Sunteți pe pagina 1din 15

1

Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4



PERSEPSI WAJIB PAJAK UMKM TERHADAP KECENDERUNGAN NEGOSIASI
KEWAJIBAN MEMBAYAR PAJAK TERKAIT PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 46 TAHUN 2013

Titik Setyaningsih
Ahmad Ridwan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
titiks_dream@yahoo.co.id
eri_sth@yahoo.com

Abstract
The exsplorative case study aims at providing taxpayer perceptions of SMEs to the
tendency of negotiations their obligation to pay taxes after the issuance of Government
Regulation Number 46 year 2013. Indonesian taxation trying to improve its image, but
the approach to taxation of SMEs especially in the presence of Government Regulation
Number 46 year 2013 changed SMEs perception, particularly the perceptions of the
public taxpayer. Data were gathered through questionnaire and semi-structured
interview with 50 participants SMEs in Surakarta. The finding is SMEs generally do not
have understandability about taxes and they also do not understand about tax
calculation procedures. Participants undertake their obligation to pay taxes because
there is no other choice except to pay it. Participants also tend to negotiate their taxes. In
addition, participants were weighed down by Regulation No. 46 year 2013, which
impose taxes on SMEs that final 1% of gross turnover. Limitations of this study is the
data is not supported by real observation about participants activities. Nevertheless, this
study has a value of originality that participants doubt the benefits of the taxes.
However, this study recommends a revision of Government Regulation No. 46 year
2013, transparency in the field of taxation should be increased, and the bottom -up
approach should be taken before regulation issued by the government, especially
considering the economic capability of SMEs.

Keywords: Perceptions, Negotiation, Tax Payer, The SMEs, Government Regulation.

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Wajah perpajakan Indonesia telah diperbaharui sedemikian rupa sehingga
dapat menarik hati setiap Warga Negara Indonesia untuk patuh menjalankan
kewajibannya dalam membayar pajak. Iklan perpajakan disosialisasikan dengan
dokumentasi yang menarik. Rakyat bahkan dikatakan hebat jika berani
membayar pajak. Account representatif di KPP juga membantu Wajib Pajak (WP)
untuk menghitung dan melaporkan jumlah pajak yang terutang. Sensus
Perpajakan Nasional ditingkatkan untuk mendukung naiknya devisa negara
melalui pajak. Namun, di tengah perbaikan citra perpajakan di Indonesia,
korupsi tetap membayangi denyut nadi pemerintahan, termasuk dalam masalah
pajak.
Kasus Gayus Tambunan yang meledak pada Bulan April 2010 telah
mencoreng wajah dunia perpajakan Indonesia. Kasus ini sangat menyedot dan
menarik perhatian semua kalangan di Indonesia. Bagaimana tidak, Pegawai
Negeri Sipil golongan IIIA mampu menggelapkan pajak hingga milyaran rupiah.
Kasus penggelapan pajak yang jumlahnya diduga sangat besar, menandingi
kasus pajak Gayus Tambunan, yang melibatkan seorang pegawai Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) inisial DA juga mencuat berawal dari hasil laporan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengungkap bahwa
DA mempunyai dana miliaran rupiah di beberapa bank.
Perekonomian Indonesia sesungguhnya secara riil digerakkan oleh para
pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Kelompok usaha ini telah



2
Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4
terbukti mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan
Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan ekspor. Kontribusinya secara total
dalam PDB sebesar 55,6%, mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 96,18%
dengan nilai investasi 52,9% dan kinerja ekspor non migas mencapai 20,2%
(Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah 2009). Dari
besarnya penerimaan negara yang berasal dari sektor UMKM, maka akan
berpotensi besar pula jumlah penerimaan pajak dari sektor tersebut. Jumlah
UMKM yang dari tahun ke tahun semakin menjamur, memberikan peluang
kepada pemerintah untuk membidik sektor ini dalam upaya ekstensifikasi pajak.
Namun, hal tersebut tidak mudah karena dimungkinkan adanya berbagai
penafsiran dari Wajib Pajak UMKM dalam hal perpajakannya. Dan fakta di
lapangan menunjukkan tumbuhnya UMKM tidak seiring dengan jumlah
kenaikan penerimaan pajak (DJP, 2009).
Seorang Wajib Pajak memiliki hak dan kewajiban dalam perpajakan. Sesuai
sistem pemungutan pajak yang dianut oleh Negara Indonesia, yaitu self
assessment system, maka Wajib Pajak-lah yang diberikan wewenang,
kepercayaan dan tanggungjawab untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Wajib
pajak kadang-kadang perlu melakukan negosiasi untuk mengurangi jumlah
pajak terutang akibat kekeliruan dalam menghitung, memperhitungkan,
menyetor dan melapor pajak (Resmi 2007).
Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih,
mengorganisasikan, menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita dan proses
tersebut mempengaruhi perilaku kita (Baron dan Paul B. 1991). Persepsi
ditentukan oleh faktor personal dan situasional. Persepsi merupakan aktivitas
mengindera, mengintegrasikan, memberikan penilaian pada obyek-obyek fisik
maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada stimulus fisik
dan stimulus sosial yang ada di lingkungan. Persepsi membantu individu
memilih, mengorganisasi, menyimpan, menafsirkan rangsangan dalam rangka
mencari makna tentang dunia, dan karena setiap orang memberikan rangsangan
yang berbeda, maka individu yang berbeda melihat hal yang sama dengan cara
yang berbeda (Robbin 2001). Fenomena kasus penggelapan pajak yang cenderung
berulang ini meninggalkan ingatan dan persepsi masyarakat pembayar pajak.
Selain itu, dirjen pajak juga mulai memperhitungkan agar target pemasukan
pajak UMKM bisa terpenuhi dengan berlakunya PP Nomor 46 tahun 2013 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Peraturan Pemerintah ini
dikenal sebagai pajak UMKM yang menetapkan pajak final sebesar 1% dari
peredaran bruto.
Berdasarkan penelitian Ekawati dan Radianto (2008) yang melakukan
penelitian survey terhadap pemahaman dan kepatuhan Wajib Pajak Usaha Mikro
Kecil dan Menengah di Yogyakarta menunjukkan bahwa secara keseluruhan
Wajib Pajak UMKM paham dan patuh dalam melakukan kewajiban perpajakan.
Penelitian Mutiah M dkk (2011) mengintepretasikan Wajib Pajak UMKM dengan
meneliti interpretasi mereka tentang pajak yang berangkat dari kurang
terampilnya mereka menyusun laporan keuangan, yang kemudian berdampak
pada kesulitan cara menghitung pajak yang terutang. Temuan Mutiah M dkk
(2011) menginterpretasikan pajak menurut Wajib Pajak UMKM hampir sudah
mengena terhadap substansi dari pajak itu sendiri meliputi (suatu kewajiban,
digunakan untuk pengeluaran umum dan didasarkan pada undang-undang), hal
ini mengindikasikan bahwa, Wajib Pajak UMKM cukup paham terhadap
substansi pajak. Penelitian ini berusaha mengembangkan penelitian sebelumnya
dengan fenomena kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2013 yang
dikenal dengan pajak untuk UMKM, dengan melihat apakah ada kecenderungan
Wajib Pajak UMKM untuk menegosiasikan kewajiban membayar pajak. Penelitian
ini memberi kontribusi bagi Dirjen Pajak untuk meningkatkan kualitas sosialisasi



3
Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4
perpajakan yang lebih baik, serta memberi kontribusi bagi penelitian di bidang
perpajakan berikutnya.

A. Perumusan Masalah

Berdasarkan pemikiran di atas maka perumusan masalahnya adalah
bagaimana persepsi wajib pajak UMKM terhadap kecenderungan negosiasi
kewajiban membayar pajak terkait PP No 46 Tahun 2013?

1.2 Tujuan Penelitian
Mengetahui persepsi wajib pajak UMKM terhadap kecenderungan negosiasi
kewajiban membayar pajak terkait PP No 46 Tahun 2013.

1.3 Kontribusi Penelitian
1 Bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan kualitas
sosialisasi perpajakan.
2 Bagi penelitian di bidang perpajakan selanjutnya.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Persepsi
Individu menggunakan lima panca indera untuk mempunyai pengalaman
dengan lingkungan. Persepsi membantu individu memilih, mengorganisasi,
menyimpan, menafsirkan rangsangan dalam rangka mencari makna tentang
dunia, dan karena setiap orang memberikan rangsangan yang berbeda, maka
individu yang berbeda melihat hal yang sama dengan cara yang berbeda (Robbin
2001).
Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih,
mengorganisasikan, menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita dan proses
tersebut mempengaruhi perilaku kita (Baron dan Paul B 1991). Persepsi
ditentukan oleh faktor personal dan situasional. Persepsi merupakan aktivitas
mengindera, mengintegrasikan, memberikan penilaian pada obyek-obyek fisik
maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada stimulus
fisik dan stimulus sosial yang ada di lingkungan.

2.2 Pengertian Pajak
Definisi pajak menurut UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan pasal 1 ayat (1) adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Sedangkan menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH,
pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (kontraprestasi)
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum (Mardiasmo 2008). Ciri-ciri yang melekat pada definisi pajak
adalah:
a. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang serta
aturan pelaksanaan.
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah.
c. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah
d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila
dari pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai
public investment.





4
Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4
2.3 Kewajiban dan Hak Wajib Pajak UMKM
Kewajiban perpajakan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib
Pajak dalam hal perpajakannya, baik Wajib Pajak orang pribadi maupun badan.
Setiap Wajib Pajak mempunyai kewajiban perpajakan yang berbeda, karena terdapat
kriteria-kriteria tertentu untuk tiap golongan Wajib Pajak termasuk untuk Wajib
Pajak UMKM. Kewajiban perpajakan untuk Wajib Pajak UMKM adalah sebagai
berikut:
a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
b. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar
c. Mengisi dengan benar SPT dan melaporkannya dalam batas waktu yang
telah ditentukan.
d. Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan
e. Melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Sedangkan, hak-hak Wajib Pajak menurut Mardiasmo (2008:54) meliputi:
a. Mengajukan surat keberatan dan surat banding.
b. Menerima tanda bukti pemasukan SPT
c. Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukkan.
d. Mengajukan permohonan penundaan pemasukan SPT.
e. Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran
pajak.
f. Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat
ketetapan pajak.
g. Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
h. Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta
pembetulan surat ketetapan pajak yang salah.
i. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya.
j. Apabila Wajib Pajak dipotong oleh pemberi kerja, Wajib Pajak berhak
meminta bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada pemotong pajak,
mengajukan surat keberatan dan permohonan pajak.
k. Hak mendapatkan pelayanan perpajakan gratis.
l. Hak kerahasiaan bagi wajib pajak.
m. Hak mendapatkan insentif perpajakan.

2.4 Tarif Pajak sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2013
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 berisi tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu. Tujuan PP 46 tahun 2013 adalah adanya
kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan,
meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan bagi masyarakat, dan
terciptanya kondisi kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Hasil yang
diharapkan adalah penerimaan pajak yang meningkat sehingga kesempatan untuk
mensejahterakan masyarakat meningkat.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 berdasarkan pada Pasal 17 ayat
(7) UU PPh dan Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang (UU) No 36 Tahun 2008
tentang pajak penghasilan (PPh) Pasal 17 ayat (7). Dengan Peraturan Pemerintah
tersebut dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penjelasan Pasal 17 ayat (7) UU PPh.
Ketentuan dalam ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan
tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif
pajak tertinggi sebagaimana diatur dalam ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri
tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan
dalam pengenaan pajak.
Pasal 4 ayat (2) huruf e UU No 36 Tahun 2008 menyebutkan bahwa
penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final (e). penghasilan tertentu
lainnya; yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pasal 4 ayat (2)



5
Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4
UU PPh lebih banyak mengatur jenis penghasilan. Belum ada yang mengatur
kelompok Wajib Pajak. Tetapi PP 46 tahun 2013 mengatur kelompok Wajib Pajak
yang memiliki omset dibawah Rp.4,8 milyar. Artinya, baru kali ini ada PPh Final atas
kelompok Wajib Pajak. PP 46 tahun 2013 berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
antara lain: (1) perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan
tabungan masyarakat; (2) kesederhanaan dalam pemungutan pajak; (3) berkurangnya
beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 mengklasifikasikan omset UMKM sebagai
berikut: (a) Usaha Mikro omset sampai dengan Rp.300 juta; (b) Usaha Kecil omset
Rp.300 juta sampai dengan Rp.2,5 milyar ; (c) Usaha Menengah omset Rp. 2,5 milyar
sampai dengan Rp 50 milyar
Angka omset 4,8 Milyar diperoleh dengan memperhatikan batasan omset yang
mendapatkan fasilitas diskon tarif 50% di Pasal 31E UU No 36 Tahun 2008. Omset
Rp 4,8 milyar kemudian menjadi batasan di perpajakan untuk UMKM.
Alasan penambahan Pasal 31E UU No 36 Tahun 2008 memang fasilitas ini
untuk UMKM tetapi tidak semua Wajib Pajak yang memiliki omset UMKM dapat
menikmati fasilitas PPh Final 1%. Ada Wajib Pajak yang tidak dapat memanfaatkan
fasilitas PP 46 Tahun 2013.
Wajib Pajak yang dapat menikmati fasilitas PPh Final 1%, yaitu:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi, dan
b. Wajib Pajak Badan,
kecuali BUT yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam satu tahun.
Wajib Pajak yang tidak dapat menikmati fasilitas PPh Final 1%, yaitu:
a. Wajib Pajak berbentuk BUT;
b. Memiliki omset lebih Rp4.800.000.000,00 dalam satu tahun;
c. Memiliki jenis penghasilan yang telah dikenakan PPh Final, seperti: jasa
konstruksi, sewa, bunga;
d. Memiliki jenis penghasilan sasa sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi: d.1.
tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
d.2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
d.3. olahragawan;
d.4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
d.5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
d.6. agen iklan;
d.7. pengawas atau pengelola proyek;
d.8. perantara;
d.9. petugas penjaja barang dagangan;
d.10. agen asuransi;
d.11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing)
atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
e. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha yang menggunakan
sarana yang dapat dibongkar pasang dan menggunakan tempat yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan;
f. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi.
Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4,8 Milyar ditentukan berdasarkan
peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk
peredaran bruto dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri; usaha yang atas penghasilannya telah
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan perpajakan tersendiri; dan penghasilan yang dikecualikan
sebagai obyek pajak.
Ketentuan tentang kompensasi kerugian adalah berturut-turut sampai dengan
5 tahun, tahun dikenai PPh final 1% tetap menjadi bagian dari periode 5 tahun



6
Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4
tersebut. Kerugian pada tahun dikenai PPh final 1% tidak dapat dikompensasikan
pada tahun berikutnya.
Penyetoran paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa
pajak berakhir. Surat Setoran Pajak (SSP) sekaligus berfungsi sebagai Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan jika SSP telah divalidasi sebagai
laporan PPh Pasal 4 ayat (2). Wajib Pajak dengan jumlah PPh Pasal 4 ayat (2) NIHIL
tidak wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2). Penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah masa
pajak berakhir.

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian Ekawati dan Radianto (2008) yang melakukan penelitian survey
terhadap pemahaman dan kepatuhan Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil dan Menengah
di Yogyakarta menunjukkan bahwa secara keseluruhan Wajib Pajak UMKM paham
dan patuh dalam melakukan kewajiban perpajakan. Penelitian Mutiah M dkk (2011)
menginterpretasikan pajak menurut Wajib Pajak UMKM hampir sudah mengena
terhadap substansi dari pajak itu sendiri meliputi (suatu kewajiban, digunakan untuk
pengeluaran umum dan didasarkan pada undang-undang). Hal ini mengindikasikan
bahwa, Wajib Pajak UMKM cukup paham terhadap substansi pajak.


3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian

Metode kualitatif dipakai dalam penelitian ini untuk mengeksplorasi pengertian
yang lebih baik mengenai fenomena. Kelebihan dari metode kualitatif adalah
kemampuan menganalisa lingkungan secara natural (Sekaran 2003).
Cresswell (2010) menjelaskan ada lima tipe penelitian kualitatif yaitu studi
fenomenologi, studi etnografi, grounded theory qualitative research, studi biografi, dan
studi kasus (case study).

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi mengacu pada keseluruhan kelompok orang, kejadian, atau hal minat
yang ingin peneliti investigasi (Sekaran 2003). Populasi penelitian ini adalah Wajib
Pajak UMKM di Surakarta baik perorangan maupun badan.
Sampel adalah sebagian dari populasi (Sekaran 2003). Dengan mempelajari
sampel, peneliti akan mampu menarik kesimpulan yang dapat digeneralisasi terhadap
populasi penelitian. Daripada memperoleh informasi dari mereka yang paling siap
atau bersedia, terkadang perlu untuk mendapatkan informasi dari kelompok sasaran
spesifik. Pengambilan sampel ini terbatas pada jenis orang/badan tertentu yang dapat
memberikan informasi yang diinginkan. Oleh karena itu sampel penelitian ini adalah
purposive sampling (Sekaran 2003).

3.3 Pengumpulan Data

Data kualitatif dikumpulkan dengan nonnumeric form. Contoh yang paling
umum adalah transkrip interview, rekaman video/audio, gambar, dokumen
pelaporan, notulen rapat dan e-mail. Yang paling umum dari data kualitatif adalah
apa yang orang katakan dan yang dikerjakan (Lewins et al 2005). Pengumpulan data
dilakukan dengan kuesioner yang disampaikan kepada 50 partisipan. Kuesioner
berisi pertanyaan tertutup sehingga partisipan hanya menjawab mulai dari Sangat
Setuju, Setuju, Tidak Setuju dan Sangat Tidak Setuju. Penelitian ini juga
mengumpulkan data wawancara langsung dan mendalam dengan partisipan.
Wawancara langsung dilakukan untuk mengurangi kekurangpahaman partisipan
atas pertanyaan yang terstruktur.



7
Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4

3.4 Teknik Analisis Data
Menurut Sekaran (2003) triangulasi adalah teknik untuk reliabilitas dan
validitas data kualitatif yang mensyaratkan bahwa penelitian didasarkan dari persepsi
yang beragam. Untuk mengendalikan bias menurut Prastowo (2012) dengan cara
meminta seseorang menjadi devils advocate yang mengajukan pertanyaan kritis
terhadap pengumpulan dan analisis data yang sudah tersedia dan melakukan cek
dan ricek terhadap data. Untuk menghindari bias penelitian ini dilakukan dengan
cara menggunakan lebih dari satu orang dalam pengumpulan dan analisis data
(researcher triangulation), selain itu data akan dibandingkan antara data kuantitatif
yang berwujud score yang didapat dari pengumpulan data kuesioner dengan data
kualitatif yang didapatkan dari wawancara (triangulasi data). Data ditabulasi dan
dianalisis dengan general descriptive analysis. Hasil kuesioner dinyatakan dalam
score (quantitative data). Interpretasi atas score untuk menjawab rumusan masalah
didasarkan catatan pernyataan partisipan melalui wawancara semi-terstruktur
(qualitative data). Hal ini sesuai pernyataan Dul dan Tony (2008) di bawah ini:
Although in a case study quantitative data can be used to generate the scores to
be analysed, the interpretation of scores of the (small number of ) cases in order to
generate the outcome of the study is done qualitatively (by visual inspection) and
not statistically.


4. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data
4.1.1 Obyek Penelitian

Sasaran penelitian adalah Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) dan Wajib Pajak
Badan (WP Badan) yang mewakili usaha kecil dan menengah di kota Surakarta.
Terdapat 50 data yang terdiri dari 32 WP OP dan 18 WP Badan.

4.1.2 Pengumpulan Data Partisipan
Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner dan wawancara langsung
(wawancara semi-terstruktur) terhadap partisipan. Kegiatan tersebut berlangsung
selama 4 bulan yaitu Juni, Juli, Agustus dan September 2013. Wawancara langsung
dilakukan untuk mengurangi kekurangpahaman partisipan atas pertanyaan yang
disiapkan. Penulis mencatat respon berupa pernyataan yang diberikan partisipan dan
membaca dokumen pendukung yang ditemukan selama melakukan penelitian.
Wajib Pajak Orang Pribadi kota Surakarta yang bersedia memberikan
pernyataan melalui wawancara semi-terstruktur ada 4 partisipan yaitu DS, AO, CH
dan K . Partisipan WP Badan yang memberikan pernyataan melalui indepth interview
yaitu B1, B7, B11 dan B14. Pernyataan partisipan dicatat oleh peneliti ketika
wawancara berlangsung, hal ini dikarenakan partisipan merasa lebih nyaman
menjawab pertanyaan wawancara dalam kondisi tidak direkam selama memberikan
pernyataan tersebut.

4.2 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Kuesioner yang telah dijawab oleh WP OP dan WP Badan terlihat pada tabel 1.
Peraturan perpajakan secara umum tidak sepenuhnya dipahami oleh pelaku UMKM,
hanya sekitar 24 partisipan (48%) saja yang paham. Demikian pula pada pemahaman
tata cara perhitungan pajak terutang, hanya dipahami 22 partisipan atau sekitar 46%
saja. Partisipan UMKM menyatakan pernah mendapat Surat Tagihan Pajak (STP)
yaitu 27 partisipan (54%). Hal ini didukung dengan pernyataan DS yang
mengemukakan bahwa DS pernah menerima surat tagihan pajak dari KPP terutama
untuk mengangsur pajak pasal 25.
Secara umum partisipan UMKM menyadari bahwa SPT harus disampaikan
tepat waktu (62%) walaupun mereka tidak sepenuhnya memahami tata cara
perhitungan pajak terutang. Mereka berupaya untuk memahami peraturan



8
Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4
perpajakan dengan cara mengikuti pelatihan pajak, seminar atau sosialisasi
perpajakan, namun mayoritas UMKM masih setor seadanya (tabel 2). Penyetoran
pajak seadanya didukung indepth interview berikut:

Waktu itu Saya mencoba menjawab bahwa Saya masih merugi. Bagaimana
jika Saya tidak bayar pajak dulu? Terus dijawab Account Representatif-nya: ya
pokoknya diusahakan bayar. Ya kalau begitu bisanya Saya bayar sepuluh ribu
saja per bulan Mbak. Dan akhirnya ya Saya bayar segitu. (DS)

Cara membayar pajak dilakukan oleh partisipan dengan menghitung
penghasilan kena pajak dikalikan tarif pajak yang berlaku, ada pula partisipan yang
membayar sesuai tagihan atau mengangsur pajak terutang. Sebanyak 4 partisipan
membayar pajak secara langsung dipotong saat penghasilan diterima. Hal ini
mengindikasikan bahwa WP UMKM tidak sepenuhnya memahami mana yang
merupakan pajak yang bersifat final dan mana yang tidak final (Tabel 3).
Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 mengatur kelompok Wajib Pajak
yang memiliki omset di bawah Rp.4,8 milyar terutama UMKM yang menetapkan tarif
pajak final sebesar 1% dari peredaran Bruto. Sebanyak 31 partisipan (62%)
menyatakan tidak setuju dengan peraturan baru ini (Tabel 1). Setelah digali lebih
dalam ternyata pelaku usaha UMKM yang merasa keberatan ada 43 partisipan, 5
partisipan mempertanyakan apakah omset sama dengan penghasilan (Tabel 4). Yang
menarik adalah 2 partisipan menyetujui adanya tarif pajak UMKM terbaru asalkan
pajak yang mereka bayarkan jelas penggunaannya. Hal ini didukung oleh indepth
interview berikut:
Memangnya omset bisa menjadi tolok ukur untuk bayar pajak? Omset yang
kami peroleh masih dikurangi biaya usaha. Yang paling besar tentu
pengeluaran gaji. Yang bayar gaji kami apa pemerintah? Kalau kami tidak
menaikkan gaji maka pelaku usaha diprotes? Tidak bayar pajak diprotes?
Usaha kami tidak selamanya menguntungkan. Kalau rugi, kok tidak ada
kompensasi kerugian seperti perusahaan besar (yang katanya tadi omset di
atas 4,8 Milyar ada hitungan kompensasi kerugian?). Jadi sebetulnya pajak
untuk UMKM ini untuk sekedar memenuhi target pemasukan KPP saja? (B11)

Tarif 1% dari peredaran bruto itu menambah beban tersendiri bagi UMKM.
Kami para pelaku usaha yang tidak selalu punya omset besar juga harus
ditarik iuran untuk pembangunan jalan. Padahal yang lebih banyak
memanfaatkan fasilitas jalan itu kan perusahaan besar, kami yang masih
belajar usaha juga turut membantu. Padahal itu kan seharusnya kewajiban
pemerintah menyediakan sarana yang membantu UMKM, bukannya
membantu tapi malah menetapkan tarif pajak dengan ketentuan seperti itu
yang justru sama sekali tidak menguntungkan usaha kami. (B14)

Saya sebenarnya belum mencermati betul terkait aturannya. Tapi saya
merasa bahwa itu sangat memberatkan. Apakah tidak mungkin jika
mengoptimalkan pajak yang ada saja. Karena itu saja kan keliatannya belum
optimal. Apalagi kalo targetnya adalah pengusaha kecil. Ini terlihat sekali
seperti babat alas dalam rangka meningkatkan pemasukan negara melalui
sektor pajak. Bagi masyarakat awam yang tidak mengetahui secara
keseluruhan, saya rasa akan berpendapat seperti yang saya kemukakan tadi.
(B7)

Pajak 1% dari omset bulanan itu besar. Belum lagi pendapatan kami sudah
habis untuk biaya operasional, makan keluarga, gaji karyawan, dan bayar
utang bank. Saya menolak peraturan ini. Fasilitas apa yang sudah diberikan
pemerintah? Katanya pemerintah mendorong untuk kami bisa ekspor, kalau
dibebani pajak begini, mana bisa? (K)




9
Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4
Tabel 1 menunjukkan bahwa partisipan (60%) cenderung menyetujui praktik
negosiasi pajak. Partisipan AO mengemukakan:
Peraturan terbaru katanya menghitung 1% dari peredaran bruto, itu berarti
kan kami (para pelaku usaha) tidak boleh melaporkan tidak bayar pajak (nihil) kan?
Intinya kami harus bayar. Lha daripada kami juga tidak bisa bayar yang besar, kira-
kira bagaimana jika kami bisanya bayar sekian? Hal itu sudah saya kemukakan ke
KPP, dan mereka juga tidak masalah tuh.

Melalui pendekatan personal dengan Wajib Pajak terdapat semakin banyak WP
yang memiliki kecenderungan untuk negosiasi pajak. Bahkan 2 partisipan menjawab
bahwa negosiasi pajak adalah hal yang pasti (Tabel 5). Kecenderungan negosiasi
pajak pada tabel 5 diikuti dengan perilaku nyata untuk menegosiasikan besaran
pajak yang terutang seperti terlihat pada tabel 6. Berdasarkan tabel 6 sebanyak 31
WP ternyata pernah melakukan praktik negosiasi pajak. Hal ini mengakibatkan
partisipan (52%) memiliki keraguan akan manfaat pajak sebagaimana ditunjukkan
tabel 1.
Pada Tabel 1 Pajak yang seharusnya bermanfaat untuk pembangunan sarana-
prasarana, pendidikan, kesehatan dan lain-lain untuk kesejahteraan rakyat
diragukan sekitar 24 partisipan. Pernyataan ini sebagai imbas dari kurangnya
pemahaman perpajakan secara umum, sehingga partisipan juga kurang memahami
bahwa pajak merupakan kontribusi wajib kepada Negara yang bisa dipaksakan
dengan Undang-Undang dengan tidak mendapat imbal balik (kontraprestasi) secara
langsung. Sebanyak 30 partisipan membayar pajak karena tidak ada pilihan kecuali
harus bayar, 4 partisipan menginginkan tidak terjadi masalah dengan pajak, sisanya
melakukan pembayaran pajak untuk menggugurkan kewajiban (Tabel 7). Fenomena
ini wajar terjadi dalam iklim organisasi perpajakan yang belum bisa mewujudkan
transparansi perpajakan sehingga kasus korupsi pegawai pajak masih belum
sepenuhnya terhapus dari ingatan masyarakat.
Saya pernah nego harus bayar pajak berapa, apa salahnya nego pajak sesuai
kemampuan kita? Lagipula mereka (pegawai pajak) setuju besaran pajak yang
bisa Saya bayar. Saya nggak ngerti uang pajak ini larinya kemana? Dikorupsi
oleh pegawai pajak atau oleh pemerintah sendiri, mana saya tahu? (CH)

Saya sebenarnya keberatan, tapi bagaimana lagi kalau peraturannya begitu?
Yang ingin Saya tanyakan adalah apa gunanya penghasilan tidak kena pajak
bagi WP OP? Kalau SSP NIHIL pasti tidak boleh, kalau kita rugi kira-kira siapa
yang mau peduli? Pemerintah atau dirjen pajak? Sedangkan pemerintah dan
dirjen pajak saja tidak bersih dari korupsi. (AO)

Bagi saya pribadi sih sebenarnya tidak setuju. Tapi melihat kenyataan di
lapangan, terkadang memang ada peluang untuk di negosiasikan. Sebatas itu
tidak menyalahi aturan dan apalagi di acc oleh AR berarti kan seharusnya
tidak jadi masalah. Itupun saya lakukan karena memang terpaksa dan ada
peluang. Artinya terkadang aturan perpajakan memberatkan di hal-hal
tertentu. Kalo tidak kita lakukan negosiasi maka saya menganggap itu sebagai
kerugian karena ada peluang yang tidak kita ambil. Tapi ya itu, yang penting
tidak menyalahi aturan perpajakan yang berlaku. (B1)

Kalo kepercayaan kepada pegawai pajak tidak menurun aja biasanya ada
negosiasi. Apalagi kalo kepercayaan kepada pegawai pajak menurun, berarti
kecenderungannya lebih besar lagi dong. Ya kan? Ya Saya pernah nego pajak-
lah, tapi menurut saya terkadang itu bukan negosiasi pajak tapi lebih kepada
proses perencanaan terkait pajak yang akan kita bayarkan karena pajak kalo
tidak fleksibel kan jadi memberatkan WP. Itu sih menurut pendapat saya aja.
(B7)





10
Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4
Hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian sebelumnya (Ekawati dan
Radianto 2008, Mutiah dkk 2011). Partisipan tidak sepenuhnya paham perpajakan
yang berlaku dan walaupun beberapa partisipan telah mengena pada subtansi pajak
namun alasan partisipan biar tidak ada masalah atau karena tidak punya pilihan
yang mengakibatkan pada penyetoran pajak yang seadanya mengindikasikan bahwa
partisipan sekedar berusaha menggugurkan kewajibannya.
Pengenaan PPh atas UMKM berdasar PP No 46 Tahun 2013 adalah 1% dari
peredaran bruto dan bersifat final. PPh Final karena memang pengenaannya bersifat
flat. Tarif tunggal langsung dikalikan dengan penghasilan bruto. Keunggulan model
flat adalah kesederhanaan cara menghitung pajak terutang. Sedangkan
kekurangannya karena tidak ada istilah rugi. Pajak seharusnya proporsional,
memperhatikan kecil dan besar kemampuan membayar pajak warga negara, dari
pusat sampai daerah. Pungutan pajak seharusnya memenuhi persyaratan antara
lain: adil, berdasar UU, efisien, tidak mengganggu perekonomian dan sederhana.
Unsur kesederhanaan barangkali yang menjadi tujuan PP 46 tahun 2013 namun
pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu
kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa.
Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan
menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil
dan menengah. Dengan tidak diperhatikannya Penghasilan tidak kena pajak (PTKP)
bagi WP OP (Orang Pribadi) dan tidak dipedulikannya nominal kerugian yang diderita
WP Badan khususnya untuk UMKM, maka PP No 46 tahun 2013 menghendaki tidak
adanya SSP Nihil karena perhitungan 1% dari peredaran bruto dengan sendirinya
menghasilkan angka pajak terutang.
Menurut W.J Langen, pajak berdasar asas daya pikul artinya besar kecilnya
pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak.
Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan. Mengingat
pula bahwa obyek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas
penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak darimana
pun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan
wajib pajak tersebut. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk
konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena
Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan
untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu
Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali
kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis
penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari
Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan
penghasilan lain yang dikenakan tarif umum. Oleh karena itu PP 46 tahun 2013
harus direvisi secara spesifik dikaitkan dengan penghasilan, bukan dengan peredaran
bruto dan seharusnya bersifat tidak final supaya ada perlakuan kompensasi
kerugian jika UMKM memang dalam kondisi merugi.

5. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan data di atas, penelitian ini memberikan
kesimpulan yang pertama, pastisipan UMKM belum memahami perpajakan secara
umum serta tata cara perhitungan pajak. Kedua, pelaku usaha UMKM kurang
memahami mana yang merupakan pajak yang bersifat final dan mana pajak yang
bersifat tidak final. Ketiga, partisipan merasa terbebani dengan berlakunya ketentuan



11
Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4
PP No 46 Tahun 2013 dan cenderung melakukan negosiasi pajak. Keempat,
partisipan melakukan kewajiban membayar pajak karena merasa tidak ada pilihan
lain kecuali harus membayar, semua itu dilakukan karena untuk menggugurkan
kewajiban membayar pajak. Kelima, manfaat pajak diragukan oleh partisipan karena
mereka tidak tahu pajak yang mereka bayarkan apakah benar-benar dipergunakan
untuk kesejahteraan rakyat ataukah justru dikorupsi oleh pegawai pajak atau oleh
pemerintah.

5.2 Keterbatasan
Keterbatasan dari penelitian ini adalah yang pertama, kuesioner dan wawancara
yang menjadi sumber analisis dan pembahasan penelitian tidak berasal dari bukti riil
berupa pemantauan langsung (observation) aktivitas obyek penelitian. Kedua, desain
kuesioner dan protokol wawancara terkait negosiasi pajak seringkali dipersepsikan
berbeda oleh partisipan sehingga partisipan ada yang tidak berani menjawab.
Beberapa keterbatasan tersebut perlu menjadi pertimbangan dalam mendesain riset
dengan topik yang sama di masa yang akan datang.

5.3 Rekomendasi
Penelitian ini dapat dijadikan evaluasi atas implementasi PP No 46 Tahun 2013.
Terdapat beberapa hal yang direkomendasikan yaitu:
1. Melakukan revisi atas PP 46 tahun 2013
2. Meningkatkan transparansi di bidang perpajakan sehingga menjadi jelas
aliran perpajakan digunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
3. Memulai pendekatan suara rakyat sehingga peraturan-peraturan yang
dikeluarkan pemerintah mempertimbangkan kemampuan ekonomis rakyat
terutama sektor UMKM.


DAFTAR PUSTAKA

Baron A Robert dan Paul B Paulus, Understanding human relationship, a practical
guide to people at work, 1991: 34.

Cresswell John W. 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed. Terjemahan dari Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Dul, Jan dan Tony Hak. 2008. Case Study Methodology in Business Research
Published by Elsevier Ltd. USA.

Ekawati, Liana dan Radianto, Dwi E.W. 2008. Survey Pemahaman dan Kepatuhan
Wajib Pajak Usaha Kecil dan Menengah Di Kota Yogyakarta. Jurnal
Terakreditasi Teknologi dan Manajemen Informatika Vol:6 Edisi Khusus: 185-
190

Kementrian Koperasi dan UMKM 2009 http://www.smecda.com

Mardiasmo. 2008. Perpajakan. Yogyakarta: Andi

Mutiah M dkk 2011. Interpretasi Pajak dan Implikasinya menurut Perspektif Wajib
Pajak Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Sebuah studi interpretif) disampaikan
dalam SNA XIV-Aceh

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu diakses dari www.ortax.org 28 Oktober 2013.




12
Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4
Prastowo, Andi. 2012. Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan
Penelitian. Cetakan II, Yogyakarta: Ar Ruzz Media.

Resmi, Siti. 2007 Perpajakan, Teori dan Kasus. Jakarta:Salemba Empat

Sekaran, Uma dan Bougie, Roger. 2010. Research Method for Business, A Skill
Building Approach. Fifth Edition, New York, John Willey&Son Inc

Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.

Undang-Undang No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.







LAMPIRAN

Tabel 1
Hasil Kuesioner
No Pernyataan
Dari 50 partisipan
Setuju Tidak Setuju
1 Pemahaman perpajakan secara umum 24 (48%) 26 (52%)
2
Pemahaman tata cara perhitungan pajak
terutang 22 (44%) 28 (56%)
3 Belum Pernah Menerima SKP dan STP 23 (46%) 27 (54%)
4 Menyampaikan SPT tepat waktu 31 (62%) 19 (38%)
5
Tarif pajak final untuk UMKM 1% dari
peredaran bruto 19 (38%) 31 (62%)
6 Praktik negosiasi pajak 30 (60%) 20 (40%)
7
Pajak bermanfaat untuk kesejahteraan
masyarakat 26 (52%) 24 (48%)
Sumber: Data Primer diolah

Tabel 2
No Pernyataan
Dari 50
Partisipan
E2 Mengatasi kesulitan perhitungan pajak


a. Mengikuti Pelatihan Pajak 3

b. Mengikuti seminar/sosialisasi pajak 4

c. Tanya ke KPP 7

d. Setor seadanya 28

Sumber: Data Primer diolah

Tabel 3
No Pernyataan
Dari 50
Partisipan



13
Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4
E1 Perhitungan Pajak secara umum


a. Sesuai Tarif 14

b. Sesuai yang ditagih 25

c. Diangsur 7
d. Langsung dipotong saat penghasilan diterima 4
Sumber: Data Primer diolah










Tabel 4

No Pernyataan
Dari 50
Partisipan
E3
Tarif Pajak UMKM 1% dari peredaran bruto dan
final


a. Keberatan karena menambah beban 43

b. Mempertanyakan apakah omset sama dengan
penghasilan 5
c. Menyetujui asal jelas penggunaannya 2
Sumber: Data Primer diolah

Tabel 5

No Pernyataan
Dari 50
Partisipan
E4 Kecenderungan negosiasi pajak


a. Ada 40

b. Tidak 8
c. Pasti 2
Sumber: Data Primer diolah

Tabel 6

No Pernyataan
Dari 50
Partisipan
E5 Melakukan negosiasi pajak


a. Pernah 31

b. Tidak Pernah 15
c. Tidak menjawab 4
Sumber: Data Primer diolah




14
Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4
Tabel 7
No Pernyataan
Dari 50
Partisipan
E6 Alasan membayar pajak


a. Tidak ada pilihan 30

b. Biar usaha lancar (tidak ada masalah dengan
pajak) 4
c. Kewajiban 16
Sumber: Data Primer diolah



KERANGKA WAWANCARA

Latar Belakang
Kami mengadakan penelitian sebagai salah satu Tri Darma Perguruan Tinggi
Diploma Perpajakan Fakultas Ekonomi UNS. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui persepsi wajib pajak UMKM terhadap kecenderungan negosiasi kewajiban
membayar pajak terkait PP No 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu. Peraturan Pemerintah ini dikenal sebagai pajak UMKM
yang menetapkan pajak final sebesar 1% dari peredaran bruto.
Kami sangat mengharapkan respon Bapak/Ibu untuk menjawab pertanyaan
yang Kami ajukan. Kami mengucapkan terimakasih telah berkenan berpartisipasi
dalam penelitian ini.
Profil responden dalam laporan penelitian akan Kami junjung tinggi untuk
sangat dirahasiakan sehingga yang muncul di laporan penelitian hanyalah inisial
untuk Orang Pribadi dan (B) untuk Badan.


A. IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama : .................................................
2. NPWP : .................................................
3. Alamat (Domisili) : .................................................
4. Usia
a. Kurang dari 25 tahun
b. 26 35 tahun
c. 36 45 tahun
d. 46 55 tahun
e. 56 tahun ke atas
5. Agama
a. Islam
b. Kristen
c. Hindu
d. Budha
e. Lainnya:.......................(sebutkan)
6. Status Pernikahan
a. Sudah Menikah
b. Belum Menikah
c. Janda/ Duda
7. Jenis Kelamin

a. Laki-laki
b. Perempuan






15
Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4
8. Pendidikan
a. SMU
b. Diploma
c. Strata 1
d. Lainnya.......................(Sebutkan)
9. Pekerjaan
a. Pegawai Negeri Sipil (PNS)
b. TNI/ POLRI
c. Pegawai Swasta
d. Wiraswasta

PERTANYAAN PILIHAN

Pernyataan

Pilihan
1. Bapak/ Ibu/ Saudara memahami tata cara perpajakan secara
umum di Indonesia.
ST
S
TS S SS
2. Bapak/ Ibu/ Saudara memahami tata cara penghitungan pajak
yang terutang.
ST
S
TS S SS
3. Bapak/ Ibu/ Saudara belum pernah menerima Surat Ketetapan
Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP).
ST
S
TS S SS
4. Bapak/ Ibu/ Saudara menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
tepat pada waktunya.
ST
S
TS S SS
5. Bapak/ Ibu/ Saudara setuju mengenai aturan terbaru terkait
tarif pajak UMKM sebesar 1% yang mulai diterapkan tahun 2013.
ST
S
TS S SS
6. Bapak/ Ibu/ Saudara tidak setuju mengenai praktik untuk
negosiasi dalam pembayaran pajak.
ST
S
TS S SS
7. Bapak/ Ibu/ Saudara setuju bahwa pajak bermanfaat dalam
pembangunan baik sarana prasarana, kesehatan,
pendidikan,dan lainnya untuk kesejahteraan masyarakat.
ST
S
TS S SS



PERTANYAAN ESSAY

1. Bagaimana menghitung jumlah pajak yang terutang secara umum?
2. Apa yang Bapak/ Ibu lakukan jika mengalami kesulitan dalam menghitung
pajak?
3. Bagaimana pendapat Bapak/ Ibu mengenai aturan terbaru terkait tarif pajak
UMKM sebesar 1% yang mulai diterapkan tahun 2013?
4. Beberapa kasus korupsi menyebabkan menurunnya kepercayaan masyarakat
terhadap pegawai pajak, apakah hal ini menyebabkan adanya kecenderungan
untuk menegosiasikan kewajiban membayar pajak?
5. Pernahkah Bapak/Ibu menegosiasikan kewajiban membayar pajak? Misalnya
dalam hal apa?
6. Jika pertanyaan No. 4 dan 5 dijawab tidak, apakah yang mendasari
Bapak/Ibu mempertahankan kewajiban membayar pajak?

S-ar putea să vă placă și