Sunteți pe pagina 1din 19

Asuransi sosial merupakan asuransi yang menyediakan jaminan sosial bagi anggota masyarakat

yang dibentuk oleh pemerintah bedasarkan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara
pihak asuransi dengan seluruh golongan masyarakat.[1] [2] Tujuan asuransi sosial meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, terutama para pegawai dan pensiun.[3] Program asuransi sosial
sepenuhnya atau sebagian besar dibiayai dari kontribusi para manajer dan karyawan organisasi
pemerintah, bukan dibiayai oleh pendapatan negara.[4] Kontribusi tersebut biasanya dicatat
terpisah dari rekening pemerintah yang biasa; jadi santunan kepada ahli waris anggota program
asuransi sosial dibayar dari uang kontribusi yang dikumpulkan setiap bulan
SIFAT
Asuransi sosial biasanya terbagi menjadi dua sifat yaitu asuransi bersifat kerugian dan jiwa.[5]
Asuransi bersifat kerugian merupakan bentuk asuransi yang memberikan pergantian kerugian
kepada pihak yang merasa dirugikan dengan ketetapan-ketetapan yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak.[5] [6] Asuransi jiwa merupakan bentuk asuransi yang memberikan pembayaran
sejumlah uang kepada orang tertentu yang mendapat santunan untuk hari tua atau pun yang
meninggal dunia.[7] Contoh dari asuransi jiwa yaitu program dana pensiun dan tabungan hari tua
bagi pegawai negeri sipil.[7]
Ciri Khas
Asuransi sosial biasanya bersifat wajib, dana berasal dari pekerja, jaminan yang diselenggarakan
atas dasar tidak mencari untung dan tujuan yang hendak dicapai ialah untuk kesejahteraan sosial.
[8]
Bersifat wajib adalah setiap individu yang tergabung dalam anggota asuransi harus membayar
iuran tiap bulan sesuai dengan apa yang telah disepakati kedua belah pihak
ASURANSI SOSIAL DI INDONESIA
Beberapa asuransi sosial yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut :

Asuransi Sosial Pengawai Negeri Sipil

TASPEN (tabungan dan asuransi pegawai negeri) didirikan untuk memberikan jaminan pensiun,
sekaligus asuransi kematian.[9] Program ini diperluas dengan pensiuan hari tua, ahli waris, dan
cacat untuk pegawai negeri sipil.[9]

Asuransi Kesehatan pegawai negeri

ASKES (asuransi kesehatan pegawai negeri) bertujuan memberikan pemeliharaan kesehatan bagi
pegawai negeri, penerima pensiun, dan keluarga termasuk untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang optimal bagi penduduk.[9]

Asuransi Sosial ABRI

ASABRI (asuransi sosial ABRI) bertujuan memberikan perlidungan bagi prajurit ABRI terhadap
resiko berkurang atau hilangnya penghasilan karena hari tua, putusnya hubungan kerja atau
meninggal dunia.[9] Santunan asuransi dibayarkan kepada peserta yang berhenti karena pensiun.[9]
Jika peserta meninggal dunia, maka ahli warisnya akan menerima santunan resiko kematian
ditambah dengan nilai santunan nilai tunai asuransi dan biaya pemakaman.[9]

Asuransi Kecelakaan Lalu Lintas

Santunan asuransi kecelakaan penumpang diberikan diberikan kepada para korban atau ahli
waris korban yang bersangkutan.[9] Santunan diberikan dalam bentuk biaya ganti rugi untuk
perawatan medis, santunan cacat, atau santunan kematian.[9] Pembiayaan asuransi kecelakaan
bersumber dari iuran wajib melalui pengusaha atau pemilik angkutan umum.[9]

Jaminan Sosial Tenaga Kerja

ASTEK (jaminan sosial tenaga kerja) pertama-tama dibentuk untuk memberikan perlindungan
asuransi kecelakaan kerja, tabungan hari tua, dan asuransi kematian.[9] Program ASTEK
diperkuat menjadi program JAMSOSTEK (jaminan sosial tenaga kerja), dan sekaligus
dikembangkan dengan jaminan pelayanan kesehatan.[9]

JAMINAN SOSIAL (Bagian satu)

KONSEPSI DAN STRATEGI JAMINAN SOSIAL

OLEH: EDI SUHARTO, PhD

Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI)
Indonesia yang terpuruk memberi pesan jelas bahwa pembangunan di Indonesia masih
belum mampu merespon masalah sosial secara mendasar dan tuntas. HDI yang diukur
melalui tiga variabel utama (daya beli ekonomi, tingkat melek hurup dan harapan hidup)
sangat ditentukan oleh besar dan komplesitas masalah sosial. Sebagai ilustrasi, jumlah
penduduk miskin yang besar, yang pada tahun 2002 diperkirakan mencapai 35 juta jiwa
atau sekitar 18 persen dari total penduduk Indonesia (BPS dan Depsos, 2002)
merupakan pintu masuk bagi persoalan sosial lain yang akan terus berkembang, seperti
tingginya angka putus sekolah, anak jalanan, pekerja anak, kematian ibu, rumah kumuh,
kriminalitas dll. Pada gilirannya, masalah sosial tersebut akan menjadi masukan buruk
(bad/negative inputs) bagi IPM Indonesia.

Meskipun sejak Orde Baru upaya-upaya penanggulangan masalah sosial terus


dilakukan, pendekatan yang digunakan masih bersifat tambal sulam (ad-hoc), tidak
terpadu dan tidak berkelanjutan. Kebijakan dan program anti kemiskinan, misalnya,
masih berorientasi proyek yang bertumpu pada strategi cium dan lari (kiss and run).
Artinya, kemiskinan ditangani secara parsial dengan skema dan cakupan geogarfis yang
sangat terbatas. Model pendekatan seperti ini tidak akan pernah tuntas memberantas
kemiskinan, karena strateginya tidak diarahkan untuk menggusur problema kemiskinan
(eradicating poverty), melainkan menggusur si miskin (eradicating the poor).
Penanganan kemiskinan tidak akan pernah efektif dengan hanya menyentuh si
miskinnya saja. Kemiskinan adalah produk struktural dari sebuah sistem yang saling
terkait, yakni sistem ekonomi (pertumbuhan dan pemerataan pendapatan nasional),
pendidikan (pemberdayaan dan pengembangan SDM) dan jaminan sosial (bantuan
sosial dan asuransi sosial).

Strategi pembangunan nasional selama ini masih berkutat pada bagaimana membangun
sistem ekonomi agar tumbuh setinggi mungkin, dan belum diarahkan secara sungguhsungguh untuk membangun sistem jaminan sosial yang kuat. Akibatnya, selain
Indonesia terus dihadang permasalahan sosial yang semakin kompleks, keberhasilan di
bidang ekonomi ternyata sangat rentan terhadap goncangan. Indonesia memerlukan
pendekatan pembangunan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi,
melainkan pula berorientasi pada aspek perlindungan sosial. Jaminan sosial pada
hakikatnya merupakan strategi perlindungan guna menopang dan menjaga kestabilan

ekonomi. Komitmen internasional dan nasional sangat menekankan pentingnya jaminan


sosial, terutama sebagai strategi penanganan kemiskinan secara sistemik, melembaga
dan terpadu.

DIMENSI JAMINAN SOSIAL

Kemiskinan dan ketimpangan sosial adalah dua isu sentral dalam wacana perumusan
dan pengembangan kebijakan sosial (social policy). Dalam literatur pekerjaan sosial
(social work), jaminan sosial (social security) merupakan salah satu jenis kebijakan
sosial untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan dalam masyarakat. Setiap negara
memiliki definisi, sistem, dan pendekatan yang berbeda dalam mengatasi kemiskinan
dan ketimpangan, dan karenanya, memiliki sistem dan strategi jaminan sosial yang
berbeda pula. Jaminan sosial umumnya diimplementasikan ke dalam berbagai bentuk
tunjangan pendapatan secara langsung (income support) yang terkait erat dengan
kebijakan perpajakan dan pemeliharaan pendapatan (taxation and income-maintenance
policies). Namun demikian, jaminan sosial kerap meliputi pula berbagai skema
peningkatan akses terhadap pelayanan sosial dasar, seperti perawatan kesehatan,
pendidikan, dan perumahan (lihat Huttman, 1981; Gilbert dan Specht, 1986; Cheyne,
OBrien dan Belgrave, 1998). Jaminan sosial yang berbentuk tunjangan pendapatan
dapat disebut benefits in cash, sedangkan yang berwujud bantuan barang atau
pelayanan sosial sering disebut benefits in kind (Shannon, 1991; Hill, 1996; MHLW,
1999).

Kata Jaminan sosial berasal dari kata social dan security. Security diambil dari Bahasa
Latin se-curus yang bermakna se (pembebasan atau liberation) dan curus yang
berarti (kesulitan atau uneasiness). Sementara itu, kata social menunjuk pada istilah
masyarakat atau orang banyak (society). Dengan demikian, jaminan sosial secara
harafiah adalah pembebasan kesulitan masyarakat atau suatu upaya untuk
membebaskan masyarakat dari kesulitan.

Jaminan sosial (social security) dapat didefinisikan sebagai sistem pemberian uang
dan/atau pelayanan sosial guna melindungi seseorang dari resiko tidak memiliki atau
kehilangan pendapatan akibat kecelakaan, kecacatan, sakit, menganggur, kehamilan,
masa tua, dan kematian. Spicker (1995) dan MHLW (1999), memberi batasan dan
penjelasan mengenai jaminan sosial sebagai berikut:

The term social security is mainly now related to financial assistance, but the general
sense of the term is much wider, and it is still used in many countries to refer to
provisions for health care as well as income. Although the benefits of security are not
themselves material, they do have monetary value; people in Britain, where there is a
National Health Service, are receiving support which people in the US have to pay for

through private insurance or a Health Maintenance Organisation (Spicker, 1995:60).

Social security systems mean the systems to enable every citizen to lead a worthy life as
a member of cultured society. Social security systems provide countermeasures against
the causes for needy circumstances including illness, injury, childbirth, disablement,
death, old age, unemployment and having a lot of children by implementing economic
security measures through insurance or by direct public spending (MHLW, 1999:2).

NEGARA KESEJAHTERAAN

Jaminan sosial merupakan istilah baru yang lahir pada Abad 20. Sistem ini pertamatama diterapkan sebagai alternatif untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial
akibat krisis ekonomi dan untuk mengubah kapitalisme agar menjadi lebih manusiawi
(compassionate capitalism) (Spicker, 1995; Cheyne, OBrien dan Belgrave, 1998;
MHLW, 1999; Suharto, 2001a; 2001b; 2001c; 2002a). Di AS, istilah jaminan sosial mulamula muncul dalam The Social Security Act yang disahkan tahun 1935 untuk mengatasi
masalah pengangguran, sakit, kesejahteraan manula dan anak-anak sebagai dampak
dari the Great Depression yang melanda dunia saat itu. Di negara Paman Sam ini,
jaminan sosial pertama kali merujuk pada istilah jaminan ekonomi (economic security).
Namun karena konsep ini memiliki makna yang sempit, maka diubah menjadi social
security mengikuti konsep asuransi sosial (social insurance) yang telah diterapkan di
Eropa Barat sebelumnya.

Jaminan sosial merupakan komitmen dan piranti negara dalam mewujudkan keadilan
sosial melalui mekanisme income transfer atau redistribusi pendapatan (Spicker, 1995).
Misalnya, sejalan dengan kebijakan full-employment, warga negara yang belum (anakanak), tidak dapat (cacat, masa tua), sedang tidak (temporary unemployed) bekerja
mendapat social benefits dari pemerintah. Dalam literatur maupun praktik di negara maju
dan berkembang, jaminan sosial ini umumnya diselenggarakan secara terstandar
melalui mekanisme dan sistem jaminan sosial nasional di bawah otoritas Ministry of
Social Welfare (atau yang sejenis). Di negara-negara Skandinavia (Denmark, Swedia
dan Norwegia), Eropa Barat, Australia, New Zealand, dan AS sistem jaminan sosial
merupakan cerminan dari komitmen negara menjalankan sistem welfare state (negara
berperan besar dalam menjalankan usaha kesejahteraan sosial) dengan segala varian
dan modelnya. Pembangunan ekonomi dan sosial yang kuat serta sistem perpajakan
yang menjangkau hampir semua warga negara, transparan, dan accountable
memungkinkan negara-negara ini menjalankan sistem jaminan sosial yang bersifat
(mendekati model) universal dan institusional (Cheyne et al.1998; Pierson,1991).

Di Selandia Baru, misalnya, penerapan jaminan sosial dipelopori oleh Michael Joseph
Savage, pemimpin partai buruh yang kemudian menjadi Perdana Menteri tahun 1935.
Savage kemudian mengintegrasikan jaminan sosial ini dengan sistem negara

kesejahteraan yang masih dianut hingga kini. Menurut Bassett, Sinclair dan Stenson
(1995), penerapan sistem jaminan sosial di Selandia Baru telah mampu mengeluarkan
negara ini dari krisis ekonomi serius tahun 1930an dan menjadikannya salah satu
negara termakmur di dunia dengan kesenjangan sosial yang relatif kecil.

The main achievement of Savages government was to improve the lives of ordinary
families. They did this so completely that New Zealanders change their ideas about what
an average level of comfort and security should be (Bassett, Sinclair and Stenson,
1995:171).

Situasi negara-negara berkembang yang khas dan fenomena pembangunan sosial


ekonomi yang relatif masih lemah (i.e. tidak visionaris, penuh KKN) membuat
pemerintah tidak mampu sepenuhnya menjalankan welfare state. Mekanisme asuransi
sosial dan bantuan sosial sebagai dua bentuk jaminan sosial, karenanya, harus
dilaksanakan berdasarkan ide welfare pluralism (usaha kesejahteraan sosial
dilaksanakan oleh beragam sektor; pemerintah dan masyarakat).

Di Indonesia, pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 merupakan landasan ideologi
yang kuat bahwa negara ini menganut welfare state. Namun, karena visi pemimpin
bangsa yang belum jelas mengenai konsep ini, sistem perpajakan yang belum
menunjang, hegemoni kaum globalist yang mengedepankan nilai liberalism dan
capitalism, serta kondisi perekonomian yang volatile, praktik welfare state di Indonesia
mengejawantah dalam bentuk pembangunan kesejahteraan sosial yang mendekati
konsep welfare pluralism. Dalam konteks ini, dapat dijelaskan bahwa selain tidak ada
satu pun negara di jagat raya ini yang menganut welfare society (usaha kesejahteraan
sosial sepenuhnya dilakukan oleh, atau diserahkan kepada, masyarakat), negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, dengan sendirinya juga tidak menganut atau sedang
menjadi welfare society. Melainkan masih menganut sistem welfare state dengan varian
baru, yakni participatory atau contributory welfare state yang merujuk pada konsep
welfare pluralism.

PRINSIP UTAMA

Alasan utama yang melandasi mengapa jaminan sosial perlu diberikan kepada warga
negara adalah karena selain jaminan sosial dapat melindungi warganya dari resikoresiko yang tidak terduga, juga karena jaminan sosial secara ekonomi maupun sosial
tidak merugikan baik kepada penyelenggara maupun penerima pelayanan. Jaminan
sosial bukanlah pengeluaran publik yang sia-sia.Melainkan sebuah bentuk investasi
sosial yang menguntungkan dalam jangka panjang yang dilandasi oleh dua pilar utama,
yakni redistribusi pendapatan dan solidaritas sosial (Spicker, 1995:58-60). Dua prinsip ini
menjelaskan bagaimana mekanisme jaminan sosial bekerja. Misalnya, bagaimana
peredaran uang berputar diantara anggota atau peserta jaminan sosial sehingga terjadi
mekanisme saling melindungi diantara mereka yang pada gilirannya menjadi sebuah
investasi sosial yang memberi kontribusi dalam menjaga dan meningkatkan kualitas
hidup negara-bangsa secara berkelanjutan.

1. Redistribusi pendapatan dapat berbentuk vertikal dan horisontal.


a.
Redistribusi vertikal menunjuk pada transfer uang dari orang kaya ke orang
miskin. Di sini, jaminan sosial merupakan bentuk dukungan warga masyarakat
yang kuat kepada warga masyarakat yang lemah secara ekonomi.
b.
Redistribusi horisontal adalah transfer uang antar-kelompok, yaitu dari kelompok
satu ke kelompok lain. Misalnya, dari laki-laki ke perempuan, dari orang dewasa
kepada anak-anak, dari remaja ke orang tua. Redistribusi horisontal dapat pula
bersifat antar-pribadi, yakni dari satu siklus kehidupan seseorang ke siklus
lainnya (from one part of an individuals life-cycle to another) yang oleh Spicker
(1995:60) disebut sebagai income smoothing. Dalam konteks ini, Spicker
menjelaskan bahwa jaminan sosial pada hakekatnya adalah dukungan finansial
yang diberikan kepada anak-anak yang kelak membayar manakala dewasa; yang
diberikan kepada orang sakit yang membayar manakala sehat; atau yang
diberikan kepada para pensiunan yang telah membayar pada saat mereka masih
bekerja.

2. Solidaritas sosial dapat berbentuk dukungan yang saling menguntungkan atau


gotong royong (mutual aid) dan aksi kolektif:
a.
Dukungan yang saling menguntungkan menunjuk pada ide diversification of risks
dimana setiap anggota masyarakat atau organisasi setuju untuk berbagi resiko
dan tanggungjawab menghadapi ketidakpastian yang mungkin dialami di masa

depan (Spicker, 1995; MHLW, 1999).


b.
Aksi kolektif menunjuk pada ide fraternity yang melihat bahwa usaha
kesejahteraan sosial merupakan tanggungjawab bersama seluruh anggota
masyarakat. Jaminan sosial merupakan bentuk solidaritas sosial kepada anggota
masyarakat, terutama kelompok lemah atau rentan (vulnerable groups). Negara
adalah representasi masyarakat yang bertanggungjawab membantu kelompok ini,
yang karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun
strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di
sekitarnya, terpelanting ke pinggir dalam proses pembangunan yang tidak adil
(Suharto, 2001a; 2001b; 2001c; 2002).

PARADIGMA: TEORI, MODEL DAN DEBAT

Pandangan mengenai pentingnya jaminan sosial didasari oleh perspektif teoretis dan
keputusan normatif mengenai bagaimana pendapatan harus didistribusikan dan peranan
apa yang harus dilakukan oleh negara, keluarga, individu, dan pasar dalam menjamin
bahwa seseorang memiliki pendapatan yang layak atau adekwat untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dalam konteks ini, maka fungsi jaminan sosial dapat dipilah
menjadi dua spektrum sebagaimana dijelaskan oleh Cheyne, OBrien dan Belgrave
(1998:176):
1.
As a system of state financial support that is paid to those persons who are not
provided for adequately by the market.
2. As a system of state financial support paid to those persons who are unable to
secure adequately.

Pada pengertian pertama, tunjangan finansial negara diberikan terhadap warga negara
dikarenakan kegagalan pasar dalam menyediakan sumber-sumber pendapatan
(lapangan pekerjaan). Pada pengertian kedua, bantuan negara diberikan terhadap orang
yang karena sesuatu sebab (cacat, hamil, sakit) tidak mampu memperoleh pendapatan
sebagaimana telah disediakan oleh pasar. Apabila dipolakan secara tajam, kedua
pengertian di atas sangat dipengaruhi oleh dua paradigma neo-liberal dan demokrat
sosial yang memandang kemiskinan dari kacamata individual dan struktural. Pandangan
ini kemudian menjadi basis perumusan jaminan sosial serta pendekatan-pendekatannya
(lihat Tabel 1).

Teori neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes,
John Lock dan John Stuart Mill yang intinya menyerukan bahwa komponen penting dari

sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya


monumental Adam Smith, the Wealth of Nation (1776), dan Frederick Hayek, The Road
to Serfdom (1944), dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang mengedepankan
azas laissez faire, yang oleh Cheyne, OBrien dan Belgrave (1998:72) disebut sebagai
ide yang mengusulkan the almost complete absence of states intervention in the
economy. Secara garis besar, para pendukung neo-liberal berargumen bahwa jaminan
sosial harus disediakan oleh kelompok-kelompok swadaya, lembaga-lembaga
keagamaan atau oleh keluarga. Peran negara hanyalah sebagai agen residual atau
penjaga malam yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak
mampu lagi menjalankan tugasnya (Shannon, 1991; Spicker, 1995; Cheyne, OBrien dan
Belgrave, 1998).

Meskipun secara teoretis kaum neo-liberal menolak tanggungjawab negara dalam usaha
kesejahteraan sosial, dalam praktiknya mereka hanya mengusulkan penyesuaian
kembali program-program kesejahteraan sosial, ketimbang menghapuskannya sama
sekali. Berpijak pada public-choice theory, agency theory, dan transaction-cost theory,
mereka pada intinya ingin mengganti pengaruh para politisi dan kelompok-kelompok
kepentingan dalam pembuatan kebijakan, dengan keputusan-keputusan yang
berdasarkan kepentingan konsumen sejalan dengan prinsip ekonomi pasar bebas.
Penerapan program-program structural adjustment di beberapa negara merupakan
contoh kongkrit dari pengaruh neo-liberal dalam bidang kesejahteraan sosial ini.

Keyakinan yang berlebihan tehadap keunggulan mekanisme pasar yang secara alamiah
dianggap mampu mengatasi kemiskinan dan ketidakdilan sosial mendapat kritik dari
kaum demokrat sosial. Berpijak pada analisis Karl Marx dan Frederick Engels,
pendukung demokrat sosial menyatakan bahwa a free market did not lead to greater
social wealth, but to greater poverty and exploitationa society is just when peoples
needs are met, and when inequality and exploitation in economic and social relations are
eliminated (Cheyne, OBrien dan Belgrave, 1998: 91 dan 97).

Teori demokrat sosial berporos pada prinsip-prinsip ekonomi campuran (mixed


economy) dan majemen ekonomi Keynesian. Teori ini muncul sebagai jawaban terhadap
depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1920-an dan awal 1930-an. Sistem negara
kesejahteraan yang menekankan pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam
pemberian pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan
jaminan sosial, sangat dipengaruhi oleh pendekatan ekonomi manajemen-permintaan
(demand-management economics) gaya Keynesian ini. Meskipun tidak setuju
sepenuhnya terhadap sistem pasar bebas, kaum demokrat sosial tidak memandang
sistem ekonomi kapitalis sebagai evil. Bahkan kapitalis masih dipandang sebagai bentuk
pengorganisasian ekonomi yang paling efektif. Hanya saja, kapitalisme perlu dilengkapi
dengan sistem negara kesejahteraan agar lebih berwajah manusiawi. The welfare state
acts as the human face of capitalism, demikian menurut Cheyne, OBrien dan Belgrave,
(1998:79).

Pendukung demokrat sosial berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat


penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya
dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber,
seperti pendidikian, kesehatan yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih
dari sekadar bebas dari pengaruh luar; melainkan pula bebas dalam menentukan
pilihan-pilihan (choices). Dengan kata lain kebebasan berarti memiliki kemampuan
(capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, kemampuan
memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan menghindari kematian dini, kemampuan
menghindari kekurangan gizi, kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi.
Negara karenanya memiliki peranan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat

berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka


menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Jaminan
sosial, menurut pandangan demokrat sosial, dapat meningkatkan kebebasan karena ia
dapat menyediakan penghasilan dasar dengan mana orang akan memiliki kemampuan
(capabilities) untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya (choices).
Sebaliknya, ketiadaan jaminan sosial dasar dapat menyebabkan ketergantungan
(dependency) karena dapat membuat orang tidak memiliki kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya.

MEKANISME JAMINAN SOSIAL

Sistem jaminan sosial secara garis besar mengikuti dua metode, yaitu asuransi sosial
(social insurance) dan bantuan sosial (social assistance) (MHLW, 1999). Asuransi sosial
adalah jaminan sosial yang diberikan kepada para peserta asuransi berdasarkan premi
yang dibayarkannya. Sistem asuransi kesehatan dan pensiun adalah dua bentuk
asuransi sosial yang umum diterapkan di banyak negara. Bantuan sosial adalah jaminan
sosial yang umumnya diberikan kepada kelompok lemah dalam masyarakat yang
meskipun tidak membayar premi tetapi dapat memperoleh tunjangan pendapatan atau
pelayanan sosial. Program-program kesejahteraan sosial bagi anak-anak, penyandang
cacat, lanjut usia merupakan beberapa contoh bantuan sosial.

Baik jaminan sosial yang berbentuk asuransi sosial maupun bantuan sosial, secara
umum dikelola dengan mengikuti strategi dasar di bawah ini :
1.
Universal dan selektifitas. Jaminan sosial yang bersifat universal diberikan secara
menyeluruh kepada semua warga negara. Sedangkan jaminan sosial selektifitas
hanya diberikan kepada kelompok tertentu saja melalui pentargetan (selektifitas),
misalnya kelompok miskin.
2.
In-cash dan in-kind. In-cash menunjuk pada jenis manfaat atau tunjangan dalam
jaminan sosial yang diberikan dalam bentuk uang (income transfer). Sedangkan inkind adalah jenis manfaat jaminan sosial yang berbentuk barang atau pelayanan
sosial (benefits in kind).
3.
Publik dan swasta. Jaminan sosial dapat diselenggarakan oleh negara (publik) atau
oleh lembaga-lembaga swasta yang umumnya berbentuk Perseroan Terbatas.

Asuransi Sosial dan Bantuan Sosial

Jaminan sosial dapat diberikan melalui melalui sistem asuransi sosial yang didanai oleh
premi asuransi maupun melalui bantuan sosial yang dananya diperoleh dari pendapatan
pajak. Asuransi sosial ditetapkan berdasarkan insurance expertise. Pemberian manfaat
asuransi diperhitungkan berdasarkan premi asuransi. Secara prinsip, pemerintah
nasional (pusat) bersama dengan lembaga-lembaga publik lainnya menjadi
penyelenggara asuransi sosial. Kepesertaan asuransi sosial bersifat wajib (obligatory).
Sistem asuransi medis dan asuransi pensiun adalah dua tipe asuransi sosial yang
sangat luas dikenal.

Bantuan sosial tidak ditetapkan berdasarkan insurance expertis. Manfaat bantuan sosial
diberikan berdasarkan dana yang dihimpun dari pendapatan pajak. Pemerintah pusat
dan daerah memberikan uang atau pelayanan sosial kepada penduduk sebagai bentuk
kepedulian atau kewajiban negara terhadap pemenuhan hak-hak dasar warganya.
Sistem bantuan publik adalah sebuah contoh tipikal dari bantuan sosial. Disamping
program-program kesejahteraan sosial untuk anak-anak, orang dengan kecacatan
(ODK), dan orang lanjut usia; bantuan sosial juga meliputi tunjangan untuk keluaga
(umumnya keluarga tunggal atau tidak mampu) yang memiliki tanggungan anak dan
pensiun kesejahteraan (welfare pension). Di Amerika Serikat, salah satu bentuk bantuan
sosial yang terkenal adalaf AFDC (Aid for Families with Dependent Children) yang kini
berubah menjadi TANF (Temporary Assistance for Needy Families) (Chambers, 2000).

Dalam mendesain mekanisme jaminan sosial, penentuan tipe sistem, apakah akan
berbentuk asuransi sosial atau bantuan sosial, sangat tergantung pada tujuan dan isi
dari sistem tersebut, serta perubahan-perubahan historis dalam lingkungan negara yang
bersangkutan. Di seluruh dunia, sistem jaminan medis (medical security) dan jaminan
pendapatan orang lanjut usia (old-age income security) umumnya diberikan dalam
bentuk asuransi sosial, seperti asuransi medis dan asuransi pensiun.

Laporan Beveridge yang dipublikasikan di Inggris tahun 1942 bukan saja memberikan
dasar bagi perancangan sistem jaminan sosial di Inggris, melainkan pula menjadi
referensi utama bagi negara-negara kesejahteraan termasuk Amerika Serikat dan Eropa
Barat. Laporan tersebut mengajukan asuransi sosial sebagai bentuk jaminan sosial yang
utama dan sebagai pendamping sistem bantuan publik dan program-program asuransi
swasta. Berdasarkan laporan tersebut, setiap warga negara wajib memberikan premi
yang sama dan menerima manfaat yang sama pula. Sistem tersebut kemudian
dilembagakan berdasarkan UU Asuransi Nasional. Dinyatakan bahwa asuransi sosial,
yang perlu diberikan secara universal kepada mereka yang mampu memberikan
kontribusi sejumlah uang (premi), dianggap lebih tepat diberikan kepada individu-individu
merdeka daripada bantuan sosial yang mensyaratkan penelitian status dan seringkali
memuat stigma.

Di Jepang, sebuah laporan yang dibuat oleh Dewan Penasihat Jaminan Sosial pada
tahun 1950 juga sangat dipengaruhi oleh Laporan Beveridge di atas. Dalam laporan itu,
Dewan Penasihat mengajukan Sistem Jaminan Sosial Jepang kepada pemerintah pusat.
Dewan mengajukan bahwa pemerintah tidak boleh menghalangi orang untuk
melaksanakan tanggungjawabnya, dan bahwa inti jaminan sosial harus berbentuk
asuransi sosial yang mengharuskan peserta turut membayar biaya-biaya untuk menjaga
kelangsungan sistem tersebut. Dalam laporan yang dibuat tahun 1995, Dewan lagi-lagi
menekankan pentingnya sistem asuransi sosial. Hasilnya adalah bahwa Sistem Jaminan
Sosial Jepang dikembangkan berdasarkan sistem asuransi sosial. Kenyataannya,
sekitar 90% dari pengeluaran untuk jaminan sosial dibayar melalui atau untuk keperluan
asuransi sosial (MHLW, 1999).

Kelebihan dan Kekurangan Asuransi Sosial

Secara umum, asuransi adalah sebuah sistem untuk sekelompok orang guna melindungi
resiko-resiko yang mungkin terjadi pada mereka. Sejumlah orang yang dianggap
memiliki suatu resiko serupa membentuk sebuah kelompok, dan masing-masing
anggota kelompok tersebut membayar premi sebagai prasyarat memperoleh manfaat
manakala menghadapi kecelakaan atau resiko di masa depan. Jika seseorang
mengalami kecelakaan, misalnya, orang tersebut menerima manfaat asuransi dari
akumulasi premi sebagai pengganti atau kompensasi terhadap resiko yang dialaminya.

Agar sistem asuransi sosial berjalan secara efektif, hukum bilangan banyak (the law of
large numbers) harus dipenuhi, artinya: sejumlah orang harus berkelompok dan harus
ada probabilitas tertentu berkenaan dengan kecelakaan-kecelakaan atau resiko-resiko
yang bakal terjadi. Disamping perhitungan mengenai premi, sistem asuransi sosial harus
didasarkan pada dua prinsip berikut ini (MHLW, 1999) :
1.
Jumlah total premi yang harus dibayar oleh peserta kepada penyelenggara harus
sama dengan jumlah total uang pertanggungan (insurance money) yang harus
dibayar penyelenggara kepada peserta.
2.
Tingkat premi asuransi yang harus dibayar oleh para peserta harus
ditentukan berdasarkan resiko-resiko yang harus di-cover serta jumlah uang
pertanggungan yang mungkin dibaya kepada peserta tersebut.

Asuransi sosial memiliki kelebihan:


1.
Peserta memiliki hak untuk menerima manfaat (mengajukan klaim) sebagai balasan

atas premi yang dia bayar. Hak tersebut lebih kuat daripada hak yang diberikan oleh
sistem bantuan sosial.
2.
Berkaitan dengan sumber-sumber pendanaan, beban pembiayaan lebih mudah
diterima secara logis, karena beban asuransi dan tingkat manfaat (pertanggungan)
berhubungan erat. Ini berbeda dengan sistem bantuan sosial yang mengandalkan
pajak dengan mana antara pembayar dan penerima seringkali tidak berkaitan.
3.
Tuntutan-tuntutan yang bersifat mementingkan diri sendiri, seperti Saya ingin lebih
banyak manfaat, tetapi tidak ingin lebih banyak menanggung beban premi dapat
dihindari.

Kelemahan asuransi sosial adalah kecenderungan terhadap keseragaman, bentukbentuk manfaat yang tetap (fixed), dan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan
manfaat (the abuse of benefits). Kelebihan asuransi sosial dapat hilang jika hubungan
antara manfaat dan beban secara ekstrem sangat lemah pada tingkat individu.

Kelebihan dan Kekurangan Bantuan Sosial

Kelebihan bantuan sosial meliputi:


1.
Sistem ini menjangkau berbagai kalangan orang. Jika seseorang memenuhi kondisi
tertentu, dia dapat menerima manfaat terlepas dari apakah dia turut memikul beban
untuk mendapatkannya.
2. Sistem ini dapat memenuhi kebutuhan secara lebih khusus.

Kelemahan bantuan sosial adalah cenderung menimbulkan ketergantungan dan


meningkatkan pengeluaran fiskal. Penelitian atau penetapan terhadap persyaratan
penerima, seperti survey terhadap pendapatan dan kepemilikan (assets) yang dikenal
dengan istilah means test, dapat membatasi penerima bantuan sosial meskipun
mereka sangat membutuhkannya. Dengan demikian, manfaat bantuan sosial seringkali
sangat terbatas dan tergantung pada situasi keluarga. Sebagai contoh, sistem asuransi
pensiun untuk orang lanjut usia dan sistem asuransi medis diberikan kepada peserta
terlepas dari tingkat pendapatan mereka. Sedangkan skema bantuan sosial, seperti
tunjangan anak-anak dan pensiun kesejahteraan, hanya diberikan kepada mereka yang
memiliki pendapatan rendah.

JAMINAN SOSIAL DI BEBERAPA NEGARA

Setiap negara memiliki sistem jaminan sosial sendiri yang khas yang dibentuk
berdasarkan ideologi, kondisi ekonomi, dan sistem politik negara yang bersangkutan.
Karenanya, terdapat banyak perbedaan dalam mekanisme pelaksanaannya. Sebagai
contoh, sistem pensiun publik berbeda di setiap negara dalam hal sistem
pendanaannya, tingkat premi, ketentuan usia, jumlah uang, serta persyaratan dalam
menerima jaminan.
Setiap negara juga memiliki pengertian dan cakupan yang berbeda mengenai jaminan
sosial (lihat Huttman, 1981; Gilbert dan Specht, 1986; Spicker, 1995; MHLW, 1999).
Sebagai contoh, di Inggris jaminan sosial berarti jaminan pendapatan (income security)
seperti pensiun dan tunjangan anak. Di Jepang definisi jaminan sosial meliputi apa yang
disebut kebijakan sosial atau pelayanan sosial sebagaimana diartikan di Inggris, yang
mencakup berbagai bentuk: jaminan pendapatan, prawatan medis, pelayanan sosial
personal, kebijakan-kebijakan perumahan, pendidikan dan pekerjaan.

Di AS, jaminan sosial juga diartikan sebagai jaminan pendapatan seperti pensiun, yakni
pelayanan kesejahteraan sosial yang di Jepang disebut pelayanan kemanusiaan
(human services). Di AS, makna kesejahteraan menunjuk pada pelayanan-pelayanan
yang didanai melalui pajak dan diberikan kepada individu atau keluarga setelah melalui
penyelidikan status sosial-ekonominya. Namun demikian, UU jaminan sosial AS
merupakan dasar hukum yang komprehensif yang memberikan jaminan bagi
penganggur, pelayanan kesehatan bagi keluarga tanpa ayah, pelayanan kemanusiaan
bagi para penyandang cacat, pelayanan medis bagi orang lanjut usia serta tunjangan
medis yang disatukan dengan asuransi pensiun.

Di Prancis, jaminan sosial atau securite sociale menunjuk pada asuransi sosial, seperti
asuransi kesehatan dan hari tua. Selain itu, negara ini juga memiliki apa yang disebut
protection social yang meliputi bantuan sosial (tunjangan pendapatan dan pelayanan
bagi orang sakit, penyandang cacat, orang lanjut usia berdasarkan kriteria pendapatan
rendah), pelayanan sosial (pelayanan kesejahteraan sosial yang diberikan tanpa melihat
kriteria pendapatan), serta sistem jaminan tingkat pendapatan minimum guna
menunjang kemandirian.

Di Jerman, jaminan sosial atau soziale sicherheit mencakup asuransi sosial,


kompenasi sosial (bagi korban perang, dll.) dan tunjangan sosial (bantuan sosial atau
tunjangan bagi pelajar). Meskipun orang Jerman jarang menggunakan istilah soziale
wolfahrt atau kesejahteraan sosial (social welfare), sistem jaminan sosial di Jerman
telah memiliki akar sejarah yang panjang yang dikembangkan oleh Kanselir Bismarck
sejak tahun 1880-an. Sistem asuransi sosial yang kemudian dikenal dengan nama
Bismarckian Model ini memiliki karakteristik sebagai berikut (Thomas, 1995:89-90):

1.
Memberikan program-program yang terpisah untuk resiko-resiko yang berbeda
(pekerjaan, pensiun, perawatan kesehatan).
2. Mencakup terutama tenaga kerja yang memiliki pendapatan tetap (khususnya
pekerja di perkotaan).
3. Melibatkan kontribusi-kontribusi dari yang diasuransikan (pekerja), majikan dan
negara.
4. Memberikan tunjangan-tunjangan yang terkait dengan kontribusi.

Tabel 2 di bawah ini memberi gambaran mengenai jaminan sosial yang berupa sistem
jaminan sosial kesehatan di beberapa negara.

EPILOG

Jaminan sosial dapat menjadi piranti keadilan dan kesejahteraan sosial yang menjamin
kehidupan stabil dalam situasi sosial ekonomi dewasa ini. Jaminan sosial dapat
mendukung masyarakat menghadapi kesulitan dan ketidakpastian yang tidak dapat
dipecahkan secara sendiri-sendiri secara effisien. Dalam hal ini menjadi sangat penting
jika sistem negara kesejahteraan yang memayungi usaha-usaha kesejahteraan sosial

juga menjadi landasan ideologis konsep jaminan sosial. Indonesia perlu mempertegas
keberpihakannya kepada paradigma negara kesejahteraan dan pendekatan ekonomi
Keynesian ketimbang yang berwajah neoliberalisme. Dalam literatur pekerjaan sosial
terdapat adagium yang sangat dikenal: There is no social justice without social welfare,
and there is no social welfare without social security. Kita bisa menambahkan satu
matra lagi, yakni there is no social security without social solidarity.

DAFTAR PUSTAKA

Cheyne, Christine, Mike OBrien dan Michael Belgrave (1998), Social Policy in
Aotearoa New Nealand: A Critical Introduction, Auckland: Oxford University Press.
MHLW (Ministry of Health, Labour and Welfare of Japan) (1999), Annual Report on
Health and Welfare, Tokyo: MHLW.
Payne, Malcolm (1991), Modern Social Work Theory: A Critical Introduction, London:
MacMillan.
Republika (2000), Menggugat Sistem Jaminan Sosial Kita, edisi 11 Mei
Siporin, Max (1975), Introduction to Social Work Practice, New York: MacMillan.
Spicker, Paul (1995), Social Policy: Themes and Approaches, London: Prentice-Hall
Suharto, Edi (1997), Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum
Pemikiran, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS).
-------- (2001a), Potensi Zakat Mal di Era Otda, Pikiran Rakyat, edisi 24 Februari
-------- (2001b), Menyoal Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Media Indonesia, edisi
1 Maret
-------- (2001c), Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan, Republika, edisi 3 Agustus.
-------- (2002a), Globalisasi, Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan: Mengkaji Peran
Negara dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia, Makalah yang
disampaikan dalam Orasi Ilmiah pada Upacara Wisuda XXXVI Sekolah Tinggi
Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung tahun akademik 2001/2002, Bandung: 9
September.
-------- (2002b), Profiles and Dynamics of the Urban Informal Sector in Indonesia: A
Study of Pedagang Kakilima in Bandung, PhD Thesis, Palmerston North: Massey
University
Sulastomo (2002), Mencari Model Sistem Pembiayaan Kesehatan, Kompas, edisi 7

Nopember
Zastrow, Charles (1982), Introduction to Social Welfare Institutions: Social Problems,
Services and Current Issues, Illinois: The Dorsey Press.
Thomas, J.J. (1995), Surviving in the City: The Urban Informal Sector in Latin Amerika,
London: Pluto Press

S-ar putea să vă placă și