Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Oleh :
TUTUT SRIWILUDJENG T.
RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto
PENDAHULUAN
Kesehatan Indera pendengaran merupakan syarat penting bagi upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia karena sebagian besar infomasi diserap mulalui proses
mendengar yang baik bagi anak fungsi pendengaran berpengaruh dalam perkembangan bicara
dan berbahasa, sosialisasi dan perkembagan kognitifnya
Gangguan pendengaran berbeda dengan cacat yang lainnya dimana pada bayi/anak
yang mengalami gangguan pendengaran sering kali tidak terdeteksi atau tidak segera
diketahui baik oleh orang tua sendiri, kelainan ini disebut juga sebagai the Invisible
disability. Gejala awal sulit diketahui karena ketulian tidak terlihat. Biasanya orang tua baru
menyadari adanya gangguan pendengaran pada anak bila tidak ada respons terhadap suara
keras atau belum / terlambat berbicara. Oleh karena itu informasi dari orang tua sangat
bermanfaat untuk mengetahui respons anak terhadap suara dilingkungan rumah, kemampuan
vokalisasi dan cara mengucapkan kata.
Pengenalan (deteksi) adanya ketulian yang dini kemudian ditangani (intervensi) yang
dini akan meningkatkan kemampuan anak untuk berbahasa dan bebicara. Karena pada tahuntahun pertama kehidupan (0 3 tahun), merupakan masa perkembangan bahasa dan bicara
yang paling kritis. Penelitian membuktikan bahwa pada masa-masa tersebut kualitas stimulasi
pendengaran berpengaruh pada perubahan-perubahan anatomis, fisiologis dan tingkah laku
yang diakibatkan oleh perkembangan sistem pendengaran.
Keterlambatan dalam diagnosisnya berarti pula terdapat keterlambatan untuk memulai
intervensinya dan akan membawa dampak serius dalam perkembangan selanjutnya yang
dikemudian hari akan menambah beban keluarga, masyarakat maupun Negara.
Oleh karena itu deteksi dan intervensi sejak dini sangat penting untuk diperhatikan
dan perlu segera dilakukan.
Salah satu upaya untuk menemukan kasus bayi dengan gangguan pendengaran adalah
dengan melakukan pemeriksaan pendengaran pada awal-awal usia bayi, terutama yang
terdapat kecurigaan adanya gangguan pendengaran dan juga pada kelompok bayi dengan
resiko tinggi.
Kejadian kasus gangguan pendengaran yang sedang sampai berat rata-rata terdeteksi
pada usia 20-24 bulan. Pada kasus gangguan pendengaran yang ringan ditemukan rata-rata
usia 48 bulan. Bahkan pada kasus gangguan pendengaran yang unilateral baru dapat
diidentifikasi pada usia sekolah.
Banyak peneliti yang mengemukakan bahwa intervensi dini dapat memberikan hasil
yang lebih baik dalam kemampuan berbicara dan berbahasa. Penanganan kasus gangguan
pendengaran yang lebih dini dilakukan terbaik dibawah usia 6 bulan.
Angka kejadian gangguan pendengaran berkisar antara 1 sampai 3 kejadian setiap
1000 kelahiran hidup. Angka tersebut dapat meningkat 10 sampai 50 kali lipat bila dilakukan
survey pada kelompok dengan resiko tinggi.
Menurut WHO masalah gangguan pendengaran dan ketulian perlu ditangani lebih
serius mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan. Dampak negatif tersebut antara lain
berupa:
1. Gangguan atau hambatan perkembangan bicara, berbahasa dan kognitif pada anak,
terutama bila terjadi sejak lahir atau pada bayi.
2. Kesulitan mengikuti pelajaran disekolah sehingga mengakibatkan rendahnya prestasi
akademik.
3. Kesulitan memperoleh lapangan kerja atau mengganggu tugas dalam bekerja.
4. Terisolir dari kehidupan sosial
5. Efek yang merugikan baik secara sosial maupun ekonomi didalam lingkungan
masyarakat dan Negara.
Metode klasifikasi gangguan pendengaran yang lebih adalah dibedakan dari sisi onset,
sisi genetika, progresifitas penyakit.
Dalam mengklasifikasikan gangguan pendengaran perlu diperhatikan :
1. Jenis gangguan : tipe koduktif, sensorineural, campuran.
2. Waktu berlangsung : menetap, sementara, memberat.
3. Derajat gangguan pendengaran : rigan, sedang, berat, sangat berat.
4.
Onset gangguan pendengaran : congenital, periode prelingual, atau postlingual, lanjut usia
(presbiakusis)
Angka Kejadian
Jumlah bayi yang menderita tuli kongenital adalah 1 anak pada setiap 1000 kelahiran
hidup, sedangkan bayi yang dirawat dalam rungan intensif (Natonal Intensive Care Unit)
jumlahnya adalah 1 diantara 50 bayi. Kemudian pada usia balita masih bertambah 2 anak lagi
pada setiap 1000 anak. Angka kelahiran kasar (CBR) di Jawa Timur 22,0 sampai 24,9 per
1000 penduduk. Apabila jumlah penduduk Jawa Timur 37 juta, maka angka kelahiran kurang
lebih 750.000, berarti kurang lebih terdapat 750 bayi yang lahir tuli setiap tahun.
Prevalensi tuli kongenital di Indonesia di perkirakan 0,1 %. Ini akan bertambah 4710
orang setiap tahun dengan melihat angka kelahiran sebesar 2,2 % pada penduduk yang
berjumlah 214.100.000 orang. Ini akan terus bertambah mengingat faktor resiko yang
mengakibatkan tuli kongenital pada masa kehamilan dan kelahiran masih tinggi.
Di Negara maju angka tuli kongenital berkisar antara 0,1 0,3 % kelahiran hidup..
sedangkan di Indonesia berdasarkan survey yang dilakukan Dep. Kes di 7 Provinsi pada
tahun 1994 1996 yaitu sebesar 0,1 %.
Tuli kongenital di Indonesia diperkirakan sebanyak 214.100 orang bila jumlah
penduduk sebesar 214.100.000 juta (Profil Kesetahan 2005). Jumlah ini akan bertambah
setiap tahun dengan adanya pertambahan penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar
0,22 %. Hal ini tentu saja berdampak pada penyediaan sarana pendidikan dan lapangan
pekerjaan di masa mendatang.
WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 38.000 anak tuli lahir di Asia Tenggara.
Pertemuan WHO di Colombo pada tahun 2000 mentapkan tuli kongenital sebagai
salah satu penyebab ketulian yang harus diturunkan prevalensinya. Ini tentu saja memerlukan
kerjasama dengan disiplin ilmu lain dan masyarakat selain tenga kesehatan.
2.
Penyebab
2.
3.
4.
5.
6.
Meningitis Bakterialis
7.
8.
Asfisia berat
9.
10. Menggunakan alat bantu pernafasan / ventilasi mekanik lebih dari 5 hari (ICU)
Genetic Hearing Loss
Kebanyakan kasus dari genetik Hearing Loss adalah Nonsindromik. Telah dapat
diidentifikasikan
lebih
110
http://webhost.ua.ac.be/hhh).
loci
kromosom
dan
65
gen
(dapat
diakses
pada
Lebih dari 300 macam sindroma yang berhubungan dengan gangguan pendengaran,
antara lain yang sering sindroma Pendreds, Ushers dan Teacher Collins yang bersifat
autosomal resesif, Waardenburgs (AD atau AR), Malformasi Mondini, vestibularaqueduct
enlargement. Studi kasus mendapatkan sebanyak 20,8 % dari 810 anak dengan SNHL
(Sensori Neural Hearing Loss). Gejala biasanya tampak setelah lahir dan rata-rata usia
dirujuk sekitar 5,8 tahun.
Cara yang terbaik untuk mendeteksi kasus gangguan pendengaran prelingual yang tak
tampak saat lahiratau sub klinis yaitu dengan melakukan pemeriksaan genetik molekuler dari
sampel darah pada bayi. Jenis pemeriksaan yang saat ini telah tersedia adalah tes ketulian
GJB2 dan mutasi kondria A1555G.
Penemuan kasus pada bayi dengan kecurigaan mendapat gangguan pendengaran
penyebab genetik telah dimungkinkan di masa kini melalui teknik DNA sequencing.
Diperkirkan pemeriksaan tersebut akan menjadi trend atau stadart masa depan. Kemajuan
ini merupakan langkah penting dalam memberikan kontribusi terhadap penanganan kasus
ketulian, sejak lahir dengan lebih baik lagi. Bayi dengan tuli kongenital yang Late-Onset
Prelingual Hearing Loss depat segera di identifikasi sejak lahir, baik dengan penyebab
genetik ataupun lingkungan.
PERKEMBANGAN FUNGSI PENDENGARAN DAN KEMAMPUAN BERBICARA
Sesuai dengan usia anak, perkembangannya uditorik sebagai berikut :
Usia 0-4 bulan : kemampuan respons auditorik masih terbatas dan bersifat refleks. Dapat
dinyatakan bayi keget mendengar suara keras atau terbangun ketika sedang tidur. Respons
berupa refleks auropalpebral maupun refleks Moro.
Usia 4-7 bulan : respons memutar kepala kearah bunyi yang terletak dibidang horizontal,
walaupun belum konsisten. Pada usia 7 bulan otot leher cukup kuat sehingga kepala dapat
diputar dengan cepat kearah sumber suara.
Usia 7-9 bulan : dapat mengidentifikasi dengan tepat asal sumber bunyi dan bayi dapat
memutar kepalanya dengan tegas dan cepat.
Usia 9-13 bulan : bayi sudah mempunyai keinginan yang besar untuk mencari sumber bunyi
dari segala arah dengan cepat.
Usia 2 tahun : pemerika harus lebih teliti karena anak tidak akan memberi reaksi setelah
beberapa kali mendapat stimulus yang sama. Hal ini disebabkan karena anak sudah mampu
pemperkirakn sumber suara.
reflek
auropalpebral.
Pemeriksaan
Obyektif
dilakukan
dengan
alat
tes
Gambar 1. Uji pendengaran dengan BOA dan respon yang diberikan oleh bayi dan neonatus.
Dikutip dari: Nothem 1994
Skrining gangguan pendengaran pada neonatus adalah suatu proses untuk melakukan
test yang sederhana dan singkat, untuk mengidentifikasi populasi dengan probabilitas tinggi
terjadinya gangguan pendengaran.
Terdapat permasalahan yang cukup serius dampaknya dan terdapat prevalensi tinggi di
masyarakat.
Terdapat bukti kuat bahwa skrining mendapat manfaat yang lebih besar dibandingkan bila
kasus terlambat ditemukan secara dini dan segera dilakukan intervensinya dibandingkan bila
kasus terlambat ditemukan dan baru disadari kemudian. Pengobatan secara dini harus
menunjukkan manfaat yang lebih besar dan dapat mengubah prognosis penyakit.
Metode skrining telah dievaluasi, dinyatakan tepat dan dapat digunakan pada sasaran yang
dituju. Metode cukup sensitif dan spesifik, prosedurnya dapat diaplikasikan pada 100% dari
target populasi, mudah ditoleransi dan bebas dari resiko, dapat terjangkau secara luas, biaya
murah, sasaran mudah, pemeriksaan cepat dalam populasi besar.
Adanya ketersediaan fasilitas diagnostik dan fasilitas yang cukup untuk implementasi
program intervensi dengan tujuan mengoreksi kondisi yang terdeteksi saat skrining
dilakukan.
Untuk program deteksi dan intervensi dini seharusnya dapat diterapkan pada semua
bayi (target populasi) tidak hanya pada yang memiliki resiko tinggi.
Penelitian telah dilakukan bila skrining hanya diterapkan pada kelompok resiko tinggi
hanya akan mendeteksi 50% dari jumlah bayi dengan gangguan pendengaran. Tidak
diragukan lagi bahwa deteksi dan intervensi dini adalah penting untuk semua bayi (Universal
New Bom Hearing Screening). Anjuran Skrining pendengaran dilakuakn sejak berbulanbulan pertama kelahiran, kemudian di follow up dan diagnosis ditegakkan sampai usia 3
bulan dan selanjutnya masuk dalam program intervensi dalam usia 6 bulan.
Dengan kemajuan teknologi masa kini memungkinkan untuk mendeteksi gangguan
pendengaran sejak lahir dengan hasil yang dapat dipercaya. Saat ini OAE (Otoacoustic
Emission) dan AABR (Automated Auditory Brainstem Evoked Response) merupakan tehnik
pemeriksaan baku emas (gold standard) dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak
invasif dengan sensitifitas mendekati 100%. Yang menjadi kendala adalah bahwa sarana ini
tidak dimiliki oleh semua rumah sakit provinsi.
Auditory Brainstem Evoked Response (ABR) mencatat respon araf auditorius di area
sepanjang jalur pendengaran terhadap stimulus akustik.
Pemeriksaan ABR merupakan pengukuran elektrofisiologis yang menilai fungsi saraf
pendengaran dan area sepanjang jalur pendengaran sampai batang otak. Gelombanggelombang yang dihasilkan pada perekaman ABR ada 7 gelombang, sebagai berikut :
Gelombang I
: eighth nerve
Gelombang II
Gelombang III
Gelombang IV
Gelombang V
Gelombang VI
Gelombang VII
respon lulus atau gagal. Apakah sistem komersial yang tersedia, dapat dipakai sebagai suatu
alat skrining efektif untuk bayi yang lebih muda dari 6 bulan. AABR memberi hasil lulus /
gagal tanpa memerlukan interpretasi, namun cara ini kurang memberi informasi frekwensi
yang spesifik.
b) Manual Auditory Brainstem Evoked Response
Manual ABR pada umumnya dikenal sebagai Automated Auditory Brainstem Evoked
Response (ABR) saja, tidak seperti AABR yang menimbulkan respon terhadap suatu klik
yang diatur pada 35 dBHL, intensitas stimulus ABR divariasikan untuk menetukan tingkat
rendah yang diperlukan untuk menimbulkan respon yang jelas. Hasilnya selain dapat
menetukan beratnya ketulian juga dapat menentukan apakah ketulian bersifat sensorineural
atau konduktif. Bila menggunakan suatu klik untuk menimbulkan ABR, informasi mengenai
sensitifitas pendengaran dibatasi pada batasan 1000-4000 Hz. Bila perlu, suatu ABR dapat
menggunakan tambahan tonus frekwensi rendah (750 Hz) untuk menentukan konfigurasi
gangguan pendengaran.
Dengan menilai bentuk gelombang dan waktu yang diperlukan mulai saat stimulus
diberikan sampai timbul gelombang, dapat memberikan arti klinis mengenai keadaan di jalur
saraf pendengaran atau area disekitarnya yang mempengaruhi saraf pendengaran.
Rekaman ABR yang normal harus ada gelombang I, III dan V dengan puncak yang
jelas pada kedua telinga. Gelombang IV pada umumnya menyatu dengan gelombang V.
Keterbatasan dengan mendeteksi gangguan pendengaran sejak bayi antara lain
disebabkan timbulnya atau manifestasi gangguan pendengaran baru terjadi diusia yang lebih
besar, sehingga early-onset hearing loss tidak Nampak. Dalam hal ini The Joint Committee
Perhatian orang tua yang berupa kecurigaan gangguan pendengaran, gangguan berbicara,
berbahasa dan developmental delay
2.
3.
Stigmata atau sindrome yang diketahui mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural atau
tuli konduksi
4.
5.
6.
7.
Sindrom yang terkait dengan tuli progresif seperti Neurofibromatosis, Osteopetrosis, Ushers
Sindrom.
8.
9.
Trauma kepala.
10. Otitis media yang rekuren atau presisten selama paling tidak 3 bulan.
Selain itu Sound Hearing 2030 (SH 2030) juga bertujuan mengurangi gangguan
pendengaran yang dapat dicegah sebesar 50% pada tahun 2015 dan 90% pada tahun 2030.
Dengan melaksanakan kegiatan SH 2030 diharapkan agar setiap penduduk Indonesia
mempunyai hak untuk memiliki derajat kesehatan telinga dan pendengaran yang optimal
pada tahun 2030.untuk mewujudkan hal tersebut diatas, pengelolaan program kesehatan indra
pendengaran diarahkan pada upaya penaggulangan gangguan pendengaran dan ketulian. Agar
tercapai persepsi yang sama dan peningkatan kemampuan pengelola dan pelaksana (lintas
program dan lintas sektor) diperlukan kegiatan pelatihan yang berkesinambungan.
Sampai saat ini WHO belum memiliki suatu strategi khusus yang bersifat global
dalam pencegahan gangguan pendengaran. Namun pada pertemuan Bangkok tanggal 4 5
oktober 2005 WHO SEARO telah membentuk suatu organisasi : SOUND HEARING 2030
untuk mengkoordinasi kegiatan pencegahan ganggun pendengaran di kawasan WHO
SEARO.
Pada pertemua perdana SOUND HEARING 2030 (SH 2030) pada 4 5 Oktober di Bangkok
telah ditetapkan visi, misi dan tujuan SH 2030. Dr Bulantrisna Djelantik (Indonesia) pada
pertemuan tersebut ditetapkan sebagai ketua.
Visi Sound Hearing 2030
Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan penduduk Asia Tenggara berkat
pendengaran yang lebih baik.
Misi Sound Hearing 2030
Meniadakan gangguan pendengaran yang dapat dicegah pada tahun 2030 melalui
pengembangan sistem pemeliharaan kesehatan yang berkelanjutan.
Tujuan Sound Hearing 2030
Mengurangi gangguan pendengaran yang dapat dicegah sebesar 50% pada tahun 2015
dan 90% pada tahun 2030.
Menentukan besaran masalah (magnitude) dan penyebab utama gangguan pendengaran dan
ketulian pada populasi tertentu.
2.
3.
Menurunkan prevalensi gangguan pendegaran akibat pajanan bising pada kelompok resiko
tinggi.
4.
Mengembangkan kesehatan telinga dasar ( basic ear care) sebagai bagian Program
Pelayanan Kesehatan Dasar di PUSKESMAS.
5.
6.
7.
Mengadakan kerja sama teknis dengan pihak Pemerintah untuk mengembangakan Program
Nasional di bidang kesehatan telinga dan pendengaran.
8.
Pernyataan lai dari WHO (Geneva, 2000) juga menyatakan bahwa 50% gangguan
pendengaran dapat dicegah (Preventable Deafness) melalui kegiatan Primary Health Center
(PUSKESMAS). Pada pertemuan tersebut WHO juga merekomendasikan agar tiap Negara
menurunkan Preventable Deafness sampai 50% pada 2010 (Better Hearng 2010).
Untuk maksud tersebut Departemen Kesehatan RI telah menyusun Rencana Strategi
Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian untuk mencapai tujuan
Sound Hearing 2030, yang akan menjadi pedoman kegiatan pencegahan gangguan
pendengaran dan ketulian baik di tingkat Pusat maupun Daerah
Berbagai upaya kesehatan telinga / pencegahan gangguan pendengaran (UKT / PGP)
sudah dirintis sejak tahun 1989 dengan pembentukan Hearing dan Speech Center di sentrasentra Indonesia sebagai langkah awal untuk program nasional kesehatan telinga di
Indonesia.
Sejak tahun 2002 di Surabaya juga telah memulai mengikuti program tersebut dengan
membuka Pusat Pendengaran dan Komunikasi (Hearing and Communication Center) yang
bertempat di poli Audiologi RSU Dr. Soetomo. Dengan demikian diharapkan dapat ikut
menunjang upaya dalam menerapkan program deteksi dan intervensi dini dan untuk
mencapai tujuan Sound Hearing 2030.
DAFTAR PUSTAKA
Abiratno SFe. Auditory Brainstem Response (ABR). Dalam makalah Grand Opening
Hearing and Communication Center RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2002: 1-20.
Abiratno SF. Penanganan gangguan fungsi pendengaran dan gangguan perkembangan
berbicara pada anak. Seminar Penanganan Gangguan Pendengaran pada Anak. RS Dr
Soetomo Surabaya 26-29 maret 2003.
Available from http
:http:// www.who.int/ pbd/deafness/activities/en/capetown final report.pdf
www.who.int/ pbd/deafness/activities/strategies/en/index.html
Djelantiek B. Deafness and Hearing Impairmentin SEA Region. Temu konsultasi perumusan
trategi nasional penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian (PGPKT). Bogor Juni
2003
Future programme developments for preventionof deafness and hearing impairment. Report
of the 4
Joint Commite on infant Hearing. Years 2000 Position Statement: Priciple and Guidelines for
Early Hearing Detection and Intervention Programs. Pediatrics 2000; 106 (4): 798 814.
Kurikulum dan Modul Pelatihan Pengelolaan Program Kesehatan Indera Pendengaran
Kabupaten/Kota.
Direktorat
Bina
kesehatan
Komunitas.
Ditjen
Bina
Kesehatan
Meyerhoff WL, CArer JB, Scope of the Problem and Fundamental. In; Meyershoff WL,
Liston S, Anderson RG Eds. Diagnosis and management of Hearing Loss. Philadephia: WB
saunders, 1984; 1 24.
Northern JL, Downs M. Behavior Hearing Testing of children. In : hearing in Childern 4
Ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1991: 139 184.
Roush J. Screening for Hearing Loss and Otitis Media in Childern. Canada: Singular.
Thomson Learning, Inc, 2001.
Sirland F, Suwento R (eds). Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran
1993 1996. Depkes RI, 1997.
Suwento R, Kadir A, Djelantik B, Zizlavsky S, Hendarmin H: Final Report: WHO-SEA
Study ON Infrastructure And Helath Sevices For The Prevention and Control Of Deafness:
Indonesian Chapter. Colombo, Dec 17 20, 2002.
Suwento, R. hearing Health infrastructure in Indonesia. In Suzuki J, Kobayashi T, Koga K,
Eds. Hearing Impairment: An invisibility. Tokyo : Springer; 2004: 45 8.
State of Hearing & Ear Care in South East Asia Region. WHO Regional Office for South
East Asia.
Smith Aw. Global Perpective On Deafness and Hearing impairment. Presentation at
Consultation for Preventation and Control of Deafness and Hearing Impairment in SEA.
Colombo, Dec.2002.
Yoshinaga-Itano C, Sedey Al, Coulter DK, Mehi Al. Language of Early-and Later-identified
Childern With Hearing Loss. Pediatrics 1998; 102 (5): 1161 71.
Yoshinaga-Itano C, Gravel JS, The Evidence for Universal Newborn Hearing Screening. Am
J Audiol 2001; 10 (2): 62 4.