Sunteți pe pagina 1din 5

Menjelang Pertarungan Terakhir

• Zen Hae – Koran Tempo (12 April 2009)

A
ku telah menunggumu dengan susah-payah, Lawanku. Tapi aku masih
berharap ini akan menjadi pertarungan terbaik kita, pertarungan habis-
habisan. Tapi kenapa kau bimbang? Sebab yang kau hadapi adalah
pendekar tua yang bunting tangan kirinya, dengan wajah separuh mayat
setengah orang hidup? Oh, jangan sekali-kali kau remehkan aku. Demi Malaikat Maut
yang terus mengincarku, aku tidak mau mati oleh racun sialan ini. Aku seorang
pendekar, hanya akan mati dalam pertarungan yang selalu punya dua kemungkinan:
aku atau lawanku yang mati. Namun sebelum kita mulai baiklah kau dengarkan apa
yang akan kukataka. Pusatkan perhatianmu. Sebab ini cerita bukan sembarang cerita.

Rawa Lingi
Di musim yang berlimpahan matahari, dengan kelembapan yang hanya bisa
dihayati bekicot dan katak pohon, kulanjutkan lagi perburuanku. Dari kepala turun ke
pundak, dari bapak turun ke anak – memburumu. Kulayari lagi rawa itu. Sehamparan
pualam hitam; padat seakan-akan, liat dalam tatapan, beriak oleh percikan ludahku.
Sedang pepohon di tepinya, seperti para centeng tua yang kurang makan, merinding
oleh hawa panas, yang bangkit ke arah matahari.
Dua puluh kayuhan lagi, mungkin lebih, rakitku bakal sampai ke seberang. Aku
memejam, membayangkan sebuah pondok yang akan membuatku tertidur di bawah
reruntuhan suara sikatan, keronyos minyak kelapa, harum gurame goreng, gelegak
sayur asam, medoknya sambal terasi – Oi, nasi pulan pujaan kaum lapar sedunia. Tapi
terbayangkan pula pertarungan itu: golok gerumpung, kepala yang jatuh ke lumpur,
seorang anak yang akan menuntut balas.
Tapi aku dikagetkan oleh jeritan tukang rakit, oleh kecipak ikan-ikan yang terus
menguntit kami. Mereka yang mengasah gerigi dengan bayangan daging paha kambing
muda, serentak mengganyang bayang rakit kami. Maka kujulurkan tangan kiriku yang
penuh rajah ke udara, kugoyang-goyangkan ia hingga seekor ular sanca dan seekor
harimau biru tua menggeliat tanpa suara. Aduhai para pemangsa itu alankah girangnya!
Para mangsa itu betapa angkuhnya!
Tapi dari tepi rawa, di atas cadas, seorang perempuan berpayung geulis, dengan
paras semurung batu kuburan, kontan menggusah mereka. Ia yang terancam oleh
tangan dan mataku. Seakan aku si malaikat maut – atau si begajul? – yang akan
menghanguskan pepucuk rengas dan membekukan air rawa. Aku merunduk dengan
tudung bambu yang nyaris menyentuh air dan kutemukan bayangan tubunhnya tersula
bebatang lingi. Tapi ikan-ikan maharakus itu, yang tak sempat lagi kunamai, tak berani
menyantapnya sebab sang pemilik bayangang menjerit lebih keras lagi: “Ikan hanyalah
ikan jika ia berinsang. Makan ayolah makan jika ingin kupindang.”
Maka aku melompat ke tepi sebelum bayanganku – seluruh tubuhku – rombeng,
sebelum rakit itu sirna dan pengayuhnya geragapan di pematang. Aku berlari menginjak
muntahan lingsang, tahi bebek, cangkang kijing, semak orang-aring. Lalu pematang
yang lurus, menyerong, bersilangan, dengan rekahan menganga hitam seperti pernah
menelan bola api, padang rumput yang mengusir tekukur dan lembu gering. Serentetan
ratapan memutar arah pandang;
“Saya mengintipmu dari sini, Junjungan. Tubuhmu yang gerumpung perlahan
mengendap, dipandu sebongkah batu. Tak mungkin meminta talkin pengiring, tak bisa
memiliha makam terindah, kecuali bulan sebundar nyiru sekilau mata kucing. Sedang
saya mengendap lebih rendah dari perdu ketika sosok di atas rakit itu seperti
berkhotbah, “Dari air balik ke air, dari tanah pulang ke tanah, ke mulut buaya dia punya
rumah.”
“Tapi bagaiman Tuan akan bangkit dan membalas dendam dengan tubuh yang
melawan hukum keindahan, dengan kepala yang entah di mana – tak tahu lagi arah
kabah dan tudung hidung. Bagaimana Tuan akan akan memaafkan sekaligus mencintai
saya lagi dengan zakar yang kikuk di depan seekor gabus. Bagaimana saya harus
mengatakan pada ular-ular itu bahwa yang menetes dari mata saya adalah butiran-
butiran garam.”

Baru Bersurat
Perempuan itu tugur. Lebih khusyuk dari zahid, lebih sabar dari anjing, lebih
keras kepala dari arca singa. Sudah berapa lama? Hanya demi si mati? Kenapa ia
berbalik hati kepadaku? Siapakah yang ia nanti sebenarnya? Aku tiduran dengan tanya
tak berjawab, dengan bantal yang memerangkap harum akar wangi dan tanah basah. –
seleretan geluduk yang mencakari lenagit selatan. Aku memejam agar yang senantiasa
membisu mengucapkan rahasia. Tapi yang tak bisa kucegah terjadi: gemersik dedaun
bambu, kelepik jemuran, gedebam timba, derit engsel karat pada pintu dan jendela,
madah girang katak bangkong, gericau angsa. Segalanya teraduk dan pecah: hujan
termurni, basah paling memberahikan, hijau yang penuh harapan. Alam seperti tercipta
dari perang besar yang baru usai....
Oi, seluruh yang lampau mersuki pikiranku seperti arwah penasaran. Segala
yang berlayar ke muara serentak kembali ke hulu. Waktu memadat menjadi pecahan
tembikar dan batu tersurat yang yang terjungkal di belakang pondok. Sedang segala
yang pecah dan tersurat mengalirkan hawa dingin. Kuhirup ia hingga aku hidup dalam
kesegarbugaran ingatan. Demi kuburan Cina yang pernah kujarah karena kemiskinanku,
demi sorga yang kubayangkan penuh pohon durian, kini aku tahu siapa perempuan itu
sebenarnya. Ia perempuan jalang yang membuat ayahmu mabuk dan meninggalkan kau
dan ibumu.
Ia mencintai ayahmu sebesar takutnya pada kematiannya sendiri, sepenuh
sayangnya pada seekor kucing belang tiga, sepanas cintanya pada tukang mindring.
“Dia tidak mau bunting sama lakinya, “ kata pemilik pondok, “tapi malah kebablasan
sama tukang mindring. Dia lantas mengugurkannya pada ibuku.
“Dia merasa secantik burung mandar tetapi bernasib sesial kokokbeluk.”

Rimat Gonggo
Aku telah berguru pada penguasa jurus-jurus terbaik: kepada mereka
kusambungkan nasabahku, dari mereka kuasalkan ilmuku. Aku telah memburu para
bergajul teranjing: ke badan mereka kusarungkan golokku, dari mereka kudapatkan
namaku. Tapi hanya ayahmu lawan dari segala lawan. Ia yang menguap bersama asap
tabunan, lebur ke lambung malam hujan, diserap angin subuh, menjelma jadi ular
beludak, kupu-kupu, pisang seribu.... Hingga kutemukan gurunya, kudapatkan hari
naasnya.
“Shionya kambing. Adatnya keras, gampang marah dan tersinggung, tapi hatinya
baik tiada banding dan gampang tenang lagi jikalau tiada ditantang. Dia bakal
mengalami ciong besar pada malam rabu paing Cia-Gwe Cap-Go, antara tengah malam
hingga ayam turun kandang. Dia bakal menyebut tujuh kata yang tak kumengerti
sebelum Malaikat Maut menyentuh ubun-ubunnya.”
Maka kuikuti ke mana langkahnya, kuawasi setiap geraknya, kuhafal segala
perkataannya, hingga seluruh hidupnya kemudian adalah pengetahuanku. Aku kamus
hidup yang butuh hanya beberapa malam lagi agar diriku sempuran. Itulah malam ketika
ia mencegat si Tukang Mindring di tepi kali selepas Magrib. Tak ada yang bisa dilakukan
si Tukan Mindring kecuali menangis dan mencoba mencium kedua kaki ayahmu.
“Ampun Wang Lima... ampung....”
“Lakonnya memang sudah begitu, Tan Seng Thee. Aku dikhianati, kau tergoda,
dia menanggung dosa. Lantaran cinta aku bisa memaafkan dia. Tapi lantaran apa aku
harus memaafkanmu. Kau orang paling hina, dilihat dari langit ke-tujuh sekalipun. Kau
akan mencicil kematianmu sendirisebagaimana orang-orang miskin mencicil hutang
kepadamu. Kau akan batuk darah selama sebulan. Kau akan tinggal tulang dan kulit
hangus. Kau akan mampus seperti ketambus.”
Si Tukang Mindring seperti diamuk angin puyuh, terhuyung-huyung melintasi tepi
kali dan bendungan, entah ke mana. Sedang ayahmu naik sado ke kota, ke pesta
malam Cap Go Meh. Inilah malam pengobat duka lara, malam arak dan cinta, malam
untuk hidup dan mati. Oran-orang berdesakan di perempatan, menikmati rupa-rupa
hiburan. Tapi ayahmu hanya terpikat pada yang ini: dua barongsai – empat penari,
dengan mata yang kelewat besar dan bulu dari serpihan bintang, keluar dari
persembunyian setelah dipancing oleh tetabuhan. Orang-orang bertepuk. Dua bintang
itu lantas pasang aksi: meliuk-liuk, melompat, menegakkan badan, mengerdip-ngerdip,
menggelosor, melompat lagi, ke kiri ke kanan, menyembah, menelan angpau.
Ayahmu keluar dari kerumunan setelah dua barongsai itu menelan angpaunya.
Ia menepi ke emperan toko, lantas memesan kopi dan makanbeberapa potong uli
panggang. Setelah itu ia mampir ke tukang jamu, sebelum akhirnya menyelinap ke
dalam gang. Kini ia disambut barongsai perempuan, yang tubuhnya sesegar ketimun
dan matanya sebundar gandaria. Barongsai perempuan itu lantas menjulurkan lidahnya,
menggulung tubuh ayahmu, menelannya, memuntahkannya menjelang tengahmalam.
Aahhh. Aku menelan ludah.
Benar, kulihat ia keluar gang sambil cengar-cengir kuda. Aku kembali
membuntuti langkahnya. Sepanjang jalan, di atas sado, ia menyenandungkan entah
lagu apa, berulang-ulang, hingga turun di pangkalan dan menyusuri tepi kali. Sesampai
di baendungan ia belok kiri, menyusuri jalan berkerikil kira-kira 30 langkah, lantas belok
kanan melompati selokan, menjejaki pematang. Aku tahu itu bukan jalan menuju
rumahnya. Aku tahu ia menggirinku ke tengah sawah. Baru kira-kira 17 langkah ia
berhenti bersenandung dan menoleh ke arahku. Aku tak mungkin lagi sembunyi.
“Sejauh-jauhnya langkah pasti ada berhentinya. Sesabar-sabarnya irang pasti
ada marahnya. Sediam-diamnya batu pasti ada maunya. Katakan apa maumu.”
“Setinggi-tingginya pohon pasti ada pucuknya. Sepanjang-panjangnya surat pasti
ada tamatnya. Sejago-jagonya orang pasti ada apesnya. Kau akan mati malam ini, di
sini.”
Kami bertarung. Rumput melesak, lumpur meninggi, angin teraduk. Kecipak air,
lompatan katak, hunjaman kaki, sisik melik mati, belalang terbang. Pukul berbalas pentil,
tendang berbalas sampok, ggentus berbalas potong. Jurus berbilang jurus. Kami
bertarung. Hingga terpakailah semua jurus kami. Tapi kami seperti dua belahan dari satu
tubuh. Tak bisa mengalahkan, tak bisa dikalahkan. Hingga kami berhenti setelah seluruh
kami terbungkus lumpur. Jarak kami sejauh sepetak sawah. Aku duduk di pematang,
mengusap lumpur yang memenuhi parasku, mengatur napas, ayahmu berjongkok di
pematang seperti patung kodok. Kami saling tatap, saling incar.
Tiba-tiba ia meraba goloknya. Kucekal gagang golokku. Terdengar bunyi sreekk
dan bilah goloknya basah oleh sinar bulan purnam. Ia bangkit dan maju tiga langkah,
lantas menggeser kaki kanannya ke belakang. Aku berdiri dengan golok merunduk.
Kedua tangannya menyilang di atas dada dengan bilah golok menempel di pipi kiri.
Dengan gerungan kerbau sekarat ia melesat ke arahku. Aku pun menyambutnya
dengan lesatan jalak suren. Hiiaaaattt! Duagghh! Triiing! Crasshh!
Tubuh kami berbenturan di udara. Tubuh kami terpental. Aku jatuh duduk dengan
sayatan luka di dada kiri. Nyeri campur sesak. Golokku gerumpung. Ia berdiri, sedikit
goyah, dengan golok tetap utuh. Setelah tujuh kali tarikan napas dan kuda-kudanya
kokoh, ia kembali melompat ke arahku. Ya, inilah kesempatan terakhirku untuk
melawan. Maka dengan sisa-sisa tenaga kuputar tangan kananku, kugulung tangan
kanannya, kukunci, kutarik ke dadaku, kupukul pergelangan tangannya kiriku hingga
goloknya terlepas, lantas kuberi pukulan siku kanan ke dadanya. Sekuat-kuatnya.
Ia terlempar dan terjengkang tidak jauh dari pematang. Ia mengaduh sambil
memegangi dadanya. Kucabut goloknya yang tertancap di lumpur, kudekati ia yang
terus beringsut mundur hingga bersandar di pematang. Kini jarak kami hanya sedepa.
Kulihat matanya mulai putus asa. Kuacungkan golok itu ke lehernya. Kedua biji matanya
bergerak ke kiri dan ke kanan seperti mencari arwah para pendahulunya untuk
memberinya penyambutan sekaligus penghiburan terakhir. Mulutnya lantas menyembur-
nyemburkan darah campur lumpur, seperti ingin berkata-kata, bergetar tak terkendali,
meracua:
Beerrrracott burrrrugatok greonnnggg, beerrrratokk kkkkaalllamintut glabud.
Beeerrrr....

Kendi Ingatan
Begitulah. Tahun-tahun jahanam telah menghuni kendi-kendi ingatanku.
Sepenuh amarah yang tak bisa kucegah, sekeras arak yang selalu merongrongku,
setabah gerabah di tengah rimbun api. Kendi-kendi itu kemudian tertindih oleh kendi-
kedi lain lagi, penampung segala kecemerlangan, tapi selalu bisa para jahanam itu
meloloskan diri. Dengan paras yang menyala oleh girang dan dendam, mereka
mendatangiku. Tubuh mereka yang menghijau lebih purba dari hutan larangan, yang
membengkak sebesar tempayan, lantas berlompatan, bergesekan, bertubrukan.
Aku tersungkur di antara dengung panjang dan tumpahan cahaya hijau –
sebelum akhirnya semua hitam sempurna. Seekor serangga berdarah cahaya tiba-tiba
menetasi dlubuk tergelap mataku. Ia yang memereka tanpa tambah dan kali, terang-
temerang tapi bukan lagi penunjuk jalan. Sebaliknya: dasar lubuk matakulah kampung
halaman mereka. Lihatlah, sebelum dilumat raksasa yang menjinggakan seperempat
ufuk, mereka memburu mataku, menyusul para pemilik kuku yang telah kukirim ke
neraka. “Pulang, marilah pulang, wahai kaum yang kalah terang. Para pemilik kita,
biarlah berjaga-jaga,” senandung mereka sambil memijarkan perut mereka seterang-
terangnya.
Aku terjaga di antar para mendiang yang menyeringai sekaligus minta dikasihani
Mimpi buruk itu membuat leherku tercekik, hawa kamar membuatku kehausan. Aku
minum dari kendi dan membuka jendela dan girang oleh angin yang masuk tanpa
permisi. Bulan terang sekali hingga punggung batu-batu bersurat itu tampak mengilat,
minta rahasia di tubuh mereka dibaca, tetap rahasia tetap rahasia. Pohon kapuk dipojok
halaman itu juga terlihat hingga pucuknya. Buah-buahnya menyerupai kepompong, jatuh
ke atas batu, pecah beberapa, mengeluarkan serat-menggumpal-putih-pucat-lembut,
ingin terbang.
Oh, aku sungguh terharu oleh pemandangan ini. Tapi keharuanku segera sirna
oleh sepotong suar dari balik batang randu – berulang-ulang, bergelombang: “di mana
kepalaku?” Aku menanti siapa yang akan keluar. Hantu ayahmu? Si penyaru? orang
gilakah? Istri muda ayahmu, ternyata. Burung mandar yang kesepian, kokokbeluk tanpa
riasan.
“Aku tidak akan memberi tahu di mana aku membuang kepala suamimu. Sebab,
begitulah syaratnya: Kepala harus dipisahkan dari badannya agar dia tidak bisa hidup
lagi. Kau akan sia-sia memaksaku.”
“Mungkin aku bisa menerimanya. Tapi satu hal lagi kuminta. Urungkan niatmu
untuk memburu anak ingusan itu. Dia sudah pergi begitu kau tiba di pondok ini.”
“Aku sudah menandainya. Aku akan mendapatkannya.”
“Apa semua itu tidak cukup buatmu? Namamu telah mahsyur karena nyawa-
nyawa yang meregang oleh golokmu. Kau telah membunuh ayah ingusan itu, yang
adalah suamiku. Kenapa pula kau ingin menghabisi anaknya.”
“Anak itu mewarisi semua kejahatan ayahnya. Demi segala kebaikan dan
ketentraman hidup kita, segala bentuk kejahatan harus habis.”
“Sabarlah. Anak itu memang bukan darah dagingku. Dia juga tidak menaruh
hormat padaku karena aku merebut ayahnya dari ibunya. Tapi aku menaruh harapan
padanya. Dia mewarisi keberanian sekaligus kebengisan ayahnya. Biarkan dia
menamatkan stu-dua jurus lagi, agar kuda-kudanya makin kokoh, pukulannya lebih
bertenaga, teluhnya tambah ampuh. Aku sengaja meminta dia pergi agar dini hari ini
adalah malam kita berdua.”
“Aku hanya berurusan dengan suamimu dan anak tirimu. Kau bukan lawanku,
bukan buruanku, Nyai Sirih Kuning.”
“Tapi kau telah membunuh suamiku, Muhammad Naim, dengan cara yang
sangat keji. Seakan dia tidak punya sanak keluarga yang menyayangi. Aku tidak
mungkin memaafkanmu hingga hari kiamat sekalipun. Kau menghinaku dan sanak
keluarga suamiku.”
Begitulah. Aku kembali bertarung. Jurus-jurus istri muda ayahmu aneh tapi cukup
merepotkan. Tidak bisa kutebak ke mana maunya. Sepertinya ia belajar silat buikan
kepada pendekar, tetapi pada seorang tukang masak. Sampai pada suatu ketika ia
memutar-mutar goloknya cepat sekali seperti orang yang sedang mengocok telur. Ia
menyebutnya “Mengocok Telur di Bawah Bulan.”
Putaran golok mahacepat itu membuat kepalaku memberat dan penglihatanku
mengabur, dan sialnya, ia berhasil mendapatkan pergelangan tangan kiriku. Sebaliknya,
dengan susah payah aku mendodet perutnya. Ia sekarat dengan usus terburai. Dengan
sisa-sisa tenaganya ia beusaha menahan usus yang mulai mengembang karena angin
pagi. Suaranya putus-putus, tapi lengkapnya begini:
“Aku memang bukan lawanmu. Tapi mampukah kau melawanku dalam soal
racun-meracun orang? Kau telah melahap makanan terbaik di pondok ini, bukan?
Makanan yang membuat kau kekenyangan dan tidur penuh mimpi buruk. Hikh..
Kelezatannya sedang meracunimu. Racunnya bekerja dangat pelan, hingga kau....”
Perutku langsung mual. Tapi tak ada makanan yang keluar. Segera aku berlari
ke dalam pondok dan kugedor pintu kamar pemiliknya. Tapi kamar itu kosong, seperti
tak pernah dihuni. Kamar-kamar lain juga sama kosongnya. Aku lantas menuju dapur
dan hanya kutemukan perabotan yang bergeletakan dan tungku dingin. Berdebu. Ke
mana perempuan iblis itu? Siapa dia sebenarnya? Aku kembali ke tempat
pertarunganku dan kudapati istri ayahmu telah sempurna matinya. Jahanam. Parasnya
kini berganti-ganti dengan pemilik pondok. Siapa dia sebenarnya?
Aku keluar dari pondok itu saat terang tanah. Bayangan kematianku memendek
pelan-pelan.

Kuda-kuda
Setelah pertarungan itu aku masih tetap memburumu, tapi kau benar-benar sirna
dari kampung itu. Pikiranku mulai dirambati keputusasaan. Sedang racun makanan
mahalezat itu terus menggerogotiku. Ugghh... Akhirnya aku mengasingkan diri ke
peristirahatan ini. Aku yakin kau punya cukup alasan untuk mencariku. Maka aku
menantimu. Akulah buruanmu kini. Buruan yang tak meminta belas kasihan. Kecuali
maaf seluas langit dan bumi. Kini, pasang kuda-kudamu, Anak Kemarin Sore! Beri aku
pertarungan terbaik!

Kembangan Selatan, 2008

Zen Hae bermukim di Jakarta. Ia telah menerbitkan kumpulan cerita pendek Rumah
Kawin (KataKita, 2004) dan kumpulan puisi Paus Merah Jambu (Akar Indonesia, 2007).

S-ar putea să vă placă și