Sunteți pe pagina 1din 41

TUGAS FARMASI RUMAH SAKIT

OLEH : KELOMPOK 8 ANDI RIDHAYANTI ADILLAH DEWI YULIANINGSIH IRNAYANTI REZKY AMALIA SUCI FEBRIANI (PO.71.3.251.11.1.004) (PO.71.3.251.11.1.014) (PO.71.3.251.11.1.024) (PO.71.3.251.11.1.039) (PO.71.3.251.11.1.044)

JURUSAN FARMASI POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MAKASSAR 2013

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirobbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul INFEKSI NOKOSOMIAL. Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu kelompok kami mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua pihak yang telah memberi dukungannya. Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Makassar, 9 September 2013

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .. DAFTAR ISI .. BAB I PENDAHULUAN .. A. Latar Belakang .. B. Rumusan Masalah . C. Tujuan ... BAB II BAB III PEMBAHASAN PENUTUP .. A. Kesimpulan ... B. Saran .

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Rumah sakit adalah suatu tempat dimana banyak orang yang ingin mendapatkan perawatan yang baik dan ingin mendapatkan kesembuhan. Terkadang penyakit yang semula hanya ada satu penyebab penyakit justru dirumah sakit tersebut seorang pasien bisa mendapatkan berbagai penyakit lain dikarenakan infeksi yang didapatkan dirumah sakit atau bisa disebut infeksi nosokomial (Darmadi, 2008, hal 2). Salah satu parameter pelayanan kesehatan yang baik di rumah sakit adalah terkendalinya infeksi nosokomial. Tingginya angka infeksi nosokomial menjadi masalah yang penting disuatu rumah sakit karena dari infeksi nosokomial tersebut, kondisi pasien menjadi semakin buruk, jika kondisi pasien menjadi buruk maka lama perawatan pasien akan semakin panjang, hal tersebut akan sangat merugikan pasien dan keluarga, karena semakin lama pasien dirawat maka akan bertambah biaya rawat dan keadaan pasien akan menjadi lebih buruk karena kondisi pasien buruk karena infeksi nosokomial (Setiyawati,2008). Infeksi luka operasi (ILO) tetap menjadi penyebab utama penundaan kepulangan pasien dari rumah sakit dan menghabiskan banyak sumber daya kesehatan. Di Amerika Serikat diperkirakan bahwa biaya langsung dari penambahan waktu perawatan di rumah sakit akibat infeksi luka setahunnya melebihi 1,5 miliyar US$ (Wenzel, 1992, dalam Gruendemann dan Fernsebner, 2005, hlm.305).

Pencegahan infeksi terutama pada pasien bedah sangat diperlukan salah satu upaya pencegahannya adalah pemutusan transmisinya penerapan tekhnik dan prosedur yang benar dari petugas merupakan perilaku yang paling penting dalam upaya pencegahan infeksi. Kejadian infeksi luka operasi sangat erat kaitannya dengan praktek keperawatan professional yang menerapkan Universal

Precautions yaitu suatu bentuk tindakan perawatan dalam upaya melakukan antisipasi untuk pencegahan masuknya kuman kepada klien yang sakit (Potter dan Perry 1995. Setiyawati, 2006). Faktor faktor yang berpengaruh terhadap kejadian infeksi nosokomial adalah multifaktorial atau banyak faktor yang mempengaruhiny. Menurut Darmadi, (2008, hlm 16) adanya sejumlah faktor yang sangat berpengaruh dalam terjadinya infeksi nosokomial yang menggambarkan faktor faktor yang datang dari luar (extrinsik factor) yaitu petugas pelayanan medis, peralatan medis, lingkungan, makanan dan minuman, penderita lain dan penggunjung. Selain faktor ekstrinsik (setiyawati, 2008) faktor ketidakpatuhan dari perawat yaitu perawat yang melakukan perawatan luka post operasi ditunjukkan dengan belum menggunakan prosedur dengan benar, misalnnya melakukan perawatan luka post operasi dengan 1 set medikasi digunakan untuk pasien secara bersama sama (banyak pasien), perawat tidak mencuci tangan sebelum melakukan tindakan medikasi, perawat tidak melakukan teknik steril seperti tidak memakai sarung tangan steril saat medikasi. Sebelum faktor tersebut ada faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial, faktor tersebut adalalh faktor intrinsik yang meliputi umur, jenis kelamin dan faktor lain faktor keperawatan yang meliputi lamanya hari perawatan, menurunya standar perawatan dan padatnya penderita, kondisi umum, risiko terapi, adanya penyakit lain serta faktor mikroba patogen juga memberi kontribusi terhadap terjadinya infeksi nosokomial di suatu rumah sakit (Darmadi, 2008, hlm 20).

B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan infeksi ? 2. Apa yang dimaksud dengan infeksi nosokomial?

C. Tujuan Untuk mengetahui dan memahami infeksi nosokomial yang terjadi di Rumah Sakit

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen, yang bersifat dinamis. Secara umum proses terjadinya penyakit melibatkan tiga faktor yang saling berinteraksi yaitu : 1. 2. 3. Faktor penyebab penyakit, yang sering disebut agen Faktor manusia yang sering disebut pejamu (host) Faktor lingkungan Tanda tanda peradangan / infeksi antara lain : Rubor (merah) Calor (panas) Tumor (bengkak) Dolor (nyeri) Fungsi laesa terganggu Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat/rumah sakit. Jadi, infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit. Infeksi nosokomial/INOS/HAI adalah suatu infeksi yang diperoleh atau dialami oleh pasien selama dia dirawat di rumah sakit dan menunjukkan gejala infeksi baru setelah 72 jam pasien berada di rumah sakit serta infeksi itu tidak ditemukan atau diderita pada saat pasien masuk ke rumah sakit (Olmsted RN, 1996, Ducel, G, 2002). Jenis Infeksi yang paling sering terjadi :

Infeksi saluran kemih Infeksi saluran napas Infeksi luka Infeksi kulit dan jaringan lunak Septikemia (sering berhubungan dengan akses vaskular) Persentase Infeksi Nosokomial Infeksi Infeksi Saluran Kemih (ISK) Infeksi Luka Operasi (ILO) Infeksi Saluran Nafas Bakterimia dan lain-lain Presentase 50% 25 % 12,5 % 6,25 % 6,25 %

Laporan-laporan rumah sakit di Indonesia yang menunjukkan infeksi nosokomial berupa infeksi luka operasi adalah : Rumah Sakit R.S. Hasan Sadikin Bandung R.S. Pirngadi Medan R.S. Karyadi Semarang R.S. Soetomo Surabaya RSCM Presentase 9,9% 13,92% 7,3% 5,32% 5,4%

Epidemiologi Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama. Sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi nosokomial, dengan Asia Tenggara sebanyak10,0%. Laporan-laporan rumah sakit di Indonesia yang menunjukkan infeksi nosokomial berupa infeksi luka operasi adalah di R.S. Hasan Sadikin Bandung 9,9% (1991, Warko), di R.S. Pirngadi Medan 13,92% (1987), R.S. Dr. Karyadi Semarang 7,3% (1984), R.S.Dr. Soetomo Surabaya 5,32% (1988) dan RSCM 5,4% (1989). Batasan infeksi nosokomial Batasan infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat oleh penderita, ketika penderita dalam proses asuhan keperawatan di Rumah Sakit. Suatu infeksi pada penderita baru bisa dinyatakan sebagai infeksi nosokomial apabila memenuhi beberapa criteria/batasan tertentu diantaranya: 1. Pada waktu penderita mulai di rawat di Rumah Sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut. 2. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit, tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut. 3. Tanda-tanda infeksi klinik tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah 324 jam sejak mulai perawatan. 4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya.

5. Bila saat mulai dirawat di Rumah Sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di Rumah Sakit yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial (Siregar 2004) Factor-faktor penyebab infeksi nosokomial Terjadinya infeksi nosokomial dipengaruhi oleh : Banyaknya pasien yang dirawat dapat menjadi sumber infeksi bagi lingkungan, dan pasien lainnya. Kontak langsung antara pasien yang menjadi sumber infeksi dengan pasien lainnya. Kontak langsung antara petugas Rumah Sakit yang tercemar kuman dengan pasien. Penggunaan alat/peralatan medis yang tercemar oleh kuman. Kondisi pasien yang lemah akibat penyakit yang dideritanya. Tempat atau ruangan dimana penderita dirawat Tempat dimana penderita menjalani tindakan medis akut seperti kamar operasi. Makanan dan minuman yang disajikan Lingkungan Rumah Sakit secara Umum.

Bakteri penyebab Infeksi Nosokomial

9% 10% 11% 40%

Enterobacteriace ae S. aureus Enterococcus P. aeruginosa

Mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial

10% 17%

7% 34%

S. aureus, Staphylococci koagulase negatif, Enterococci E. coli, P. aeruginosa, Enterobacter spp., & K. pneumonia

32%

C. difficile

Fungi (kebanyakan C. Albicans)

Jenis-jenis penyakit infeksi nosokomial Infeksi silang (cross infection) Infeksi lingkungan (environmental infection) Infeksi diri sendiri (self infection)

Transmisi

Kegiatan yang paling beresiko : Suntikan/ambil darah Tindakan bedah Tindakan kedokteran gigi Persalinan Cara membersihkan bekas darah/cairan lain Tutup jarum suntik kembali Salah letak jarum atau pisau/alat tajam Menyentuh pasien tanpa cuci tangan

a. Tahap I Mikroba patogen bergerak menuju ke penjamu dengan mekanisme penyebaran (made of transmission) terdiri dari : 1. Penularan langsung melalui dropet nuclei yang berasal dari penular, kemungkinan lain berupa darah saat transfusi darah.

2. Penularan tidak langsung

Vehicle-borne, yaitu penyebaran/penularan mikroba pathogen melalui benda-benda mati (fomite) seperti peralatan medis (instrument), bahan-bahan/material medis, atau peralatan makan/minum untuk penderita. Vector-borne, yaitu penyebaran/penularan mikroba pathogen dengan perantara seperti lalat. Luka terbuka (Open wound), jaringan nekrotis, luka bakar, dan gangrene adalah kasuskasus yang rentan dihinggapi lalat. Food-borne, yaitu penyebaran/penularan mikroba pathogen melalui makanan dan minuman yang disajikan oleh penderita. Mikroba pathogen dapat ikut menyertainyasehingga

menimbulkan gejala dan keluhan gastrointestinal baik ringan maupun berat. Water-borne, kemungkinan terjadinya penularan/penyebaran penyakit infeksi melalui air kecil sekali, mengingat

tersedianya air bersih di rumah sakit sudah melalui uji baku mutu. Air-borne, peluang terjadinya infeksi silang melalui media perantara ini cukup tinggi karena ruangan/bangsal yang relative tertutup, secara teknis kurang baik ventilasi dan pencahayaanny. Kondisi ini dapat menjadi lebih buruk dengan jumlah pendeita yang cukup banyak. b. Tahap II Upaya berikutnya dari mikroba patogen untuk menginvasi ke jaringan pasien dengan mencari akses masuk untuk masing-masing penyakit (port dentre) seperti adanya kerusakan jaringan/lesi kulit atau mukosa dari rongga hidung, rongga mulut, orificium urethrae, dan lain-lain.

1. Mikroba patogen masuk ke jaringan/organ melalui lesi kulit. Hal ini dapat terjadi sewaktu melakukan insisi bedah atau jarum suntik. Mikroba pathogen yang dimaksud antara lain virus Hepatitis B (VHB) 2. Mikroba patogen masuk melalui kerusakan/lesi mukosa saluran urogenital karena tindakan invasif. Seperti : tindakan kateterisasi (sistoskopi), pemeriksaan dan tindakan ginekologi (curettage), pertolongan persalinan per-caginam patologis, baik dengan bantuan instrument medis, maupun tanpa bantuan instrument medis. 3. Inhalasi. Patogen masuk melalui rongga hidung menuju saluran napas. Partikel infeksiosa yang menular berada di udara dalam bentuk aerosol. Penularan langsung dapat terjadi melalui percikan ludah (droplet nuclei) apabila terdapat individu yang mengalami infeksi saluran napas melakukan ekshalasi paksa seperti batuk atau bersin. Dari penularan tidak langsung juga dapat terjadi apabila udara dalamn ruangan terkontaminasi. Contoh :virus Influenza dan M.tuberculosis 4. Ingesti. Melalui mulut masuk ke dalam saluran cerna. Terjadi pada saat makan dan minum dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Contoh : salmonella, shigella, vibrio. c. Tahap III Setelah memperoleh akses masuk, mikroba pathogen segera melakukan invasi dan mencari jaringan yang sesui (cocok). Selanjutnya melakukan multiplikasi/berkembang biak disertai dengan tindakan destruktif terhadap jaringan, walapupun ada upaya perlawan dari pejamu. Sehingga terjadilah reaksi infesi yang mengakibatkan perubahan morfologis dan gangguan fisiologis/fungsi jaringan.

Segitiga epidemiologi/Trias penyebab penyakit

Pejamu

Agen
Pejamu

Lingkun gan

Pasien di rumah sakit rentan terhadap infeksi sebagai akibat dari penyakitnya atau pengobatannya, contohnya pasien dengan leukimia atau yg mengonsumsi kemoterapi sitotoksik. Usia dan imobilitas dapat menjadi predisposisi infeksi; iskemia dapat membuat jaringan menjadi lebih rentan terhadap invasi bakteri. Dalam riwayat perjalanan penyakit,

pejamu yang peka (susceptable host) akan berinteraksi dengan mikroba patogen, yang secara alamiah akan melewati 4 tahap : 1. Tahap Rentan 2. Tahap Inkubasi 3. Tahap Klinis 4. Tahap Akhir Penyakit Dalam riwayat perjalanan penyakit, pejamu yang peka akan berinteraksi dengan mikroba patogen yang secara alamiah akan melalui 4 tahap : 1. Tahap rentan Pada tahap ini pejamu masih dalam kondisi relatif sehat, namun peka atau labil, disertai faktor predisposisi yang mempermudah terkena penyakit seperti umur, keadaan fisik, perilaku/ kebiasaaan hidup, sosial ekonomi, dan lain- lain. Faktor faktor predisposisi tersebut mempercepat masuknya agen penyebab penyakit (mikroba patogen) untuk berinteraksi dengan pejamu. 2. Tahap inkubasi Setelah masuk ke tubuh pejamu, mikroba patogen melalui bereaksi, namun tanda, dan gejala penyakit belum tampak. Saat mulai masuknya mikroba patogen ke tubuh pejamu hingga saat munculnya tanda, dan gejala penyakit disebut masa inkubasi. Masa inkubasi satu penyakit berbeda dengan penyakit lainnya, ada yang hanya beberapa jam, dan ada pula yang bertahun tahun. Masa inkubasi beberapa penyakit
NO Penyakit 1 2 Botulisme Kolera Masa Inkubasi 12-36 jam 3-6 jam

3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Konjungtivitis Difteri Disentri amoeba Disentri basiler Demam berdarah dengue Gonorhe Hepatitis infektiosa Herpes zoster Influenza Keracunan makanan tersangka salmonella Limfogranuloma venereum Morbili/campak Morbus Hansen/Lepra Parotitis epidemika Poliomielitis Pertusis/batuk rejan sifilis Tetanus Tuberkulosis Tifus abdominalis Varicella Variola

1-3 jam 2-5 jam 2-4 minggu 1-7 jam 4-5 hari 2-5 hari 2-6 minggu 1-2 minggu 1-3 hari 6-12 jam 2-5 minggu 10-14 hari 3-5 tahun 12-25 hari 7-12 hari 7-20 hari 10-90 hari 7 hari 4-12 hari 1-2 minggu 2-3 minggu 7-15 hari

3. Tahap klinis Merupakan tahap terganggunya fungsi organ yang dapat memunculkan tanda, dan gejala penyakit. Dalam perkembangannya penyakit akan berjalan secara bertahap. Pada tahap awal tanda, dan gejala penyakit masih ringan. Penderita masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari, dan masih dapat diatasi dengan berobat jalan, karena penyakit bertambah

parah, baik secara objektif maupun subjektif. Pada tahap ini penderita sudah tidak mampu lagi melakukan aktivitas sehari-hari. 4. Tahap Akhir Penyakit Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir pula. Perjalanan penyakit tersebut dapat berakhir dengan 5 alternatif: a. Sembuh sempurna Penderita sembuh secara sempurna, artinya bentuk dan fungsi sel/jaringan/organ tubuh kembali seperti sedia kala. b. Sembuh dengan cacat Penderita sembuh dari penyakitnya namun disertai adanya kecacatan. Cacat dapat berbentuk cacat fisik, cacat mental, maupun cacat sosial. c. Pembawa (carrier) Perjalanan penyakit seolah-olah berhenti, ditandai dengan

menghilangnya tanda, dan gejala penyakit. Pada kondisi ini agen penyebab penyakit masih ada, dan masih potensial sebagai sumber penularan. d. Kronis Perjalanan penyakit bergerak lambat, dengan tanda, dan gejala yang tetap atau tidak berubah. e. Meninggal dunia Akhir perjalan penyakit dengan adanya kegagalan fungsi-fungsi organ.

Lingkungan Potensi terjadinya transmisi organisme dari orang-ke-orang di dalam rumah sakit sangatlah besar. 1. Penyediaan Makanan Makanan biasanya disiapkan secara terpusat di dapur rumah sakit: pasien memiliki risiko infeksi yang ditularkan melalui makanan (food-

borne) jika standar higienisnya buruk. Organisme yang resisten terhadapa antibiotik dapat ditransmisikan melalui rute ini. 2. Suplai Udara Berbagai patogen, contohnya tuberkulosis yang resisten terhadap banyak obat atau virus pernapasan dapat ditransmisikan melalui suplai udara di ruangan terbuka dan sistem pendingin udara. 3. Fomit Benda yang inanimate dapat terkontaminasi organisme dan bertindak sebagai media (fomite) bagi transmisi. 4. Suplai Air Suplai air di rumah sakit merupakan sistem yang kompleks; sistem ini menyediakan air untuk tempat cuci tangan dan pancuran, pemanas pusat, dan pendingin udara. Selain itu, uap panas bertekanan tinggi dibutuhkan untuk autoklaf. Legionella spp. dapat berkoloni pada area pipa yang sudah tidak dipakai lagi. Sistem menara pendingin merupakan sumber infeksi tersendiri, memungkinkan terjadinya

transmisi melalui sistem pendingin udara. Untuk mengurangi risiko ini, penyediaan air panas harus dipertahankan pada suhu di atas 45 C dan penyediaan air dingin dipertahankan pada suhu di bawah 20C.

Aktivitas medis AKSES INTRAVENA Ini merupakan sumber bakteremia yang paling sering yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Risiko infeksi dari alat intrafena apapun meningkat seiring dengan lamanya alat tersebut dipasang. Gangguan integritas kulit menyediakan jalan masuk bagi invasi organisme kulit seperti Staphylococcus aureus, S. epidermidis, dan Corynebacterium jeikeium.

Tanda-tanda inflamasi pada tempat penyuntikan dapat menjadi bukti pertama adanya infeksi. Infeksi yang disebabkan oleh kanula dapat diperumit oleh septikemia, endokarditis, dan infeksi metastatik (misalnya osteomielitis).Teknik aseptik saat pemasangan akan mengurangi risiko sepsis. Demikian juga dengan pemilihan alat, contohnya menggunakan yang tidak memiliki sisi port dan ruang yang tidak terpakai (dead space). Menjaga balutan tetap dalam kondisi baik dan memastikan higiene staf yang baik saat bekerja dengan alat tersebut juga sama pentingnya. Tempat kanula harus diperiksa secara berkala dan hal ini terutama penting pada pasien yang tidak sadar. Jalur perifer harus dipasang ulang setiap 48 jam; jalur sentral dan selang harus diganti jika terbukti ada infeksi. KATETER URIN Kateter urin yang dipasang di dalam (indwelling urinary catheter) merupakan rute bagi infeksi asendens ke dalam kandung kemih. Risiko dapat diminimalkan dengan teknik aseptik saat kateter dipasang dan ditangani. PEMBEDAHAN Pasien bedah seringkali memiliki masalah kesehatan lain yang seringkali tidak berhubungan dengan keluhan akibat pembedahan yang dijalaninya (misalnya asma atau diabetes melitus), dan hal-hal ini dapat menjadi predisposisi terhadap infeksi. Pembedahan bersifat traumatik dan mengandung risiko infeksi, contohnya terutama infeksi luka. Selain itu, potensi komplikasi mungkin berasal dari prosedur itu sendiri, seperti iskemia pascaoperasi, yang berkontribusi terhadap risiko lebih lanjut. Lama dan kompleksitas operasi memengaruhi risiko infeksi, demikian pula halnya dengan

keterampilan ahli bedah: semakin sedikit kerusakan jaringan yang muncul pada saat operasi, semakin rendah pula risiko infeksinya

Rantai penularan infeksi nosokomial

Infeksi nosokomial mulai dengan penyebab (di bagian tengah bagian berikut) yang ada pada sumber. Kuman keluar dari sumber melalui tempat tertentu, kemudian dengan cara penularan tertentu, masuk ke tempat tertentu di pasien lain. Karena banyak pasien di Rumah Sakit rentan terhadap infeksi (termasuk ODHA yang mempunyai system kekebalan yang lemah). Mereka dapat tertular dan jatuh sakit tambahan selanjutnya, kuman penyakit ini keluar dari pasien tersebut dan menemukan rantau penularan lagi.

Ada 4 macam penyakit infeksi nosokomial yaitu : 1. Surgical Site Infection (Infeksi Luka Operasi/ILO) 2. Ventilator Asosiated Pneumonia (Pneumonia Ventilator) 3. Infeksi Saluran Kemih (ISK) 4. Infeksi Aliran Darah Primer (IADP)/ phlebitis (Depkes RI, 2001)

1. Surgical Site Infection (Infeksi Luka Operasi/ILO) Epidemiologi Sebanyak 30 50 % penggunaan antibiotik di RS diberikan untuk tujuan profilaksis bedah. Di USA insidensi ILO diramalkan 7,5% dan menambah biaya perawatan lebih dari 10 milyar dolar pada setiap tahunnya. Di indonesia insiden ILO pada bedah bersih sekitar 3-12 %, sedangkan bedah kotor 50%.

FAKTOR RESIKO LUKA OPERASI

Faktor Resiko Luka Operasi


Intrinsik Ekstrinsik

Umur, jenis kelamin, status gizi, penyakit penyerta, berat badan

Persiapan pra bedah, persiapan intra bedah, pembersihan n desinfeksi lingkungan sterilisasi alat bedah, perlngkapan bedah, prawatan insisi psca bedah, kategori operasi, klasifiksi pasien bdsrkn ASA, jenis operasi,

Luka operasi Luka operasi merupakan terapi yang direncanakan, seperti incisi bedah, needle introduction dan lain-lain lagi serta dikendalikan dengan asepsis bedah.

Infeksi luka operasi adalah infeksi yang terjadi pada tempat/daerah insisi akibat suatu tindakan pembedahan, diklasifikasikan menjadi : a. Infeksi luka operasi Inisisional superfisial Infeksi pd tempat atau daerah Insisisuperfisial (kulit dan Subcutan), terjadi dalam 30 hari pasca bedah. Karakteristik: 1. Adanya pus yg keluar dari luka operasi atau drain yang yang dipasang diatas fasia. 2. Biakan positif dari cairan yang keluar dari luka yang ditutup primer. 3. Dokter yang menangani menyatakan terjadi infeksi. 4. Luka sengaja dibuka oleh dokter karena terdapat tanda peradangan, kecuali jika hasil biakan negatif

b. Infeksi luka operasi Profunda/deepinsisional 1. Ditemukan abses atau bukti lain adanya infeksi yang mengenai insisi dalam pemeriksaan langsung (waktu pembedahan ulang) dengan pemeriksaan histopatologis atau radiologis. 2. Dokter yang menangani menyatakan terjadi infeksi.

c. Infeksi luka operasi organ/rongga Infeksi yang terjadi dalam 30 hari pasca bedah apabila tidak ada implant, infeksi terjadi dalam 1 tahun pasca bedah apabila terdapat implant. Paling sedikit menunjukkan satu gejala berikut : 1. Drainase purulen dari drain yang dipasang melalui luka ke dalam organ/rongga 2. Ditemukan organisme melalui aseptik kultur dari organ/rongga 3. Ditemukan abses atau tanda infeksi lain yang mengenai organ atau rongga waktu pemeriksaan langsung pd pembedahan ulang atau dng pemeriksaan ulang atau dng pemeriksaan histopatologis/radiologis. 4. Dokter yang menangani menyatakan infeksi organ/rongga

d. Infeksi nosokomial Pneumonia Adalah infeksi saluran napas bawah yang mengenai parenkim paru dan terjadi setelah 48 jam masa perawatan di Rumah Sakit (Depkes, 2001). Seorang pasien dikatakan pneumonia bila ditemukan satu diantara criteria berikut : 1. Pada pemeriksaan fisik terdapat ronki basah atau ditetapkannya pekak (dullness) pada perkusi. 2. Foto toraks menunjukkan adanya infiltrate, konsolidasi kavitasi, efusi pleura baru atau progresif. Cara pencegahannya infeksi luka operasi Harus melakukan pemeriksaan terhadap pasien operasi sebelum pasien masuk/dirawat di rumah sakit (perbaikan gizi). Sebelum operasi, pasien dilakukan dengan benar sesuai dengan prosedur, misalnya pasien harus puasa desinfeksi daerah operasi dan lain-lain. SOP (standard operating procedure) yaitu dengan perhatikan

waktu/lama operasi. Pasca operasi harus diperhatikan perawatan alat-alat bantu yang terpasang sesudah operasi seperti kateter, infus dll. Antibiotic profilaksis Antibiotik yg diberikan kpd penderita yg menjalani sblm adanya infeksi, tujuan untk mencegah terjadinya infeksi akibat tindakan pembedahan. Antibiotik untk memperlama fase Golden Period yaitu fasepertahanan tubuh terhdp infeksi.

Tujuan : Mereduksi timbulnya infeksi yang terjadi, meminimalkan efek antibiotik pada flora normal bakteri pasien, menurunkan mortalitas dan morbiditas pasca operasi, mengurangi lama waktu pasien harus menjalani rawat inap, meminimalkan perubahan perubahan pada sistem pertahanan tubuh. 2.Ventilator Asosiated Pneumonia (Pneumonia Ventilator) Adalah infeksi saluran nafas bawah yang mengenai Parenkim paru dan terjadi setelah 48 jam masa Perawatan di rumah sakit (Depkes, 2001). Contoh prosedur dan tindakan medis yg bersentuhan dengan jaringan lunak saluran pernapasan adalah : 1. Tindakan anastesi umum menggunakan pipa endotrakeal, pipa orofaringeal atau pipa nasofaringeal 2. Tindakan laringoskopi atau bronkoskopi 3. Tindakan invasif yg lebih jauh seperti trakeostomi, krikotirotomi 4. Pemasangan ventilator Bakteri penyebab pneumonia: Pseudomonas aeroginusa Bakteri Coliform Streptococcus beta-hemolyticus Klebsiella pneumonia Neisseria Catarrhalis Staphylococcus aureus

Gejala: 1. Pada pemeriksaan fisik terdapat ronki basah atau didapatkannya pekak (dullness) pd perkusi, dan salah satu diantara keadaan berikut : a. timbulnya sputum purulen yg sebenarnya tdk ada, atau terjadinya perubahan sifat sputum. b. isolasi kuman positif pd biakan darah c. isolasi kuman patogen positif dari aspirasu trakea, sikatan/ cuci bronkus atau biopsi. 2. Foto toraks menunjukkan adanya infiltrat, konsolidasi, kavitasi, efusi pleura baru atau progresif. a. Titer igM atau igG spesifik meningkat 4 kali lipat dalam 2 kali pemeriksaan b. Terdapat tanda tanda pneumonia pada pemeriksaan histopatologi. 3. Untuk pasien < 12 bln selain tanda di atas didapatkan 2 diantara keadaan berikut: apnea, bradikardi, whizzing.

3. Infeksi Saluran Kemih (ISK) Infeksi Saluran Kemih (ISK) : infeksi yang sering terjadi, 40% dari seluruh inos dan dilaporkan 80% infeksi saluran kemih terjadi sesudah instrumentasi. Bakteri masuk ke dlm kandung kemih

melalui : batang kateter melalui meatus uretra eksternus, lumen kateter, persambungan kateter dng pipa penyalur urine, refluks urine dr kantong penampung urine. ISK merupakan infeksi y timbul setelah tindakan invasif/operatif pd saluran genito urinarius di RS antara lain: kateterisasi, sistoskopi, endoskopi, tindakan operatif pd vagina.

ISK Simpomatik

ISK
ISK Asimptomatik
Pencegahan ISK : 1. Pemasangan kateter dng memerhatikan syarat dasar kateter

Demam, Nikuria, polasikuria, disuria, nyeri supra pubik, urin positif mngandung kuman Prnh memakai kateter 7 hr sblm biakan,

2. Kateter menetap sedapat mungkin tdk dipakai dan hanya digunakan atas dasar indikasi yg jelas. 3. Aliran urin dlm kateter harus bebas hambatan 4. Penggantian kateter 2-3 kali bila keteter harus dipasang lama . 5. Urin harus dibiakkan (identifikasi) terlbh dahulu sblm kateterisasi. 6. Berikan antibiotik sblm kateter dicabut untk kasus asimptomatik

4. Infeksi aliran darah primer (IADP)/phlebitis Infeksi yg terjadi disekitar tusukan atau bekas tusukan jarum infus di RS, dan timbul setelah 3x24 jam dirawat di RS. Ditandai dengan : panas, pengerasan dan kemerahan (kalor, tumor, rubor), dng atau tanpa nanah (pus), pd daerah bekas tusukan jarum infuse.

Contoh-contoh kasus infeksi nosokomial: 1. Febris Puerperalis (Demam nifas) : infeksi yang muncul pasca persalinan pervaginam. Sekitar 7-8% akan mngalami kesulitan atau distosia yang terjadi karena tidak proporsionalnya antara dorongan dari uterus. Untuk menyelesaikan persalinan distosia diperlukan

adanya tindakan invasif . Trauma yang terjadi berupa laserasi, robekan, serta pendarahan yang dapat menimbulkan infeksi. Bakteri : Staphylococcus haemolyticus, Streptococcus aureus, Escherichia coli.

2. Infeksi Saluran Cerna Gejala : Adanya nyeri perut secara mendadak, kadang-kadang disertai nyeri kpala, nausea dan muntah muntah yang diikuti dengan diare, dapat disertai/tanpa demam. Bakteri : Salmonella, Vibrio cholerae, Escherichia colli, Staphylococcus aureus (toksiknya), Clostridium perfringens, Clostridium botulinum.

3. Hepatitis Virus Akut disebabkan oleh hepatitis virus A (HVA), hepatitis B (HVB) atau hepatitis virus non-A non-B (HVNANB). Untuk menetapkan diagnosis hepatitis virus akut nosokomial digunakan batasan klinik, laboratorik dan waktu : a. manifekstasi klinik b. gambaran laboratorik yang spesifik c. apabila manifestasi klinik muncul 2 minggu rawat inap yang merupakn masa inkubasi terpendek dari salah satu hepatitis virus. Cara penularan : a. peroral = melalui makanan/minuman untuk virus hepatitis A b. parental = melalui kulit, untuk hepatitis B sedangkan virus hepatitis NANB melalui suntik, biopsi, infus/transfusi, hemodialisis, pembedahan.

4. Bakteremia dan Septikemia Bakteremia : Infeksi sistemik yang terjadi akibat penyebaran bakteri atau produknya dari suatu fokus infeksi ke dalam darah.

Septikemia : keadaan gawat, yang harus segara ditangani,Bila terlambat ada kecenderungan mengarah ke keadaan Syok (syok septik), dng angka kematian (50-90%). *Pemicu : tindakan medis invasif parenteral, hemodialisis) (kateter intravaskular, nutrisi

Dampak pengendalian, dan pencegahan infeksi nosokomial

Dampak infeksi nosokomial Menyebabkan cacat fungsional, serta stress emosional, dan dapat menyebabkan cacat permanen. Dampak tertinggi pada negara berkembang dengan prevalensi HIV/AIDS yang tinggi. Meningkatkan biaya kesehatan Morbiditas dan mortalitas semakin tinggi Adanya tuntutan secara hukum Penurunan citra Rumah Sakit.

Pengendalian infeksi nosokomial Setiap rumah sakit harus memiliki prosedur untuk menjamin bahwa tidak ada transmisi infeksi di dalam lingkungannya. Bersama-sama, hal ini membentuk kebijakan pengendalian infeksi yang, jika ingin berhasil, harus didukung oleh semua staf rumah sakit. Tim pengendalian infeksi terdiri dari konsultan mikrobiologi atau spesialis penyakit infeksi, dan perawat spesialis, yang mengembangkan kebijakan tersebut .

Keterlibatan direksi rumah sakit pada tingkat tertinggi bersifat esensial untuk mencapai keberhasilan. Tim tersebut akan mengatur surveilans dengan lebih ketat terhadap organisme tertentu, misalnya Staphylococcus aureus yang resisten

terhadap metisilin (methicillin-resistant Staphylococcus aureus, MRSA). Tim ini juga berperan dalam semua perencanaan rumah sakit, baik secara fisik (misalnya perubahan bangunan) maupun secara fungsional (misalnya pelayanan klinis baru).

Beberapa upaya pengendalian infeksi di Rumah Sakit

Praktek klinis yang baik Individu yang terinfeksi harus dipisahkan dari yang tidak terinfeksi. Sumbernya, baik individu yang terinfeksi maupun pembawa (carrier), harus diidentifikasi melalui langkah skrining yang tepat, misalnya surveilans rutin pada spesimen dari pasien dan staf rumah sakit. Pasien yang terinfeksi harus diisolasi (isolasi sumber) dan dilakukan tindakan untuk memutuskan rantai transmisi. Pasien yang secara khusus rentan thd infeksi memerlukan isolasi perlindungan. Isolasi seringkali sulit dipertahankan jika staf rumah sakit tidak melakukan langkah-langkah yang telah disepakati. Ini dapat terjadi jika langkah yang sederhana seperti mencuci tangan diabaikan sebagai akibat dari tekanan pekerjaan. Isolasi luka dan enterik Pasien dirawat di ruang terpisah yang memiliki tempat cuci tangan dan fasilitas toilet tersendiri. Celemek plastik dan sarung tangan sekali pakai

digunakan selama menangani pasien atau melakukan tindakan klinis dan prosedur higiene. Sarung tangan dan celemek (apron) kemudian dibuang dan tangan dicuci menggunakan sabun cair dan dikeringkan dgn handuk sekali pakai. Penggunaan disinfektan yg tepat membantu mengurangi kontaminasi lingkungan (misalnay penggunaan agen yg mengandung klorin untuk Clostridium difficile.

Isolasi pernapasan Selain tindakan pencegahan yang telah disebutkan, staf rumah sakit harus mengenakan masker wajah saat berada di ruangan. Jika pasien dikirim ke bagian lain di dalam rumah sakit, pasien tersebut harus mengenakan masker wajah. Metode isolasi pernapasan yang lebih ketat diperlukan untuk

mengendalikan transmisi dari organisme yang berhubungan dengan tuberkulosis yang resisten terhadap banyak obat (mulitidrug-resistant tuberculosis, MDRTB) dan severe acute respiratory syndrome (SARS). Hal ini memerlukan penggunaan ruangan bertekanan negatif dan masker yang efektif (dust mist mask atau respirator pribadi). Tindakan pencegahan yang demikian bersifat esensial , terutama selama prosedur yang memungkinkan terbentuk aerosol (misalnya bilas bronkoalveolar).

Isolasi ketat Bentuk isolasi ini dirancang untuk mencegah transmisi infeksi seperti demam berdarah akibat virus. Unit isolasi yg tertutup mencegah transmisi organisme secara aerosol melalui sistem udara yg tertutup dan bertekanan negatif, disertai dgn prosedur dekontaminasi yg ketat.

Isolasi perlindungan Isolasi perlindungan diperlukan pada pasien yang memiliki kerentanan tinggi terhadap infeksi, seperti pada pasien neutropenia.

Perlindungannya meliputi isolasi ruang khusus, penyediaan udara terfiltrasi , dan langkah-langkah untuk mengendalikan risiko adanya organisme dalam makanan, seperti organisme resisten pada sayuran atau Listeria pada kayu lunak. Gram-negatif yang

Sterilisasi dan disinfeksi Sterilisasi Sterilisasi menginaktivasi semua organisme infeksius dan diperoleh melalui proses dengan autoklaf atau iradiasi. Dalam autoklaf, benda-benda seperti instrumen bedah dipanaskan dengan uap air bertekanan yg sangat panas untuk menginaktivasi bahan infeksius apapun yg mengontaminasi. Instrumen yg lunak dapat disterilisasi dengan tekanan dan suhu yg rendah pada alat autoklaf khusus yg mengalirkan uap air yg disertai formaldehid. Bahan yg mudah rusak seperti kanula plastik, syring (alat suntik), atau alat prostetik disterilisasi menggunakan radiasi komersial Aldehid (glutaraldehid dan formaldehid) dapat mensterilisasi instrumen jika instrumen tersebut telah lebih dahulu dibersihkan secara adekuat dan peralatannya direndam dalam waktu yang cukup. Senyawa seperti seperti klorin dioksida mulai menggantikan selama produksi

glutaraldehid untuk mengurangi toksisitas terhadap manusia sebagai operator.

Disinfeksi Ini merupakan proses untuk mengurangi jumlah partikel infeksius . Mencuci tangan dengan sabun atau detergen merupakan komponen penting dalam disinfeksi. Disinfektan adalah bahan kimia yang membunuh atau menghambat mikroba. Zat ini digunakan pada keadaan dimana tidak mungkin diperoleh kondisi yang steril (misalnya persiapan kulit sebelum pembedahan), atau setelah tumpahnya cairan biologis (urin, darah, atau feses) pada permukaan inanimate. Senyawa hipoklorit seperti (natrium hipoklorit, pemutih) yg merupakan senyawa yg paling aktif untuk mengatasi virus juga berguna mengatasi tumpahan cairan biologis, tetapi bersifat korosif terhadap logam. Senyawa halogen seperti iodin bersifat aktif melawan bakteri, termasuk organisme yang membentuk spora, tetapi kerjanya relatif lambat. Senyawa ini digunakan pada disinfeksi kulit. Disinfektan fenol sangat aktif melawan bakteri dan digunakan untuk mendisinfeksi permukaan yang terkontaminasi di rumah sakit dan laboratorium bakteriologi. Alkohol (70%) bekerja dengan cepat melawan bakteri, jamur, dan virus, dan berguna dalam mendisinfeksi kulit praoperasi Klorheksidin aktif melawan bakteri, terutama stafilokokus; zat ini juga digunakan untuk disinfeksi kulit.

Pencegahan terjadinya infeksi nosokomial Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dng cara mencuci tangan, penggunaan sarung tangan, tindakan septik, aseptik, sterilisasi, desinfektan. Mengontrol resiko penularan dari lingkungan

Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi. Membatasi infeksi, mengontrol penyebarannya. Mencegahan penularan dari lingkungan rumah sakit Mengecek dengan menginspeksi

Pencegahan infeksi di ruangan/bangsal perawatan Ruangan atau bangsal merupakan tempat dimana asuhan keperawatan dilakukan. Disini ditempatkan sejumlah tempat tidur untuk penderita, serta sejumlah peralatan medis dan non medis lainnya. Walaupun Inos dapat terjadi di semua tempat pelayanan. Namun frekuensi dan intensitas lebih banyak terjadi di ruangan/bangsal . Idealnya Rumah sakit dengan jumlah tmpt tidur terbatas (120-150 buah) mempunyai tempat Perawatan sebagai berikut : a. Kamar perawatan dengan 1-4 buah tempat tidur

1.lbh banyak bersifat privasi 2. untk perawatan kasus tidak berisiko b. Ruangan/bangsal perawatan 1. Bangsal Perawatan umum : gender, quantity 2. Bangsal Perawatan Anak 3. Bangsal perawatan Intensif : observasi, pemisah, ICCU, NICU 4. Bangsal Perawatan isolasi : sifat penyakit

Ruang perawatan isolasi Dalam ruang isolasi penderita dirawat dengan pertimbangan : a. Karena sifat penyakit : mudah menular (TB terbuka, hepatitis akut), dapat mengganggu penderita lain (kanker stadium akhir, diabetes) b. Karena kerentanan fisiknya (HIV/AIDS,Luka bakar, leukimia) c. Memerlukan perlakuan khusus (tetanus) d. Mencegah transmisi mikroba patogen melalui gigitan nyamuk

Sterilisasi dan aplikasinya di Rumah Sakit Sterilisasi sebagai kegiatan khusus atau tersendiri di rumah sakit yang mengelola peralatan medis yang siap pakai. Unit ini disebut Central Sterile Supply Departement (CSSD) atau Instalasi Sterilisasi Sentral (ISS). Pemusatan kegiatan sterilisasi ini mempunyai keuntungan, yaitu:

1. Efisiensi dalam penggunaan sarana dan peralatan, sehingga mampu menghemat biaya 2. Efesiensi tenaga paramedis. 3 Adanya standardisasi prosedur kerja dan adanya jaminan mutu hasil sterilisasi. Garis besar terjadinya CSSD/ISS: Dekontaminasi : peralatan medis yang terkontaminasi didisinfeksi terlebih dahulu untuk memilimalisasi jenis dan jumlah mikroba patogen Pembersihan : peralatan medis dibersihkan untuk menghilangkan materi organik yg menempel Pengemasan : mengemas scara rapi peralatan medis disertai pemasangan label dan siap untuk disterilkan Proses sterilisasi : peralatan medis yang telah dibungkus selanjutnya menjalani sterilisasi Penyimpanan : disimpan dan dijaga kualitas sterilisasinya Pendistribusian : peralatan medis yang siap dipakai selanjutnya

didistribusikan ke unit unit yang memerlukan. Unit CSSD/ISS dalam Rumah Sakit Kegiatan sterilisasi dan keberadaan unit CSSD/ISS mutlak adanya terutama bagi Rumah sakit besar. Diharapkan mutu kualitas sterilisasi lebih menjamin serta siap memenuhi permintaan semua unit kerja di rumah sakit.

Pengawasan terhadap kualitas sterilisasi alat.

Peran farmasis dan petugas kesehatan lainnya Diagnosis bakteriologik Diagnosis bakteriologik yang tepat adalah sangat penting untuk menentukan antibiotika yang tepat . Menentukan dosis yang tepat agar tidak terjadi resistensi. Monitoring Efek Samping Obat Tim PPIRS perlu mengetahui kuman infeksi nosokomial berasal dari mana sumbernya

BAB III PENUTUP Kesimpulan Saat ini dunia kedokteran dihadapkan pada kenyataan bahwa penyebaran dan penularan penyakit infeksi tidak hanya terjadi ditengah masyarakat luas, namun ternyata kondisi tersebut dapat terjadi di tengah komunitas penderita yang sedang menjalani asuhan keperawatan di rumah sakit. Infeksi yang diperoleh seorang yang dirawat di Rumah Sakit ini dikenal sebagai Infeksi Nosokomial (INOS) Dalam batasan dan definisinya, sebuah infeksi dapat menyetakan sebagai infeksi nosokomial apabila memenuhi persyaratan antara lain : 1. Persyaratan tempat infeksi terjadi (Rumah Sakit) 2. Persyaratan waktu ,yaitu kurang waktu penderita menjalani asuhan keperawatan 3. Persyaratan orang, yang tidak lain adalah yang sedang menajalani asuhan keperawatan 4. Persyaratan agen penyebab, berasal dari berbagai sumber dirumah sakit.

Selama dalam asuhan keperawatan, penderita tidak selalu menetap diruangan/bangsal/kamar perawatan, tetapi tidak jarang harus bergerak dari satu unit kerja dirumah sakit ke unit kerja lainnya yang merupakan satu rangkaian kegiatan dalam upaya menekankan diagnosis serta terapi sini tampak jelas. Bahwa terjadinya infasi mikroba patogen dapat berasal dari unit kerja diuar ruangan/bangsal/kamar perawatan. Dengan demikian ini tugas dan tanggung jawab mengeliminasi mikroba patogen menjadi tanggung jawab semua unit kerja. Munculnya infeksi nosokomial ini sangat merugikan penderita antara lain hari rawat menjalani lebih panjang serta akibat subjektifnya adalah penderitaan fisik dan psikis akan bertambah berat, dan hal ini dapat meningkatkan mobilitas dan mortalitas, serta beban biaya akan meningkatkan. Identik dengan permasalahan yang dihadapi oleh penderita, pihak rumah sakit juga dihapkan pada persoalan yang lebih luas yang berkaitan dengan menajemen pelayanan medis secara keseluruhan. Dari sini dapat dinilai beberapa efektifnya penerapan kewaspadaan standar disetiap unit kerja yang merupakan salah satu parameter penilaian mutu pelayanan (quality assurance).

Untuk mengantisipasi munculnya infeksi nosokomial, semua petugas di semua unit kerja harus menyadari dan ikut berperan aktif dalam upaya mengamankan penderita dari infasi mikroba patogen dengan cara menerapkan kewaspadaan standar sebaik baiknya. Persoalan infeksi nosokomial terkait dengan permasalahan tidak aman atau terlindunginya perderita oleh infasi mikroba patogen, hal ini dapat dinilai sebagai kecerobahan pihak rumah sakit sehingga merugikan penderita sebagai konsumen kesehatan. Oleh karenanya pihak manajemen harus benar benar menangani hal ini secara bijak, jangan sampai persoalannya berkembang atau menjurus ke aspek hukum. Dengan demikian manajemen asuhan keperawatan professional yang berada diruangan/bangsal/kamar perawatan merupakan ujung tombak pengendalian infeksi sekaligus sebagai tangan pertama yang mendata penyakit infeksi nosokomial

DAFTAR PUSTAKA

Fatimah, Siti. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya Infeksi Nosokomial Luka Operasi di Ruang Bedah RSUP Fatmawati. Jakarta: Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta: Salemba Medika Septiari, Betty Bea. 2012. Infeksi Nosokomial. Yogyakarta: Nuha Medika Gillespie, Stephen dan Kathleen Bamford. 2007. At a Glance: MIKROBIOLOGI MEDIS DAN INFEKSI. Jakarta: Erlangga.

S-ar putea să vă placă și