Sunteți pe pagina 1din 21

TUGAS ASESMEN KLINIS ANALISIS KASUS

DOLLS
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Asesmem Klinis
Dosen Pengampu : Arif T. Setyanto, S.Psi., M.Psi., Psi

Disusun Oleh :
Inta Miftakhul Jannah

G0111045

Marashadi Nur H

G0111053

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014

BAB I
PENGANTAR KASUS
Boneka
Rocky seorang anak berusia 8 tahun, orang tuanya saat ini sedang
mengusahakan untuk mencari sebuah treatment karena Rocky ingin menjadi
seorang gadis. Teman karib sepermainannya adalah adik perempuannya,
meskipun orang tuanya selalu mencoba mendorongnya untuk menjalin
persahabatan dengan anak-anak lain, Rocky lebih suka bermain dengan gadisgadis atau bersama ibunya atau pengasuh perempuan. Dia menolak untuk bermain
permainan kasar dan permainan fisik dengan anak laki-laki, meskipun ia tumbuh
dengan baik dengan tinggi badan di atas rata-rata untuk anak seusianya, dan
sistem koordinsainya berkembang dengan baik. Di rumah ia sering ikut dalam
permainan fantasi, ia selalu mengasumsikan dirinya dengan berperan perempuan.
Ketika bermain rumah-rumahan dengan adik perempuanya, ia memainkan peran
"ibu" atau "kakak perempuan" dan membiarkan adik perempuannya berperan
sebagai laki-laki. Dia suka meniru tokoh perempuan yang ada TV, seperti Brenda
dari Beverly Hills 90210 atau adik perempuan Bart Simpson, Lisa. Demikian
halnya, Rocky ingin bermain karakter wanita dari berbagai buku-buku anak-anak.
Rocky tidak pernah tertarik pada mobil-mobilan, truk, atau kereta api,
tetapi lebih menikmati bermain dengan boneka (bayi, Barbie, dan seperangkat
boneka keluarga) dan mainan masak-masakan. Dia juga suka bermain pernikahan,
kehamilan, menjadi guru perempuan, atau seorang dokter wanita. Dia pandai
menggambar dan sangat tertarik menggambar tokoh perempuan. Meskipun orang
tuanya mencoba untuk membatasi aktivitasnya itu, ia sering melakukan crossdressing. Kadang-kadang dia menggunakan selimut atau handuk untuk dijadikan
rok, T-shirt atau gaun pesta. Ia tidak menggunakan sama sekali pakaian dalam
wanita atau pakaian mandi wanita. Dia menyukai bando di rambutnya dan kadang
menggunakan underskirt atau kerudung untuk meniru rambut panjang. Dia suka

menari dengan menggunakan gaun. Dia sangat tertarik pada perhiasan, memiliki
kalung plastik, dan berpura-pura memakai anting-anting. Selain itu, ia berpurapura memakai lipstik (dengan Chapstick) dan akan menggunakan lipstik nyata dan
parfum jika ibunya mengizinkannya. Dia sering menyatakan, "Saya ingin menjadi
gadis," ketika ia tidak bahagia (misalnya, ketika ia mulai masuk taman kanakkanak, ketika ia merasa tersaingi dengan adik perempuannya).
Pada pemeriksaan fisik, anak itu memiliki alat kelamin laki-laki normal.
Perkembangan intelektualnya tampak normal. Meskipun agak enggan, ia mampu
menjelaskan dengan baik mengenai apa yang dikatakan orang tuanya tentang
mainannya dan permainan yang dia sukai. Dia mengatakan bahwa dia tidak ingin
menjadi anak laki-laki karena dia takut dia harus bermain dengan tentara atau
bermain tentara dengan anak-anak lain ketika ia tumbuh besar. Dia berharap peri
bisa mengubah dirinya menjadi seorang gadis. Dia suka menjadi perempuan
karena menjadi gadis-gadis yang dapat mengenakan gaun, berambut panjang,
mengenakan perhiasan. Hasil gambarnya semua tokoh perempuan.
Riwayat keluarga, kehamilan, kelahiran, dan perkembangan awal semua
berjalan normal. Orang tua pasien tidak menunjukkan adanya gejala
psikopatologi. Masalah pasien tampaknya telah dimulai saat kelahiran adiknya,
ketika ia berusia 2 tahun. Selama 4 bulan pertama, adik perempuannya
mempunyai masalah pencernaan dan membutuhkan banyak perhatian dan
pengasuhan. Rocky kemudian mulai menunjukkan tanda-tanda regresiia
memainkan peran bayi lagi, ia ingin minum dari botol, direngkuh dan digendong.
Ibunya menyerah pada batas tertentu. Kedua orang tua dan pengasuh bayi berpikir
bahwa cross-dressing dan keinginan menjadi seorang gadis kembali pada saat itu,
meskipun sebelum kelahiran adik perempuannya, sudah ada beberapa kasus
dimana Rocky meniru rambut panjang dengan memakai handuk di kepalanya.
Ketika Rocky berusia 4 tahun, saat adik perempuannya memiliki boneka bayi, ia
mengambil boneka itu. Disaat yang sama ia menghabiskan liburan dengan adik
perempuannya di tempat kakek-nenek mereka dan mengeluh bahwa adik
perempuannya mendapat perhatian lebih daripada dia, pada berakhir dengan
Mengapa aku tidak dapat menjadi seorang gadis? Mengapa Tuhan tidak

menjadikan aku seorang gadis? Gadis dapat berdandan, bisa memakai hal-hal
cantik.
Dari usia 3 tahun, Rocky terdaftar di sekolah kanak-kanak, dan ia awalnya
sering menunjukkan separation anxiety. Dia tampak lebih sensitif dibandingkan
dengan anak-anak lain, tampaknya ia selalu merasa terancam oleh temantemannya, dan tidak dapat mandiri. Gurunya mencatat sejak awal bahwa ia sering
berdandan, mengatakan bahwa ia ingin menjadi seorang ibu ketika ia tumbuh
dewasa, dan menolak untuk terlibat dalam kegiatan keras dan kasar. Di kelas tiga,
guru kelasnya menutup ruang boneka karena pra okupasinya dalam permainan
boneka.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Gangguan Identitas Jenis Kelamin
Gangguan identitas jenis kelamin (gender identity disorders) ditandai oleh
perasaan kegelisahan yang dimiliki seseorang terhadap jenis kelamin
biologisnya sendiri atau peran jenis kelamin seksualnya sendiri. Pemahaman
gangguan mengharuskan dijelaskannya terminology yang kompleks dan
bervariasi yang digunakan dalam mendiskusikan keadaan ini untuk
menghindari kebingungan.
Identitas jenis kelamin (gender identity) adalah keadaan psikologi yang
mencerminkan perasaan dalam (inner sense) diri seseorang sebagai laki-laki
atau wanita. Identitas jenis kelamin didasarkan pada sikap, pola perilaku dan
atribut lain yang ditentukan secara cultural yang biasanya berhubungan
dengan maskulinitas atau feminitas. Orang dengan identitas jenis kelamin
yang sehat adalah mampu berkata dengan yakin, Saya adalah laki-laki atau
Saya adalah wanita. Peran jenis kelamin (gender role) adalah pola perilaku
eksternal yang mencerminkan perasaan dalam (inner sense) dari identitas jenis
kelamin. Ini adalah pernyataan masyarakat; citra kelelakian atau kewanitaan
adalah dikomunikasikan kepada orang lain.
Di dalam situasi yang ideal, identitas jenis kelamin dan peran jenis
kelmain adalah sejalan; yaitu, seorang wanita yang memiliki perasaan dirinya
sendiri sebagai wanita menyatakan hal tersebut kepada dunia luar dengan
berkelakuan sebagai wanita; demikian juga, laki-laki yang memandang dirinya
sebagai laki-laki berkelakuan sebagai laki-laki. Peran jenis kelamin adalah
segala sesuatu yang dikatakan atau dilakukan seseorang untuk menyatakan
kepada orang lain bahwa ia adalah laki-laki atau wanita. Identitas jenis
kelamin dan peran jenis kelamin harus dibedakan dari perkelamian (sex) atau
juga dikenal dengan sebagai perkelamian biologis, yang sangat terbatas pada
karakteristik anatomis dan fisiologis yang menyatakan apakan seseorang
adalah laki-laki atau wanita.

Semua istilah tersebut harus dibedakan dari orientasi seksual, yaitu


kecenderungan respons erotik seseorang (sebagai contoh, homoseksual atau
heteroseksual). Orientasi seksual menentukan pilihan objek seseorang (lakilaki atau wanita) dan kehidupan khayalan seseorangsebagai contoh, khayalan
erotik tentang laki-laki atau wanita atau keduanya.
B. Etilogi
1. Faktor Biologis
Jenis kelamin bayi ditentukan oleh kromosom-kromoson, di mana
laki-laki memiliki kromosom Y dan tambahan kromosom X sementara
perempuan memiliki dua kromosom X. Kromosom Y mengandung gen
yang disebut dengan faktor pembentuk testis (androgen). Gen ini
menyebabkan sel-sel dalam embrio dibedakan dan berkembang menjadi
alat genital laki-laki. Embrio tanpa androgen terus berkembang menjadi
alat genital perempuan. Pembentukan androgen yang tidak cukup dan tepat
waktu, dapat menyebabkan perkembangan maskulinitas janin terganggu
dan tidak sempurna. Gangguan pelepasan androgen ini dapat disebabkan
karena terganggunya sistem endokrin ibu, stress pada ibu, atau
pengonsumsian obat-obatan saat masa kehamilan.
Prinsip maskulinisasi atau feminisasi yang sama telah diterapkan
pada otak. Testoteron mempengaruhi neuron otak yang berperan untuk
maskulinisasi otak dalam daerah seperti hipotalamus. Belakangan studi
post-mortem diselenggarakan pada male-to-female transsexuals, nontranssexual men, dan non-transsexual women menunjukkan hasil
perbedaan yang signifikan pada volume bagian hipotalamus yang penting
dalam perilaku seksual. Testoteron juga berperan dalam peningkatan libido
dan agresivitas pada perempuan, sedangkan estrogen menurunkan libido
dan agresivitas pada perempuan.
2. Faktor Psikososial
Pembentukan identitas jenis kelamin dipengaruhi oleh interaksi
temperamen anak dan kualitas dan sikap orang tua.
a. Kualitas hubungan ibu dan anak dalam tahun-tahun pertama kehidupan
sangat penting dalam menegakkan identitas jenis kelamin. Selama

periode tersebut, biasanya ibu mempermudah kesadaran dan


kebanggaan anak-anaknya tentang jenis kelamin mereka. Peran ayah
dalam periode tersebut juga tidak kalah penting. Ayah dapat membantu
saat tejadi masa separasi-individuasi, yaitu proses pembentukan diri
atau penemuan diri. Tidak adanya figur ayah dapat menyebabkan
ikatan hubungan ibu dan anak-anaknya sangat berlebihan. Ayah bagi
anak perempuannya merupakan objek cintanya di masa depan dan bagi
anak laki-laki adalah model identitasnya. Kematian ibu akan memicu
anak laki-laki untuk mengidentifikasikan dirinya menjadi ibu untuk
dirinya karena adanya perasaan depresi.
b. Pengasuhan anak yang tidak menghargai dan bermusuhan dapat
menyebabkan masalah jenis kelamin. Jika masalah tersebut terjadi dan
disertai separasi-individuasi maka anak akan menggunakan aspek
seksualitas mereka untuk mempertahankan hubungan infantile dan
hubungan bermusuhan serta tidak menghargai. Penolakan orang tua
terhadap jenis kelamin anaknya dan berharap anaknya memiliki jenis
kelamin berlawanan, akan menimbulkan perasaan untuk berubah agar
lebih dihargai.
c. Aturan peran jenis kelamin anak dapat dipengaruhi oleh budaya.
Terdapat peran jenis kelamin yang ditentukan oleh budaya (stereotip),
misalnya anak laki-laki diharapkan tidak bersifat keperempuankeperempuanan dan anak perempuan diharapkan tidak bersifat
kelelaki-lakian, anak laki-laki bermain dengan mainan anak laki-laki
yang penuh semangat dan anak perempuan bermain dengan mainan
anak perempuan yang lemah lembut. Peran tersebut dapat dipelajari,
walaupun beberapa peneliti mengatakan bahwa bila dilihat dari
temperamen, beberapa anak laki-laki bertemperamen lembut dan peka
sedangkan ada beberapa anak perempuan yang agresif dan penuh
energi.
d. Masalah identitas jenis kelamin dapat dipengaruhi oleh konflik yang
dialami oleh anak dalam segitiga Oedipal.
Sigmund Freud percaya bahwa masalah identitas jenis kelamin
disebabkan oleh konflik segitiga Oedipal, yaitu konflik yang terisi

antara peristiwa keluarga yang nyata dan peristiwa keluarga khayalan


anak. Identitas jenis kelamin anak kemungkinan akan terpengaruhi
karena cinta anak pada orang tuanya dengan jenis kelamin yang
berbeda dan dengan orang tua berjenis kelamin sama, di mana akan
membuat terganggunya identitas jenis kelamin normalnya.
C. Psikodinamika
Psikodimanika kepribadian yang terdapat dalam kasus Dolls dapat
diuraikan dengan penjelasan menggunakan teori Psikoanalisis Freud yang
berfokus pada penemuan penting tentang Kompleks Oedipus. Komplek Oedipus
merupakan salah satu penemuan penting yang terdapat dalam 6 fase
perkembangan yang dikemukakan oleh Freud, yaitu :
1. Fase Oral (0 1 tahun).
Pada fase ini mulut merupakan daerah pokok aktivitas dinamis.
2. Fase Anal (1 3 tahun).
Pada fase ini cathexis dan anti cathexis berpusat pada fungsi eliminatif
(pembuangan kotoran).
3. Fase Falis (3 5 tahun).
Pada fase ini alat-alat kelamin merupakan daerah erogen terpenting.
4. Fase Latent (5 12 tahun).
Pada fase ini impuls-impuls cenderung untuk ada dalam keadaan tertekan.
5. Fase Pubertas (12 13 tahun).
Pada fase ini impuls-impuls menonjol kembali. Apabila ini dapat dipindahkan
dan disublimasikan oleh das Ich dengan berhasil maka sampailah orang
kepada fase kematangan terakhir, yaitu :
6. Fase Genital.
Kompleks Oedipus berada pada fase falis, di mana pada fase ini menjadi
pusat perkembangan seksual dan rasa agresi serta fungsi, alat-alat kelamin.
Kenikmatan masturbasi serta khayalan yang menyertai aktivitas oto-erotik sangat
penting.
Secara singkat, kompleks Oedipus itu terdiri atas cathexis seksual terhadap
orang tua yang berlainan jenis kelaminnya serta cathexis permusuhan terhadap
orang tua yang sama jenis kelaminnya. Anak laki-laki ingin memiliki ibu dan
mengusir ayah, dan anak perempuan ingin memiliki ayah dan mengusir ibu.
Perasaan ini menyatakan diri dalam khayal anak waktu melakukan masturbasi dan
dalam sikap cinta serta melawan orang tua.

Kompleks Oedipus pada laki-laki dan pada perempuan tidak sama. Mulamula kedua jenis anak itu cinta kepada ibunya, karena ibu memenuhi kebutuhankebutuhannya,

dan

menentang

ayah

karena

dianggap

saingan

dalam

memperebutkan kasih itu. Perasaan yang demikian itu pada anak laki-laki tetap,
sedangkan pada anak perempuan berubah. Castration anxiety muncul pada anak
laki-laki ketika ia mulai merasa cemas kalau-kalau ayahnya memakai
kekuasaannya untuk memenangkan persaingan merebut kasih sayang ibunya. Ia
cemas penisnya akan dipotong oleh ayahnya, sehingga timbul rasa cemas dikebiri
atau

castration

anxiety.

Kecemasan

ini

mendorong

anak

laki-laki

mengidentifikasikan diri dengan ayahnya, yang memberikan manfaat sebagai


berikut.
a. Anak secara tidak langsung memperoleh kepuasan impuls seksual kepada ibu,
seperti kepuasan ayah.
b. Perasaan erotik kepada ibu (yang berbahaya) diubah menjadi sikap
menurut/sayang kepada ibu.
c. Identifikasi menjadi sarana terpenting untuk mengembangkan superego, yaitu
warisan dari oedipus complex.
d. Identifikasi menjadi ritual akhir dari oedipus complex, yang kemudian ditekan
(repressed) ke arah ketidaksadaran.
Pada anak perempuan, rasa sayang pada ibu berubah menjadi kecewa dan
benci setelah mengetahui bahwa kelaminnya tidak sama dengan laki-laki, dan ibu
dianggap bertanggung jawab terhadap kastrasi kelaminnya. Anak beralih rasa
sayang pada ayah, namun diiringi dengan perasaan iri penis (penis envy), begitu
juga kepada laki-laki lain secara umum.Oedipus complex pada perempuan tidak
direpresi seperti pada laki-laki, dan cinta pada ayahnya tidak berubah walaupun
ada hambatan realistik pemuasan seksual tadi.
Perbedaan hakekat oedipus complex pada laki-laki dan perempuan ini
(disebut juga elektra complex) merupakan dasar perbedaan psikologik antara pria
dan wanita. Elektra complex terjadi ketika anak perempuan menyerah tidak lagi
mengembangkan harapan seksual kepada ayahnya dan mengidentifikasikan diri
kembali kepada ibu, namun berlangsung lambat. Hal ini membuat superego
menjadi lebih lemah, lebih fleksibel, dibandingkan laki-laki. Cinta anak

perempuan terhadap ayah dan orang laki-laki yang lain disertai oleh rasa kosong,
karena orang-orang itu memiliki sesuatu yang dia tidak punya.
Freud berpendapat bahwa tiap orang secara inherent adalah biseksual; tiap
jenis kelamin tertarik oleh jenis kelamin yang sama dan jenis kelamin yang
berlainan. Inilah yang menjadi dasar daripada homoseksualitas, kendatipun pada
kebanyakan orang impuls homoseksualitas itu tetap latent. Pikiran tentang
biseksualitas ini dikuatkan oleh hormonology, di mana dikemukakan bahwa
hormon seksual kedua jenis kelamin itu ada pada masing-masing jenis kelamin.
Timbulnya Oedipus Complex itu merupakan hal yang pokok pada masa falis dan
tetap membekas selama hidup.

BAB III
ANALISIS KASUS
A. Assessmen
Dari anamnesis kasus tersebut, didapatkan data-data yang menyangkut klien
sebagai berikut.
1) Identitas pribadi klien
Nama
: Rocky
Umur
: 8 tahun
Urutan anak : Anak pertama dari dua bersaudara. Adik klien perempuan
Pendidikan
: Sekolah dasar
2) Riwayat klien
Riwayat keluarga, kehamilan, kelahiran dan pengembangan awal anak
berjalan dengan normal. Keluarga klien tidak menunjukkan gejala

psikopatologis. Pada pemeriksaan fisik, anak memiliki alat kelamin lakilaki normal.
3) Perilaku yang ditampakkan klien
Klien sering bermain dengan perempuan. Dalam permainan peran, dia
lebih suka memilih peran perempuan. Dia tidak menyukai permainan lakilaki dan permainan fisik. Ia lebih suka bermain dengan boneka dan
permainan perempuan lainnya. Ia suka menggambar sosok perempuan dan
berdandan seperti seorang perempuan. Ia juga sering menyatakan ingin
menjadi seorang perempuan, terutama saat merasa tidak bahagia.
4) Faktor penyebab kasus klien
Klien mulai mengalami regresi-memainkan peran menjadi bayi ketika ia
berusia 2 tahun dan adiknya mengalami masalah pencernaan. Kedua
orangtua dan pengasuh bayi berpikir bahwa cross-dressing dan keinginan
menjadi seorang gadis pada saat itu, meskipun sebelum kelahiran adiknya,
ia mulai berdandan seperti anak perempuan. Pada umur 4 tahun, ia
merebut boneka milik adiknya dan ia cemburu terhadap perhatian
keluarganya pada adiknya.
B. Diagnosis
1) Diagnosis multiaksial (F64.2)
Berdasarkan PPDGJ III, hasil diagnosis dari kasus ini adalah :
AKSIS I: GANGGUAN KLINIS
Keterangan
Diagnosis

Kriteria

Simptom yang

Aksis I

Diagnostik

Muncul

Tidak
Memenuhi

Memenuh
i

F64.2

Keinginan

Klien sering

Gangguan

anak yang

berdandan

Identitas

mendalam

seperti seorang

Jenis

(pervasive)

perempuan,

Kelamin

dan menetap bermain peran

Masa

(persistent)

seperti seorang

Kanak

untuk menjadi

perempuan,

(atau

senang

keteguhan
bahwa dirinya
adalah) jenis
kelamin lawan
jenisnya,
disertai
penolakan
terhadap
perilaku,
atribut
dan/atau
pakaian yang
sesuai untuk

menggambar
perempuan dan
sering berkata
ingin menjadi
seorang
perempuan.

jenis
kelaminnya;
Tidak ada
rangsangan
seksual dari
pakaian;

Yang khas

Onset sudah

adalah bahwa

dimulai sejak

manifestasi

klien berusia 2

pertama

tahun.

timbul pada
usia prasekolah.
Gangguan
harus sudah
tampak
sebelum

pubertas;

Pada kedua
jenis kelamin,
kemungkinan
ada

Klien tidak

penyangkalan

merasa

terhadap

terganggu

struktur

dengan struktur

anatomi, jenis

anatomi jenis

kelaminnya

kelaminnya.

sendiri, tetapi
hal ini jarang
terjadi.

Ciri khas lain,

Klien tampak

anak dengan

lebih sensitif

gangguan

dibandingkan

identitas jenis

dengan anak-

kelamin,

anak lainnya,

menyangkal

dan tampak

bahwa dirinya

selalu merasa

terganggu,

terancam oleh

meskipun

teman-

mereka

temannya.

mungkin

Namun, ia

tertekan oleh

masih suka

konflik

berdandan dan

dengan

mengungkapkan

keinginan

keinginannya

orang tua atau

untuk menjadi

kawan

seorang

sebayanya dan
oleh ejekan
dan/atau
penolakan
oleh orang-

perempuan.

orang yang
berhubungan
dengan
dirinya.
Kesimpulan:

AKSIS II: TIPE KEPRIBADIAN DAN ATAU MR

Diagnosis

Kriteria

Aksis II

Diagnostik

Tidak ada.

Keterangan

Simptom
yang
Muncul
-

Memenuhi
-

Tidak
Memenuhi
-

AKSIS III: KONDISI MEDIK UMUM


Tidak ada.
AKSIS IV: MASALAH ATAU STRESSOR PSIKOSOSIAL DAN
LINGKUNGAN
Masalah dengan primary group (keluarga) : Klien merasa cemburu
terhadap perhatian yang diberikan orangtua, kakek-nenek maupun
pengasuh bayi kepada adik perempuannya yang ia rasa sangat

perhatian. Sedangkan dirinya tidak merasa diperhatikan demikian.


Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial: Perilaku yang
ditampakkan oleh klien tidak sesuai dengan stereotip masyarakat yaitu
wanita berperilaku feminim dan laki-laki berperilaku maskulin.

AKSIS V: PENILAIAN FUNGSI SECARA GLOBAL (GAF)

GAF Sebelum = 80
GAF Sesudah = 88
2) Berdasarkan DSM-IV, hasil diagnosis dari kasus ini adakah :
302.6

Gender Identity Disorder in Children


Keterangan

Diagnosis

Kriteria

Simptom yang

Aksis I

Diagnostik

Muncul

Tidak
Memenuhi

Memenuh
i

302.6

A strong and

(1) Klien sering

Gender

persistent

Identity

cross-gender

bahwa dirinya

Disorder in

identification

ingin menjadi

Children

(not merely a

seorang gadis,

desire
for any

dia juga ingin

perceived

mengubahnya

cultural
advantages of

kali berujar

peri
menjadi
perempuan

being the other

sex).
In children,
the
disturbance is
manifested by
four (or more)

(2) Klien sering


berdandan
seperti seorang
perempuan,
memakai,
misalnya

of the
following:
(1) repeatedly

handuk sebagai

stated desire to

rok.

be, or
insistence that

memakai

(3). Klien sering


memainkan

he or she is,

peran sebagai

the
other sex
(2) in boys,

seorang

preference for
cross-dressing
or simulating
female attire;
in girls,

perempuan,
misalnya
sebagai ibu atau
kakak
perempuan atau
peran-peran

insistence on

perempuan

wearing only

lainnya.

stereotypical
masculine
clothing
(3) strong and
persistent
preferences for
cross-sex roles
in
makebelieve
play or

(4) Klien suka


bermain
permainan
perempuan,
seperti boneka
dan mainan
masakmasakkan. Klien
tidak menyukai

persistent

permainan laki-

fantasies of

laki seperti truk

being the other


sex
(4) intense
desire to
participate in
the
stereotypical
games and
pastimes
of the other

atau mobilmobilan.
(5) Klien lebih
suka bermain
bersama
perempuan.
Bermain
bersama ibu,
adik perempuan

klien, dan
pengasuh
sex
(5) strong
preference for
playmates of
the other sex

perempuan.
Klien tidak
menyukai
bermain
bersama lakilaki.

Persistent

Klien tidak

discomfort

menyukai

with his or her

permainan laki-

sex or sense of

laki dan

inappropriaten

permainan kasar

ess
in the gender

maupun fisik.

role of that

sex.
In children,
the
disturbance is
manifested by
any of the
following: in
boys, assertion
that his penis
or testes are
disgusting or
will disappear
or assertion
that it would
be better not
to have a

penis, or
aversion
toward roughand-tumble
play and
rejection of
male
stereotypical
toys,
games, and
activities; in
girls, rejection
of urinating in
a sitting
position,
assertion that
she has or will
grow a penis,
or assertion
that she does
not want to
grow breasts
or menstruate,
or marked
aversion
toward
normative
feminine
clothing.

The

Klien memiliki

disturbance is

jenis kelamin

not concurrent

laki-laki yang

with a
physical

jelas dan

intersex

normal.

condition.

The
disturbance
causes

Kasus klien
kemungkinan
disebabkan oleh

clinically

kecemburuan

significant

klien terhadap

distress or

adik

impairment in
social,

permpuannya

occupational,

mendapatkan

or other

perhatian dari

important
areas of
functioning.

yang selalu

orang tua
maupun orang
terdekat.

C. Penatalaksanaan Terapi
Pengobatan gangguan identitas jenis kelamin adalah masalah yang
kompleks dan jarang berhasil jika tujuannya adalah untuk membalikkan tujuannya
adalah untuk mengembalikkan gangguan.Sebagian besar orang dengan gangguan
identitas jenis kelamin memiliki gagasan dan nilai yang terpaku dan tidak mau
diubah.
Anak-anak dengan pola perilaku jenis kelamin lawan biasanya dibawa ke
dokter psikiatrik oleh orang tuannya. Richard Green mengembangkan suatu
program pengobatan yang dirancang untuk menanamkan pola perilaku yang
diterima secara kultural pada anak laki-laki. Green menggunakan bermain
berhadap-hadapan dengan anak dimana orang dewasa atau teman sebaya
memainkan model-peran perilaku maskulin. Konseling parental bersama-sama
dengan pertemuan kelompok orang tua dan anak-anaknya yang memiliki masalah
yang sama juga digunakan. Dorongan orang tua pada perilaku anak yang atipikal

(seperti mengenakan pakaian perempuan pada seorang anak laku-laki atau tidak
memotong rambutnya) dinilai jika orangtua tidak menyadari bagaimana mereka
mendorong perilaku jenis kelamin lawan.
Terapi yang paling tepat untuk digunakan dalam kasus ini adalah terapi
perilaku (behavioral theraphy), seperti terapi berpakaian lawan jenis. Karena
terapi lainnya seperti pembedahan penggantian jenis kelamin dan terapi hormonal
tidak sesuai dengan umur anak pada kasus ini. Sedangkan pada terapi kondisi
interseks, anak dalam kasus ini jenis kelaminnya tampak jelas.
Terapi berpakaian lawan jenis ditujukan untuk membantu klien mengatasi
stressor dengan cara yang tepat dan jika mungkin, menghilangkannya. Karena
berpakaian lawan jenis dapat terjadi secara implusif, maka diperlukan medikasi
yang dapat mengendalikan implus tersebut.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Etiologi dari kasus ini
a. Faktor Biologi
b. Faktor psikososial yang meliputi :
1) Kualitas hubungan ibu dan anak dalam tahun-tahun pertama

2) Pengasuhan anak yang tidak menghargai dan bermusuhan dapat


menyebabkan masalah jenis kelamin
3) Aturan peran jenis kelamin anak dapat dipengaruhi oleh budaya.
4) Masalah identitas jenis kelamin dapat dipengaruhi oleh konflik
yang dialami oleh anak dalam segitiga oedipal.
2. Psikodinmika dalam kasus ini Psikodimanika kepribadian yang terdapat
dalam kasus Dolls dapat diuraikan dengan penjelasan menggunakan
teori Psikoanalisis Freud yang berfokus pada penemuan penting tentang
Kompleks Oedipus
3. Diagnosis
Menurut PPDGJ III F64.2 Gangguan Identitas Jenis Kelamin Masa Kanak
Menurut DSM IV 302.6
Gender Identity Disorder in Children
4. Model terapi yang digunakan yang sesuai dengan kasus ini adalah terapi
perilaku seperti terapi berpakaian lawan jenis.
B. Saran
1. Belum banyak terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah
gangguan identitas gender pada anak-anak
2. Banyak terapi yang berorientasi untuk mengubah ke jenis kelamin yang
diinginkan oleh klien.
3. Lebih dikembangkan lagi terapi yang dapat digunakan untuk anak-anak
yang mengalami gangguan identitas gender

DAFTAR PUSTAKA
Suryabrata, Sumadi. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rajawali Pers
Kaplan, Harlod, dkk. 2010.Sinopsis Psikiatri. Tangerang : Binarupa
Aksara
http://www.minddisorders.com/Flu-Inv/Gender-identity-disorder.html
Domenico Di Ceglie. Gender identity disorder in young people.
Advances in Psychiatric TreatmentJournal (2000), vol. 6, pp. 458
466.

S-ar putea să vă placă și