Sunteți pe pagina 1din 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Perkembangan sekolah unggulan bertaraf internasional di Indonesia semakin marak
tiap tahunnya. Tidak hanya terbatas di kota-kota metropolitan seperti Jakarta, Bandung, dan
Surabaya, sekolah unggulan juga berkembang di daerah-daerah. Pada awalnya keberadaan
sekolah ini ditujukan untuk melayani pendidikan anak-anak ekspatriat yang bekerja di
Indonesia. Seiring berkembangnya waktu, sekolah premium ini ternyata juga diminati oleh
masyarakat yang memiliki kemampuan finansial cukup dan menginginkan pendidikan
berkualitas global untuk anak-anak mereka. Sebagian masyarakat berpendapat kehadiran
sekolah unggulan akan membawa dampak positif bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Hadirnya sekolah dengan kualitas standar internasional diharapkan bisa meningkatkan mutu
pendidikan nasional dan menghadirkan persaingan sehat antar lembaga pendidikan.
Kehadiran pesaing yang bermutu akan memacu sekolah-sekolah lokal untuk meningkatkan
mutu pengajarannya agar tetap eksis. Selain itu, kalangan pendidik di Indonesia juga
berkesempatan untuk menimba ilmu dan pengalaman dari para pendidik sekolah
internasional.
Di lain pihak tidak sedikit masyarakat terutama kalangan pendidik lokal yang
menganggap kehadiran sekolah internasional sebagai ancaman bagi keberadaan sekolah lokal
dan pendidikan nasional pada umumnya. Hadirnya sekolah unggulan yang menawarkan
sistem pendidikan lebih baik membuat banyak orang tua siswa berpaling dari sekolah lokal.
Berpalingya para orang tua ke sekolah internasional tentunya mengancam eksistensi dari
sekolah lokal terutama yang dikelola swasta. Lebih lanjut mereka memandang kehadiran
sekolah internasional juga menjadi ancaman bagi pendidikan nasional pada umumnya.
Mereka beralasan, kehadiran sekolah internasional akan semakin mengkotak-kotak
pendidikan untuk si kaya dan si miskin. Keadaan seperti ini membuat anak-anak yang
sekolah di sekolah internasional kehilangan kepekaan sosial. Kebiasaan bergaul dengan
teman-teman sebaya dari kalangan mampu membuat mereka tidak peka melihat kemiskinan
di sekitarnya. Kalau sudah begini misi pendidikan untuk menghadirkan sosok manusia yang
berkemampuan utuh tentu tidak tercapai. Secara akademik mereka pintar, tetapi tidak
memiliki kecerdasan untuk menangkap fenomena sosial ditengah masyarakat.
Disamping itu model sekolah bertaraf Internasional juga akan memicu maraknya
komersialisasi pendidikan. Tingginya minat orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah
internasional mengilhami sekolah-sekolah lokal untuk berlomba-lomba memperbaiki sitem
pengajaran, meningkatkan mutu, melengkapi sarana prasarana pendidikan kemudian
menjualnya dengan harga mahal. Maka pendidikanpun hadir menjadi arena dagang yang
menggiurkan. Terlepas dari pro kontra tersebut disudut-sudut kota di Indonesia masih banyak
terdapat sekolah yang jauh dari taraf kelayakan. Sekolah dengan gedung apa adanya, sarana
prasarana kurang, bahkan kredibilitas pengajar yang kurang mumpuni. Fenomena
kemiskinan, rendahnya kesejahteraan guru, diskriminasi, kekerasan, dan perdebatan hal-hal
1

yang tidak substansial adalah pekerjaan rumah yang harus dibenahi dari dunia pendidikan
kita. Kemiskinan yang menjadikan siswa putus sekolah berperan signifikan bagi merosotnya
mutu pendidikan nasional. Hasil survey Human Development Index (HDI) menempatkan
Indonesia dibawah Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, Filiphina bahkan Vietnam.
Kemerosotan mutu pendidikan nasional selain disebabkan oleh tingginya angka putus sekolah
juga disebabkan rendahnya mutu guru, mengingat guru memegang peran strategis dalam
pendidikan. Rendahnya kesejahteraan yang mereka terima membuat guru tak sempat
meningkatkan kualitas keilmuannya. Jangankan menyisihkan uang untuk membeli buku, bisa
menyekolahkan anak saja sudah beruntung.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan paparan latar belakang diatas, rumusan masalah makalah adalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana fenomena sekolah unggulan di Indonesia?
b. Bagaimana fenomena sekolah pinggiran di Indonesia?
c. Bagaimana Perbandingan prestasi sekolah unggulan dengan pinggiran?
C. Tujuan
Tujuan pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui fenomena sekolah unggulan di Indonesia
b. Mengetahui fenomena sekolah pinggiran di Indonesia
c. Mengetahui Perbandingan prestasi sekolah unggulan dengan pinggiran.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Fenomena Sekolah Unggulan di Indonesia


Ciri-ciri Sekolah Unggulan
Untuk melihat kualitas sebuah sekolah dengan kategori unggul atau bermutu, sekolah
tersebut minimal mencapai Standar Nasional Pendidikan yang meliputi: 1. Standar
Kompetensi Lulusan; 2. Standar Isi; 3. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan; 4.
Standar Proses; 5. Standar Sarana dan Prasarana; 6. Standar Pembiayaan; 7. Standar
Pengelolaan; 8. Standar Penilaian Pendidikan. Ini merupakan syarat minimum untuk
menjadi sekolah bermutu/unggulan, ketika Standar Nasional Pendidikan telah dipenuhi
maka standar mutu pendidikan dapat dilakukan berupa, antara lain: a. Standar mutu yang
berbasis kepada keunggulan lokal b. Standar mutu yang mengadopsi atau mengadaptasi
standar kurikulum internasional, atau standar mutu lainnya.
Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan sejumlah kriteria yang harus
dimiliki sekolah unggul. Meliputi :
Pertama: masukan (input) yaitu siswa diseleksi secara ketat dengan menggunakan
kriteria tertentu dan prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria yang dimaksud
adalah : (1) prestasi belajar superior dengan indikator angka rapor, Nilai Ebtanas Murni
(NEM, sekarang nilai UN), dan hasil tes prestasi akademik, (2) skor psikotes yang
meliputi intelgensi dan kreativitas, (3) tes fisik, jika diperlukan.
Kedua: sarana dan prasarana yang menunjang untuk memenuhi kebutuhan belajar
siswa serta menyalurkan minat dan bakatnya, baik dalam kegiatan kurikuler maupun
ekstra kurikuler.
Ketiga: lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya potensi keunggulan
menjadi keunggulan yang nyata baik lingkung fisik maupun social-psikologis.
Keempat: guru dan tenaga kependidikan yang menangani harus unggul baik dari segi
penguasaan materi pelajaran, metode mengajar, maupun komitmen dalam melaksanakan
tugas. Untuk itu perlu diadakan insentif tambahan guru berupa uang maupun fasilitas
lainnya seperti perumahan.
Kelima: kurikulum dipercaya dengan pengembangan dan improvisasi secara maksimal
sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik yang memiliki kecepatan belajar yang lebih
tinggi dibandingkan dengan siswa seusianya.
Keenam: kurun waktu belajar lebih lama dibandingkan sekolah lain. Karena itu perlu
ada asrama untuk memaksimalkan pembinaan dan menampung para siswa dari berbagai
lokasi. Di komplek asrama perlu adanya sarana yang bisa menyalurkan minat dan bakat
siswa seperti perpustakaan, alat-alat olah raga,kesenian dan lain yang diperlukan.
Ketujuh: proses belajar mengajar harus berkulitas dan hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan (accountable) baik kepada siswa, lembaga maupun masyarakat.
Kedelapan: sekolah unggul tidak hanya memberikan manfaat kepada peserta didik di
sekolah tersebut, tetapi harus memiliki resonansi social kepada lingkungan sekitarnya.
Kesembilan: nilai lebih sekolah unggul terletak pada perlakuan tambahan di luar
kurikulum nasional melalui pengembangan kurikulum, program pengayaan dan perluasan,
pengajaran remedial, pelayanan bimbingn dan konseling yang berkualitas, pembinaan
kreativitas dan disiplin.
3

Menurut Eddy mulyasana bahwa sekolah bermutu lahir dari empat hal:
1. Materi pelajaran yang baik, yang tercermin dari: manfaat yang dirasakan,
meningkatkan wawasan, memberikan pengalaman, menumbuhkan semangat dan
motivasi, dan mampu merubah sikap dan prilaku ke arah pembentukan
watak/karakter.
2. Perencanaan pendidikan yang baik untuk mempersiapkan masa depan peserta didik
dan kehidupan akhirat, karena hal itu sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
3. Tata kelola pendidikan yang baik dengan menggunakan prinsip-prinsip yang
bersifat komperhensif, saling terkait dan berkesinambungan serta terukur.
4. Pendidikan yang bermutu lahir dari guru yang bermutu yang dapat dilihat paling
tidak dari penguasaan materi ajar, metodologi, sistem evaluasi dan psikologi
belajar.
Hal yang lebih praktis dan teruji tentang ciri sekolah unggulan menurut Munif
Chatib adalah:
1. Sekolah yang fokus pada kualitas proses pembelajaran bukan kepada inputnya,
kualitas proses pembelajaran tergantung kepada guru yang bekerja di sekolah
tersebut, para guru mampu menjamin semua siswa akan dibimbing ke arah
perubahan yang lebih baik, bagaimanapun kualitas akademis dan moral yang
mereka miliki.
2. Menghargai potensi yang ada dalam diri peserta didik, dimana sekolah membuka
pintu untuk semua siswa bukan dengan menyeleksinya dengan tes-tes formal.
Mengutip dari buku School Effectiveness Research: META ANALISIS (Harris
and Bennett, 2001) bahwa sekolah yang efektif memiliki beberapa kriteria sebagai
berikut:
1. Kepemimpinan Yang Profesional (Professional Leadership)
2. Visi Dan Tujuan Bersama (Shared Vision And Goals)
3. Lingkungan Belajar (A Learning Environment)
4. Konsentrasi Pada Belajar-Mengajar (Concentration On Learning And Teaching)
5. Harapan Yang Tinggi (High Expectation)
6. Penguatan/Pengayaan/Pemantapan Yang Positif (Positive Reinforcement)
7. Pemantauan Kemajuan (Monitoring Progress)
8. Hak Dan Tanggung Jawab Peserta Didik (Pupil Rights And Responsibility)
9. Pengajaran Yang Penuh Makna (Purposeful Teaching)
10. Organisasi Pembelajar (A Learning Organization)
11. Kemitraan Keluarga-Sekolah (Home-School Partnership).
Melalui pemaparan ciri-ciri sekolah unggulan tersebut mendorong para akademisi
untuk mengarahkan masyarakat dalam menentukan pilihan sekolah manakah yang
menjadi tujuan, mengingat orientasi kehidupan kita yang cenderung materialistis
dimana menentukan sekolah diukur dengan fasilitas yang disediakan, berapa biaya yang
dikeluarkan atau lembaga mana yang menyelenggarakan. Ada kesan kuat dalam
masyarakat, bahwa sekolah unggulan dan bermutu adalah sekolah orang kaya karena
mahalnya biaya. Kondisi demikian ini mengancam eksistensi pendidikan kita. Oleh
karenanya, sejak berkembangnya sistem sekolah sebagai lembaga yang dipercaya untuk
mempersiapkan generasi yang lebih berkualitas, fungsi pokok sekolah mulai bergeser
arah.
Semula sekolah didirikan sebagai lembaga yang membantu orang tua dalam
mentransfer ilmu pengetahuan dan mendidik anak sesuai dengan harapan bersama.
4

Namun seiring dengan perkembangan sistem sekolah tersebut kemudian ada jarak
antara sekolah dengan orang tua (masyarakat). Di pihak sekolah juga semakin sibuk
dengan upaya memenuhi tuntutan sistem pendidikan yang semakin kompleks, yang
menguras tenaga dan pikiran para pendidik untuk melaksanakan tuntutan kurikulum
yang berlaku. Di lain pihak, orang tua, karena semakin kompleksnya tuntutan hidup
yang dihadapi, lantas mereka cenderung mempercayakan pendidikan anak sepenuhnya
kepada sekolah. Dari sini kemudian berdampak pada hubungan orang tua dengan
sekolah yang semula bersifat fungsional berubah menjadi formal, pragmatis bahkan
transaksional.

B. Mirisnya Sekolah Pinggiran


Ciri-ciri sekolah pinggiran
Sekolah Pinggiran merupakan istilah bagi sekolah-sekolah yang mempunyai konotasi
sebagai berikut :
1. Sekolah Pingiran terletak di luar / perbatasan ibu kota, baik ibu kota negara kita , ibu
kota provinsi, ibu kota kabupaten atupun ibu kota kecamatan.
2. Sekolah Pinggiran yang terletak jauh.terpencil dari keramaian kota.
3. Sekolah Pinggiran sekolah yang terletak di daerah minus/ daerah miskin.
4. Sekolah Pinggiran sekolah yang terletak di daerah kumuh.
5. Sekolah Pinggiran juga merupakan sebutan untuk sekolah yang tidak pernah
diperhatikan. atau sengaja dimarginalkan oleh pihak-pihak tertentu.
Nampaknya jauh berbeda dengan sekolah unggulan yang banyak kita temukan di
kota-kota besar. Perbedaan sangat jelas antara sekolah unggulan yang bergedung kokoh
besar dengan sekolah yang beratap genteng yang kadang bocor di musim hujan dan panas
di musim panas. Tak hanya itu, dari segi layanan pendidikan juga berbeda. Seperti bumi
dan langit, anak-anak sekolah unggulan diberi fasilitas yang memadai dan menunjang
pembelajaran mereka sedangkan sekolah pinggiran hanya memanfaatkan lingkungan
sekitar sebagai sumber belajar mereka. Dari segi perhatian orang tua juga berbeda, anakanak dari sekolah unggulan pastilah diberi perhatian penuh dalam pembelajaran setiap
harinya, jauh berbeda dengan orang tua dari sekolah pinggiran yang sering kali acuh tak
acuh terhadap pendidikan anaknya. Walaupun begitu tapi nampak jelas semangat juang
anak-anak pinggiran untuk menimba ilmu sangat tinggi. Antusias, pejuangan, serta kerja
keras mereka berjalan kaki menuju sekolah berkilo-kilo meterpun mereka lakukan demi
mendapat ilmu yang kelak bermanfaat bagi mereka.
Banyak Sekolah pinggiran yang belum mempunyai perpustakaan, laboratorium,
bahkan ruang belajarnya kurang. Maklum, biasanya sejak berdirinya sekolah jarang
mendapat bantuan fisik dari anggaran dana pendidikan 20% dari APBN/APBD. Bantuan
fisik diperoleh dari belas kasihan orang-orang dermawan yang peduli pendidikan saja.
Pada tahun ajaran baru nanti, masalah yang biasanya ada di sekolah pinggiran adalah
kurangnya buku-buku penunjang untuk siswa. Peserta didik pun terpaksa tidak mendapat

layanan perpustakaan sebagaimana mestinya. Keadaan fisik sekolah yang sudah ada,
membutuhkan sentuhan rehap karena sudah mengalami kerusakan.
Miris memang melihat sekolah-sekolah pinggiran yang masih banyak tersebar di
Indonesia. Pemerataan pendidikan yang tidak merata berdampak pada ketidakadilan
perolehan pendidikan bagi anak-anak bangsa yang kita harapkan. Rendahnya kualitas
akademik siswa seringkali dianggap sebagai kegagalan proses pendidikan yang
berlangsung di dalamnya. Masyarakat dengan mudahnya memberi cap jelek kepada
segenap anggota sekolah. Mata awam hanya tertuju pada hasil akhir, tetapi mereka lupa
mengukur peningkatan output dibandingkan dengan input awal. Publik menutup mata
terhadap proses yang terjadi di dalam sekolah. Tidak dapat dipungkiri bahwa memegang
status sebagai sekolah pinggiran berarti harus menerima nasib sebagai tempat jujugan
alternatif kesekian. Siswa-siswa yang merasa cerdas tidak akan melirik dan tertarik kecuali
setelah menerima penolakan dari sekolah idaman hatinya. Setelah tidak lolos saringansaringan dari sekolah favorit barulah mereka dengan terpaksa memilih bergabung dan
menjadi siswa di sekolah ini. Sekolah favorit memiliki kekuasaan dan kebebasan memilih
bibit berkualitas unggul, jadi bukan hal yang aneh jika banyak prestasi ditorehkan oleh
siswa. Guru ikut kecipratan berkah dari prestasi itu, hingga dengan arogannya mereka
dapat menepuk dada dan membanggakan andilnya dalam keberhasilan siswanya. Dan
sejarahpun mengalir, mengangkat harkat dan derajat guru tersebut lewat keberhasilan
siswa.
Tanpa harus menjustifikasi siapakah yang salah, sekolah pinggiran seringkali semakin
dipinggirkan. Bantuan-bantuan justru mengalir deras ke sekolah-sekolah favorit di tengah
kota. Sekolah pinggiran membutuhkan banyak bantuan material dan moril. Dengan input
yang sebagian besar memiliki kecerdasan rendah, dukungan keuangan yang juga rendah
serta latar belakang keluarga yang kurang mendukung pendidikan anaknya kian
menambah problematika pendidikan di sekolah pinggiran. Terlepas dari buramnya cap
yang kadung dilekatkan pada sekolah pinggiran, menjadi guru di tempat ini memberikan
pelajaran hidup yang sangat indah. Mengajar siswa yang sebagian besar berkemampuan
rendah membentuk gurunya menjadi pribadi yang sabar, tekun dan ulet. Rasa arogansi
memupus menjadi rasa toleransi, egopun memudar berganti empati. Pelajaran hidup
sangat berharga yang terjalin dalam rasa kebersamaan yang indah makin menajamkan
guru-guru sekolah pinggiran untuk bisa menjadi pribadi unggul.

C. Sekolah Unggulan Versus Sekolah Pinggiran


Secara filosofis, tujuan pendidikan adalah sebagai upaya pembebasan manusia dari
segala penindasan. Penindasan itu dapat berupa kebodohan maupun dari pihak yang
memanfaatkan kebodohan seseorang. Negara manapun selalu berupaya menyelenggarakan
pendidikan yang terbaik. Akan tetapi dengan adanya segala keterbatasan yang dimilikinya,
kekurangan dan kelemahan tetap tidak bisa dihindari. Kelemahan tersebut bisa dari segi

sumber daya meterial yang berupa sarana dan prasarana penunjang pendidikan maupun
sumberdaya non material yang berupa tenaga pendidik dan anak didik itu sendiri.
Di sisi lain, tujuan pendidikan juga untuk memanusiakan manusia (humanizing). Ini
sesuai dengan apa yang diwacanakan oleh Paulo Freire, pendidikan adalah sebuah proses
untuk transformasi dan memperoleh pengetahuan (act of knowing) melalui tindakan
nyatanya dalam merubah dunia. Ini jelas beda dengan tujuan hidup binatang yang tujuan
hidupnya hanya untuk beradaptasi dengan alam, maka tujuan hidup manusia adalah
memanusiakan (humanizing) dunia melalui proses transformasi. Setiap tahun ketika
dimulainya tahun ajaran baru, orang tua beramai-ramai berusaha untuk menyekolahkan
anaknya di sekolah-sekolah unggulan mulai sekolah dasar hingga menengah. Siswa-siswa
SD-SMU yang berprestasi dengan nilai kelulusan tinggi pasti ingin melanjutkan ke
sekolah jenjang selanjutnya yang berkualitas. Hal ini tidak hanya berlaku pada siswa yang
meraih nilai baik, tapi yang mendapatkan nilai pas-pasan pun memiliki keinginan yang
sama.
Selanjutnya perguruan tinggi negeri (PTN) yang telah memiliki nama besar juga
menjadi incaran calon-calon mahasiswa. Ini sangat wajar, sebab sekolah unggulan
dianggap memiliki kelebihan dari pada sekolah-sekolah lainnya (pinggiran). Dengan
tenaga pengajar yang berkualitas serta sarana penunjang pendidikan yang cukup lengkap,
menjadi daya tarik tersendiri yang nantinya diharapkan mampu menjadikan siswa dapat
mengembangkan potensi pendidikannya dengan baik. Kecuali tingkat perguruan tinggi,
sekolah-sekolah unggulan yang ada di Indonesia mulai dasar hingga menengah ternyata
memunculkan suatu dilema tersendiri bagi sekolah-sekolah lainnya. Sekolah-sekolah
unggulan tentu saja, hampir keseluruhan siswanya adalah mereka yang memiliki kualitas
diatas sekolah-sekolah yang lain. Sebab ada seorang calon siswa yang bisa masuk ke
sekolah unggulan harus mampu memenuhi syarat standart penilaian akademik yang telah
ditatapkan pihak sekolahan. Ini sebenarnya sangat bagus untuk memacu prestasi akademik
setiap siswa agar belajar keras agar nantinya mampu memasuki sekolah-sekolah unggulan
yang diinginkan. Sekolah bukan unggulan atau katakanlah sekolah pinggiran bukannya
tidak memiliki pelajar yang berkualitas, akan tetapi kualitasnya sangat jauh dengan yang
ada di sekolah-sekolah unggulan. Begitu juga tenaga pendidik serta sarana dan prasarana
yang dimiliki. Inilah yang memunculkan image di masyarakat, sekolah pinggiran adalah
sekolah tertinggal. Dalam hemat saya, sekolah pinggiran yang notabene dikatakan sebagai
sekolah tertinggal tersebut harus mendapatkan perhatian yang lebih atau minimal sama
dengan sekolah unggulan dari pemerintah. Sebab jika tidak, sekolah pinggiran akan selalu
tertinggal.
Ada kecenderungan ketika sekolah pinggiran memiliki beberapa tenaga pendidik yang
cukup berkualitas akan menjadi rebutan sekolah-sekolah unggulan. Selain itu, sekolah
unggulan terkadang arogan meminta tenaga pendidik yang dianggap berkualitas tadi dari
sekolah pinggiran. Sementara sekolah pinggiran sendiri juga tidak ingin kehilangan
beberapa tenaga pendidiknya yang dianggap lebih daripada yang lainnya. Namun tetap
saja perebutan tersebut seringkali dimenangkan oleh sekolah unggulan yang kadang
mampu memberikan sesuatu yang lebih kepada guru tersebut. Jika ini terjadi terus
7

menerus, maka sekolah pinggiran akan tetap selalu tertinggal karena tenaga pendidiknya
yang juga selalu pinggiran. Ini tidak saja terjadi untuk guru saja, kepala sekolah juga
malah sering terjadi.
Jika pemerintah mau memperhatikan kondisi yang dialami sekolah-sekolah pinggiran,
pemerataan kualitas pendidikan bisa tercapai. Secara ideal, hal ini akan berdampak pada
kondisi sosial ekonomi masyarakat juga. Selain itu, melimpahnya sumber daya manusia
yang berkualitas karena pemerataan kualitas pendidikan yang ada. Maka potensi sumber
daya alam yang ada di Indonesia bisa diolah dan dimanfaatkan oleh manusia Indonesia
sendiri. Dengan jumlah penduduk 200 juta lebih dan pemerataan pendidikan maka kita
tidak perlu lagi mendatangkan tenaga dari luar. Seperti kita ketahui, tenaga dari luar negeri
sangat mahal sekali. Sementara tenaga Indonesia hanya menjadi pekerja bawahan dari
tenaga asing. Ini sangat ironis sekali. Kita menjadi kuli di negeri sendiri. Seharusnya SDA
yang ada kita olah sendiri dan kita manfaatkan sendiri. Sehingga kemakmuran rakyat bisa
tercapai. Dengan adanya sekolah unggulan yang bisa dinikmati seluruh lapisan
masyarakat, maka akan menghasilkan produk pendidikan berkualitas diseluruh lapisan
masyarakat. Seperti kata Freire lagi yaitu sistem pendidikan dapat diandaikan sebagai
sebuah bank, dimana siswa di beri ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat menghasilkan
yang berlipat ganda. Dengan kualitas pendidikan yang merata, maka kualitas masyarakat
juga akan meningkat. Sehingga pertumbuhan perekonomian masyarakat juga akan bisa
tercapai.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan Uraian yang telah disampaikan bahwa sekolah unggulan adalah sekolah
yang dikembangkan untuk mencapai keunggulan maka masukan (intake atau input) seperti
guru, tenaga kepemimpinan,manajemen, layanan pendidikan, sarana pendidikan serta proses
pendidikan diarahkan untuk tercapainya tujuan tersebut, disamping itu juga sekolah
memberikan kesempatan kepada siswa yang berkemampuan biasa untuk mencapai prestasi
maksimal dan sekolah unggulan akan berwujud bila sekolah tidak eksklusif bak menara
gading, tetapi tumbuh sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap
nurani masyarakat (a sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan
dengan individu lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang dapat
disumbangkan pada sekolah.
Sedangkan sekolah pinggiran adalah sekolah yang secara akademis dicap sebagai
sekolah yang tidak diperhatikan atau sengaja dimarginalkan oleh pihak-pihak tertentu. Masih
banyak terdapat sekolah pinggiran di Indonesia dan keadaanya sangat buruk. Akan tetapi
prestasi anak-anak di sekolah pinggiran ternyata tak kalah hebatnya dengan sekolah unggulan
yang serba berfasilitas.
Saran
Dari uaraian fenomena sekolah unggulan dengan sekolah pinggiran perlu adanya
perbaikan sistem pendidikan di Indonesia agar penyelenggaraan layanan pendidikan merata
bagi seluruh anak-anak Indonesia. Pemerintah harus bekerja ekstra untuk memperhatikan
kondisi sekolah-sekolah yang kurang diperhatikan (sekolah pinggiran) sehingga kualitas
pendidikan di Indonesia dapat meningkat.

Daftar Pustaka
Bayu.

2013. Sampai Dimana Pendidikan di Indonesia. Jakarta. Online


http://lifeschool.wordpress.com/2013/05/02/sampai-di-mana-pendidikan-di-indonesia/
Diakses pada tanggal 10 Juni 2014

Ian. 2010. Peran dan kesejahteraan guru sebagai cermin pendidikan di Indonesia. Jakarta.
Online:
http://ian43.wordpress.com/2010/06/01/peran-dan-kesejahteraan-gurusebagai-cermin-pendidikan-di-indonesia/ Diakses pada tanggal 10 Juni 2014
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Online:

sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.

Diakses pada tanggal 10 Juni 2014


Turmuzi, Ahmad. 2013. Suara Hati Warga Sekolah Pinggiran. Jakarta. Online:
http://ahmadturmuzi.blogspot.com/2013/03/suara-hati-warga-sekolah-pinggiran.html
Diakses pada tanggal 10 Juni 2014

10

S-ar putea să vă placă și