0 evaluări0% au considerat acest document util (0 voturi)
16 vizualizări0 pagini
This document discusses the application of systemic fungicides and the utilization of mycorrhiza in controlling soil-borne pathogens in soybean plants. It notes that pathogens like Rhizoctonia solani and Sclerotium rolfsii can reduce soybean yields by up to 40% and that one way to address this is through the application of mycorrhizal fungi. Mycorrhizal fungi help plants absorb nutrients, resist drought, improve soil structure, and produce compounds that act as a physical barrier against pathogens. However, fungicides used against pathogens can harm mycorrhizal fungi. The document examines the effects of systemic fungicide application on mycorrhizal roles as a biofertilizer and
This document discusses the application of systemic fungicides and the utilization of mycorrhiza in controlling soil-borne pathogens in soybean plants. It notes that pathogens like Rhizoctonia solani and Sclerotium rolfsii can reduce soybean yields by up to 40% and that one way to address this is through the application of mycorrhizal fungi. Mycorrhizal fungi help plants absorb nutrients, resist drought, improve soil structure, and produce compounds that act as a physical barrier against pathogens. However, fungicides used against pathogens can harm mycorrhizal fungi. The document examines the effects of systemic fungicide application on mycorrhizal roles as a biofertilizer and
Drepturi de autor:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Formate disponibile
Descărcați ca PDF, TXT sau citiți online pe Scribd
This document discusses the application of systemic fungicides and the utilization of mycorrhiza in controlling soil-borne pathogens in soybean plants. It notes that pathogens like Rhizoctonia solani and Sclerotium rolfsii can reduce soybean yields by up to 40% and that one way to address this is through the application of mycorrhizal fungi. Mycorrhizal fungi help plants absorb nutrients, resist drought, improve soil structure, and produce compounds that act as a physical barrier against pathogens. However, fungicides used against pathogens can harm mycorrhizal fungi. The document examines the effects of systemic fungicide application on mycorrhizal roles as a biofertilizer and
Drepturi de autor:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Formate disponibile
Descărcați ca PDF, TXT sau citiți online pe Scribd
Abstract Some pathogens, such as Rhizoctonia solani dan Sclerotium rolfsii, can limit the growth of Glisine max and reduce its yield as high as 40% of the total yield. The method to tackle this problem is application of mycorrhizal fungus. Mycorrhiza can be applied as a biofertlizer in order to improve soil fertility and efficiency of fertilizer application and to control soil borne pathogens. This fungus can help the plant to absorb nutrients, to resist to drought, and to improve soil structure and the activity of useful soil organisms. Mycorrhizal fungus also produces plant regulate-compounds such as auxin, cytocinin, giberellin, and vitamin B and forms a physichal barrier and produces antibiotics against soil born pathogens. However, the use of fungicide againts pathogens can give deleterious effects to the fungus. Therefore the use of such pesticide has to be applied wisely. Application of systemic pesticides should be studied further as the use of these compounds can have disadvantages effects on the mycorrhyzal life in order to find out selective pesticides that will not counteract to the mycorrhizal activities. This paper tries to discuss examine the effect of systemic fungicide application on mycorrhizal role as a biofertilizer and to find the proper method giving a maximum result in resolving soil borne pathogens while the effect to useful organisms is minimum. .
Pendahuluan Kedelai merupakan salah satu komoditas strategis jenis legume penting di Indonesia, diusahakan secara luas. Sejak tahun 1980 permintaan kedelai di Indonesia meningka dengan pertambahan sekitar 18% per tahun, mengingat produksinyamasih rendah, maka sampai saat ini Indonesia menjadipengimpor kedelai. Tanaman ini diusahakan pada musim kemarau pada lahan basah setelah padi atau pada lahan kering dengan memanfaatkan sisa kandungan air tanah dari musim sebelumnya. Beberapa jenis patogen jamur dapat merupakan faktor pembatas pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai. J amur Rhizoctonia solani dan Sclerotium rolfsii merupakan patogen penyebab rebah kecambah dan busuk pangkal dan mampu menimbulkan kehilangan hasil kedelai sampai 40% (Anonim, 1990b). Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut ada dengan memanfaatkan peran mikoriza potensial sebagaimana telah ditunjukkan oleh Sastrahidayat (1991) dalam upaya mencari terobosan peningkatan produksi padi gogo sekaligus untuk mengatasi masalah seperti di atas. J amur mikoriza mempunyai kemampuan menyerap unsur hara, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, memperbaiki struktur dan agregat tanah, memacu aktifitas organisme berguna (Dela Crus, 1988). Mikoriza juga dapat Aplikasi Fungisida Sistemik 149157 (Achmad Djunaedy)
150 menghasilkan zat pengatur tumbuh seperti auxin, sitokinin, giberellin, dan vitamin B kompleks, selain itu juga mampu membentuk penghalang fisik danmengeluarkan antibiotik tertentu bagi perkembangan patogen tanah. Pemakaian fungisida untuk mengendalikan patogen jamur banyak dan sering dilakukan, sehingga kadang-kadang dapat juga mengganggu keberadaan jamur yang menguntungkan seperti mikoriza. Mengingat pentingnya jamur mikoriza dalam pertumbuhan tanaman kedelai, maka pemakaian fungisida hendaknya dilakukan secara hati-hati, untuk itu perlu ada kajian tentang pengaruh fungisida sistemik terhadap kehidupan mikoriza dalam rangka pengendalian Petogen Tular Tanah dan upaya meningkatkan produktifitas tanaman kedelai.
Pendekatan Masalah Dan Pembahasan Patogen Tular Tanah Dari sejumlah penyakit penting pada tanaman kedelai, ada dua Petogen Tular Tanah yang cukup berbahaya yaitu : 1. Rebah kecambah dan busuk pangkal batang yang disebabkan yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani; 2. Busuk pangkal batang yang disebabkan oleh Sclerotium rolfsii. Gejala busuk akar dan pangkal batang banyak dijumpai pada tanah basah terutama pada bibit atau tanaman kedelai muda dan tanah yang kekurangan Ca, Fe, Mg, N, p, S atau kombinasi dari unsur hara tersebut. Gejala serangan akan lebih berat bila pertumbuhan tanaman kurang baik. J amur patogen ini dapat bertahan hidup lama dengan cara membentuk sclerotia yang tahan terhadap kekeringan. Gejala khusus dari serangan patogen ini adalah busuk berwarna coklat kemerahan pada lapisan korteks akar utama dan pangkal batang. Gejala ini dapat berkembang menjadi kangker cekung yang melingkari pangkal batang. Bila cuaca menguntungkan gejala kangker cekung tersebut dapat meluas ke bagian atas batang. Gejala pertama penyakit busuk pangkal batang scletorial blight terlihat pada tanaman berumur 2-5 minggu. Pada umur tersebut tanaman tampak layu dan daun menjadi coklat. Pada pangkal batang bibit tampak massa miselia berwarna putih atau butir-butir coklat muda sampai coklat, selanjutnya tanaman yang terinfeksi akan mati. Patogen aktif berkembang pada permukaan tanah. Miselium berkembang pada sisa-sisa tanaman sebagai saproba dan bersama sklerotia yang berkecambah serta benih kedelai yang terinfeksi dapat berperan sebagai sumber infeksi pertama. Sklerotian dalam tanah berkecambah terutama pada tanah berpasir dan masam (pH 3-6) serta keadaan lembab (Sudjono, et al, 1985). Kerugian hasil karena penyakit yang disebabkan R. Solani dapat mencapai 40%, sedangkan kerugian hasil karena penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan S. EMBRYO VOL. 5 NO. 2 DESEMBER 2008 ISSN 0216-0188
151 Rolfsii dapat mencapai 30%, dan kerugian ini sering terjadi pada lahan yang selalu ditanami kedelai dan kacang-kacangan lainnya (Anonim, 1990b). Pengendalian kedua jenis patogen tular tanah ini pada umumnya digunakan dengan cara pengaturan pola tanam, pengapuran, varietas tahan, drainase yang baik, dan aplikasi fungisida sistemik, sedangkan penggunaan mikoriza untuk pengendalian sudah dilakukan pada padi gogo (Sastrahidayat, 1990).
Mikoriza dan Perannya Mikoriza adalah jamur tanah yang membentuk asosiasi mutualistis dengan akar tanaman darat (Alexopoulos and Mims, 1979). Mikorisa dikelompokkan ke dalam tida tipe utama berdasarkan cara infeksi jamur ke akar tanaman inang yaitu ektomikoriza, endomikoriza dan ektoendomikoriza. Ektomikoriza merupakan tipe yang dominan dijumpai pada tanaman pinus, eukaliptus, dan Dipterocarpaeceae. Bagian akar tanaman terutama akar lateral yang terinfeksi secara tipikal membengkak, bercabang dikotom dan mengandung pigmen. Miselia jamur menutupi permukaan akar membentuk selubung yang padat dan tebal yang disebut mantel, beberapa hifa menetrasi akar tetapi tidak masuk ke dalam sel dan hanya berkembang di antara sel-sel jaringan korteks yang membentuk struktur seperti jala dan disebut harting net. Endomikoriza tidak memiliki selubung miselia jamur yang menutupi akar tanaman terinfeksi dan akar tidak membengkak. Hifa jamur masuk ke dalam individu sel jaringan korteks akar. MVA adalah endomikoriza yang membentuk struktur khusus berbentuk lonjong disebut vesikel dan sistem percabangan hifa yang disebut arbuscular. Bagian penting MVA adalah hifa eksterna yang dibentuk di luar akar tanaman dan berfungsi membantu penyerapan hara dan air oleh tanaman (Kabirun, 1989). Peranan mikoriza terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman adalah meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap nutrisi. Adanya hifa eksterna yang ekstensifatau mantel yang kompak menyelubungi akar menyebabkan volume tanah yang dapat dijangkan tanaman meningkat, sehingga penyerapan unsur hara oleh akar yang terinfeksi mokiriza akan meningkat, tenaga absorbsi dapat dipertahankan lebih lama, dan translokasi hara dari hifa ke sel-sel jaringan korteks diperlancar (Anonim, 1990a). Mikoriza juga mampu memperbaiki struktur dan agregar tanah, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, mempercepat terjadinya siklus mineral, dan memacu aktifitas organisme berguna, serta mampu menghasilkan auxin, sitokinin, giberillin dan vitamin B kompleks. Kemampuan mikoriza menyerap unsur hara fosfor pada tanah masam sangat dominan. Aplikasi Fungisida Sistemik 149157 (Achmad Djunaedy)
152 Seperti dikemukakan Risema (1983) bahwa pada umumnya fosfor dalam tanah terdapat dalam bentuk larut karena pengaruh keasaman,sehingga ketersediaannya bagi tanaman sangat terbatas. Pada akar yang bermikoriza, aktifitas enzim fosfatase yang berperan sebagai katalis dalam hidrolisis fosfat tidak larut meningkat, sehingga fosfat terlarut di dalam tanah meningkat, selanjutnya oleh rambut akar maupun oleh hifa eksterna ditransfer ke dalam akar (Fakuara, 1991). Dengan beberapa alasan di atas kiranya mikoriza bersifat sebagai pupuk hayati yang bila diterapkan di lapang dapat memberikan prospek yang cerah untuk efisiensi penggunaan pupuk terutama untuk tanah marginal di daerah tropis dan secara ekonomis akan menurunkan masukan pupuk ke tanah tanpa resiko menurunkan produksi tanaman. Peranan mikoriza dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen juga cukup besar, seperti hasil inventarisir pengendalian beberapa patogen yang telah dilakukan pada beberapa komoditas (Sastrahidayat, 1991). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman dengan MVA umumnya lebih tahan terhadap serangan penyakit (Anonim, 1990b). Marx (1973) menyimpulkan beberapa kemungkinan mekanisme proteksi terhadap tanaman oleh mikoriza yaitu : 1. Adanya sekresi antibiotik yang menghambat perkembangan patogen; 2. Mantel atau selubung miselia jamur mikoriza bertindak sebagai penghalang fisik dari penetrasi patogen; 3. Surplus hara di akar digunakan oleh mikoriza sehingga mengurangi banyaknya makanan yang dapat digunakan oleh patogen; 4. Bersama-sama dengan akar, mikoriza membantu perkembangan populasi mikroba dalam rizosfer yang melindungi akar; 5. Bahan-bahan yang dihasilkan oleh korteks inang yang telah terinfeksi dapat berperan sebagai penghambat terhadap infeksi dan penyebaran patogen di dalam akar bermikoriza.
Fungisida Sistemik
Fungisida ditinjau dari segi mekanisme aktifitas biologinya dibagi dalam tiga tipe yaitu : 1. Fungisida Eradikan Fungisida Eradikan diaplikasikan apabila organisme penyebab penyakit sudah ada di dalam EMBRYO VOL. 5 NO. 2 DESEMBER 2008 ISSN 0216-0188
153 tanaman atau pada tanaman di tingkat awal infeksi atau sebelum gejala kerusakan menjadi irreversible. Bila patogen telah ada di dalam tanaman, maka fungisida ini harus mampu untuk mengadakan penetrasi guna melancarkan kegiatan peracunan, dalam hal ini diperlukan aktifitas sistemik. Bila patogen ada di luar tanaman, seperti di permukaan daun, maka kegiatan kontak oleh fungisida adalah paling cocok. Fungisida kelompok ini tidak persisten dalam tanaman atau dalam lingkungan dibanding dengan fungisida protektan. Fungisida Eradikan antara lain carbendazim, DNOC, methylthiophanate, captan, iprodion, dan maneb. 2. Fungisida Protektan Fungisida Protektan diaplikasikan terutama pada permukaan bagian tanaman (buah, batang, daun), sebelum terjadinya penyakit atau sebelum patogen mengadakan kontak dengan permukaan bagian tersebut. Fungisida Protektan memerlukan waktu residual yang lama untuk memperoleh sifat proteksi yang lama dan jika diaplikasikan langsung pada permukaan tanaman tidak boleh bersifat fitotoksik. Sifat-sifat ini diperoleh pada fungisida anorganik seperti tembaga, belerang, dan merkuri-organo. 3. Fungisida Sistemik Fungisida sistemik adalah senyawa kimia apabila diaplikasikan terhadap tanaman, sebagian akan ditranslokasikan ke bagian lain, dalam kuantitas fungisidal. Aplikasi dapat melalui tanah untuk diabsorbsi oleh akar, atau melalui penetrasi daun, atau injeksi melalui batang (Triharso, 1998).
Syarat ideal fungisida sistemik adalah; 1) bekerja sebagai toksikan dalam tanaman inang, 2) mengganggu metabolisme inang dan mengimbas ketahanan fisik maupun kimia terhadap patogen dan tidak mengurasi kuantitas, maupun kualitas tanaman, 3) dapat diabsorbsi dengan baik dan ditranslokasikan dari titik aplikasi ke tempat patogen dan mempunyai derajat stabilitas dalam tanaman inang, 4) toksisitas terhadap mamalia cukup rendah, dan 5) meningkatkan ketahanan inang. Mekanisme kerja fungisida sistemik meliputi ; 1) netralisasi enzim atau toksin yang terkait dalam invasi dan kolonisasi jamur, 2) akumulasi selektif fungisida karena permeabilitas dinding sel jamur menjadi lebih besar, Aplikasi Fungisida Sistemik 149157 (Achmad Djunaedy)
154 3) terjadinya kerusakan membran semipermeabel dan struktur infeksi jamur, 4) penghambatan sistem enzim jamur, sehingga mengganggu terbentuknya buluh kecambah, apresorium dan haustorium, 5) terjadinya chelat dan presipitasi zat kimia, 6) terjadinya antimetabolisme, 7) mempengaruhi sistesis asam nukleat dan protein. Berdasarkan struktur kimianya fungisida sistemik diklasifikasikan dalam kelompok: benzimidazole, thiophanate, oxantin, dan senyawa yang terkait pyrimidin, morpholine, organofosfatdan kelompok lainnya. Residu fungisida sistemik agak berbeda dengan fungisida non- sistemik. Cara dan waktu aplikasi akan mempunyai pengaruh pada residu yang dihasilkan. Bahan fungisida pada permukaan daun akan aus dengan cara yang biasa, sedang bahan fungisida dalam jaringan akan bergerak ke tepi dan akhirnya akan larut dalam jaringan. Pematahan metabolik menjurus akan kehilangan secara sempurna aktifitas fungisidal. Pada fungisida sistemik residu akan mengalami penetrasi kutikula lebih lanjut, sehingga masih akan berpengaruh dalam penyimpanan. Beberapa hasil penelitian bahwa penggunaan fungisida sistemik benomyl selain sangat toksik terhadap Verticillium, Theeliviopsis, Botrytis, dan Rhizoctonia, juga toksik pada jamur non patogen seperti Trihoderma,Penicillium, dan Aspergillus (Sieverding, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi fungisida sistemik tidak selalu menguntungkan. Mikoriza termasuk juga jamur yang non patogen yang dapat dipengaruhi dengan adanya fungisida sistemik. Pemberian benomyl dan metil tiofanat pada tanah dapat menghambat pembentukan dan perkembangan mikoriza pada akar cengkeh, demikian juga pemberian fungisida sistemik pada biji gandum dapat menurunkan derajat infeksi MVA. Selanjutnya hasil penelitian Yulianto (1989), menunjukkan bahawa fungisida sistemik benomyl dengan konsentrasi 0.4 g/l dan 0.8 g/l, serta mankozeb dan karbendazim 4.0 g/l dapat menghambat infeksi Glomus fasciculatus pada akar kedelai sehingga bobot biji per polong dan bobot 1000 butir kedelai menjadi rendah, hal seperti tercantum pada Tabel 1.
EMBRYO VOL. 5 NO. 2 DESEMBER 2008 ISSN 0216-0188
155 Tabel 1. Pengaruh Fungisida Sistemik terhadap Persentase Infeksi G. Fasciculatus, Bobot Biji per tanaman, dan Bobot 1000 butir Kedelai (Yulianto, 1989).
Fungisida Persentase infeksi G. fasciculatus Bobot Biji per Tanaman Bobot 1000 butir biji Benomyl 0.4 g/l Benomyl 0.8 g/l Mankozeb +Karbendazim 2.0 g/l Mankozeb +Karbendazim 4.0 g/l Kontrol 12.0 a 9.4 a
52.4 b
25.4 a 56.8 b 6.19 a 6.97 a
6.08 a
6.36 a 9.03 b 110.45 a 107.34 a
114.33 a
107.35 a 125.99 b
Pengendalian Petogen Tular Tanah Pengendalian secara kultur teknis, penggunaan varietas tahan banyak direkomendasikan kepada petani, bahkan penggunaan jamurantagonis sebagai agen pengendali hayati sudah mulai dipraktekkan meskipun secara terbatas. Untuk mengendalikan penyakit busuk pangkalbatang (Sclerotial blight) dapat dilakukan dengan cara pembalikan tanah, pemakaian benih yang bebas patogen dan varietas tahan, peningkatan pH tanah dengan pengapuran, dan drainase agar permukaan tanah tetap kering. Begitu pula dengan pengendalian penyakit rebah kecambah atau busuk akar/pangkal batang yang disebabkan R.solani dapat dilakukan dengan cara tersebut. Selain pengendalian tersebut di atas, dapat juga dengan pemakaian fungisida. Aplikasi fungisida dapat dilakukan dengan cara : 1. Perlakuan benih (seed treatment) yaitu dengan mencampur fungisida formulasi debu/tepung atau pasta dengan benih sebelum ditanam, dan dapat juga dilakukan perendaman bibit sebelum tanam ke dalam larutan fungisida; 2. Pemberian fungisida lewat tanah; 3. Penyemprotan melalui daun. Perlakuan benih dan pemberian fungisida lewat tanah dapat mengendalikan patogen tular tanah (Sieverding, 2001) dengan menghambat aktifitas MVA dan ektomikoriza, meskipun pada kenyataannya beberapa penelitian lain menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Hal ini mengakibatkan pemberian mikoriza menjadi kurang bermanfaat, padahal hasil penelitian menunjukkan peran mikoriza sangat besar terutama dalammengatasi maslah pertanaman yang kondisi lahannya kurang subur. Dengan pertimbangan faktor sosiologi, ekonomi dan ekologi, maka penggunaan fungisida sedapat mungkin dihindari. Namun demikian kadang-kadang pemakaian fungisida terpaksa harus dilakukan pada daerah endemik Aplikasi Fungisida Sistemik 149157 (Achmad Djunaedy)
156 terserang patogen dan tidak ada cara lain yang efektif untuk mengendalikannya. Dengan beberapa pertimbangan yang disebut di atas, perlu kiranya dikembangkan cara-cara pengendalian penyakit jamur tular tanah yang aman bagi penggunaan pupuk hayati mikoriza yang meliputi : 1. Penggunaan varietas tahan dan benih yang sehat; 2. Penggunaan kultur teknis yang baik; 3. Penggunaan pupuk hayati mikoriza yang praktis dalam aplikasi seperti dalam bentuk tablet, granular, campuran tanah dan akar bermikoriza; 4. Penggunaan fungisida dengan ketentuan : a. tidak ada cara lain yang efektif untuk mengendalikan penyakit; b. memilih fungisida sistemik dan selektif, hanya untuk patogen tular tanah; c. memilih fungisida yang mempunyai efek residu rendah (Anonim, 1992).
Kesimpulan Dari permasalahan dan pembahasan yang disampaikan, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Mikoriza mempunyai peran yang sangat besar dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai melalui peningkatan kemampuan penyerapan unsur hara dan ketersediaan nutrisi bagi tanaman, sehingga sangat memungkinkan bagi pengembangan bioteknologi mikoriza sebagai pupuk hayati sekaligus dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan meningkatkan kesuburan tanah. 2. Penggunaan mikoriza dapat dijadikan sebagai salah satu cara pengendalian patogen tular tanah pada tanaman kedelai. 3. Aplikasi fungisida sistemik yang tidak tepat dapat menghambat pengembangan mikoriza sebagai organisme yang menguntungkan dalam rangka pengendalian penyakit jamur tular tanah. 3.1 Implikasi 1. Penggunaan fungisida sistemik sebaiknya dihindari kecuali tidak ada cara pengendalian lain yang efektif. 2. Perlu diteliti lebih jauh tentang pengaruh fungisida sistemik terhadap berbagai jenis mikoriza pada berbagai komoditi penting. 3. Perlu dikembangkan fungisida selektif yang tidak mengganggu aktifitas mikoriza.
EMBRYO VOL. 5 NO. 2 DESEMBER 2008 ISSN 0216-0188
157 DAFTAR PUSTAKA
Alexopoulos, C.J . and C.W. Mims. 1989. Subdivision Introductory Mycology. 3rd. Ed. John Wiley and Sons. NewYork. p. 534- 572.
Anonim. 1990a. Final Report of the Consultant on Mycorhiza Program Development, In the IUC Biotechnology Center 10 to J uni 5, 1990. Depdikbud PAU Bioteknologi IPB. Bogor. 42p.
___________1990b. Penyakit Kedelai dalam Petunjuk Bergambar untuk Identifikasi Hama dan PenyakitKedelai di Indonesia. Puslitbang Tanaman Pangan Bogor- J ICA. H. 85-115
___________1992. Petunjuk Penggunaan Pestisida. PT. Petro Kimia Kayaku. Gresik. 61 hal.
Dela Cruz, R.E. 1988. General Lecture of Mycorrhiza. Publ. By Workshop on Myco. Noc. Com. UPLP. 6 p.
Fakuara, Y.M. 1991. Mikoriza, Teori dan Kegunaan dalam Praktek. PAU-IPB. Bogor. 200 hal.
Kabirun, S. 1998. Peranan Endomikoriza dalam Pertanian. Makalah disajikan dalam kursus singkat Teknologi Mikoriza 11 -27 Desember 1998. PAU-IPB. Bogor. 11 hal.
Marx, D.H.1973. Mycorrhiza and Freeder Root Deseases. P. 107-150. Academic Press. New York.
Risema, W.I. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan diterjemahkan oleh H.M. Saleh. Bhratara Karya Aksara. J akarta. 235 hal.
Sastrahidayat, I.R. 1990. Inventarisasi dan Uji Isolat dalam Menuju Pengembangan Bioteknologi. Lporan Hasil Penelitian. Puslit. Universitas Brawijaya. Malang. 37 hal.
Sieverding, E. 2001. Plant Protection Practices with Pesticides, In Vescular-arbuscular Mycorrhiza Mangement in Tropical Agrosystem, p. 165-183.
Sudjono, M., Sudjardi, dan M.Amir. 1985. Penyakit Kedelai dan Penanggulangannya. Balittan Bogor. h. 331-355.
Triharso, 1998. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press. 362 hal.
Yulianto, 1999. Pengaruh Fungisida Sistemik pada Kedelai terhadap Infeksi Mikoriza Vaskular-arbuskular dan Hasil. Prociding Kongres Nasional X dan Seminar PFI, h. 121-123