Sunteți pe pagina 1din 4

From The Journal of Emergency Medicine

Clinical Efficacy of Dexamethasone for Acute Exudative Pharyngitis


Ali Tasar, MD; Sedat Yanturali, MD; Hakan Topacoglu, MD; Gurkan Ersoy, MD; Pinar Unverir, MD; Sezgin Sarikaya, MD Posted: 01/12/2009; J Emerg Med. 2008;35(4):363-367. 2008 Elsevier Science, Inc.

Abstract and Introduction


Abstract The objective of this study was to investigate whether treatment with single-dose dexamethasone can provide relief of symptoms in acute exudative pharyngitis. A prospective, randomized, double-blinded, placebo-controlled clinical trial was undertaken over a 3-month period in a university-based Emergency Department. The study included all consecutive patients between 18 and 65 years of age presenting with acute exudative pharyngitis, sore throat, odynophagia, or a combination, and with more than two Centor criteria. Each patient was empirically treated with azithromycin and paracetamol for 3 days. The effects of placebo and a fixed single dose (8 mg) of intramuscular injection of dexamethasone were compared. The patients were asked to report the exact time to onset of pain relief and time to complete relief of pain. After completion of the treatment, telephone follow-up regarding the relief of pain was conducted. A total of 103 patients were enrolled. Thirty patients with a history of recent antibiotic use, pregnancy, those who were elderly (> 65 years of age) and patients who failed to give informed consent were excluded. Forty-two patients were assigned to the placebo group and 31 were assigned to the intramuscular dexamethasone group (8-mg single dose). Time to perceived onset of pain relief was 8.06 4.86 h in steroid-treated patients, as opposed to 19.90 9.39 h in the control group (p = 0.000). The interval required to become pain-free was 28.97 12.00 h in the dexamethasone group, vs. 53.74 16.23 h in the placebo group (p = 0.000). No significant difference was observed in vital signs between the regimens. No side effects and no new complaints attributable to the dexamethasone and azithromycin were observed. Sore throat and odynophagia in patients with acute exudative pharyngitis may respond better to treatment with an 8-mg single dose of intramuscular dexamethasone accompanied by an antibiotic regimen than to antibiotics alone. Introduction Acute pharyngitis is described as an inflammation of the pharynx and surrounding lymphoid tissue.[1,2] Viruses are the most common cause of acute pharyngitis. The most common bacteria causing pharyngitis is the group of A -hemolytic streptococcus (streptococcus pyogenes) (GABHS).[3] The etiologic pathogen is not observed in 50% of all cases of pharyngitis, even though full bacteriological and virologic investigations are performed.[4] Centor criteria, including history of fever, absence of cough, tender anterior cervical lymph nodes, and exudate, are the most reliable clinical parameters for GABHS pharyngitis.[5] The presence of three or four of these criteria has a positive predictive value of 40-60%. The absence of three or four of the criteria has a negative predictive value of 80%. Both the sensitivity and specificity of this prediction rule are 75%, compared with throat cultures.[2] Most adult cases of pharyngitis are limited to the infection itself and merely require supportive treatment.[6] The standard approach to therapy includes antipyretics, analgesics, and antibiotics if necessary.[3] Symptomatic treatments, including gargling with warm saltwater, drinking warm liquids, and bed rest should be suggested to all patients with pharyngitis.[2,3] The acute pharyngitis that is caused by GABHS is the only type that requires

antibiotic treatment.[2] Antibiotic treatment affects the recovery and will help protect from acute rheumatic fever.[2,7] Convenient antibiotics fail to relieve the inflammatory symptoms in patients with GABHS pharyngitis. The patients who have inflammatory complaints benefit from anti-inflammatory drugs given within 24 h.[2] Administration of steroids was based on throat cultures in most previous studies. However, steroids are probably not universally used by emergency physicians. The present study sought to identify clinical criteria that would help to select patients for steroid use. We aimed to select patients using three or four clinical criteria and then determine whether a single dose of steroid would relieve symptoms in exudative pharyngitis.

Efek Klinis Dexamethasone terhadap Faringitis Eksudatif Akut


In Medical Journal on January 22, 2009 at 2:02 pm

Diterjemahkan dari Clinical Efficacy of Dexamethasone for Acute Exudative Pharyngitis, ditulis oleh Ali Tasar, MD; Sedat Yanturali, MD; Hakan Topacoglu, MD; Gurkan Ersoy, MD; Pinar Unverir, MD; Sezgin Sarikaya, MD, diterbitkan di J Emerg Med. 2008;35(4):363-367, ed. 01/12/2009 Faringitis akut adalah peradangan pada faring dan jaringan limfoid di sekitarnya. Virus adalah penyebab tersering dari penyakit ini. Selain virus, bakteri juga bisa menyebabkan faringitis akut, dan bakteri yang paling sering menyebabkannya adalah Streptococcus & hemolyticus / Streptococcus pyogenes (GABHS = group of A B-haemolytic streptococcus). Kriteria Centor adalah parameter klinik yang paling prediktif untuk faringitis GABHS. Kriteria ini mencakup: adanya riwayat demam, tidak adanya batuk, terabanya KGB cervical anterior, dan adanya eksudat. Sensitivitas dan spesifitas kriteria ini 75%, lebih tinggi dibandingkan dengan kultur apusan tenggorokan. Karenanya, penulis yakin bahwa dalam beberapa kasus tidak perlu dilakukan tes diagnostic sebelum pemberian antibiotic. Sebuah penelitian klinis prospektif, random, double-blinded dan terkontrol placebo telah dilakukan selama lebih dari 3 bulan di Dokuz Eylul University Hospital Emergency Department, pada tahun 2002. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelidiki apakah pengobatan dengan dexamethasone single-dose bisa memberikan perbaikan keluhan pada kasus faringitis eksudatif. Penelitian ini mengikutkan semua pasien usia 18-65 tahun yang berkunjung ke UGD tersebut dengan keluhan faringitis eksudatif akut, nyeri tenggorokan, odinofagia (nyeri telan), atau kombinasinya disertai lebih dari dua criteria Centor. Pasien-pasien dengan kondisi berikut disingkirkan dari penelitian: diabetes mellitus, usia 65 tahun, HIV (+), riwayat terapi immunosuppressi, hamil, pemakaian steroid selama tujuh hari terakhir atau lebih, riwayat keganasan, abses peritonsiler/retrofaringeal, infeksi herpes aktif, infeksi jamur sistemik, kunjungan berulang ke UGD dengan keluhan sama tanpa perlakuan yang sama saat kunjungan sebelumnya, dan penggunaan antibiotic dalam tujuh hari terakhir. Walaupun penicillin adalah antibiotic yang paling banyak diresepkan untuk faringitis GABHS, angka kegagalan terapinya mencapai 30%. Azithromycin justru lebih kuat untuk eradikasi GABHS. Selain itu, obat ini bisa memberikan efek yang lebih cepat dengan waktu pemakaian lebih singkat. Olehnya itu, antibiotic yang dipilih dalam penelitian ini adalah azithromycin. Tiap pasien diterapi dengan azithromycin 500 mg/24 jam dan parasetamol 500 mg/6 jam selama 3 hari. Kemudian ditambahkan terapi injeksi intramuscular single dose dexamethasone 8 mg pada satu grup (grup dexa) dan injeksi intramuscular cairan NaCl dengan volume yang sama dengan dexamethasone pada grup yang lainnya (grup placebo). Pasien kemudian diminta untuk mencatat kapan waktu tepatnya keluhan dirasakan berkurang

dan kapan keluhan tersebut betul-betul menghilang. Pasien-pasien tersebut kemudian dihubungi via telepon per 24 jam selama 96 jam berikutnya, untuk mengumpulkan data-data yang telah mereka catat. Terdapat 103 pasien yang dihubungi, 30 diantaranya dikeluarkan dari penelitian karena adanya riwayat pemakaian antibiotic sebelumnya, hamil, usia >65 tahun, dan mereka yang tidak menandatangani informed consent. Empat puluh dua pasien dari grup placebo dan 31 dari grup dexa. Waktu yang dibutuhkan sejak mulainya terapi hingga berkurangnya gejala pada grup dexa adalah 8.06 4.86 jam, sedangkan pada grup placebo 19.90 9.39 jam (p=0.000). Waktu yang dibutuhkan hingga betul-betul bebas gejala pada grup dexa adalah 28.97 12.00 jam, sedangkan pada grup placebo 53.74 16.23 jam (p=0.000). Tidak terdapat perbedaan signifikan pada status vital diantara kedua grup ini. Tidak terdapat efek samping dan keluhan baru terhadap pemakaian dexamethasone dan azithromycin selama proses penelitian. Kesimpulannya, keluhan nyeri tenggorokan dan odinofagia pada pasien dengan faringitis eksudatif akut dapat berkurang lebih cepat dengan terapi dexamethasone 8 mg intramuscular single dose plus antibiotic, daripada hanya dengan antibiotic saja.

bayi, ibu, influenza, kehamilan, vaksinasi

Vaksinasi Influenza selama Kehamilan: Efek Klinis terhadap Ibu dan Bayi
In Medical Journal on January 16, 2009 at 8:13 am

Diterjemahkan dari Influenza Vaccination during Pregnancy: Clinical Efficacy in Mothers and Infants, ditulis oleh Tamar F. Barlam, M.D.; Dennis L. Kasper, M.D., diterbitkan di Access Medicine from McGraw-Hill, ed. 5 jan 09 Influenza adalah penyakit serius bagi wanita hamil dan bayi-bayi muda, dan seringkali memerlukan perawatan rumah sakit. Antibody maternal transplacental yang didapatkan si bayi dapat melindunginya selama bulan-bulan pertama kehidupannya. Sekarang ini, direkomendasikan kepada wanita hamil untuk diimunisasi dengan vaksin influenza trivalent inaktif. Akan tetapi, dukungan terhadap rekomendasi ini sangat sedikit. Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa vaksin tersebut tidak diijinkan pemakaiannya bagi bayi usia <6 bulan, dan antivirus juga tidak diijinkan bagi anak usia <1 tahun. Olehnya itu, pencegahan influenza dengan cara lain menjadi sesuatu yang penting. Proyek The Mothers Gift adalah penelitian prospektif, terkontrol, acak dan blinded mengenai imunisasi maternal di Bangladesh. Tujuannya adalah untuk menilai keamanan dan imunogenitas vaksin pneumococcus. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Zaman dkk. (2008 ) sejak Agustus 2004 sampai Desember 2005, wanita hamil yang disertakan dalam penelitian tersebut secara acak masing-masing diberikan satu dari dua pilihan vaksin, yaitu: vaksin polisakarida pneumococcus 23-valent (grup kontrol) atau vaksin influenza inaktif. Ibu-ibu ini diikuti perkembangannya selama hamil hingga 24 minggu post partum. Semua bayi mendapatkan imunisasi rutin. Hal utama yang diteliti dari bayi-bayi ini adalah timbulnya influenza (laboratoriy-confirmed) sebelum genap usia 24 minggu. Hal-hal lain yang diteliti dari ibu dan bayi ini adalah episode penyakit akibat gangguan saluran pernapasan yang disertai demam, kunjungan klinik dengan keluhan gangguan saluran pernapasan dan episode diare. Dari 340 wanita hamil trimester ketiga yang setuju diteliti, 316 pasang ibu-bayi diobservasi selama 24 minggu. Terdapat 22 bayi dengan sedikitnya satu kali episode influenza (labconfirmed) selama masa observasi; 6 dari 159 bayi yang ibunya mendapatkan vaksin influenza dan 16 dari 157 bayi yang ibunya dari grup kontrol. Terhadap bayi, vaksin ini 63% efektif (95% CI, 5-8%). Sebagai hasil dari vaksinasi influenza maternal, jumlah bayi dengan gangguan pernapasan disertai demam berkurang 29%, dan jumlah kunjungan kliniknya turun 42%. Kelompok ibu yang divaksin yang kemudian diobservasi hingga 6 bulan post partum, yang menderita gangguan saluran pernapasan disertai demam ternyata jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok kontrol. Secara klinis, angka efektifitas vaksin bagi ibu adalah 36% (95% CI, 3.7-57.2%). Terbukti pula melalui observasi selama 11 bulan, bahwa virus influenza masih terapat dalam sirkulasi darah hingga 10 bulan lamanya. Sebagai tambahan, sekitar 10% bayi dari kelompok kontrol menderita Influenza (lab-confirmed) selama 6 bulan awal usia kehidupannya. Penelitian ini memberikan data yang menunjukkan bahwa vaksinasi influenza maternal aman dan efektif, serta mengurangi peluang terserang penyakit gangguan saluran pernapasan akibat virus influenza bagi ibu dan bayinya. Olehnya itu, imunisasi antenatal patut dipertimbangkan sebagai salah satu strategi penting untuk pencegahan influenza.

S-ar putea să vă placă și