Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
PENDAHULUAN
hampir 50% pria di Indonesia yang berusia diatas 50 tahun mengalami penyakit
pembesaran prostat (Bakri, 2005). Di ruang ICU Anestesi Rumah Sakit Angkatan
Laut Dr Ramelan Surabaya terdapat 15 orang dari 227 pasien yang mengalami
BPH dengan Post TUR P pada 3 bulan terakhir (Maret, April, Mei) tahun 2015.
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami
hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam
mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini
dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan
uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk
dapat memompa urine keluar. Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi
berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi
dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam
buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah
kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan)
sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari
kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan
terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia
Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan
dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara
berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap
penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi
lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor
memompa urine dan menjadi retensi urine. Retensi urine yang kronis dapat
mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal. (Brunner & Suddarth, 2001)
Pada pasien dengan BPH yang mengalami retensi urine kronis, akan
menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk mengatasi resistensi uretra yang
meningkat, mula-mula otot-otot detrusor mengalami kompensasi dengan
terjadinya hipertrofi. Lama-lama mengalami dekompensasi sehingga tonus otot
menurun dan terbentuk divertikel. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hipersensitivitas pasca fungsional, ketidakseimbangan neurotransmiter, dan
penurunan input sensorik, sehingga otot detrusor tidak stabil. Karena fungsi otot
vesika tidak normal, maka terjadi peningkatan volume residu urin yang
menyebabkan hidronefrosis. Hidronefrosis yang berkepanjangan dapat
menyebabkan kegagalan ginjal karena nefron bekerja sangat keras dan pada
akhirnya sebagian nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih
besar daripada yang bisa direabsorbsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri
dan haus. Karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul
disertai retensi produk sisa. Pada tingkat ini menyebabkan nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah dari itu. Fungsi renal
menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya dieksresikan ke
dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap
sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan
semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. Pada penyakit
GGK terdapat 3 stadium yaitu: stadium 1: penurunan cadangan ginjal; stadium 2:
insufiensi ginjal; stadium 3 gagal ginjal stadium akhir (uremia). Adapun tanda dan
gejala pada pasien dengan GGK yakni: anoreksia, mual disertai muntah, nafas
dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, pruritis, hipertensi,
gagal jantung kongestif dan udem pulmoner, krekel, nafas dangkal, kusmaull, dan
lain-lain. Gagal ginjal kronik yang tidak ditatalaksana dengan baik akan mengarah
ke penyakit ginjal stadium akhir atau ESRD (End Stage Renal Disease). (Brunner
& Suddarth 2001; Suyono, 2001)
Pasien dengan BPH memiliki terapi yang efektif yaitu dengan pembedahan.
Dalam hal ini perawat memegang peranan penting dalam proses penyembuhan
pasien BPH, khusunya post TUR P. Pada pasien gagal ginjal kronik, perawat perlu
menghimbau pasien untuk melakukan hemodialisa secara rutin. Kemampuan dan
ketrampilan memberikan asuhan keperawatan yang mencakup promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif, melalui tahap proses keperawatan diperlukan agar pasien
Chronic Kidney Diseases dengan Hidronephrosis dextra dengan Post Operasi
TUR P dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri dan optimal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis menyusun rumusan
masalah Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien Tn S dengan Chronic
Kidney Diseases dengan Hidronephrosis dextra dengan Post Operasi TUR P di
Ruang ICU Anestesi Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Ramelan Surabaya?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Menggambarkan asuhan keperawatan pada pasien dengan Diabetes
1.
2.
3.
4.
Operasi TUR P di Ruang ICU Anestesi Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.
5.
Ramelan Surabaya.
Menggambarkan evaluasi Asuhan Keperawatan pada pasien dengan
Chronic Kidney Diseases dengan Hidronephrosis
Operasi TUR P di Ruang ICU Anestesi Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.
Ramelan Surabaya.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan umum maupun tujuan khusus maka karya tulis ilmiah
ini diharapkan bisa memberikan manfaat baik bagi kepentingan pengembangan
program maupun bagi kepentingan ilmu pengetahuan, adapun manfaat-manfaat
dari karya tulis ilmiah secara teoritis maupun praktis seperti tersebut dibawah ini :
1.4.1 Secara Teoritis
Sarana pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang asuhan
keperawatan pada pasien Tn S dengan Chronic Kidney Diseases dengan
Hidronephrosis
Bagi Pasien
Sebagai informasi tentang bahaya dan pentingnya tindakan pencegahan
Chronic Kidney Diseases dengan Hidronephrosis
2.
3.
1.
Wawancara
Data diambil atau diperoleh melalui percakapan baik dengan pasien,
2.
3.
Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari pasien.
Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari keluarga atau orang
terdekat dengan pasien, catatan medik, catatan perawat, hasil-hasil
3.
3.