Sunteți pe pagina 1din 11

1

KUALITAS DAN PROPORSI SPERMATOZOA X DAN Y SAPI Limousin SETELAH


PROSES SEXING MENGGUNAKAN GRADIEN DENSITAS
ALBUMIN PUTIH TELUR

Aria Mahendra Putra
1)
, Trinil Susilawati
2)
, Nurul Isnaini
2)

1)
Mahasiswa Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia
2)
Dosen Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia
e-mail: ariamahendraputra@gmail.com; trinil_susilawati@yahoo.com

ABSTRACT

The aim of this research was to know an effect of sexing treatment on the quality and
proportion of X and Y sperms of Limousin bull. The method of this reasearch is experiment
using density gradient of egg white albumen with CEP-2 plus egg yolk 10% diluent on 10 and
20 minutes incubation with each treatment is replicated ten times and data were subjected
using paired t test analysis. The density percentage of egg white albumen is three gradients
10%, 30%, 50%. Sperms quality are observed were motility, viability, abnormality,
concentration and total motil of sperms. X and Y sperms proportion is observed by determine
the mean of length and width of sperms head. The result of this research showed that motility,
viability, concentration and total motil of sperms after sexing process at top layer of 10
minutes incubation has no significant effect (P>0,05) with top layer of 20 minutes incubation
and has significant effect (P<0,05) on abnormality. Viability, abnormality, concentration and
total motil of sperms after sexing process at bottom layer of 10 minutes incubation has no
significant effect (P>0,05) with bottom layer of 20 minutes incubation and has significant
effect (P<0,05) on motility. Sperms quality after sexing process at top layer and bottom layer
with 10 and 20 minutes incubation has no significant effect (P>0,05) on motility, viability,
abnormality and has significant effect (P<0,05) on concentration and total motil of sperms.
Highest X sperms proportion achieved at top layer of 20 minutes incubation (72,3 2,06%)
and highest Y sperms proportion achieved at bottom layer of 20 minutes incubation (70,9
4,25%). It can be concluded that sexing treatment with 10 and 20 minutes incubation has no
significant effect on the quality and proportion of X and Y sperms.

Key word: sperms quality, proportion of X and Y sperms, sexing, CEP-2 plus egg yolk 10%.

PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi di bidang
reproduksi ternak terus dilakukan demi
menyempurnakan dan meningkatkan
produktivitas ternak yang mempunyai
potensi besar dalam penyediaan daging.
Untuk meningkatkan dan mempertahankan
potensi ternak yang mampu dalam
penyediaan daging yang tinggi maka
dilakukanlah pengembangan di bidang
teknologi reproduksi ternak, salah satunya
rekayasa pemisahan kromosom sel
spermatozoa X dan Y atau sering disebut
sexing spermatozoa yang bertujuan dapat
menghasilkan keturunan-keturunan dengan
jenis kelamin yang sesuai harapan
nantinya. Teknik pemisahan kromosom sel
spermatozoa X dan Y ini dapat dilakukan
dengan berbagai cara dan bahan,
percobaan yang sering dilakukan antaralain
dengan menggunakan metode gradien
densitas albumin putih telur, sentrifugasi
gradien densitas percoll, filtrasi dengan
metode sephadex kolom, manipulasi
hormonal, antigen H-Y, isoelektric
focusing, elektroforesis dan pemisahan
perbedaan muatan deoxyribo nucleic acid
(DNA) (Hafez, 2008; de Jonge, Flaherty,
Barness, Swann and Mathew, 1997).
Disitasi dari penelitian Bianchi
(1991) dan Graves (1994) dalam
penentuan jenis kelamin anak yang
2

dilahirkan oleh ternak betina, peran
penentuan jenis kelamin ditentukan oleh
ternak pejantan. Hanya ternak pejantan
yang menghasilkan kromosom sel
spermatozoa X dan Y, yang masing-
masing sel tersebut membawa struktur
DNA dan informasi dalam pembeda jenis
kelamin jantan maupun betina. Kromosom
sel spermatozoa X akan menghasilkan
bakal embrio betina sedangkan kromosom
sel spermatozoa Y akan menghasilkan
bakal embrio jantan, hal ini dikarenakan
pada kromosom spermatozoa Y terdapat
sex determining region Y (SRY) gen yang
akan menentukan terbentuknya testis pada
ternak jantan nantinya dan sex determining
region Y (SRY) ini tidak dimiliki oleh
kromosom sel spermatozoa X.
Sexing yang menggunakan bahan
albumin yang berasal dari putih telur
merupakan metode yang mudah
diaplikasikan dan biaya yang dibutuhkan
murah. Penggunaan bahan putih telur
efektif dalam proses pemisahan
spermatozoa X dan Y.

MATERI DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di
Laboratorium Reproduksi Ternak, Fakultas
Peternakan, Universitas Brawijaya Malang
mulai bulan Juni sampai Agustus 2012.
Materi penelitian yang digunakan
yaitu semen segar dari tiga pejantan sapi
Limousin yang dipelihara di Balai Besar
Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari
Malang yaitu dengan kode bull 80545
bernama Andi umur 7 tahun berat badan
870 kg, kode bull 80550 bernama Arion
umur 7 tahun berat badan 850 kg dan kode
bull 80893 bernama Dodi umur 4 tahun
berat badan 800 kg, ditampung rutin dua
kali dalam seminggu yaitu hari senin dan
kamis, motilitas individu minimal 70% dan
motilitas massa ++.
Metode penelitian yang digunakan
yaitu metode percobaan. Percobaan
dilakukan menggunakan sexing gradien
densitas albumin putih telur dengan
pengencer CEP-2 ditambah kuning telur
10% dan dilakukan 2 perlakuan yang
terdiri dari waktu inkubasi selama 10 menit
dan 20 menit, setiap perlakuan dilakukan
pengulangan sebanyak 10 kali. Persentase
densitas albumin putih telur yang
digunakan dalam 3 gradien yaitu 10%,
30%, 50%.
Variabel yang diamati adalah
kualitas dan proporsi spermatozoa X dan Y
setelah proses sexing menggunakan
gradien densitas albumin putih telur
dengan pengencer CEP-2 ditambah kuning
telur 10%.
Data hasil penelitian yang
didapatkan di uji menggunakan uji t
berpasangan dan data proporsi
spermatozoa X dan Y semen segar di uji
menggunakan chi-square terlebih dahulu
agar diketahui bahwa semen segar yang
akan digunakan dalam penelitian ini
memiliki nilai rasio yang seimbang antara
spermatozoa X dan spermatozoa Y yaitu
50 : 50 (Sastrosupadi, 2000; Suciptawati,
2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi semen segar perlu
dilakukan untuk mengetahui kualitas
semen segar yang didapatkan. Evaluasi
semen segar meliputi evaluasi makroskopis
yaitu terdiri dari volume, warna dan pH
serta evaluasi mikroskopis meliputi
evaluasi motilitas, viabilitas, abnormalitas,
konsentrasi dan proporsi spermatozoa X
dan Y. Hasil pemeriksaan semen segar
dalam penelitian ini terdapat pada Tabel 1
berikut.

3

Tabel 1. Rataan Hasil Evaluasi Semen Segar
Parameter Rataan SD
Volume (ml) 5,00 1,5
Warna Putih Kekuningan
pH 7 0,00
Motilitas individu (%) 70 0,00
Motilitas massa ++
Viabilitas (%) 92,12 1,42
Abnormalitas (%) 5,54 3,59
Konsentrasi (10
6
/ml) 1437,50 450,31
Spermatozoa X (%) 54,60 10,76
Spermatozoa Y (%) 45,40 10,76

Pada Tabel 1 diatas, didapatkan
nilai rataan volume 5,00 1,5ml, warna
putih kekuningan, pH 7 0,00, motilitas
individu 70 00%, motilitas massa ++.
Semen segar dengan pH 7 yang digunakan
dalam penelitian ini dapat dikatakan
normal karena menurut Garner and Hafez
(2008) rata-rata pH semen yang normal
adalah 6,4-7,8.
Persentase viabilitas spermatozoa
semen segar adalah 92,12 1,42%. Nilai
viabilitas tersebut masih termasuk dalam
kisaran normal dan tergolong tinggi seperti
hasil penelitian Pratiwi, Pamungkas,
Affandhy dan Hartati (2006) menunjukkan
persentase viabilitas spermatozoa semen
segar 93,5 2,1%, sedangkan hasil
pengamatan abnormalitas spermatozoa
semen segar adalah 5,54 3,59%. Nilai
abnormalitas tersebut tergolong rendah
karena kurang dari 20%. Jika didapatkan
nilai abnormalitas spermatozoa lebih dari
20% hal ini menunjukkan kualitas semen
yang rendah dan tidak layak untuk proses
lebih lanjut baik pembekuan semen
ataupun proses sexing (Hafez and Hafez,
2008).
Nilai konsentrasi semen yang
didapatkan dalam penelitian ini adalah
1437,50 450,31x10
6
/ml yang
menunjukkan bahwa nilai konsentrasi
tersebut tergolong normal, karena menurut
Garner and Hafez (2008) konsentrasi
spermatozoa sapi adalah 800x10
6
sampai
2000x10
6
/ml, dengan jumlah spermatozoa
per ejakulasi 5x10
9
-15x10
9
.
Proporsi spermatozoa X dan Y
pada semen segar didapatkan hasil yaitu
spematozoa X sebesar 54,60 10,76% dan
spermatozoa Y sebesar 45,40 10,76%.
Hasil tersebut didapatkan dengan cara
mengukur besar kepala spermatozoa.
Spermatozoa X adalah spermatozoa yang
mempunyai besar kepala di atas rata-rata
dan spermatozoa Y adalah spermatozoa
yang mempunyai besar kepala dibawah
rata-rata (Saili, 1999). Pengamatan
proporsi spermatozoa dalam penelitian ini
tidak menunjukkan hasil perbandingan
50% spermatozoa X dan 50% spermatozoa
Y, tetapi menurut hasil perhitungan
statistik dengan chi-square menunjukkan
menunjukkan bahwa perbandingan 54,60%
dan 45,40% tidak berbeda nyata (P>0,05)
atau dapat dikatakan hasil pengukuran
tersebut sama dengan teori bahwa rasio
spermatozoa X dan Y yaitu 50 : 50. Graves
(1994) berpendapat bahwa perbandingan
spermatozoa X dan Y yang dihasilkan dari
proses spermatogenesis pada fase meiosis
yang secara normal adalah 1 : 1, sehingga
masing-masing mempunyai besar peluang
yang sama untuk membentuk embryo
jantan dan embryo betina.
Hasil pengamatan persentase
motilitas spermatozoa didapatkan rataan
persentase motilitas spermatozoa setelah
proses sexing menggunakan gradien
4

densitas albumin putih telur dengan
pengencer CEP-2 ditambah kuning telur
10% pada lapisan atas dan lapisan bawah
masing-masing pada inkubasi 10 dan 20
menit seperti tercantum pada Tabel 2
berikut.

Tabel 2. Rataan Persentase Motilitas Spermatozoa Setelah Proses Sexing
Lapisan
Perlakuan
Inkubasi 10 Menit Inkubasi 20 Menit
Atas (%) 57,00 4,83
a
57,00 4,83
a

Bawah (%) 55,00 7,07
a
52,25 6,71
b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada satu baris yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05)

Pada Tabel 2 diatas, lapisan atas
pada Inkubasi 10 menit tidak berbeda
nyata (P>0,05) dengan lapisan atas pada
inkubasi 20 menit. Sedangkan di lapisan
bawah pada inkubasi 10 menit berbeda
nyata (P<0,05) dengan lapisan bawah pada
inkubasi 20 menit. Pada inkubasi 10 menit,
persentase motilitas spermatozoa di lapisan
atas tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan
lapisan bawah. Sedangkan pada inkubasi
20 menit persentase motilitas spermatozoa
di lapisan atas tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan lapisan bawah.
Pada inkubasi 10 menit, lapisan
atas memiliki rataan persentase motilitas
spermatozoa lebih tinggi dibandingkan
pada lapisan bawah. Begitupun pada
inkubasi 20 menit, lapisan atas memiliki
rataan persentase motilitas yang lebih
tinggi daripada lapisan bawah. Pada
lapisan atas diduga sebagai spermatozoa X
dan pada lapisan bawah diduga sebagai
spermatozoa Y. Hasil yang didapatkan
tersebut diduga disebabkan karena
spermatozoa pada lapisan bawah melewati
3 gradein densitas albumin putih telur
dengan tiga konsentrasi albumin putih telur
yaitu 10%, 30% dan 50%. Semakin tinggi
konsentrasi albumin putih telur
menyebabkan viskositas larutan meningkat
yang menyebabkan gerak dari spermatozoa
terhambat dan membutuhkan tenaga ekstra
untuk menembus gradien yang berisi
konsentrasi albumin putih telur, hal ini
sesuai dengan pendapat Sianturi dkk.
(2004) bahwa kesulitan pergerakan
spermatozoa untuk menembus gradien
akan membutuhkan energi lebih banyak
untuk dikeluarkan sehingga berakibat pada
penurunan motilitas. Sedangkan pada
inkubasi 20 menit menghasilkan rataan
persentase motilitas spermatozoa lapisan
bawah lebih kecil dibandingkan dengan
lapisan bawah pada inkubasi 10 menit.
Keadaan ini diduga karena semakin lama
proses inkubasi akan membuat
spermatozoa bergerak lebih lama dalam
menembus konsentrasi albumin putih telur,
hal tersebut berhubungan dengan jumlah
penggunaan energi bagi pergerakan
spermatozoa. Spermatozoa yang banyak
menggunakan energi maka akan menurun
pula nilai persentase motilitasnya bahkan
tidak bergerak sama sekali (Saili, 1999).
Hasil pengamatan persentase
viabilitas spermatozoa didapatkan rataan
persentase viabilitas spermatozoa setelah
proses sexing menggunakan gradien
densitas albumin putih telur dengan
pengencer CEP-2 ditambah kuning telur
10% pada lapisan atas dan lapisan bawah
masing-masing pada inkubasi 10 dan 20
menit seperti tercantum pada Tabel 3
berikut.

5

Tabel 3. Rataan Persentase Viabilitas Spermatozoa Setelah Proses Sexing
Lapisan
Perlakuan
Inkubasi 10 Menit Inkubasi 20 Menit
Atas (%) 93,30 4,03 89,87 4,77
Bawah (%) 92,90 2,04 93,51 2,27

Pada Tabel 3 diatas, lapisan atas
pada inkubasi 10 menit tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan lapisan atas pada inkubasi
20 menit. Begitupula di lapisan bawah
pada inkubasi 10 menit tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan lapisan bawah pada
inkubasi 20 menit. Pada inkubasi 10 menit,
persentase viabilitas spermatozoa di
lapisan atas sama tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan lapisan bawah. Demikian
juga pada inkubasi 20 menit persentase
viabilitas spermatozoa di lapisan atas juga
tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan
lapisan bawah.
Viabilitas spermatozoa setelah
proses sexing menggunakan pengencer
CEP-2 ditambah kuning telur 10% pada
inkubasi 10 menit, lapisan atas memiliki
rataan persentase viabilitas spermatozoa
lebih tinggi dibandingkan pada lapisan
bawah. Hasil ini berbeda dengan rata-rata
persentase viabilitas pada inkubasi 20
menit, lapisan atas memiliki rataan
persentase viabilitas yang lebih rendah
daripada lapisan bawah. Tetapi hal ini
masih dikatakan normal seperti hasil
penelitian Pratiwi dkk. (2006) bahwa
sexing menggunakan pengencer tris-
aminomethane kuning telur menghasilkan
viabilitas spermatozoa pada lapisan atas
85% dan lapisan bawah 84,7% sedangkan
dalam penelitian ini masih dalam kisaran
diatas >80%. Keadaan ini diduga karena
pengencer CEP-2 ditambah kuning telur
10% mampu menyediakan lingkungan
yang optimal bagi spermatozoa dan
melindungi membran sehingga
permeabilitas membran tetap normal dan
tidak rusak. Pengencer CEP-2
mengandung sorbitol, yang berperan
meningkatkan osmolaritas media
pengencer dan sebagai sumber energi
cadangan yang baik layaknya cauda
epididimis sapi, yang mampu menyimpan
spermatozoa selama 45 hari
(Verberckmoes et al., 2004).
Gambar spermatozoa hidup dan
mati hasil pewarnaan eosin-negrosin pada
saat pengamatan terdapat pada Gambar 1
berikut.


Gambar 1. Hasil Pengamatan Viabilitas Spermatozoa Setelah Proses Sexing
Keterangan: A: Spermatozoa hidup; B: Spermatozoa mati

6

Pengamatan viabilitas spermatozoa
menggunakan pewarna eosin-negrosin.
Spermatozoa yang menyerap warna
manandakan spermatozoa tersebut mati,
sedangkan spermatozoa yang tidak
menyerap warna atau berwarna jernih
berarti spermatozoa itu hidup.
Spermatozoa yang mati permeabilitas
membrannya meningkat yang
mengakibatkan zat warna eosin-negrosin
dengan mudah melintasi membran
spermatozoa dan masuk ke dalam
spermatozoa, sedangkan spermatozoa yang
hidup permeabilitas membrannya tetap
normal sehingga eosin-negrosin tidak
dapat melintasi membran spermatozoa.
Hasil pengamatan persentase
abnormalitas spermatozoa didapatkan
rataan persentase abnormalitas
spermatozoa setelah proses sexing
menggunakan gradien densitas albumin
putih telur dengan pengencer CEP-2
ditambah kuning telur 10% pada lapisan
atas dan lapisan bawah masing-masing
pada inkubasi 10 dan 20 menit seperti
tercantum pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Rataan Persentase Abnormalitas Spermatozoa Setelah Proses Sexing
Lapisan
Perlakuan
Inkubasi 10 Menit Inkubasi 20 Menit
Atas (%) 6,82 3,74
a
9,59 3,46
b

Bawah (%) 8,76 4,26
a
8,45 3,51
a

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada satu baris yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05)

Pada Tabel 4 diatas, lapisan atas
pada inkubasi 10 menit berbeda nyata
(P<0,05) dengan lapisan atas pada inkubasi
20 menit. Sedangkan pada lapisan bawah
pada inkubasi 10 menit tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan lapisan bawah pada
inkubasi 20 menit. Keadaan ini juga terjadi
pada inkubasi 10 menit di lapisan atas
tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan
lapisan bawah, serta pada inkubasi 20
menit di lapisan atas juga tidak berbeda
nyata (P>0,05) dengan lapisan bawah.
Hasil pengamatan rataan
abnormalitas spermatozoa setelah proses
sexing menggunakan gradien densitas
albumin putih telur dengan pengencer
CEP-2 ditambah kuning telur 10% berada
pada kisaran normal karena tidak lebih dari
20% (Susilawati, 2011; Toelihere, 1993).
Menurut Hafez and Hafez (2008) apabila
jumlah spermatozoa abnormal sangat
tinggi maka akan menurunkan tingkat
fertilitas spermatozoa. Hal tersebut
menunjukkan bahwa media pengencer
CEP-2 ditambah kuning telur 10%
menghasilkan abnormalitas spermatozoa
hasil sexing sama seperti media pengencer
tris-aminomethane kuning telur. Kuning
telur telah lama digunakan dalam
pengencer semen untuk memberikan
perlindungan ekstraseluler spermatozoa
selama penyimpanan pada suhu rendah
karena kuning telur mengandung lesitin
dan lipoprotein. Komponen penyusun
kuning telur berupa cairan sebanyak 59,7-
60,6%, tersusun dari 34,8-37,8% protein,
dan lipid sebesar 62,4-65,2% (Liu et al,
2005). Mekanisme kerja lesitin dalam
mempertahankan kualitas spermatozoa
yaitu dengan jalan menyelubungi membran
plasma. Lesitin dan lipoprotein yang
terdapat pada kuning telur memiliki
molekul-molekul besar yang tidak dapat
melewati membran sel spermatozoa dan
memiliki fungsi untuk melindungi dan
mempertahankan lipoprotein penyusun
membran spermatozoa (Susilawati, 2002;
White, 1993).
Gambar spermatozoa normal dan
abnormal hasil pewarnaan eosin-negrosin
pada saat pengamatan terdapat pada
Gambar 2 berikut.

7



Gambar 2. Hasil Pengamatan Abnormalitas Spermatozoa Setelah Proses Sexing
Keterangan: A: Spermatozoa normal; B: Spermatozoa abnormal

Pengamatan abnormalitas
spermatozoa difokuskan pada bagian
kepala, leher, dan ekor yang abnormal.
Adapun abnormalitas spermatozoa terbagi
menjadi dua macam yaitu abnormalitas
primer meliputi kepala tanpa ekor, ekor
ganda, macrocephalus, microcephalus dan
ekor melingkar, sedangkan abnormalitas
sekunder meliputi tidak ada ekor,
kerusakan ekor, ekor melipat, kepala tanpa
ekor atau sebaliknya.
Hasil pengamatan konsentrasi
spermatozoa didapatkan rataan konsentrasi
spermatozoa setelah proses sexing
menggunakan gradien densitas albumin
putih telur dengan pengencer CEP-2
ditambah kuning telur 10% pada lapisan
atas dan lapisan bawah masing-masing
pada inkubasi 10 dan 20 menit seperti
tercantum pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Rataan Konsentrasi Spermatozoa Setelah Proses Sexing
Lapisan
Perlakuan
Inkubasi 10 Menit Inkubasi 20 Menit
Atas (10
6
/ml) 732 241,15
a
768 243,67
a

Bawah (10
6
/ml) 527 141,27
b
517 146,59
b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada satu kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05)

Pada Tabel 5 diatas, lapisan atas
pada inkubasi 10 menit tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan lapisan atas pada inkubasi
20 menit. Begitupula di lapisan bawah
pada inkubasi 10 menit tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan lapisan bawah pada
inkubasi 20 menit. Sedangkan pada
inkubasi 10 menit di lapisan atas berbeda
nyata (P<0,05) dengan lapisan bawah dan
pada inkubasi 20 menit di lapisan atas
berbeda nyata (P<0,05) dengan lapisan
bawah.
Konsentrasi spermatozoa pada
inkubasi 10 menit lapisan atas yang diduga
spermatozoa X lebih tinggi daripada
lapisan bawah yang diduga spermatozoa Y.
Demikian pula pada inkubasi 20 menit,
konsentrasi pada lapisan atas lebih tinggi
daripada lapisan bawah. Hal ini diduga
karena perbedaan motilitas antara
spermatozoa X dan Y yang menyebabkan
ketidaksamaan distribusi spermatozoa.
Spermatozoa X lebih lambat bergerak
dikarenakan pula memiliki besar kepala
8

yang lebih besar daripada spermatozoa Y
(Hafez and Hafez, 2008). Spermatozoa X
berusaha menembus gradien densitas
albumin putih telur pada lapisan tengah
tetapi tidak mampu atau hanya sedikit yang
dapat mencapai lapisan tengah, sehingga
sebagian besar tetap berada pada lapisan
atas. Sedangkan spermatozoa Y
mempunyai sifat lebih progresif, lebih
mudah bergerak menembus gradien
densitas albumin putih telur pada lapisan
tengah dan lapisan bawah, sehingga
spermatozoa Y tersebar pada lapisan atas,
tengah dan bawah. Ketidakmerataan
distribusi spermatozoa juga dapat
dikarenakan tingginya volume gradien
sehingga spermatozoa sulit mencapai dasar
tabung (Udrayana, 2009).
Hasil pengamatan total
spermatozoa motil didapatkan rataan total
spermatozoa motil setelah proses sexing
menggunakan gradien densitas albumin
putih telur dengan pengencer CEP-2
ditambah kuning telur 10% pada lapisan
atas dan lapisan bawah masing-masing
pada inkubasi 10 dan 20 menit seperti
tercantum pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Rataan Total Spermatozoa Motil Setelah Proses Sexing
Lapisan
Perlakuan
Inkubasi 10 Menit Inkubasi 20 Menit
Atas (10
6
/ml) 209,08 73,08
a
219,23 70,93
a

Bawah (10
6
/ml) 144,68 40,62
b
135,68 45,51
b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada satu kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05)

Pada Tabel 6 diatas, lapisan atas
pada inkubasi 10 menit tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan lapisan atas pada inkubasi
20 menit. Begitupula di lapisan bawah
pada inkubasi 10 menit tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan lapisan bawah pada
inkubasi 20 menit. Sedangkan pada
inkubasi 10 menit di lapisan atas berbeda
nyata (P<0,05) dengan lapisan bawah dan
pada inkubasi 20 menit di lapisan atas
berbeda nyata (P<0,05) dengan lapisan
bawah.
Total spermatozoa motil pada
lapisan atas yang diduga sebagai
spermatozoa X lebih tinggi daripada
lapisan bawah yang diduga sebagai
spermatozoa Y baik diinkubasi 10 menit
maupun 20 menit. Hal ini sesuai dengan
tingginya konsentrasi spermatozoa pada
lapisan atas dibandingkan dengan
konsentrasi spermatozoa pada lapisan
bawah dikarenakan perbedaan motilitas
spermatozoa X dan spermatozoa Y,
tingginya volume dan konsentrasi gradien
albumin putih telur (Susilawati, 2002).
Hasil pengamatan proporsi
spermatozoa X dan Y didapatkan rataan
proporsi spermatozoa X dan Y setelah
proses sexing menggunakan gradien
densitas albumin putih telur dengan
pengencer CEP-2 ditambah kuning telur
10% pada lapisan atas dan lapisan bawah
masing-masing pada inkubasi 10 dan 20
menit seperti tercantum pada Tabel 7 dan
Tabel 8 berikut.

9

Tabel 7. Rataan Proporsi Spermatozoa X Setelah Proses Sexing
Lapisan
Perlakuan
Inkubasi 10 Menit Inkubasi 20 Menit
Atas (%) 71,50 2,88
a
72,30 2,06
a

Bawah (%) 29,80 3,12
b
29,10 4,25
b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada satu kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05)

Pada Tabel 7 diatas, lapisan atas
pada inkubasi 10 menit tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan lapisan atas pada inkubasi
20 menit dan di lapisan bawah pada
inkubasi 10 menit tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan lapisan bawah pada
inkubasi 20 menit. Sedangkan pada
inkubasi 10 menit di lapisan atas berbeda
nyata (P<0,05) dengan lapisan bawah dan
pada inkubasi 20 menit di lapisan atas
berbeda nyata (P<0,05) dengan lapisan
bawah.

Tabel 8. Rataan Proporsi Spermatozoa Y Setelah Proses Sexing
Lapisan
Perlakuan
Inkubasi 10 Menit Inkubasi 20 Menit
Atas (%) 28,50 2,88
a
27,70 2,06
a

Bawah (%) 70,20 3,12
b
70,90 4,25
b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada satu kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05)

Pada Tabel 8 diatas, lapisan atas
pada inkubasi 10 menit tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan lapisan atas pada inkubasi
20 menit dan di lapisan bawah pada
inkubasi 10 menit tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan lapisan bawah pada
inkubasi 20 menit. Sedangkan pada
inkubasi 10 menit di lapisan atas berbeda
nyata (P<0,05) dengan lapisan bawah dan
pada inkubasi 20 menit di lapisan atas
berbeda nyata (P<0,05) dengan lapisan
bawah.
Proporsi spermatozoa X dan Y
pada inkubasi 10 menit dan 20 menit tidak
mengalami perbedaan yang nyata. Hasil
pengamatan dalam waktu inkubasi 10
menit dan 20 menit yang membedakan
adalah proporsi spermatozoa X terdapat
pada lapisan atas sedangkan spermatozoa
Y terdapat pada lapisan bawah. Menurut
Hafez (2008) hal ini disebabkan oleh
perbedaan massa dan ukuran kepala
spermatozoa, yaitu spermatozoa Y lebih
kecil daripada spermatozoa X, sehingga
berdampak langsung terhadap pergerakan
spermatozoa Y yang lebih cepat dan
mempunyai daya penetrasi yang lebih
tinggi untuk menembus konsentrasi
gradien albumin putih telur. Persentase
spermatozoa Y tertinggi pada lapisan
bawah dalam waktu inkubasi 20 menit. Hal
ini diduga spermatozoa Y semakin lama
waktu inkubasi yang dilakukan akan
membuat pergerakan menembus
konsentrasi gradien putih telur akan
optimal. Dan pernyataan tersebut sama
bagi spermatozoa X yang cenderung lebih
banyak proporsinya dalam waktu inkubasi
20 menit tetapi pada lapisan yang berbeda
yaitu pada lapisan atas. Hal ini sesuai
dengan pendapat Hafez and Hafez (2008)
bahwa besar kepala spermatozoa X lebih
besar daripada spermatozoa Y yang
memungkinkan spermatozoa Y dapat
menembus kebawah yaitu ke lapisan
bawah. Dapat disimpulkan bahwa proporsi
spermatozoa X dan Y tertinggi pada
inkubasi 20 menit, walaupun hasil tertinggi
didapatkan pada waktu inkubasi 20 menit
tidak berpengaruh terhadap proporsi
spermatozoa X dan Y, kemudian
pengencer CEP-2 ditambah kuning telur
10

telah mampu dalam mempertahankan
kualitas spermatozoa tetap baik.
Gambar pengukuran panjang dan
lebar kepala spermatozoa hasil pewarnaan
eosin-negrosin pada saat pengamatan
terdapat pada Gambar 3 berikut.


Gambar 3. Hasil Pengamatan Proporsi Spermatozoa X dan Y Setelah Proses Sexing
Keterangan: A: Pengukuran panjang kepala spermatozoa;
B: Pengukuran lebar kepala spermatozoa

KESIMPULAN DAN SARAN
Didapatkan bahwa persentase
motilitas, viabilitas, abnormalitas,
konsentrasi dan total spermatozoa motil
setelah proses sexing dalam inkubasi 10
menit maupun inkubasi 20 menit secara
umum mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan semen segar dan
tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap kualitas dan proporsi spermatozoa
X dan Y setelah proses sexing. Proporsi
spermatozoa X dan Y setelah proses sexing
tertinggi terdapat pada perlakuan inkubasi
20 menit yaitu dengan nilai spermatozoa X
sebesar 72,3 2,06% pada lapisan atas dan
spermatozoa Y sebesar 70,9 4,25% pada
lapisan bawah.
Perlu dilakukannya penelitian lebih
lanjut terhadap pembekuan semen setelah
proses sexing dan aplikasi semen beku
setelah proses sexing pada ternak betina.

DAFTAR PUSTAKA
Bianchi, N.O. 1991. Sex Determination in
Mammals. How Many Genes Are
Involves?. Biology of
Reproduction 44: 393-397.
De, Jonge C.J., S.P. Flaherty, A.M.
Barness, N.J. Swann and Mathew.
1997. Failure of multitube sperm
swim up for pre selection fertility
and sterility 6: 1109-1114.
Garner, D.L. and E.S.E. Hafez. 2008.
Spermatozoa and Seminal
Plasma. Reproduction in Farm
Animals ed by E.S.E. Hafez 7
th

Edition. Blackwell Publishing
Professional USA: 96-110.
Graves, J.A.P. 1994. Mammalian Sex
Determining Genes in the
Differences Between The sexes.
Cambridge University Press: 397-
418.
Hafez, E.S.E. 2008. Preservation and
Cryopreservation of Gamet and
Embryos. Reproduction in Farm
Animal ed by E.S.E. Hafez 7
th

Edition. Blackwell Publishing
Professional USA: 431-442.
Hafez, E.S.E. and B. Hafez. 2008. X and Y
11

Chromosome Bearing
Spermatozoa. Reproduction in
Farm Animals ed by E.S.E. Hafez
7
th
Edition. Blackwell Publishing
Professional USA: 390-394
Liu, L.Y., M.H. Yang, J.H. Lin and M.H.
Lee. 2005. Lipid Profile and
Oxidative Stability of
Commercial Egg Product. Journal
of Food and Drug Analysis 13:
78-82.
Pratiwi, W.C., D. Pamungkas, L. Affandhy
dan Hartati. 2006. Evaluasi
Kualitas Spermatozoa Hasil
Sexing pada Kemasan Straw
Dingin yang Disimpan pada Suhu
5C selama 7 Hari. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Verteriner 2006:
143-150.
Saili, T. 1999. Efektifitas Penggunaan
Albumin Sebagai Medium
Separasi dalam Upaya Mengubah
Rasio Alamiah Spermatozoa
Pembawa Kromosom X dan Y
Pada Sapi. Tesis Program
Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan
Percobaan Praktis Bidang
Pertanian. Kanisus. Yogyakarta.
Sianturi, R.G., P. Situmorang, E.
Triwulaningsih, T. Sugiarti dan
D.A. Kusumaningrum. 2004.
Pengaruh Isobutil Metilxantina
(IMX) dan Waktu Pemisahan
terhadap Kualitas dan Efektivitas
Pemisahan Spermatozoa dengan
Metode Kolom Albumin Telur.
JITV. 9.4: 246-251.
Suciptawati, N.L.P. 2010. Metode
Statistika Nonparametrik.
Udayana University Press. Bali.
Susilawati, T. 2002. Sexing Spermatozoa
Kambing Peranakan Etawah
Menggunakan Gradien Putih
Telur. Widya Agrika 10: 97-105.
Susilawati, T. 2011. Spermatology. UB
Press. Malang. ISBN: 978-602-
8960-04-5.
Toelihere, M.R. 1993. Inseminasi Buatan
Pada Ternak. Angkasa. Bandung.
Udrayana, S.B. 2009. Proteksi
Spermatozoa Kambing Peranakan
Etawah Menggunakan Fosfatidil
dalam Proses Sexing dengan
Gradien BSA dan Pembekuan.
Disertasi Program Studi Ilmu
Peternakan. Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro.
Semarang.
Verberckmoes, S., A. Van Soom, J.
Dewulf and A. De Kruif. 2004.
Comparison of Three Diluents For
The Storage of Fresh Bovine
Semen. Journal Theriogenology
42-63.
White, I.G. 1993. Lipid and Calcium
Uptake of Sperm in Relation Cold
Shock and Preservation: A.
Review. Reproduction and
Fertility Development 5: 639-658.

S-ar putea să vă placă și