Sunteți pe pagina 1din 19

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. PENGERTIAN Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Brunner & Suddart, 1997) Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penaykit ini dapat mengenai semua umur baik lakilakimaupun perempuan, tetapi lebih menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun. B. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PENCERNAAN Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh. Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu. A. Mulut Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air pada hewan. Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap yang berakhir di anus. Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman

dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung dan lebih rumit, terdiri dari berbagai macam bau. Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut secara otomatis. B. Tenggorokan ( Faring) Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari bahasa yunani yaitu Pharynk. Didalam lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang. Keatas bagian depan berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang bernama koana, keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium. Tekak terdiri dari; Bagian superior =bagian yang sangat tinggi dengan hidung, bagian media = bagian yang sama tinggi dengan mulut dan bagian inferior = bagian yang sama tinggi dengan laring. Bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga,Bagian media disebut orofaring,bagian ini berbatas kedepan sampai diakar lidah bagian inferior disebut laring gofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring. C. Kerongkongan (Esofagus) Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Sering

juga disebut esofagus(dari bahasa Yunani: i, oeso membawa, dan , phagus memakan). Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi. Esofagus dibagi menjadi tiga bagian: bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka) bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus) serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).

D. Lambung Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang keledai. Terdiri dari 3 bagian yaitu : Kardia. Fundus. Antrum.

Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal, sfinter menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan. Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting : Lendir: Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah kepada terbentuknya tukak lambung. Asam klorida (HCl). Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung

yang tinggi juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri. Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein). E. Usus halus (usus kecil) Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( M sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah Luar ). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum). 1. Usus dua belas jari (Duodenum). Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz. Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari. Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.

2. Usus Kosong (jejenum). Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis. Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti lapar dalam bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Laton, jejunus, yang berarti kosong. 3. Usus Penyerapan (ileum). Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, ) ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu. F. Usus Besar (Kolon) Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari: Kolon asendens (kananp) Kolon transversum Kolon desendens (kiri) Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)

Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare. G. Usus Buntu (sekum) Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, buta) dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing. H. Umbai Cacing (Appendix) Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen). Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix (atau hanya appendix) adalah hujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum. Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, Umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. Walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda bisa di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum. Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ vestigial (sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa apendiks mempunyai fungsi dalam sistem limfatik. Operasi membuang umbai cacing dikenal sebagai appendektomi.

I.

Rektum dan anus. Rektum (Bahasa Latin: regere, meluruskan, mengatur) adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB. Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar BAB), yang merupakan fungsi utama anus.

J. Pankreas Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi utama yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting seperti insulin. Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan berhubungan erat dengan duodenum (usus dua belas jari). Pankraes terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu : Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan Pulau pankreas, menghasilkan hormone

Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan melepaskan hormon ke dalam darah. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas akan mencerna protein, karbohidrat dan lemak. Enzim proteolitik memecah protein ke dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan dilepaskan dalam bentuk inaktif. Enzim ini hanya akan aktif jika telah mencapai saluran pencernaan. Pankreas juga melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat, yang berfungsi melindungi duodenum dengan cara menetralkan asam lambung. K. Hati Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan memiliki berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan. Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan penetralan obat. Dia juga memproduksi bile, yang penting dalam pencernaan. Istilah medis yang bersangkutan dengan hati biasanya dimulai dalam hepat- atau hepatik dari kata Yunani untuk hati, hepar. Zat-zat gizi dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya akan pembuluh darah yang kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan darah ke dalam vena yang bergabung dengan vena yang lebih besar dan pada akhirnya masuk ke dalam hati sebagai vena porta. Vena porta terbagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil di dalam hati, dimana darah yang masuk diolah. Hati melakukan proses tersebut dengan kecepatan tinggi, setelah darah diperkaya dengan zat-zat gizi, darah dialirkan ke dalam sirkulasi umum. L. Kandung empedu Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ berbentuk buah pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses pencernaan. Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan berwarna hijau gelap bukan karena warna jaringannya, melainkan karena warna cairan empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan

hati dan usus dua belas jari melalui saluran empedu. Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu: Membantu pencernaan dan penyerapan lemak Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.

C. PATOFISIOLOGI Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiksoleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, struktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya atau neopalsma. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen.tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakter, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang di tandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mucus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supurstif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang di ikuti dengan ganggren. Stadium ini di sebut dengan apendisitis ganggrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.Bila sedmua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang brdekatan akan bergerak ke arah apendiks sehingga timbul suatu massa local yang di sebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut di tambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.

D. ETIOLOGI Penyebab pasti belum di ketahui, namun factor pencetusnya adalah : 1. Obstruksi Appendisitis tersumbat atau terlipat oleh: a. Fekalis/ massa keras dari feses b. Tumor, hiperplasia folikel limfoid c. Benda asing d. Obstruksi fungsional : tekanan intra sekal tinggi akibat konstipasi 2 . Infeksi a. E. Coli, Streptoccocus, B, Histolitica.

E. MANIFISTASI KLINIS Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilicus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia,malise dan demam yang tidak terlalu tinggi. biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan muntah.

Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap.namun beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif, dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukan satu titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada bagian kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasannya juga muncul. Bila tanda Rovsing, psoas, dan obturator positif,akan semakin meyakinkan diagnosis klinis apendisitis.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG Akan terjadi leukositosis ringan (10.000-20.000) dengan peningkatan jumlah netrofil. Pemeriksaan urin juga perlu di lakukan untuk membedakannya dengan kelainan pada ginjal dan saluran kemih. Pada kasus akut tidak di perbolehkan melakukan barium enema, sedangkan pada apendisitis kronis tindakan ini di benarkan USG di lakukan bila terjadi infiltrat apendikularis. o Sel darah putih : lekositosis diatas 12000/mm3, netrofil meningkat sampai 75% Urinalisis terlokalisir o Tanda rovsing (+): dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah (Doenges, 1993; Brunner & Suddart, 1997) : normal, tetapi eritrosit/leukosit mungkin ada o Foto abdomen : Adanya pergeseran material pada appendiks (fekalis) ileus

G. DIAGNOSA BANDING Gastroenteritis akut adalah kelainan yang sering di kacaukan dengan apendisitis. Pada kelainan ini muntah dan diare lebih sering. Demam dan lekosit akan meningkat jelas dan tidak sesuai dengan nyeri perut yang timbul. Lokasi nyeri tidak jelas dan berpindah-pindah Hiperperistaltik merupakan gejala yang khas. Gastroenteritis biasanya berlangsung akut, suatu observasi berkala akan dapat menegakkan diagnosis. Adenitis mesenterikum juga dapat menunjukan gejala dan tanda identik dengan apendisitis. Penyakit ini lenih sering pada anak-anak, biasannya di dahului infeksi saluran napas. Lokasi nyeri di perut kanan bawah tidak konstan dan menetap, jarang terjadi true muscle guarding. Divertikulitis Meckeli juga menunjukkan gejala yang hampir sama. Lokasi nyeri mungkin lebih ke medial, tetapi ini bukan kriteria diagnosis yang dapat di percaya. Karena kedua kelainan ini membutuhkan tindakan operasi, maka perbedaannya bukanlah hal yang penting. Enteritis regional, amubiasis, ileitis akut, perforasi ulkus duodeni, kolik ureter, salpingitis akut, kehamilan ektopik terganggu, dan kista ovariumterpuntir juga sering di kacaukan dengan apendisitis. Pneumonia lobus kanan bawah kadang-kadang juga berhubungan dengan nyeri di kuadran kanan bawah.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS 1. SEBELUM OPERASI a. Observasi Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu di lakukan. Pasien di minta melakukan tirah baring dan di puasakan. Laksatif tidak boleh di berikan bila di curigai adanya apendisitis ataupun bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan retal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) di ulang secara periodik. Foto abdomen dan toraks tegak di lakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Kebanyakan kasus, diagnosis di tegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan. b. Intubasi bila perlu c. Antibiotik 2. OPERASI APENDIKTOMI

3. PASCAOPERASI Perlu di lakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam, syok, hipertermia, ataub gangguan pernafasan. Angkat Sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat di cegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien di katakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien di puaskan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa. di teruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minuman mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makanan saring, dan hari berikutnya di berikan makana lunak.

Satu hari pascaoperasi pasien di anjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ke tujuh jahitan dapat di angkat dan pasien di perbolehkan pulang. 4. PENATALAKSANAAN GAWAT DARURAT NON-OPERASI Bila tidak ada fasilitas bedah, berikan penatalaksanaan seperti dalam peritonitis akut. Dengan demikian, gejala apendisitis akut akan mereda, dan kemungkinan terjadinya komplikasi atau berkurang.

I. KOMPLIKASI Apenditis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini tidakdapat di ramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perfoarsi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk di lakukan dalam masa tersebut. Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat di tegakkan dengan pasti. Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang di lakukan adalah operasi untuk menuntup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium (setengah duduk), pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas di lanjutkan dengan pemberian antibiotic yang sesuai dengan hasil kultur, transfusi untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septic secara intensuf, bila ada. Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderungmenggelembung kearah rectum atau vagina. Terapi dini dapat di berikan

kombinasi

antibiotik

(masalnya

ampisilin,

gentamisin,

metronidazol,

atau

klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendiktomi dapat di lakukan 6-12 minggu kemudiaan. Pada abses yang tetap progresif harus segera di lakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fluktuasi positif juga perlu di buatkan drainase. Tromboflebitis supuratif dari sitem portal jarang tetapi merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus kita curigai bila di temukan demam sepsis, mengigil, hepatomegali,dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini di indikasikan pemberian antibiotic kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.

J. PROGNOSIS Dengan diagnosis yang akurat serta perdarahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak di angkat. Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada.

BAB III KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN I. PENGKAJIAN 1. Aktivitas/ istirahat: Malaise 2. Sirkulasi : Tachikardi 3. Eliminasi Konstipasi pada awitan awal Diare (kadang-kadang) Distensi abdomen Nyeri tekan/lepas abdomen Penurunan bising usus

4. Cairan/makanan : anoreksia, mual, muntah 5. Kenyamanan Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau nafas dalam 6. Keamanan : demam 7. Pernapasan Tachipnea Pernapasan dangkal (Brunner & Suddart, 1997)

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI 1. Resiko tinggi terjadi infeksi b/d tidak adekuatnya pertahanan utama, perforasi,peritonitis sekunder terhadap proses inflamasi Tujuan : tidak terjadi infeksi

Kriteria: Penyembuhan luka berjalan baik Tidak ada tanda infeksi seperti eritema, demam, drainase purulen Tekanan darah >90/60 mmHg Nadi < 100x/menit dengan pola dan kedalaman normal Abdomen lunak, tidak ada distensi Bising usus 5-34 x/menit Intervensi: a. Kaji dan catat kualitas, lokasi dan durasi nyeri. Waspadai nyeri yang menjadi hebat b. Awasi dan catat tanda vital terhadap peningkatan suhu, nadi, adanya pernapasan cepat dan dangkal c. Kaji abdomen terhadap kekakuan dan distensi, penurunan bising usus d. Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptik e. Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka/drain, eriitema f. Kolaborasi: antibiotik 2. Nyeri b.d distensi jaringan usus oleh onflamasi, adanya insisi bedah Kriteria hasil: Persepsi subyektif tentang nyeri menurun Tampak rileks Pasien dapat istirahat dengan cukup

Intervensi: a. Kaji nyeri. Catat lokasi, karakteristik nyeri b. Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler c. Dorong untuk ambulasi dini d. Ajarkan tehnik untuk pernafasan diafragmatik lambat untuk membantu melepaskan otot yang tegang e. Hindari tekanan area popliteal f. Berikan antiemetik, analgetik sesuai program

3. Resiko tinggi kekurangan cairan tubuhb.d inflamasi peritoneum dengan cairan asing, muntah praoperasi, pembatasan pasca operasi Kriteria hasil; Membran mukosa lembab Turgor kulit baik Haluaran urin adekuat: 1 cc/kg BB/jam Tanda vital stabil Intervensi: a. Awasi tekanan darah dan tanda vial b. Kaji turgor kulit, membran mukosa, capilary refill c. Monitor masukan dan haluaran . Catat warna urin/konsentrasi d. Auskultasi bising usus. Catat kelancara flatus e. Berikan perawatan mulut sering f. Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukan peroral dimulai dan lanjutkan dengan diet sesuai toleransi g. Berikan cairan IV dan Elektrolit 4. Kurang pengetahuan Kriteria: Menyatakan pemahamannya tentang proese penyakit, pengobatan Berpartisipasidalam program pengobatan Intervensi a. Kaji ulang embatasan aktivitas paska oerasi b. Dorong aktivitas sesuai toleransi dengan periode istirahatperiodik c. Diskusikan perawatan insisi, termasuk mengganti balutan, pembatasan mandi tentang kondisi prognosis dan kebutuhan

pengobatan b.d kurang informasi

d. Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh peningkatan nyeri, edema/eritema luka, adanya drainase (Doenges, 1993)

DAFTAR PUSTAKA

1. Doenges, Marilynn E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta. EGC 2. Smeltzer, Bare (1997). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC 3. Swearingen. (1996). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 2. K\Jakarta. EGC

S-ar putea să vă placă și