Sunteți pe pagina 1din 0

172

H
H
H
A
A
A
S
S
S
I
I
I
L
L
L


P
P
P
E
E
E
N
N
N
E
E
E
L
L
L
I
I
I
T
T
T
I
I
I
A
A
A
N
N
N




PERILAKU SANTRI DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT
SKABIES DI PONDOK PESANTREN ULUMU QURAN STABAT

Lita Sri Andayani

Departemen Pendidikan Kesehatan & Ilmu Perilaku
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT
Based on the environment of Pondok Pesantren addition to health behavior of the Santri,
Pondok Pesatren is a place which has higher for transmission of some diseases. The
population density in almost every Pondok Pesantren is very high, where every room with
15m
2
width is occupied up to 15 people. This is not the ideal standard for health which
should be 3m
2
width per person (Depkes RI, 1995). There is high morbidity rate in Santri,
especially in certain skin diseases including Scabies. There are some reports mentioned
that 25,49% (Bapelkes Salaman, 1991), 24,42% (Puskesmas Salam, 1997), 59,24%
(Setyowati, 1987) of Santri in Pondok Pesantren will suffer from Scabies Disease.
Scabies disease is a skin disease which caused by a tick named Sarcoptes Scabiei var
Hominis. Scabies is not a threatened life disease in human; however itchy symtom at
night time will be the most disturbances for activity and productivity. Scabies disease will
easily spread in some places which have; high population density, low health
environment, lower socio economic level, and closed contact between persons. Scabies
has tendency to spread and affect adults and school age (Bukhart, 1983). This study has
been done at Pondok Pesantren Ulumu Quran Stabat to know the behavior of the santri
in prevention of spreading scabies disease. The results of study showed that the
knowledge of prevention scabies disease, majority santri has moderate level of knowledge
(56%), only 14 % of santri who has high knowledge on prevention of scabies disease. The
attitude of the santri towards prevention of scabies disease, there is only 10 % of santri
who has good attitude, and majority santri has moderate attitude. Majority santri (44 %)
has bad practice in order to prevent spreading scabies disease in their community.

Key words: scabies, pesantren, and behavior

PENDAHULUAN

Skabies merupakan penyakit kulit yang
disebabkan oleh karena infestasi tungau yang
disebut Sarkoptes scabiei var hominis.
Skabies tidak membahayakan manusia namun
adanya rasa gatal pada malam hari merupakan
gejala utama yang mengganggu aktivitas dan
produktivitas. Penyakit scabies banyak
berjangkit terutama di: (1) lingkungan yang
padat penduduknya, (2) lingkungan dengan
tingkat kebersihan kurang, (3) lingkungan sosial
ekonomi rendah, dan (4) lingkungan pergaulan
yang akrab. Skabies cenderung tinggi pada
anak-anak usia sekolah dan remaja (Burkhart,
1983).
Pondok Pesantren dilihat dari segi kondisi
lingkungan pondok serta perilaku kesehatan
santri mempunyai risiko yang cukup besar
terhadap penularan penyakit. Menurut berbagai
laporan tingkat kepadatan penduduk cukup
tinggi, yaitu 1 kamar tidur dengan luas kamar 15
m2 dihuni sampai 15 orang. Hal ini belum
memenuhi standar hunian kamar, yaitu 3
m2/tempat tidur/orang (DepKes RI, 1995).
Angka kesakitan para santri cukup tinggi
khususnya jenis penyakit kulit tertentu, yaitu
Skabies sebesar 25,49% (Bapelkes Salaman,

Perilaku Santri dalam Upaya Pencegahan (172-177) 173
Lita Sri Andayani
1991), 24,42% (Puskesmas Salam, 1997),
59,24% (Setyowati, 1987).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka
permasalahan yang berkaitan dengan kejadian
scabies di Pondok Pesantren adalah sebagai
berikut: (1) penyakit scabies merupakan
penyakit kulit yang banyak diderita oleh santri,
(2) kasus terjadi pada daerah padat penghuni dan
jumlah kasus banyak pada anak usia sekolah, (3)
banyaknya kasus karena perilaku pencegahan
terhadap penyakit scabies masih rendah.
Sehubungan dengan hal tersebut maka
dilakukan penelitian untuk mengetahui Perilaku
santri dalam upaya pencegahan scabies di
pondok pesantren. Dengan pencegahan scabies,
berarti seseorang akan berdaya upaya secara
pribadi untuk memelihara dan mempertinggi
derajat kesehatan sendiri.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum:
Untuk mengetahui Perilaku Santri dalam
upaya pencegahan penyakit Skabies di Pondok
Pesantren Ulumu Quran Stabat.

Tujuan Khusus:
1. Untuk mengetahui pengetahuan santri
dalam upaya pencegahan penyakit scabies.
2. Untuk mengetahui sikap santri dalam
upaya pencegahan penyakit scabies.
3. Untuk mengetahui tindakan santri dalam
upaya pencegahan penyakit scabies.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan
tujuan untuk mengetahui perilaku santri dalam
upaya pencegahan penyakit Skabies di pondok
pesantren.
Populasi dalam penelitian ini adalah para
santri yang tinggal di Pesantren Ulumu Quran
Stabat. Yang menjadi sampel dalam penelitian
ini adalah santri yang tinggal di Pondok
Pesantren sebanyak 50 orang, dengan kriteria:
a. Umur dibatasi 10-15 tahun
b. Tinggal di Pondok Pesantren minimal 1
tahun.
Data diambil melalui wawancara dengan
menggunakan kuesioner & pengamatan
langsung.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden
Karakteristik responden ditinjau berdasarkan
umur, dan jenis kelamin. Ditinjau dari umur
responden terbanyak berumur 13 tahun, yaitu
sebanyak 50 %. Dan yang terendah yaitu
berumur 12 tahun sebanyak 6 %.

Tabel 1. Karakteristik responden berdasarkan
umur
No. Umur Responden n %
1. 12 Tahun 3 6
2. 13 Tahun 25 50
3. 14 Tahun 7 14
4. 15 Tahun 15 30
J umlah 50 100

Karakteristik responden ditinjau dari jenis
kelamin. ternyata 74% perempuan dan 26% laki-
laki. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel berikut.

Tabel 2. Karakteristik responden berdasarkan
jenis kelamin
No. Jenis Kelamin n %
1. Pria 13 26
2. Wanita 37 74
J umlah 50 100

Pengetahuan Responden
Yang dimaksud dengan pengetahuan di sini
adalah segala sesuatu yang diketahui responden
dalam usaha pencegahan penyakit Scabies.
Meliputi pengertian penyakit scabies, cara
penularan baik langsung maupun tidak
langsung, masa inkubasi kuman scabies, gejala-
gejala penyakit scabies, daerah yang paling
sering terkena, dan cara-cara pencegahan agar
tidak tertular.
Tingkat pengetahuan responden dalam
usaha pencegahan penyakit Scabies
menunjukkan 7 responden (14%)
berpengetahuan baik, 28 responden (56%)
berpengetahuan sedang dan 15 responden (30%)
yang berpengetahuan jelek. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan
pengetahuan
No. Pengetahuan Responden n %
1. Baik 7 14
2. Sedang 28 56
3. Kurang 15 30
J umlah 50 100

174 Perilaku Santri dalam Upaya Pencegahan (172-177)
Lita Sri Andayani
Tingkatan atau kualitas pengetahuan
menurut Notoatmodjo (1993), dapat
dikelompokkan atas 6 (enam) tingkatan, di mana
setiap tingkatan merupakan urutan proses dari
tingkat paling rendah sampai tertinggi. Dengan
kemampuan mengetahui mulai dari tingkatan
paling rendah sampai tertinggi akan memberikan
kontribusi yang positif dalam menentukan
kualitas pengetahuan santri dalam upaya
pencegahan penyakit scabies di pondok
pesantren.
Tingkatan pertama adalah tahu
(know), diartikan sebagai kemampuan
mengingat suatu materi yang telah dipelajari
atau didengar sebelumnya, termasuk mengingat
kembali (recall). Dalam kaitannya pengetahuan
santri dalam upaya pencegahan penyakit scabies
di pondok pesantren, rata-rata santri pernah
mendengar, namun tidak mempelajari secara
khusus apa dan bagaimana penyakit scabies
secara lebih mendalam. Dalam penelitian ini
56% responden berpengetahuan sedang karena
pernah mendengar dan sedikit mengetahui
tentang upaya pencegahan penyakit scabies di
pondok pesantren, kerena sudah pernah
mendengar di bangku sekolah.
Tingkatan kedua dalam konsep
pengetahuan adalah memahami
(comprehension), diartikan sebagai suatu
kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara
benar. Setelah santri mengetahui tentang upaya
pencegahan penyakit scabies di pondok
pesantren, maka akan berlanjut ke tahap
memahami. Kemampuan santri dalam
memahami upaya pencegahan penyakit scabies
di pondok pesantren, ditentukan oleh seberapa
banyak materi tentang upaya pencegahan
penyakit scabies di pondok pesantren yang
diingatnya, serta seberapa tinggi kemampuan
santri dalam mengartikan dan memberikan
makna terhadap materi upaya pencegahan
penyakit scabies di pondok pesantren tersebut.
Tingkatan ketiga pada konsep pengetahuan
adalah aplikasi (application), diartikan
sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang sudah diketahuinya pada situasi atau
kondisi sebenarnya (real). Kemampuan
seseorang dalam mengaplikasikan suatu konsep
ke dalam bentuk yang nyata di lapangan dapat
dijadikan indikator untuk mengukur tingkat
pengetahuan. Dalam tingkatan pengetahuan ini,
hampir semua responden tidak mampu, artinya
santi belum punya kemampuan untuk
mengaplikasikan dalam kehidupannya dalam hal
upaya pencegahan penyakit scabies di pondok
pesantren.
Pada tingkatan pengetahuan selanjutnya,
yaitu analisis (analysis), mengsintesis
(synthesis), maupun mengevaluasi
(evaluation), hampir tidak ada informan yang
mencapai pengetahuan sampai pada tingkatan
tersebut. Secara umum pengetahuan sebagian
besar responden pada tahap mengetahui, dan
sebagian kecil pada tahap memahami.

Sikap Responden
Sikap di sini merupakan pandangan,
pendapat responden dalam upaya pencegahan
penyakit scabies di pondok pesantren, meliputi
sikap responden tentang pentingnya kebersihan
diri, sikap responden memutus cara penularan
baik langsung maupun tidak langsung dengan
meminjamkan pakaian, perlengkapan tidur
kepada teman, dan sikap responden agar tidak
tertular.
Tingkat sikap responden dalam usaha
pencegahan penyakit Scabies menunjukkan 5
responden (10%) bersikap baik, 36 responden
(72%) bersikap sedang, dan 9 responden (18%)
yang bersikap jelek.

Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan
sikap
No. Sikap Responden n %
1. Baik 5 10
2. Sedang 36 72
3. Kurang 9 18
J umlah 50 100

Tingkatan sikap menurut Notoatmodjo
(1993), terdiri dari 4 (empat) tingkatan, di mana
setiap tingkatan merupakan tahapan yang
menunjukkan kualitas dari kemampuan
seseorang dalam memandang permasalahan
secara luas. Dalam hal ini bagaimana santri
memandang upaya pencegahan penyakit scabies
di pondok pesantren.
Tingkatan pertama dari konsep sikap yang
disebutkan adalah tahap menerima
(receiving), tahap ini diartikan bahwa orang
(subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan (objek). Apabila santri dalam
menerima stimulus yang diberikan dalam upaya
pencegahan penyakit scabies di pondok

Perilaku Santri dalam Upaya Pencegahan (172-177) 175
Lita Sri Andayani
pesantren, maka kemampuan mereka untuk
menentukan sikap yang benar akan semakin
baik dan tinggi, sebaliknya apabila kemampuan
menerima stimulus kurang baik, maka dalam
menentukan sikap juga akan kurang baik.
Pembentukan sikap pada seseorang
merupakan proses yang dipengaruhi oleh aspek
emosional, pengalaman di masa lalu,
pengetahuan serta kondisi lingkungan di mana
orang tersebut berada. Sesuai konsep Perilaku
Kesehatan yang dikembangkan ilmu Kesehatan
masyarakat, bahwa sikap merupakan bentuk
respons terhadap suatu stimulus yang dapat
dikategorikan sebagai tindakan tersembunyi
(belum nyata). Sikap yang terbentuk akan
menunjukkan bagaimana tingkat kemampuan
seseorang dalam menanggapi/merespons
stimulus yang terjadi.
Peneliti berasumsi bahwa responden
bersikap sedang dengan jumlah terbanyak,
karena setelah mereka mendapat pengetahuan
yang cukup maka responden belum bisa
bersikap baik karena keterbatasan yang
responden hadapi di pesantren, yaitu mereka
memang harus tidur dalam kamar yang sudah
ditentukan, dengan jumlah orang yang banyak
dalam 1 kamar (melebihi batas normal). Santri
juga tidak dapat menolak untuk tidak saling
meminjamkan peralatan tidur (bantal, guling,
selimut) dan perlengkapan mandi (handuk), hal
ini mungkin disebabkan keterbatasan
perlengkapan yang responden miliki.

Tindakan Responden
Tingkat tindakan responden dalam usaha
pencegahan penyakit Scabies menunjukkan 15
responden (30%) bertindakan baik, 13
responden (26%) bertindakan sedang, dan 22
responden (44 %) yang bertindakan jelek. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan
tindakan
No. Tindakan Responden n %
1. Baik 15 30
2. Sedang 13 26
3. Kurang 22 44
J umlah 50 100

Pada aspek tindakan responden, peneliti
mengajukan pertanyaan terbuka dan observasi
langsung. Sehingga didapat hasil sebagai
berikut, secara umum pada pertanyaan berapa x
responden mandi dalam sehari sebagian besar
mandi lebih dari 2 x sehari. malahan ada yang
mandi 3x sehari. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Distribusi responden berdasarkan
tindakan berapa kali mandi dalam
sehari
No. Berapa Kali Mandi n %
1. 2 kali 42 84,0
2. 3 kali 8 16,0
J umlah 50 100

Demikian juga pada pertanyaan berapa kali
ganti baju dalam sehari. Sebagian besar
menajwab 2-3 x sehari berganti baju. Hal ini
sudah cukup baik berarti responden sudah
mengerti dan bertindak baik yaitu mengganti
bajunya ketika mandi. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Distribusi responden berdasarkan
tindakan berapa kali ganti baju dalam
sehari
No. Berapa Kali Ganti
Baju
n %
1. 1 kali 8 16
2. 2 kali 27 54
3. 3 kali 15 30
J umlah 50 100

Untuk pertanyaan menjemur handuk,
hanya 46% yang menjawab ya menjemur
handuk, 30% menjawab kadang-kadang, dan
24% menjawab tidak menjemur handuk. Dan
dari mereka yang menjawab menjemur handuk,
semua responden (100%) menjawab menjemur
di jemuran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Tabel 8.

Tabel 8. Distribusi responden berdasarkan
tindakan menjemur handuk
No. Menjemur Handuk n %
1. Ya 23 46
2. Kadang-kadang 15 30
3. Tidak 12 24
J umlah 50 100

Untuk pertanyaan berapa kali responden
mengganti sprei dalam 1 bulan. 36% menjawab
2 kali sebulan, 16% menjawab 3 kali sebulan,
dan 40% menjawab 4 kali sebulan. Dalam hal
ini memang sudah menjadi peraturan pondok
pesantren untuk siswanya harus mencuci dan

176 Perilaku Santri dalam Upaya Pencegahan (172-177)
Lita Sri Andayani
mengganti sprai 1 x dalam seminggu (4 x dalam
sebulan). Namun dengan alasan sering hujan
beberapa siswa pesantren tidak dapat
melakukannya 4 kali dalam sebulan. Mengganti
sprai 1 kali dalam seminggu memang salah satu
upaya pencegahan yang baik agar kuman
scabies tidak dapat berkembang biak. Karena
kuman scabies akan mati bila kena deterjen dan
dijemur di panas matahari. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Distribusi responden berdasarkan
tindakan berapa kali ganti sprei
No. Berapa Kali Ganti
Sprei
n %
1. 2 kali 18 36
2. 3 kali 8 16
3. 4 kali 20 40
4. 5 kali 4 8
J umlah 50 100

Pada pertanyaan berapa kali menjemur
tilam, bantal dalam sebulan, hasil penelitian
menunjukan 38% responden yang menjawab 2
kali dalam sebulan, dan hanya 24% yang
menjawab 4 kali dalam sebulan. Seharusnya
nilai yang terbaik adalah 4 kali dalam sebulan
responden harus menjemur tilam, bantal
(perlengkapan tidur). Karena kuman scabies
paling senang hidup dan berkembang biak di
perlengkapan tidur. Dengan menjemur
perlengkapan tidur seminggu 1 kali (4 kali
dalam sebulan) diharapkan kuman scabies akan
mati terkena sinar matahari dan dapat
mengurangi perkembangbiakannya. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Distribusi responden berdasarkan
tindakan berapa kali menjemur tilam,
bantal dalam sebulan
No.
Menjemur tilam,
bantal dalam sebulan
n %
1. 2 kali 19 38
2. 3 kali 8 16
3. 4 kali 12 24
4. 5 kali 10 20
5. 7 kali 1 2
J umlah 50 100

Pada pertanyaan pernah meminjamkan
pakaian, 94% responden menjawab pernah
meminjamkan pakaian pada teman responden.
Dan ini merupakan hasil yang tidak diharapkan
peneliti, karena dengan meminjamkan pakaian
pada teman berarti memudahkan penularan
kuman scabies. Dan di sini terlihat, bahwa
belum tentu pengetahuan baik, sikap sedang
maka tindakan akan baik. Dari hasil penelitian
ini sudah terlihat bahwa walaupun responden
berpengetahuan baik, sikap sedang, ternyata
tindakan jelek, Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Distribusi responden berdasarkan
tindakan meminjamkan pakaian
No.
Pernah Meminjamkan
Pakaian
n %
1. Pernah 47 94
2. Tidak Pernah 3 6
J umlah 50 100

Pada pertanyaaan pernah meminjam
perlengkapan tidur (bantal, guling, selimut) pada
teman sesama penghuni pondok pesantren,
menunjukkan hasil 60% tidak perah
meminjamkan dan hanya 40% yang pernah
meminjamkannya. Sebaiknya memang tidak
meminjamkan bantal, guling dan selimut, karena
barang-barang tersebut dapat menularkan kuman
scabies dari penderita kepada orang lain.
Apalagi bila perlengkapan tidur tersebut tidak
pernah di jemur ataupun di cuci dalam jangka
waktu yang lama. Maka kemungkinan jumlah
kuman scabies yang ada di perlengkapan tidur
itu banyak sekali dan sangat besar risiko untuk
menularkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Tabel 12.

Tabel 12. Distribusi responden berdasarkan
tindakan meminjam bantal, guling,
selimut
No.
Pernah Meminjam
Bantal, Guling,
Selimut
Jumlah Persen
1. Pernah 20 40
2. Tidak Pernah 30 60
J umlah 50 100

Selanjutnya pada pertanyaan di mana
responden akan pergi berobat bila terkena
penyakit scabies. Sebanyak 64% menjawab akan
pergi ke dokter, 24% menjawab akan pergi ke
puskesmas, dan 12% berobat ke rumah sakit.
Dalam hal ini tindakan responden sudah cukup
baik. Artinya responden akan pergi mencari
pengobatan ke pelayanan kesehatan. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.


Perilaku Santri dalam Upaya Pencegahan (172-177) 177
Lita Sri Andayani
Tabel 13. Distribusi responden berdasarkan
tindakan kemana berobat bila terkena
scabies
No
Tempat Berobat
Skabies
n %
1. Rumah Sakit 6 12
2. Dokter 32 60
3. Puskesmas 12 24
J umlah 50 100

KESIMPULAN
1. Tingkat pengetahuan responden dalam
usaha pencegahan penyakit Scabies
menunjukkan 7 responden (14%)
berpengetahuan baik, 28 responden (56%)
berpengetahuan sedang, dan 15 responden
(30%) yang berpengetahuan jelek.
2. Tingkat sikap responden dalam usaha
pencegahan penyakit Scabies menunjukkan
5 responden (10%) bersikap baik, 36
responden (72%) bersikap sedang, dan 9
responden (18%) yang bersikap jelek.
3. Tingkat tindakan responden dalam usaha
pencegahan penyakit Scabies menunjukkan
15 responden (30%) bertindakan baik, 13
responden (26%) bertindakan sedang, dan
22 responden (44%) yang bertindakan
jelek.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S., 1995, Sikap Manusia, Teori dan
Pengukurannya, Liberty, Yogyakarta.
Notoatmodjo, S., 1993, Pengantar Pendidikan
Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Andi
Offset, Yogyakarta.
Notoatmodjo, S., 1993, Metodologi Penelitian
Kesehatan, Rineka Cipta, J akarta
Siregar, R.S., 1992, Saripati Penyakit Kulit,
EGC, J akarta
Ramli A, 1987, Kamus Kedokteran, Djambatan,
J akarta.
WHO, 1992, Pendidikan Kesehatan Pedoman
Pelayanan Kesehatan Dasar, Penerbit ITB
& Udayana, Bandung.

S-ar putea să vă placă și