Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal di antara
sekian banyak suku yang ada di Papua, Irian Jaya, Indonesia. Salah satu hal yang
membuat suku asmat cukup dikenal adalah hasil ukiran kayu tradisional yang sangat
khas. Beberapa ornamen / motif yang seringkali digunakan dan menjadi tema utama
dalam proses pemahatan patung yang dilakukan oleh penduduk suku asmat adalah
mengambil tema nenek moyang dari suku mereka, yang biasa disebut mbis. Namun
tak berhenti sampai disitu, seringkali juga ditemui ornamen / motif lain yang
menyerupai perahu atau wuramon, yang mereka percayai sebagai simbol perahu
arwah yang membawa nenek moyang mereka di alam kematian. Bagi penduduk asli
suku asmat, seni ukir kayu lebih merupakan sebuah perwujudan dari cara mereka
dalam melakukan ritual untuk mengenang arwah para leluhurnya.
setiap
hari
hujan
turun
dengan
curah
3000-4000
Persebaran
Suku asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai laut arafuru dan
pegunungan jayawijaya, dengan medan yang lumayan berat mengingat daerah yang
ditempati adalah hutan belantara, dalam kehidupan suku Asmat, batu yang biasa kita
lihat dijalanan ternyata sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa
dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu disebabkan karena tempat tinggal suku
Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan batu-batu
jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan
sebagainya.
Kampung Asmat
Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap
kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang
dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua
sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada
kira-kira 70.000 orang Asmat hidup di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat
sedang bersekolah.
Ciri Fisik
Penduduk Asmat pada umumnya memiliki ciri fisik yang khas,berkulit hitam dan
berambut keriting. Tubuhnya cukup tinggi. Rata-rata tinggi badan orang Asmat
wanita sekitar 162cm dan tinggi badan laki-laki mencapai 172cm.
Mata Pencaharian
Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan suku
yang lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. suku asmat darat,
suku citak dan suku mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari nafkah
adalah berburu binatang hutan separti, ular, kasuari< burung< babi hutan dll. mereka
juga selalu meramuh / menokok sagu sebagai makan pokok dan nelayan yakni
mencari ikan dan udang untuk dimakan. kehidupan dari ketiga suku ini ternyata telah
berubah.
Sehari-hari orang Asmat bekerja dilingkungan sekitarnya,terutama untuk mencari
makan, dengan cara berburu maupun berkebun, yang tentunya masih menggunakan
metode yang cukup tradisional dan sederhana. Masakan suku Asmat tidak seperti
masakan kita. Masakan istimewa bagi mereka adalah ulat sagu. Namun sehariharinya mereka hanya memanggang ikan atau daging binatang hasil buruan.
Masakan suku Asmat tidak seperti masakan kita. Masakan istimewa bagi mereka
adalah ulat sagu. Namun sehari-harinya mereka hanya memanggang ikan atau daging
binatang hasil buruan.
Dalam kehidupan suku Asmat batu yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat
berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin.
Semua itu disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa
sehingga sangat sulit menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi
mereka untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya.
Makanan Pokok
Makanan Pokok orang Asmat adalah sagu, hampir setiap hari mereka makan sagu
yang dibuat jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara api.Kegemaran lain adalah
makan ulat sagu yang hidup dibatang pohon sagu,biasanya ulat sagu dibungkus
dengan daun nipah,ditaburi sagu,dan dibakar dalam bara api.Selain itu sayuran dan
ikan bakar dijadikan pelengkap. Namun demikian yang memprihatinkan adalah
masalah sumber air bersih.Air tanah sulit didapat karena wilayah mereka merupakan
tanah berawa. Terpaksa menggunakan air hujan dan air rawa sebagai air bersih untuk
kebutuhan sehari-hari.
Pola Hidup
Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup penduduk asli suku asmat,mereka merasa
dirinya adalah bagian dari alam, oleh karena itulah mereka sangat menghormati dan
menjaga alam sekitarnya, bahkan, pohon disekitar tempat hidup mereka dianggap
menjadi
gambaran
dirinya.
Batang
pohon
menggambarkan
tangan,
buah
agama, seperti Protestan, Khatolik bahkan Islam. Seperti masyarakat pada umumnya,
dalam menjalankan proses kehidupannya, masyarakat Suku Asmat pun, melalui
berbagai proses, yaitu :
Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan
baik agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung alau ibu mertua.
Kelahiran, tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara selamatan
secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu,
alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai
berusia 2 tahun atau 3 tahun.
Pernikahan, proses ini berlaku bagi seorang baik pria maupun wanita yang telah
berusia 17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak
mencapai kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas
kawinnya piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu
Johnson, bila ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka
pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang
melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap.
Kematian, bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya
disimpan dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila
masyarakat umum, jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan
nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga
yang ditinggalkan.
Unik
Dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, baik kaum pria maupun wanita
melakukannya di ladang atau kebun, disaat prianya pulang dari berburu dan
wanitanya sedang berkerja di ladang. Selanjutnya, ada peristiwa yang unik lainnya
dimana anak babi disusui oleh wanita suku ini hingga berumur 5 tahun.
Rumah Adat
Rumah Tradisional Suku Asmat adalah Jeu dengan panjang sampai 25 meter.Sampai
sekarang masih dijumpai Rumah Tradisional ini jika kita berkunjung ke Asmat
Pedalaman.Bahkan masih ada juga di antara mereka yang membangun rumah tinggal
diatas pohon.
Agama
Masyarakat Suku Asmat beragama Katolik,Protestan,dan Animisme yakni suatu
ajaran dan praktek keseimbangan alam dan penyembahan kepada roh orang mati atau
patung. Bagi Suku Asmat ulat sagu merupakan bagian penting dari ritual
mereka.Setiap ritual ini diadakan,dapat dipastikan,kalau banyak sekali ulat yang
dipergunakan. (Kal Muller,Mengenal Papua,2008,hal.31)
Kepercayaan Dasar
Adat istiadat suku Asmat mengakui dirinya sebagai anak dewa yang berasal dari
dunia mistik atau gaib yang lokasinya berada di mana mentari tenggelam setiap sore
hari. Mereka yakin bila nenek moyangnya pada jaman dulu melakukan pendaratan di
bumi di daerah pegunungan. Selain itu orang suku Asmat juga percaya bila di
wilayahnya terdapat tiga macam roh yang masing-masing mempunyai sifat baik,
jahat dan yang jahat namun mati. Berdasarkan mitologi masyarakat Asmat berdiam
di Teluk Flamingo, dewa itu bernama Fumuripitis. Orang Asmat yakin bahwa di
lingkungan tempat tinggal manusia juga diam berbagai macam roh yang mereka bagi
dalam 3 golongan.
Yi ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik terutama bagi keturunannya.
Osbopan atau roh jahat dianggap penghuni beberapa jenis tertentu.
Dambin Ow atau roh jahat yang mati konyol.
Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara besar
menyangkut seluruh komuniti desa yang selalu berkaitan dengan penghormatan roh
nenek moyang seperti berikut ini :
Mbismbu (pembuat tiang)
Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
Yamasy pokumbu (upacara perisai)
Mbipokumbu (Upacara Topeng)
Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah
meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana,
bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah,
mereka yang masih hidup membuat patung dan menggelar pesta seperti pesta patung
bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat-ulat sagu.
rotan,kayu,gahar,kemiri,kulit
masohi,kulit
lawang,damar,dan
kemenyan.
perempuan yang sangat berharga bagi mereka.Hal ini tersirat juga dalam berbagai
seni ukiran dan pahatan mereka.Namun dalam gegap gempitanya serta kemasyuran
pahatan dan ukiran Asmat.Tersembunyi suatu realita derita para Ibu dan gadis Asmat
yang tak terdengar dari dunia luar.
Derita perempuan Asmat menjadi pelakon tunggal dalam menghidupi suku
tersebut.Setiap harinya mereka harus menyediakan makanan untuk suami dan anakanaknya,mulai dari mencari ikan,udang,kepiting,dan tembelo sampai kepada mencari
pohon sagu yang tua,menebang pohon sagu,menokok,membawa sagu dari
hutan,memasak dan menyajikan.Setelah itu mencuci tempat makanan atau tempat
masak termaksud mengambil air dari telaga atau sungai yang jernih untuk keperluan
minum keluarga.
Sementara itu kegiatan laki-laki Asmat sehari-harinya adalah menikmati makanan
yang disediakan istrinya,mengisap tembakau,dan berjudi.Kadang suami membuat
rumah atau perahu,namun dengan batuan istri.Ada pula suami yang mau menemani
istrinya
mencari
kayu
bakar.Sayangnya
mereka
hanya
benar-benar
yang
diinginkan
suami
mereka
agar
dapat
terus
bertenaga
untuk
ini
merupakan
sebuah
pukulan
telak
yang
bakal
menyedot
dana,waktu,tenaga,dan pikiran dari segenap komponen masyarakat Asmat,instansiinstansi terkait dalam jajaran pemerintahan Kabupaten Asmat khususnya dan sudah
pasti
butuh
Pemerintah
Pusat
perlu
segera
mengambil
langkah-langkah
penanggulanggannya.
Mitologi
Dalam hal kepercayaan orang Asmat yakin bahwa mereka adalah keturunan dewa
yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat
matahari terbenam tiap hari. Menururt keyakinan orang Asmat, dewa nenek-moyang
itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang jauh di pegunungan. Dalam
perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di tempat yang kini didiami oleh orang
Asmat hilir, ia mengalami banyak petualangan. Dalam mitologi orang Asmat yang
berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu namanya Fumeripitsy. Ketika ia
berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu
lesung yang ditumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang terjadi, ia
dapat membunuh si buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang
mendamparkannya di tepi sungai Asewetsy, desa Syuru sekarang. Untung ada seekor
burung Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali; kemudian ia
membangun rumah yew dan mengukir dua patug yang sangat indah serta membuat
sebuah genderang em, yang sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari
terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan sakti yang keluar dari gerakannya itu
memberi hidup pada kedua patung yang diukirnya. Tak lama kemudian mulailah
patung-patung itu bergerak dan menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan
manusia yang pertama, yaitu nenek-moyang orang Asmat.
Upacara Adat
Ritual/ Upacara suku Asmat yaitu
Ritual Kematian
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah
meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak
mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir
hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap
hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh bayi
itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan
duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat.
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua
atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis
atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam
untuk korban yang sudah meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka
membaktikan diri, direpresentasikan dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng
atau tiang kayu yang berukir figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para
pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama
anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa
kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan
anggota keluarga yang lain di desa tersebut.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si
sakit sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada
usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga
terdekat si sakit tidak berani mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan
membawa salah seorang dari yang dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah
dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah.
Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi.
Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk sis akit dan keluar rumah
mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-orang di sekitar
rumah kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk
utama) dengan maksud menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang
berpengaruh dalam masyarakat. Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan
berjalan seimbang dan lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar berwarna
merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk keluarga yang telah
meninggal atau berbentuk burung dan binatang lainnya.Setelah dicat, perahu dihias
dengan daun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu.
Para pemilik perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di
rumah orang yang paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta sambil
mendengarkan nyanyi -nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah
masing-masing untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu. Para
pendayung menghias diri dengan cat berwarna putih dan merah disertai bulu-bulu
burung. Kaum anak-anak dan wanita bersorak-sorai memberikan semangat dan
memeriahkan suasana. Namun, ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang
telah meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu penyerangan
dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu ini dicoba menuju tempat
musuh dengan maksud memanas -manasi mereka dan memancing suasana musuh
agar siap berperang. Sekarang, penggunaan perahu lebih terarahkan untuk
pengangkutan bahan makanan.
Upacara Bis
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat
sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis) apabila ada permintaan
dalam suatu keluarga. Dulu, upacara bis ini diadakan untuk memperingati anggota
keluarga yang telah mati terbunuh, dan kematian itu harus segera dibalas dengan
membunuh anggota keluarga dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah meninggal diperlukan
kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang
(bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung, kaum wanita tidak
diperbolehkan memasuki rumah tersebut. Dalam masa-masa pembuatan patung bis,
biasanya terjadi tukar-menukar istri yang disebut dengan papis. Tindakan ini
bermaksud untuk mempererat hubungan persahabatan yang sangat diperlukan pada
saat tertentu, seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara
perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.
Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada
waktu ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau pernah
menyakiti hatinya. Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi,
maka upacara bis ini baru dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila
hasil pengumpulan bahan makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini
disebabkan roh-roh keluarga yang telah meninggal yang belum diantar ketempat
perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai Sirets.
Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang
satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak bis.
Setelah itu diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis
ini diletakkan di atas suatu panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu,
keluarga yang ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah
dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu
berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang
ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini
kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.
Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)
Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah
bujang (je). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah
bujang ini dinamakan sesuai nama marga (keluarga) pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun yang
bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, namun apabila ada suatu
penyerangan yang akan direncanakan atau upacara-upacara tertentu, wanita dan
anak-anak dilarang masuk. Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk
rumah bujang yang baru, yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah
bujang juga diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan
penabuhan tifa.