Sunteți pe pagina 1din 23

Fennie Budhiarti

1102010100

Sindrom Stevens-Johnson adalah


reaksi burukterhadap obat.
Efek samping obat ini
mempengaruhi kulit. Yang disebut
sebagai nekrolisis epidermis toksik
(toxik epidermal necrolysis/TEN). Dan
ada yang disebut sebagai eritema
multiforme (EM). (Adithan,2006).

Sindrom Steven-Johnson (SSJ)


merupakan suatu kumpulan gejala
klinis erupsi mukokutaneus yang
ditandai oleh trias kelainan pada
kulit vesikulobulosa, mukosa
orifisiumserta mata disertai gejala
umum berat. (Adithan,2006).

Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan


pasti, karena penyebabnya berbagai
faktor, walaupun pada umumnya sering
berkaitan dengan respon imun terhadap
obat.
Hampir semua kasus SSJ dan TEN
disebabkan oleh reaksi toksik terhadap
obat,terutama antibiotik, antikejang dan
obat nyeri, termasuk yang dijual tanpa
resep.
(Adithan, 2006; Siregar, 2004).

Patogenesis SSJ sampai saat ini


belum jelas walaupun sering
dihubungkan denganreaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi
kompleks imun).

Oleh karena proses hipersensitivitas,


maka terjadi kerusakan kulit sehingga
terjadi:
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan
kehilangan cairan
2. Stres hormonal di ikuti peningkatan resisitensi
terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi
(Carroll, 2001)

Perjalanan penyakit termasuk keluhan


utama dan keluhan tambahan yang
dapatberupa didahului panas tinggi,
dan nyeri. Erupsi timbul mendadak,
gejala bermula di mukosa mulut
berupa lesi bulosa atau erosi, eritema,
disusul mukosa mata, genitalia
sehingga terbentuk trias (stomatitis,
konjunctivitis, dan uretritis).
(Ilyas, 2004).

SSJ dan TEN biasanya mulai dengan


gejala prodromal berkisar antara 1-14
hariberupa:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Demam
Malaise
Batuk
sakit menelan
nyeri dada
Muntah
pegal otot
atralgia

Pada TEN, bagian kulit yang luas


mengelupas, sering hanya dengan
sentuhan halus. Daerah kulit yang
terpengaruh sangat nyeri dan pasien
merasa sangat sakit dengan panasdingin dan demam. Pada beberapa
orang, kuku dan rambut rontok.
(Adithan, 2006).

Diagnosa ditujukan terhadap


manifestasi yang sesuai dengan trias
kelainan kulit, mukosa, mata, serta
hubungannya dengan faktor
penyebab yang secara klinis terdapat
lesiberbentuk target, iris atau mata
sapi, kelainan pada mukosa, demam.

Selain itu didukungpemeriksaan


laboratorium antara lain pemeriksaan
darah tepi, pemeriksaan
imunologik,biakan kuman serta uji
resistensi dari darah dan tempat lesi,
serta pemeriksaan histopatologik.

Kadar IgG dan IgM dapat


meninggi, C3 dan C4 normal atau
sedikit menurun dan dapat dideteksi
adanya kompleks imun beredar.
Biopsi kulit direncanakan bila lesi
klasik tak ada. Imunoflurosesensi
direk bisa membantu diagnosa kasuskasus atipik.
(Siregar, 2004; Adithan, 2006).

Ada 2 penyakit yang sangat mirip


dengan sindroma Steven Johnson :
1.

Toxic Epidermolysis Necroticans.

2.

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter


disease).

Sindroma steven johnson sangat dekat dengan


TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan
krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya
mukosa terkena. (Siregar, 2004).

3.

Konjungtivitis membranosa

Ditandai dengan adanya massa putih atau


kekuningan yang menutupi konjungtiva palpebra
bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila diangkat
timbul perdarahan. (Wijana, 1993).

1.

Pemeriksaan laboratorium :
a)
b)

c)
d)
e)
f)

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat


membantu dokter dalam diagnosis selain pemeriksaan
biopsy.
Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar
sel darah putih yang normal atau leukositosis non
spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putih dapat
mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
Imunofluoresensi banyak membantu membedakan
sindrom Steven Johnson dengan panyakit kulit dengan
lepuh subepidermal lainnya.
Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya
darah dalam urin.
Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika
dicurigai terjadi infeksi.
Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro
duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan.

2. Imaging studies :
a) Chest radiography untuk mengindikasikan
adanya pneumonitis.

3. Pemeriksaan histopatologi dan


imunohistokimia dapat
mendukung ditegakkannya
diagnosis.
(Adithan, 2006).

Pertama, dan paling penting, kita harus


segera berhenti memakai obat
yangdicurigai penyebab reaksi. Dengan
tindakan ini, kita dapat mencegah
keburukan. Bila mungkin, pasien TEN
dirawat dalam unit rawat luka bakar,
dan kewaspadaan dilakukan secara
ketat untuk menghindari infeksi. Pasien
SSJbiasanya dirawat di ICU.

Antibiotikdiberikan bila
dibutuhkan untuk mencegah infeksi
sekunder seperti sepsis. Misalnya
klindamisin
8-16mg/kg/hari secara intravena,
diberikan 2kali/hari. Obat nyeri,
misalnya analgesik, juga diberikan
agar pasien merasa lebih nyaman.
(Adithan, 2006; Siregar,2004).

Pada umumnya penderita SJS datang dengan


keadaan umum berat sehingga terapi yang diberikan
biasanya adalah :

Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein


secara parenteral.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan
hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi
kulit dan darah.
Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal
1mg/kg BB bolus, kemudianselama 3 hari 0,2-0,5
mg/kg BB tiap 6 jam.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan
Burowi.
Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal
pada lesi kulit.
(Sharma, 2006).

SJS dan TEN adalah reaksi yang gawat.


Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini
dapat menyebabkan kematian. Reaksi ini
juga dapat menyebabkan kebutaan total,
kerusakan pada paru, dan beberapa
masalah lain yang tidak dapat
disembuhkan.
Kematian biasanya disebabkan oleh
gangguan keseimbangan cairandan
elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.
(Adithan, 2006; Siregar, 2004).

Sindrom Steven Johnson sering


menimbulkan komplikasi, antara lain
sebagai berikut:

Oftalmologi ulserasi kornea, uveitis anterior,

panophthalmitis, kebutaan
Gastroenterologi Esophageal strictures
Genitourinaria nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal
Pulmonari pneumonia
Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan
kulit permanen, infeksi kulitsekunder
Infeksi sitemik, sepsis
Kehilangan cairan tubuh, shock
(Mansjoer, 2002).

Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome In: Drug Alert. Volume 2.


Issue 1. Departement ofPharmacology. JIPMER. India. 2006. Access
on: June 3, 2007. Available at:www.jipmer.edu
Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced
hypersensitivity syndrome inpediatric patients. Pediatrics 2001;
108 : 485-92.
Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition.
Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135136.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W.
Erupsi Alergi Obat.
In: KapitaSelekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas
Kedokteran UniversitasIndonesia. Media Aesculapius. Jakarta.
2002. p:133-139
Sharma, V.K. : Proposed IADVL Consensus Guidelines 2006:
Management of Stevens-Johnson Syndrome ( SJS) and Toxic
Epidermal Necrolysis ( TEN). IADVL.2006
Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit.
2nd edition. EGC.Jakarta. 2004. hal 141-142.

Terima Kasih

S-ar putea să vă placă și