Sunteți pe pagina 1din 10

KAJIAN HISTOLOGI GONAD TERIPANG Phyllophorus sp.

PADA
BULAN FEBRUARI, MARET DAN APRIL 2012

Dwi Winarni
(1)
, Moch. Affandi
(1)
, Endang Dewi Masithah
(2)
, Machmudhatun Nisa
(1)
(1)
Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Airlangga,
(2)
Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas
Airlangga,
Email :dwiwinarni44@gmail.com

ABSTRACT
The aim of this study was to know the histological structure of ball sea cucumbers
(Phyllophorus sp.) gonad in February, March and April 2012. Those ball sea
cucumbers were taken from East Surabaya Coastal, 25 animals per month. Five
tubules from each gonad were fixed in neutral buffered formalin, processed by
paraffin method, and stained with hematoxylin-eosin. Histological analysis was
done in six serial cross section (4 m thick, at 40 m from one to another section)
for each tubule.
The result showed that Phyllophorus sp. has separate sexes and asynchronous
reproductive pattern. There were various stages of oocytes in the female gonads
which were classified to previtellogenic oocytes (it has diameter < 150 m),
vitellogenic oocytes (it has diameter150-350 m) and post-vitellogenic oocytes (it
has diameter> 350 m). While in the male gonads showed spermatogenic cells,
there were spermatocytes, spermatid and spermatozoa. Typically, various stages
of gametogenic cells could occupy in the same section of tubule, both in male and
female gonad. The thickness of gonadal wall was tend to be affected by lumen
diameter and it will shrink when the lumen was dominated by post-vittelogenic
oocytes in female gonads and spermatozoa in male gonads.

Key words: Phyllophorus sp. , ball sea cucumber, gonad, oocytes, spermatozoa


PENGANTAR
Teripang atau mentimun laut yang termasuk dalam kelas Holothuroidea
merupakan hasil laut yang mempunyai nilai penting dan memiliki potensi yang
cukup besar karena Indonesia memiliki perairan pantai dengan habitat teripang
yang cukup luas (Dewi et al., 2010). Teripang juga merupakan salah satu produk
perikanan yang telah lama dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat pesisir di
Indonesia, dan juga sangat dikenal di negara-negara Benua Eropa, Jepang, dan
Amerika Serikat. Akan tetapi, berdasarkan hasil pengamatan di beberapa lokasi
penangkapan teripang, mulai dirasakan bahwa peningkatan produksi dengan cara
penangkapan dari alam tidak dapat lagi dipertahankan, karena dikhawatirkan akan
merusak sumberdaya hayati (Rustam, 2006).
Menurut Anonimus (2009), pengelolaan sumberdaya teripang
memerlukan jumlah yang cukup dari pemijah (hewan dewasa yang reproduksinya
sudah matang) dan lingkungan yang sesuai agar setiap tahap dalam daur hidupnya
dapat dilalui dengan baik. Hal tersebut dapat dicapai dengan pengaturan untuk
mengendalikan mortalitas yang terjadi akibat penangkapan dan melalui budidaya.
Untuk kepentingan tersebut, diperlukan informasi mengenai siklus dan pola
reproduksi, serta faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keduanya.
Pola reproduksi merupakan gambaran tahapan reproduksi pada waktu
tertentu sedangkan siklus reproduksi merupakan pola reproduksi yang terjadi
secara teratur dan berulang seiring dengan putaran waktu. Pola reproduksi dan
siklus reproduksi ditentukan berdasar kajian tahap-tahap kematangan gonad
selama kurun waktu tertentu. Setiap spesies teripang memiliki kekhasan tersendiri
dalam setiap tahap kematangan gonad, baik dalam struktur histologi jantan
maupun betina. Misalnya pada Psolus fabricii yang memiliki ciri khas berupa
oosit mature dengan variasi diameter mulai dari 600800 m pada tahap
maturationdan tebal dinding gonad yang dipengaruhi oleh diameter lumen, yakni
semakin lebar diameter lumen maka dinding gonad akan semakin tipis (Hamel et
al., 1993). Ciri khas Psolus fabricii ini berbeda dengan Holothuria scabra yang
memiliki dinding gonad yang relatif tipis dengan diameter oosit mature sekitar
110140 m (Rasolofonirina et al., 2005).
Teripang Phyllophorus sp. atau yang lebih dikenal dengan sebutan
terung merupakan spesies yang dapat ditemukan di Pantai Timur Surabaya dan
memiliki tingkat distribusi tinggi (1,9062) dengan kelimpahan relatif 44,44%.
Selama ini terung hanya dimanfaatkan untuk dibuat makanan ringan berupa
keripik terung, meskipun ada informasi dari beberapa pengepul yang mengatakan
bahwa terung kering merupakan salah satu jenis teripang yang diekspor ke
Taiwan dan Hongkong. Dari pengamatan di lapangan, diketahui bahwa
pengambilan terung oleh nelayan dilakukan seiring dengan penangkapan ikan dan
bahwa pengambilan tidak lagi dilakukan di pinggir pantai, melainkan lebih ke
tengah, kearah laut lepas.
Belum ada informasi mengenai manfaat lain terung, sampai
dilakukannya penelitian oleh Winarni et al. (2010), meskipun sudah banyak
dilakukan penelitian-penelitian teripang spesies lain dengan bioaktivitas sebagai
anti jamur, anti mikroba, sitotoksik dan imunomodulasi (Dang et al., 2007). Di
samping itu sudah banyak pula beredar produk suplemen kesehatan impor
berbahan dasar teripang dari spesies lain. Penelitian Winarni et al.(2010) dengan
menggunakan hewan coba mencit, menunjukkan bahwa terung berpotensi sebagai
imunomodulator yang meningkatkan respons imun tubuh terhadap
Mycobacterium tuberculosis.
Dengan diketahui besarnya potensi terung dan keberadaan di habitat
alaminya, diperlukan informasi tentang pola dan siklus reproduksi untuk
kepentingan pengendalian populasi di alam dan upaya budidaya di waktu yang
akan datang. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan informasi tentang
struktur histologi gonad yang dilakukan pada bulan Pebruari, Maret dan April
2012. Dari hasil penelitian ini, paling tidak, dapat diketahui pola reproduksi
terung.

BAHAN DAN CARA KERJA
Bahan
Sampel teripang spesies Phyllophorus sp.(Gambar 1) diperoleh dari
habitat teripang di Pantai Timur Surabaya yang berada pada daerah dengan
kisaran geografis di antara 071248,71 hingga 071554,53 lintang Selatan, dan
di antara 1124816,21 hingga 1125234,97 bujur Timur. Pengambilan sampel
teripang ini dilakukan pada lokasi yang sama pada awal bulan Februari, Maret,
dan April 2012. Identifikasi spesies dilakukan di Laboratorium Ekologi
Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi.Pembuatan sediaan histologi
dilakukan di Laboratorium Histologi Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Sains
dan Teknologi, Universitas Airlangga. Semua bahan kimia yang digunakan (xylol,
etanol, formaldehid, disodium hidrogen fosfat dan sodium dihidrogen fosfat)
merupakan bahan pro analisa.



Gambar 1.Phyllophorus sp. (terung) di Pantai Timur Surabaya (Winarni et al., 2010)
Cara kerja
Pengambilan sampel teripang dilakukan dengan menggunakan tenaga
bantuan nelayan. Setiap bulan diambil 25 individu, sehingga mendapatkan 75
sampel dalam waktu tiga bulan. Sampel segar yang didapatkan dari nelayan
dibersihkan dari kotoran. Kemudian gonad dikeluarkan dari coeloem, bentuk dan
warna gonad dicatat. Berikutnya, sebanyak 5 tubulus dipotong dari gonad tersebut
dan kemudian difiksasi dalam fiksatif neutral buffered formalin selama sekurang-
kurangnya 24 jam.
Potongan tubulus kemudian diproses menjadi sediaan histologi dengan
metode parafin, dan diwarnai dengan pewarna hematoksilin eosin. Setiap satu
tubulus dibuat 6 potongan seri melintang tubulus dari arah distal, dengan
ketebalan masing-masing irisan 4 m dan jarak antar irisan 40 m. Pengamatan
histologi dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali. Data yang
diamati adalah ukuran dan frekuensi jenis-jenis oosit (previtellogenic,
vitellogenic, dan post-vitellogenic), diameter lumen tubulus dan tebal dinding
tubulus. Penentuan jenis oosit berdasarkan Purwati (2009). Hubungan antara
diameter lumen dan tebal dinding gonad Phyllophorus sp., dianalisis
menggunakan uji korelasi Pearson pada = 0,05.
HASIL
Hasil pengamatan morfologi gonad dan histologi gonad menunjukkan
bahwa gonad betina (Gambar 2B) umumnya berwarna hijau lumut dengan bentuk
tubulus yang lebih menggembung dibandingkan dengan gonad jantan (Gambar
2A) yang umumnya berwarna cokelat muda.


Gambar 2. Morfologi gonad Phyllophorus sp. (A) Jantan ; (B) Betina


Pada lumen tubulus gonad betina teripang Phyllophorus sp. ditemukan berbagai
jenis oosit. Berdasarkan Purwati (2009), oosit tersebut dikategorikan menjadi 3, yakni oosit
pre-vitellogenic (diameter < 150 m), oosit vitellogenic (diameter 150350 m), dan oosit
post-vitellogenic (diameter > 350 m) (Gambar 3D,3E. dan 3F). Oosit pre-vitellogenic
terletak melekat di dinding, sangat eosinofilik, tidak ditemukan sel-sel folikuler dan zona
radiata di sekelilingnya, belum memiliki germinal vesicle, nukleus bulat dan berada di
tengah. Sedangkan oosit vitellogenic dengan ukuran yang lebih besar, ada yang terletak di
dekat dinding, tetapi ada juga yang terletak hampir ke tengah lumen, eosinofilik, tidak
ditemukan sel-sel folikuler dan zona radiata di sekelilingnya, belum memiliki germinal
vesicle, nukleus bulat dan berada di tengah.




Gambar 3.Histologi tubulus gonad jantan (A, B, C) dan betina (D, E, F)
Phyllophorus sp. dg: dinding gonad ; L: lumen ; rs: relict
spermatozoa ; sc: spermatosit ; st: spermatid ; sz: spermatozoa ; lf:
longitudinal fold ; ro: oosit relict ; prvo: oosit pre-vitellogenic ; vo:
oosit vitellogenic ; ptvo: oosit post-vitellogenic ; zr: zona radiata ; gv:
germinal vesicle ; n: nukleus ; f: fagosit (Skala : 200 m).


Sedangkan oosit post-vitellogenic dengan diameter > 350 m, memiliki
ciri eosinofilik lemah, terletak di tengah lumen, dikelilingi oleh sel folikular dan
zona radiata, terdapat germinal vesicle, nukleus seringkali terletak di tepi
germinal vesicle dan bentuknya memanjang. Berbagai jenis oosit dengan
frekuensi masing-masing jenis tercantum pada Tabel 1 dan Gambar 4. Sedangkan
pada tubulus gonad jantan (Gambar 3A, 3B, dan 3C), tampak adanya sel-sel
spermatogenik yang dapat dibedakan menjadi spermatosit, spermatid,
spermatozoa dan relict spermatozoa.



Tabel 1. Frekuensi berbagai jenis oosit di dalam lumen tubulus gonad
Phyllophorus sp. yang hidup di pantai timur Surabaya pada bulan
Februari, Maret, dan April 2012

Jenis Oosit
Frekuensi Oosit (%)
Februari Maret April
Oosit pre-vitellogenic 56,28 5,79 29,45 13,03 48,13 14,1
Oosit vitellogenic 40,91 4,42 63,24 11,54 45,64 9,24
Oosit post-vitellogenic 2,81 3,84 7,31 4,78 6,23 6,25










Gambar 3.Grafik yang menunjukkan frekuensi oosit previtellogenic, vitellogenic
dan post-vitellogenic dalam tubulus gonad Phyllophorus sp. yang
hidup di Pantai Timur Surabaya pada bulan Februari, Maret, dan April
2012.


Dinding tubulus gonad Phyllophorus sp. relatif tebal dibandingkan
dengan diameter lumen. Hasil uji korelasi Pearson (=0,05)berdasarkan data
diameter tubulus dengan tebal dinding tubulus gonad betina menunjukkan
korelasi/hubungan signifikan pada <0,05 dengan koefisen korelasi sebesar -
0,403. Koefisien korelasi negatif menunjukkan hubungan terbalik yaitu semakin
0
20
40
60
80
100
120
Februari Maret April
F
r
e
k
u
e
n
s
i

(
%
)

BULAN (2012)
post-VO
VO
pre-VO
besar diameter lumen maka semakin tipis dinding tubulus, demikian sebaliknya,
semakin sempit lumen, semakin tebal dinding tubulus.
PEMBAHASAN
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Phyllophorus sp. merupakan
teripang dengan jenis kelamin terpisah (dioecious). Individu jantan dan betina
tidak dapat dibedakan berdasarkan morfologi luar, namun dapat dibedakan
melalui pengamatan bentuk dan warna gonad.
Variasi struktur histologi yang identik dengan variasi tahap kematangan
gonad antar individu, menunjukkan bahwa populasi Phyllophorus sp. memiliki
pola reproduksi asinkron. Populasi yang memiliki pola reproduksi asinkron dapat
memijah sepanjang tahun, dengan puncak pemijahan pada waktu-waktu tertentu
dan dapat bervariasi tergantung pada variasi perubahan lingkungan (Conand,
1993).
Pada pengamatan gonad jantan dan betina Phyllophorus sp.,dinding
tubulus gonad yang relatif tebal dibanding diameter lumen tubulus berbeda
dengan teripang tropis pada umumnya. Pada individu betina ketebalan dinding
gonad bergantung secara signifikan pada jumlah dan jenis oosit yang terdapat
pada lumen dengan kata lain bergantung pada tahap kematangan gonad. Kondisi
ini mirip dengan gonad teripang subtropis Psolus fabricii (Hamel et al., 1993).
Relict spermatozoa atau spermatozoa sisa, yaitu spermatozoa yang tidak
tersalurkan ke gonoduct, ditemukan pada tubulus gonad jantan (Gambar 3A).
Berdasarkan pengamatan Hamel et al. (1993) pada teripang Psolus fabricii, relict
spermatozoa merupakan ciri bahwa gonad mengalami fase post-spawning dan
umumnya terdapat sel-sel fagosit yang siap mengabsorbsi spermatozoa yang
tersisa tersebut tanpa adanya sel-sel spermatogenik dalam tahap perkembangan
lebih awal seperti spermatosit. Namun pada gonad Phyllophorus sp., keberadaan
relict spermatozoa pada lumen justru disertai dengan kehadiran spermatosit yang
masih melekat pada dinding gonad. Demikian juga pada tubulus lainnya dimana
terdapat spermatozoa yang hampir memenuhi lumen dan secara bersamaan
terdapat spermatid yang masih melekat di dinding gonad. Berdasarkan Hamel et
al. (1993), keberadaan spermatid dan spermatozoa merupakan ciri bahwa gonad
Psolus fabricii sedang mengalami fase maturation. Umumnya dinding tubulus
gonad sudah mengalami penipisan akibat lumen berdilatasi karena jumlah
spermatozoa terus melimpah. Namun pada gonad Phyllophorus sp. dinding gonad
masih cukup tebal meskipun terdapat spermatid dan spermatozoa didalamnya.
Dinding tubulus gonad Phyllophorus sp. baru akan benar-benar menipis dan
lumen mengalami dilatasi saat lumen hanya dipenuhi oleh spermatozoa. Namun,
tidak pernah benar-benar dijumpai spermatozoa memenuhi seluruh isi tubulus
dalam satu gonad jantan karena pasti sudah dijumpai keberadaan spermatid.
Seperti halnya relict spermatozoa pada gonad jantan Phyllophorus sp.,
pada gonad betina juga terdapat oosit relict, yakni merupakan oosit post-
vitellogenic yang tidak dilepaskan ke gonoduct. Berdasarkan Hamel et al. (1993),
relict oosit merupakan ciri bahwa gonad Psolus fabricii mengalami fase post-
spawning dan umumnya terdapat sel-sel fagosit yang siap mengabsorbsi oosit
yang tersisa tersebut. Namun pada gonad Phyllophorus sp., keberadaan relict
oosit selain disertai dengan keberadaan fagosit, juga disertai dengan keberadaan
oosit pre-vitellogenic. Berdasarkan Hamel et al. (1993), mengacu pada gonad
Psolus fabricii,oosit pre-vitellogenic merupakan ciri bahwa gonad sedang
mengalami fase recovery, oosit vitellogenic merupakan ciri bahwa gonad sedang
dalam fase advanced growth, dan oositpost-vitellogenic merupakan ciri gonad
sudah dalam fase maturation.Akan tetapi, pada gonad betina Phyllophorus sp.
tidak pernah benar-benar ditemukan hanya satu jenis oosit yang memenuhi lumen
karena ketiga jenis oosit tersebut sering terlihat bersamaan dalam satu tubulus.
Nampaknya, tahap-tahap kematangan gonad yang umum ditemukan
pada teripang spesies lain, pada Phyllophorus sp. ini saling tumpang-tindih. Hal
ini memungkinkan Phyllophorus sp. yang memiliki pola reproduksi asinkron
dapat memijah sepanjang tahun dengan waktu antar terjadinya puncak pemijahan
lebih singkat dari spesies lain. Jika benar demikian, dimungkinkan pula bahwa
keberadaan teripang di pantai timur Surabaya dengan kelimpahan relatif tertinggi
dibanding spesies teripang lain (Winarni et al., 2010), disebabkan oleh faktor
tersebut, meskipun untuk sampai pada kesimpulan tersebut, memerlukan data
yang diperoleh dari bulan-bulan berbeda dengan lama waktu paling tidak selama 1
tahun. Kajian histologi pada irisan memanjang tubulus juga diperlukan untuk
mengetahui distribusi berbagai jenis sel-sel gametogenik dalam tubulus.

KEPUSTAKAAN
Anonimus, 2009.Laporan Ilmiah Institut Pertanian Bogor.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/5912/DaftarPustak
a_2009yal-7.pdf?sequence=12. Diunduh pada 22 November 2011.
Conand, C., 1993. Reproductive Biology Of The Holothurians From The Major
Communities Of The New Caledonian Lagoon. Journal of Marine
Biology. Springer Verlag. 116: 439-450.
Dang, N.H., N.V. Thanh, P.V. Kiem, L.M. Huong, C.V. Minh and Y.H.
Kim.2007. Two New Triterpene Glycosides friom Vietnamese Sea
Cucumber Holothuria scabra. Archives of Pharmacal Research. Vol.30.
no.11. p. 1387-1391.
Dewi, K. H., Silsia, D., Susanti, L., Markom, M., dan Mendra, H. 2010.Ekstraksi
Teripang Pasir (Holothuria scabra) sebagai Sumber Testosteron pada
Berbagai Kecepatan dan Lama Pengadukan. Prosiding Seminar Nasional
Teknik Kimia Kejuangan Pengembangan Teknologi Kimia untuk
Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia. ISSN 1693 4393.
Hamel, J. F., Himmelman, J. H., dan Dufresne, L. 1993. Gametogenesis and
Spawning of the Sea Cucumber Psolus fabricii (Duben and Koren).Biol
Bull. 184:125-143.
Purwati, P. 2009. Oocytes of Holothuria leucospilota (Echinodermata :
Holothuroidea) : An Ultra Structural Study. Journal of Oceanology. Mar.
Res. Indonesia 34 : 17-26.
Rasolofonirina, R., Devarajen V., Igor E., dan Michel J. 2005. Reproductive
Cycle of Edible Echinoderms from the South-Western Indian Ocean.
Journal Western Indian Ocean. Mar. Sci. 4 (1):61-75.
Rustam.2006. Pelatihan Budidaya Laut (Coremap Fase II Kabupaten Selayar),
Budidaya Teripang. Pelatihan Budidaya Laut Coremap Tahap II
Kabupaten Selayar, Yayasan Mattirotasi.
Winarni, D., Affandi, M., Masithoh, E. D. dan Kristanti, A. N. 2010. Potensi
Teripang Pantai Timur Surabaya Sebagai Modulator Imunitas Alami
Terhadap Mycobacterium tuberculosis. Laporan Akhir Penelitian Strategis
Nasional Batch II. Universitas Airlangga : Surabaya.

S-ar putea să vă placă și