Sunteți pe pagina 1din 14

RESUSITASI CAIRAN PADA

PERDARAHAN AKUT
Muh. Ramli
Bagian Anestesiologi FK Unhas
RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo

PENDAHULUAN
Konsep resusitasi cairan pada pasien perdarahan akut telah
mengalami beberapa kali perubahan. Pada waktu perang Korea
pengganti perdarahan dilakukan semata-mata dengan transfusi darah.
Banyak kesulitan yanig dialami, selain penyediaan darah memang
sulit, transfusi sendiri perlu waktu lama dibanding apa yang kita
kerjakan sekarang dengan cairan yang dapat di berikan cepat. Dengan
demikian shock time berlangsung panjang dengan akibat lactic
acidosis dan cumulative oxygen debt tinggi dan angka kematian yang
tinggi.
Dari percobaan Wiggers dan pengembangan resusitasi dengan
ringer laktat oleh Tom Shires dan kawan kawan pada waktu perang
Vietnam, terjadi perubahan prognosis berarti Ringer laktat atau cairan
berisi Natrium lainnya dapat digunakan untuk mengganti darah yang
hilang sampai suatu jumlah tertentu.
Kasus kasus perdarahan adalah sangat bervariasi. Ada
berbagai mekanisme kehilangan darah yang pada akhirnya bermuara
pada satu kesamaan yaitu syok hipovolemik. Resusitasi cairan cepat
dapat mengatasi syok ini dengan cepat atau pada banyak kasus
dimana cairan diberikan sejak awal, dapat mencegah terjadinya syok
dengan

segala

mengiringinya.

konsekwensi

metabolik

dan

biomolekuler

yang

Penundaan resusitasi cairan cepat akan sangat merugikan


karena membiarkan syok time berjalan lebih lama. Faktor faktor yang
selalu harus dipertimbangkan adalah seberapa lama kita boleh
mentoleransi shock time dan hal ini tergantung pada fasilitas terapi
definitif yang dapat kita siapkan dalam suatu waktu tertentu. Jika
shock

time

diramalkan

dapat

menjadi

panjang,

mungkin

lebih

bijaksana jika kita memberikan resusitasi cairan dini untuk mengurangi


atau menghilangkan syok. Batas waktu / golden periode satu jam
untuk syok hendaknya menjadi pegagan utama.
Yang dapat dipakai sebagai ekspander / substitut volume, selain
darah adalah golongan kristaloid dan koloid. Golongan kristaloid yang
paling mirip dengan cairan ektraseluler adalah Ringer laktat. Cairan ini
mempunyai kadar kadar fisiologis sesudah infus, setelah terjadi
metabolisme hepatik laktat menjadi bikarbonat. Ringer laktat dapat
diberikan dengan aman dalam jumlah besar pada pasien dengan
kondisi seperti hipovolemi dengan asidosis metabolik, kombustio,
sindroma syok, komponen bikarbonat memberikan efek dapar yang
dibutuhkan untuk mengatasi asidosis. Larutan garam seimbang lain
yang sekarang tersedia dibuat dengan memakai Natrium asetat
(Ringer Asetat) sebagai ganti laktat.
Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif
dan efesien dari pada kristaloid dipasarkan terdapat berbagai macam
koloid. Penentuan pilihan yang rasional hendaknya berdasarkan
fisiologi kompartemen cairan tubuh dan efek berbagai cairan intra
vena terhadap masing-masing kompartemen. Penting pula memahami
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kompartemen kompartemen
tersebut pada penyakit dan cedera. Koloid adalah cairan yang
mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan
onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian besar akan menetap dalam
ruang

intravaskuler.

Darah

dan

produk

darah

seperti

albumin

menghasilkan tekanan onkotik karena mengandung molekul protein


besar. Koloid artifial juga mengandung molekul besar seperti gelatin,
dektran atau kanji hidrosietil. Meskipun semua larutan koloid akan
mengekspansikan

ruang

intravaskuler,

koloid

yang

mempunyai

tekanan onkotik lebih besar dari pada plasma akan menarik pula cairan
keruang intravaskuler. Ini dikenal sebagai ekspander plasma sebab
mengekspansikan volume plasma lebih dari pada yang diberikan.
KONSEP DASAR TRANSPOR OKSIGEN.
Mekanisme transpor oksigen terdiri dari tiga tahap :
a.

Sistem pernapasan yang membawa O2 udara samapi alveoli,


kemudian difusi masuk ke dalam darah.

b.

Sistem sirkulasi yang membawa darah berisi O2 kejaringan.

c.

Sistem O2-Hb dalam eritrosit dan transpor ke jaringan.


Gangguan oksigenasi menyebabkan berkurangnya oksigen di

dalam darah (hipoksia semia) yang selanjutnya akan menyebabkan


berkurangnya oksigen di jaringan (hipoksia). Pada perdarahan dan
syok terjadi gabungan hipoksia stagnan dan anemik.
Kandungan oksigen dalam darah arteri ( CaO2 ) menurut rumus
Nunn Freeman :
CaO2 = ( Hb X Saturasi O2 X 1,34) + ( PO2
X 0,003 ).
Hb : kadar hemoglobin darah (g/dl)
Saturasi O2 : saturasi oksigen dalam hemoglobin ( % ).
1,34 = koefisien tetap
pO2 = tekanan partiel oksigen dalam plasma, mmHg.
0,003 = koefisein kelarutan oksigen dalam plasma.
Dengan harga normal maka rumus tersebut menjadi

= (15 X 100% X 1,34) + (100 X 0,003)


= ( 20,1) + 0,3 = 20,4 ml / 100 ml darah arteri.
Available O2 = CO X CaO2
Available O2 : Oksigen tersedia untuk jaringan.
CaO2 : kandungan oksigen darah arteri.
Dalam keadaan normal Hb 15 g/dl SaO2 100% dan CO (cardiac
output) 5L/menit. Oksigen tersedia = 50x15x1x1,34 = 1005.ml/menit.
Dari jumlah ini hanya 250 ml yang diekstraksi oleh jaringan untuk
metabolisme aerobik.
Unsur unsur untuk kompensasi adalah Hb dan curah jantung.
Kompensasi Hb sangat lambat dan tidak dapat mengatasi krisis akut.
Curah jantung dapat naik 300% jika volume sirkulasi tidak hipovolemik
(venus return normal). Perdarahan akut menyebabkan CO turun karena
venous return turun. Kompensasi CO baru optimal, jika venous return
normal dengan transcapilary refill. Proses refill ini lambat. Pada pasien
syok refill harus dipercepat dengan bantuan cairan infus. Setelah
keadaan normovolemi tercapai kembali, kadar Hb menjadi lebih
rendah. Tetapi karena venous return normal, CO naik. Misalnya Hb 5
g/dl, SaO2 100% dan CO menjadi 15 L/ menit, maka oksigen tersedia =
150 x 5 x 1 x 1,34 = 1005ml/ menit. Oksigen jaringan menjadi normal
kembali. Hemoglobin dalam eritrosit mendapat oksigen dari difusi yang
terjadi di kapiler paru.
Dulu diyakini bahwa kadar Hb harus lebih dari 1o g/dl agar
tersedia oksigen cukup untuk memenuhi kebutuhan organ vital (otal,
jantung) dalam keadaan stress sekarang sudah dibuktikan bahwa Hb 6
g/dl masih dapat mencukupi kebutuhan oksigen jaringan. Batas
anemia aman pada pasien yang memiliki jantung normal adalah
hematokrit 20%. Pada pasien yang menderita penyakit jantung koroner
memerlukan batas 30%.

PATOFISIOLOGI PERDARAHAN.
Estimated Blood Volume yang beredar adalah 65-75 ml/kg BB
pada

perdarahan

5-15

ml/kgBB

(20%

EBV)

terjadi

perubahan

hemodinamik sebagai kompensasi yaitu :


Nadi meningkat (takhikardi)
Kekuatan konstraksi miokard meningkat
Vasokonsriksi di daerah arterial dan vena
Tekanan darah mungkin masih normal tetapi tekanan nadi turun
Reaksi takhikardi terjadi segera. Perubahan kontraksi miokard
dan

vosokonsriksi

arteri

dan

vena

disebabkan

oleh

hormon

katekolamin yang meningkat. Tujuh puluh lima persen volume sirkulasi


berada di daerah vena. Vasokonstriksi memeras vena darah dari
cadangan vena kembali ke sirkulasi efektif. Vasokonstriksi arterial
membagi secara selektif aliran darah untuk prioritas (otak dan jantung)
dengan mengurangi aliran ke kulit, ginjal, hati, usus. Meskipun
vasokonstriksi

bertujuan

menyelamatkan

jantung,

tetapi

juga

menyulitkan, karena, mengakibatkan jantung harus bekerja lebih berat


melawan kenaikan tahanan pembuluh darah. Vosokinstriksi yang
berlebihan

di

darah

usus

dapat

menyebabkan

cedera

iskemik

(ischemic injury) translokasi kuman menembus mukosa usus dan


masuknya endotoksin ke sirkulasi sistemik.
Tahap kompensensi berikutnya adalah pergeseran cairan dari ISV
ke PV (transcapillary refill) sebagai usaha untuk mengganti defisit PV.
Proses ini dimulai

1-2 jam setelah perdarahan, dengan kecepatan

90-20 ml/jam dan akan selesai dalam 12-72 jam. Jika keadaan
normovolemia

PV

telah

tercapai,

CO

dapat

meningkat

melalui

peningkatan Stoke Volume. Pergeseran ini mengencerkan darah


sehinnga terjadi anemia. Jika hematokrik turun dari 40% menjadi 20%
maka viskositas darah turun%.

Viskositas darah yang rendah menyebabkan vasidilatasi. Dengan


demikian sirkulasi mikromenjadi lebih lancar, beban jantung dan
kebutuhan oksigen untuk miokard akan berkurang.
Mekanisme kompensansi lambat lainnnya adalah peningkatan
kadar hormon eritropetin yang merangsang pelepasan retikulosit
kealiran darah perifer. Jumlah eritrosit mudah mencapai puncaknya
pada hari ke sepuluh. Jika kadar besi dan sintesa protein cukup, maka
setelah 4-8 minggu jumlah eritrosit dan hemoglobin akan normal.
Perdarahan akan merangsang peningkatan sintesa protein plasma di
hati. Albumin plasma kembali normal dalam waktu 3 sampai 4 hari.
Gambar mekanisme kompensasi perdarahan.

ESTIMASI PERDARAHAN
Darah yang hilang memang tak dapat diukur tetapi dapat
dietimasi/ perkirakan dengan cara :
1. GEJALA KLINIK.
Estimasi loss % EBV
10-15%

Minimal

15-25%

Prosyok,akal mulai dingin

25-35%

Syok,perfusi menurun, T <90,N>120.

>35-40%

Syok berat,perfusi sangat buruk, Tensi tak


terukur, Nadi tak teraba, dan gangguan

2. TARUMA STATUS DARI GIESECKE

GAMBAR

3. PEDOMAN COMMITTEE ON TRAUMA ATLS 1989

GAMBAR

CAIRAN PENGGANTI /PEMILIHAN CAIRAN


Tergantung dari jumlah perdarahan dan kecepatan hilangnya
darah,

terjadilah

lingkaran

sebab-sebab

yaitu

hilangnya

darah

menyebabkan perfusi berkurang, hipoksia, metabolisme anaerob,


asidosis

sehingga

terjadi

gangguan

fungsi

organ

termasuk

kontraktilitas otot jantung. Kontraktilitas jantung yang menurun


menyebabkan

curah

jantung

lebih

menurun

lagi

sehingga

memperburuk perfusi perifer dan memperberat asidosis. Oleh karena


itu menghindari kerusakan akibat ischemic-reperfusion yang akan
mengaktifkan rangkaian sistem mediator (Free oxygen radicals,
cytokines, atrachidonic acid) dan menyebkan terjadinya gagl organ
ganda.

Pemakaian cairan (bukan darah) sebagai penggati perdarahan


akut mempunyai beberapa keuntungan :
Mudah didapat dan murah
Sangat jarang menyebabkan alergi
Sebaliknya pemberian darah untuk mengganti perdarahan akut
mempunyai beberapa konsekwen :
Tidak selalu tersedia
Memerlukan waktu untuk reaksi silang
Dapat menyebabkan reaksi karena inkompabilitas, alergi.
Dapar menularkan penyakit.
Pemilihan cairan yang terbaik untuk resusitasi masih selalu
merupakan kontraversi antara kristolaid atau koloid. Namun demikian
penggunaan cairan kristaloid sebagai langka pertama dalam resusitasi
telah menjadi pedoman umum.
Terdapat beberapa pilihan yaitu :
Cairan Elektrolit (isotonik) kristaloid : -

Ringer Laktat

- Na Cl 0,9%
- Ringer Asetat
Cairan koloid :
-Alami : Plasma
Albumin
-Sintesia : - Gelatin
- Strach
- Dekran
Cairan Hipertonik + Detran (HSD NaCl 7,5% + 6% Dextran 70)
TEHNIK RESUSITASI CAIRAN PADA PERDARAHAN.
Pemberian cairan-cairan Kristaloid (Ringer Laktat, Ringer Asetat)
mempercepat

koreksi

hipovolemia.

HOLCROFT

menganjurkan

pemberian RL 2000 ml secepat mungkin. Jika hemodinamik masih


belum baik ditambah 1000 ml lagi dalam waktu 10 menit. Dengan
demikian masa hipovolemia, vasokonstriksi, penurunan perfusi organ
dan hipoksia jaringan dapat dipersingkat. Penelitian SHIRES dan
CANIZARO yang dikutip EDDY R menunjukkan bahwa angka kematian
karena syok hipovolemik perdarahan pada kelompok yang diberi ringer
laktat disamping transfusi. Karena sebagian dari ringer laktat meresap
keluar pembuluh darah maka Menurut Hukum Starling, ekspansi PV
(20%) dan ISV (80%). Jumlah ringer laktat yang diperlukan 2-4 kali
volume darah.
Ringer laktat tidak memperberat asidosis laktat. Volume yang
diberikan memperbaiki sirkulasi dan transpor oksigen kejaringan,
sehingga metabolisme aerobik bertambah dan produksi asam laktat
berkurang. Sirkulasi yang membaik akan membawa timbunan asam
laktat ke hati di mana asam laktat melalu siklus krebb diubah menjadi
HCO3 yang menetralisir asidosis metabolik.
Cairan koloid eiliki tekanan onkotik irip plasa dan tinggal dalam
pembuluh darah lebih lama. Devisit PV dan tekanan darah kembali
normal lebih cepat. Ada dua macam cairan koloid yaitu derivat plasma
protein (Albumin, Plasma Protein Fraction) dan bahan sistemik yakni
plasma substitusi (dulu disebut Plasma Expander). Albumin adalah
cairan yang paling fisiologis, tetapi harganya sangat mahal. Banyak
peneliti menyatakan bahwa larutan albumin isotonis tidak memberikan
hasil yang lebih baik dibanding dengan RL atau plasma substitusi.
Penggunaan NaCl hipertonis dengan kadar 7,5% dalam volume
kecil untuk mengganti perdarahan mulai banyak diteliti.

Pada kasus A, infus dilambatkan. Biasanya tidak perlu transfusi.


Pada kasus B, jika Hb < 8 Gr%, diberikan transfusi. Kalau tekanan
darah masih baik transfusi dapat ditunda sampai sumber perdarahan
terkuasai.
Pasus C, transfusi perlu segera diberikan, Hb diusahakan mencapai 8
10 gr%.
Plasma expander / substitusi berguna pada kasus B dan C.
MONITORING
1. Elektrokardiogram ( E K G )
Dari sini dapat diketahui adanya aritmia, iskemik, infark
ataupun gangguan elektrolit.
2. Tekanabn darah
Pengukuran dapat dilakukan secara invasif maupun noninvasif.
Bila tekanan darah sangat rendah, pengukuran secara invasif lebih
menguntungkan karena dapat dilakukan secara akurat dan terus
menerus, disamping itu dapat dipakai untuk pengambilan sampel
pemeriksaan gas darah maupun kadar laktat.
3. Kateter kandung kemih

Diperlukan untuk pengukuran produksi urin yang dilakukan tiap


jam. Pengukuran urine tiap 24 jam sukar untuk dipakai menilai fungsi
ginjal dalam syok. Tujuan lain adalah untuk mengatur balans cairan,
adanya trauma urogenitalia dan pemeriksaan laboratorium.
3. Tekanan vena sentral
Ketetrisasi vena sentral selain untuk pengukuran CVP, juga
berguna untuk pemberian cairan secara tepat pada saat syok vena
perifer mungkin kolaps dan dapat dipakai untuk pemberian cairan
hipertonis pada nutrisi parenteral.

ParameterFluid Challenge Test :


CVP < 8
RL : 200 cc

> 5 cm H2O

Cukup Cairan
Tambahkan lagi

CVP 8 14
RL : 100 cc
Selama 10 menit

2 5 cm H2O

CVP > 14
RL : 50 cc

< 2 cm H2O

Tunggu 10 menit
Seperti di atas

> 5 cm H2O

Tetap

< 2 cm H2O

Cairan cukup

Beri cairan
lebih sedikit,
Evaluasi

Teruskan cairan

5. Foto Toraks
Diperlukan untuk menentukan letak kateter vena sentral, kateter
swan-ganz, pipa endotrakeal, drain toraks dan untuk mengetahui
perubahan-perubahan yang terajdi pada paru-paru, toraks dan
jantung.
6. Suhu
Diperlukan pengukuran suhu tubuh dalam (core) maupun suhu
tubuh luar (superfisial). Dengan demikian dapat dinilai kemajuan
terapi, perfusi.
7. Swan-Ganz Kateter
Untuk menilai pengukuran tekanan wadge paru (PAPW) dan
perubahan cardiac output sehingga terapi dapat lebih terarah dan
akurat.

KESIMPULAN
1.

Resusitasi cairan pada perdarahan akut harus dilakukan dengan


cepat, tepat dan adekuat.

2.

Transfusi darah pada perdarahan akut dapat ditunda sampai Hb


< 8 gr%.

3.

Monitoring yang ketat perlu dilakukan, untuk menghindari


penyulit seperti edema paru, gangguan hemostatis.

KEPUSTAKAAN
1. Corwin HL, Hampers MJ, Surgenor SD. Optimising Red Blood Cell
Transfusion Practice. In 2001 Yearbook of Intensive Care and
Emergency Medicine. Eds Vincent JL. Spinger Berlin, Heidelberg,
New York, 309-318. 2001.
2. Martini. Fluid Balance and Electrolyte Balance. In Fundamental of
Anatomy & Physiology, 5th Ed. 885-991. 2000.
3. Raharjo E.: Perubahan Patofisiologis Akibat Perdarahan, In
Simposium

Pengelolaan

Kegawatan

karena

perdarahan

(Pandangan Multi Disiplin), Surabaya 1996.


4. Sutjahjo RA : Resusitasi Cairan pada perdarahan karena trauma
In :, Simposium Pengelolaan Kegawatan karena perdarahan
(Pandangan Multy Disioplin) Surabaya 1996.
5. Sunatrio S:, Terapi cairan pada syok hipovolemik. In, Resusitasi
cairan, Media Aesculapius, Jakarta 2000.
6. Spahn DR, Williamann FX, Faithfull NS. Augmented Acute
Normovolemic Hemodilution. In : 2001 Yearbook of Intensive
Care and Emergency Medicine. Eds Vincent Jl. Spinger. Berlin.
Heidelberg, New York.319-327.2001.
7. Tominaga GT. Plasma and Blood Substitutes In: Textbook of
critical Care Eds Shoemaker. 4 th ed. WB Sounder Company. 314322.2000.
8. Walley KR, Wood. Shock In: Principles of Critical Care. Eds Jesse
B, Hall, Second Edition. 277-301 1998.
9. Wiwijaya. Transfusi pada penderita trauma In: . ; Kumpulan
Makalah Life Support and Critical Care On Trauma Patients,
Laboratorium SMF Anestesiologi Reanimasi. Surabaya 2001.

S-ar putea să vă placă și