Sunteți pe pagina 1din 12

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya, makalah ini dapat
diselesaikan tepat waktu.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penyusun ucapkan kepada dr. Irina Kemala
Nasution, Sp.S sebagai pembimbing di Departemen Neurologi RSUP. Haji Adam Malik
Medan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan waktunya dalam membimbing
dan membantu selama pelaksanaan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
segala kritik dan saran yang membangun atas laporan kasus ini dengan senang hati penyusun
terima. Penyusun memohon maaf atas segala kekurangan yang diperbuat dan semoga
penyusun dapat membuat makalah lain yang lebih baik di kemudian hari.
Akhir kata, penyusun berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.


Medan, 29 Maret 2013

Penyusun








iii


DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................. ii
Daftar isi ............................................................................................................................ iii
Bab I Pendahuluan ......................................................................................................... 1
Bab II Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 2
2.1. Definisi ............................................................................................................ 2
2.2. Epidemiologi ................................................................................................... 2
2.3. Etiologi ............................................................................................................ 2
2.4. Patogenesis....................................................................................................... 2
2.5. Manifestasi Klinis ............................................................................................ 4
2.6. Pemeriksaan Penunjang .................................................................................. 5
2.7. Diagnosis.......................................................................................................... 6
2.8. Penatalaksanaan .............................................................................................. 6
2.9. Prognosis ......................................................................................................... 8

BAB III Kesimpulan ......................................................................................................... 9
Daftar Pustaka ................................................................................................................. 10


1

BAB I
PENDAHULUAN


Spondilitis tuberkulosa atau tuberculosis spinal yang dikenal pula dengan nama Potts
disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang
banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap
tahunnya dikarenakan penyakit ini.
Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang
menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang
belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga
ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut
menjadi jelas.
Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan
untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3-5 tahun. Saat ini dengan
adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan
sehingga golongan umur dewsa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak.
Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang
sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada kasus-kasus tertentu diperlukan
tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang harus silakukan dengan baik sebelum
ataupun setelah penderita menajalani tindakan operatif.






2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang belakang.

2.2. Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per tahun.
Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.
Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan China yaitu dengan
penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB menular 262.000 orang dan angka
kematian 140.000 orang pertahun.
Kejadian TB ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang
palking sering terkena adalah tulang belakang yaitu terjadi hamper setengah dari kejadian TB
ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan sendi. Tuberculosis ekstrapulmonal dapat terjadi
pada 25%-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5%-10% anak
yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun, namun dapat juga 2-3 tahun
kemudian.

2.3. Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan family
Mycobacteriase. Basil tuberkul berbentuk batang lengkung, gram positif lemah yaitu sulit
untuk dihapus walaupun dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman batang tahan
asam. Hal ini disebabkan oleh karena kuman bacterium memiliki dinding sel yang tebal yang
terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak mikolat). Selain itu bersifat pleimorfik, tidak
bergerak dan tidak membentuk spora serta memiliki panjang sekitar 2-4 m.

2.4. Patogenesis
Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan cernaan
enzim lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi immunitas seluler. Jika bakteri
tidak dapat diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu.
Komponen lipid, protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik,


3

sehingga akan merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa
antigen yang dihasilkannya juga dapat juga bersifat immunosupresif.
Virulensi basil tuberkulosa dan kemampuan mekanisme pertahanan host akan
menentukan perjalanan penyakit. Pasien dengan infeksi berat mempunyai progresi yang
cepat; demam, retensi urine dan paralisis arefleksi dapat terjadi dalam hitungan hari. Respon
seluler dan kandungan protein dalam cairan serebrospinal akan tampak meningkat, tetapi
basil tuberkulosa sendiri jarang dapat diisolasi. Pasien dengan infeksi bakteri yang kurang
virulen akan menunjukkan perjalanan penyakit yang lebih lambat progresifitasnya, jarang
menimbulkan meningitis serebral dan infeksinya bersifat terlokalisasi dan terorganisasi.
Kekuatan pertahanan pasien untuk menahan infeksi bakteri tuberkulosa tergantung
dari:
1. Usia dan jenis kelamin
Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan hingga masa
pubertas. Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai kekebalan yang lemah.
Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam bentuk yang berat seperti
tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa, yang berasal dari penyebaran secara
hematogen. Setelah usia 1 tahun dan sebelum pubertas, anak yang terinfeksi dapat terkena
penyakit tuberkulosa milier atau meningitis, ataupun juga bentuk kronis lain dari infeksi
tuberkulosa seperti infeksi ke nodus limfatikus, tulang atau sendi.
Sebelum pubertas, lesi primer di paru merupakan lesi yang berada di area lokal,
walaupun kavitas seperti pada orang dewasa dapat juga dilihat pada anak-anak malnutrisi di
Afrika dan Asia, terutama perempuan usia 10-14 tahun.
Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan dalam mencegah
penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah penyebaran penyakit di
paru-paru.
Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi pada wanita
cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian meningkat
kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara
usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun.
2. Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan
resistensi terhadap penyakit.




4

3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan
tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan lain.
4. Penyakit
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia
meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.
5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)
Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan pemukiman
yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya malnutrisi, sehingga akan
menurunkan daya tahan tubuh.
6. Ras
Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau Amerika
asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini.

2.5. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun.
b. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada anak-
anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
c. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke
garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh tertekannya
radiks dorsalis di tingkat torakal.
d. Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal. Deformitas pada punggung
(gibbus).
e. Pembengkakan setempat (abses)
f. Adanya proses TBC. Kelainan neurologis yang terjadi pada 50% kasus spondilitis
tuberkulosa karena proses destruksi lanjut berupa:
i. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radiks saraf akibat penekanan medulla
spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
ii. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya
batas defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal.





5

2.6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan untuk menentukan adanya infeksi
Mycobacterium tuberculosis adalah:
a. Uji tuberkulin (Mantoux test)
Uji ini merupakan tes yang dapat mendeteksi adanya infeksi tanpa adanya manifestasi
penyakit, dapat menjadi negative ole karena anergi yang berat atau kekurangan energi
protein. Uji tuberkulin ini tidak dapat untuk menentukan adanya TB aktif.
b. Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED)
LED akan meningkat dengan hasil >100 mm/jam.
c. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada tulang belakang sangat mutlak dilaksanakan untuk
melihat kolumna vertebralis yang terinfeksi pada 25%-60% kasus. Vertebra lumbal I
paling sering terinfeksi pada bagian anterior korpus vertebrae dan menyebar ke
lapisan subkondral tulang.
Pada beberapa kasus infeksi terjadi di bagian anterior dari badan vertebrae sampai ke
diskus intervertebrae yang ditandai oleh destruksi dari end plate. Elemen posterior
biasanya juga terkena. Penyebaran ke diskus invertebrae terjadi secara langssung
sehingga menampakkan erosi pada badan vertebra anterior yang disebabkan oleh
abses jaringan lunak.
d. Computerized tomography scan (CT scan)
Dikerjakan untuk dapat menjelaskan sklerosis tulang belakang dan destruksi pada
badan vertebrae sehingga dapat menentukan kerusakan dan perluasan ekstensi
posterior jaringan yang mengalami radang, material tulang, dan untuk mendiagnosis
keterlibatan spinal posterior serta keterlibatan sacroiliac joint dan sacrum.
Hal tersebut dapat membantu memandu biopsi dan intervensi perencanaan
pembedahan. Pemeriksaan CT scan diindikasikan bila pemeriksaan radiologi hasilnya
meragukan. Gambaran CT scan pada spondilitis TB tampak kalsifikasi pada psoas
disertaai dengan adanya kalsifikasi periferal.
e. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Dilaksanakan untuk mendeteksi massa jaringan, appendicular TB, luas penyakit, dan
penyebaran subligamentous dari debris tuberculous.
f. Biopsi tulang
Bermanfaat pada kasus yang sulit, namun memerlukan tingkat pengerjaan dan
pengalaman yang tinggi serta pemeriksaan histologi yang baik. Pada pemeriksaan


6

histologi akan ditemukan nekrosis kaseosa dan formasi sel raksasa, sedangkan bakteri
tahan asam tidak ditemukan dan biakan sering memberikan hasil yang negatif.

2.7. Diagnosis
Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan klinis secara
lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB, epidemiologi, gejala klinis dan
pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern seperti X-ray, CT scan, MRI dan
ultrasound akan sangat membanti menegakkan diagnosis spondilitis TB, pemeriksaan
laboratorium dengan ditemukan basil Mycobacterium tuberculosis akan memberikan
diagnosis pasti.

2.8. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera untuk
menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi paraplegia atau defisit
neurologis. Prinsip pengobatan Pottds paraplegia yaitu:
1. Pemberian obat antituberkulosis.
2. Dekompresi medula spinalis.
3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft).
Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:
1. Terapi konservatif.
a. Tirah baring (bed rest).
b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.
c. Memperbaiki keadaan umum penderita.
d. Pengobatan antituberkulosa.Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru
yaitu:
i. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).
a) Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg, dan
Pirazinamid 1500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
b) Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu selama 4
bulan (54 kali).
ii. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan,
termasuk penderitayang kambuh.


7

a) Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,
Pirazinamid 1500 mg, danEtambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin injeksi hanya 2
bulan pertama (60 kali) dan obat lainnyaselama 3 bulan (90 kali).
b) Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250 mg 3 kali
seminggu selama 5bulan (66 kali).Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila
keadaan umum penderita bertambah baik, LED menurun danmenetap, gejala-gejala
klinis berupa nyeri dan spasme berkurang, serta gambaran radiologis
ditemukanadanya union pada vertebra.
2. Terapi operatifa.
a. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat. Biasanya 3minggu sebelum operasi, penderita diberikan obat
tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka,
debrideman, dan bone graft.
c. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI ditemukan
adanya penekanan padamedula spinalis (Ombregt, 2005).Walaupun pengobatan
kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita spondilitis tuberkulosa
tetapioperasi masih memegang peranan penting dalam beberapa hal seperti apabila
terdapat cold absces (abses dingin),lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.
a. Cold absces
Cold absces yang kecil tidak memerlukan operasi karena dapat terjadi resorbsi spontan
dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.
b. Lesi tuberkulosa
i. Debrideman fokal.
ii. Kosto-transveresektomi.
iii. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
c. Kifosis
i. Pengobatan dengan kemoterapi.
ii. Laminektomi.
iii. Kosto-transveresektomi.
iv. Operasi radikal.
v. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang.Operasi kifosis dilakukan
apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis bertendensi untuk bertambah berat,terutama
pada anak. Tindakan operatif berupa fusi posterior atau operasi radikal.




8

2.9. Prognosis
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan
kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang
diberikan.
a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis TB mengalami penurunan seiring dengan ditemukannya
kemoterapi (menjadi kurang 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh dengan
regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen
medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampit mencapai 0%.
c. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara
signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau
kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.
d. Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis TB dapat membaik secara spontan tanpa
operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan
dilakukannya operasi dini.
e. Usia
Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa
f. Fusi
Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan permanen
spondilitis tuberkulosa.













9

BAB III
KESIMPULAN

Spondilitis TB adalah merupakan masalah penyakit yang kompleks dengan
manifestasi klinis yang bervariasi. Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di
dunia telah berkurang pada beberapa dekade belakangan ini dengan adanya perbaikan
distribusi pelayanan kesehatan dan perkembangan regimen kemoterapi yang efektif, penyakit
ini akan terus menjadi suatu masalah kesehatan di negara-negara yang belum dan sedang
berkembang dimana diagnosis dan terapi tuberkulosa sistemik mungkin dapat tertunda.
Kemoterapi yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya bersifat kuratif, akan
tetapi morbiditas yang berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri dan gejala sisa
neurologis dapat dikurangi secara agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi
serta kerja sama yang baik antara pasien, keluarga dan tim kesehatan.























10

DAFTAR PUSTAKA


1. Anonim. Tuberculosis. Didapat dari
http://www.wheelessonline.com/ortho/tuberculosis. Diakses tanggal 28 Maret 2013.
2. Anonim. Tuberculosis spondylitis. Didapat dari
http://www.wheelessonline.com/ortho/tuberculousspondylitis. Diakses tanggal 28
Maret 2013.
3. Batra V. Tuberculosis. Didapat dar http:// www.emedicine.com/ped/topic2321.htm.
Diakses tanggal 28 Maret 2013.
4. Currier B.L, Eismont F.J. Infections of The Spine. In : The spine. 3rd ed.
Rothman Simeone editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 1992 : 1353-64
5. Herchline T. Tuberculosis. Didapat dari http://
www.emedicine.com/med/topic2324.htm. Diakses tanggal 28 Maret 2013.
6. Hidalgo A. Pott disease (tuberculous spondylitis). Didapat dari
http://www.emedicine.com/med/topic1902.htm. Diakses tanggal 28 Maret 2013.
7. Savant C. Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord In: Critchley E, Eisen A.,
editor. Spinal Cord Disease: Basic Science, Diagnosis and Management. London:
Springer-Verlag, 1997: 378-87
8. Utji R, Harun H. Kuman tahan asam. Dalam: Syarurahman A, Chatim A, Soebandrio
AWK. Buku ajar mikrobiologi Kedokteran. Edisi revisi. Jakarta: Binarupa Aksara;
1994.

S-ar putea să vă placă și