Sunteți pe pagina 1din 68

BAB I

LAPORAN KASUS

KESEHATAN DAERAH MILITER


JAKARTA RAYA JAYAKARTA
RUMAH SAKIT TK. II MOH. RIDWAN MEURAKSA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM, JANTUNG DAN PARU
STATUS PASIEN PARU
NO.RMK: 294136
A. IDENTITAS

Nama

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur

Alamat

Agama

Pekerjaan

Masuk tanggal: 3 Juli 2013

: Tn. Hasgan Binara

: 29 tahun
: Jalan Percetakan Negara II Johar Baru, Jakpus
: Islam
: Pengangguran

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Keluhan Tambahan

: batuk berdahak

: penurunan berat badan,nafsu makan menurun,lemas.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien

datang

ke

Poli

Paru

RS.Moh.Ridwan

Meuraksa

dengan

lemas,batuk

berdahak,pusing,nafsu makan menurun,mual,muntah, dan penurunan berat badan.


2BSMRS:

Pasien

mulai

batuk

berdahak(putih),demam(-),sesak(-),keringat

malam(-),nafsu makan baik.

1BSMRS: Pasien masih batuk berdahak,warna putih, penurunan berat badan (+),nafsu
makan berkurang,lemah,sesak(-),keringat malam(-),pusing(+).Pasien kemudian pada
tanggal 13 Juni 2013 berobat ke Poli Penyakit Dalam RSMRM lalu mendapat Terapi :

Curcuma 3 x 1 tab
Ciprofloxacin 2 x 500mg
Dexanta 3 x CI
Racikan Valium/Methylprednisolon/CTM/Ambroxol 2 x 1

Lab tanggal 14 juni 2013 :

Hb : 11,2
Hematokrit: 35
Leukosit: 10500
Trombosit: 246000
LED: 79

2MSMRS: batuk berdahak semakin sering dan warna dahak hijau.mencret selama 3 hari
lalu mencret sembuh sendiri.
HMRS : batuk berdahak warna hijau (+),mencret (-),penurunan berat badan (+),Nafsu
makan menurun,lemas+.sesak(+)BAK (+) Normal,BAB (+) Normal.
Pasien menyangkal keringat malam hari(-),kontak dengan pasien TB(-), pasien juga
menyangkal batuk darah.

Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat pengobatan OAT (-), Operasi (-).

Riwayat Merokok (+) 1 bungkus selama 15 tahun

Riwayat alkohol (+)

Riwayat Penyakit Lainnya :


a. DM
b. Hipertensi
c. Asma

(-)
(-)
(-)

d. Penyakit Jantung
e. Penyakit Hepar

(-)
(-)

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang menderita hal serupa.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis

Keadaan Umum

: tampak sakit sedang


2

Kesadaran

Tanda Vital

: compos mentis

TD
RR

Berat Badan

Kepala

: 130/80 mmHg
: 24 x/m

N : 80 x/m
S : 36,8 oC

:48 kg

Bentuk

: normocephal

Rambut

: hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

Palpebra

: oedem -/-

Konjungtiva

: anemis +/+

Sklera

: ikterik -/-

Mata

Arcus Senilis : -/Pupil

: bulat, isokor diameter 3mm/3mm

Refleks Cahaya : +/+ N

Katarak

: -/-

Bentuk

: simetris

Liang

: lapang

Mukosa

: hiperemis -/-

Serumen

: -/-

Telinga

Membran Timpani : intak +/+

Hidung
Bentuk

: simetris

Deviasi Septum : -

Sekret

: -/-

Concha

: hipertrofi -/- , hiperemis -/-

Mulut
Bibir

: mukosa basah (+), sianosis (-), pucat (-)


3

Lidah

: kotor (-), tepi hiperemis (-), tremor (-)

Tonsil

: T1-T1

Mukosa Faring : hiperemis

Gigi
Amalgam

:-

Gangren Pulpa : Gangren Radiks : Protesa

:8 7 6 5 4 3 2 1
8 7 6 5 4 3 2 1

1 2 3 4 5 6 7 8
1 2 3 4 5 6 7 8

Leher
KGB

: tidak terdapat pembesaran

Kel. Thyroid : tidak terdapat pembesaran


JVP

: tidak terdapat peningkatan

Thoraks
Paru
Inspeksi

: hemithorax kanan-kiri simetris dalam keadaan statis dan dinamis

Palpasi

: fremitus taktil dan vokal kanan sama dengan kiri

Perkusi

: sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi

: Suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: jantung dalam batas normal

Auskultasi

: BJ I-II reguler, murmur (-) , gallop (-)

Inspeksi

: datar, simetris

Palpasi

: supel, Hepar/Lien tak teraba

Perkusi

: timpani

Abdomen

Auskultasi

: bising usus (+) N

Akral

: hangat +/+

Sianosis

: -/-

Perfusi

: baik

Akral

: hangat +/+

Sianosis

: -/-

Perfusi

: baik

Ekstremitas
Atas

Bawah

Neurologi
Refleks Fisiologis
Biceps

: +/+ N

Triceps

: +/+ N

Patella

: +/+ N

Achilles

: +/+ N

Refleks Patologis

:-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab darah rutin, 2 Juli 2013

Hb
Leukosit
Ht
Trombosit
Ureum
Creatinin
SGOT
SGPT
GDS
Kalium
Natrium
Clorida

: 13 g/dL
: 4100 /L
: 31 %
: 264000 /L
: 25
: 0,85
: 35
: 24
: 80 mg/dl
: 4,4
: 131
: 100
5

Lab tanggal 4 juli 2013


Screening HIV: Non Reaktif
Lab Tanggal 5-7-2013
BTA 1: (+)
BTA 2: (+)
BTA 3: (+)
RO Thorax tanggal 5 Juli 2013
KP duplex aktif
Cor Normal
E. DIAGNOSIS KERJA
Kasus TB Paru BTA (+) Lesi Luas Kasus Baru
Pneumonia
F. TERAPI
Non-medika mentosa :
Bed rest
Diet: Bubur tinggi kalori,tinggi protein
Medikamentosa

IVFD RL : D5%=1: 1 kolf/12 jam


Inj ceftazidim 3 x 1 gram
Inj Ranitidin 2 x 1 amp
Ambroxol 3 x30 mg
G. PROGNOSIS

Ad Vitam

: Dubia ad bonam

Ad Sanationam

: Dubia ad bonam

Ad Functionam

: Dubia ad bonam

H. FOLLOW UP
(4 Juli 2013)
S: mual,batuk
O: Ku/Kes: Tampak sakit sedang/ CM
VS:

TD: 120/80 mmHg

Nadi : 84x/menit, regular

RR: 22x/menit

Suhu : 36.5oC

Pulmo : Sn Ves +/+,rh+/+,wh-/A: TB Paru BTA (+) Kasus Baru Lesi Luas
6

Pneumoni
Susp Immunocompomised
P: Non Medikamentosa:
Bed rest
Diet: Bubur tinggi kalori,tinggi protein
Medikamentosa

IVFD RL : D5%=1: 1 kolf/12 jam


Inj ceftazidim 3 x 1 gram
Inj Ranitidin 2 x 1 amp
Ambroxol 3 x30 mg

4 FDC 1 x 2 tablet

( 8 Juli 2013 )
Pasien dikonsulkan ke Bagian Penyakit Dalam dan mendapat terapi tambahan:
Odansetron 3 x 1 amp
Vip albumin 3 x1
( 10 Juli 2013 )
Pasien diperbolehkan pulang dengan tetap mengkonsumsi OAT dan kontrol Poli Paru
sebelum obat habis.

BAB II
TUBERKULOSIS PARU
II.1 EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia
ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8
juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan
Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut
regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh
kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000

penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000
pendduduk.9
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap
tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB
terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per
100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000
penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus
TB yang muncul.9
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India
dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat
TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan
akut pada seluruh kalangan usia.9
Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh dunia

Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia10

II.2 DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis.10
II.3 MIKROBIOLOGI
A. Morfologi dan Struktur Bakteri
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4
mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complexwaxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan
peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri
tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel
yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut
dengan larutan asamalkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan
spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen
M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik).
Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a,
protein MTP 40 dan lain lain.9
B. Biomolekuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan
guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165
gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan
sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II
9

merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah
sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan.
Gen pab dan gen groEL masing-masing menyandi protein berikatan posfat misalnya
protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG
menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12
sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada
dalam mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element).
Deteksi gen tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP.9

Gambar 2. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen


II.4 PATOGENESIS
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis
non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni

10

di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika
fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks
primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8
minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang
respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah,
infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji
tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer
terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma.
Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan
segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan

11

enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan


paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang
mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan
dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju
adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus
potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya

12

tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit
TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB
diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread
dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi
diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan
granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran
vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.
Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya
sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3%
penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya
terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang
timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi
primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada
remaja dan dewasa muda.

13

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB
tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1
tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah
infeksi primer.12

Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan


Penyembuhannya9

Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis11

II.5 KLASIFIKASI
14

A. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil
pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak
menunjukkan BTA positif dan biakan positif.
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis
positif.
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif /
perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik
selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c. Kasus defaulted atau drop out
15

Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA
positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan
ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

Catatan:
a. Kasus pindahan (transfer in):
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian
pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan / pindah.
b. Kasus Bekas TB:
1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan
gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan
OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologic.9
B. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk
kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis
yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.
II.6 DIAGNOSIS

16

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan


fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.
A. Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
a.
b.
c.
d.

batuk-batuk lebih dari 2 minggu


batuk darah
sesak napas
nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang

cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up.
Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala
batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan
untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan.
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior

17

(S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya
cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di
daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess

Gambar 5. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior


C. Pemeriksaan Bakteriologik
1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik
ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.

18

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam


pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus
pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau
untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum
dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam
kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas
pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien,
spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan
pengiriman dahak dengan kertas saring:
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas
saring sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang
tidak mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di
dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik
kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi
kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.
3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces
dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
19

2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks,
kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi
WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst
Skala Bronkhorst (BR) :
1)
2)
3)
4)
5)

BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.


BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode


konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat
mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis
(MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat
cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran
dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.
D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,
top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

20

1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) :
1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit.
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb
(terutama pada kasus BTA negatif) :
1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari
iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
E. Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam
perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman
tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan
uji kepekaan.
21

2. Polymerase chain reaction (PCR)


Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk
DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah
kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati
masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang
pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar
internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang
menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai
pegangan untuk diagnosis TB.
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat
berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat.
3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral
berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara
lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik
untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji
diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut
diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2
antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan
diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan
berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibody IgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis
warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol
dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.

c. Mycodot

22

Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang
berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan
bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang
memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir
dan dapat dideteksi dengan mudah.
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi
dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati
hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.
e. Uji serologi yang baru / IgG TB
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.
F. Pemeriksaan Lain
1. Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang
mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta
pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh
melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans
thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke
dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan
yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
3. Pemeriksaan darah

23

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai
indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap
darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia
dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan
konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan
infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.

Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru


II.7 PERJALANAN PENYAKIT

24

Cara penularan12
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa
jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut.
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
A. Risiko penularan12
1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari
pasien TB paru dengan BTA negatif.
2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu
tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi
setiap tahun.
3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.
B. Risiko menjadi sakit TB12
1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
2. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun.
Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
3. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya
tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
4. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit
TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bias
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
25

pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan


meningkat pula.
Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:
1. 50% meninggal
2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

Gambar 7. Faktor Risiko Kejadian TB

II.8 PENATALAKSANAAN
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.
A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
1. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
26

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan
dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan
2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) TB paru BTA (+), kasus baru
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk memperpanjang
fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat
dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan
dengan hasil uji resistensi
b. TB paru kasus kambuh
27

Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif selama 3
bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama
pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan obat yang diberikan : 2
RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama
tergantung dari perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi,
maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).
c. TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 5
OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap diberikan. Lama
pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat
diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
d. TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut :
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT dilanjutkan
sesuai jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif / perbaikan,
pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis lebih
lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga
kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang
dari awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika
telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik
positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT.
e. TB Paru kasus kronik
28

1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.
Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal
terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun
resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama
WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam
pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap
berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan
yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan
monoterapi.
Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT
Dosis (mg) / BB (kg)
Obat

R
H

Dosis
(mg/kgBB/Hari)

8-12
4-6

Dosis yang dianjurkan


Harian
(mg/kgBB/Hari)

Intermitten
(mg/kgBB/Hari)

10
5

10
10

Dosis
Maksimum

600
300

< 40

40-60

> 60

300
150

450
300

600
450
29

Z
E
S

20-30
15-20
15-18

25
15
15

35
30
15

750
750
1000

Sesuai BB

1000
1000
750

1500
1500
1000

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Berat Badan

30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
71 kg

Tahap Intensif
tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)
2 tablet 2KDT
3 tablet 2KDT
4 tablet 2KDT
5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


Tahap
Pengobata
n
Intensif
Lanjutan

Lama
Pengobata
n
2 bulan
4 bulan

Tablet
Isoniasid
@ 300 mg
1
2

Dosis per hari / kali


Kaplet
Tablet
Rifampisin Pirazinamid
@ 450 mg
@ 500 mg
1
3
1
-

Tablet
Etambutol
@ 250 mg
3
-

Jumlah
hari/kali
menelan
obat
56
48

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru
Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
Berat
Badan
30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
71 kg

Tahap Intensif
Tiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Selama 56 hari
Selama 28 hari
2 tablet 4KDT
2 tablet 4KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.
3 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
+ 750 mg Streptomisin inj.
4 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
5 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.

Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
RH (150/150) + E (400)
Selama 20 minggu
2 tablet 2KDT
+ 2 tablet Etambutol
3 tablet 2KDT
+ 3 tablet Etambutol
4 tablet 2KDT
+ 4 tablet Etambutol
5 tablet 2KDT
+ 5 tablet Etambutol

30

Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tahap
Pengobata
n
Tahap
Intenif
(dosis
harian
Tahap
Lanjutan
(dosis 3x
seminggu)

Lama
Pengobatan

Tablet
Isoniasid
@ 300
mg

Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg

Tablet
Pirazinamid
@ 500 mg

Etambutol
Tablet
Tablet
@ 250 mg @ 400 mg

2 bulan
1 bulan

1
1

1
1

3
3

3
3

4 bulan

Streptomisin
Injeksi

Jumlah/
kali menelan
obat

0,75 gr
-

56
28

60

Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan
Berat Badan

Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
71 kg

Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan


Tahap
Pengobata
n

Lamanya
Pengobata
n

Tablet
Isoniasid
@ 300
mg

Kaplet
Rifampisi
n
@ 450 mg

Tablet
Pirazinami
d
@ 500 mg

Tablet
Etambutol
@ 250 mg

Jumlah
hari/kali
menelan obat

Tahap
Intensif

1 bulan

28
31

(dosis
harian)
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang
telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas
dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut,
bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru /
fasiliti yang mampu menanganinya.
B. Tatalaksana TB Anak
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis
maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan
dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan
menggunakan sistem skor .
Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan
terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan
oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak. Lihat tabel 8.
tentang sistem pembobotan (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau
sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka
perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung,
patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi,
funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.
Tabel 8. Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan
penunjang TB
Parameter
Kontak TB

0
Tidak
jelas

2
Laporan
keluarga, BTA
(-) atau tidak
tahu, BTA tidak
jelas

3
BTA (+)

Jumlah

32

Uji Tuberkulin

Negatif

Berat badan/
keadaan gizi
Demam tanpa
sebab
Batuk
Pembesaran
kelenjar linfe
koli, aksila,
inguinal
Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
Foto toraks

Positif ( 10
mm, atau 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Bawah garis merah
(KMS) atau BB/U
< 80 %
2 minggu

Klinis gizi buruk


(BB/U < 60%)

3 minggu
1 cm, jumlah > 1,
tidak nyeri

Ada pembengkakan

Normal/
tidak jelas

Kesan TB

Jumlah
Catatan :
a.Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
b.
Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
c.Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis.
Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan

d.

badan.
e.Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan)
harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

g.
h.

Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:
a. kejang, kaku kuduk
b. penurunan kesadaran
c. kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
33

3. Gibbus, koksitis

Gambar 8. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak Pada Unit Pelayanan


Kesehatan Dasar

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran
radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.
Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap
lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Tabel 9. Dosis OAT Kombipak pada anak
Jenis Obat
Isoniasid
Rifampisin
Pirazinamid

BB < 10 kg
50 mg
75 mg
150 mg

BB 10 - 19 kg
100 mg
150 mg
300 mg

BB 2 - 32 kg
200 mg
300 mg
600 mg

Tabel 10. Dosis OAT KDT pada anak


Berat badan (kg)

2 bulan tiap hari

4 bulan tiap hari


34

5-9
10-19
20-32

RHZ (75/50/150)
1 tablet
2 tablet
4 tablet

RH (75/50)
1 tablet
2 tablet
4 tablet

Keterangan:
a.
b.
c.
d.
e.

Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit


Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
Anak dengan BB 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum
diminum.

Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak


Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem skoring.
Bila hasil evaluasi dengan skoring system didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan
Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum
pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan
selesai.

C. Efek Samping OAT


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan,
rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut
pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra).

35

Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang
lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan
pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simtomatik ialah :
a.
b.
c.
d.
e.

Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang


Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare
Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan

penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus


f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini
terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya
telah menghilang
g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur.
Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini
harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya
ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan
dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler
tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg
BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan
kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak
diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin

36

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring
dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat
pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang
terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini
dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan
diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai
sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang
terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera
setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin
dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab
dapat merusak syaraf pendengaran janin.
Tabel 11. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya
Efek samping
Minor
Tidak nafsumakan, mual,
sakit perut
Nyeri sendi
Kesemutan sampai dengan
rasa terbakar di kaki
Warna kemerahan pada air
seni

Kemungkinan Penyebab
Rifampisin

Tatalaksana
OAT diteruskan
Obat diminum malam sebelum tidur

Pirazinamid
INH

Beri aspirin/allopurinol
Beri vitamin B6 1x100 mg/hari

Rifampisin

Beri penjelasan, tidak perlu diberi


apa-apa

Tabel 12. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping
Kemungkinan Penyebab
Mayor
Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT
kulit
Tuli
Streptomisin
Gangguan
keseimbangan Streptomisin
(vertigo dan nistagmus)
Ikterik/Hepatitis Imbas Obat Sebagian besar OAT
(penyebab lain disingkirkan)

Tatalaksana
Hentikan pengobatan
Beri
antihistamin
dan
dievaluasi ketat
Streptomisisn
dihentikan,
ganti etambutol
Streptomisisn
dihentikan,
ganti etambutol
Hentikan
semua
OAT
sampai ikterik menghilang
dan
boleh
diberikan
37

Muntah
dan
bingung Sebagian besar OAT
(suspect drug-induced preicteric hepatitis)
Gangguan penglihtatan
Etambutol
Kelainan sistemik, termasuk Rifampisin
syok dan purpura

hepatoprotektor
Hentikan semua OAT dan
lakukan uji fungsi hati
Hentikan Etambutol
Hentikan Rifampisin

Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:


1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara
simptomatik
2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya disebabkan
oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan
desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan
pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bias dilakukan terhadap obat lainnya
3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal
ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll
karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon
4. Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu
pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.

D. Pengobatan Suportif / Simptomatik


Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang
perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh
atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan
(pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk
penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
38

a.
b.
c.
d.
e.
f.

Batuk darah (profus)


Keadaan umum buruk
Pneumotoraks
Empiema
Efusi pleura masif / bilateral
Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

TB di luar paru yang mengancam jiwa :


a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi
rawat
E. Terapi Pembedahan
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
1. Bronkoskopi
2. Punksi pleura
3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
F. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

39

Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1
bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
c. Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensiEvaluasi
radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengob
Evaluasi efek samping secara klinik
1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta
asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila
ada keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang
paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada
evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman
Evalusi keteraturan berobat
1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya
obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai
penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada
pasien, keluarga dan lingkungannya.
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
40

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang
dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah
dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
II.9 RESISTEN GANDA (MULTI DRUG RESISTANCE)
A. Definisi
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH
dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi
menjadi :
1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB.
2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada
riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak.
3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada
pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% 90% dalam waktu hanya 4
sampai 16 minggu. Laporan WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta
orang telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis.
TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu karena jenis obatnya yang kurang
atau karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat
yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan
resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu
stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali
selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
4. Fenomena addition syndrome (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam
suatu paduan
5. pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah
resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat
hanya akan menambah panjang nya daftar obat yang resisten
41

6. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga
7. mengganggu bioavailabiliti obat
8. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti
9. pengirimannya sampai berbulan-bulan
10. Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan kebosanan
11. Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
12. Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru
B. Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)
Klasifikasi OAT untuk MDR
Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:
1. Obat dengan aktivitas bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja
pada pH asam
2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah: fluorokuinolon
3. Obat dengan akivitas bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS

Fluorokuinolon
Secara invitro fluorokuinolon dapat digunakan untuk kuman TB yang resisten
terhadap lini-1 yaitu moksifloksasin konsentrasi hambat minimal paling rendah dibandingkan
fluorokuinolon lainnya dengan urutan berikutnya gatifloksasin, sparfloksasin, levofloksasin,
ofloksasin dan siprofloksasin. Siprofloksasin harus dihindari
pemakainnya karena efek samping pada kulit yang berat (foto sensitif).
Resistensi silang
Tionamid dan tiosetason
Etionamid pada kelompok tionamid komplit resistensi silang dengan
a. Aminoglikosid
b. Fluorokuinolon
c. Sikloserindan terizidon
Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang
distandarisasi untuk pasien menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif dan obat
tambahan lain.
Obat tambahan yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan
siprofloksasin),aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan kapreomisin), etionamid, sikloserin,
klofazimin, amoksilin, klavulanat.

42

Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 3 OAT lini
1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu Ciprofloksasin dengan dosis 1000 1500 mg atau
ofloksasin 600 800 mg (obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari).
Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu
yang lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24 bulan.
Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan. Pada
pasien non-HIV, konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate
didapat pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus.
Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik, merupakan
salah satu kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment
Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan
berobat. Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetetapi pencegahan MDR-TB.
II.10 PENGOBATAN PADA KEADAAN KHUSUS
A. TB Milier
1. Rawat inap
2. Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan evaluasi
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
4. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan :
a. Tanda / gejala meningitis
b. Sesak napas
c. Tanda / gejala toksik
d. Demam tinggi
e. Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari,
lama pemberian 4 6 minggu.
B. Pleuritis Eksudativa TB(Efusi Pleura TB)
1. Paduan obat: 2RHZE/4RH.
2. Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan berikan
kortikosteroid
3. Dosis steroid : prednison 3 x 10 mg selama 3 minggu
4. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
5. Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan

C. TB Ekstra Paru (Selain TB Milier Dan Pleuritis TB)


43

1. Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH.


2. Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan untuk
TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar.
3. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah dilakukan
untuk :
a. Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
b. Pengobatan :
1) perikarditis konstriktiva
2) kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's
4. Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk mencegah konstriksi jantung,
dan pada meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa neurologik. Dosis yang
dianjurkan ialah 0,5 mg/kg /hari selama 3-6 minggu.
D. TB Paru Dengan Diabetes Melitus (DM)
1. Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol
2. Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan dianggap belum
cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan (bila perlu konsult ke ahli paru)
3. Gula darah harus dikontrol
4. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata;
sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
5. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisi karena akan mengurangi efektiviti obat oral
anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
6. Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol /
mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan
E. TB Paru Dengan HIV / AIDS
Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau menderita
AIDS. Indikasi untuk melakukan tes HIV dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini.
Pemeriksaan tes HIV disertai dengan konseling sebelum dan sesudah tes (Voluntary
Counseling and Testing/VCT)

Tabel 13. Indikasi Tes Darah HIV


Kombinasi dari A dan B (1 kelompok A dan 1 dari B)
A. Berat badan turun drastic
TB paru
Sariawan / stomatitis berulang
Sarkoma Kaposi
B. Riwayat perilaku risiko tinggi
44

Pengguna NAZA suntikan


Homoseksual
Waria
Pekerja seks
Pramuria panti pijat
1. Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.
2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah
cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat
3. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan
menyebabkan efek toksik berat pada kulit
4. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang
steril.
5. Desensitisasi obat (INH,Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan
toksik yang serius pada hati
6. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan,
selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya
malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/ AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang
berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima
suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum
7. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH
diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak
8. INH diberikan terus menerus seumur hidup.
9. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi / sesuai pedoman pengobatan
MDR-TB

Waktu Memulai Terapi


1. Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4
dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 6)
Tabel 14. Pedoman pemberian ARV pada koinfeksi TB-HIV
Kondisi Rekomendasi
Kondisi Rekomendasi
TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB toleransi terhadap AOT telah tercapai
ekstrapulmonal Mulai terapi OAT, segera mulai
terapi ARV jika
TB paru, CD4 50-200 sel/mm3 atau hitung total < 1200 sel/mm3
limfosit
Mulai terapi OAT. Terapi ARV dimulai setelah TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau hitung
45

2 bulan
limfosit
simptomatik, AIDS (+Kaposi/ Ca cervix / limfoma / wasting syndrome / pneumonia P.
Carinii/ toksoplasmosis otak / retinitis virus sitomegalo / kandidiasis esofagus, trakea,
bronkus, sel/mm3), asimptomatik + viral load > 55.000 kopi/ml) Interaksi obat TB dengan
ARV (Anti Retrovirus)
2. Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya efek toksik OAT
3. Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai
buffer antasida
4. Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-nukleotida dan inhibitor
protease.Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat
menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin
sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin yang
direkomendasikan
F. TB Paru Pada Kehamilan dan Menyusui
1. Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan
2. Obat antituberkulosis tetap dapat diberikan kecuali streptomisin, karena efek samping
streptomisin pada gangguan pendengaran janin
3. Pada pasien TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walaupun
beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak
menyebabkan toksik pada bayi
4. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat
pengobatan OAT, dianjurkan tidak menyusui bayinya agar bayi tidak mendapat dosis
berlebihan
5. Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin,
dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi
interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.
G. TB Paru dan Gagal Ginjal
1. Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan capreomycin
2. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya memanjang dan
terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat
diberikan dengan pengawasan kreatinin
3. Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum, Kreatnin)
4. Rujuk ke ahli Paru
46

H. TB Paru dengan Kelainan Hati


1. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan
2. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
3. Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau 2 SHE/10
HE
4. Pada pasien hepatitis akut dan atau klinik ikterik , sebaiknya OAT ditunda sampai
hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat
diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan
dengan 6 RH
5. Sebaiknya rujuk ke ahli Paru
I. Hepatitis Imbas Obat
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug
induced hepatitis)
Penatalaksanaan
1.
2.
3.
4.
5.

Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) OAT Stop
Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop
Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2 OAT Stop
SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali : teruskan pengobatan, dengan pengawasan

Paduan OAT yang dianjurkan :


1. Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
2. Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal
kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai
dengan dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium
saat INH dosis penuh , bila klinik dan laboratorium normal , tambahkan rifampisin,
desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat
menjadi RHES
3. Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi
II.11 KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan
atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang
mungikin timbul adalah :
1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
47

3.
4.
5.
6.

Luluh paru
Gagal napas
Gagal jantung
Efusi pleura

II.12 DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program
penanggulangan tuberculosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah
dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang
sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT
(Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik Istilah DOT diartikan
sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO)
A. Tujuan
1.
2.
3.
4.

Mencapai angka kesembuhan yang tinggi


Mencegah putus berobat
Mengatasi efek samping obat jika timbul
Mencegah resistensi

B. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :
1. Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial
dapat berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur,
sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat
dengan rumah pasien TB untuk pelaksanaan DOT ini.
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO
a.Petugas kesehatan
b.
Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
c.Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
48

2. Pasien dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas RS, selesai
perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.
C. Langkah Pelaksanaan DOT
Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien
diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di
poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOT
D. Persyaratan PMO
1. PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama
pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.
2. PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader
dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien
E. Tugas PMO
1. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik
2. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
3. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah
ditentukan
4. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai
5. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan
obat
6. Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
7. Melakukan kunjungan rumah
8. Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB
F. Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat
dilakukan secara :
1. Peroranga/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat
jalan, di apotik saat mengambil obat dll
2. Kelompok

49

Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga


pasien, masyarakat pengunjung RS dll
Cara memberikan penyuluhan :
a. Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
b. Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya
sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya
c. Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
d. Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu
dengan alat peraga (brosur, leaflet dll)
G. DOTS Plus
1.
2.
3.
4.

Merupakan strategi pengobatan dengan menggunakan 5 komponen DOTS


Plus adalah menggunakan obat antituberkulosis lini 2
DOTS Plus tidak mungkin dilakukan pada daerah yang tidak menggunakan strategi DOTS
Strategi DOTS Plus merupakan inovasi pada pengobatan MDR-TB

II.13 PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :
1. Terapi pencegahan
2. Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan
Terapi pencegahan :
Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada
kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg / kg BB (tidak lebih dari 300 mg )
sehari selama minimal 6 bulan.
II.14 PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam
sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus
melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan
dibakukan berdasarkan klasifikasi & tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah
baku pula.
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa
item/formulir yaitu :
1. Kartu pengobatan TB (01)
2. Kartu identitas penderita TB (TB02)
50

3. Register laboratorium TB (TB04)


4. Formulir permohonan pemeriksaan dahak (TB05)
5. Daftar tersangka penderita TB (TB06)
6. Formulir pindah penderita TB (TB09)
7. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)
Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB Nasional
(P2TB). Untuk pembuatan laporan, data yang ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam
formulir Register TB (TB03) dan direkap ke dalam formulir rekapan yang ada di tingkat
kabupaten/kota
Catatan :
1. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan
pencatatan pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
2. Bila seorang pasien ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstra paru
pada organ yang penyakitnya paling berat
3. Contoh formulir terlampir
II.15 INTERNATIONAL STANDART FOR TUBERCULOSIS CARE
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang
melengkapi guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang konsisten dengan
rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan baru di launching pada bulan
februari 2006 serta akan segera dilaksanakan di Indonesia.
International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar yaitu 6 estndar
untuk diagnosis , 9 stndar untuk pengobatan dan 2 standar yang berhubungan dengan
kesehatan masyarakat. Adapun ke 17 standar tersebut adalah :
1. Setiap individu dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih yang tidak dapat
dipastiklan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberculosis
2. Semua pasien yang diduga tenderita TB paru(dewasa, remaja dan anak anak yang dapat
mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara mikroskopis
sekurang-kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan minimal 1 kali
pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari
3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstra paru (dewasa, remaja dan anak) harus
menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai. Bila tersedia
fasiliti dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan pemeriksaan histopatologi
4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus menjalani
pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
51

5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling
kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak pagi hari), foto
toraks menunjukkan kelainan TB, tidak ada respon terhadap antibiotik spektrum luas
(hindari pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.Tb sehingga
memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan
pemeriksaan biakan. Pada pasien denagn atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus
disegerakan.
6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak dengan BTA
negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan terdapat riwayat kontak atau
uji tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada pasien demikian, bila ada
fasiliti harus dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang berasal daribatuk, bilasan
lambung atau induksi sputum.
7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan
masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga dapat
memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-kasus yang tidak patuh
terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin
kepatuhan hingga pengobatan selesai.
8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduan
obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang
biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH,Rifampisin, Pirazinamid dan
etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan
rifampisin yang selama 4 bulan. Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan
merupakan paduan alternative untuk fase lanjutan pada kasus yan keteraturannya tidak
dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan
dengan pemberian alternatif tersebut diatas kususnya pada pasien HIV. Dosis obat
antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose combination
yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan Rifampisin, yang terdiri dari 3 obat yaitu INH,
Rifampisin, Pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung
saat menelan obat.
9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu dikembangkan suatu
pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan kebutuhan pasien dan hubungan
yang saling menghargai antara pasien dan pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan
harus memperhatikan kesensitifan gender dan kelompok usia tertentu dan sesuai dengan
intervensi yang dianjurkan dan pelayanan dukungan yang tersedia termasuk edukasi dan
52

konseling pasien. Elemen utama pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah
penggunaan pengukuran untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat
menemukan bila terjadi ketidak patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini dibuat
khusus untuk keadaan masing masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien
maupun pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan
langsung minum obat oleh PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan
serta bertanggungjawab kepada pasien dan sistem kesehatan
10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian terbaik
adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat menyelesaikan
fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada
bulan ke lima pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan
modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan 15). Penilaian respons terapi pada pasien
TB paru ekstra paru dan anak-anak, paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto
toraks untuk evaluasi tidak diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading)
11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons bakteriologik
dan efek samping harus ada untuk semua pasien
12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan
co infeksi TB-HIV, maka konseling dan testing HIV diindikasikan untuk seluruh TB
pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV
yang rendah, konseling dan testing HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan
dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan
riwayat berisiko tinggi terpajan HIV.
13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai indikasi
untuk diberi terapi anti retroviral dalam masa pemberian OAT.Perencanaan yang sesuai
untuk memperoleh obat antiretroviral harus dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi.
Mengingat terdapat kompleksiti pada pemberian secara bersamaan antara obat
antituberkulosis dan obat antiretroviral maka dianjurkan untuk berkonsultasi kepada
pakar di bidang tersebut sebelum pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan
penyakit apa yang muncul lebih dahulu. Meskipun demikian pemberian OAT jangan
sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus mendapat kotrimoksasol sebagai
profilaksis untuk infeksi lainnya.
14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua pasien yang
berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dengan sumber
yang mungkin sudah resisten danprevalens resistensi obat pada komuniti. Pada pasien

53

dengan kemungkinan MDR harus dilakukan pemeriksaan kultur dan uji sensitifity
terhadap INH, Rifampisin dan etambutol.
15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obat-obat lini
kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau dianggap sensitif dan
diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk memastikan kepatuhan diperlukan
pengukuran yang berorientasi kepada pasien. Konsultasi dengan pakar di bidang MDR
harus dilakukan.
16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang punya
kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5 tahun dan
penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Anak usia
dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang punya kontak dengan kasus infeksius harus
dievaluasi baik untuk pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif
17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus pengobatan ulang
dan keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas kesehatan setempat sesuai dengan
ketentuan hukum dan kebijakan yang berlaku

54

BAB III
PNEUMONIA
III.1. Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan
oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan
oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lainlain) disebut pneumonitis. (14).

Gambar 1. Penyakit Pneumonia


III.2. Epidemiologi
Infeksi M. Pnemonia dapat dijumpai di seluruh dunia dan bersifat endemik. Prevalensi
kasus yang paling banyak dijumpai biasanya pada musim panas sampai ke awal musim gugur
yang dapat berlangsung satu sampai dua tahun. Infeksi tersebar luas dari satu orang ke orang
lain dengan percikan air liur (droplet) sewaktu batuk. Itulah sebabnya infeksi kelihatan
menyebar lebih mudah antara populasi yang padat manusianya misalnya di sekolah, asrama,
pemukiman yang padat dan camp militer. (20)
WHO memperkirakan bahwa hingga 1 juta kematian disebabkan oleh bakteri
Streptococcus pneumoniae, dan lebih dari 90% dari kematian ini terjadi di negara-negara
berkembang. Kematian akibat pneumonia umumnya menurun dengan usia sampai dewasa
55

akhir. Lansia juga berada pada risiko tertentu untuk pneumonia dan kematian terkait penyakit
lainnya. Di Inggris, kejadian tahunan dari pneumonia adalah sekitar 6 kasus untuk setiap
1000 orang untuk kelompok usia 18-39. Bagi mereka 75 tahun lebih dari usia, ini meningkat
menjadi 75 kasus untuk setiap 1000 orang. Sekitar 20-40% individu yang memerlukan
kontrak pneumonia masuk rumah sakit yang antara 5-10% diterima ke Unit perawatan kritis.
Demikian pula, angka kematian di Inggris adalah sekitar 5-10%. Individu-individu ini juga
lebih cenderung memiliki episode berulang dari pneumonia. Orang-orang yang dirawat di
rumah sakit untuk alasan apapun juga beresiko tinggi untuk pneumonia. (13)
III.3. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri,
virus, jamur dan protozoa. Pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri
banyak disebabkan bakteri Gram Positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak
disebabkan bakteri Gram Negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh
bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa
bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
Gram Negatif. (14)
Bakteri
Agen penyebab pneumonia dibagi menjadi organisme Gram Positif atau Gram
Negatif seperti: Streptococcus pneumoniae (pnemokokus), Streptococcus piogenes,
Staphylococcus aureus, Klebsiela pneumonia, Legionella, Haemophilus influenza. (19)
Virus
Influenza virus, Parainfluenza virus, Syncytial adenovirus, chicken-pox (cacar air),
Rhinovirus, Sitomegalovirus, Virus herpes simpleks, Hanta virus. (19)
Fungi
Aspergilus, Fikomisetes, Blastomisetes dermatitidis, Histoplasma kapsulatum. (19)
Aspirasi
Makanan, kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion, benda asing. (19)
Tabel 1. Penyebab Penemonia Dan Kenapa Bisa Terjadi. (16)
Bakteri

Penumonia akibat bakteri ini biasanya terjadi setelah flu,


demam, atau ISPA yang menurunkan system imunitas tubuh.
Sistem imunitas yang lemah menjadi keadaan yang baik untuk
bakteri berkembang biak di paru, dan menimbulkan penyakit.
56

Bermacam-macam bakteri dapat menyebabkan pneumonia,


yang

tersering

adalah

Streptococcus

pneumoniae

(pneumococcus) dapat disebarkan apabila orang yang terinfeksi


batuk, bersin, atau menyentuh objek dengan tangan yang
terkontaminasi. Pneumonia akibat bakteri ini dapat menjadi
Virus

lebih serius bila dibandingkan dengan pneumonia akibat virus.


Bermacam-macam virus dapat menyebabkan pneumonia.
Contohnya termasuk influenza, chickenpox, herpes simplex,
and respiratory syncytial virus (RSV). Virus dapat ditularkan
antar manusia ke manusia lain melalui batuk, bersin atau
menyentuh objek dengan tangan yang terkontaminasi yang

Jamur

berkontak dengan cairan dari orang yang terinfeksi.


Bermacam-macam jamur dapat menyebabkan pneumonia. Yang
paling sering adalah jamur yang terhirup dari udara luar/

Aspirasi

lingkungan.
Pneumonia aspirasi terjadi apabila materi/ bahan-bahan dalam
lambung atau benda asing terhirup masuk ke saluran
pernafasan, menyebabkan cedera, infeksi atau penyumbatan.

Beberapa kelompok-kelompok mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi untuk terkena
pneumonia, yaitu antara:
1. Usia lebih dari 65 tahun.
2. Merokok.
3. Malnutrisi baik karena kurangnya asupan makan ataupun dikarenakan penyakit kronis lain.
4. Kelompok dengan penyakit paru, termasuk kista fibrosis, asma, PPOK, dan emfisema.
5. Kelompok dengan masalah-masalah medis lain, termasuk diabetes dan penyakit jantung.
6. Kelompok dengan sistem imunitas dikarenakan HIV, transplantasi organ, kemoterapi atau
penggunaan steroid lama.
7. Kelompok dengan ketidakmampuan untuk batuk karena stroke, obat-obatan sedatif atau
alkohol, atau mobilitas yang terbatas.
8. Kelompok yang sedang menderita infeksi traktus respiratorius atas oleh virus (19)
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan tindakan
yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Hasil penelitian 44-85% CAP disebabkan oleh

57

bakteri dan virus, dan 25-40% diantaranya disebabkan lebih dari satu patogen. Patogen
penyebab pneumonia bervariasi tergantung:
1. Usia.
2. Status lingkungan.
3. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara).
4. Status imunisasi.
5. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi). (19)
Ada beberapa faktor utama pathogen tertentu pada peneumonia selain diatas (16) adalah:

Sebagian besar pneumonia bakteri didahului dulu oleh infeksi virus. Etiologi menurut
umur, dibagi menjadi:
1. Bayi baru lahir (neonatus 2 bulan).
Organisme saluran genital ibu: Streptokokus grup B, Escheria coli dan kuman Gram
negatif lain, Listeria monocytogenes, Chlamydia trachomatis: tersering, Sifilis congenital
pneumonia alba. Sumber infeksi lain: Pasase transplasental, aspirasi mekonium, dan
CAP.
2. Usia > 2 12 bulan.
Streptococcus aureus dan Streptokokus grup A tidak sering tetapi fatal. Pneumonia
dapat ditemukan pada 20% anak dengan pertusis.
3. Usia 1 5 tahun
Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus tersering
Chlamydia pneumonia: banyak pada usia 5-14 tahun (disebut pneumonia atipikal).
4. Usia sekolah, remaja sampai dengan dewasa

58

S. pneumonia, Streptokokus grup A, dan Mycoplasma pneumonia (pneumonia


atipikal) terbanyak.

(20).

Ada beberapa factor lain yang dapat meningkatkan resiko infeksi

oleh pathogen tertentu pada pneumonia komunitas (16) seperti dibawah ini:

III.4. Patofisiologi
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya
tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. (14)
Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk
sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme
mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa. (14)
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.
Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus
terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran
napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi
inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi

59

paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50
%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
abuse) (14)
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga
aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri
yang tinggi dan terjadi pneumonia (14)
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi.
Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran
napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan jenis
mikroorganisme yang sama (14)
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.
Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi
empat stadium, yaitu:
1. Stadium I (4 12 jam pertama/ kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediatormediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast
juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. (15)
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak
akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. (15)
3. Stadium III (3 8 hari)
60

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah
menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. (15)
4. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula. (15)
III.5. Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia/nosocomial pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised
Pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan (14)
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised) (14)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua.
Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder
disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya: pada aspirasi benda asing atau proses
keganasan. Di bawah ini gambar foto radiologi pada pneumonia lobaris:

61

b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat


disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang
dihubungkan dengan obstruksi bronkus. Di bawah ini gambar foto thorax
bronkopneumonia:

c. Pneumonia interstisial (14)


III.6. Diagnosa
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 40C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadangkadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
Bisa juga ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang
berhubungan dengan faktor infeksi:

Evaluasi faktor predisposisi :


PPOK : H. Influenza
Penyakit kronik : lebih dari satu kuman
kejang / tidak sadar : aspirasi Gram negatif, anaerob
Penurunan imunitas : gram negatif
Kecanduan obat bius : staphylococcus

Bedakan lokasi infeksi


62

PK : S. Pneumoniae, H. Influenza, M. Pneumoniae


Rumah jompo
PN : Staphylococcus aureus

Usia pasien
Bayi : virus
Muda : M. Pneumoniae
Dewasa : S. Pneumoniae

Awitan
Cepat, akut, dengan rusty coloured sputum : S. Pneumoniae
Perlahan, batuk dengan dahak sedikit : M. Pneumoniae

b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat
mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler
sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi
ronki basah kasar pada stadium resolusi (14)
2. Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi
dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti.
Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan
Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas
kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus. Pada pasien yang mengalami
perbaikan klinis ulangan foto toraks dapat ditunda karena resolusi pneumonia
berlangsung 4 12 minggu.
b. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya
lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan
63

diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur
darah dapat positif pada 20- 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik (14)
Dibawah ini beberapa kriteria diagnostik pneumonia nosokomial menurut CDC:

III.7. Diagnosa Banding


1. Tuberculosis Paru (TB), adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M.
tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M. tuberculosis adalah saluran pernafasan,
saluran pencernaan. Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih
dari 3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam,
2.

menggigil, keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat badan. (16)
Atelektasis, adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna dan
menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak mengandung

udara dan kolaps. (16)


3. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), adalah suatu penyumbatan menetap
pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau bronkitis kronis. COPD
lebih sering menyerang laki-laki dan sering berakibat fatal. COPD juga lebih sering
terjadi pada suatu keluarga, sehingga diduga ada faktor yang dirurunkan. (16)
4. Bronchitis, adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-paru). Penyakit
bronchitis biasanya bersifat ringan dan pada akhirnya akan sembuh sempurna. Tetapi
pada penderita yang memiliki penyakit menahun (misalnya penyakit jantung atau
penyakit paru-paru) dan pada usia lanjut, bronchitis bisa bersifat serius. (16)
64

5.

Asma bronkial, adalah penyakit yang ditandai dengan penyempitan saluran pernapasan,
sehingga pasien yang mengalami keluhan sesak napas/kesulitan bernapas. Tingkat
keparahan asma ditentukan dengan mengukur kemampuan paru dalam menyimpan
oksigen. Makin sedikit oksigen yang tersimpan berarti semakin buruk kondisi asma. (21)

III.8. Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya,
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.
3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu (14)
Pengobatan Pneumoni dibagi menjadi dua antara lain :
a. Pneumoni Komunitas
Kelompok I : pasien berobat jalan tanpa riwayat penyakit jantung paru dan tanpa
adanya faktor peubah (resiko pneumokokkus resisten, infeksi gram negatif, resiko
infeksi P. Aeruginosa-RPA.
Kelompok II : pasien berobat jalan dengan riwayat penyakit jantung paru dengan
atau tanpa adanya faktor peubah.
Kelompok IIIa. : pasien dirawat di RS diluar ICU.
Kelompok IIIb. : pasien tidak disertai tidak disertai penyakit jantung pare dan
tidak ada faktor pengubah.
Kelompok IV : pasien dirawat di ICU ( a. Tanpa resiko persisten P. Aeruginosa-RPA
dan b. Dengan resiko).

65

b. Pneumoni Nosokomial
Pemberian terapi empirik antibiotik awal untuk pneumonia nosokomial yang tidak
disertai faktor resiko untuk patogen resisten jamak, dengan onset dini pada semua
tingkat berat sakit adalah dengan antibiotik spektrum terbatas :

Atau dengan menggunakan antibiotik spektrum luas :

66

Pemberian antibiotik harus diberikan sesegera mungkin. Jika ada faktor resiko
resistensi maka antibiotik diberikan secara kombinasi, jika tidak ada resiko maka
diberikan monoterapi.
Modifikasi antibiotik biasanya diberikan setelah didapat hasil bakteriologik
dari bahan sputum atau darah. Respon terhadap antibiotik dievaluasi dalam 72 jam.
III.9. Komplikasi
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga
thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan
hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang
dari penyebaran infeksi hematologi. (14)
Pneumonia biasanya dapat obati dengan baik tanpa menimbulkan komplikasi.
Bagaimanapun, komplikasi dapat terjadi pada beberapa pasien terutama penderita yang
termasuk ke dalam kelompok resiko tinggi (faktor risiko).
Akumulasi cairan: cairan dapat menumpuk diantara pleura dan bagian bawah dinding
dada (disebut efusi pleura) dan dapat pula terjadi empiema. Chest tube (atau drainage secara
bedah) mungkin dibutuhkan untuk mengeluarkan cairan. (13)
Abses: pengumpulan pus (nanah) pada area yang terinfeksi pneumonia disebut dengan
abses. Biasanya membaik dengan terapi antibiotik, namun meskipun jarang terkadang
membutuhkan tindakan bedah untuk membuangnnya.

67

Bakteremia: Banteremia muncul bila infeksi pneumonia menyebar dari paru masuk ke
peredaran darah. Ini merupakan komplikasi yang serius karena infeksi dapat menyebar
dengan cepat melaui peredaran darah ke organ-organ lain. (13)
Kematian: walaupun sebagian besar penderita dapat sembuh dari pneumonia, pada
beberapa kasus dapat menjadi fatal. Kurang dari 3% penderita yang dirawat di rumah sakit
dan kurang dari 1% penderita yang dirawat di rumah meninggal dunia oleh peneumonia atau
komplikasinya. (13)
III.10. Prognosis
Prognosis penyakit pneumonia secara umum baik, tergantung dari kuman penyebab dan
penggunaan antibiotika yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik serta intensif sangat
mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. (16)
1. Pneumonia Komunitas
Kejadian PK di USA adalah 3.4-4 juta kasus pertahun, dan 20% di antaranya perlu
dirawat di RS. Secara umum angka kematian pneumonia oleh pneumokokkus adalah
sebesar 5%, namun dapat meningkat pada orang tua dengan kondisi yang buruk.
Pneumonia dengan influenza di USA merupakan penyebab kematian no. 6 dengan
kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada lanjut usia yaitu sebesar 89%. Mortalitas
pasien CAP yang dirawat di ICU adalah sebesar 20%. Mortalitas yang tinggi ini berkaitan
dengan faktor perubah yang ada pada pasien. (16)
2. Pneumonia nasokomial
Angka mortalitas PN dapat mencapai 33-50%, yang bisa mencapai 70% bila
termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang dideritanya. Penyebab kematian
biasanya adalah akibat bakteremia terutama oleh Ps. Aeruginosa atau Acinobacter spp. (16).

68

S-ar putea să vă placă și