Sunteți pe pagina 1din 0

EMBRYO VOL. 5 NO.

2 DESEMBER 2008 ISSN 0216-0188




149
Aplikasi Fungisida Sistemik dan Pemanfaatan Mikoriza dalam Rangka
Pengendalian Patogen Tular Tanah pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.)


Achmad Djunaedy. DosenJ urusan Agroekoteknologi Fak. Pertanian Unijoyo


Abstract
Some pathogens, such as Rhizoctonia solani dan Sclerotium rolfsii, can limit the growth of Glisine max
and reduce its yield as high as 40% of the total yield. The method to tackle this problem is application of
mycorrhizal fungus. Mycorrhiza can be applied as a biofertlizer in order to improve soil fertility and
efficiency of fertilizer application and to control soil borne pathogens. This fungus can help the plant to
absorb nutrients, to resist to drought, and to improve soil structure and the activity of useful soil
organisms. Mycorrhizal fungus also produces plant regulate-compounds such as auxin, cytocinin,
giberellin, and vitamin B and forms a physichal barrier and produces antibiotics against soil born
pathogens. However, the use of fungicide againts pathogens can give deleterious effects to the fungus.
Therefore the use of such pesticide has to be applied wisely. Application of systemic pesticides should be
studied further as the use of these compounds can have disadvantages effects on the mycorrhyzal life in
order to find out selective pesticides that will not counteract to the mycorrhizal activities. This paper tries
to discuss examine the effect of systemic fungicide application on mycorrhizal role as a biofertilizer and to
find the proper method giving a maximum result in resolving soil borne pathogens while the effect to useful
organisms is minimum. .

Key words: pathogen fungi, Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsii, fungicide, mycorrhiza

Pendahuluan
Kedelai merupakan salah satu
komoditas strategis jenis legume penting di
Indonesia, diusahakan secara luas. Sejak tahun
1980 permintaan kedelai di Indonesia
meningka dengan pertambahan sekitar 18%
per tahun, mengingat produksinyamasih
rendah, maka sampai saat ini Indonesia
menjadipengimpor kedelai. Tanaman ini
diusahakan pada musim kemarau pada lahan
basah setelah padi atau pada lahan kering
dengan memanfaatkan sisa kandungan air
tanah dari musim sebelumnya.
Beberapa jenis patogen jamur dapat
merupakan faktor pembatas pada pertumbuhan
dan perkembangan tanaman kedelai. J amur
Rhizoctonia solani dan Sclerotium rolfsii
merupakan patogen penyebab rebah kecambah
dan busuk pangkal dan mampu menimbulkan
kehilangan hasil kedelai sampai 40% (Anonim,
1990b).
Salah satu cara untuk mengatasi
masalah tersebut ada dengan memanfaatkan
peran mikoriza potensial sebagaimana telah
ditunjukkan oleh Sastrahidayat (1991) dalam
upaya mencari terobosan peningkatan produksi
padi gogo sekaligus untuk mengatasi masalah
seperti di atas.
J amur mikoriza mempunyai
kemampuan menyerap unsur hara,
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
kekeringan, memperbaiki struktur dan agregat
tanah, memacu aktifitas organisme berguna
(Dela Crus, 1988). Mikoriza juga dapat
Aplikasi Fungisida Sistemik 149157 (Achmad Djunaedy)


150
menghasilkan zat pengatur tumbuh seperti
auxin, sitokinin, giberellin, dan vitamin B
kompleks, selain itu juga mampu membentuk
penghalang fisik danmengeluarkan antibiotik
tertentu bagi perkembangan patogen tanah.
Pemakaian fungisida untuk
mengendalikan patogen jamur banyak dan
sering dilakukan, sehingga kadang-kadang
dapat juga mengganggu keberadaan jamur
yang menguntungkan seperti mikoriza.
Mengingat pentingnya jamur mikoriza dalam
pertumbuhan tanaman kedelai, maka
pemakaian fungisida hendaknya dilakukan
secara hati-hati, untuk itu perlu ada kajian
tentang pengaruh fungisida sistemik terhadap
kehidupan mikoriza dalam rangka
pengendalian Petogen Tular Tanah dan upaya
meningkatkan produktifitas tanaman kedelai.

Pendekatan Masalah Dan Pembahasan
Patogen Tular Tanah
Dari sejumlah penyakit penting pada
tanaman kedelai, ada dua Petogen Tular Tanah
yang cukup berbahaya yaitu :
1. Rebah kecambah dan busuk
pangkal batang yang disebabkan
yang disebabkan oleh
Rhizoctonia solani;
2. Busuk pangkal batang yang
disebabkan oleh Sclerotium
rolfsii.
Gejala busuk akar dan pangkal batang
banyak dijumpai pada tanah basah terutama
pada bibit atau tanaman kedelai muda dan
tanah yang kekurangan Ca, Fe, Mg, N, p, S
atau kombinasi dari unsur hara tersebut. Gejala
serangan akan lebih berat bila pertumbuhan
tanaman kurang baik. J amur patogen ini dapat
bertahan hidup lama dengan cara membentuk
sclerotia yang tahan terhadap kekeringan.
Gejala khusus dari serangan patogen
ini adalah busuk berwarna coklat kemerahan
pada lapisan korteks akar utama dan pangkal
batang. Gejala ini dapat berkembang menjadi
kangker cekung yang melingkari pangkal
batang. Bila cuaca menguntungkan gejala
kangker cekung tersebut dapat meluas ke
bagian atas batang. Gejala pertama penyakit
busuk pangkal batang scletorial blight terlihat
pada tanaman berumur 2-5 minggu. Pada
umur tersebut tanaman tampak layu dan daun
menjadi coklat. Pada pangkal batang bibit
tampak massa miselia berwarna putih atau
butir-butir coklat muda sampai coklat,
selanjutnya tanaman yang terinfeksi akan mati.
Patogen aktif berkembang pada permukaan
tanah. Miselium berkembang pada sisa-sisa
tanaman sebagai saproba dan bersama sklerotia
yang berkecambah serta benih kedelai yang
terinfeksi dapat berperan sebagai sumber
infeksi pertama. Sklerotian dalam tanah
berkecambah terutama pada tanah berpasir dan
masam (pH 3-6) serta keadaan lembab
(Sudjono, et al, 1985).
Kerugian hasil karena penyakit yang
disebabkan R. Solani dapat mencapai 40%,
sedangkan kerugian hasil karena penyakit
busuk pangkal batang yang disebabkan S.
EMBRYO VOL. 5 NO. 2 DESEMBER 2008 ISSN 0216-0188


151
Rolfsii dapat mencapai 30%, dan kerugian ini
sering terjadi pada lahan yang selalu ditanami
kedelai dan kacang-kacangan lainnya
(Anonim, 1990b).
Pengendalian kedua jenis patogen tular
tanah ini pada umumnya digunakan dengan
cara pengaturan pola tanam, pengapuran,
varietas tahan, drainase yang baik, dan aplikasi
fungisida sistemik, sedangkan penggunaan
mikoriza untuk pengendalian sudah dilakukan
pada padi gogo (Sastrahidayat, 1990).

Mikoriza dan Perannya
Mikoriza adalah jamur tanah yang
membentuk asosiasi mutualistis dengan akar
tanaman darat (Alexopoulos and Mims, 1979).
Mikorisa dikelompokkan ke dalam tida tipe
utama berdasarkan cara infeksi jamur ke akar
tanaman inang yaitu ektomikoriza,
endomikoriza dan ektoendomikoriza.
Ektomikoriza merupakan tipe yang
dominan dijumpai pada tanaman pinus,
eukaliptus, dan Dipterocarpaeceae. Bagian
akar tanaman terutama akar lateral yang
terinfeksi secara tipikal membengkak,
bercabang dikotom dan mengandung pigmen.
Miselia jamur menutupi permukaan akar
membentuk selubung yang padat dan tebal
yang disebut mantel, beberapa hifa menetrasi
akar tetapi tidak masuk ke dalam sel dan hanya
berkembang di antara sel-sel jaringan korteks
yang membentuk struktur seperti jala dan
disebut harting net.
Endomikoriza tidak memiliki selubung
miselia jamur yang menutupi akar tanaman
terinfeksi dan akar tidak membengkak. Hifa
jamur masuk ke dalam individu sel jaringan
korteks akar. MVA adalah endomikoriza yang
membentuk struktur khusus berbentuk lonjong
disebut vesikel dan sistem percabangan hifa
yang disebut arbuscular. Bagian penting
MVA adalah hifa eksterna yang dibentuk di
luar akar tanaman dan berfungsi membantu
penyerapan hara dan air oleh tanaman
(Kabirun, 1989).
Peranan mikoriza terhadap
peningkatan pertumbuhan tanaman adalah
meningkatkan kemampuan tanaman dalam
menyerap nutrisi. Adanya hifa eksterna yang
ekstensifatau mantel yang kompak
menyelubungi akar menyebabkan volume
tanah yang dapat dijangkan tanaman
meningkat, sehingga penyerapan unsur hara
oleh akar yang terinfeksi mokiriza akan
meningkat, tenaga absorbsi dapat
dipertahankan lebih lama, dan translokasi hara
dari hifa ke sel-sel jaringan korteks diperlancar
(Anonim, 1990a).
Mikoriza juga mampu memperbaiki
struktur dan agregar tanah, meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap kekeringan,
mempercepat terjadinya siklus mineral, dan
memacu aktifitas organisme berguna, serta
mampu menghasilkan auxin, sitokinin,
giberillin dan vitamin B kompleks.
Kemampuan mikoriza menyerap unsur hara
fosfor pada tanah masam sangat dominan.
Aplikasi Fungisida Sistemik 149157 (Achmad Djunaedy)


152
Seperti dikemukakan Risema (1983) bahwa
pada umumnya fosfor dalam tanah terdapat
dalam bentuk larut karena pengaruh
keasaman,sehingga ketersediaannya bagi
tanaman sangat terbatas. Pada akar yang
bermikoriza, aktifitas enzim fosfatase yang
berperan sebagai katalis dalam hidrolisis fosfat
tidak larut meningkat, sehingga fosfat terlarut
di dalam tanah meningkat, selanjutnya oleh
rambut akar maupun oleh hifa eksterna
ditransfer ke dalam akar (Fakuara, 1991).
Dengan beberapa alasan di atas
kiranya mikoriza bersifat sebagai pupuk hayati
yang bila diterapkan di lapang dapat
memberikan prospek yang cerah untuk
efisiensi penggunaan pupuk terutama untuk
tanah marginal di daerah tropis dan secara
ekonomis akan menurunkan masukan pupuk
ke tanah tanpa resiko menurunkan produksi
tanaman.
Peranan mikoriza dalam meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap patogen juga
cukup besar, seperti hasil inventarisir
pengendalian beberapa patogen yang telah
dilakukan pada beberapa komoditas
(Sastrahidayat, 1991). Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa tanaman
dengan MVA umumnya lebih tahan terhadap
serangan penyakit (Anonim, 1990b).
Marx (1973) menyimpulkan beberapa
kemungkinan mekanisme proteksi terhadap
tanaman oleh mikoriza yaitu :
1. Adanya sekresi antibiotik yang
menghambat perkembangan
patogen;
2. Mantel atau selubung miselia
jamur mikoriza bertindak
sebagai penghalang fisik dari
penetrasi patogen;
3. Surplus hara di akar digunakan
oleh mikoriza sehingga
mengurangi banyaknya makanan
yang dapat digunakan oleh
patogen;
4. Bersama-sama dengan akar,
mikoriza membantu
perkembangan populasi mikroba
dalam rizosfer yang melindungi
akar;
5. Bahan-bahan yang dihasilkan
oleh korteks inang yang telah
terinfeksi dapat berperan sebagai
penghambat terhadap infeksi dan
penyebaran patogen di dalam
akar bermikoriza.


Fungisida Sistemik

Fungisida ditinjau dari segi
mekanisme aktifitas biologinya dibagi dalam
tiga tipe yaitu :
1. Fungisida Eradikan
Fungisida Eradikan
diaplikasikan apabila organisme
penyebab penyakit sudah ada di dalam
EMBRYO VOL. 5 NO. 2 DESEMBER 2008 ISSN 0216-0188


153
tanaman atau pada tanaman di tingkat
awal infeksi atau sebelum gejala
kerusakan menjadi irreversible. Bila
patogen telah ada di dalam tanaman,
maka fungisida ini harus mampu untuk
mengadakan penetrasi guna
melancarkan kegiatan peracunan,
dalam hal ini diperlukan aktifitas
sistemik. Bila patogen ada di luar
tanaman, seperti di permukaan daun,
maka kegiatan kontak oleh fungisida
adalah paling cocok. Fungisida
kelompok ini tidak persisten dalam
tanaman atau dalam lingkungan
dibanding dengan fungisida protektan.
Fungisida Eradikan antara lain
carbendazim, DNOC,
methylthiophanate, captan, iprodion,
dan maneb.
2. Fungisida Protektan
Fungisida Protektan
diaplikasikan terutama pada
permukaan bagian tanaman (buah,
batang, daun), sebelum terjadinya
penyakit atau sebelum patogen
mengadakan kontak dengan
permukaan bagian tersebut. Fungisida
Protektan memerlukan waktu residual
yang lama untuk memperoleh sifat
proteksi yang lama dan jika
diaplikasikan langsung pada
permukaan tanaman tidak boleh
bersifat fitotoksik. Sifat-sifat ini
diperoleh pada fungisida anorganik
seperti tembaga, belerang, dan
merkuri-organo.
3. Fungisida Sistemik
Fungisida sistemik adalah
senyawa kimia apabila diaplikasikan
terhadap tanaman, sebagian akan
ditranslokasikan ke bagian lain, dalam
kuantitas fungisidal. Aplikasi dapat
melalui tanah untuk diabsorbsi oleh
akar, atau melalui penetrasi daun, atau
injeksi melalui batang (Triharso,
1998).


Syarat ideal fungisida sistemik
adalah; 1) bekerja sebagai toksikan
dalam tanaman inang, 2) mengganggu
metabolisme inang dan mengimbas
ketahanan fisik maupun kimia
terhadap patogen dan tidak mengurasi
kuantitas, maupun kualitas tanaman, 3)
dapat diabsorbsi dengan baik dan
ditranslokasikan dari titik aplikasi ke
tempat patogen dan mempunyai
derajat stabilitas dalam tanaman inang,
4) toksisitas terhadap mamalia cukup
rendah, dan 5) meningkatkan
ketahanan inang.
Mekanisme kerja fungisida
sistemik meliputi ; 1) netralisasi enzim
atau toksin yang terkait dalam invasi
dan kolonisasi jamur, 2) akumulasi
selektif fungisida karena permeabilitas
dinding sel jamur menjadi lebih besar,
Aplikasi Fungisida Sistemik 149157 (Achmad Djunaedy)


154
3) terjadinya kerusakan membran
semipermeabel dan struktur infeksi
jamur, 4) penghambatan sistem enzim
jamur, sehingga mengganggu
terbentuknya buluh kecambah,
apresorium dan haustorium, 5)
terjadinya chelat dan presipitasi zat
kimia, 6) terjadinya antimetabolisme,
7) mempengaruhi sistesis asam nukleat
dan protein.
Berdasarkan struktur kimianya
fungisida sistemik diklasifikasikan
dalam kelompok: benzimidazole,
thiophanate, oxantin, dan senyawa
yang terkait pyrimidin, morpholine,
organofosfatdan kelompok lainnya.
Residu fungisida sistemik
agak berbeda dengan fungisida non-
sistemik. Cara dan waktu aplikasi
akan mempunyai pengaruh pada residu
yang dihasilkan. Bahan fungisida pada
permukaan daun akan aus dengan cara
yang biasa, sedang bahan fungisida
dalam jaringan akan bergerak ke tepi
dan akhirnya akan larut dalam
jaringan. Pematahan metabolik
menjurus akan kehilangan secara
sempurna aktifitas fungisidal. Pada
fungisida sistemik residu akan
mengalami penetrasi kutikula lebih
lanjut, sehingga masih akan
berpengaruh dalam penyimpanan.
Beberapa hasil penelitian
bahwa penggunaan fungisida sistemik
benomyl selain sangat toksik terhadap
Verticillium, Theeliviopsis, Botrytis,
dan Rhizoctonia, juga toksik pada
jamur non patogen seperti
Trihoderma,Penicillium, dan
Aspergillus (Sieverding, 2001). Hal
ini menunjukkan bahwa aplikasi
fungisida sistemik tidak selalu
menguntungkan. Mikoriza termasuk
juga jamur yang non patogen yang
dapat dipengaruhi dengan adanya
fungisida sistemik. Pemberian
benomyl dan metil tiofanat pada tanah
dapat menghambat pembentukan dan
perkembangan mikoriza pada akar
cengkeh, demikian juga pemberian
fungisida sistemik pada biji gandum
dapat menurunkan derajat infeksi
MVA. Selanjutnya hasil penelitian
Yulianto (1989), menunjukkan bahawa
fungisida sistemik benomyl dengan
konsentrasi 0.4 g/l dan 0.8 g/l, serta
mankozeb dan karbendazim 4.0 g/l
dapat menghambat infeksi Glomus
fasciculatus pada akar kedelai
sehingga bobot biji per polong dan
bobot 1000 butir kedelai menjadi
rendah, hal seperti tercantum pada
Tabel 1.

EMBRYO VOL. 5 NO. 2 DESEMBER 2008 ISSN 0216-0188


155
Tabel 1. Pengaruh Fungisida Sistemik terhadap Persentase Infeksi G. Fasciculatus,
Bobot Biji per tanaman, dan Bobot 1000 butir Kedelai (Yulianto, 1989).

Fungisida
Persentase infeksi G.
fasciculatus
Bobot Biji per
Tanaman
Bobot 1000
butir biji
Benomyl 0.4 g/l
Benomyl 0.8 g/l
Mankozeb +Karbendazim
2.0 g/l
Mankozeb +Karbendazim
4.0 g/l
Kontrol
12.0 a
9.4 a

52.4 b

25.4 a
56.8 b
6.19 a
6.97 a

6.08 a

6.36 a
9.03 b
110.45 a
107.34 a

114.33 a

107.35 a
125.99 b


Pengendalian Petogen Tular Tanah
Pengendalian secara kultur teknis,
penggunaan varietas tahan banyak
direkomendasikan kepada petani, bahkan
penggunaan jamurantagonis sebagai agen
pengendali hayati sudah mulai dipraktekkan
meskipun secara terbatas. Untuk
mengendalikan penyakit busuk pangkalbatang
(Sclerotial blight) dapat dilakukan dengan cara
pembalikan tanah, pemakaian benih yang
bebas patogen dan varietas tahan, peningkatan
pH tanah dengan pengapuran, dan drainase
agar permukaan tanah tetap kering. Begitu
pula dengan pengendalian penyakit rebah
kecambah atau busuk akar/pangkal batang
yang disebabkan R.solani dapat dilakukan
dengan cara tersebut.
Selain pengendalian tersebut di atas,
dapat juga dengan pemakaian fungisida.
Aplikasi fungisida dapat dilakukan dengan
cara :
1. Perlakuan benih (seed treatment)
yaitu dengan mencampur
fungisida formulasi debu/tepung
atau pasta dengan benih sebelum
ditanam, dan dapat juga
dilakukan perendaman bibit
sebelum tanam ke dalam larutan
fungisida;
2. Pemberian fungisida lewat
tanah;
3. Penyemprotan melalui daun.
Perlakuan benih dan pemberian
fungisida lewat tanah dapat mengendalikan
patogen tular tanah (Sieverding, 2001) dengan
menghambat aktifitas MVA dan ektomikoriza,
meskipun pada kenyataannya beberapa
penelitian lain menunjukkan pengaruh yang
tidak nyata. Hal ini mengakibatkan pemberian
mikoriza menjadi kurang bermanfaat, padahal
hasil penelitian menunjukkan peran mikoriza
sangat besar terutama dalammengatasi maslah
pertanaman yang kondisi lahannya kurang
subur.
Dengan pertimbangan faktor sosiologi,
ekonomi dan ekologi, maka penggunaan
fungisida sedapat mungkin dihindari. Namun
demikian kadang-kadang pemakaian fungisida
terpaksa harus dilakukan pada daerah endemik
Aplikasi Fungisida Sistemik 149157 (Achmad Djunaedy)


156
terserang patogen dan tidak ada cara lain yang
efektif untuk mengendalikannya.
Dengan beberapa pertimbangan yang
disebut di atas, perlu kiranya dikembangkan
cara-cara pengendalian penyakit jamur tular
tanah yang aman bagi penggunaan pupuk
hayati mikoriza yang meliputi :
1. Penggunaan varietas tahan dan
benih yang sehat;
2. Penggunaan kultur teknis yang
baik;
3. Penggunaan pupuk hayati
mikoriza yang praktis dalam
aplikasi seperti dalam bentuk
tablet, granular, campuran tanah
dan akar bermikoriza;
4. Penggunaan fungisida dengan
ketentuan :
a. tidak ada cara lain yang
efektif untuk mengendalikan penyakit;
b. memilih fungisida
sistemik dan selektif,
hanya untuk patogen tular
tanah;
c. memilih fungisida yang
mempunyai efek residu
rendah (Anonim, 1992).

Kesimpulan
Dari permasalahan dan pembahasan
yang disampaikan, dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Mikoriza mempunyai peran yang
sangat besar dalam meningkatkan
pertumbuhan dan produksi
tanaman kedelai melalui
peningkatan kemampuan
penyerapan unsur hara dan
ketersediaan nutrisi bagi tanaman,
sehingga sangat memungkinkan
bagi pengembangan bioteknologi
mikoriza sebagai pupuk hayati
sekaligus dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan pupuk dan
meningkatkan kesuburan tanah.
2. Penggunaan mikoriza dapat
dijadikan sebagai salah satu cara
pengendalian patogen tular tanah
pada tanaman kedelai.
3. Aplikasi fungisida sistemik yang
tidak tepat dapat menghambat
pengembangan mikoriza sebagai
organisme yang menguntungkan
dalam rangka pengendalian
penyakit jamur tular tanah.
3.1 Implikasi
1. Penggunaan fungisida sistemik
sebaiknya dihindari kecuali tidak
ada cara pengendalian lain yang
efektif.
2. Perlu diteliti lebih jauh tentang
pengaruh fungisida sistemik
terhadap berbagai jenis mikoriza
pada berbagai komoditi penting.
3. Perlu dikembangkan fungisida
selektif yang tidak mengganggu
aktifitas mikoriza.

EMBRYO VOL. 5 NO. 2 DESEMBER 2008 ISSN 0216-0188


157
DAFTAR PUSTAKA


Alexopoulos, C.J . and C.W. Mims.
1989. Subdivision
Introductory Mycology.
3rd. Ed. John Wiley and
Sons. NewYork. p. 534-
572.

Anonim. 1990a. Final Report of the
Consultant on Mycorhiza
Program Development, In
the IUC Biotechnology
Center 10 to J uni 5, 1990.
Depdikbud PAU
Bioteknologi IPB. Bogor.
42p.

___________1990b. Penyakit
Kedelai dalam Petunjuk
Bergambar untuk
Identifikasi Hama dan
PenyakitKedelai di
Indonesia. Puslitbang
Tanaman Pangan Bogor-
J ICA. H. 85-115

___________1992. Petunjuk
Penggunaan Pestisida. PT.
Petro Kimia Kayaku.
Gresik. 61 hal.

Dela Cruz, R.E. 1988. General
Lecture of Mycorrhiza.
Publ. By Workshop on
Myco. Noc. Com. UPLP.
6 p.

Fakuara, Y.M. 1991. Mikoriza, Teori
dan Kegunaan dalam
Praktek. PAU-IPB. Bogor.
200 hal.

Kabirun, S. 1998. Peranan
Endomikoriza dalam
Pertanian. Makalah
disajikan dalam kursus
singkat Teknologi Mikoriza
11 -27 Desember 1998.
PAU-IPB. Bogor. 11 hal.

Marx, D.H.1973. Mycorrhiza and
Freeder Root Deseases. P.
107-150. Academic Press.
New York.

Risema, W.I. 1983. Pupuk dan Cara
Pemupukan diterjemahkan
oleh H.M. Saleh. Bhratara
Karya Aksara. J akarta. 235
hal.

Sastrahidayat, I.R. 1990.
Inventarisasi dan Uji Isolat
dalam Menuju
Pengembangan
Bioteknologi. Lporan Hasil
Penelitian. Puslit.
Universitas Brawijaya.
Malang. 37 hal.

Sieverding, E. 2001. Plant Protection
Practices with Pesticides, In
Vescular-arbuscular
Mycorrhiza Mangement in
Tropical Agrosystem, p.
165-183.

Sudjono, M., Sudjardi, dan M.Amir.
1985. Penyakit Kedelai dan
Penanggulangannya.
Balittan Bogor. h. 331-355.

Triharso, 1998. Dasar-Dasar
Perlindungan Tanaman.
Gadjah Mada University
Press. 362 hal.

Yulianto, 1999. Pengaruh Fungisida
Sistemik pada Kedelai
terhadap Infeksi Mikoriza
Vaskular-arbuskular dan
Hasil. Prociding Kongres
Nasional X dan Seminar
PFI, h. 121-123

S-ar putea să vă placă și