Sunteți pe pagina 1din 17

DETEKSI dan INTERVENSI DINI KETULIAN PADA ANAK

Oleh :
TUTUT SRIWILUDJENG T.
RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto
PENDAHULUAN
Kesehatan Indera pendengaran merupakan syarat penting bagi upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia karena sebagian besar infomasi diserap mulalui proses
mendengar yang baik bagi anak fungsi pendengaran berpengaruh dalam perkembangan bicara
dan berbahasa, sosialisasi dan perkembagan kognitifnya
Gangguan pendengaran berbeda dengan cacat yang lainnya dimana pada bayi/anak
yang mengalami gangguan pendengaran sering kali tidak terdeteksi atau tidak segera
diketahui baik oleh orang tua sendiri, kelainan ini disebut juga sebagai the Invisible
disability. Gejala awal sulit diketahui karena ketulian tidak terlihat. Biasanya orang tua baru
menyadari adanya gangguan pendengaran pada anak bila tidak ada respons terhadap suara
keras atau belum / terlambat berbicara. Oleh karena itu informasi dari orang tua sangat
bermanfaat untuk mengetahui respons anak terhadap suara dilingkungan rumah, kemampuan
vokalisasi dan cara mengucapkan kata.
Pengenalan (deteksi) adanya ketulian yang dini kemudian ditangani (intervensi) yang
dini akan meningkatkan kemampuan anak untuk berbahasa dan bebicara. Karena pada tahuntahun pertama kehidupan (0 3 tahun), merupakan masa perkembangan bahasa dan bicara
yang paling kritis. Penelitian membuktikan bahwa pada masa-masa tersebut kualitas stimulasi
pendengaran berpengaruh pada perubahan-perubahan anatomis, fisiologis dan tingkah laku
yang diakibatkan oleh perkembangan sistem pendengaran.
Keterlambatan dalam diagnosisnya berarti pula terdapat keterlambatan untuk memulai
intervensinya dan akan membawa dampak serius dalam perkembangan selanjutnya yang
dikemudian hari akan menambah beban keluarga, masyarakat maupun Negara.
Oleh karena itu deteksi dan intervensi sejak dini sangat penting untuk diperhatikan
dan perlu segera dilakukan.
Salah satu upaya untuk menemukan kasus bayi dengan gangguan pendengaran adalah
dengan melakukan pemeriksaan pendengaran pada awal-awal usia bayi, terutama yang
terdapat kecurigaan adanya gangguan pendengaran dan juga pada kelompok bayi dengan
resiko tinggi.

Kejadian kasus gangguan pendengaran yang sedang sampai berat rata-rata terdeteksi
pada usia 20-24 bulan. Pada kasus gangguan pendengaran yang ringan ditemukan rata-rata
usia 48 bulan. Bahkan pada kasus gangguan pendengaran yang unilateral baru dapat
diidentifikasi pada usia sekolah.
Banyak peneliti yang mengemukakan bahwa intervensi dini dapat memberikan hasil
yang lebih baik dalam kemampuan berbicara dan berbahasa. Penanganan kasus gangguan
pendengaran yang lebih dini dilakukan terbaik dibawah usia 6 bulan.
Angka kejadian gangguan pendengaran berkisar antara 1 sampai 3 kejadian setiap
1000 kelahiran hidup. Angka tersebut dapat meningkat 10 sampai 50 kali lipat bila dilakukan
survey pada kelompok dengan resiko tinggi.

PENGERTIAN GANGGUAN PENDENGARAN dan KETULIAN


Menurut WHO pengertian gangguan pendengaran dan ketulian dibedakan beasarkan
ketentuan sebagai berikut.
GANGGUAN PENDENGARAN (hearing impaired): berkurangnya kemampuan
mendengar baik sebagian atau seluruhnya, pada salah satu atau kedua telinga, baik derajat
ringan atau lebih berat dengan ambang pendengaran rata lebih dari 26 dB pada frekuensi 500,
1000, 2000 atau 4000 Hz.
KETULIAN (deaf): hilangnya kemampuan mendengar pada salah satu atau kedua sisi
telinga, merupakan gangguan pendengaran sangat berat dengan ambang pendengaran ratarata lebih dari 81 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000 atau 4000 Hz.
WHO juga membagi derajat gangguan pendengaran menjadi 4 kelompok seperti pada
tabel berikut :
Tabel 1: pembagian derajat gangguan pendengaran

Menurut WHO masalah gangguan pendengaran dan ketulian perlu ditangani lebih
serius mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan. Dampak negatif tersebut antara lain
berupa:

1. Gangguan atau hambatan perkembangan bicara, berbahasa dan kognitif pada anak,
terutama bila terjadi sejak lahir atau pada bayi.
2. Kesulitan mengikuti pelajaran disekolah sehingga mengakibatkan rendahnya prestasi
akademik.
3. Kesulitan memperoleh lapangan kerja atau mengganggu tugas dalam bekerja.
4. Terisolir dari kehidupan sosial
5. Efek yang merugikan baik secara sosial maupun ekonomi didalam lingkungan
masyarakat dan Negara.
Metode klasifikasi gangguan pendengaran yang lebih adalah dibedakan dari sisi onset,
sisi genetika, progresifitas penyakit.
Dalam mengklasifikasikan gangguan pendengaran perlu diperhatikan :
1. Jenis gangguan : tipe koduktif, sensorineural, campuran.
2. Waktu berlangsung : menetap, sementara, memberat.
3. Derajat gangguan pendengaran : rigan, sedang, berat, sangat berat.
4.

Onset gangguan pendengaran : congenital, periode prelingual, atau postlingual, lanjut usia
(presbiakusis)

5. Faktor penyebab : ototoksis, akibat bising (GPAB).


Fungsi pendengaran pada neonatus sama dengan anak atau dewasa. Secara fisiologi
proses pendengaran dibagi dalam 3 urutan peristiwa, yaitu pemindahan energi fisik yang
berupa stimulus bunyi keorgan pendengaran, konversi atau transduksi yaitu pengubahan
energi fisik stimulasi tersebut ke organ penerima dan penghantaran impuls saraf ke kortek
pendengaran.
TULI KONGENITAL
Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan faktorfaktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir.
Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf). Tuli
sebagia adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan
untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat dengar, sedangkan tuli total adalah

keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga tidak dapat


berkomunikasi sekalipun menapat perkerasan bunyi (amplifikasi).
Tuli kengenital kita bagi menjadi genetic herediter (adafaktor keturunan) dan non
genetik.
Jenis ketulian yang terjadi biasanya merupakan tuli syaraf (sensorineural) derajat
berat sampai sangat berat pada kedua telinga (bilateral)
Mengingat tuli kongenital mempunyai dampak yang cukup luas maka sejak awal
sebaiknya sudah ada sosialisasi / penyuluhan kepada masyarakat dan petugas kesehatan yang
bekerja dilapangan untuk melakukan deteksi dini.
1.

Angka Kejadian
Jumlah bayi yang menderita tuli kongenital adalah 1 anak pada setiap 1000 kelahiran
hidup, sedangkan bayi yang dirawat dalam rungan intensif (Natonal Intensive Care Unit)
jumlahnya adalah 1 diantara 50 bayi. Kemudian pada usia balita masih bertambah 2 anak lagi
pada setiap 1000 anak. Angka kelahiran kasar (CBR) di Jawa Timur 22,0 sampai 24,9 per
1000 penduduk. Apabila jumlah penduduk Jawa Timur 37 juta, maka angka kelahiran kurang
lebih 750.000, berarti kurang lebih terdapat 750 bayi yang lahir tuli setiap tahun.
Prevalensi tuli kongenital di Indonesia di perkirakan 0,1 %. Ini akan bertambah 4710
orang setiap tahun dengan melihat angka kelahiran sebesar 2,2 % pada penduduk yang
berjumlah 214.100.000 orang. Ini akan terus bertambah mengingat faktor resiko yang
mengakibatkan tuli kongenital pada masa kehamilan dan kelahiran masih tinggi.
Di Negara maju angka tuli kongenital berkisar antara 0,1 0,3 % kelahiran hidup..
sedangkan di Indonesia berdasarkan survey yang dilakukan Dep. Kes di 7 Provinsi pada
tahun 1994 1996 yaitu sebesar 0,1 %.
Tuli kongenital di Indonesia diperkirakan sebanyak 214.100 orang bila jumlah
penduduk sebesar 214.100.000 juta (Profil Kesetahan 2005). Jumlah ini akan bertambah
setiap tahun dengan adanya pertambahan penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar
0,22 %. Hal ini tentu saja berdampak pada penyediaan sarana pendidikan dan lapangan
pekerjaan di masa mendatang.
WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 38.000 anak tuli lahir di Asia Tenggara.
Pertemuan WHO di Colombo pada tahun 2000 mentapkan tuli kongenital sebagai
salah satu penyebab ketulian yang harus diturunkan prevalensinya. Ini tentu saja memerlukan
kerjasama dengan disiplin ilmu lain dan masyarakat selain tenga kesehatan.

2.

Penyebab

Tuli kongenital dapat terjadi pada :

Masa kehamilan (PARENTAL)


Kehamilan trimester I merupakan periode penting karena infeksi bakteri maupun virus
akan mempunyai akibat terjadinya ketulian. Infeksi yang sering mempengaruhi pendengaran
antara lain adalah infeksi TORCHS (Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan
Sifilis), selain campak dan parotitis (gondong).
Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina, gentamisin,
streptomycin dll mempunyai pontensi menyebabkan tyerjadinya gangguan proses
pembentukan organ dan sel rambut pada rumah siput (koklea). Gangguan struktur anatomi
telinga juga dapat menyebabkan terjadinya ketulian antar lain aplasia koklea ( rumah siput
tidak terbentuk) dan atresia liang telinga.
Saat lahir (PERINATAL)
Penyebab ketulian pada saat lahir antara lain : lahir prematur, berat badan lahir rendah
(< 1500 gram), tindakan dengan alat pada proses kelahiran (ekstraksi vakum, forcep),
hiperbilirubinemia (bayi kuning), asfiksia (lahir tidak langsung menangis), dan hipoksia otak
(nilai Apgar < 5 pada 5 menit pertama).
Menurut Academy American Joint Committee on Infant Hearing Statement (1994)
pada bayi usia 0-28 hari bila ditemukan beberapa faktor berikut ini harus dicurigai karena
merupakan kemungkinan penyebab terjadinya gangguan pendengaran.
1.

Riwayat keluarga dengan tuli sejak lahir

2.

Infeksi prenatal; TORSCH

3.

Kelainan anatomi pada kepala dan leher

4.

Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital

5.

Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram)

6.

Meningitis Bakterialis

7.

Hiperbillirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar

8.

Asfisia berat

9.

Pemberian obat ototoksik

10. Menggunakan alat bantu pernafasan / ventilasi mekanik lebih dari 5 hari (ICU)
Genetic Hearing Loss
Kebanyakan kasus dari genetik Hearing Loss adalah Nonsindromik. Telah dapat
diidentifikasikan

lebih

110

http://webhost.ua.ac.be/hhh).

loci

kromosom

dan

65

gen

(dapat

diakses

pada

Lebih dari 300 macam sindroma yang berhubungan dengan gangguan pendengaran,
antara lain yang sering sindroma Pendreds, Ushers dan Teacher Collins yang bersifat
autosomal resesif, Waardenburgs (AD atau AR), Malformasi Mondini, vestibularaqueduct
enlargement. Studi kasus mendapatkan sebanyak 20,8 % dari 810 anak dengan SNHL
(Sensori Neural Hearing Loss). Gejala biasanya tampak setelah lahir dan rata-rata usia
dirujuk sekitar 5,8 tahun.
Cara yang terbaik untuk mendeteksi kasus gangguan pendengaran prelingual yang tak
tampak saat lahiratau sub klinis yaitu dengan melakukan pemeriksaan genetik molekuler dari
sampel darah pada bayi. Jenis pemeriksaan yang saat ini telah tersedia adalah tes ketulian
GJB2 dan mutasi kondria A1555G.
Penemuan kasus pada bayi dengan kecurigaan mendapat gangguan pendengaran
penyebab genetik telah dimungkinkan di masa kini melalui teknik DNA sequencing.
Diperkirkan pemeriksaan tersebut akan menjadi trend atau stadart masa depan. Kemajuan
ini merupakan langkah penting dalam memberikan kontribusi terhadap penanganan kasus
ketulian, sejak lahir dengan lebih baik lagi. Bayi dengan tuli kongenital yang Late-Onset
Prelingual Hearing Loss depat segera di identifikasi sejak lahir, baik dengan penyebab
genetik ataupun lingkungan.
PERKEMBANGAN FUNGSI PENDENGARAN DAN KEMAMPUAN BERBICARA
Sesuai dengan usia anak, perkembangannya uditorik sebagai berikut :

Usia 0-4 bulan : kemampuan respons auditorik masih terbatas dan bersifat refleks. Dapat
dinyatakan bayi keget mendengar suara keras atau terbangun ketika sedang tidur. Respons
berupa refleks auropalpebral maupun refleks Moro.

Usia 4-7 bulan : respons memutar kepala kearah bunyi yang terletak dibidang horizontal,
walaupun belum konsisten. Pada usia 7 bulan otot leher cukup kuat sehingga kepala dapat
diputar dengan cepat kearah sumber suara.

Usia 7-9 bulan : dapat mengidentifikasi dengan tepat asal sumber bunyi dan bayi dapat
memutar kepalanya dengan tegas dan cepat.

Usia 9-13 bulan : bayi sudah mempunyai keinginan yang besar untuk mencari sumber bunyi
dari segala arah dengan cepat.

Usia 2 tahun : pemerika harus lebih teliti karena anak tidak akan memberi reaksi setelah
beberapa kali mendapat stimulus yang sama. Hal ini disebabkan karena anak sudah mampu
pemperkirakn sumber suara.

Perkembangan bicara erat kaitanya dengan tahap perkembangan mendengar pada


abayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu dicurigai apabila :
Usia 12 bulan : belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi
Usia 18 bulan : tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti
Usia 24 bulan : perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
Usia 30 bulan : belum dapat merangkai 2 kata
Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran maka diagnosis dini perlu
dilakukan. Cara mudah untuk melakukan pemeriksaan pendengaran apabila tidak ada sarana
yaitu dengan memberikan bunyi-bunyian pada jarak 1 m di belakang anak :
1. Bunyi pss pss untuk mengambarkan suara frekwensi tinggi
2. Bunyi uh uh untuk mengambarkan frekwensi rendah
3. Suara menggesek dengan sendok pada tepi cangkir (frekwensi 4 KHz)
4. Suara mengetuk dasar cangkir dengan sendok (frekwensi 900 KHz)
5. Suara meremas kertas (frekwensi 6000 KHz)
6. Suara bel (frekwensi 2000 KHz)
PEMERIKSAAN PENDENGARAN
Deteksi dini gangguan pendengarn bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan Subyektif
dan Obyektif. Pemeriksaan Subyektif antara lain dengan menggunakan rangsangan akustik
(bunyi-bunyian) yang mempunyai intensitas tertentu dan nilai responnya, yaitu dengan
gerakan

reflek

auropalpebral.

Pemeriksaan

Obyektif

dilakukan

dengan

alat

tes

elektrofisiologik yaitu Auditory Brainstem Evoked Reponses (ABR) dan Otoacoustic


Emission (OAE) maupun pemeriksaan timpanometri.
Hal yang penting untuk diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan ini adalah liang
telinga harus bersih dan tidak ada kelainan pada telinga tengah.
Pemeriksaan yang penting dilakukan adalah BOA (Behavioral Observation
Audiometry), yaitu dengan melihat perilaku anak terhadap stimulus suara yang diberikan.
Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan ini antara lain usia, kondisi mental, kemauan
melakukan tes, rasa takut, kondisi neurologik yang berhubungan dengan perkembangan
motorik dan persepsi .
Penggunaan BOA dan VRA (Visual Reinforcement Audiometry) pada bayi dan anak
mempunyai keterbatasan untuk menentukan ambang batas pendengaran yang sahih.

Gambar 1. Uji pendengaran dengan BOA dan respon yang diberikan oleh bayi dan neonatus.
Dikutip dari: Nothem 1994
Skrining gangguan pendengaran pada neonatus adalah suatu proses untuk melakukan
test yang sederhana dan singkat, untuk mengidentifikasi populasi dengan probabilitas tinggi
terjadinya gangguan pendengaran.

Terdapat permasalahan yang cukup serius dampaknya dan terdapat prevalensi tinggi di
masyarakat.

Terdapat bukti kuat bahwa skrining mendapat manfaat yang lebih besar dibandingkan bila
kasus terlambat ditemukan secara dini dan segera dilakukan intervensinya dibandingkan bila
kasus terlambat ditemukan dan baru disadari kemudian. Pengobatan secara dini harus
menunjukkan manfaat yang lebih besar dan dapat mengubah prognosis penyakit.

Metode skrining telah dievaluasi, dinyatakan tepat dan dapat digunakan pada sasaran yang
dituju. Metode cukup sensitif dan spesifik, prosedurnya dapat diaplikasikan pada 100% dari
target populasi, mudah ditoleransi dan bebas dari resiko, dapat terjangkau secara luas, biaya
murah, sasaran mudah, pemeriksaan cepat dalam populasi besar.

Adanya ketersediaan fasilitas diagnostik dan fasilitas yang cukup untuk implementasi
program intervensi dengan tujuan mengoreksi kondisi yang terdeteksi saat skrining
dilakukan.
Untuk program deteksi dan intervensi dini seharusnya dapat diterapkan pada semua
bayi (target populasi) tidak hanya pada yang memiliki resiko tinggi.
Penelitian telah dilakukan bila skrining hanya diterapkan pada kelompok resiko tinggi
hanya akan mendeteksi 50% dari jumlah bayi dengan gangguan pendengaran. Tidak

diragukan lagi bahwa deteksi dan intervensi dini adalah penting untuk semua bayi (Universal
New Bom Hearing Screening). Anjuran Skrining pendengaran dilakuakn sejak berbulanbulan pertama kelahiran, kemudian di follow up dan diagnosis ditegakkan sampai usia 3
bulan dan selanjutnya masuk dalam program intervensi dalam usia 6 bulan.
Dengan kemajuan teknologi masa kini memungkinkan untuk mendeteksi gangguan
pendengaran sejak lahir dengan hasil yang dapat dipercaya. Saat ini OAE (Otoacoustic
Emission) dan AABR (Automated Auditory Brainstem Evoked Response) merupakan tehnik
pemeriksaan baku emas (gold standard) dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak
invasif dengan sensitifitas mendekati 100%. Yang menjadi kendala adalah bahwa sarana ini
tidak dimiliki oleh semua rumah sakit provinsi.
Auditory Brainstem Evoked Response (ABR) mencatat respon araf auditorius di area
sepanjang jalur pendengaran terhadap stimulus akustik.
Pemeriksaan ABR merupakan pengukuran elektrofisiologis yang menilai fungsi saraf
pendengaran dan area sepanjang jalur pendengaran sampai batang otak. Gelombanggelombang yang dihasilkan pada perekaman ABR ada 7 gelombang, sebagai berikut :
Gelombang I

: eighth nerve

Gelombang II

: cochlear nucleus (CN)

Gelombang III

: superior olivary complex (SOC)

Gelombang IV

: nucleus of the lateral lemnicus (LL)

Gelombang V

: inferior colliculus (IC)

Gelombang VI

: medial geniculate (MG)

Gelombang VII

: auditory cortex (AC)

Alat pemeriksaan ABR berdasarkan penggunaan klinis digolongkan menjadi 2 tipe


yaitu :
a) Automated Auditory Brainstem Evoked Response (AABR)
Penggunaan AABR pada umumnya dilakukan dengan meletakkan elektroda permukaan
pada dahi bagian atas, mastoid dan belakang leher. Stimulus klik (biasanya diatur pada
35dBHL) dikirim kedalam telinga bayimelalui ear phone. Kebanyakan sistem AABR
membandingkan bentuk gelombang bunyi dengan cetakan yang dibentuk dari data bayi ABR
normative. Berdasarkan perbandingan ini, ditentukan apakah bayi tersebut memberikan

respon lulus atau gagal. Apakah sistem komersial yang tersedia, dapat dipakai sebagai suatu
alat skrining efektif untuk bayi yang lebih muda dari 6 bulan. AABR memberi hasil lulus /
gagal tanpa memerlukan interpretasi, namun cara ini kurang memberi informasi frekwensi
yang spesifik.
b) Manual Auditory Brainstem Evoked Response
Manual ABR pada umumnya dikenal sebagai Automated Auditory Brainstem Evoked
Response (ABR) saja, tidak seperti AABR yang menimbulkan respon terhadap suatu klik
yang diatur pada 35 dBHL, intensitas stimulus ABR divariasikan untuk menetukan tingkat
rendah yang diperlukan untuk menimbulkan respon yang jelas. Hasilnya selain dapat
menetukan beratnya ketulian juga dapat menentukan apakah ketulian bersifat sensorineural
atau konduktif. Bila menggunakan suatu klik untuk menimbulkan ABR, informasi mengenai
sensitifitas pendengaran dibatasi pada batasan 1000-4000 Hz. Bila perlu, suatu ABR dapat
menggunakan tambahan tonus frekwensi rendah (750 Hz) untuk menentukan konfigurasi
gangguan pendengaran.
Dengan menilai bentuk gelombang dan waktu yang diperlukan mulai saat stimulus
diberikan sampai timbul gelombang, dapat memberikan arti klinis mengenai keadaan di jalur
saraf pendengaran atau area disekitarnya yang mempengaruhi saraf pendengaran.

Gambar 2. Gambar gelombang ABR

Rekaman ABR yang normal harus ada gelombang I, III dan V dengan puncak yang
jelas pada kedua telinga. Gelombang IV pada umumnya menyatu dengan gelombang V.
Keterbatasan dengan mendeteksi gangguan pendengaran sejak bayi antara lain
disebabkan timbulnya atau manifestasi gangguan pendengaran baru terjadi diusia yang lebih
besar, sehingga early-onset hearing loss tidak Nampak. Dalam hal ini The Joint Committee

on Hearing telah mengidentifikasi 10 resiko sebagai indicator untuk dilakukan monitoring


status pendengaranya, walaupun dalam pemeriksaan sebelumnya dinyatakan normal.
Untuk itu JCIH menetapkan faktor resiko untuk kelompok resiko tinggi dengan batas
usia 29 hari samapi 2 tahun.
Idikator resiko untuk perlunya monitoring progresif-delayed Sensorineural Hearing
Loss pada bayi usia 29 hari sampai 2 tahun adalah :
1.

Perhatian orang tua yang berupa kecurigaan gangguan pendengaran, gangguan berbicara,
berbahasa dan developmental delay

2.

Riwayat keluarga dengan ketulian masa kanak

3.

Stigmata atau sindrome yang diketahui mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural atau
tuli konduksi

4.

Infeksi pasca kelahiran seperti meningitis

5.

Infeksi intra uterine eg TORCH dan Sifilis

6.

Indikator neonatal seperti hiperbilirubinemia. PPH (presisten pulmonary hypertension),


gangguan ventilasi mekanik.

7.

Sindrom yang terkait dengan tuli progresif seperti Neurofibromatosis, Osteopetrosis, Ushers
Sindrom.

8.

Gangguan neurodegeneratif seperti sindrom Hunter atau gangguan neuropati sensorimotorik


atau Ataxia Friedrichs dan Charcot-Marie Tooth sindrom.

9.

Trauma kepala.

10. Otitis media yang rekuren atau presisten selama paling tidak 3 bulan.

STRATEGI dan PENCEGAHAN GANGGUAN PENDENGARAN RENSTRANAS


PGP KETULIAN untuk tujuan Sound Hearing 2030 ( Depkes RI )
WHO SEARO (South Asia Regional Office) pada tahun 2005 telah membentuk
suatu organisasi : SOUND HEARING 2030 untuk mengkoordinasikan kegiatan pencegahan
gangguan pendengaran di kawasan WHO SEARO. Sound Hearing 2030 (SH 2030)
mempunyai misi untuk menurunkan gangguan pendengaran yang dapat dicegah pada tahun
2030 melalui pengembangan sistem pemeliharaan kesehatan yang berkelanjutan.

Selain itu Sound Hearing 2030 (SH 2030) juga bertujuan mengurangi gangguan
pendengaran yang dapat dicegah sebesar 50% pada tahun 2015 dan 90% pada tahun 2030.
Dengan melaksanakan kegiatan SH 2030 diharapkan agar setiap penduduk Indonesia
mempunyai hak untuk memiliki derajat kesehatan telinga dan pendengaran yang optimal
pada tahun 2030.untuk mewujudkan hal tersebut diatas, pengelolaan program kesehatan indra
pendengaran diarahkan pada upaya penaggulangan gangguan pendengaran dan ketulian. Agar
tercapai persepsi yang sama dan peningkatan kemampuan pengelola dan pelaksana (lintas
program dan lintas sektor) diperlukan kegiatan pelatihan yang berkesinambungan.
Sampai saat ini WHO belum memiliki suatu strategi khusus yang bersifat global
dalam pencegahan gangguan pendengaran. Namun pada pertemuan Bangkok tanggal 4 5
oktober 2005 WHO SEARO telah membentuk suatu organisasi : SOUND HEARING 2030
untuk mengkoordinasi kegiatan pencegahan ganggun pendengaran di kawasan WHO
SEARO.
Pada pertemua perdana SOUND HEARING 2030 (SH 2030) pada 4 5 Oktober di Bangkok
telah ditetapkan visi, misi dan tujuan SH 2030. Dr Bulantrisna Djelantik (Indonesia) pada
pertemuan tersebut ditetapkan sebagai ketua.
Visi Sound Hearing 2030
Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan penduduk Asia Tenggara berkat
pendengaran yang lebih baik.
Misi Sound Hearing 2030
Meniadakan gangguan pendengaran yang dapat dicegah pada tahun 2030 melalui
pengembangan sistem pemeliharaan kesehatan yang berkelanjutan.
Tujuan Sound Hearing 2030
Mengurangi gangguan pendengaran yang dapat dicegah sebesar 50% pada tahun 2015
dan 90% pada tahun 2030.

Melaksanakan kegiatan SH 2030 diharapkan agar setiap penduduk Indonesia


mempunyai hak untuk memiliki derajat kesehatan telinga dan pendengaran yang optima pada
tahun 2030.

Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, pengelolaan program kesehatan indera


pendengaran diarahkan pada upaya penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian.
Kesulitan dan hambatan di Negara berkembang yaitu masih terbatasnya infrastruktur
kesehatan telinga dan pendengaran dalam melakukan pencegahan, deteksi dini,
penatalaksanaan dan habilitasi / rehabilitasi.
Pada tahun 2002 Pemerintah Pusat, telah menyusun Pedoman Rencana Strategi
Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Renstranas PGP Ketulian).
Pedoman tersebut memuat 6 strategi Penanggulangan Ketulian yang perlu dilakukan dalam
mencapai penurunan angka ketulian. Strategi 4 (empat) yang ada dalam Renstranas PGP
Ketulian adalah memperkuat manajemen dan infrastruktur pelayanan dan strategi 5 (lima)
meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) dalam rangka
penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian.
Hasil pertemua WHO SEARO Intercountry Consultation Meeting (Colombo 2002) di
Srilanka merekomendasikan prioritas masalah yang harus ditanggualangi (termasuk di
Indonesia) adalah : Tuli akibat infeksi telinga tengah (Otitis Media Supuratif Khronikal
OMSK), Tuli bawaan / Kongenital, Tuli akibat pajanan bising (Noise Induced Hearing Loss /
NIHL) dan Tuli usia lanjut (Presbikusis) serta ganggauan pendengaran lainnya dalam rangka
mewujudkan tujuan Sound Hearing 2030. Better Hearing for All (setiap penduduk Indonesia
mempunyai hak untuk memiliki derajat kesehatan telinga dan pendengaran yang optimal
pada tahun 2030).
Program PDH bertujuan melaksanakan pencegahan gangguan pendengaran dan
ketulian melalui langkah-langkah kegiatan :
1.

Menentukan besaran masalah (magnitude) dan penyebab utama gangguan pendengaran dan
ketulian pada populasi tertentu.

2.

Mencegah gangguan obat-obatan Ototoksik secara bebas.

3.

Menurunkan prevalensi gangguan pendegaran akibat pajanan bising pada kelompok resiko
tinggi.

4.

Mengembangkan kesehatan telinga dasar ( basic ear care) sebagai bagian Program
Pelayanan Kesehatan Dasar di PUSKESMAS.

5.

Meningkatkan kegiatan deteksi dini dan penatalaksanaan gangguan pendengaran.

6.

Mengembangkan teknologi tepat guna (appropriate technology) untuk pemeriksaan dan


penanganan gangguan pendengaran.

7.

Mengadakan kerja sama teknis dengan pihak Pemerintah untuk mengembangakan Program
Nasional di bidang kesehatan telinga dan pendengaran.

8.

Memiliki sistem manajemen dan administrasi untuk suatu program global.

Pernyataan lai dari WHO (Geneva, 2000) juga menyatakan bahwa 50% gangguan
pendengaran dapat dicegah (Preventable Deafness) melalui kegiatan Primary Health Center
(PUSKESMAS). Pada pertemuan tersebut WHO juga merekomendasikan agar tiap Negara
menurunkan Preventable Deafness sampai 50% pada 2010 (Better Hearng 2010).
Untuk maksud tersebut Departemen Kesehatan RI telah menyusun Rencana Strategi
Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian untuk mencapai tujuan
Sound Hearing 2030, yang akan menjadi pedoman kegiatan pencegahan gangguan
pendengaran dan ketulian baik di tingkat Pusat maupun Daerah
Berbagai upaya kesehatan telinga / pencegahan gangguan pendengaran (UKT / PGP)
sudah dirintis sejak tahun 1989 dengan pembentukan Hearing dan Speech Center di sentrasentra Indonesia sebagai langkah awal untuk program nasional kesehatan telinga di
Indonesia.
Sejak tahun 2002 di Surabaya juga telah memulai mengikuti program tersebut dengan
membuka Pusat Pendengaran dan Komunikasi (Hearing and Communication Center) yang
bertempat di poli Audiologi RSU Dr. Soetomo. Dengan demikian diharapkan dapat ikut
menunjang upaya dalam menerapkan program deteksi dan intervensi dini dan untuk
mencapai tujuan Sound Hearing 2030.

Kunjungan penderita profound SNHL di RSU Dr. SOETOMO

DAFTAR PUSTAKA
Abiratno SFe. Auditory Brainstem Response (ABR). Dalam makalah Grand Opening
Hearing and Communication Center RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2002: 1-20.
Abiratno SF. Penanganan gangguan fungsi pendengaran dan gangguan perkembangan
berbicara pada anak. Seminar Penanganan Gangguan Pendengaran pada Anak. RS Dr
Soetomo Surabaya 26-29 maret 2003.
Available from http
:http:// www.who.int/ pbd/deafness/activities/en/capetown final report.pdf
www.who.int/ pbd/deafness/activities/strategies/en/index.html
Djelantiek B. Deafness and Hearing Impairmentin SEA Region. Temu konsultasi perumusan
trategi nasional penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian (PGPKT). Bogor Juni
2003
Future programme developments for preventionof deafness and hearing impairment. Report
of the 4

informal consultation WHO, Geneva, 17 18 Feb 2000.

Joint Commite on infant Hearing. Years 2000 Position Statement: Priciple and Guidelines for
Early Hearing Detection and Intervention Programs. Pediatrics 2000; 106 (4): 798 814.
Kurikulum dan Modul Pelatihan Pengelolaan Program Kesehatan Indera Pendengaran
Kabupaten/Kota.

Direktorat

Bina

kesehatan

Komunitas.

Ditjen

Bina

Kesehatan

Masyarakat.DEPKES RI, Jakarta. 2006.


Mason JA, Herman KR. Universal Infant Hearing Screening by Automated Brainstem
Response Measurement. Pediatrics 1999; 101 (2): 221 8.
Meyer C, Witte J, Hilman A, Hennceke K, Schunk K, Maul K et al. Neonatal Screening for
Hearing Disorder in Infant at risk: Incidence, Risk Factors, and Follow-up. Pediatrics 1999;
104 (4): 900 904.
Moeler MP. Early intervention and language devwlopment in children who are deaf and hard
of hearing. Pediatrics 2000; 106 (3): 45 52.
Morton CC, Nance WE. Newborn Hearing Screening A Silent Revolution. The new
England Journal of Medicine 2006; 354: 2151 64.

Meyerhoff WL, CArer JB, Scope of the Problem and Fundamental. In; Meyershoff WL,
Liston S, Anderson RG Eds. Diagnosis and management of Hearing Loss. Philadephia: WB
saunders, 1984; 1 24.
Northern JL, Downs M. Behavior Hearing Testing of children. In : hearing in Childern 4
Ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1991: 139 184.
Roush J. Screening for Hearing Loss and Otitis Media in Childern. Canada: Singular.
Thomson Learning, Inc, 2001.
Sirland F, Suwento R (eds). Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran
1993 1996. Depkes RI, 1997.
Suwento R, Kadir A, Djelantik B, Zizlavsky S, Hendarmin H: Final Report: WHO-SEA
Study ON Infrastructure And Helath Sevices For The Prevention and Control Of Deafness:
Indonesian Chapter. Colombo, Dec 17 20, 2002.
Suwento, R. hearing Health infrastructure in Indonesia. In Suzuki J, Kobayashi T, Koga K,
Eds. Hearing Impairment: An invisibility. Tokyo : Springer; 2004: 45 8.
State of Hearing & Ear Care in South East Asia Region. WHO Regional Office for South
East Asia.
Smith Aw. Global Perpective On Deafness and Hearing impairment. Presentation at
Consultation for Preventation and Control of Deafness and Hearing Impairment in SEA.
Colombo, Dec.2002.
Yoshinaga-Itano C, Sedey Al, Coulter DK, Mehi Al. Language of Early-and Later-identified
Childern With Hearing Loss. Pediatrics 1998; 102 (5): 1161 71.
Yoshinaga-Itano C, Gravel JS, The Evidence for Universal Newborn Hearing Screening. Am
J Audiol 2001; 10 (2): 62 4.

S-ar putea să vă placă și