Sunteți pe pagina 1din 19

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
HIV dan M. tuberculosis keduanya merupakan patogen intraseluler
yang saling berinteraksi baik pada tingkat populasi, klinis, maupun seluler.
Progresivitas TB menjadi aktif sejak awal paparan lebih besar pada ODHA
dibandingkan dengan pada non ODHA.
Gejala TB pada populasi HIV umumnya non spesifik. Penderitapenderita yang mempunyai riwayat batuk lebih dari 3 minggu, sputum
produktif dan berat badan turun harus dicurigai TB. Namun gejala-gejala
tersebut (demam, keringat malam, berat badan turun, kelelahan) dapat juga
disebabkan

oleh

AIDS

(AIDS

Waisting

Syndrome).

Infeksi

Mycobacterium Avium Complex (MAC), infeksi Citomegalovirus (CMV),


keganasan atau infeksi oportunistik lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian HIV AIDS dan Tuberculosis?
1.2.2 Apa penyebab HIV AIDS dan Tuberculosis?
1.2.3 Bagaimana pathogenesis HIV AIDS dan Tuberculosis?
1.2.4 Apa gejala klinis HIV AIDS dan Tuberculosis?
1.2.5 Bagaimana pendekatan diagnostic HIV AIDS dan Tuberculosis?
1.2.6 Bagaimana penatalaksanaan HIV AIDS dan Tuberculosis?
1.2.7 Bagaimana asuhan keperawatan HIV AIDS dan Tuberculosis?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mengetahui pengertian HIV AIDS dan Tuberculosis?
1.3.2 Mengetahui penyebab HIV AIDS dan Tuberculosis?
1.3.3 Mengetahui pathogenesis HIV AIDS dan Tuberculosis?
1.3.4 Mengetahui apa gejala klinis HIV AIDS dan Tuberculosis?
1.3.5 Mengetahui bagaimana pendekatan diagnostic HIV AIDS dan
1.3.6
1.3.7

Tuberculosis?
Mengetahui bagaimana penatalaksanaan HIV AIDS dan Tuberculosis?
Mengetahui asuhan keperawatan HIV AIDS dan Tuberculosis?
BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Medis


2.1.1 Pengertian
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan
oleh mycobacterium tuberculosis yang biasanya menyerang paru-paru
1

serta dapat menginfeksi organ atau jaringan dalam tubuh. Tuberkulosis


adalah penyebab terutama di dunia yang menyebabkan kematian dari
satu penyakit infeksi. Hal ini diakibatkan oleh:
1) Program yang tidak cukup untuk mengontrol penyakit dengan
pengawasan yang kurang baik.
2) Multiple drug resistance (MDR)
3) Ko-infeksi dengan HIV.
4) Peningkatan dengan cepat populasi orang dewasa muda di duniakelompok umur dengan angka mortalitas paling tinggi dari
tuberkulosis.
5) Kepadatan dan nutrisi yang buruk.
Tuberkulosis adalah satu dari banyak penyakit yang biasanya
pada seseorang yang terinfeksi HIV. Pada penderita yang mengalami
ko-infeksi M. Tuberculosis dan HIV meningkat dari 0,4% menjadi 8%
(20 kali lipat). Ko-infeksi-TB telah menjadi ancaman kesehatan bagi
umat manusia, yang apabila tidak ditangani secara serius akan
2.1.2

menyebabkan keduanya tidak dapat lagi dikendalikan.


Etiologi dan Cara Penularan
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis,
sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan
tebal 0.3-0,6/um. Yang tergolong dalam kuman Mycobacterium
tuberculosae complex adalah:
1) M. Tuberculosae
2) Varian Asian
3) Varian African I
4) Varian African II
5) M. Bovis
Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya secara
inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling
sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar
melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya
yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau
berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA),. Penularan HIV
adalah melalui kontak heteroseksual dan homoseksual, darah dan
produk darah dan oleh ibu yang terinfeksi ke bayi baik melaui
intrapartum, perinatal atau air susu ibu. Faktor resiko potensial pada

tuberkulosis adalah individu yang mengalami ko-infeksi HIV, dimana


2.1.3

terjadi supresi imunitas seluler.


Patogenesis HIV
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit
CD4+ berfungsi mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang
penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon
imun yang progresif. Virus dibawah oleh antigen-presenting cells ke
kelenjar getah bening regional. Pada model ini virus dideteksi pada
kelenjar getah bening maka dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel
individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat
dideteksi dengan hibridisasi insitu dalam 7 sampai 14 hari setelah
inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak
jumlah sel yang mengekspresikan SIV dikelenjar getah bening
berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV.
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah
infeksi, namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah
replikasi virus telah menurun sampai ke level steadystate. Walaupun
antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat
melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus.
Virus dapat menghindar dari netralisasi antibodi dengan melakukan
melakukan adaptasi pada amplop-nya. Termasuk kemampuan
mengubah situs glikosilasinya, akibat konfigurasi 3 dimensinya
berubah sehingga netralisasi yang diperantarai antibodi tidak dapat
terjadi.
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau
gejala tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada
infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi
adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk setelah infeksi akut di mulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang
yang perjalanan penyakitnya amat cepat dapat hanya sekitar 2 tahun
dan ada pula yang perjalanannya lambat (non-progressor).
3

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha di


mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti
berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar
2.1.4

getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lain.


Patogenesis Tuberkulosis
Patogenesis dari infeksi M. tuberculosis di bagi menjadi 2
bagian besar yakni infeksi primer (primary infection) dan infeksi post
primer (post primary infection).
1) Infeksi primer (primary infection)
Infeksi pertama dari M. tuberculosis dikenal dengan infeksi
primer.dalam satu jam dapat mencapai paru-paru, basil dapat
melewati limfonodus pada hilum paru-paru dan beberapa masuk ke
dalam aliran darah.
Reaksi awal meliputi respons eksudatif dan infiltrasi
granulosit-granulosit neurtrofil. Ini dengan cepat digantikan oleh
makrofag-makrofag yang akan mencerna kuman tersebut dan
mengangkutnya ke dalam kelenjar limfe regional. Secara umum,
ada 4 kemungkinan besar terhadap nasib M. tuberculosis tersebut
yakni, (1) dibunuh oleh sistem imun, (2) dapat bermultifikasi dan
menyebabkan TB primer, (3) dapat menjadi dormat dan
asimptomatik, (4) dapat berproliferasi sesudah periode laten
(reaktivasi penyakit). Selain itu, terdapat 4 hal yang dapat terjadi
khususnya pada infeksi primer yakni:
a. Menyebar dari focus primer ke hilus dan kelenjar limfe
mediastinum membentuk kompleks primer (primary complex),
pada banyak kasus sembuh secara spontan.
b. Langsung meluas dari focus primer menjadi tuberculosis
primer yang progresif.
c. Menyebar ke pleura menjadi tuberculosis pleura dan efusi
pleura.
d. Menyebar dalam aliran darah: sedikit basil pada paru, tulang,
renal, infeksi urogenital sering berbulan-bulan atau beberapa
tahun belakangan, menyebar secara besar-besaran menjadi TB
milier dan meningitis.

Interaksi dengan limfosit T, dengan perkembangan imunitas


selular dapat ditunjukkan 3-8 minggu setelah infeksi awal oleh
reaksi positif pada kulit pada injeksi intradermal protein dari basl
(PPD).

Reaksi

hipersensitivitas

tipe

lambat

yang

terjadi,

menghasilkan nekrosis jaringan dan pada tingkat ini patologi klasik


dari tuberkulosis dapat dilihat. Lesi granulomatosa yang terdiri dari
massa putih seperti keju dibagian sentral area nekrosis disebut
nekrosis kaseosa, dikelilingi oleh sel epiteloid dan giant sel
langhans, kedua sel berasal dari makrofag. Limfosit hadir dan di
situ terjadi bermacam-macam derajat fibrosis. Sesudah itu, area
nekrosis kaseosa disembuhkan sama sekali dan mengeras.
2) Tuberkulosis post primer (post primary tuberculosis)
Diketahui paling sedikit 20% dari lesi primer yang telah
mengeras tersebut mengandung basil tuberkel, yang awalnya
dormant tetapi mampu diaktivasi oleh menurunnya sistem imun
host. Reaktivasi menunjukkan khas dari tuberkulosis post primer
dengan kavitas, biasanya pada apeks atau bagian atas paru.
Tuberculosis post primer dihubungkan dengan semua bentuk
tuberkulosis yang terjadi setelah sedikitnya satu minggu pada
infeksi primer ketika imunitas terhadap mycobacterium dalam
perkembangan.
Perjalanan infeksi TB:
Waktu infeksi
3-8 minggu
3-6 bulan
Sampai 3 tahun

Manifestasi
Kompleks primer, tuberculin skin test posi
Meningeal, military dan pleura
Gastrointestinal, tulang dan sendi dan

Sekitar 8 tahun
3 tahun kedepan

dan nodus limfatikus


Renal tract disease
Infeksi post primer yang berkaitan de
reaktifasi penyakit

2.1.5

Manifestasi Klinis
Gejala TB pada populasi HIV umumnya non spesifik. Penderitapenderita yang mempunyai riwayat batuk lebih dari 3 minggu, sputum
produktif dan berat badan turun harus dicurigai TB. Namun gejala5

gejala tersebut (demam, keringat malam, berat badan turun, kelelahan)


dapat juga disebabkan oleh AIDS (AIDS Waisting Syndrome), infeksi
Mycobacterium Avium Complex (MAC), infeksi Citomegalovirus
(CMV), keganasan atau infeksi oportunistik lainnya.
Ketika cell-mediated imunity sebagian terganggu, tuberkulosis
paru muncul dalam bentuk khusus, dengan infiltrat pada lobus atas
dan kavitas dan tanpa limfadenopati yang signifikan atau efusi pleura.
Pada stadium akhir infeksi HIV, pola seperti tuberkulosis primer,
dengan infiltrat milier atau difus interstitial, sedikit atau tidak
berkavitas dan limfadenopati intratoraks yang lebih sering.

Gambaran klinis pada kecurigaan koinfeksi HIV-TB:


Riwayat Penyakit Dahulu

IMS
Herpes Zoster (shingles)
Pnemonia berulang
Bakteriemia

(terutama

salmonella

typhimurium)
Berat badan turun (>10 kg atau >20% dari

Gejala

berat semula)
Diarhe (>1 bulan)
Nyeri waktu menelan (gejala kandidiasis
esophagus)
Rasa terbakar di kaki (neropati perifer)
Jaringan parut Herpes Zoster

Tanda-tanda

Ruam popular yang gatal


Sarkoma Kaposi
Lifomo generalisata persisten (PGL)
Kandidiasis Oral Hairy Leukoplakia oral
Ulkus genital yang persisten yang persisten
dan nyeri
Catatan: diagnosis pasti tergantung pada hasil tes HIV positif
2.1.6

Pemeriksaan Diagnostik
6

Pendekatan diagnostik TB pada ODHA tidak berbeda dengan


non ODHA. Penderita yang diduga TB paru atas dasar keluhan dan
pemeriksaan fisik harus diperiksa sediaan hapusan sputum 3 kali
dibawah mikroskop. Kemungkinan untuk menemukan BTA lebih
besar bila diperiksa 3 kali dibandingkan dengan pemeriksaan BTA 2
atau 1 kali. Hasilnya lebih baik apabila sputum diambil pagi dini hari.
Jika mungkin penderita harus mengumpulkan sputum sekurangkurangnya semalam untuk dianalisis dan pemeriksaan sputum harus
dilakukan kurang dari 4 jam setelah sputum diserahkan. Ada 2
pemeriksaan pokok untuk menentukan TB:
1) BTA .
2) Kultur sputum.
Kultur bakteri memerlukan waktu yang lama (umumnya 3-4
minggu) untuk menumbuhkan koloni dengan media mycobakterium
tradisional seperti Loweinstein Jensen. Hasil pemeriksaan kultur
dengan sistem pemeriksaan BACTEC biasanya sudah dapat diperoleh
hasilnya dalam 2 minggu tetapi biayanya lebih mahal. Cara lain yang
inovatif dan lebih cepat untuk pemeriksaan sensitifitas obat sedang
dikembangkan.
2.1.7

Penatalaksanaan
1) Terapi Tuberkulosis
Secara umum, pada ODHA dengan TB yang masih sensitif
terhadap pengobatan, regimen standar selama 6 bulan sudah
memberi

hasil

sputum

negatif

secara

tepat

dan

angka

kegagalannnya rendah sama dengan hasil pengobatan pada


penderita HIV negatif. Diantaranya semua pasien TB yang diterapi,
angka kematian tinggi pada pasien dengan HIV positif lebih dari
pasien dengan HIV negatif. Prioritas pertama untuk pasien TB
dengan HIV positif diawali dengan terapi TB, diikuti dengan
kotrimoksasole dan ART.
Secara umum tetap dianjurkan terapi TB selama 6 bulan,
namun bila respon klinis atau bakteriologisnya lambat harus
diberikan sekurang-kurangnya 9 bulan atau 4 bulan setelah hasil

biakan BTAnya menjadi negatif. Pasien TB paru dengan HIV


sebaiknya diterapi dengan regimen diberikan pada tabel 3.

Regimen standar untuk pasien TB paru:


Terapi fase intensif
Terapi fase lanjutan
2 bulan 4 FDC (RHZE)
4 bulan 2 FDC (RH)
Jumlah tablet yang ditelan sesuai berat badan
Berat badan
30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
>71 kg
Jumlah tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet
5 tablet
Untuk pasien kurang dari 30 kg, gunakan tabel dosis anak sebagai acuan
Aspek penting lain dari terapi TB adalah penerapan system
directi observed therapy (DOT). Penelitian terakhir menunjukkan
pentingnya DOT dalam mencegah terjadinya relaps dan resistensi
obat. WHO sangat menekankan penerapan sistem DOTS (direct
observed therapy and short course chemotherapy) dalam program
pemberantasan TB diseluruh dunia.
2) Terapi ODHA dengan Koinfeksi TB
Terapi infeksi dan pengendalian TB merupakan prioritas
pertama

pengobatan

penderita

dengan

koinfeksi

HIV-TB.

Tatalaksana koinfeksi HIV-TB begitu rumit oleh karena beberapa


obat ART menghasilkan interaksi yang tidak diinginkan oleh obat
anti TB dan atau meningkatkan toksisitas OAT. Standar regimen
ART yang disederhanakan digunakan untuk mendukung program
pengobatan HIV sehingga dapat menjangkau banyak orang yang
hidup dengan HIV. Prinsip dalam pemberian ARV adalah sebagai
berikut:
a. Panduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang
terserap dan berada dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut
menjamin efektifitas penggunaan obat.

b. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan


mendekatkan akses pelayanan ARV.
c. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan
menerapkan manajemen logistik yang baik.
Populasi target
Dewasa dan anak

Pilihan yang direkomendasikan


Catatan
AZT atau TDV + 3TC (atau Merupakan pilhan panduan
FTC)+ EFV atau NVP

yang sesuai untuk sebagian


besar pasien gunakan FDC

Perempuan hamil

AZT + 3TC+ EFV atau NVP

jika tersedia.
Tidak boleh menggunakan
EFV pada trimester pertama
TDF biasanya merupakan

Koinfeksi
atau TB

pilihan.
HIV AZT atau TDF + 3TC (FTC) + Mulai terapi ARV segera
EFV

setelah

terapi TB

dapat

ditoleransi (antara 2 minggu


hingga 8 minggu) gunakan
NVP atau triple NRT 1 bila
Koinfeksi

EFV tidak dapat digunakan.


HIV TDF + 3TC (FTC) + EFV aatu Pertimbangkan pemeriksaan

atau Hepatitis B NVP

HBs Ag terutama bila TDF

kronik aktif

merupakan

panduan

lini

pertama.
WHO merekomendasikan bahwa lini pertama regimen ART
mengandung dua nukleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)
ditambah satu non nukleoside reverse transcriptase inhibitor (NRT).
Kombinasi ini bagus, relatif lebih murah memiliki formulasi
generik dan FDC, dan menjaga kelas baru yang ampuh (protease
inhibitor) untuk regimen lini kedua. Panduan lini pertama yang
direkomendasikan pada orang dewasa yang belum pernah
mendapat terapi ARV.
Pada penderita yang sudah menerima ARV bila kemudian
terjangkit TB, maka regimen harus disesuaikan agar cocok dengan

OAT yang dipilih itu. Setelah terapi TB lengkap maka ARV dapat
diteruskan atau diganti tergantung keadaan klinis dan imunologis
penderita. Waktu yang optimal untuk memulai ART dalam
kaitannya awal terapi TB belum jelas.
Prioritas terutam pada pasien dengan koinfeksi TB HIV
adalah memulai terapi TB, diikuti dengan kortimoksasol dan ARV.
a. Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan
ARV.
Bila belum dalam pengobatan ARV pengobatan TB dapat
segera dimulai. Jika psien dalam pengobatan TB maka
diteruskan pengobatan TB nya sampai dapat ditoleransi dan
setelah

itu

diberi

pengobatan

ARV. Keputusan

untuk

pengobatan ARV pada psien dengan pengobatan TB sebaiknya


dilakukan oleh dokter yang telah mendapatkan pelatihan
tatalaksana pasien TB HIV.
b. Pengobatan pada ODHA sedangdalam pengobatan ARV.
Bila pasien sedang dalam pengobatn ARV sebaiknya
pengobatan TB dimulai minimal di Rumah Sakit yang
petugasnya dilatih TB HIV, untuk diatur rencana pengobatan
TB bersama pengobatan ARV. Hal ini penting karena ada
kemungkinan masalah yang harus dipertimbangkan, anatar lain
interaksi obat (rifampisin dengan beberapa obat ARV). Gagal
pengobatan ARV, IRIS atau perlu istitusi obat ARV.
Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB HIV:
CD4
Berapapun jumlah CD4

Panduan yang dianjurkan


Keterangan
Mulai terapi TB gunakan Mulai terapi ARV se
panduan yang mengandung setelah

terapi

TB

(AZT atau TDF)+ 3TC + EFV ditoleransi (antara 2 min


(600 mg/ hari). Setelah OAT hingga 8 minggu ).
selesai maka bila perlu EFV
dapat diganti dengan NVP.
Pada
keadaan
dimana
panduan

10

berbasis

NVP

terpaksa

digunakan

bersamaan

dengan

pengobatan TB maka NVP


diberikan tanpa lead-in dose
(NVP diberikan tiap 12 jam
CD4

tidak

sejakawal terapi).
mungkin Mulai terapi TB

Mulai terapi ARV se

diperiksa

setelah

terapi

TB

ditoleransi (antara 2 min


hingga 8 minggu).
Panduan ARV bagi ODHA yang kemudian muncul TB aktif:
Panduan ARV

Panduan ARV pada saat Pilihan terapi ARV

Lini pertama

TB muncul
2 NRTI + EFV

Teruskan dengan 2 NRTI +

2 NRTI + NVP

EFV
Ganti dengan EFV atau
teruskan dengan 2 NRTI +
NVP. Triple NRTI dapat
dipertimbangkan
digunakan selama 3 bulan
jika NVP dan EFV tidak

Lini kedua

2 NRTI + Pls

dapat digunakan.
Mengingan
rifampisin
tidak bersamaan dengan
LPV/r,
menggunakan

dianjurkan
panduan

OAT tanpa rifampisin. Jika


rifampisin perlu diberikan
maka pilihan lain adalah
menggunakan

LPV/r

dengan dosis 100 mg/ 200


mg dua kali sehari. Perlu
memantau fungsi hati ketat
11

jika

menggunakan

rifampisin dan dosis ganda


LPV/r.
3) Terapi Pencegahan dengan Kontrimoksasol
Semua pasien TB denagn HIV positif, terapi pencegahan
kontrimoksasol sebaiknya sdimulai sesegera mungkin. Terapi
pencegahan

kontrimoksasol

secara

substansial

mengurangi

kematian pada pasien TB HIV-positif. Kontrimoksasol dikenal


untuk mencegah Pneumocystis

jirovecii dan malaria dan

kemungkinan akan berdampak pada berbagai infeksi bakteri pada


pasien TB-HIV positif.
4) Pemantauan Pasien Selama Terapi
Efek samping obat yang sering terjadi pada pasien TB HIV
positif dan beberapa toksisitas yang biasanya untuk ART dan obat
TB. Tumpang tindih antar toksisistas ART, terapi TB dan
kotrimoksasol termasuk ruam dan disfungsi hati dan pemantauan
efek samping lainnya.
2.2 Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
1) Identitas Kilen
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal (alamat), pekerjaan,
pendidikan dan status ekonomi menengah ke bawah dan sanitasi
kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan
pernah punya riwayat kontrak dengan penderita TB paru yang lain.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit
yang di rasakan saat ini. Dengan adanya sesa napas, batuk, nyeri
dada,lesi pada kulit, diare, keringat malam, nyeri abdomen,
kelemahan,nafsu makan menurun dan suhu badan meningkat
(demam) mendorong penderita untuk mencari pengobatan.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat: tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi,
menggunakan obat-obatan. Keadaan atau penyakit-penyakit yang
pernah diderita oleh penderita yang mungkin sehubungan dengan
tuberkolusis paru antara lain ISPA, efusi pleura serta tuberkolusis
paru yang kembali aktif.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
12

Mencar diantara anggota keluarga yang mengidap HIV atau


tuberkulosis paru yang menderita penyakit tersebut sehingga
diteruskan penularannya.
5) Riwayat Psikososial
Riwayat pergaulan, penyalahgunaan obat terlarang, sex bebas,
depresi karena masalah keluarga atau sosial, kehilangan pekerjaan
dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan perasaan takut,
cemas, meringis, pernah punya riwayat kontak dengan penderita
tuberkulosis paru yang lain.
6) Status Mental dan Spiritual
Kondisi marah atau pasrah, denial, depresi, ide bunuh diri, apati,
withdrawl, hilang interest pada lingkungan sekitar, gangguan
proses pikir, hilang memori, gangguan atensi dan konsentrasi,
halusinasi dan delusi. Keyakinan pada Tuhan, motivasi, ibadah dan
mekanisme koping.
7) Pola Fungsi Kesehatan:
a. Pola persepsi dn tatalaksana hidup sehat.
Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang
berdesak-desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi
udara dan tinggal dirumah yang sumpek. Penderita HIV sering
kali

ditemukan

mempunyai

riwayat

mengkonsumsi

alcohol,penggunaan obat terlarang, pergaulan bebas.


b. Pola nutrisi dan metabolic
Pada pasien HIV dengan TB paru biasanya terjadi penurunan
absorpsi zat gizi, peningkatan kebutuhan metabolisme tubuh,
mengeluh anoreksia, nafsu makan menurun, penurunan berat
badan, gangguan pencernaan.
c. Pola eliminasi
Klien HIV dengan TB paru rentan mengalami diare dan infeksi
saluran kemih.
d. Pola aktifitas dan latihan
Dengan adanya kelemahan fisik karena penurunan imunitas,
batuk, sesak napas dan nyeri dada akan mengganggu aktifitas.
Pola tidur dan istirahat. Dengan adanya sesak napas dan nyeri
dada pada penderita TB paru mengakibatkan terganggunya
kenyamanan tidur dan istirahat pola hubungan dan peran.
e. Pola sensori dan kognitif

13

Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan dan


pendengaran) bias jadi mengalamai gangguan karena infeksi
virus.
f. Pola persepsi dan konsep diri
Pada penderita HIV seringkali mempunyai harga diri rendah
karena isolasi social ditambah dengan nyeri dan sesak napas
yang diakibatkan gejala TB paru biasanya akan meningkatkan
emosi dan rasa khawatir klien tentang penyakitnya hingga
menimbulkan depresi dan memungkinkan meningkatkan resiko
suicide. Klien HIV dengan TB paru akan mengalami perasaan
terisolir karena penyakit menular.
g. Pola reproduksi dan seksual
Pada penderita HIV dengan TB paru akan mengalami
perubahan pola reproduksi dan seksual akan berubah karena
penyakit menular seksual yang dideritanya serta kelemahan
fisik yang dialaminya.
h. Pola penanggulangan Stress
Penderita HIV dengan TB paru semakin meningkat stressornya.
Proses pengobatan yang lama > 6 bulan lamanya bahkan bisa
bertambah. Penurunan kepatuhan terapi dapat terjadi dengan
adanya kejenuhan akan terapi.
i. Pola tata nilai dan kepercayaan
Karena sesak napas, nyeri dada dan batuk menyebabkan
terganggunya aktifitas ibadah klien.
8) Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan sistem-sistem tubuh:
a. Sistem integument
Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, turgor kulit
menurun kering, gatal, rash atau lesi, petekie positif, edem
muka, terdapat lesi pada integument.
b. Sistem pernapasan
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai
Inspeksi: adanya tanda-tanda penarikan paru, diafragma,
pergerakan napas yang tertinggal, suara napas melemah,
epsitaksis.
Palpasi: fremitus suara meningkat
Perkusi: suara ketok redup (dullnes)

14

Auskultasi: sura napas bronkial dengan atau tanpa ronkhi


basah, kasar dan yang nyaring. Sputum: hijau/purulen,
kekuningan, pink.
c. Sistem penginderaan
Pada klien HIV dengan TB paru untuk penginderaan dapat
terjadi gangguan yang disebabkan oleh infeksi virus: nyeri
periorbital, fotophobia.
d. Sistem kardiovaskuler
Adanya takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2 yang mengeras,
hipotensi, edem perifer, dizzinnes.
e. Sistem gastrointestinal
Ulser pada bibir atau mulut, mulut kering, nafsu makan
menurun/disfagia, anoreksia, berat badan turun disertai diare
kronis.
f. Sistem musculokeletal
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur
dan keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan: focal
motor defisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
g. Sistem neorologist
Sakit kepala, gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo,
ketidakseimbangan, kaku kuduk, kejang, paraplegia.
h. Sistem genetalia
Lesi atau eksudat pada genital
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan kekebalan
tubuh, kerusakan kulit.
2) Bersihan jalan nafas infeksi berhubungan dengan sumbatan jalan
nafas oleh sekret sputum.
3) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, kelelahan.

2.2.3

Intervensi

15

No
1.

Diagnosa
Keperawatan

Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan kriteria

Intervensi

Rasional

Reisko tinggi

hasil
Pasien akan bebas

Observasi tanda-tanda

Untuk mengetahui

infeksi b/d

infeksi oportunistik

vital.

fungsi vital tubuh.

penurunan

dan komplikasinya,

Monitor tanda-tanda

Untuk pengobatan ini.

kekebalan

kriteria hasil :

infeksi baru.

tubuh

Tidak ada tanda-

Gunakan tehnik

Mencegah pasien

(imunosupresi)

tanda infeksi baru,

aseptik pada setiap

terpapar oleh kuman

lab tidak ada

tindakan infasif.

patogen yang diperoleh

infeksi oportunis,

di rumah sakit.

tanda vital dalam

Cuci tangan sebelum

Mencegah

batas normal, tidak

memberikan tindakan.

bertambahnya infeksi

ada luka atau

Anjurkan pasien

Meyakinkan diagnosis

eksudat

metode mencegah

akurat dan pengobatan

terpapar terhadap
lingkungan yang
patogen.
Kumpulkan spesimen

Mempertahankan

tes lab sesuai order.

kadar darah yang


terapeutik

Kolaborasi pemberian

2.

Jalan nafas cukup

antibiotik
Gunakan masker

Pasien dan keluarga

adekuat untuk

ketika kontak dengan

mau dan memerlukan

Bersihan jalan

respirasi, kriteria

pasien kaji adanya

informasi ini

nafas inefeksif

hasil:

sekret purulen.

b/d adanya

RR 16-20x/menit

Gunakan sarung

Mencegah transmisi

sumbatan

Sianosis (-)

tangan untuk

infeksi HIV ke orang

mencegah kontak dari

lain

sekeret/sputum

darah dan cairan


3.

Intolerani

tubuh.
Monitor respon

Pasien

16

Respon bervariasi dari

aktivitas b/d

berpartisipasi

fisiologis terhadap

hari ke hari.

kelemahan,

dalam kegiatan,

aktivitas.

pertukaran

kriteria hasil:

Berikan bantuan

oksigen,

Bebas dyspnea dan

perawatan yang pasien energi.

malnutrisi,

takikardi selama

sendiri tidak mampu.

kelelahan

aktivitas

Jadwalkan perawatan

Ekstra istirahat perlu

pasien sehingga tidak

jika karena

menggangu istirahat.

meningkatkan

Mengurangi kebutuhan

kebutuhan metabolik.

BAB 3
PENUTUP

17

2.1 Kesimpulan
HIV dan M. tuberculosis keduanya merupakan patogen intraseluler
yang saling berinteraksi baik pada tingkat populasi, klinis, maupun seluler.
Progresivitas TB menjadi aktif sejak awal paparan lebih besar pada ODHA
dibandingkan dengan pada non ODHA.
Gejala TB pada populasi HIV umumnya non spesifik. Penderitapenderita yang mempunyai riwayat batuk lebih dari 3 minggu, sputum
produktif dan berat badan turun harus dicurigai TB. Namun gejala-gejala
tersebut (demam, keringat malam, berat badan turun, kelelahan) dapat juga
disebabkan oleh AIDS (AIDS Waisting Syndrome). Infeksi Mycobacterium
Avium Complex (MAC), infeksi Citomegalovirus (CMV), keganasan atau
3

infeksi oportunistik lainnya.


3.2 Saran
Dengan penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya, sehingga dapat
mengetahui dan memahami tentang penyakit menular HIV dan AIDS IO TB
AKTIF.

DAFTAR PUSTAKA
Amin Z, Bahar A. Tuberculosis paru, In: Sudoyo AW, Setiyohadi S, Alwi I,
Simadibrata M, Setiadi S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
5. Jilid III. Jakarta: Interna Publishing: 2009

18

Wulandari L. Diagnosis dan tatalaksana ko-infeksi HIV dan TB aktif. Dalam:


Wibisono MJ, Winariani, Hariadi S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru
2010. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair- RSUD Dr.
Soetomo: 2010
WHO. Treatment of tuberculosis Guidelines. 4 th ed. Geneva: WHO press: 2010.

19

S-ar putea să vă placă și