para ahli hukum Belanda, para
pemimpin residensi pemerintahan, dan seluruh pekerja pemerintahan
Minangkabau utama yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda. Ia
dengan tepat memandang pertemuan-pertemuan ini sebagai titik
perubahan dalam penggabungan Sumatera Barat kedalam Hindia Timur
Belanda. Dan untuk menghargai signifikansi pertemuan-pertemuan ini,
kita perlu mengulas jenis-jenis campur tangan pemerintah kolonial
Belanda yang diberikan pada masyarakat di wilayah Minangkabau di
antara tahun 1820 dan 1875.

Tahun 1847 mendatangkan cultuurstelsel, sebuah sistem bagi


penanaman kopi secara paksa pada dataran tinggi Sumatera bagian
barat. Dengan sistem ini, belanda menyusun mekanisme untuk
mempertahankan kesatuan manajerial pribumi, termasuk posisi-posisi
Kepala Nagari dan Tuanku Laras, yang pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1823 (Ambler 1988, 49-51). Pihak Belanda memahami bahwa
dengan memanggil administrator regional mereka sebagai “Tuanku”
akan merendahkan kekuasaan tradisional dan, sampai titik ini, Tuanku
secara ekslusif merupakan gelar Islami. Pada awalnya, Kepala Nagari
bertanggung jawab karena memaksakan pengumpulan dan pengiriman
kopi, menerima sebuah bonus untuk keberhasilannya atau masa
penjara yang cukup lama untuk kegagalan melaksanakan tugas ini
(Colombijn 1998). Pada tahun 1860, posisi yang lebih baru, panghulu
suku rodi, telah diperkenalkan untuk mengatur baik penghimpunan kopi
dan pemenuhan tugas-tugas buruh (Abdullah 1967, 36-37). Pada tahun
1875, para haji secara resmi dilarang bekerja dengan Binnenlandsch
Bestuur—pemerintahan sipil kolonial—memperdalam persepsi bahwa

33
pihak belanda bermaksud menyisipkan kaum elit anti-Islam di
Minangkabau (Hasselt 1882, 61). Ini merupakan periode ketika
Minangkabau secara sarkastis mulai menyebut diri mereka sendiri “daun
kopi Melayu,” menunjuk pada serpihan semak yang dipanen untuk
mereka jadikan minuman kopi encer (Zed 1983). Ini merupakan periode
yang paling sulit.

Elizabeth Graves mengutip sebuah laporan dari akhir tahun 1860


yang membahas penganiayaan buruh. Orang-orang tidak hanya
terdorong untuk membangun gudang kopi dan gedung pemerintah,
namun juga,

Setiap Tuanku Laras menuntut tempat kediaman dan kantornya


sendiri di dalam pusat wilayah yang digunakan ketika ia harus
berunding dengan petugas Belanda. Lebih buruk lagi, para
petugas lokal, baik Belanda dan Minangkabau, seringkali
menyalahgunakan pajak buruh, dimana pada beberapa kasus
menuntut gaya arsitektur dan dekorasi yang mewah yang
meningkatkan tugas yang memang sudah sulit. (1981, 68)

Pada tahun 2001, anak perempuan dari seorang Tuanku Laras


mengingat persyaratan yang diajukan ayahnya—empat pelayan untuk
melaksanakan tugas buruh dan rumah dengan atap tanduk/mengerucut,
salah satu dari hanya tiga belas yang diizinkan Belanda untuk dibangun
di daerah-daerah tempat hunian baru (Aman 2001, 15, 60). Panghulu,
Kepala, dan Tuanku buatan Belanda ini memperpanjang sistem
penanaman yang dahulu memberikan mereka tujuan dan pembenaran.
Korupsi dari kaum elit adat “palsu” secara langsung mengarah pada
pemberontakan yang hampir terjadi pada tahun 1897 dan Perlawanan
anti-pajak pada tahun 1908 (Young 1994, 49-83). Namun mereka

34
berhasil melalui tantangan-tantangan ini, dan pemikat-pemikat masa
jabatan mereka sampai sekarang telah membentuk topeng kekuasaan
di Minangkabau.

Ikatan hutang dan perbudakan merupakan hal umum di seluruh


dunia Melayu, dan setiap rumah tangga dapat memiliki budak-budak
pelayan sendiri, orang-orang yang ditangkap melalui razia dan
indentured ke rumah. Kemudian, pada tanggal 1 Januari 1860,
pemerintah Belanda secara resmi menghapus perbudakan di Hindia
(Verker Pistorius 1871, 26-30, 106-11). Pernyataan tersebut tidak
mendorong implementasi langsung. Baru pada tahun 1875 dimana T. H.
Der Kinderen, reforis hukum kolonial, datang ke Minangkabau dari
Batavia, membantai seekor kerbau pada maisng-masing dari ketiga
luhak, dan menyatakan para budak bebas (Kinderen 1875, 1882;
Sanggoeno di Radjo 1919, 93).

Segera setelah itu, masyarakat elit Minangkabau


mempergunakan sebuah sarana untuk membedakan kelas dan status
sebuah rumah tangga. Dikembangkanlah sebuah istilah kekeluragaan
baru, seperti kamanakan dibawah lutuik (anak-anak kakak perempuan
“dibawah lutut”), digunakan untuk menunjuk mantan budak. Keluarga-
keluarga yang bebas tinggal di rumah gadang di pusat desa, di tempat-
tempat yang dipesan untuk “para penduduk asli.” Para keluarga budak
dikucilkan, dibatasi pada pinggiran desa, dan pada awalnya dibatasi
hanya pada jenis-jenis rumah tertentu (Verkerk Pistorius 1871).

Pada tahun 1872, Van Harencarspel, yang menggambarkan


dirinya sendiri sebagai “sekretaris utama” pemerintahan kolonial,
mengajukan regulasi yang mengendalikan pergerakan dan perilaku
domestik untuk seluruh residen non-Eropa dari koloni (Toorn 1894).
Hukum ini menetapkan denda tidak hanya untuk pergerakan dan tempat
kediaman tanpa izin namun juga untuk apa yang dianggap perilaku tidak
pantas dalam rumah gadang. Denda ini diurutkan sesuai dengan

35
pelanggaran yang dilakukan, dan mereka memberikan kriteria dari
prioritas Belanda.

Pelanggaran-pelanggaran berikut terbukti paling tidak berbahaya


bagi pihak Belanda: “pergerakan yang salah” dan “kesalahan tempat
kediaman dalam sebuah desa” menghasilkan penalti hanya mulai dari
satu sampai lima belas rupiah. Seorang wanita dibebani denda yang
sama jika ia tidur dengan seorang pria yang bukan suaminya atau tidur
jauh dari rumahnya selama lebih dari satu malam tanpa izin. Catatan
tambahan memperjelas peraturan ini: “Pelanggaran dari larangan ini
timbul jika seorang wanita terlibat dalam berbagai tindakan dengan
seorang pria, namun secara teknis tidak melakukan perzinahan.”
Seorang pria juga dapat didenda karena memiliki hubungan rahasia
dengan seorang wanita yang telah menikah. Masuk tanpa izin dan
pembuangan tanpa izin atas barang-barang busuk juga menimbulkan
denda mulai dari satu sampai lima belas rupiah (Toorn 1894, 1-9,
catatan halaman 30).

Denda-denda yang lebih tinggi—mulai dari enam belas sampai


dua puluh lima rupiah—dapat dipungut karena dendam yang disengaja,
pembuatan senjata api atau senapan, atau gagal menjaga rumah
seseorang. Gagal mengawasi anak-anak atau orang gila pun dikenakan
hukuman. Denda yang tertinggi, dua puluh enam sampai enam puluh
rupiah, dikenakan pada orang-orang yang mengadakan pertemuan
dengan tujuan yang salah, menduduki properti orang lain, atau menjual
jimat (yang menjanjikan kekebalan) (Toorn 1894, 15-24).

Sebagian besar larangan ini dengan mudah dilakukan—salah


tempat kediaman, menduduki properti orang lain, dan pembuatan
senjata api dengan cepat diselidiki dan dipastikan. Kejahatan lain yang
lebih penuh gairah jauh lebih sulit untuk dibuktikan dan memerlukan
mempertimbangkan kesaksian dan tuntutan. Sementara Minangkabau
telah mencoba menyelesaikan pertikaian tanpa berpaling pada pihak

36
Belanda, perbedaan yang tidak dapat direkonsiliasi membuat sistem
peradilan kolonial menjadi pilihan terakhir sebagai penengah. Sistem
legal baru tentunya berhasil berkat para pengacara pribumi, jaksa, dan
jurusita, jaksa penuntut, dan pembantu kepala sita. Namun orang
Minangkabau kebanyakan juga mulai mempelajari bahasa baru hukum
barat. Buku-buku diterbitkan menjelaskan regulasi-regulasi baru, banyak
sampel “surat-surat resmi” tambahan dan petisi-petisi (Kinderen 1882;
Pamoentjak 1895; Blommenstein 1903). Pihak Belanda berupaya
mengubah Minangkabau menjadi sebuah budaya hukum dan cukup
berhasil—meskipun upaya-upaya untuk mengatur pernikahan ditentang
ketika dimungkinkan. Pertikaian atas tanah telah mengikat properti
selama beberapa generasi, tidak valid bagi siapapun (Colombijn 1994).
Dibawah kekuasaan Belanda, Minangkabau hidup dengan hukum kolnial
dan diawasi oleh CONSTALBURY.

Denda dipaksakan dan telat membayar berarti harus siap untuk


dipenjara. Sistem colonial yang illegal merupakan sebuah kekacauan
yang dimulai selama Perang Padri, namun dipercepat dan dijadikan
prosedur dalam setiap pertemuan yang dijelaskan pada Naskah Tuanku
Imam Bonjol.

Beberapa catatan yang ada di dalam Naskah tersebut


menggambarkan sebuah susunan pertemuan di pengadilan pusat di
Bukit Tinggi. Yang pertama adalah pada tanggal 6 April 1865 dan yang
kedua adalah pada tanggal 14 Desember 1875. Kedua pertemuan
tersebut dipimpin oleh Der Kinderen, yang secara tidak resmi disiapkan
untuk menginvestasikan uangnya pada perayaan kurban tanpa
diyakinkan dahulu bahwa dia akan diterima atas keputusannya.
Pertemuan-pertemuan tersebut dihadiri oleh gubenur Sumatera Barat
JFRS van den Bosshe, penduduk Padang Panjang, HA Steijn Parve;
sebelas penguasa Belanda, 76 Tuanku Laras dan sejumlah kepala suku

37
dan penghulu yang tidak diketahui jumlahnya. Pada pertemuan di tahun
1865, Der Kinderen mendukung pembentukan birokrasi regional dengan
penguasa Belanda yang mengawasi daerah Minangkabau yang
bertugas mengawasi peraturan. Undang-undang tersebut merupakan
kombinasi dari adat local dan hukum Indies dari pemerintah kolonial,
menggemakan keseimbangan antara adat dan syariah yang merupakan
bagian dari pengesahan Tuanku Imam. Satu decade berikutnya, Der
Kinderen mengumpulkan kembali orang-orang dalam sebuah pertemuan
dan mengevaluasi kesuksesan implementasi birokrasi legal di Sumatera
Barat. Hanya pada poin ini, setelah sepuluh tahun propaganda para
pendukung pengesahan, dia mengumumkan penghilangan perbudakan
secara resmi. Seorang pembaca Naskah akan melihat sebuah nama
yang cukup familiar diantara daftar nama Tuanku Laras- anak lelaki
Tuanku Imam Bonjol, Sutan Caniago, yang mewakili Alahan Panjang
pada saat itu.

Pada teks yang terpisah, Van Ronkel (1915) menyimpulkan dua


bagian pertama Naskah Tuanku Imam Bonjol, namun dia gagal untuk
mengenali hubungan intertekstual antara tiga bagian tersebut. Ketika
membaca secara seksama, jelaslah bahwa Naskah tersebut adalah satu
bagian, satu teks yang polyvalent. Bagian pertama, cerita tentang
Tuanku Imam Bonjol adalah cerita tentang perang dan kekalahan. Satu
kemenangan Tuanku Imam Bonjol adalah realisasi keputusannya yang
salah untuk mengikuti kaum Padri. Dia memulai sebuah kampanye
permintaan maaf dan penggantian kerugian yang diabaikan oleh para
elit tradisional dan kalangan militer Belanda. Tuanku Imam juga bukan
seorang martir. Dia mengalah pada saat perang Padri dan dikalahkan
pada saat perang melawan Belanda, namun dia tidak dieksekusi. Tapi
permintaannya untuk mempertahankan tanah kelahirannya ditolak dan
sepanjang hayatnya dia hidup dalam pengasingan di sebuah daerah
pantai berbasis orang-orang Protestan di Sulawesi Utara. Jika orang-
orang mencari sejarah Indonesia mengenai sosok pembaharu Wahabi,

38
mereka dapat memilih Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh atau Tuanku
Rao. JIka mereka ingin mengingat sosok reformis yang moderat tanpa
ada kekerasan, maka Tuanku Nan Tuo atau Syekh Jalaludin adalah
sosok yang tepat. Tapi Tuanku Imam Bonjol dikenal – seseorang yang
secara militer telah gagal, yang secara ideologis kecewa, dan bergeser
dari aksi kekerasan ke tulisan yang bersifat perdamaian- kemudian
hanya dihadiahi pengasingan dan nestapa. Bagian kedua dari naskah
sama membingungkannya.

Pada tahun 1865, pada saat dua legal symposium yang pertama,
Naali Sutan Caniago tertangkap sebagai birokrat yang kecewa di dalam
administrasi kolonial. Janjinya sebagai Tuanku Laras sepertinya
merupakan hasil Belanda yang menguasai 30 tahun janji pada ayahnya
(Imam Bonjol 2004, 234). Cerita tentang Sutan Caniago bukan hanya
perang saja, tapi seperti ayahnya juga, yaitu kekecewaan dan
penghinaan. Selama beberapa tahun pengabdian, Sutan Caniago
berbeda pendapat dengan sesama pejabat Minangkabau da penguasa
Belanda. Cerita tersebut menyimpulkan sebuah dialog panjang antara
Sutan Caniago dan pemerintah Belanda, termasuk Tuan Besar
(penduduknya). Selama masa keterpurukan, Sutan Caniago protes dan
mengklaim bahwa dia tidak mendakwa atau bahkan berbicara melainkan
hanya berpetualang mengawasi para buruh (Imam Bonjol, 2004, 257).
Dia telah menjadi lawan yang menentang Tuanku yang tradisional.
Tuanku yang religius dilokalisasi dan dikunjungi oleh para pelajar yang
mencari ilmu pengetahuan. Dia akan berbicara dan tidak bergerak:
suaranya merupakan daerah kekuasaannya. Sutan Caniago tidak
banyak bersuara, bergerak tanpa tujuan, sejenis petualang yang lemah
yang merupakan figure tragis dalam sastra Minangkabau (Hadler 1998,
141). Dia mengkomplain orang-orang yang mandago mandagi (sebuah
istilah kuno yang menyatakan kedurhakaan). Tuan Besar memintanya
untuk menjelaskan istilah tersebut dan Sutan Caniago merespon bahwa
mandago artinya ‘membuat kekacauan di sebuah negeri yang dapat

39
mengacaukan kehidupan manusia…. Dan mandagi adalah membuat
perselisihan yang dapat mempengaruhi aliran uang’. Pada poin ini,
seorang datuk yang simpati, pemimpin adat berusaha untuk
memperlihatkan rasa hormatnya pada Sutan Caniago dan ditegur oleh
jaksa, ahli hukum di Minangkabau yang dipengaruhi Belanda.

Jangan memperlihatkan rasa hormat pada Tuanku Sutan dengan


cara apapun. Mengapa kamu melawan pemerintah Belanda
dengan sia-sia, dan jangan mulai mengemis kasih sayang.
Sekarang sudah terlambat untuk mengemis kasih sayang

Sutan Caniago kemudian meminta untuk berbicara secara pribadi


dengan penduduk dan komandannya. Dia mengancam Negara dengan
kemarahan anak-anaknya dan anak-anak saudarinya jika keluhannya
tidak diindahkan. “Aku akan menghormatimu dari mulai ujung kaki
hingga ujung kepala jika kamu mengizinkan aku untuk membuat
permintaan berupa catatan”. Teks tersebut kemudian menginggalkan
jejak yang tidak terpecahkan: “Dan sejak sekarang aku diperbolehkan
untuk tetap berada di luar adat dan permintaan bahwa perintah adat dan
perintah agama bersaksi demi Allah dan Muhammad sehingga
menyimpulkan hal ini pada tahun 1868 di kampong Koto di rumah
Tuanku Laras Bonjol Alahan Panjang”. (Imam Bonjol 2004, 264-65).

Tidak ada respon tertulis pada permintaan Sutan Caniago dan


tidak ada cerita resolusi di bagian kedua Naskah. Namun tentu saja teks
itu sendiri adalah jawaban bagi permintaan Sutan Caniago. Tertulis
dalam catatan tersebut bahwa dia meminta. Dan bagian ketiga yang
tidak berhubungan adalah respon pemerintah Belanda pada ikrarnya
untuk hidup di luar tradisi MInangkabau dan di bawah hukum adat dan
hukum kolonial Belanda. Dia telah berhasil menggerakkan sebuah arsip-

40
bagian kedua Naskah Tuanku Imam Bonjol. Suaranya didengar. Dan
sementara kita menyangka bahwa Sutan Caniago tidak akan pernah
dihilangkan atau berhenti dari posisinya sebagai Tuan Laras setelah
konfrontasi yang terjadi pada tahun 1868, kita tahu dari bagian ketiga
dari Naskah bahwa dia menghadiri pertemuan-pertemuan pada tahun
1865 dan 1875. Naskah Tuanku Imam Bonjol adalah sejarah mengenai
Perang Padri namun juga merupakan sebuah alegori transisi dari
budaya prakolonial dan cikal bakal gerakan radikalisme kaum Islam
militant bagi Negara dan hukum kolonial Belanda. Hal ini bukan hanya
tentang kontrol pemerintah Belanda namun merupakan sebuah jalan
kembali pada sebuah era raja yang lemah dan dewan adapt kosultatif
yang dikenal sebagai sebuah periode yang stabil secara politis sebelum
reformasi Islam pada abad 18 sesudahnya. Naskah Tuanku Imam Bonjol
menggoda idiom deliberatif adapt Minangkabau, kepada demokrasi
tradisional Padang Panjang dan sebuah visi tradisi politik lokal yang
merupakan orang-orang egaliter dan anti kekerasan. Setelah kekacauan
Perang Padri, pemerintah kolonial Belanda telah membangkitkan
kekuatan diskursif yang disebut Jane Drakard (1999) sebagai ‘Kerajaan
Kata’ pada abad 17, dimana kekuatan teks melebihi kekuatan militer dan
Minangkabau didefinisikan bukan oleh kekuatan militer namun oleh
keberanian retoris di pengadilan.

PRAJURIT

Pada tahun 1908 Sumatera Barat berada dalam masa


pemberontakan lagi, dikarenakan adanya pergeseran dari system
kultivasi ke pajak uang. Namun menjelang tahun 1910, Padang Panjang
Minangkabau dipelihara dan diawasi oleh administrasi kolonial Belanda
sebagai tujuan wisata, sebuah padang rumput, danau-danau dan air

41
terjun ala Swis. Buku-buku petunjuk mempromosikan keindahan alam
daerah tersebut namun juga menggambarkan daerah perang Padri,
tempat peperangan yang ditandai oleh beberapa monument besar
(Westeneuk 1913: lihat gambar 3). Bahder Djohan, seorang cendikiawan
Minangkabau yang merupakan doctor di Batavia, menulis monument-
monumen ini dalam jurnal jong Sumatra. Pengembara yang pemikir, dia
katakan, akan melihat menara-menara yang didedikasikan bagi Michiels
dan Raaff dan akan penasaran mengenai peristiwa-peristiwa yang
mereka peringati.

Lihatlah Padang Panjang di Padang Darat, yang memerah


dengan darah yang mengalir dari hati saudara-saudari. Telingamu
akan mendengar tangisan dari jiwa-jiwa yang hilang, yang
terjebak dalam perang sipil. Anda akan mengingat satu moment
khusus, begitu sulit dilupakan, ketika penjajah dari luar negeri
dilengkapi dengan peralatan peradaban dan perjuangan,
menginjakan kaki di Padang Panjang dimana bendera
kemenangan kaum Padri melambai ditiup angin sepoi-sepoi, dan
kekacauan madzab ini membangun kontrol Eropa (yang
seringkali dirusak oleh pemberontak local). Sampai hari ini,
kontrol Eropa telah menenggelamkan akarnya secara perlahan-
lahan ke dalam bumi. (Djohan 1919).

Namun jika Djohan begitu kritis pada Belanda, dia sama kecewanya
dengan kaum Padri:

Pada saat itu juga dunia menyaksikan kerusakan kerajaan


Minangkabau, sebuah kerajaan yang telah bersinar pada masa

42
kejayaannya, sebuah kejayaan yang masih menyilaukan hati
orang-orang Sumatera bagian tengah, meskipun pada saat itu
bintang Minangkabau tenggelam ke benua sejarah dan sampai
sekarang dikenang sebagai surga yang hilang.

Bahder Djohan merupakan mata-mata pemerintah Belanda,


individu yang ideal, seseorang mewakili teori asosiasi, seorang warga
Negara Belanda yang tropis. Dia fasih berbahasa Belanda dan kritiknya
tentang kolonialisme tidaklah bersifat mengancam dan tidak bersifat
radikal, dilakukan di daerah ibukota dan di antara para cendikiawan
Belanda yang sensitif. Karangannya mengenai era kaum Padri
mengambil sumber dari sumber-sumber Belanda dan dia cukup puitis
ketika mencerminkan kegagalan aliran reformasi moderat:

Kami sedang menulis tentang awal abad ke-19. Matahari hampir


terbenam. Sinarnya hampir menghilang menyepuh ujung langit
barat. Di lembah Agam, di negeri Koto Tuo, seorang cedikiawan
agamis berdiri di sebuah mushala. Tuanku Koto Tuo memandangi
langit yang berawan. Apakah gerangan yang muncul di
hadapannya? Apa yang telah dirasakannya, bahwa apakan
sekarang matahari terbenam akan membawa kemakmuran dan
kedamaian bagi negerinya? Apakah yang dia rasakan, bahwa
warna emas di awan memancarkan bara yang sebentar lagi akan
menyalakan semua kelompok dan memperlihatkan mereka pada
sebuah cara berpikir yang disertai petunjuk?

Atau apakah dia sedang berkontemplasi dengan murid


tercintanya, Tuanku Nan Renceh kemudian mengajar di nagari
Kamang? Sudahkah dia merasakan bahwa prilaku muridnya yang
dia harapkan akan menanam biji-biji persatuan atau

43
persaudaraan di antara penduduk Minangkabau telah pergi untuk
menyepuh dendam di antar sanak saudara dan orang-orang
sekaum sekeluarga?

Air mata Tuanku Koto mengalir dan air matanya memecahkan


keheningan Padang Panjang, yang sekarang ditutup oleh
kegelapan….

Bahder Djohan berusaha menulis sebuah kritik mengenai kekerasan dan


apa yang dia lihat sebagai ideology Wahabi kaum Padri yang berbisa.
Haji Miskin dan Tuanku nan renceh bahagia dia adalah pembunuh dan
pengkhianat yang tidak ada tandingannya. Namun Bahder Djohan
menyimpulkan,

Dan tidak seperti mereka yang mengikuti keinginan mereka, ada


seseorang yang menuliskan namanya di hati orang-orang yang
dia cintai. Jadi cerita mengenai perang Indies tidak akan pernah
melupakan nama Tuanku Imam, seorang lelaki jujur dan apa
adanya, dipaksa untuk mengikuti mengayuh perahunya di sebuah
lautan air mata yang dicucurkan oleh orang-orangnya sendiri.

Gambar 3. Monument Perang Padri (Boelhuwer 1841, frontispiece)

Djohan membayangkan Tuanku Imam Bonjol berdiri sendiri di atas bukit


melihat Bonjol.

Dibungkus dengan jubah putihnya, tasbih di tangan kirinya,

44
sementara turbannya memperlihatkan sebuah wajah yang tidak
lagi bersinar, dua bola mata yang memandang jauh sejauh
mereka melihat seolah-olah sedang mencari keberuntungan yang
tidak akan ditemukan kembali.

Pada tahun 1910, ketika Bahder Djohan sedang menulis, menandai


awal mula pergerakan, sebuah ‘pergerakan usia’ bagi Indonesia, suatu
masa politik radikal ketika nasionalisme belum merupakan tujuan utama
perjuangan melawan colonial Belanda (Shirashi, 1990). Bahder Djohan
adalah bagian dari elit kecil dari penduduk asli yang mengecap
pendidikan tinggi di ibukota. Dia adalah seorang intelek yang merayakan
sains dan modernitas, seorang internasionalis yang juga seorang
pejuang Minangkabau. Bahder Djohan mampu memimpikan sebuah
sejarah Minangkabau yang mana Tuanku Imam Bonjol merupakan
sosok yang mulia dan tragis, seseorang yang mana kekerasan yang
terlihat datang dengan mudah nyatakan merupakan reaksi defensive
dari usaha terakhir. Di Sumatera Barat, figure Imam Bonjol, pada
pergerakan, dibangun sebagai pendahulu ideologis tentang pejuangan
politik modern. Jalan hidup Tuanku Imam Bonjol- penuh dengan konflik,
tragis dan ALEATORY- akan menjadi sebuah perumpamaan bagi para
wanita dan pria pada ‘pergerakan usia’.

Pada tahun 1910an dan 1920an, daerah koloni Sumatera Barat


merupakan sebuah dunia yang terbalik. Bagi orang Minangkabau, bukan
hal yang tidak masuk akal untuk mempercayai bahwa hari perhitungan,
yang disebutkan dalam Al-Quran akan datang sebentar lagi. Di desa-
desa kecil, konflik antara reformis dan pemimpin keagamaan yang
tradisional telah membuktikan keterpecahbelahan: di mesjid-mesjid dan
mushala yang berbeda, para penyebut hari kiamat menunggu Hari
Pembalasan dan perhitungan terakhir. Aliran golongan keagamaan ini
cukup berpegaruh bagi nagari- kampung yang mandiri, yang

45
komposisinya terdiri dari dari sebuah mushala kecil. Dua dekade
intervensi sosial dan birokratik telah merubah nagari, dan pada tahun
1914 peraturan nagari mengatur ulang kekuasaan lokal secara resmi.
Ketua yang berasal dari orang Belanda yang telah disepakati, penghulu,
mengatur pajak melalui sebuah dewan nagar yang baru. Persetujuan
yang meredakan kepada tradisi dan restorasi tidak membodohi siapapun
(Oki 1977, 82-91). Secara kurang dilihat, perselisihan dogmatis mulai
memecah belah keluarga. Para paman, keponakan, bapak dan anak
dipola untuk saling melawan satu sama lainnya dalam keetiaan mereka
pada kelompok-kelompok ideologis tertentu- tradisionalis, reformis, dan
seterusnya. Dengan dua kekuasaan keagamaan yang terbagi dan
pemimpin tradisional yang jahat, pilar-pilar suci masyarakat
Minangkabau mulai pudar. Ketidakjelasan sosial ini membuat figure
Tuanku Imam Bonjol yang hidupnya merupakan sebuah cerita tentang
kesalahan langkah, kekalahan, dan kekecewaan, menarik dan familiar.

Sumatera Barat cukup tidak biasa bahwa kebanyakan debat


kelompok terjadi di desa-desa kecil, banyak diantaranya dengan media
cetak local. Politik dan ‘Modernitas’ bukan berasal di ibukota. Sementara
desa-desa kecil, para penduduk kota ditangkap dalam pergerakan dan
pergerakan politik dan kebangkitan sosial. Di kota Padang Panjang, kota
Thawalib yang terkenal dengan aliran modernismenya menjadi loci
sebuah bentuk aliran komunisme Islam intelektual. Pegawai
pemerintahan yang tidak setia di Silungkang bersekutu dengan para
pekerja pertambangan batubara Ombilin dan di akhir tahun 1926,
seorang tokoh komunis muncul di dekat kota industri Sawahlunto
(Nasution 1981, 83-91).

Periode setelah komunis Silungkang menyebabkan peningkatan


penjagaan dan represi Belanda ke Sumatera Barat. Tahun-tahun
dinamis dari pergerakan dan percekcokan intelektual berakhir di Padang
Panjang Minangkabau sebagaimana di bagian-bagian lainnya. Pada

46
tahun 1930 para ulama bersatu dalam sebuah oposisi yang sukses
melawan colonial belanda yang tergabung dalam “Ordinasi Guru”. Hal ini
merupakan revisi dari hukum yang telah diterapkan di Pulau Jawa dan
Madura sejak tahun 1905, mengisyaratkan calon-calon guru agama
Islam untuk mendapatkan izin dari seorang kepala distrik sebelum
berbicara di hadapan umum (Abdullah 1971, 110-13). Nyatanya, gejolak
aktivitas politik terakhir di Minangkabau pada awal tahun ke 1930an.
Beberapa partai meluncurkan kampanye demonstrasi agresif; dalam
bentuk kesadaran para nasionalis, para tokoh politik lokal
mempromosikan orang-orang Minangkabau, cap Minangkabau. Tapi
pada tahun 1933, larangan bepergian di sekitar Minangkabau mulai
ditekankan secara tegas. Sebuah jaringan informan polisi membentuk
kecurigaan dan meruntuhkan moral dalam pergerakan. Dan mengikuti
ketentuan suksesnya, menaikan adat local sebagai element di
masyarakat Minangkabau (Abdullah 1971, 176-205; Kahin 1984). Pada
bulan Agustus 1933, pemerintah colonial Belanda menangkap banyak
activis Minangkabau, memadamkan api semangat mereka dalam
melakukan pergerakan di Minangkabau. Sebagaimana Taufik Abdullah
menulis:

Politik ekstensif Minangkabau telah membuatnya menjadi salah


satu daerah berbahaya di mata pemerintah. Pemerintah dengan
semangat menerapkan ukuran represif yang menandai ketentuan
rust en orde (kedamaian dan keamanan). Minangkabau menjadi
satu tes kasus bagi ketentuan garis keras pemerintah. “Dari
Pantai Barat Sumatera,” menurut sebuah tokoh teori colonial, de
Kat Angelino, “kejayaan dimulai.” (1971, 195).

Namun pemberontakan Silungkang telah menandai akhir politik

47
Minangkabau. Mengikuti pemberontakan tersebut, pergerakan
menghubungkan camp pengungsian Boven Digul dan sumpah para
pemuda yang disebut “Sumpah Pemuda” yang kemudian menjadi
penentuan masa depan Indonesia. Sekolah dan pergerakan telah
mengalami transformasi, menyiapkan mereka ke arah nasionalisme.
Dalam kurun tahun 1920an, sekolah Islam dan Thawalib di Padang
Panjang dan Bukit TInggi telah bisa membiayai dirinya sendiri,
mendapatkan uang melalui penjualan buku yang dterbitkan oleh
penerbit Syekh Muhammad Djamil Djambek, Tsamaratul Ichwan dan
jaringan penjual batik Minangkabau serta distribusinya ke seluruh
daerah Indonesia (Noer 1973, 35-37; Daya 1995, 245-300). Soetan
Mangkoeto, lulusan dari sekolah para reformis ini, berjanji untuk
memberikan donasi sebanyak 10 persen keuntungan bukunya untuk
membantu membangun sekolah di Padang Panjang. Buku ini, Obor
Para Pendakwah Islam Indonesia merupakan sebuah serangan pada
Ordinansi Guru. Di akhir tahun 1920an, kita dapat membaca dominasi
‘Indonesia’ pada sumpah pemuda dan nasionalisme pada tulisan-tulisan
lokal:

Anak-anak Indonesia yang meninggalkan atau mengabaikan


Islam, tidak peduli seberapa lantang mereka meneriakkan
penyelamatan bangsa mereka dan tanah air mereka (Indonesia
Raya), mereka tidak akan pernah mencapainya. (Mangkoeto
1929, 43). Dan masa keemasan pergerakan Minangkabau , dua
decade pertama pada abad ke-20, sebuah masa manipol suara
dan visi, tidak akan pernah kembali.

Dengan opresi politik, muncullah larangan penerbitan dan


penyensoran yang meluas (Yamamoto 1995; Maters 1998). Setelah

48
keretakan aktivis sebelumnya mengubah energi mereka ke publikasi
yang tidak akan membuat Kantor Departemen Dalam Negeri gerah.
Industri penerbitan ini terpusat di Sumatera Barat, di Padang dan Bukit
Tinggi, dan di Medan di Sumatera Utara. Mayoritas penulisnya adalah
orang Minangkabau atau Mandailing. (masyarakat Batak yang
merupakan target kampanye Tuanku Imam Bonjol di bagian utara).
Buku-buku yang diterbitkan adalah majalah-majalah berharga murah
yang dinamakan roman pitjisan, yang dicetak bagi para pelanggannya
dalam jumlah yang banyak (biasanya sekitar 3000 kopi) habis terjual.
Booklet ini menemukan jalannya ke banyak perpustakaan yang berada
di nusantara. Dibandingka dengan publikasi yang terbaru, para
pembacanya cukup luas (Oshikawa, 1990, Siegel 1997, Maier 2004).

Hanya sejumlah roman pitjisan yang bertahan di dalam arsip.


Meskipun dicetak dalam jumlah yang sangat banyak, majalah tersebut
tidak dianggap sebagai literature serius dan tidak pantas mendapatkan
posisi yang bagus di antara koleksi permanent. Majalah tersebut dicetak
pada kertas yang berharga murah, satu kopian digilir di antara
sekelompok orang pembaca. Teks yang masih hidup selalu rapuh dan
rusak. Namun sebuah pencarian perpusatakaan Indonesia, Belanda dan
Amerika Serikat telah membuka ratusan kopi roman pitjisan yang
diantaranya 8 teks dari tahun 1930an dan tahun 1940an yang
menyebutkan Tuanku Imam Bonjol (Soub’ib 1938; dihoeloe 1939;
Darmansyah 1940; Umri 1940; Turie 1941; Sou’yb 1938-49). Semua
teks menggambarkan Tuanku Imam Bonjol sebagai figur yang terhormat
sekaligus tragis, semuanya menggabungkan sejarah yang telah
diketahui dengan fiksi. Seperti roman pitjisan lainnya, ada sebuah
subteks anti colonial dalam cerita ini. Bukunya Dihoeloe, Cerita dan
Perjuangan Tuanku Imam Bonjol sebagai seorang Pejuang Islam yang
diambil dari Catatan Anak Lelakinya Sutan Caniago berusaha
memotong penemuan sejarah naratif. Namun dalam teks ini, bagian
kritisnya adalah kumpulan elit tradisional dan ulama yang mana Tuanku

49
Imam Bonjol meninggalkan aliran Wahabi dan berusaha untuk
merekonsili Islam dan adapt Minangkabau, yang di sini digambarkan
dalam bahasa Belanda sebagai ‘pertemuan propaganda’ (Dihoeloe
1939, 12). Bagi para penulis ini, Tuanku Imam Bonjol dianggap sebagai
tokoh nenek moyang alegoriakan kalahnya pertahanan anti colonial,
seseorang yang nasibnya berteman dengan pengasingan dan penjara di
Boven Digoel.

Roman Pitjisan merupakan kesenangan bagi para ahli literature


sejarah. Bahasanya bersifat eksperimental dan insisif serta berbau
politik. Namun mereka mewakili sebuah masa tragis pada sejarah
kalangan intelek Indonesia. Represi pada tahun 1930an memaksa
proses pembuatan fiksi catatan sejarah dan pergerakan tekstual ini
dipelopori oleh para penulis dari Sumatera barat. Para novelis yang
membuat Roman Pitjisan hidup pada masa ktika para novelis sekuler dn
novelis agamis hidup secara tidak eksklusif. Para penulis seperti Hamka
dan Jusuf Souy’b telah meperlihatkan bahwa adat dan Islam dapat
berdampingan. Mereka bebas untuk menulis novel atau catatan
keagamaan namun mereka tidak dapat menulis catatan politik langsung
tanpa berjanji pada badan sensor dan ancaman pengasingan.
Ketidakmampuan untuk mengetengahkan isu politik dan sejarah ini
membuat analisis sejarah geografis menjadi stagnan di Sumatera Barat
selama kependudukan Jepang, revolusi dan periode nasional. Masa
setelah revolusi pada tahun 1950an, sebuah masa dinamis dalam
kehidupan politik Indonesia membawa sebuah introspeksi sejarah ke
Sumatera Barat (Asnan 2004). Akhir tahun 1950an, merespon pada
tokoh nasionalis sekuler dan komunis Soekarno pada pemilihan umum
tahun 1955, Sumatera Barat meletus dengan satu peristiwa yang
disebut “pemberontakan setengah hati’. Orang-orang Minangkabau tidak
punya perut untuk melawan pemerintah pusat bahwa mereka telah
berjuang untuk membentuk, dan tentara Indoneisa telah
menghancurkan pemerintah Revolusi Republik Indonesia (PRRI)

50
dengan ketentraman yang relative (Feith dan Lev 1969; Kahin dan Kahin
1995).

Pada pertengahan tahun 1961, aliran patriotisme Minangkabau


bergejolak. Para tokoh pemisah pmerintahan revolusi yang berjuang
selama tiga tahun melawan pemerintah negeri melakukan protes melaan
alira Jawwa dan aliran Komunisme pemerintah, telah dikalahkan. Orang-
orang MInangkabau meninggalkan Sumatera Barat ke Jakarta dan
Medan dan tidak pernah kembali. Ini adalah masa rantau cino atau
imigrasi ala orang Cina, ketika orang Minangkabau memberi anak-anak
mereka dengan nama-nama Jawa dan mengeluh bahwa di negeri
mereka di Sumatera, para pemenang (yang Minang) telah pergi
sementara yang tersisa hanya kerbau (kabau). Rumah makan padang di
Jakarta meluas membuat mereka jauh dari kehidupan para leluhurnya
dan meninggalkan kenangan sedihnya.

Tahun 1963 membawa penghinaan baru bagi para orang-


Minangkabau. Pada buku anehnya “Tuanku Rao: Teror Islam Hambali di
Tanah Batak (1816-1833),” penulis orang Mandailing Mangaraja
Onggang Parlindungan menulis:

Saudara-saudara dari Minang adalah orang-orang cacat karena


kepercayaan mereka terhadap mitos sejarah. Mitos dinasti
Alexander yang Agus, mitos kerbau jaya, mitos Ibuur, legenda
MInangkabau dan hal-hal lain yang telah ditelan bulat-bulat oleh
saudara-saudara dari Minang. Mereka tidak mampu memilih 2%
fakta sejarah dan menendang 98% ornament mitologis dalam
mitos tersebut. Tanpa sedikitpun usaha, mencari angka-angka
tahunan untuk menghentikan kebingungan yang mendalam.
(1963-679).

Buku tersebut menyajikan sejarah pahit perang Padri dan

51
konversi Batak Mandailing kepada Islam. Parlindungan, seorang muslim
Mandailing merekapitulasi kekerasan Tuanku Imam Bonjol dari
perspektif target jihadnya di bagian utara. Jatuhnya soekarno dan
kehancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) demi saudara-saudara dari
Minangkabau untuk menjawab tantangan Parlindungan. ‘Sejarah
Mingangkabau’ yang pertama diterbitkan pada tahun 1970 dan terdiri
dari ucapan selamat pada diri sendiri oleh Parlindungan (Mansoer et.al,
1970). Dengan tanggal-tanggal yang dikuatkan dan sebuah bibliographi
yang substansial, para penulisnya menguraikan sejarah etno mitos
MInangkabau dan sejarah politik Sumatera Barat. Tokoh intelek Islam
yang populis, Hamka, menantang Parlindungan dalm bukunya pada
tahun 1974 “Tuanku Rao” Antara Fakta dan Fantasi (Hamka 1974).
Hamka telah membaca buku tersebut selama dia di penjara pada masa
demokrasi terpimpin Soekarno, dan pada awal tahun 1970an terlibat
dalam sebuah polemik dengan Parlindungan di dalam sebuah Koran
haluan (Padang). Ini adalah debat yang pada akhirnya memperbolehkan
ahli sejarah Minangkabau untuk melepaskan keabsahan roman pitjisan
dan mulai memisahkan sejarah dari fiksi.

Prajurit Tuanku Imam Bonjol ditantang pertama kali oleh


Parlndungan dan kemudian dipertanyakan lagi selama rezim Soeharto.
Pada tahun 1980 drama Wisran Hadi, Imam Bonjol, dipentaskan pada
Dewan Kesenian Jakarta (Hadi 2002). Drama tersebut tidak terhormat
dan menantang imej populer Tuanku Imam Bonjol. Dia digambarkan
sebagai seorang orang yang kikuk dan seorang lelaki yang merasa tidak
nyaman dengan jabatannya sebagai pemimpin agamis, menolak titelnya
sebagai Tuanku Imam dan menyatakan bahwa “namaku Peto Syarif!”.
Drama tersebut menjadi controversial dan mengstimulus perdebatan
pada tahun 1980 namun tidak disensor. Namun pada tahun 1995 Wisran
Hadi pbersiap untuk mementaskan lagi drama tersebut lagi sebagai
bagian dari perayaan Sumatera pad Festival Istiqlal kedua dan
petingatah HUT RI yang ke -50. Gubernur Sumatera Barat menulis surat

52
pada pemerintah pusat di Jakarta yang meminta bahwa produksi
tersebut dibatalkan karena kekhawatiran adanya kegelisahan dan
kerusuhan. Pertunjukan tersebut diblokir dan drama tersebut dilarang
(Sahrul, 2005). Pemerintahan baru Soeharto merupakan gema bagi
polisi Belanda pada tahun 1930an ditemukan sebagai catatan sejarah
(Anderson 1983). Mitologi Soeharto sendiri merupakan untung
kebohongan sejarah yang tidak mampu memiliki penampilan provinsi
pada ancamannya.

Sementara prajurit Bonjol sebagai figure kekalahan Minangkabau


yang heroic, Tuanku Imam Bonjol seringkali muncul dalam samarab
kekerasan yang revolusioner dan potensial. Pada awal tahun 1930an,
para nasionalis muda menggantungkan potret Tuanku Imam pada pintu
Klub Indonesia di Weltevreden, sebuah korban pergerakan, korban
perubahan zaman dan korban idealismenya sendiri (N. 1931).
Penggunaan retorika terhadap Tuanku Imam Bonjol adalah halus dan
dapat ditemukan pada tulisan filosofis tokoh komunis Indoensia Tan
Malaka, yang merupakan orang Minangkabau dari sebuah desa yang
tidak jauh dari desa Bonjol. DIpenjara pada tahun 1942 hingga 1943, dia
menulis Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika menyempurnakan
manuskrip pada tahun 1946. Pada bagian akhir buku tersebut, dia
menggambarkan pemerintahan masa depan yang dia sebut tokoh
sosialis Federasi Aslia, “Lokasinya ditandai dengan sumbu, di dekat
garis khatulistiwa, yang kurang lebih ditentukan oleh satu baris dari
bonjol ke Malaka” (Malaka 1951, 395). Rudolf Mrazek mencatat bahwa
penggunaan desa Bonjol oleh Tan Malaka mencerminkan penampilan
orang Minangkabau dan berarti sebuah tribute bagi perjuangan Tuanku
melawan Belanda (1972, 34). Namun, kata sumbu atau dapat juga
diartikan sebagai sumbu yang menyebabkan pergerakan eksplosif.
Sejalan dengan tribute secara geografis, Tan Malaka berniat untuk
menjelaskan sebuah sumbu eksplosif dan revolusioner melalui sejarah
tuanku Imam Bonjol itu sendiri.

53
Sekarang ada sebuah penerbitan renaisans di Sumatera Barat
dan sebuah dorongan perdebatan sejarah geografis.Pada tahun 2004,
Naskah Tuanku Imam Bonjol diterbitkan di Padang dan drama karya
Wisran Hadi difilmkan di televisi. Kedua teks tersebut menyatakan
peranan Tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional. Pada tahun
2001 , interview dengan perwakilan dari International Crisi Group , Salafi
Muslin di Jakarta diadakan untuk mengenang sejarah perang Padri,
mengenali Haji Miskin dan Imam Bonjol sebagai pelopor aliran Salaf di
Indonesia. Akan sering dilihat bahwa setelah periode Soeharto banyak
orang akan membaca sejarah Tuanku Imam Bonjol. Namun jelas bahwa
catatan yang dia ambil dari tokoh nasionalis convensional menyatakan
keraguannya.

A Historiography of Violence and the


Secular State in Indonesia: Tuanku
Imam Bondjol and the Uses of History
54
JEFFREY HADLER

This essay is a revisionist history of the Padri War and


the place of Tuanku Imam Bondjol in the intellectual
history of the Minangkabau people of West Sumatra, of
the Dutch colonial state, and of Indonesian nationalism.
The Tuanku Imam is an official “national hero” from the
early nineteenth century, a putative Wahhabi, and leader
of the Padri War, the first Muslim-against-Muslim jihad
in Southeast Asia. The essay examines the Tuanku Imam
in contemporary sources and then his construction as a
serviceable trope of controlled Islam, Minangkabau
patriotism, or Indonesian nationalism by successive
states. Using memoirs by the Tuanku Imam and his son,
Sutan Caniago, the essay analyzes the Tuanku’s
renunciation of Wahhabism in the face of matrifocal
opposition and the interplay of three connected texts that
serve to secularize the story of the Padri War.

The Journal of Asian Studies Vol. 67, No. 3 (August) 2008: 971–1010.
© 2008 The Association for Asian Studies, Inc. doi:10.1017/S0021911808001228

The Journal of Asian Studies Vol. 67, No. 3 (August) 2008: 971–1010.
© 2008 The Association for Asian Studies, Inc.
doi:10.1017/S0021911808001228

55
A Historiography of Violence and the Secular State in
Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History

JEFFREY HADLER

This essay is a revisionist history of the Padri


War and the place of Tuanku Imam Bondjol in
the intellectual history of the Minangkabau
people of West Sumatra, of the Dutch colonial
state, and of Indonesian nationalism. The
Tuanku Imam is an official “national hero” from
the early nineteenth century, a putative
Wahhabi, and leader of the Padri War, the first
Muslim-against-Muslim jihad in Southeast Asia.
The essay examines the Tuanku Imam in
contemporary sources and then his
construction as a serviceable trope of controlled
Islam, Minangkabau patriotism, or Indonesian
nationalism by successive states. Using
memoirs by the Tuanku Imam and his son,
Sutan Caniago, the essay analyzes the
Tuanku’s renunciation of Wahhabism in the face
of matrifocal opposition and the interplay of
three connected texts that serve to secularize
the story of the Padri War.

ON NOVEMBER6, 2001, the Indonesian National Bank issued a


note featuring a portrait of Tuanku Imam Bondjol.1 The image is striking:
1 See Bank Indonesia Regulation no. 3/19/PBI/2001, dated October 26,
2001. The image is based on a picture found in a 1850 text (Stuers 1850,
opposite p. 163).

56
a man with a stern face and long beard, wearing a turban, with a white
robe thrown back over his left shoulder (see figure 1). “Tuanku Imam
Bondjol” was a formal title given to this man, named Muhamad Sahab
and as a young adult called Peto Syarif, who was born in the
Minangkabau region of West Sumatra around 1772 and died outside the
city of Manado in North Sulawesi in 1854.2 “Tuanku” was a title given to
high-ranking ulama in West Sumatra who were recognized authorities in
the Islamic sciences of tauhid, fikh, and tasauuf. “Imam” signifies that he
was a religious leader, although this second name would usually refer to
some individual characteristic of the alim. Of the (at least) fifty Tuanku
who were contemporaries of Tuanku Imam Bondjol, we find Bachelor
Tuanku, Little Tuanku, Fat Tuanku, Black Tuanku, Old Tuanku, and so
forth (Sjafnir 1988). “Bondjol” is the old spelling of the town of Bonjol,
where the Tuanku Imam established his fortress and from 1833 to 1837
led the fight against Dutch annexation of the Minangkabau highlands. In
3
this paper, I follow Indonesian convention and use the old spelling of
Bondjol for the man and Bonjol for the village.

The Tuanku Imam is in Indonesia an official national hero from the


early nineteenth century, a putative Wahhabi, and leader of the Padri
War, which is often described as the first Muslim-against-Muslim jihad in
Southeast Asia.4 Since 2002 scholars have consistently traced the
lineage of Southeast Asian Islamic violence back to this war and to the
Tuanku Imam. Michael Laffan points to the Padri movement as a “most

2 His biographies usually claim that he died in 1864 (Dihoeloe 1939, 8–9).
The revision of the year of his death to 1854 has been argued for by
Sjafnir Aboe Nain (1988, 139 n. 69) and is given as fact by both E. B.
Kielstra (1890, 177) and Dja Endar Moeda (1903, 47).
3 Jeffrey Hadler (hadler@berkeley.edu) is Assistant Professor in the
Department of South and Southeast Asian Studies at the University of
California, Berkeley.
4 On the war as jihad, see Azyumardi Azra (2004, 146–47). In the Malay
world, a jihad was more often referred to as a “holy war,” a Perang
Sabili’llah (Kratz and Amir 2002, transliteration 18, 20). The name “Padri”
has been the cause of much speculation. It is most likely that “Padri” was
a modification of the word “Padre” and referred (usually) disdainfully to
priestly zealots of all faiths (Kathirithamby-Wells 1986, 3–9).

57
striking” example of what he cautiously terms Islamic “activism,”
although he is doubtful that the movement can be considered strictly
Wahhabi (Laffan 2003, 399–400). Other scholars are less sober in their
deployment of the Padris. In September 2004, Merle Ricklefs gave a
public lecture on Islam and politics in Indonesia that opened with a
reference to the two-hundredth anniversary of the Padri War as the
bicentenary of violent and bloody Islamic reformism in Indonesia. And in
2005, Azyumardi Azra, head of the State Islamic University in Jakarta,
gave a series of public lectures on Islamic militancy in which he stated,

One should not be misled, however, with these current


developments; in fact, radicalism among Indonesian
Muslims in particular is not new. Even though Southeast
Asian Islam in general has been viewed as moderate and
peaceful Islam, but the history of Islam in the region shows
that radicalism among Muslims, as will be discussed
shortly, has existed for at least two centuries, when the
Wahabi-like Padri movement, in West Sumatra in late 18th
and early 19th [centuries] held sway to force other
Muslims in the area to subscribe to their literal
understanding of Islam. The violent movement aimed at
spreading the pure and pristine Islam as practiced by the
Prophet Muhammad and his companions (the salaf). The
Padri, however, failed to gain support from majority of
Muslims; and, as a result, the Padri movement was the
only precedent of Muslim radicalism throughout Southeast
Asia. (Azra 2005b)

The sensitive post–September 11 Islamicist could be forgiven for


noticing the banknote, listening to the remarks of these Indonesianist
historians, and wondering whether the Indonesian state had picked up

58
some slag in the crucible of terror. The portrait of Tuanku Imam Bondjol
is jarring to observers accustomed to the shadow of puppets and the
tintinnabulation of gong orchestras, echoing little more than modern
thug gangs such as Laskar Jihad and Front Pembela Islam.

But for Indonesians, and most historians of Indonesia, the appearance of


Tuanku Imam Bondjol5 on the 5000 rupiah bill was neither alarming nor
surprising. In the Netherlands in 1928, Mohammad Hatta delivered his
Dutch-language polemic “Free Indonesia.” In his speech, Hatta berates
the Dutch colonial state for forcing its subjects to learn the heroic
legends of William Tell, Giuseppe Mazzini, Giuseppe Garibaldi, William
of Orange, and others while disparaging the actions of Indonesians who
had opposed European conquest: “So too must Indonesian youth parrot
its masters and call its own heroes, like Dipo Negoro, Toeankoe Imam,
Tengkoe Oemar and many others, rebels, insurgents, scoundrels, and so
on” (1928, 11).6 Following Hatta, since 1945 Sukarno had referred to
Tuanku Imam Bondjol as the first of a triad of heroic comrades(pahlawan
tiga-sekawan) who had fought against Dutch colonial expansion: the
Tuanku Imam Bondjol of Minangkabau in West Sumatra, Diponegoro
from Central Java, and Teuku Oemar of Aceh (Soekarno 1950; see also
Reid 1979).7 “Imam Bonjol” is now a common street name in Indonesian
towns. The West Sumatran campus of the State Islamic University is
named after Imam Bondjol. And in November 1973, Tuanku Imam
Bondjol was formally declared a national hero, one of only a handful who
lived before the concept of Indonesian nationalism was on the table
(Schreiner 1997). With the fall of Soeharto, historians of Indonesia have
turned their attention to the place of official national heroes and the

5 Figure 1. Tuanku Imam Bondjol on the 5000 rupiah banknote.


6 Interestingly, the 1972translation uses the word“terrorists” for
“scoundrels” (schurken)—impossible today(Hatta 1972, 210).
7 Sukarno’s immediate inspiration for his idea of the three heroes was
perhaps not from Hatta but from a 1940 book by the Minangkabau writer
Tamar Djaja (1946). Djaja’s first three heroes are Bondjol, Diponegoro,
and Oemar, and the book features an introduction by Muhammad Yamin
himself.

59
creation of a collective Sukarno’s immediate inspiration for his idea of
the three heroes was perhaps not from Hatta but from a 1940 book by
the Minangkabau writer Tamar Djaja (1946). Djaja’s first three heroes are
Bondjol, Diponegoro, and Oemar, and the book features an introduction
by Muhammad Yamin himself.

Indonesian memory. These studies have pivoted on moments of


national violence and trauma—the massacres of 1965 and 1966, the
riots of 1998 (Zurbuchen 2005; Roosa 2006). Less frequently, scholars
have considered the role of national heroes in their provincial contexts
(Barnard 1997;Schreiner 2002). Tuanku Imam Bondjol is particularly
interesting. His story has been written by the inhabitants of a province far
from the center (of the colony, of the nation). The Minangkabau region
has often been at violent odds with that center, while the people there
have seen themselves, paradoxically, as defining constituents of the
central state(Kahin 1999).

I will briefly review the history of the Padri War and describe
Minangkabau society. In addition to the footnoted sources, my
understanding of the war is based first on the memoir of Tuanku Imam
Bondjol himself. This manuscript, one of the most important sources for
the study of nineteenth-century Indonesia, has itself had an eventful
history. A translated gloss of this memoir, dated 1839, appeared initially
as appendix B in the Dutch resident’s account of the war.8 In the 1910s,
a full Minangkabau-language Arabic script version was circulating in
West Sumatra and was described by Ph. van Ronkel in an article in the
Indische Gids (1915). In 1939 L. Dt. R. Dihoeloe used the memoir and
interviews with elders to publish the first Malay-language summary of the

8 “Memorie van Toewankoe Imam aangaande de komst der Hollanders in


Sumatra’s binnenlanden en den aldaar door hen gevoerden oorlog”
(Memories of Tuanku Imam Concerning the Arrival of the Dutchmen in the
Interior of Sumatra and the War That They Conducted There), dated
September 13, 1839, Ambon (Stuers 1850, 221–40). This has been
translated into English (Dobbin 1972).

60
text. Dihoeloe’s version, uncited and often indirectly, became the source
for most subsequent Indonesian accounts of Tuanku Imam Bondjol’s life.
In 1979 the historian Sjafnir Aboe Nain recuperated and transliterated
the original full memoir, using it in his Intellectual History of Islam in
Minangkabau, 1784–1832.9 Sjafnir’s transliteration of the text of the
Naskah Tuanku Imam Bondjol, then considered a component of the
tambo (traditional history) of Naali Sutan Caniago, the Tuanku’s son, had
been available only as a 280-page photocopy of a degraded typescript
(Caniago 1979a). Only in 2004 was the transliteration formally published
by the Center for the Study of Islam and Minangkabau in Padang (Imam
Bonjol 2004).10 The other major Minangkabau source for the history of
the Padri War is the autobiographical note penned by the moderate alim
Syekh Jalaluddin, written at the request the colonial administration in
the late 1820s (Djilâl-Eddîn and De Hollander 1857; Kratz and Amir
2002). Jalaluddin was persecuted by the Padri, and his text provides a
history of Islamic reform in the late eighteenth century as well as a
critique of the Padri from within the reformist movement. Along with this
“clarification” by Syekh Jalaluddin, Imam Bondjol’s memoir stands as

9 The manuscript was borrowed from Ali Usman, the Tuanku’s descendant
and guardian of the family heirlooms in the village of Bonjol, in May 1966
for study and exhibition at the new Adityawarman Museum in Padang. It
was never returned. The manuscript apparently changed hands numerous
times, appearing at the opening of the Imam Bonjol Museum in the late
1970s, exhibitions in Jakarta and Padang, and making a final appearance
at the first Istiqlal Festival in Jakarta in 1991 (interview with Ali Usman
Datuak Buruak, July 2006; see also Haluan 1983). After this final
exhibition, the Naskah was allegedly returned to West Sumatra and has
not been seen since. Rusydi Ramli, a professor at the State Institute of
Islamic Studies in Padang, who was a member of the Istiqlal planning
committee, photocopied the manuscript, and I was able to obtain from
him a degraded copy of what is possibly the last remaining example of
the Naskah Tuanku Imam Bondjol, now deposited in the library at the
University of California, Berkeley. Efforts to locate the original manuscript
are recounted in Suryadi (2006).
10 The typescript, which differs slightly from the 2004 publication, can be
found at the Adityawarman Museum in Padang and the Imam Bonjol
Museum in Bonjol. I have checked the 2004 transliteration against the
photocopy of the original Arabic-script manuscript. Page numbers refer to
the manuscript; this pagination is also reproduced in the margins of the
published transliteration.

61
what might be the first modern Malay autobiography.11 It is a text that
exhibits a clear sense of personal interiority and an emotional resonance
that comes perhaps from being written simultaneously for a Dutch
contemporary audience and for Minangkabau posterity, from the
perspective of a villager, not a courtier, and a Muslim reformist
concerned especially with family structure and everyday life. The scores
of essays and books written by Dutch colonial administrators and
soldiers provide an additional source of information about the war. These
have been synthesized in Christine Dobbin’s monograph, Islamic
Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–
1847 (1983). Dobbin’s research is impeccable, and the book has been
praised as the most thorough study of a jihad (Keddie 1994, 472). My
gloss of Minangkabau culture is drawn from my own study of the
historical interactions of Islam, matrifocal customs, and colonialism
(Hadler 2008).

This essay will address the following points:

1. Tuanku Imam Bondjol’s particular position in the war generated


an extensive archive in which he plays a central role and in which
other leading ulama appear less significant.

2. This archive and historiography have been linked to state efforts


to control West Sumatra and to limit the potency of a reformist
Islamic call for warfare in the Dutch colonial, Guided Democracy,
and New Order periods. However, this does not lead us to a
facile reading of oppression and the stifling of Muslim militancy.
Rather, state fear of Islamic rebellion recapitulated a common
desire for peace and conciliation. The Padri War was deeply
unpopular.
11 Ulrich Kratz (1992) argues that Jalaluddin’s memoir is idiomatically
novel in his introduction to the transliterated text and in his essay.

62
3. Nevertheless, the figure of Tuanku Imam Bondjol remained a
potent trope of resistance and local autonomy for the
Minangkabau people. Toward the end of his military career,
Tuanku Imam Bondjol distanced himself from Wahhabism and
internecine violence, turning a civil war into a war against Dutch
aggression. The Tuanku Imam’s life can be read as a
protonationalist rejection of religious divisiveness for the sake of
anticolonial unity. From the 1930s through 1998 (with a break
from 1950 to 1957), Indonesia experienced a series of repressive
regimes that censored political discourse and effectively
controlled the production of history. Tuanku Imam Bondjol
appears in the 1930s as a key novelized historical figure in
Sumatran popular fiction. The fictionalization of history
circumvented censorship but also stifled rigorous
historiographical debate until the 1960s, when the publication of
the eccentric Tuanku Rao: Hambali Islamic Terror in the Batak
Lands (1816–1833) forced a reconsideration of the Padri War
and Tuanku Imam Bondjol’s violence.

REVIEW

Concentrated in West Sumatra, the Minangkabau are one of the


best known of Indonesia’s ethnic groups and famous as the world’s
largest matrilineal Muslim society. Peggy Sanday (2002) makes a
compelling argument for following Minangkabau practice—elites use the

63
Dutch word matriarchaat—and claims that in its gender egalitarianism,
the society is a true matriarchy. Certainly the seeming contradiction of
Islam and matriliny has shaped the past two hundred years of
Minangkabau history. The society has struggled with a conflict: Islamic
inheritance, child custody, and residence laws are patrilineal and
patrilocal, yet the Minangkabau are affiliated with large clan houses that
are passed down from one generation of women to the next, defined by
a common female ancestor.

Minangkabau people living in West Sumatra have a maternal


longhouse that they call home. The house is ideally divided into three
zones: a lower area nearest the door that serves as a public space for
receiving guests; a middle platform for meals that is also a sleeping area
for children, unmarried girls, and women who are no longer sexually
active; and in the back, a series of small private chambers reserved for
the clan women who still receive their husbands. When a girl is married,
she is assigned the newlywed’s chamber, the largest room farthest from
the door. All other women are ratcheted down, moving to new chambers.
If the chambers are all in use, then the most senior woman, pushed to
the end of the row, must decide whether she still needs the privacy of a
bedchamber. If she is still sexually active, then an addition will be built
onto the house. Otherwise, she will join the old women and children on
the floor at night. When they reach puberty, boys are removed from the
longhouse and spend their nights in the surau, a village prayer and
boarding house. When boys reach adulthood, they take part in the
tradition of out-migration, merantau, and leave the village to seek their
fortunes in the expanded world, the rantau. Only when he has attained
some social value through commerce or education will a young man be
welcomed back to the village as a potential groom for the daughter of
another house. Many of these Minangkabau do not return from their
migrations, instead settling in towns throughout Indonesia. Across
Borneo, the Malay Peninsula, and Sulawesi, villages and polities trace

64
their conversion to Islam and even their foundation to the appearance of
Minangkabau travelers. And despite their matrilineal social structure, the
Minangkabau are universally recognized as one of the more pious of
Indonesia’s ethnic groups (though the standards for measurement of
piety, and its applicability to units of society beyond the individual, are
difficult to establish).

An early sixteenth-century account reported that at least one


Minangkabau king had recently converted to Islam (Pires 1990, 164),
and a Portuguese mestizo who visited the highlands in 1684 reported
hajjis at the royal court (Dias 1995). Minangkabau only experienced the
organized and institutional drive to convert to Islam in the seventeenth
century, when a central Sufi tarekat (mystical association) was
established on the coast at Ulakan (Amrullah 1929; Suryadi 2001, 2004).
Azra claims that the “embers of reformism” (2004, 145) were first stoked
in the late 1600s, when members of the Ulakan student network
observed with disappointment the overexuberance of their fellows
commemorating the death of the founder of the tarekat. In the
eighteenth century, American and European demand for coffee, pepper,
and cassia created a boom in the highland economy that disrupted
traditional trading systems and brought new intellectual influences
through the port of Tiku, near Ulakan. Marginal villages with poor soil
became wealthy by planting the new cash crops, threatening the
influence of the traditionalist wet rice farmers. Many of the Muslim
reformists came from these newly rich villages (Dobbin 1977). By the
late eighteenth century, Islamic reformism had followed the
Naksyabandiyah, Syattariyah, and Qadiriyyah tarekat into the highlands,
and the Islamic school headed by

Tuanku nan Tuo became a center for the reformist movement.

Syekh Jalaluddin remembered his father’s stories of the antebellum


1780s

65
and the religious changes already under way in Minangkabau (Kratz and
Amir

2002). Jalaluddin described the religious conditions in Minangkabau in


the late

eighteenth century, when his father was an Islamic reformist and


educator.

Already in the 1780s, centralizing religious schools were spreading


throughout

the highlands. The reformists moved from the old Sufi-influenced school
at

Ulakan, near the coastal town of Pariaman, traveling through Kamang


and Rao

in the highlands, stopping briefly in Koto Gadang, and finally settling in


Batu

Tebal, where eventually they garnered enough support to maintain the


fortyman

congregation necessary for Friday prayers. It would be a mistake to

imagine that religious education in pre-Padri, precolonial Minangkabau


was

entirely localized and focused on village prayer houses. Religious


scholars advertised

experiences and connections in the religious centers of Mecca, Medina,


and

978 Jeffrey Hadler

66
even Aceh—the world of Islamic learning was inherently cosmopolitan.
Reformists

were beginning to make inroads into the heartland. And important

tarekat centers, with particularly potent teachers, had long attracted


supplicants.

An attentiveness to private life and daily behavior was a common and


novel

discourse in the Islamic world in the late eighteenth century (Metcalf


1982).

Through the early 1700s, Islam and the ulama had been primarily
concerned

with states and with kingship. These new reformist Islamic movements
were

more involved with the everyday lives of ordinary people; fatwa


addressed

issues of family life, sex, and appropriate conduct. From West Africa
through

South Asia and into the Malay world, the late eighteenth and early
nineteenth

centuries brought local Muslim reformist and revivalist movements that


shared

common objectives and similar violent rhetoric (Hardy 1972, 53; Jones
1994,

18–20; Ahmed 1996, 39; Vikør 1999).

But while the Padris had many contemporaries, they were more

67
profoundly

opposed to local custom; Minangkabau matrilineal inheritance and


matrilocal

residence were affronts to shariah law that were impossible to ignore.


There

were consequences to this new discourse on private life. In Indonesia an


attentiveness

to the family and to daily life in the late eighteenth and nineteenth
centuries

presaged what in the early twentieth century became known as the

moderen. In the nineteenth century, a public sphere for Islam developed

around concerns that the colonial state did not share (although the Dutch
and,

to a lesser extent, the British did attempt to control the private lives of
their subjects).

Muslims were kept out of politics—in the Dutch East Indies, hajji were

barred from serving in the colonial civil administration—but they were


“political”

regarding social issues. From Mecca at the end of the nineteenth


century, the

Minangkabau Shiekh Ahmad Khatib railed against matrilineal inheritance


in

his homeland (Huda 2003). His students and readers became the core
of the

68
early twentieth-century reformist movement. When in the 1910s the
colonial

state tried to introduce nominal participatory politics to the natives, they

expected a long tutelary process. For the ulama, no learning curve was
needed

for civil behavior, and to the horror of the government, they plunged into
the

political sphere fully fledged.

Caught up in the wave of eighteenth-century Islamic reformism, Tuanku


nan

Tuo, a moderate reformist around whom the future Padri coalesced,


pushed for a

stricter application of Islamic law, better attendance at Friday prayers, an


end to

gambling and drinking, and a cessation of the brigandry and slaving that
came

with increased trade. That trade also brought new wealth, and more
people

had the means to undertake the hajj pilgrimage. The Hijaz and Mecca
were

tumultuous in the late eighteenth and early nineteenth centuries. From


the

final decade of the eighteenth century, the Wahhabis were involved in a


campaign

of conquest there, temporarily occupying Mecca in 1803 and capturing

69
the city

from 1806 to 1812. Wahhabi adherents reject textual interpretation as


innovation

and demand adherence to a way of life that follows the Qur’an and the

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 979

authoritative Hadith. In the Hijaz, the Wahhabi burned books,


demolished

domes, destroyed tombs and pilgrimage sites, and, according to one


unimpressed

scholar, engaged in a “campaign of killing and plunder all across Arabia”


(Algar

2002, 20).

Sometime after the 1803 Wahhabi occupation, three Minangkabau hajji

returned from Mecca, where, according to every written history, they had

been influenced by the teachings of the conquering army. Coincidence is


not

proof, however, and in no Padri War–era Minangkabau text do we find

mention of Wahhabism. However, Indonesian nationalists have focused


on

Tuanku Imam Bondjol’s apparent renunciation of this Wahhabism and


embracing

of a vision of Minangkabau society that included the traditional elite.


Other

70
authors have claimed that he was never so puritanical, pointing to
notebooks preserved

by the people of Bonjol containing the Tuanku’s writings on soothsaying

(Dawis and Marzoeki 1951, 65–75). A text captured at the Bonjol fort and
now

housed in the manuscript reading room of the Leiden University library

depicts illustrations of the household of the prophet and holy sites in


Mecca.10

This is not Wahhabi-approved reading material. In Indonesia today,


Imam

Bondjol is equated with deep religious faith, protonationalist and


anticolonial

resistance, and even Minangkabau patriotism. Popular opinion echoes


scholars

such as E. B. Kielstra (1887) and B. Schrieke (1920), who asserted that

Tuanku Imam Bondjol, and in fact the Padri movement in general,


should not

be considered Wahhabi. The Padris permitted pilgrimages to gravesites,


did

not attempt to impose a hierarchy on the traditionally decentralized


Minangkabau

polity, and allowed Muslims to honor the birth of the Prophet Muhammad

through the celebration of mawlid (on this final point, Schrieke refers to
Jalaluddin,

71
who was certainly not a Padri; see Dobbin 1972, 9; Steenbrink 1984,
35–36).

However, every contemporary Dutch and English commentator, and


every

participant in the war, did not hesitate to indicate that the movement was

rooted in the teachings of Abdul Wahab. In an 1820 letter to William

Marsden, Thomas Raffles claimed that the Padris “seem to resemble the
Wahabees

of the desert. They have proved themselves most unrelenting and


tyrannical;

but their rule seems calculated to reform and improve, inasmuch as it

introduces something like authority, so much wanted all over Sumatra”


(1835,

84). P. J. Veth, in his introduction to the canonical account of the war,


makes

the Wahhabi connection (Stuers 1849, xcix), and in the first Malay-
language

history of Sumatra, written with an anti-Padri bias, the influence of Abdul

Wahab is stated as fact (Moeda 1903, 55). By 1939 one of the Tuanku’s
hagiographers

would, without hesitation, call the Padri movement “Wahaby” (Dihoeloe

10I thank Michael Laffan for bringing this text, Cod. Or. 1751, to my
attention. Tuanku Imam Bon-

djol’s book of realizations (attahqiq), which explains his understanding of

72
the separation of soul and

body, is supposedly in the possession of the family of the late Haji


Chalidi in Lima Koto, Pasaman

(Sjafnir 1988, 134 n. 18).

980 Jeffrey Hadler

1939, 29–30). The label “Wahhabi” was initially deployed as an insult,


suggesting

that reformist ideology was irreconcilably foreign in a Malay context.


Today, Padri

Wahhabism is a matter of pride for radicalized Indonesian reformist


Muslims. It

is impossible to know with any certainly whether the three hajji were
directly

influenced by Wahhabism while in Mecca (Roff 1987, 37–39). What is


clear is

that for these returning hajji, traditional Minangkabau culture was


unacceptable;

matriliny and matrilocal longhouses could not be reconciled with the


essential

teachings of Islam. One of the hajji, known as Haji Miskin, allied with
more impatient

reformists in Tuanku nan Tuo’s circle who established walled villages,


grew

73
beards, wore robes and turbans, and attempted to recreate an Arabian
culture in

highland West Sumatra.11 It is this combination of localized reformism


and

Wahhabi-like influence that became known as the Padri movement. In a

violent affront to Minangkabau matrifocality, the extremist Padri, Tuanku


nan

Renceh, murdered his maternal aunt (Steijn Parvé 1854, 271–72). The
Padri

declared a jihad against the traditional matrilineal elite, burning


longhouses

(rumah gadang) and killing traditional leaders who upheld


custom(adat)in

the face of religious commandments. This Padri War was a protracted


series of

conflicts, and the Padri “state,” influenced by the decentralized and


democratic

traditions of Minangkabau polities, lacked a clear administrative


hierarchy. The

decentralization of authority allowed for a natural sort of guerilla warfare


that

did not encourage climactic or pyrrhic battles. In 1815 the Padris, using a
ruse

of peace talks, slaughtered the royal house of Pagaruyung near


Batusangkar

74
(H. 1838, 130). They turned against the moderate reformists Tuanku nan
Tuo

and Syekh Jalaluddin, calling the men Rahib Tuo (old Christian monk)
and

Rajo Kafir (king of infidels) (Kratz and Amir 2002, 41).

For twenty years, sporadic fighting between reformist and traditionalist

forces destabilized West Sumatra. Eager to rehabilitate the economy of


the

Netherlands in the aftermath of the Napoleonic War (moreover, after the


secession

of Belgium in 1830) and lured by rumors of gold and the power of the
Minangkabau

court, in 1821 the Dutch colonial government returned to the port of

Padang, signed a treaty with the traditionalists, and sent an army into the
hills. It

is at this point that the extensive Dutch archive takes control of the
historiography

of the Padri War. According to this history, a series of treaties and


perceived

betrayals on all sides of the conflict punctuated twelve years of difficult


fighting.

11Upon visiting the highlands in 1818, Thomas Raffles observed, “On


entering the country, we were

struck by the costume of the people, which is now any thing but Malay,
the whole being clad according

75
to the custom of the Orang Putis, or Padris, that is to say, in white or
blue, with turbans, and

allowing their beards to grow, in conformity with the ordinances of


Tuanku Pasaman, the religious

reformer. Unaccustomed to wear turbans, and by nature deficient in


beard, these poor people make

but a sorry appearance in their new costume. The women, who are also
clad in white or blue cloth,

do not appear to the best advantage in this new costume; many of them
conceal their heads under a

kind of hood, through which an opening is made sufficient to expose


their eyes and nose alone”

(1830, 349–50).

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 981

But in 1830, the Dutch were able to reinvigorate their army with Dutch
and Javanese

troops fresh from victories over Diponegoro, and by 1832, the Dutch had

defeated Bonjol and apparently incorporated West Sumatra into their


burgeoning

colony. However, the collapse of the Padri in 1833 was followed by a


unification

of the reformist Muslims and matrilineal traditionalists in a revitalized

resistance to foreign occupation. Six more years of violent warfare

76
ensued, and

by 1838, the Minangkabau were defeated, their leaders killed or, like
Tuanku

Imam Bondjol, exiled. It was, according to the archive and the


authoritative histories,

the Dutch entry into the conflict on the side of the matrilineal adat
traditionalists

that prevented West Sumatra from becoming a permanent Wahhabi

outpost. The memoir of Tuanku Imam Bondjol gives the lie to this
narrative.

While the reformists were defeated militarily, their arguments for a strict

interpretation of the Qur’an and Hadith remained compelling in West

Sumatra. For two centuries, Minangkabau intellectuals have been


obliged to

defend the maintenance of matrilineal custom in the face of a rigorous


critique

from Islamic reformists. And despite regular predictions of the imminent

demise of their Islamic “matriarchate,” the Minangkabau people have

managed to defend and strengthen their matrifocal tradition. The Padri


War

and reformist critique of Minangkabau custom forced the supporters of


adat

to articulate and defend the legitimacy of their beliefs. Paradoxically, it


was

77
neo-Wahhabism that preserved matriliny in Minangkabau; in Kerala in
southern

India and Negeri Sembilan in Malaysia, matrilineal custom collapsed


under a

more insidious attack from the colonial state and early twentieth-century
purveyors

of modernity (Peletz, 1988, 1998; Arunima 2003).

WAR (OF WORDS)

The Minangkabau highlands to which the three “Wahhabi” hajji returned

were not static. Coffee smallholding had generated considerable


individual

wealth, and local Islamic centers and tarekat were already in place,
building a

regional network of religious influence and friendships. An extensive


system of

footpaths connected highland villages to the west coast and to the rivers
that

flowed east to the Straits of Malacca (Asnan 2002). The rotational daily
market

shuttled between the various towns, its parameters marked out by the
distance

that a goods-laden water buffalo could shuffle in an evening. This market


was

an opportunityfor news to be shared, for traditional stories to be told, and


for connections

78
to be made beyond the village. It was a proto-rantau—a chance for

young men to leave home and accompany their mothers and fathers
through a

wider, though still circumscribed, world. This market system was one of
the principal

means by whicha regionwide Minangkabau identity and language was


maintained.

And rampant dacoity—a chief concern of the Padris—would have

disruptedthese traditional circuits.

982 Jeffrey Hadler

Accounts of Tuanku Imam Bondjol’s origins have claimed that his


parents

were Arabs or even Moroccans (Djaja 1946, 5). Depending on the writer,
this narrative

move might have improved the Tuanku’s Muslim credentials (especially


as

he was not a hajji) or diminished his Malay and protonationalist


association (by

explaining as Arabian the Padri propensity for violence and misogyny).12


In his

own memoir and in contemporary Dutch accounts, there is no mention of

foreign ancestors. He was a villager from the valley of Alahan Panjang in


the

79
northern reaches of the Minangkabau highlands. Alahan Panjang is a
poor and

arid region, and local boys were especially encouraged to out-migrate


and seek

their fortunes. The young Tuanku Imam Bondjol traveled the network of

Islamic schools, studying with different teachers according to their


specializations.

He was, above all, a student of his own father, Khatib Bayanudin, and

eventually joined his father’s surau as a teacher with the title Peto Syarif.

As a young alim in the late 1790s, the Tuanku accompanied his patron,
the

traditional chief Datuk Bandaharo, to the reformist center led by Tuanku


nan

Tuo. The Tuanku and Datuk were part of the reformist movement there
when

the three hajji returned, and the Tuanku was deeply inspired by their

Wahhabi-like teachings and fashions and their call for a return to


shariah. He

joined the Padri, but he was not considered to be one of the most violent
and

aggressive of them, a group known as the Harimau nan Salapan (Eight


Tigers).

From his memoir it is clear that Datuk Bandaharo was a confidante of


the

80
Tuanku and perhaps his leader. In the early 1800s, the two men set up a
Padri

fort in Alahan Panjang to wage their jihad. Anti-Padri forces conspired


against

them, and Datuk Bandaharo was poisoned and died. It was at this point
that

the Tuanku relocated his stronghold to the base of Mount Tajadi in the
village

of Bonjol, becoming the Tuanku Imam of Bonjol in 1807.

The Padri War, up through the Dutch intervention, was a bitter civil war.

Tuanku Imam Bondjol looked to the Eight Tigers, and particularly Haji
Miskin

and Tuanku nan Renceh, following their example and making his fort the
northern

base of the jihad. From his memoir we know that Tuanku Imam Bondjol

organized the burning of the village of Koto Gadang and instructed


Tuanku Tambusai

and Tuanku Rao to take the jihad farther north into the Batak lands.
Bonjol,

the fortress, became increasingly wealthy as Tuanku Imam Bondjol


seized cattle,

horses, mines, and slaves during his campaigns. At this point in the
Tuanku’s

career, the Dutch joined the fight and, in the central valleys, slowly
began annexing

81
Padri territory. Haji Miskin had been killed (Tuanku nan Renceh later dies
of

illness), and the locus of Padri authority shifted north to Bonjol. The
forces of the

Tuanku Imam had great success in converting the southern Batak to


Islam and

even reached the shores of Lake Toba. He was in contact with Muslim
leaders

in Aceh and stood poised to lead a revivalist movement spanning the


entire

12The best example of an early twentieth-century adat polemicist, still


fighting against vestigial

Padri, is Datuk Soetan Maharadja (1917).

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 983

northern half of Sumatra. While the Dutch appeared in the Minangkabau


heartland

and began to directly engage the forces of Bonjol, the Tuanku Imam was
in a

position of military strength. His cavalry and his knowledge of the


highland plains

and mountains were unmatched, and his troops had proven themselves
capable

of defeating Dutch forces (Kroef 1962, 151–53; Clarence-Smith 2004,


276).

82
Control of rice fields and croplands, as well as gold mines, guaranteed
his soldiers

food and supplies. However, in his memoir the Tuanku is doubtful and
needs to

reaffirm the focus of his struggle. He contemplates for eight days and
then calls

his advisors to him for deliberation. “There are yet many laws of the
Qur’an that

we have overlooked. What do we think about this?” (Adapun hukum


kitabullah

banyaklah nan terlampau dek oleh kita. Itupun bagaimana pikiran kita?).
His

advisors affirm, “We have overlooked many of the laws of the Qur’an”
(Banyak

lagi nan terlampau hukum kitab oleh kita)(Imam Bonjol 2004, 39).

With his spoils, the Tuanku funds four of his followers, including Tuanku

Tambusai and his matrilineal nephew, Fakih Muhammad, sending them


on the

hajj to acquire the “true law of Allah” (kitabullah nan adil/hukum


Kitabullah sebe-

narnya)in Mecca (Imam Bonjol 2004, 39–40). The Tuanku continues to


wage his

war aggressively, burning enemy villages, killing the nobility, and building

mosques. But the hajji return with unanticipated news: They report that
in

83
Mecca, the Wahhabi have fallen and the laws as studied by Haji Miskin
are

invalid. In the text of the Naskah, Tuanku Imam Bondjol now makes an
extraordinary

narrative shift.

Tuanku Imam Bondjol is chastened and repentant. He immediately


returns

the spoils of war and calls a great meeting of all the Tuanku and hakim
(judges),

basa and panghulu (customary rulers), declaring a truce and promising


that he

will no longer interfere in the work of the traditional authorities. While


discord

remains unsettled, the people agree to follow the law of adat basandi
syarak—

shariah as the basis for custom.

And they accepted the law of the Qur’an and they followed the Qur’an.

So all the plunder and spoils were returned to their owners. And Friday,

when everyone had arrived at the mosque, and they had yet to start their

prayers then the Tuanku Imam, before all the judges, restored things to

as they had been. “Ispeak to all the adat leaders and all the nobles in
this

state. And although more enemies may come from all directions rather

than fighting them you adat leaders and I will live in mutual respect

84
and peace and no longer will I meddle in the lives of the adat leaders

in the state of Alahan Panjang. And so I restore all that is bad and

good in this nagari” [village confederacy].

Dan terbawalah hanyolai hukum kitabullah dan terpakai kitabullah

hanyolai. Jadi pulanglah segala harta rampasan dan kembali hanyolai

kepada segala yang punya dan pada hari Jumat dan sekalian sudah

tiba dalam mesjid, antara lagi belum lagi sembahyang maka beliau

984 Jeffrey Hadler

Figure 2. Portrait of Tuanku Imam Bondjol (Ridder

de Stuers, 1850).

Tuanku Imam memulangkan hanyolai masa itu dan sekalian hakim.

“Kepada sekalian basa dan penghulu dengan segala raja-raja dalam

nagari ini. Dan jikalau ada lagi datang musuh dari kiri dan kanan
melainkan

lawan oleh basa dan penghulu dan saya hendak tinggal dituahnya

hanyolai dan tidak lagi saya amoh masuk dalam pekerjaan segala basa

dan penghulu di dalam nagari Alahan Panjang ini. Dan memulangkan

saya buruk dan baik nagari ini.”

“Now you speak this way to us, Tuanku, and so it is upon you that our

hopes rest. You will replace our elders, and if oppressed or constrained

85
we will complain but to you and you will be our protector.” This was

the request of all the adat leaders to the Tuanku Imam. And so they

applied the law according to the teachings of the Qur’an. And the adat

leaders used the law of adat basandi syarak—shariah as the basis for

custom. And if there was a problem with adat it would be brought to

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 985

the adat leaders. And if there was a problem with Islamic law it would be

brought to the four Islamic authorities. And so word spread to every

nagari and luhak from the nagari of Tuanku Rao and Tuanku Tambusai

[the Mandailing front] to Agam and Tanah Datar, to 50Koto and Lintau.

And so it is that today every nagari uses this division of authority.

“Sungguhpun demikian, kata Tuanku kepada kami, melainkan Tuanku

juga yang kami harapkan. Adapun Tuanku oleh kami akan ganti ninik

mamak oleh kami dan kalau sasak dan sempitnya pada kami melainkan

tempat mengadu juga dan pemilihara Tuanku juga kepada kami.” Itulah

permintaan sekalian basa dan penghulu kepada Tuanku Imam. Dan

kemudian itu terpakailah hukum nan sepanjang kitabullah. Dan


penghulu

dan andiko memakai hukum adat bersandi syarak. Dan jikalau

ada bersalahan adat pulang kepada basa dan penghulu. Dan jikalau

86
ada bersalahan kitabullah pulang kepada malin nan berempat. Maka

mashyurlah tiap-tiap nagari dan luhak dan nagari Rao Tambusai lalu

pula ke luhak Agam dan luhak Tanah Datar sampai ke Luhak Limo

Puluh dan sampai ke nagari Lintau. Demikianlah sampai sekarang

kini, lainyo terpakai juga pada tiap-tiap luhak dan nagari. (Imam

Bonjol 2004, 53–55)

This is a complicated passage and one whose language deviates from


the otherwise

straightforward narrative of the Naskah Tuanku Imam Bonjol. The


Tuanku

was writing his memoirs while in exile in Ambon and Manado (see figure
2). He

had in mind the twin audiences of the Dutch colonial state and
Minangkabau

posterity, knowing that the Dutch military would read the memoir and that
his

son would eventually return with it to West Sumatra. The meeting


described

here was a transformational moment in Minangkabau history. The Padri


War

as an Islamic reformist war was abandoned. The Tuanku surrendered in


his

struggle to purify Islam in Minangkabau and soon abandoned his house


and

87
mosque in Bonjol. The language, too, is ambiguous: He is
simultaneously

celebrated and derided by his former enemies.

In his memoir, the Tuanku Imam’s will to fight his fellow Minangkabau
crumbles

when he learns that Wahhabi teachings have been discredited. In an act


of

great moral bravery, the Tuanku publicly renounces his ideology, makes
reparations,

and apologizes for the suffering that his war has caused. In his memoir,

Imam Bondjol’s enemies respond formulaically, looking to him as a


patron. But

there remains some ambiguity and even anger in their reported


language.

They demand that the Tuanku Imam replace their elders, people likely
killed

by the Padri in their war against traditional authority. And it is unclear


whether

the Tuanku Imam is to appoint replacements or to personally take the


place

of the people he is responsible for killing. In his wish for peace, the
Tuanku uses

the term dituahnya. This is a form of royal blessing usually delivered by


the

sorts of nobles whom the Padri had hoped to eliminate. The Tuanku

88
Imam

986 Jeffrey Hadler

restores the antebellum status quo, confining religious authority to


matters of

shariah and allowing customary leaders to adjudicate social issues. He


proclaims

that “adat basandi syarak”—shariah will be fundamental, even in


questions of

social custom. In fact, a Dutch administrator would report in 1837 the


widespread

acceptance of the formula, “Adat barsan di Sarak dan Sarak barsan di

Adat,” which asserts that both Islamic law and local custom are mutually
constituted

and interdependent (Francis 1839, 113–14). Imam Bondjol claims a kind


of

victory in his accommodation with the traditionalists. Yetwe know that he


has dismantled

the Padri as a Muslim revivalist movement and that he will soon


withdraw,

temporarily, from his role as leader.

The voice of the memoir is now exhausted; the Tuanku Imam wishes for

peace with the “Company” (the common term for the Dutch colonial
government

89
long after the dissolution of the VOC), he is tired of living in a state

where the leadership is divided (Imam Bonjol 2004, 43). Soon after the

meeting with the local leaders, he gathers his family and leaves Bonjol
for

Alahan Panjang, turning the fort over to three customary chiefs. Within
days

these three panghulu agree to surrender Bonjol to the Dutch for a


promise

that the Dutch troops will not disturb the fort. However, the Dutch and
Javanese

soldiers soon evict the Minangkabau from Bonjol and occupy the fort,
using the

Tuanku’s house and even the mosque as a garrison. The Tuanku Imam
learns of

this and calls for a meeting with the Dutch commander Elout. In their
conversation,

the Tuanku Imam offers a truce, explaining that he is sixty years old and
too

tired to fight. Elout recommends retirement and appoints Tuanku Mudo,


Tuanku

Imam Bondjol’s protégé, as regent of Alahan Panjang. But the peace


does not

last. Both the Padris and the traditionalists are furious at the Dutch and
Javanese

abuse of the fort and mosque. After an incident of Dutch mistreatment of

90
Minangkabau workers in which a man is shot, the Minangkabau (in the
words

of the memoir) run amuck, slaughtering the Javanese who were


encamped in

the mosque and 139 Europeans stationed in the town. On January 11,
1833,

the war enters a new phase, that of the unified resistance of


Minangkabau

society to Dutch occupation.

Tuanku Imam Bondjol again becomes a military leader, and the memoir

remains exceptionally detailed. He is often on the run, living in the


woods, engaging

in guerilla warfare with the Dutch. The Tuanku Imam is no longer a


revolutionary,

overturning a corrupt society and bringing religion to his countrymen. He

is attempting to expel a foreign invader, and then he is trying to survive.


The

memoir describes a life shuttling from house to house, listing the names
of

mothers and children killed in the fighting, dreaming of peaceful days in

Alahan Panjang. Tuanku Imam Bondjol is no longer a man blessed with


the certainty

of the zealot. His memoir becomes a text of doubt and trepidation.


Tuanku

91
Imam Bondjol is tired of living in the forest and fears for the welfare of his
family.

He becomes increasingly conciliatory, making speeches to traditional


elites and

assuring them of their essential place in Minangkabau society, meeting


Dutch

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 987

officials and attempting to win guarantees of protection for his children.


The

fighting remains horrific, but slowly, the Dutch gain ground and retake
Bonjol,

defeating the Minangkabau rebellion in 1837. Resident Francis and other


officials

decide that the Tuanku Imam is too subversive a presence to allow him
to

remain in West Sumatra, as he has requested. He is exiled to Java, then


to

Ambon, and eventually to Manado, where, after a final five years of


illness and

pain, “at the end of his years, and out of luck” (Imam Bonjol 2004, 190),
the

Tuanku Imam dies.

The Tuanku Imam Bondjol had an epiphany of regret regarding


Wahhabilike

92
teaching and then a second life that combined warfare with conciliatory
discourse.

But as the Dutch reports attest, his career was otherwise marked by

extreme violence. In the 1820s, the moderate reformist Jalaluddin


recounted

his own experiences of the war for a Dutch audiance. Jalaluddin


complained

that yes, the traditionalists of Agam were warlike, unable to differentiate


halal

from haram, and willing to sell their mothers and siblings for the right
offer.

But the Padri were worse.

There are good aspects of the Tuanku Padri, they organized prayers and

enforced alms-giving and fasting during Ramadan, and undertook the

hajj as they were able, and repaired mosques and bathing places, and

wore permissible clothes, and commanded people to pursue knowledge,

and commerce. And there are wicked aspects of the Tuanku Padri who

committed arson, who [without customary authority] appointed officials

in the villages, and murdered without cause, that is they murdered all the

ulama[who disagreed with them], and murdered all the courageous

people [who stood up to them], and murdered all the intellectuals,

calling them traitors, and pillaged and looted, and took women who

had husbands, and married women of unequal rank without their

93
consent, and captured people and sold them into slavery, and made
concubines

of their captives, and insulted noble people, and insulted elders,

and called the faithful infidels, and deprecated them.

Adapun yang baik sebalah Tuanku2 Pedari ialah mendirikan


sembahyang

dan mendatangkan zakat dan puasa pada bulan Ramadan, dan

naik haji atas kuasa, dan berbaiki mesjid dan berbaiki labuh tepian,

dan memakai rupa pakaian yang halal, dan menyuruhkan orang


menuntub

ilmu, dan berniaga. Adapun sekalian yang jahat daripada Tuanku

Paderi menyiar membakar, dan menyahkan orang dalam kampungnya,

dan memunuh orang dangan tidak hak, yaitu memunuh segala ulama,

dan memunuh orang yang berani2, dan memunuh orang yang cerdik

cendaki, sebab ber’udu atau khianat, dan merabut dan merampas, dan

mengambil perempuan yang bersuami, dan menikahkan perempuan

yang tidak sekupu dangan tidak relanya, dan menawan orang dan

berjual dia, dan bepergundí tawanan, dan mehinakan orang yang

988 Jeffrey Hadler

mulia2, dan mehinakan orang tuha, dan mengatakan kafir orang

beriman, dan mencala dia. (Kratz and Amir 2002, 49)13

94
The reaction of the Europeans to this Padri violence would have far-
reaching

implications for Indonesianist scholarship. The British Sumatranist


William

Marsden was convinced that the Minangkabau kingdom was the cultural
heart of

the Malayworld—a place where Sanskrit and Indic culture first


toucheddown, civilizing

and ultimately redeeming the Malays as it hadthe Javanese. In an early


influential

essay, Marsden recommended an exploration of the Minangkabau


kingdom,

that the originalHindu-Malay transmission texts might be discovered,


uncorrupted

by Arabic (Marsden 1807, 218, 223). Thisidea that Minangkabau was the
“ancestral

home” of the Malay peoples shaped early Indonesianist philology, as


itcontinues to

shape Minangkabau self-perception today(Cust 1878, 133; Andaya


2000). The

Padri War was therefore a threat to Pagaruyung, the ancient


Minangkabau palace

and the source of Malay culture (Drakard 1999). Minangkabau was


granted a privileged

position within the cultural strata of Indonesia. Marsden’s essay set up

95
Minangkabau

as the Indic contact point for the Malay world. The palace ofPagaruyung,

the fabled kingdom in the Minangkabau highlands, would for the


disciples of

eighteenth-century Indology place the Malay people on the same cultural


plane

as their more overtly Hindu neighbors, the Javanese.

When Raffles made his famous expedition into the Padang highlands in
1818,

Marsden’s hypothesis was tested. Raffles traveled inland from Padang,


seeking

out the legendary kingdom of “Pageruyong,” and found a ruin whose


boundaries

were marked only by fruit and coconut trees. In a feat of archaeological


alchemy,

Raffles conjured up the kingdom from rubble and scrub. The “once
extensive

city” had been thrice burned, and the ongoing Padri Wars had left the
great

Hindu-Malay stronghold abandoned and weed-clogged. In the village of

Suruaso, Raffles and his entourage were escorted to the “best dwelling
which

the place now afforded—to the palace, a small planked house about
thirty feet

96
long, beautifully situated on the banks of the Golden River(Soongy
Amas).

Here we were introduced to the Tuan Gadis, or Virgin Queen, who


administered

the country.” These ruins (or fantasy of ruins) were proof of the great and
noble

history of the Malays, a civilization that once rivaled the Javanese and
was now

evidently “retrograde.” And when Raffles upends the stone stairway of a


small

mosque, revealing a “real Kawi” [old Sanskritic Javanese] inscription, we


know

what is to blame for the tragic degeneration: Islam. The necropolis of


Pagaruyung,

the shadowy “site of many an extensive building now no more,” is


demarcated

in scorched earth and a “few venerable trees.” Melancholic, quoting

the Brata Yudha, Raffles could still see the palace in a stand of
sugarcane, the

throne etched in a large flat stone (Raffles 1830, 358–60).

13Kratz argues that the manuscript was produced before 1829, and
therefore before 1833 and the

shift from civil war to broad social resistance to the Dutch.

97
Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 989

Raffles’s mission marked the beginning of an extensive and ongoing


foreign

penetration into the hills of West Sumatra. His sadness, his failure to find
the

Hindu-Javanesque kingdom that would legitimate Malay culture, would


demonize

Minangkabau Islam in the writings of many of the scholars who followed

him into the highlands. And his overturned mosque-stoop, an uncovered


and

“real” proof of Hindu origins, can serve as a parable for the syncretic
excavations

thenceforth undertaken by Indonesianist anthropology.

ARCHIVE

We turn to the peculiar form of the text of the Naskah Tuanku Imam
Bondjol.

The text comprises three distinct sections. The first 190 pages are the
memoir of

Tuanku Imam Bondjol himself, from his youth to his death in Manado,
brought

back to West Sumatra by the Tuanku’s son, Sutan Saidi, who


accompanied him

into exile. Pages 191–324 are the memoir of another son, Naali Sutan
Caniago,

98
who fought alongside his father in the jungle and who was granted a
position

in the Dutch colonial administration as part of the terms of the Tuanku’s


surrender.

The third section, pages 325–332, contains the minutes(Proses


Verbal)ofa

pair of meetings held in the Minangkabau highlands in 1865 and 1875.


Many

Malay manuscript collections contain multiple and unrelated texts bound


into

single volumes. They are not read intertextually. In the case of the
Naskah

Tuanku Imam Bondjol, it is precisely the connectedness of the texts that


gives

the story of the Tuanku such potency.

The Dutch scholar Ph. S. van Ronkel, who was given access to the
manuscript

in the 1910s, when it was in the possession of the Tuanku’s descendants


in Lubuk

Sikaping, read the third section as a distinct and separate text. In an


article on

“The Establishment of Our Penal Code on the West Coast of Sumatra


According

to Notations in a Malay Manuscript,” he noted that three different scribes


had

99
written the individual sections (1914, 251). Van Ronkel summarizes the
third

section of the Naskah, describing a major gathering of Dutch legal


experts,

leaders of the residency government, and all the principal Minangkabau


officials

working for the Dutch colonial state. He correctly views the meetings as
a turning

point in the incorporation of West Sumatra into the Netherlands East


Indies. And

in order to appreciate the significance of these meetings, we need to


review the

sorts of intrusions the Dutch colonial state imposed upon civil society in
the Minangkabau

region between the 1820s and 1875.

The year 1847 brought the cultuurstelsel, a system for the forced
cultivation

of coffee, to the highlands of western Sumatra. With this, the Dutch set
up a

mechanism for maintaining a native managerial corps, including the


positions

of kepala nagari and tuanku laras, which were first introduced in 1823

(Ambler 1988, 49–51). The Dutch understood that calling their regional
administrators

“Tuanku” would undermine the potency of the traditional and, until this

100
990 Jeffrey Hadler

point, exclusively Islamic title of Tuanku. Initially, the kepala nagari was
responsible

for enforcing the collection and delivery of coffee, receiving a bonus for

success or considerable jail time for failure (Colombijn 1998). By the


1860s,

a newer position, the panghulu suku rodi, had been introduced to


manage

both coffee collection and the fulfillment of corvée duties (Abdullah 1967,

36–37). In 1875 hajjis were formally banned from work with the
Binnenlandsch

Bestuur—the colonial civil service—furthering the perception that the


Dutch

meant to foist an anti-Islamic elite on Minangkabau (Hasselt 1882, 61).


This

was the period when Minangkabau began sarcastically to call


themselves “leafcoffee

Malays,” in reference to the scraps of harvested bushes from which they

would brew a weak beverage (Zed 1983). It was for most a difficult time.

Elizabeth Graves cites a report from the late 1860s that discusses the
abuse of

corvée labor. Not only were people compelled to build coffee


warehouses and

101
government buildings, but also,

Each larashoofd [Tuanku Laras] demanded his own residence and office

in the territorial center for when he had to confer with Dutch officials. To

make matters worse, local officials, both Dutch and Minangkabau, often

misused the corvée levies, demanding in some cases extravagant


architectural

styles and decorations which increased the already onerous

task. (1981, 68).

In 2001 the daughter of a Tuanku Laras recalled her father’s perquisites


—four servants

performing corvée duty anda horned-roof house, one of only thirteen that
the

Dutch permitted to be built in areas of new settlement(Aman 2001, 15,


60). These

Dutch-made panghulu, kepala,andtuanku outlasted the cultivation


system that had

once given them purpose andjustification. The corruption of the “false”


adat elite

led directly to the near uprising of 1897 and the Anti-Tax Rebellion in
1908

(Young 1994, 49–83). Yet they survived these challenges, and the
trappings of

their offices have until the present defined the guise of authority in
Minangkabau.

102
Debt bondage and slavery were common throughout the Malay world,
and

every household could have its attendant slaves, people captured


through

raiding or indentured to the house. Then on January 1, 1860, the Dutch


government

formally abolished slavery in the Indies (Verkerk Pistorius 1871, 26–30,

106–11). Such declarations did not necessitate immediate


implementation. It

was only in 1875 that T. H. der Kinderen, the colonial law reformer, came
to Minangkabau

from Batavia, slaughtered a buffalo in each of the three principal districts

(luhak), and proclaimed all the slaves to be free (Kinderen 1875, 1882;

Sanggoeno di Radjo 1919, 93).

Immediately, elite Minangkabau society devised a means to recognize


absolutely

the class and status of a household. New kinship terms, such as


kamanakan

dibawah lutuik (sister’s children “below the knee”), were coined to


designate the

former slaves. The “free” families lived in longhouses at the center of the
village,

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 991

103
in places reserved for the “original settlers.” Slave families were
segregated,

restricted to the margins of the village, and initially limited to particular


styles

of houses (Verkerk Pistorius 1871).

In 1872, Van Harencarspel, the self-described “chief secretary”


(secretaris

basar) of the colonial government, drafted regulations controlling


movement

and domestic behavior for all non-European residents of the colony


(Toorn

1894). The laws set fines not only for unauthorized movement and
residence

but also for what was deemed to be inappropriate behavior within the
longhouse.

The fines were tiered according to the offense, and they provide a telling
gauge of

Dutch priorities.

The following offenses were, evidently, least offensive to the Dutch:


“Wrongful

movement” and “wrongfulresidence in a village” brought penalties


ofjustone to

fifteen rupiah. Awoman facedthe same fines ifshe slept witha man other
than her

husbandor slept away from her house (roemah tangganja)for more than

104
one night

without permission. The appended notes clarify this: “An overstepping of


these

prohibitions occurs ifa woman engages in various acts witha man, but
does not

technicallycommit adultery.” Aman, too,could be fined for


havingillicitrelations

with a marriedwoman. Trespassingand the unauthorized disposalofrotten


goods

also garnered fines ofone to fifteen rupiah(Toorn 1894, 1–9, notes p. 30).

Greater fines—from sixteen to twenty-five rupiah—could be levied for


intentional

malice, the manufacture of firearms or gunpowder, or failure to guard


one’s

house. Failure to watch over children or the insane were likewise


punished. The

largest fines, twenty-six to sixty rupiah, were reserved for people who
wrongfully

called meetings, squatted on another’s property, or sold amulets


(presumably

promising invulnerability) (Toorn 1894, 15–24).

Most ofthese prohibitions were easilypoliced—wrongful residence,


squatting,

and arms manufacture were quickly investigated and confirmed. Other,


more

105
lustfulcrimes were far more difficult to prove and would have requiredthe
weighingoftestimonyandallegation.

While Minangkabau would have tried to settle disputes

without turningto the Dutch, irreconcilable differences left the colonial

justice system as the arbitrator of last resort. The new legalsystem, of


course, generated

its complement of native lawyers, jaksa and jurusita,attorneys, and


bailiffs.

Butaverage Minangkabau also setout to learn the new language of


Western law.

Books were published explaining the new regulations, many appending


sample

“official letters” and petitions (Kinderen 1882;Pamoentjak 1895;


Blommenstein

1903). The Dutchattempt to turn Minangkabau into a litigious culture


largelysuc-

ceeded—although efforts to regulate marriage were resisted whenever


possible.14

Landdisputes tied upproperty for generations, intestate(Colombijn 1994).


Under

the Dutch, Minangkabau lived with colonial law and were watched by a
native

14While the Civil Registry (Kantor Catatan Sipil) in Padang lists around
fifteen native women

marrying Europeans (soldiers mostly) every year of the colonial period,

106
none of these women

was explicitly noted as Minangkabau.

992 Jeffrey Hadler

constabulary. Fines were enforced, and failure to pay meant time in


prison. The

colonial legal system was an intrusion that began during the Padri War
but was

accelerated and made procedural in the meetings described in the


Naskah

Tuanku Imam Bondjol.

The minutes included in the Naskah describe a sequence ofmeetingsin


the

centralcourt in Bukittinggi, the first on April 6, 1865, and the second on


December

14, 1875. Both meetings were chaired byDer Kinderen, who was
evidently not prepared

toinvest in ritual buffalo slaughter without first being assured ofa kind
reception

for his pronouncements. The meetings were attended by the governor of

Sumatra’s westcoast, J. F. R. S. van den Bossche;the resident of the


Padang highlands,

H. A. Steijn Parvé; eleven Dutch controllers; seventy-six Tuanku Laras;


and

107
untold numbers of clan heads and panghulu. At the 1865 meeting, Der
Kinderen

advocated for the creation of a regional bureaucracy, with local Dutch


officials

supervising Minangkabau counterparts who would be in charge of


carrying out

the regulations. The law would be a combination of local customary adat


and the

Indies-wide hukum of the colonial government, echoing the balance


between

adat and shariah that was part of the Tuanku Imam’s legacy. A decade
later, Der

Kinderen reconvened the meeting and evaluated the successful


implementation

of alegal bureaucracy in West Sumatra. It is only at this point, after ten


years of

state legalist propagandizing, that he promulgated the formal end of


slavery.

Areaderofthe Naskah will notice a familiar name among the roster of


Tuanku

Laras—Imam Bondjol’s son, Sutan Caniago, represented Alahan


Panjang.

In a separate article, Van Ronkel (1915) summarizes the first two


sections of

the Naskah Tuanku Imam Bondjol, but he fails to acknowledge an

108
intertextual

connection between the three sections. When read cohesively, it is clear


that

the Naskah is a single, polyvalent text. The first section, the narrative of

Tuanku Imam Bondjol, is a story of war and defeat. Tuanku Imam


Bondjol’s

singular triumph is the realization of his misguided decision to join the


Padris.

He embarks on a campaign of apology and restitution that is largely


ignored by

both the local traditional elite and the Dutch military. Nor is the Tuanku

Imam a martyr. He relents in the Padri War and is defeated in the war
against

the Dutch, but he is not executed. Instead, his request to remain in his
homeland

is denied, and he lives a long life as an exile in what might be considered


a Protestant

beach resort in northern Sulawesi. If people were searching Indonesian

history for unrepentant neo-Wahhabis, then they could choose from Haji

Miskin, Tuanku nan Renceh, or Tuanku Rao. If they wanted to


memorialize nonviolent

and moderate reformists, then Tuanku nan Tuo or Syekh Jalaluddin are

worthy of admiration. Instead, Tuanku Imam Bondjol is remembered—


aman

109
who was ultimately a military failure, who was ideologically disillusioned,
and

for whom a shift from violent action to conciliatory discourse was


rewarded

with exile and misery. Section two of the Naskah is equally perplexing.

In 1865, in time for the first ofthe two legal symposia, NaaliSutan
Caniago was

toilingas an unhappy bureaucrat in the colonialadministration. His


appointment

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 993

as Tuanku Laras seems to have been the result ofthe Dutchstate


fulfillinga thirty-

year-old promise to his father(Imam Bondjol 2004, 234). Sutan


Caniago’s narrative

is not one of warfare, but, like his father’s, it, too, is one of
disappointment and

humiliation. In years ofservice, Sutan Caniago clashes with corrupt


Minangkabau

colleagues andunresponsive Dutchsuperiors. The narrative concludes


witha long

series of dialogues between Sutan Caniago and Dutchofficials,


includingthe Tuan

Besar(the resident). During a dressing-down, Sutan Caniago protests,


claiming

110
that he does not proselytize (mendakwa)or even speak
butmerelywanders the

roadways supervising laborers(Imam Bondjol 2004, 257). He has


become a perverse

inversion of a traditional Tuanku. A religious Tuanku would be localized

and visited by students seeking knowledge. He would speak and not


move; his

voice would be the site of his authority. Sutan Caniago is voiceless,


moving aimlessly,

the sortof powerless wanderer who is a tragic figure in Minangkabau


litera-

ture(Hadler 1998, 141). He complains of people who mandago mandagi


(an odd

expression that suggests insubordination). The Tuan Besar asks him to


explain the

term, andSutan Caniago responds that mandago “is the makingofa


disturbance in

the country [negeri]that interrupts the livelihood of the people … And


mandagi is

the makingofdisputes that impede the flow ofmoney.” At this point a


sympathetic

datuk,a customaryleader, attempts to show respect for Sutan Caniago


and is reprimanded

by the jaksa, the native law official, in Dutch-inflected Minangkabau:

Do not, now, show respect to Tuanku Sutan in any manner. Why do you

111
pointlessly oppose the Dutch, and don’t start begging for mercy. Now

it is too late to beg for mercy.

Jangan, nou, disembah jua Tuanku Sutan pakai apa di no tu. Menagapa

awak sio-sio melawan anak Kompeni, jangan minta ampun jua lai. Tidak

boleh kini lagi minta ampun. (Imam Bondjol 2004, 259–60)

Sutan Caniago then requests to speakprivatelywiththe resident andthe


commander.

He threatens the state withthe wrathofhis children andsisters’ children if


his

grievances are not addressed, saying to the resident, “Iwillsalute you


from your

shoes to the tufts of your hair if you permit me to make my request part
of the

written record.” The text then seems to trail off, unresolved: “And so it
was

from this day forth I was allowed to remain outside of the[true] custom
and

request that the command of [invented colonial] custom and the


command of

the corvée bear witness to Lord Allah and Muhammad so concludes this
matter

in the year 1868 in the village of Kampung Koto in the house of Tuanku
Laras

Bonjol Alahan Panjang” (Imam Bondjol 2004, 264–65).

112
There is no recorded response to Sutan Caniago’s plea andno narrative
resolution

in the second section of the Naskah. But, of course, the text itself is the

answer to Sutan Caniago’s request. It is the written record that he


demanded.

And the apparently unconnected third section is the response of the


colonial

994 Jeffrey Hadler

state to his pledge for a life livedoutside Minangkabau tradition andunder


the

invented adat of colonial law. He has successfully generated an archive


—the

second section of the Naskah Tuanku Imam Bondjol. His voice is heard.
And

while we might suspect that Sutan Caniago would have been removed
or quit

his post as Tuanku Laras after the confrontation in 1868, we know from
the

third section of the Naskah that he attended both law meetings in 1865
and

1875. The Naskah Tuanku Imam Bondjol is the historyofthe Padri War,
but it

is also an allegory of the transition from precolonial custom and the


possibilityof

113
militant Islamic radicalism to a state of discourse and colonial law. This is
not

merelya matter of Dutch control but a return to an era of weak


kingshipand consultative

adat councils that was remembered as a politically stable period before

the Islamic reformism of the later eighteenth century. The Naskah


Tuanku

Imam Bondjol appeals to the deliberative idiom of Minangkabau


adat,tothe traditional

“democracy” ofthe highlands, and to a vision ofa local political tradition

that was relatively egalitarian and nonviolent. After the turmoil of the
Padri

Wars, the colonial state might have evoked the discursive power of what
Jane

Drakard(1999) has calledthe seventeenth-century “kingdom of words,” a


time

when textualauthority superceded military power and Minangkabau was


defined

not bymilitarymuscle but by the rhetorical prowess of the court.

TROPE

In 1908 West Sumatra was again in rebellion, in response to the shift


from the

cultivation system to a money tax. But by the 1910s, the Minangkabau


highlands

114
had been pacified and trumpeted by the colonial administration as a
tourist destination,

a tropical Switzerland of meadows, lakes, and waterfalls. Guidebooks


promoted

the natural beauty of the region but also made a point of describing the
sites

of the Padri War, battlefields usually marked with grand monuments


(Westenenk

1913; see figure 3). Bahder Djohan, a Minangkabau intellectual training


to be a

medical doctor in Batavia, wrote of these monuments in the journal


Jong-

Sumatra. Thoughtful travelers, he remarks, will notice the towers


dedicated to

Michiels and Raaff and will be curious about what events they
commemorate.

Cast your gaze to the highlands of the Padang-Darat, red with spilled

blood that flowed from the hearts of brothers and sisters. Your ears

will hear again the dejected cries of lost souls, scattered in a civil war.

You will recall a specific moment, so difficult to forget, when combatants

from abroad, equipped with the tools of civilization and struggle, set foot

in the highlands where the victory banners of the Padri fluttered in the

breeze, and upon the ruins of this mazhab established European

control (that has been only occasionally shaken by the rebellions of the

115
local states). Up until today this European control has sunk its roots

firmly into the earth. (Djohan 1919)

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 995

But if Djohan is critical of the Dutch, he is equally unhappy with the


Padris:

At that time too the world witnessed the destruction of the kingdom of

Minangkabau, a kingdom that had long shined gloriously in its greatness,

a greatness that still radiates in the hearts of the people of Central

Sumatra, though at that time the Minangkabau star sank into the ocean

of history, anduntil now is mourned by the people as a lost paradise.

Bahder Djohan was, in the eyes of the colonial state, an ideal subject, a
man

who represented the fruition of the theory of association, a citizen of the


tropical

Netherlands. He was fluent in Dutch and his critique of colonialism was

nonthreatening and nonviolent, conducted in the salons of the capital


and

among sensitive native and Dutch intellectuals. His essay on the Padri
era

cites Dutch sources, and he is poetic when reflecting on the failure


ofmoderate

reformism:

116
We are writing about the beginning of the nineteenth century. The sun

had almost set. His vanishing rays gilded the edges of the western sky.

In the valley of Agam, in the nagari Koto Tuo, a renowned religious

scholar sat up in a prayer house. Tuanku Koto Tuo was observing the

sky as it clouded over. What was it that was appearing in his face?

What had he felt, that the sun now sinking would bring prosperity and

peace to his land? What did he feel, that the gold in the clouds reflected

flames that would soon ignite all groups and show them a way of
thinking

and provide them with direction?

Or was he then contemplating his beloved student, Tuanku Nan Renceh,

then teaching in the nagari Kamang? Had he felt that the conduct of his

student who he had hoped would plant the seeds of unity/brotherhood

among the inhabitants of Minangkabau had gone on to ignite animosity

between siblings(sanak saudara)andwithin families(sekaoem


sekeloearga)?

Tuanku Koto Tuo’s tears flowed, and his sobs cut into the stillness of
calm

of the highlands, that were now covered in a sheet of darkness …

Bahder Djohan goes on to provide a critique of the violence and what he


sees as

the venomous Wahhabi ideology of the Padri. Haji Miskin and Tuanku
nan

117
Renceh are to him traitors and murderers, and unredeemable. But
Bahder

Djohan concludes,

And unlike those who merely follow their passions, there was one who

would inscribe his name in the hearts of the people he loved. So the

history[tambo] of Indies wars will never forget the name of Tuanku

Imam, an honest and straightforward man, forced to join in sailing his

prahu in a sea of tears that were shed by his own people.

996 Jeffrey Hadler

Figure 3. Padri War monument (Boelhouwer 1841, frontispiece).

Djohan imagines Tuanku Imam Bondjol standing alone on the hill


overlooking

Bonjol,

Wrapped in his white robe, in his left hand the string of prayer beads,

while his great turban shaded a face that was no longer shining, two

eyes staring out as far as they could see as though searching for some

luck that would never again be found.

The 1910s, when Bahder Djohan was writing, marked the start of the
pergera-

kan,an “age in motion” for Indonesia, a time of radical politics when


nationalism

118
was not yet the obvious goal of anticolonial struggle (Shiraishi 1990).
Bahder

Djohan was part of a small native elite who were receiving a higher
education

in the capital. He was an intellectual who celebrated science and


modernity, an

internationalist who nevertheless was a Minangkabau patriot. Bahder


Djohan

was able to envision a history of Minangkabau in which Tuanku Imam


Bondjol

was noble and tragic, a person for whom the violence that seemed to
come so

easily was in fact a defensive reaction of last resort. In West Sumatra,


the

figure of Imam Bondjol was, in the pergerakan, constructed as the


ideological

ancestor of the modern political struggle. The trajectory of Tuanku Imam


Bond-

jol’s life—conflicted, tragic, and aleatory—would be a parable for the


women and

men of the Age in Motion.

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 997

In the 1910s and 1920s, colonial West Sumatra was a world turned
upside

119
down. For Minangkabau it was not unreasonable to believe that the
dayof reckoning,

foretold in the Qur’an, was imminent. In smaller villages, the conflict


between

reformist and traditionalist religious leaders had proved divisive; in


separate

mosques and prayer houses, doomsayers awaited Judgment Day and


final arbitra-

tion.15This religious factionalism was particularly significant for the


nagari—the

Minangkabau “autonomous village republics” whose ideal composition


included

a single prayer house.16Two decades of social and bureaucratic


intervention had

transformedthe nagari, and in 1914 the NagariOrdinance formally


reorganized

local authority. Dutch-sanctioned headmen, panghulu,administered taxes

through a new “nagari council.” Its mollifying nod to tradition and


restoration

fooled nobody (Oki 1977, 82–91). Less visibly, dogmatic disputes began
to

cleave families. Uncles, nephews, fathers, and sons were set against
one another

in their allegiance to particular ideological groupings—traditionalist,


reformist,

120
and so forth. With both religious authority divided and the traditional
leaders

corrupted, the sacred pillars of Minangkabau society were teetering


precariously.

This social uncertainty made the figure of Tuanku Imam Bondjol, whose
life was

a tale ofmissteps, reversals, and disillusionment, appealing and familiar.

West Sumatra was unusual in that the most factious debates took place
in

small villages, many of them with local printing presses. Politics and
“modernity”

did not originate in the provincial capital. As villages fractured, so, too,
were the

urban centers caught up in the pergerakan and movements of political


and social

awakening. In the hill town of Padang Panjang, the famous modernist


Thawalib

schools became the loci of a form of intellectualized Islamic communism.


Disaffected

civil servants in Silungkang allied with Ombilin coal mine workers, and in

the final hours of 1926, a communist uprising broke out in the nearby
industrial

town of Sawahlunto (Nasution 1981, 83–91).

The period following the communist Silungkang uprising brought


increased

121
Dutch surveillance and repression to West Sumatra. The dynamic years
of movement

and intellectual strife were coming to an end in the Minangkabau


highlands,

as they were in the rest of the Indies. In 1930 the ulama were united

one last time, in successful opposition to the colonial “Guru Ordinance.”


This

was a revision of a law that had been in place in Java and Madura since
1905,

requiring any would-be Islamic teacher to obtain permission from a


district

chief before speaking publicly (Abdullah 1971, 110–13). And in fact,


there was

a final flare of political activity in Minangkabau in the early 1930s. New


parties

On the religious schisms, see Zaim Rais (2001). Literature on the period
has been dominated by

Muhammadiyah-influenced Minangkabau (particularly Hamka and


Mahmud Yunus), who characterize

the traditionalists as superstitious bumpkins. In pedagogical techniques


and political networks,

the traditionalists were no less sophisticated or “modern” than the


reformists.

16The nagari comprises five fundamental institutions: It must have a


road(berlebuh), bathing place

122
(bertapian), meeting hall(berbalai), mosque (bermesjid), and field or
square (bergelenggang)

(Sanggoeno di Radjo 1919, 96).

998 Jeffrey Hadler

launched aggressive campaigns of rallies and demonstrations; in the


face of

increased nationalist awareness, local politics promoted


Minangkabauness, tjap

Minangkabau. But in 1933, travel restrictions within Minangkabau began


to be

strictly enforced. A network of police informants created suspicion and


undermined

morale within the increasingly circumscribed movement of the


pergerakan.

And following their century-old and successful policy, the Dutch boosted

the power of local adat authorities as a self-suppressing element in


Minangkabau

society (Abdullah 1971, 176–205; Kahin 1984). In August, 1933, the


colonial government

arrested many of the Minangkabau activists, snuffing out the last spark

of the movement in Minangkabau. As Taufik Abdullah writes,

The extensive politicization of Minangkabau made it one of the most

dangerous regions in the eyes of the government. The government

123
vigorously

applied the repressive measures which characterized the policy of

rust en orde [peace and security]. Minangkabau became the test case
for

the government’s hard-line policies. “From the West Coast (of

Sumatra),” according to a famous colonial theoretician, de Kat Angelino,

“the victory begins.” (1971, 195)

It was the Silungkanguprising that had signaledthe endof overt


Minangkabau

politics, however. Following the uprisings, the pergerakan movements,


channeled

through the prison camp Boven Digul and nationalist youth oath
“Sumpah

Pemuda,” became focused upon a future Indonesia. The schools and


movements

had undergone transformations, preparing them for a shift to


nationalism.

During the 1920s, the Thawalib and Islamic schools in Padang Panjang
and Bukittinggi

had become self-funding, raising money through the sale of books


published

by Syekh Muhammad Djamil Djambek’s press, Tsamaratul Ichwan, and


utilizing

established networks of Minangkabau batik traders for sales and

124
distribution

throughout the Indies(Noer 1973, 35–37; Daya 1995, 245–300). Soetan


Mangkoeto,

a graduate of these reformist schools, promised to donate 10 percent of

the proceeds of his book to help build schools in Padang Panjang. This
book,

Preachers’ TorchofIndonesianIslam, was an attack on the Guru


Ordinance. By

the late 1920s, we can already read the dominance of “Indonesia,” of the

Sumpah Pemuda and nationalism, in local writings:

The children of Indonesia who desert or neglect Islam, no matter how

much they might shout about saving their nation and homeland

(Greater Indonesia), they will never attain it. (Mangkoeto 1929, 43)17

17“Anak Indonesia jang meninggalkan atau melengahkan agama Islam,


biar bagaimana djoega

dianja berteriak akan mentjari keselamatan bangsa dan tanah air


[Indonesia raja] tentoe tidak

akan tertjapai.”

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 999

And the heyday of the movements of the Minangkabau pergerakan, the


first two

decades of the twentieth century, a time of manifold voices and visions,

125
would

never return.

With political oppression came restrictions on publishing and widespread

censorship (Yamamoto 1995; Maters 1998). It was in the aftermath of


the crackdown

that the former activists redirected their energy into publications that

would not raise eyebrows in the Office for Native Affairs. This publishing
industry

was centered in West Sumatra, in Padang and Bukittinggi, and in Medan


in

North Sumatra. The majority of the writers were Minangkabau or


Mandailing

(the Batak society that was the target of Tuanku Imam Bondjol’s northern
campaign).

The books produced were inexpensive magazines called roman pitjisan,

penny dreadfuls, and were printed for subscribers in large print runs
(three thousand

copies was usual) that were always sold out. These booklets found their
way

into the many lending libraries scattered across the archipelago.


Compared to

most contemporary publications, their readership was extremely broad


(Oshikawa

1990; Siegel 1997; Maier 2004).

126
Only a very limited number of the roman pitjisan survive in the archive.

Despite the large number printed, they were not considered to be


serious literature

and worthy of a place in permanent collections. They were printed on


cheap

paper, and a single copy was often circulated among a large group of
readers. Surviving

texts are always brittle and disintegrating. However, a persistent search


of

the libraries in Indonesia, the Netherlands, and the United States has
uncovered

a few hundred extant roman pitjisan, and of these, there are eight texts
from the

1930s and 1940s that feature Tuanku Imam Bondjol (Sou’ib 1938;
Dihoeloe

1939; Darmansjah 1940; Umri 1940; Turie 1941; Sou’yb 1948–49). All
texts

portray the Tuanku Imam as a noble and tragic figure, and all freely
blend

known history and fiction. Like most roman pitjisan, there is a very thinly

veiled anticolonial subtext in these stories. Dihoeloe’s book, The Story


and

Struggle of Tuanku Imam Bondjol as a Hero of Islam: Compiled from the

Notes of His Son the Late Sutan Caniago, tries to hew most closely to
historical

127
narrative conventions. Yet in this text, the critical moment, the gathering
of the

traditional elite and ulama in which Tuanku Imam Bondjol renounces


Wahhabism

and attempts to reconcile Islam and Minangkabau custom, is here


described

in Dutch buzzwords as a Propaganda-Vergadering,a “propaganda


meeting”

(Dihoeloe 1939, 12). For these authors, Tuanku Imam Bondjol is clearly
established

as an ancestral allegory of defeated anticolonial resistance, one whose

fate their friends, exiled to the prison camp at Boven Digoel, now shared.

The roman pitjisan are delights for literary historians. The language in
them

is experimental and incisive and the politics obnoxious. But they


represent a

tragic turn in Indonesian intellectual history. The 1930s repression forced


the fictionalization

of historical discourse, and this textual movement was spearheaded

by writers from West Sumatra. The novelists who created the roman
pitjisan lived

in a time when secular novelistic and religious lives were not exclusive.
Authors

128
1000 Jeffrey Hadler

such as Hamka and Jusuf Sou’yb had careers that saw adat and Islam
decompartmentalized.

They were free to write novels or religious tracts, but they could not

produce direct political discourse without the promise of censorship and


threat of

exile. This inability to address political and historical issues


unambiguously led to

a stagnation of historiographical analysis in West Sumatra that lasted


through the

Japanese occupation, the revolution, and into the national period. The
postrevolutionary

1950s, a dynamic time in Indonesian political life, brought little historical

introspection to West Sumatra (Asnan 2004). In the late 1950s, in


response to

the victory of Sukarno’s secular nationalists and communists in the 1955


elections,

West Sumatra erupted in what has been called a “half-hearted rebellion.”

Minangkabaus had no stomach for waging war against a central state


that they

had recently fought to create, and Indonesian forces smashed the


Revolutionary

Government of the Republic of Indonesia (PRRI) with relative ease


(Feith and

129
Lev 1969; Kahin and Kahin 1995).

By the middle of 1961, Minangkabau patriotism was ruined. The PRRI


revolutionary

government secessionists, whose three-year struggle against the

national state had been a protest against the central government’s


perceived

Javanism and communism, were beaten. Minangkabau people left West

Sumatra for Jakarta and Medan, never to return. This was a time of
rantau

cino, permanent “Chinese” out-migration, when Minangkabau gave their


children

Javanese names and grumbled that at home in Sumatra, “the winners

(yang Minang) have all left, what remains are the water buffalo
(Ka[r]bau).”

Jakarta’s Padang restaurants boomed and migrants from Sumatra,


ethnicity withheld,

fitted themselves into lives far from ancestral highlands and unhappy

memories.

The year 1963 brought another slap to the exhausted Minangkabauists.


In his

wonderfully bizarre “Tuanku Rao: Hambali Islamic Terror in the Batak


Lands

(1816–1833),” the Mandailing writer Mangaradja Onggang Parlindungan


scoffs,

130
The Brothers from Minang are severely handicapped due to their belief

in ahistorical myths. The myth of Alexander the Great’s dynasty, the myth

of the Victorious Buffalo, the myth of the ur-Mother, the Legend of


Minangkabau

and the like have been swallowed whole by the Brothers from

Minang. They have been incapable of selecting-out the 2% historical


facts

and kicking-out the 98% mythologic ornamentations within those myths.

They have not made the slightest effort to seek out accurate dates and

put an end to the big confusions.

Brothers from Minang sangat parah handicapped, karena kepertjajaan

mereka akan mythos2 tanpa angka2 tahunan. Mythos Iskandar


Zulkarnain

Dynasty, Mythos Menang Kerbau, Mythos Bundo Kanduang,

Tambo Minangkabau, dlsb., semuanya 100% ditelan oleh Brothers

from Minang. Tanpa mereka sanggup selecting-out 2% facta2 sejarah

dan kicking-out 98% mythologic ornamentations dari mythos2 itu.

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 1001

Tanpa mereka sedikit pun usaha, mentjarikan angka2 tahunan untuk

menghentikan big confusions. (1963, 679)

The book presented a bitter history of the Padri War and the conversion

131
of the

Mandailing Batak to Islam. Parlindungan, a Muslim Mandailing himself,


recapitulated

the violence of Tuanku Imam Bondjol from the perspective of the targets

of his northern jihad. It took the fall of Sukarno and the destruction of the
Indonesian

Communist Party for the brothers from Minangkabau to answer Parlin-

dungan’s challenge. The first “History of Minangkabau” was published in


1970

and included a self-congratulatory foreword by Parlindungan himself


(Mansoer

et al., 1970). With corroborated dates and a substantial bibliography, the

authors synthesized the ethnomythical history of Minangkabau and the


political

history of West Sumatra. The great Islamic populist intellectual, Hamka,


directly

challenged Parlindungan in his 1974 book ‘Tuanku Rao’ between Fact


and

Fantasy (Hamka 1974). Hamka had read the book while in prison during
Sukar-

no’s Guided Democracy, and in the early 1970s engaged in a polemic


with Parlindungan

in the newspaper Haluan (Padang). It was this debate that finally

allowed Minangkabau historians to shake off the legacy of the roman

132
pitjisan

and begin to unpack history from fiction.

The trope of Tuanku Imam Bondjol, first challenged by Parlindungan,


was

again questioned during the Soeharto regime. In 1980 Wisran Hadi’s


play

Imam Bondjol was staged at the Dewan Kesenian Jakarta (Hadi 2002).
The

play is not reverential, and it challenges the popular image of Imam


Bondjol.

He is depicted as a bumbler and a man uncomfortable with his role as


religious

leader, rejecting the title Tuanku Imam and asserting that “my name is
Peto

Syarif!” The play was controversial and stimulated debate in 1980 but
was not

censored. However, in 1995 Wisran Hadi prepared to stage the play


again as

part of the West Sumatran celebration of the second Istiqlal Festival and
the fiftieth

anniversary of Indonesian independence. The governor of West Sumatra

wrote to the central government in Jakarta requesting that the production


be cancelled

for fear of inciting unrest. The performance was blocked and the play
was

133
effectively banned (Sahrul 2005). The New Order government of
Soeharto, itself

an echo of the Dutch police state of the 1930s, was invested in the
stifling of historiographical

discourse (Anderson 1983). Soeharto’s own state mythology was a

skein of historical lies that could not afford to have even a provincial
performance

tugging on its threads.

While the trope of Bondjol as a figure of Minangkabau heroic defeat was


pervasive,

Tuanku Imam Bondjol occasionally appeared in his revolutionary and

potentially violent guise. In the early 1930s, young nationalists hung a


portrait

of the Tuanku Imam on the door of the Indonesian Club in Weltevreden,

a “victim of the movement[pergerakan], a victim of the changing times


and

a victim of his own ideals” (N. 1931). The most profound rhetorical use of

Imam Bondjol was subtle and can be found in the philosophical writings
of the

1002 Jeffrey Hadler

great Indonesian communist Tan Malaka, himself a Minangkabau from a


village

not far from Bonjol. Imprisoned from 1942 to 1943, he composed

134
Madilog:

Materialisme, Dialektika, Logika, completing the manuscript in 1946. At


the

end of the book, he describes a future polity that he calls the socialist

Federasi-Aslia, “Its location is traced by an axis, near the equator, that is


more

or less determined by a line from Bonjol to Malaka” (Malaka 1951,


395).18

Rudolf Mrázek notes that Tan Malaka’s use of the village of Bonjol
reflects his

Minangkabauist outlook and is meant to be a tribute to the Tuanku’s


struggle

against the Dutch (1972, 34). However, the word sumbu,or “axis,” can
also be

translated as “fuse,” suggesting explosive movement. Along with the


geographic

tribute, Tan Malaka intended to describe an explosive and revolutionary


fuse

running through history from Tuanku Imam Bondjol to himself.

Today there is a renaissance of publishing in West Sumatra and a


reinvigorated

drive to historiographical debate. In 2004 the Naskah Tuanku Imam

Bondjol was published in Padang, and Wisran Hadi’s play was filmed for
television.

135
Both texts complicate the role of the Tuanku Imam as a national hero.

In a 2004 interview with representatives of the International Crisis Group,

a leading Salafi Muslim in Jakarta held forth on the the history of the
Padri

War, acknowledging Haji Miskin and Imam Bondjol as the progenitors of


Salafism

in Indonesia.19 It remains to be seen in the post-Soeharto period how


Indonesians

will read the history of Tuanku Imam Bondjol.20 It is clear, however, that,

banknotes aside, he is being unyoked from conventional nationalist


historiography,

his ambiguity restored.

Acknowledgments

An early draft of this essay was presented at the UCLA-UCB conference


on Islam

and Southeast Asia on May 15, 2006. I thank my fellow participants,


particularly the discussant

for my paper, Sanjay Subrahmanyam, for stimulating comments. A later


version

was presented at the IAIN Imam Bondjol in Padang on July 10, 2006.
Taufik Abdullah,

Yasrul Huda, Rusydi Ramli, and Mestika Zed all read the essay and
offered a productive

critique on the place of Imam Bondjol in West Sumatran history.

136
Yusmarni Djalius and

Suribidari Samad made my 2006 research in West Sumatra possible


and painless. Hendrick

Maier, Amin Sweeney, and Sylvia Tiwon helped me make sense of some
ofthe stickier

Malay passages. Members of the Berkeley Department of South and


Southeast Asian

18“Letaknja adalah segaris dengan sumbu, dekat Chatulistiwa, jang kira-


kira ditentukan oleh garis

Bondjol-Malaka.”

19

Personal communication with Sidney Jones, May 15, 2005.

20

In 2007, two important books reopened the debate about the Padri War
and Tuanku Imam Bond-

jol’s place in Indonesian history. Parlindungan’s Tuanku Rao was


reissued by LKiS Yogyakarta in a

facsimile edition. And the Mandailing activist Basyral Hamidy Harahap,


reflecting on Parlindungan,

challenged the nationalist historiography on the Padri War in his book


Greget Tuanku Rao. There

have been anti-Padri screeds and rebuttals in the national press and an
apparently ineffectual

campaign to have Tuanku Imam Bondjol’s status as a national hero

137
revoked. As this article

was submitted to JAS in 2006, I am unable to address substantively


these new polemics.

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 1003

Studies Faculty Workshop—Vasudha Dalmia, Penny Edwards, Munis


Faruqui, and Alexander

von Rospatt—all gave useful advice. Finally, I thank Kenneth George


and two

anonymous reviewers for the JAS whose comments considerably


improved this essay.

List of References

ABDULLAH,TAUFIK. 1967. “Minangkabau 1900–1927: Preliminary


Studies in Social

Development.” Master’s thesis, Cornell University.

——. 1971. Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West
Sumatra (1927–

1933). Ithaca, N.Y.: Modern Indonesia Project, Cornell University.

AHMED,RAFIUDDIN. 1996. The Bengal Muslims, 1871–1906: A Quest


for Identity. 2nd ed.

Delhi: Oxford University Press.

ALGAR,HAMID. 2002. Wahhabism: A Critical Essay. Oneonta, N.Y.:


Islamic Publications

International.

138
AMAN,SITTI DJANEWAR BUSTAMI. 2001. Nostalgia Liau Andeh [The
nostalgia of Liau

Andeh]. Jakarta: Balai Pustaka.

AMBLER,JOHN S. 1988. “Historical Perspectives on Sawah Cultivation


and the Political

and Economic Context for Irrigation in West Sumatra.” Indonesia 46:39–


77.

AMRULLAH, H. A. M. K.[Hamka]. 1929. Sedjarah Minangkabau Dengan


Agama Islam

[Islam and Minangkabau history]. Fort de Kock: Tsamaratoel Ichwan.

ANDAYA,LEONARD Y. 2000. “Unravelling Minangkabau Ethnicity.”


Itinerario 24 (2):

20–43.

ANDERSON,BENEDICT. 1983. “Old State, New Society: Indonesia’s


New Order in

Comparative Historical Perspective.” Journal of Asian Studies 42 (3):


477–96.

ARUNIMA, G. 2003. There Comes Papa: Colonialism and the


Transformation of Matriliny

in Kerala, Malabar, c. 1850–1940. New Delhi: Orient Longman.

ASNAN,GUSTI. 2002. “Transportation on the West Coast of Sumatra in


the Nineteenth

Century.” Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 158 (4): 727–41.

——. 2004. “Geography, Historiography and Regional Identity: West

139
Sumatra in the

1950s.” In Indonesia in Transition: Rethinking “Civil Society,”“Religion,”


and

“Crisis,” ed. Hanneman Samuel and Henk Schulte Nordholt, 129–46.


Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

AZRA,AZYUMARDI. 2004. The Origins of Islamic Reformism in


Southeast Asia: Networks of

Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the Seventeenth and


Eighteenth

Centuries. Honolulu: University of Hawai’i Press.

——. 2005a. “Contemporary Islamic Militant Movements: Challenges to


Democracy in

Indonesia.” ICIP Journal 2 (2): 1–13.

——. 2005b. “Islam in Southeast Asia: Tolerance and Radicalism.”


Miegunyah Public

Lecture, University of Melbourne.

BARNARD,TIMOTHYP. 1997. “Local Heroes and National


Consciousness: The Politics of

Historiography in Riau.” Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde


153 (4):

509–26.

BLOMMESTEIN,A.F. VAN. 1903. Peratoeran darisegala hal hakim dan


hoekoeman jang terpakei

140
di dalam segala negri jang menoeroet pemerentahan: Pasisir Barat
Poelou

Pertja [Regulations regarding all judicial matters and laws as used in all
districts

under the administration of Sumatra’s west coast]. Trans. B. A. Dessouw,


Padang:

Pertjitakan Persarikatan Paul Bäumer & Co.

1004 Jeffrey Hadler

BOELHOUWER, J. C. 1841. HerinneringenVan Mijn Verblijf Op


Sumatra’s Westkust,

Gedurende De Jaren 1831–1834 [Memories of my stay on Sumatra’s


west coast

during the years 1831–1834]. The Hague: De Erven Doorman.

CANIAGO,NAALI SUTAN. 1979a. Naskah Tuanku Imam Bonjol.


Transliterator Syafnir Aboe

Nain. Padang: Panitia Pembangunan Musium Imam Bonjol.

——. 1979b. Tuanku Imam Bonjol. Transliterator Syafnir Aboe Nain.


Proyek Penerbitan

Buku Bacaan Dan Sastra Indonesia Dan Daerah. Jakarta: Balai


Pustaka/Departe-

men Pendidikan dan Kebudayaan.

CLARENCE-SMITH,WILLIAM G. 2004. “Elephants, Horses, and the


Coming of Islam to

141
Northern Sumatra.” Indonesia and the Malay World 32 (93): 271–84.

COLOMBIJN,FREEK. 1994. Patches of Padang: The History of an


Indonesian Town in the

Twentieth Century and the Use of Urban Space. Leiden: CNWS.

——. 1998. “A Dutch Polder in the Sumatran Mountains: Nineteenth-


Century Colonial

Ideals of the West Sumatran Peasant and Landscape.” In Environmental


Challenges

in South-East Asia, ed. Victor T King, 52–68. Richmond: Curzon.

CUST,ROBERT N. 1878. A Sketch of the Modern Languages of the East


Indies. London:

Trübner & Co.

DARMANSJAH. 1940. Hoeloebalang Paderi (Pengantar Soerat


Toeankoe Imam Bondjol)

[Paderi warrior (Courier of Toeankoe Imam Bondjol)]. Ed. A. Damhoeri.


Medan:

Kintamani.

DAWISDATOEK MADJOLELO, and AHMAD MARZOEKI. 1951. Tuanku


Imam Bondjol: Perintis

Djalan Ke Kemerdekaan [Tuanku Imam Bondjol: Pioneer on the road to


independence].

Djakarta: Djambatan.

DAYA,BURHANUDDIN. 1995. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam:


Kasus Sumatera

142
Thawalib [The intellectual Islamic revivalist movement: The case of the
Sumatera

Thawalib]. 2nd ed. Yogyakarta: Tiara Wacana.

DIAS,THOMAS. 1995. “AMission to the Minangkabau King.” Trans. Jane


Drakard. In Witnesses

to Sumatra: A Travellers’ Anthology, ed. Anthony Reid, 152–61. Kuala

Lumpur: Oxford University Press.

DIHOELOE,L.DT. R. 1939. Riwajat Dan Perdjoeangan Toeankoe Imam


Bondjol Sebagai

Pahlawan Islam: Disoesoen Dari Tjatatan2 Poetra Beliau St. Tjaniago


Alm [The

story and struggle of Toeankoe Imam Bondjol as a hero of Islam:


Complied from

the notes of his son the late Sutan Caniago]. Medan: Boekhandel
Islamijah.

DJAJA,TAMAR. 1946. Poesaka Indonesia (Orang-Orang Besar Tanah


Air) [Indonesian

heirlooms (Important people of the homeland)]. Vol. 1. 2nd ed. Boekit


Tinggi:

Penjiaran Ilmoe.

DJILÂL-EDDÎN, and J. J. DE HOLLANDER, eds. 1857. Verhaal Van Den


AanvangDer Padri-

Onlusten Op Sumatra, Door Sjech Djilâl Eddîn [Accountof the origins of


the Padri

143
wars on Sumatra, by Syekh Jalaluddin]. Leiden: Brill.

DJOHAN,BAHDER. 1919. “Zaman Paderi” [The Padri era]. Jong-


Sumatra 2 (1): 109–13.

DOBBIN,CHRISTINE. 1972. “Tuanku Imam Bondjol (1772–1864).”


Indonesia 13:5–35.

——. 1977. “Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise


of the Padri

Movement, 1784–1830.” Indonesia 2:1–38.

——. 1983. Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central


Sumatra, 1784–

1847. Scandinavian Institute of Asian Studies Monograph Series no. 47.


London:

Curzon.

DRAKARD,JANE. 1999. A Kingdom of Words: Language and Power in


Sumatra. Kuala

Lampor: Oxford University Press.

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 1005

FEITH,HERBERT, and DANIEL,S.LEV. 1969. “The End of the


Indonesian Rebellion.” In

Man, State, and Society in Contemporary Southeast Asia, ed. Robert O.


Tilman,

467–80. New York: Praeger.

FRANCIS, E. 1839. “Korte Beschrijving Van Het Nederlandsch

144
Grondgebied Ter Westkust

Sumatra, 1837” [A short description of the Dutch territory on the west


coast of

Sumatra, 1837]. Tijdschrift voor Nederlandsch Indië 2 (1): 28–45, 90–


111, [112–

30], 131–54, 203–20, [456–58].

GRAVES,ELIZABETH E. 1981. The Minangkabau Response to Dutch


Colonial Rule in the

Nineteenth Century. Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project,


Cornell

University.

H., V. D. 1838. “Oorsprong Der Padaries (Eene Secte Op De Westkust


Van Sumatra)”

[Origin of the Padaries (A sect on the west coast of Sumatra)]. Tijdschrift


voor

Nederlandsch Indië 1 (1): 113–32.

HADI,WISRAN. 2002. “Pengakuan” [Confession]. In Empat Lakon


Perang Paderi [Four

dramas of the Padri war]. Bandung: Angkasa.

HADLER,JEFFREY. 1998. “Home, Fatherhood, Succession: Three


Generations of Amrullahs

in Twentieth-Century Indonesia.” Indonesia 65:123–54.

——. 2008. Muslims and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia


through Jihad and

145
Colonialism. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.

HALUAN. 1983. “Pemda Sumbar akan Bentuk Team Khusus untuk Teliti
Keabsahan

Sejarah Imam Bonjol” [The West Sumatran provincial government will


establish a

special team to study the historical validity of Imam Bonjol]. April 28.

HAMKA,[H. A. M. K. Amrullah]. 1974. Antara Fakta Dan Khayal “Tuanku


Rao”: Bantahan

Terhadap Tulisan-Tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan Dalam

Bukunya “Tuanku Rao” [“Tuanku Rao” between fact and fantasy: A


refutation of

the writings of Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan in his book Tuanku


Rao].

Jakarta: Bulan Bintang.

HARAHAP,BASYRAL HAMIDY. 2007. Greget Tuanku Rao [Tuanku Rao


Furor]. Jakarta:

Komunitas Bambu.

HARDY, P. 1972. The Muslims of British India. Cambridge: Cambridge


University Press.

HASSELT,A.L. VAN. 1882. Volksbeschrijving Van Midden-Sumatra


[Anthropology of

central Sumatra]. Vol. 1 of Midden-Sumatra: Reizen En Onderzoekingen


Der

Sumatra-Expeditie, Uitgerust Door Het Aardrijkskundig Genootschap

146
[Voyage

and exploration of the Sumatra expedition, sponsored by the


Geographical

Society], ed. P. J. Veth. Leiden: Brill.

HATTA,MOHAMMAD. 1928. Indonesië Vrij [Free Indonesia]. The Hague:


Perhimpoenan

Indonesia.

——. 1972. “Free Indonesia.” In Portrait of a Patriot: Selected Writings,


ed. Deliar Noer,

205–97. The Hague: Mouton.

HUDA,YASRUL. 2003. “Islamic Law versus Adat: Debates about


Inheritance Law and the

Rise of Capitalism in Minangkabau.” Master’s thesis, Leiden University.

IMAM BONDJOL,TUANKU. 2004. Naskah Tuanku Imam Bonjol.


Transliterator Syafnir Aboe

Nain. Padang: PPIM.

IMAM BONDJOL,TUANKU, and NAALI,SUTANCANIAGO. 1925.


Naskah Tuanku Imam Bondjol

[manuscript in Arabic-script Minangkabau]. University of California,


Berkeley. Doe

Library, DS646.15.S76.I43.

JONES,KENNETHW. 1994. Socio-Religious Reform Movements in


British India. Vol. 3of

The New Cambridge History. New Delhi: Cambridge University Press.

147
KAHIN,AUDREY R. 1984. “Repression and Regroupment: Religious and
Nationalist

Organizations in West Sumatra in the 1930s.” Indonesia 38:39–54.

1006 Jeffrey Hadler

——. 1999. Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian


Polity,

1926–1998. Amsterdam: Amsterdam University Press.

KAHIN,AUDREYR., and GEORGEM. KAHIN. 1995. Subversion as


Foreign Policy: The Secret

Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia. New York: New Press.

KATHIRITHAMBY-WELLS, J. 1986. “The Origin of the Term Padri: Some


Historical Evidence.”

Indonesia Circle 41:3–9.

KEDDIE,NIKKIR. 1994. “The Revolt of Islam, 1700 to 1993: Comparative


Considerations

and Relations to Imperialism.” Comparative Studies in Society and


History 36 (3):

463–87.

KIELSTRA, E. B. 1887. “Onze Kennis Van Sumatra’s Westkust,


Omstreeks De Helft Der

Achttiende Eeuw” [Our knowledge of Sumatra’s west coast: The latter


half of the

eighteenth century]. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van

148
Nederlandsch

Indië 36:499–559.

——. 1888. “Het Contract Met Bondjol Van Januari 1824” [The treaty
with Bondjol of

January 1824]. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van


Nederlandsch

Indië, 5th ser., 37 (3): 141–44.

——. 1890. “Sumatra’s Westkust van 1836–1840” [Sumatra’s west


coast, 1836–1840]. Bijdragen

tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van Nederlandsch Indië 39:127–221,

263–348.

KINDEREN,T.H. DER. 1875. Proclamatie van den Heer T. H. der


Kinderen aan de Maleische

Hoofden, Bukittinggi 12 Sawal 1292 (11 November 1875) [Proclamation


of

Mr. T. H. der Kinderen to the Malay leaders, Bukittinggi 12 Sawal 1292].


Betawi:

Pertjetakan Gouwernemen.

——. 1882. Formulierboekten gebruike Bij de Toepassing van het


Regelment tot Regeling

van het Regtswezen in het Gouvernement Sumatra’s Westkust


(Staatsblaad 1874 No.

94b), voor zooveel betreft De Regtspleging bij de Distrikts-en


Magistraats-Geregten,

149
De Landraden en Rapats, benevens De Uitoefening der Policie [Applied
form-book

for the implementation of the regularization of the arrangement of the


law-ways in

the government ofSumatra’s west coast]. Regering van Nederlandsch-


Indië, 2nd ed.

Batavia: Landsdrukkerij.

KRATZ,E.ULRICH. 1992. “Surat Keterangan Syekh Jalaluddin.”


Indonesia Circle 57:

31–37.

KRATZ,E.ULRICH, and ADRIYETTI AMIR. 2002. Surat Keterangan


Syeikh Jalaluddin Karangan

Fakih Saghir [Letter of clarification of Syeikh Jalaluddin by Fakih Saghir].

Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

KROEF,J. M. VAN DER. 1962. “Two Forerunners of Modern Indonesian


Independence:

Imam Bondjol and Thomas Matulesia.” Australian Journal of Politics and


History

8 (2): 148–63.

LAFFAN,MICHAEL. 2003. “The Tangled Roots of Islamic Activism in


Southeast Asia.”

Cambridge Review of International Affairs 16 (3): 397–414.

MAHARADJA,DATUK SOETAN. 1917. “Perempoean” [Women].


Soenting Melajoe: Soerat

150
chabar perempoean di Alam Minang Kabau, January 26, 1–2.

MAIER,HENK. 2004. We Are Playing Relatives:A Survey of Malay


Writing. Leiden:

KITLV.

MALAKA,TAN. 1951. Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika [Madilog:


Materialism,

dialectic, logic]. Djakarta: Widjaya.

MANGKOETO,S.SOETAN. 1929. Soeloeh Moeballigh Islam Indonesia:


Bergoena boeat

goeroe-goeroe dan Moeballigh Islam Indonesia [Preachers’ torch of


Indonesian

Islam: Of use to teachers and preachers of Indonesian Islam]. Padang


Pandjang:

Boekhandel M. Thaib bin H. Ahmad.

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 1007

MANSOER, M. D., et al. 1970. Sejarah Minangkabau [Minangkabau


history]. Jakarta:

Bhratara.

MARSDEN,WILLIAM. 1807. “On the Traces of the Hindu Language and


Literature Extant

among the Malays.” Asiatic Researches 4:217–24.

MATERS,MIRJAM. 1998. Van Zachte Wenk Tot Harde Hand:


Persvrijheid En Persbreidel in

151
Nederlands-Indië, 1906–1942 [From gentle wink to firm hand: Press
freedom and

press restrictions in the Netherlands Indies, 1906–1942]. Hilversum:


Verloren.

METCALF,BARBARA. 1982. Islamic Revival in British India: Deoband,


1860–1900. Princeton,

N.J.: Princeton University Press.

MOEDA,DJA ENDAR. 1903. Riwajat Poelau Sumatra [History of the


island of Sumatra].

Padang: N. Venn. Snelspersdrukkerij “Insulinde.”

MRÁZEK,RUDOLF. 1972. “Tan Malaka: A Political Personality’s


Structure of Experience.”

Indonesia 14:1–48.

N. 1931. “Toeankoe Imam.” Indonesia Raja: Madjallah Perhimpoenan


Peladjar-Peladjar

Indonesia, September 2, 281–83.

NASUTION,A.MULUK. 1981. Pemberontakan Rakyat Silungkang


Sumatra Barat 1926–

1927: Pengalaman Perjuangan dalam Merintis Kemerdekaan [The


rebellion of the

people of Silungkang West Sumatra, 1926–1927: Experiences of


struggle in

blazing a path to independence]. Jakarta: Mutiara.

NOER,DELIAR. 1973. The Modernist Muslim Movement in Indonesia,

152
1900–1942. Singapore:

Oxford University Press.

OKI,AKIRA. 1977. “Social Change in the West Sumatran Village.” Ph.D.


diss., Australian

National University.

OSHIKAWA,NORIAKI. 1990. “Patjar Merah Indonesia.” In Reading


Southeast Asia: Translation

of Contemporary Japanese Scholarship on Southeast Asia, ed. Takashi


Shiraishi,

9–39. Ithaca, N.Y.: Southeast Asia Program, Cornell University.

PAMOENTJAK,AD.GR. 1895. Soeatoe Kitab akan dikoendang olih


Djoeroe Sita pada pangadilan

Landraad atau Rapat atau siapa jang mendjalankan pekerdjaän seperti


itoe

menoeroet atoeran jang terseboet didalam oendang oendangnja [A text


of use to bailiffs

in the courts of the landraad or meetings or to whomever carries out this


sort of

work in accordance with the rules mentioned in the laws]. Padang: Otto
Bäuer.

PARLINDUNGAN,MANGARADJA ONGGANG. 1963.


Pongkinangolngolan Sinambela gelar

Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak


1816–1833

153
[Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Hambali Islamic
terror in the

Batak lands (1816–1833)]. Jakarta: Penerbit Tandjung Pengharapan.

PELETZ,MICHAELG. 1988. A Share of the Harvest: Kinship, Property,


and Social History

among the Malays of Rembau. Berkeley and Los Angeles: University of


California

Press.

——. 1998. “The ‘Great Transformation’ among NegeriSembilan Malays,


with Particular

Reference to Chinese and Minangkabau.” In Market Cultures: Society


and Morality

in the New Asian Capitalisms, ed. Robert W. Hefner, 173–200. Boulder,


Colo.:

Westview Press.

PIRES,TOME. 1990. The Suma Oriental of Tome Pires, an Account of


the East, from the

Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512–1515, and The
Book of

Francisco Rodrigues, Rutter of a Voyage in the Red Sea, Nautical Rules,


Almanack

and Maps, Written and Drawn in the East before 1515. Ed. Armando
Cortesão.

New Delhi: Asian Educational Services.

154
RAFFLES,THOMASSTAMFORD. Memoir of the Life and Public Services
of Sir Thomas Stamford

Raffles, F.R.S. &C. London: John Murray, 1830.

1008 Jeffrey Hadler

——. 1835. Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas
Stamford Raffles, F.R.S.

&C. Vol. 2. 2nd ed. London: James Duncan, 1835.

RAIS,ZAIM. 2001. Against Islamic Modernism: The Minangkabau


Traditionalists

Responses to the Modernist Movement. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

RAMLI,RUSYDI. 1989. Hikayat Fakih Saghir ‘Ulamiah Tuanku Samiang


Syekh Jalaluddin

Ahmad Koto Tuo: Suatu Studi “Sejarah Pemikiran Islam” Dari Teks
Tokoh Gerakan

Padri Awal Abad XIX [The story of Fakih Saghir ‘Ulamiah Tuanku
Samiang Syekh

Jalaluddin Ahmad Koto Tuo: Astudy in Islamic intellectual history based


on the text

of a figure from the Padri movement at the beginning of the nineteenth


century].

Padang: IAIN “Imam Bonjol.”

REID,ANTHONY. 1979. “The Nationalist Quest for an Indonesian Past.”


In Perceptions of

155
the Past in Southeast Asia, ed. Anthony Reid and David Marr, 281–98.
Singapore:

Heinemann.

RICKLEFS, M. C. 2004. Islamizing Indonesia: Religion and Politics in


Singapore’s Giant

Neighbour. Singapore: Asian Civilisations Museum.

ROFF,WILLIAM R. 1987. “Islamic Movements: One or Many?” In Islam


and the Political

Economy of Meaning: Comparative Studies of Muslim Discourse, ed.


William R.

Roff, 31–52. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.

RONKEL,PH.S. VAN. 1914. “De Invoering Van Ons Strafwetboek Ter


Sumatra’s Westkust

Naar Aanteekeningen in Een Maleisch Handschrift” [The establishment


of our

penal code on the west coast of sumatra according to notations in a


Malay manuscript].

Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 46 (16): 249–55.

——. 1915. “Inlandsche Getuigenissen Aangaande Den Padri-Oorlog” [A


native account

of the Padri war]. Pts. 1 and 2. De Indische Gids 37 (2): 1099–1119;


1243–59.

ROOSA,JOHN. 2006. Pretext for Mass Murder: The September 30th


Movement and Suhar-

156
to’s Coup d’État in Indonesia. Madison: University of Wisconsin Press.

SAHRUL, N. 2005. Kontroversial Imam Bonjol. Padang: Garak.

SANDAY,PEGGY REEVES. 2002. Women at the Center: Life in a


Modern Matriarchy. Ithaca,

N.Y.: Cornell University Press.

SANGGOENO DI RADJO,DATOE. 1919. Kitab Tjoerai Paparan ‘Adat


Lembaga ‘Alam Minangkabau

[Weighing the immemorial custom of the people of the Minangkabau


realm].

Transliterator B. Dt. Seri Maharadja. Fort de Kock:


Snelpersdrukkerij“Agam.”

SCHREINER,KLAUS H. 1997. “The Making of National Heroes: Guided


Democracy to

New Order, 1959–1992.” In Outward Appearances: Dressing State and


Society in

Indonesia, ed. H. S. Nordholt, 259–90. Leiden: KITLV.

——. 2002. “‘National Ancestors’: The Ritual Construction of


Nationhood.” In The

Potent Dead: Ancestors, Saints and Heroes in Contemporary Indonesia,


ed. Henri

Chambert-Loir and Anthony Reid, 183–204. Honolulu: University of


Hawai’i Press.

SCHRIEKE, B. 1920. “Bijdrage Tot De Bibliografie Van De Huidige


Godsdienstige Beweging

157
Ter Sumatra’s Westkust” [A contribution to the bibliography of the
contemporary

religious movement on Sumatra’s west coast]. Tijdschrift voor Indische


Taal-,

Land-en Volkenkunde 59 (1920): 249–325.

SHIRAISHI,TAKASHI. 1990. An Age in Motion: Popular Radicalism in


Java, 1912–1926.

Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.

SIEGEL,JAMES. 1997. Fetish, Recognition, Revolution. Princeton, N.J.:


Princeton University

Press.

SJAFNIR,ABOE NAIN. 1988. Tuanku Imam Bonjol: Sejarah Intelektual


Islam Di Minangkabau,

1784–1832 [Intellectual history of Islam in Minangkabau, 1784–1832].

Padang: Esa.

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 1009

SOEKARNO. 1950. Introduction to Sedjarah Peperangan Dipanegara:


Pahlawan Kemerdekaan

Indonesia [History of the Diponegoro war: Hero of Indonesian


independence],

by Muhammad Yamin. 2nd ed. Djakarta: Jajasan Pembangunan.

SOU‘IB,JOESOEF. 1938. Di Empang Pengepoengan Kota Bondjol


[Behind the fortifications

158
in Bondjol town]. Doenia Pengalaman 1.3, December. Ed. A. M.
Pamoentjak,

Aria Diningrat, and Qasim Ahmad. Medan: Poestaka Islam.

SOU’YB,JOESOEF. 1948–49. Paderi! 3 vols. Tebing Tinggi: Tjerdas.

STEENBRINK,KAREL A. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam Di


Indonesia Abad Ke-19

[Several aspects of Islam in Indonesia in the nineteenth century].


Jakarta: Bulan

Bintang.

STEIJN PARVÉ, H. A. 1854. “De Secte Der Padaries (Padries) in De


Bovenlanden Van

Sumatra” [The sect of the Padries in the highlands of Sumatra].


Tijdschrift voor

Indische Taal-, Land-en Volkenkunde 2 (3): 249–78.

STUERS,H.J.J.L.RIDDER DE. 1849–50. De Vestiging En Uitbreiding


Der Nederlanders

Ter Westkust Van Sumatra [The establishment and spread of the Dutch
on the west

coast of Sumatra]. Ed. P. J. Veth. Amsterdam: P. N. van Kampen.

SURYADI. 2001. “Shaikh Daud of Sunur: Conflict between Reformists


and the Shattâriyyah

Sûfî Order in Rantau Pariaman in the First Half of the Nineteenth


Century.” Studia

Islamika 8 (3): 59–124.

159
——. 2004. Syair Sunur: Teks dan Konteks “Otobiografi” Seorang Ulama
Minangkabau

Abad ke-19 [Syair Sunur: The text and context of the “Autobiography” of
a Minangkabau

ulama of the nineteenth century]. Padang: Citra Budaya Indonesia.

——. 2006. “Ke Manakah Raibnya Naskah Tuanku Imam Bonjol?”


[Where is the vanished

manuscript Tuanku Imam Bonjol?], part 1. Sriwijaya Post, July 30, 21.

http://www.ranah-minang.com/tulisan/328.html.

TEITLER, G. 2004. Het Einde Van De Padrie-Oorlog: Het Beleg En De


Vermeestering Van

Bonjol, 1834–1837 (Een Bronnenpublicatie) [The end of the Padri war:


The siege

and subjugation of Bonjol, 1834–1837 (A source-publication)].


Amsterdam: De

Bataafsche Leeuw.

TOORN,J. L. VAN DER. 1984. Oendang-Oendang Poelisi: Tarsalin


Kadalam Bahasa

Malajoe. [Police laws: Translated into Malay]. 2nd ed. Batawi: Partjitakan

Gouvernement.

TURIE,D.E. MANU. 1941. Angkatan Paderi ke Tanah Batak [Padri forces


in the Batak

lands]. Ed. Djauhari Loebis. Sibolga: Perpoestakaan Kita.

UMRI, D. 1940. Di Samping Keroeboehan Kota Bondjol. [Beside the

160
wreckage of Bondjol

town]. Ed. Tamar Djaja, Aziz Thaib, and Martha. Fort de Kock: Penjiaran
Imoe.

VERKERK PISTORIUS, A. W. P. 1871. Studien over De Inlandsche


Huishouding in De

Padangsche Bovenlanden [Studies on the native households of the


Padang highlands].

Zalt-Bommel: Joh. Noman en Zoon.

VIKØR,KNUT S. 1999. “Jihad in West Africa: A Global Theme in a


Regional Setting.” In

Muslim Diversity: Local Islam in Global Contexts, ed. Leif Manger, 80–
101. Richmond:

Routledge/Curzon.

WESTENENK, L. C. 1913. Sumatra Illustrated Tourist Guide: A Fourteen


Days’ Trip in the

Padang Highlands (the Land of Minang Kabau). Batavia (Weltevreden):


Official

Tourist Bureau.

YAMAMOTO,NOBUTO. 1995. “Colonial Surveillance and ‘Public


Opinion’: The Rise and

Decline of Balai Poestaka’s Press Monitoring.” Keio Journal of Politics,


no. 8:71–100.

YAMIN,MUHAMMAD. 1950. Sedjarah Peperangan Dipanegara:


Pahlawan Kemerdekaan

161
Indonesia [History of the Diponegoro war: Hero of Indonesian
independence].

2nd ed. Djakarta: Jajasan Pembangunan.

1010 Jeffrey Hadler

YOUNG,KEN. 1994. Islamic Peasants and the State: The 1908 Anti-Tax
Rebellion in West

Sumatra. New Haven, Conn.: Yale Center for International and Area
Studies.

YUNUS,MAHMUD. 1982. Riwayat Hidup Prof. Dr. H. Mahmud Yunus: 10


Pebruari 1899–

16 Januari 1982 [The life story of Prof. Dr. H. Mahmud Yunus: 10


February 1899–

16 January 1982]. Jakarta: Hidakarya Agung.

ZED,MESTIKA. 1983. “Melayu Kopidaun: Eksploitasi Kolonial dalam


Sistim Tanam Paksa

Kopi di Minangkabau Sumatera Barat (1847–1908)” [Leaf-coffee Malays:


Colonial

exploitation in the coffee cultivation system in Minangkabau, West


Sumatra

(1847–1908)]. S2 thesis, Universitas Indonesia.

ZURBUCHEN,MARY S. 2005. “Historical Memory in Contemporary


Indonesia.” In Beginning

to Remember: The Past in the Indonesian Present, ed. Mary S.

162
Zurbuchen,

3–32. Singapore: Singapore University Press.

163

S-ar putea să vă placă și