Sunteți pe pagina 1din 6

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Penyakit ngorok atau septicemia epizootica (SE) adalah penyakit menular terutama
pada sapi, kerbau, babi, dan kadang-kadang pada domba, kambing dan kuda, yang
disebabkan oleh kuman Pasteurella multocida.
2.2 Etiologi
Bakteri Pasteurella biasanya diikuti dengan hewan yang diserangnya misalnya pada
sapi P. boviseptica, pada babi P. suiseptica, pada ayam P. aviseptica, pada kambing atau
domba P. oviseptica dan sebagainya. Selanjutnya pada tahun 1939 dibedakan bakteri
Pasteurella yang dapat menyebabkan hemolisa dan tidak, menjadi Pasteurella hemolytica dan
Pasteurella multocida (P. septica). Telah lama diketahui bahwa bakteri Pasteurella dapat
ditularkan dari satu hewan ke hewan lainnya. Berdasarkan kenyataannya bahwa bakteri
Pasteurella menunjukan bentuk koloni dan sifat yang bermacam-macam, yaitu pertama
berdasarkan mouse protection test dan yang kedua berdasarkan atas sifat-sifat antigen
selubung bakteri (kapsul) dalam indirect Haemaglutination Test (HA). Bakteri P. multocida
yang berbentuk coccobacillus, mempunyai ukuran yang sangat halus dan bersifat bipolar.
Sifat bipolar ini lebih jelas terlihat pada bakteri yang diisolasi dari penderita dan diwarnai
dengan cara giemsa. Bakteri yang bersifat gram negatif ini tidak membentuk spora bersifat
non-motil dan berkapsul yang dapat hilang karena penyimpanan terlalu lama. Bentuk
koloninya tidak selalu seragam, tergantung beberapa faktor, misalnya media yang digunakan,
umur bakteri dalam penyimpanan, frekuensi pemindahan bakteri dan sebagainya. Koloni
bakteri yang baru diisolasi dari penderita atau hewan percobaan biasanya bersifat Mucoid dan
kelama-lamaan menjadi bentuk Smouth (halus) atau Rough (kasar). Koloni yang bersifat
iridescent pada penglihatan pada permukaan bawah cawan Petri biasanya bersifat virulen.
Bakteri P. multocida menimbulkan gas yang berbau.
2.3 Gejala Klinis
Penderita SE akan terlihat lesu, suhu tubuh naik dengan cepat, gemetar, mata sayu dan
berair, selaput lendir dan mata hiperemi. Nafsu makan, memamak biak, gerakan rumen dan
usus menurun sampai hilang disertai konstipasi. Mungkin pula gangguan pencernaan berupa

kolik dan diare kadang-kadang disertai titik-titik darah. Sekali-kali ditemukan juga epistasis,
hematuria dan urtikaria yang dapat berlanjut ke nekrose kulit. Pada SE dikenal tiga bentuk
yaitu, bentuk busung, pektoral dan intestinal.
a. Bentuk Busung
Ditemukan busung pada bagian kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelambir dan
kadang-kadang pada kaki muka. Tidak jarang pula terjadi pada bagian alat kelamin dan anus.
Derajat kematian bentuk ini tinggi sampai mencapai 90% dan berlangsung cepat (hanya 3
hari, kadang-kadang sampai 1 minggu). Sebelum mati, terutama pada kerbau terjadi
gangguan pernafasan akan nampak sebagai sesak nafas (dyspnoe) dan suara ngorok merintih
dan gigi gemeretak.
b. Bentuk Pektoral
Ditandai dengan bronchopnemoni dan dimulai dengan batuk kering dan nyeri.
Kemudian terdapatnya eksudat dari hidung dan terapat pernafasan capat dan basah. Proses
biasanya lama 1-3 minggu. Penyakit yang bersifat kronis ditandai dengan hewan menjadi
kurus, batuk, nafas dan amakan terganggu, terus mengeluarkan air mata, suhu tidak berubah,
terjadi diare yang bercampur darah, kerusakan pada paru-paru, bronchi danpleuranya.
c. Bentuk Intestinal
Bentuk intestinal merupakan gabungan dari bentuk busung dan bentuk pektoral.
2.4 Cara Penularan
Penyakit SE ditemukan disebagian besar wilayah Indonesia, dan Negara negara
lainnya, kecuali Australia, Oceania, Amerika Utara, Afrika Selatan dan Jepang. Kebanyakan
wabah bersifat musiman, terutama pada musim hujan. Secara spasmodik penyakit juga
ditemukan sepanjang tahun. Selain itu ditambah faktor predisposisi seperti kelelahan,
kedinginan, pengangkutan, anemia dan sebagainya.
Hewan sehat akan tertular oleh hewan sakit atau carier melalui kontak atau melalui
makanan, minuman dan alat-alat tercemar. Ekskreta hewan penderita (saliva, kemih dan tinja)
juga dapat mengandung bakteri Pasteurella.

2.5 Patogenesis
Diduga sebagai pintu gerbang infeksi bakteri Pasteurella kedalam tubuh penderita
adalah tenggorokan. Bakteri yang jatuh di tanah, apabila keadaan serasi untuk pertumbuhan
bakteri (lembab, hangat, teduh) akan tahan kurang dari satu minggu dan dapat menulari
hewan-hewan yang digembalakan di tempat tersebut. Tanah tidak lagi dianggap sebagai
reservoir permanen untuk bakteri Pasteurella, ada kemungkinan bahwa insekta dan lintah
dapat bertindak sebagai vektor. Infeksi alami yang ringan akan mengakibatkan terbentuknya
antibodi. Begitu pula dengan hewan-hewan yang sembuh dari penyakit SE. Menurut
penelitian, jika setengah hewan dalam kelompok telah di vaksin, maka penyakit tidak timbul
karena peluang untuk terjadinya kasus diperkecil dan kemungkinan terjadinya wabah
dibatasi. Pada babi, SE banyak yang berbentuk sebagai gangguan pernafasan dengan gejala
batuk yang lebih menonjol. Penularan melalui udara yang dibatukkan oleh penderita lebih
mudah terjadi, apalagi kalau babi-babi tersebut makan dan minum dari tempat yang sama.
Timbulnya SE pada babi sangat dipengaruhi oleh faktor predisposisi, seperti pada kerbau dan
sapi ekskreta penderita juga dapat mengandung bakteri Pasteurella. Kontaminasi pada
rumput, air, dll Di lapangan, kejadian penyakit SE biasanya dilaporkan sebagai terjadinya
kematian hewan secara cepat. Dalam pengamatan, hewan biasanya mengalami peningkatan
suhu tubuh, oedema submandibular (kadang menyebar ke daerah dada) dan gejala pernafasan
dengan keluarnya ingus dari hidung. Dalam banyak kasus, hewan kemudian mengalami
kelesuan atau lemah dan kematian. Lama penyakit lebih pendek pada kerbau dibandingkan
pada sapi, kisaran waktunya mulai kurang dari 24 jam dalam kejadian perakut sampai 2-5
hari. Gejala timbul biasanya setelah masa inkubasi 2-5 hari. Gambaran klinis menunjukan 3
fase yaitu: fase pertama, hewan mengalami kenaikan suhu tubuh, anoreksia dan hipersalivasi;
fase kedua, hewan mengalami gangguan pernafasan dengan hioersalivasi dan nasal discharge;
dan fase ketiga, bakteri telah masuk ke dalam peredaran darah sehingga terjadi septicaemia.
Pada kerbau yang diinfeksi secara buatan, kenaikan suhu hingga 43C dapat teramati 4 jam
sesudah infeksi setelah inokulasi, sedangkan pada sapi kenaikan suhu mencapai 40C baru
teramati setelah 12 dan 16 jam setelah iniokulasi. Dalam darah, bakterimia sudah terjadi 12
jam setelah inokulasi pada kerbau dan sapi. Jumlah bakteri dalam darah terus meningkat
hingga saat kematian hewan.

2.6 Epidemiologi
1.Kejadian di Indonesia
Penyakit SE ditemukan pertama kali di Indonesia oleh DRIESSEN pada tahun 1884 di
daerah Balaraja, Tangerang, kemudian pada tahun berikutnya meluas ke timur sampai sungai
Citarum dan ke barat sampai ujung Menteng, Bekasi. Penyakit SE pada kerbau dikenal
dengan nama Rinderpest tipe busung. Penyakit tersebut sudah ditemukan pada daerah
Majalengka (1897), Imogiri serta daerah diluar pulau Jawa seperti Tanah Datar (1884) dan
Bengkulu (1889). Pada tahun 1891 penyebab dari penyakit tersebut dapat diisolasi oleh Van
Ecke. Sejak akhir abad ke 19 penyakit telah meluas ke sebagian besar wilayah Indonesia.
Selain kerbau dan sapi, SE juga dapat menyerang kuda, kambing, domba dan rusa.
2. Hewan Rentan
Telah lama diketahui bahwa kadang-kadang bakteri hanya bersifat saprofit pada hewan
yang menjadi induk semang. Hewan-hewan tersebut akan menjadi carier penyakit dan
mungkin akan menjadi sumber penularan bagi hewan rentan yang lain. Di negara lain hewanhewan yang dapat terinfeksi adalah babi (48%), sapi (80%), tonsil anjing (10%), gusi anjing
(90%) dan tenggorokan manusia (3%). Selain itu bakteri juga dapat diisolasi dari kelinci,
burung dara, burung pelican, kuda, kambing, domba, rusa, tikus, kangguru, ayam, itik dan
lain-lain. Berdasarkan perhitungan LD50, urutan derajat kerentanan hewan mulai dari yang
paling rentan adalah kelinci, mencit, burung, perkutut, merpati dan marmot. Ayam dan itik
bersifat resisten.
2.7 Diagnosa
1.Pengiriman bahan

Sediaan ulas darah jatung yang difiksasi metil alkohol

Cairan oedema dan darah dari jantung yang dimasukan kedalam pipet pasteur

Potongan organ tubuh seperti jantung, limpa, ginjal, kelenjar limfe dan susmsum
tulang.

Organ dimasukan ke dalam larutan gliserin NaCl 50%. Sumsum tulang dianggap
organ yang paling baik untuk dikirimkan.

2. Pemeriksaan di Laboratorium
Preparat ulas darah diwarnai dengan metilen blue atau giemsa sehingga terlihat bakteri
bipolar. Dengan pewarnaan gram terlihat bentuk gram batang negatif. Bahan yang diperoleh
dari hewan seperti darah, cairan oedema atau suspensi organ disuntikkan ke hewan

percobaan. Isolasi agen penyebab dapat menggunakan agar triptosa, agar darah atau agar
serum darah.
2.8 Manajemen Kesehatan
Pencegahan terhadap penyakit ngorok dilaksanakan tindakan sebagai berikut:
a. Untuk daerah bebas penyakit ngorok pencegahan didasarkan pada peraturan yang
ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tertentu.
b. Untuk daerah tertular, hewan yang sehat divaksin setahun sekali atau sesuai vaksin
yang di gunakan. Vaksin dilakukan sewaktu sebelum terjadi penyakit.
c. Pada hewan tersangka sakit, dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut:
penyuntikan antibiotika, anti serum, penyuntikan kemoterapeutika atau penyuntikan
kombinasi antiserum dan antibiotika.
Penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok harus mengikuti ketentuan
sebagai berikut :
a. Dalam keadaan penyakit sporadic tindakan ditekankan pada pengasingan hewan sakit
dan tersangka sakit disertai pengobatan.
b. Dalam keadaan penyakit enzootik tindakan pemberantasan ditekankan pada
penentuan batas-batas daerah tertular dengan daerah belum tertular yang diikuti
tindakan sebagai berikut:

Disekeliling batas daerah tertular dilakukan vaksinasi.

Didalam daerah tertular hewan sakit dan tersangka sakit disuntikan antibiotika
atau antigen serum dengan masing-masing dosis pengobatan dan dosis
pencegahan.

Ketentuan-ketentuan dalam usaha penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok


adalah sebagai berikut:
a. Hewan yang menderita penyakit ngorok harus diasingkan sedemikian rupa
sehingga tidak kontak dengan hewan lain. Pengasingan sedapat mungkin
dilakukan setempat dan disekatnya disediakan lubang 2-2.5 meter untuk
pembuangan limbah dari kandang. Jika lubang sudah berisi sampai 60cm dari
permukaan tanah maka lubang tersebut harus ditutup dengan tanah.

b. Dipintu-pintu masuk halaman atau daerah tempat pengasingan hewan sakit


atau daerah yang terjangkit harus dituliskan pengumuman bahwa sedang
terjangkit penyakit hewan menular.
c. Hewan yang sakit dilarang keluar dari daerahnya, sedangkan hewan yang dari
luar dilarang masuk.
d. Jika terdapat hewan yang mati disebabkan penyakit ngorok harus segera
musnahkan dengan cara dibakar atau dikubur sekurang-kurangnya 2 meter.
e. Setelah hewan yang sakit mati atau telah sembuh, kandang dan barang-barang
yang

pernah

bersentuhan

dengan

hewan

yang

teridentifikasi

harus

didesinfeksi. Kandang-kandang yang terbuat dari bambu, atau atap alang-alang


dan semua bahan yang tidak dapat didensifeksi harus di bakar.
f. Jika seluruh daerah terkena, harus dilakukan penutupan dari jalur lalu lintas
hewan.
g. Penyakit dianggap lenyap dari suatu daerah setelah lewat waktu 14 hari sejak
mati atau sembuhnya hewan yang sakit terakhir.
Hewan yang menderita penyakit ngorok dapat dipotong dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Hewan sakit dapat dipotong dan diambil dagingnya sepanjang keadaan fisik hewan
menurut dokter hewan masih layak untuk dikonsumsi.
b. Daging yang berasal dari hewan yang sakit dapat disebarkan dan dapat dikonsumsi
setelah sekurang-kurangnya 10 jam dari waktu pemotongan.
c. Kulit hewan yang berasal dari hewan sakit dan suspect harus disimpan 24 jam
sebelum diedarkan.
d. Semua limbah asal hewan sakit dan sisa pemotongan harus segera dibakar atau
dikubur.
2.9 Kebijakan pemerintah

S-ar putea să vă placă și