Sunteți pe pagina 1din 15

BAB I

PENDAHULUAN
Atresia intestinal atau atresia usus adalah suatu malformasi dimana terjadi
penyempitan atau tidak terbentuknya lumen usus. Defek ini dapat terjadi di duodenum,
jejunum, ileum, dan colon. Atresia intestinal ini paling sering terjadi di usus halus
Beberapa teori mengenai etiologi atresia intestinal pada model binatang. Studi pada
model tikus menunjukkan bahwa beberapa bentuk atresia mungkin bersifat herediter dan
akibat dari disregulasi proliferasi dan apoptisis pada perkembangan usus melalui jalur
fibroblast growth factor. Untuk saat ini, teori yang paling diterima mengenai etiologi dari
atresia jejunoileal adalah kecelakaan vaskuler intrauterin yang mengakibatkan nekrosis dari
segmen yang terkena dampak. Secara umum tatalaksana pasien obstruksi usus akibat atresia
intestinal adalah tindakan pembedahan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Atresia intestinal atau atresia usus adalah suatu malformasi dimana terjadi
penyempitan atau tidak terbentuknya lumen usus. Defek ini dapat terjadi di duodenum,
jejunum, ileum, dan colon. Atresia intestinal ini paling sering terjadi di usus halus2.
Epidemiologi
Tempat paling sering terjadinya atresi intestinal adalah usus halus (jejunum dan
ileum). Insiden atresia jejunum dan ileum 1500 sampai 5000 kelahiran. Perbandingan
laki-laki dan perempuan adalah sama. Namun rata-rata berat lahir paling sering
dilaporkan sekitar 2,7 kg, sekitar 33% pasien dengan atresia jejenum, 25% dengan atresia
ileum, dan 50% pasien dengan atresia multipel memiliki berat badan lahir rendah2,3.
Atresia duodenum terjadi satu dari 20.000 sampai 40.000 kelahiran. Sekitar 30% bayi
dengan atresia intestinal menderita Down Syndrome4.
Klasifikasi
Pembagian atresi intestinal berdasarkan letak terjadinya malformasi, yaitu 2,4:
a. Atresia duodenum
Atresia ini terjadi pada duodenum. Duodenum merupakan bagian pertama dari
usus halus yang menerima makanan dari hasil pengosongan lambung. Atresia
duodenum ini terjadi 1 dari tiap 2.500 kelahiran hidup. Setengah dari bayi dengan
kondisi ini lahir

prematur dan sekitar dua per tiga memiliki hubungan dengan

kelainan jantung, genitourinarius, dan saluran cerna. Hampir 40% menderita Down
Syndrome. Bayi dengan atresia duodenum biasanya datang dengan muntah dalam
beberapa jam setelah lahir2,4.

Gambar 7 Atresia Duodenum


2

b. Atresia jejunoileal
Atresia jejunoileal terjadi obstruksi pada bagian tengah usus halus (jejunum) atau
bagian bawah usus halus (ileum). Segmen usus proksimal dari obstruksi menjadi
membesar (dilatasi), sehingga menghalangi kemampuan usus untuk mengabsorpsi
nutrisi dan mendorong isi lumen melewati saluran cerna. Sepuluh sampai lima belas
persen bayi dengan atresia jejunoileal, bagian dari usus mati selama perkembangan
fetus. Terdapat persentase yang signifikan bayi dengan kondisisi ini dengan adanya
kelainan rotasi dan fiksasi usus. Fibrosis kistik juga merupakan kelainan yang
berhubungan dan

dapat menjadi komplikasi serius dalam manajemen atresia

jejunoileal. Bayi dengan atresia jejunoileal harus dilakukan skrining untuk fibrosis
kistik2,4.
Terdapat 4 subtipe atresia jejunoileal:

Atresia tipe I mukosa dan submukosa usus membentuk suatu membran (web)
sehingga menyebabkan obstruksi. Usus biasanya memiliki panjang yang normal2,4.

Atresia tipe II dilatasi usus bagian proksimal dengan ujung akhirnya buntu,
dihubungkan dengan bagian distal usus oleh jaringan fibrotik. Usus berkembang
sesuai dengan panjang yang normal2,4.

Atresia tipe IIIa pada tipe ini mirip seperti tipe II, dimana terjadi dilatasi pada
bagian proksimal usus dengan ujung yang buntu, namun pada tipe IIIa tidak
dihubungkan oleh jaringan fibrotik dan terjadi defek pada mesenterika. Proksimal
usus yang buntu ini ditandai dengan adanya dilatasi dan aperistaltik. Pada tipe ini
terjadi pemendekan usus2,4.

Atresia tipe IIIb pada tipe IIIb selain terjadi defek yang besar pada mesenterium,
usus juga memendek secara signifikan. Tipe IIIb ini dikenal juga sebagai
Christmas tree deformity atau apple peel deformity, bagian usus yang mengalami
atresia melilit mengelilingi sisa mesenterium. Usus bagian distal diperdarahi oleh
arteri ileocolica dan arteri colica kanan karena arteri mesenterica superior tidak
ada. Prematuritas, malrotasi, dan sindrom usus pendek berhubungan dengan tipe
ini, dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas2,4.

Atresia tipe IV pada tipe ini terjadi obstruksi multipel pada beberapa bagian
usus. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pemendekan usus2,4.

Gambar 8. Tipe atresia intestinal


c. Atresia kolon
Atresia kolon bentuk atresia yang jarang terjadi yaitu 15% dari seluruh bentuk
atresia. Usus mengalami dilatasi masif, dan pasien menunjukkan tanda dan gejala
yang sama seperti atresia jejunoileal4.
Etiologi dan Patogenesis
Teori Vascular Insufficiency
Beberapa teori mengenai etiologi atresia intestinal pada model binatang. Studi pada
model tikus menunjukkan bahwa beberapa bentuk atresia mungkin bersifat herediter dan
akibat dari disregulasi proliferasi dan apoptisis pada perkembangan usus melalui jalur
fibroblast growth factor. Untuk saat ini, teori yang paling diterima mengenai etiologi dari
atresia jejunoileal adalah kecelakaan vaskuler intrauterin yang mengakibatkan nekrosis
dari segmen yang terkena dampak5.

Gambar 9. Patogenesis atresia intestinal, Teori Vascular Insufficiency


Tandler's Theory
Pada tahun 1902 Tandler menunjukkan bahwa duodenum melalui fase solid selama
perkembangan embriologi. Fase ini karena adanya proliferasi epitelial pada minggu ke-5
dan kemudian akan mengalami obliterasi pada seluruh lumennya. Lumen terbentuk oleh
vakuolisasi yang menyatu dan selesai pada akhir minggu ke-8. Tandler menyatakan pada
atresia duodenum gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi
endodermal yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau
kegagalan

rekanalisasi

pita

padat

epitelial

(kegagalan

proses

vakuolisasi).

Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam usia
kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara sempurna. Proses
selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum padat mengalami
rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis, atau kematian sel
terprogram, yang timbul selama perkembangan normal di antara lumen duodenum5,6.

Gambar 10. Patogenesis Atresia Duodenum.


Manifestasi Klinis
Obstruksi usus pada neonatus sering manifestasi dengan beberapa tanda kardinal,
antara lain polihidramnion maternal, bilious vomiting, distensi abdomen, dan kegagalan
mekonium keluar dalam jumlah normal pada 24 sampai 48 jam pertama kehidupan.
Walaupun tidak ada tanda diatas yang merupakan patognomonik untuk obstruksi
spesifik, semua hal tersebut sesuai dengan fenomena obstruksi dan memiliki indikasi
untuk dilakukan pemeriksaan penunjang3
Polihidramnion adalah peningkatan cairan amnion pada kantong amnion (>2000ml).
Cairan amnion, 25% sampai 40% ditelan oleh fetus (pada bulan keempat atau kelima)
dan diserap pada 25 sampai 30 cm pertama dari panjang jejunum. Atresia jejunum
berhubungan dengan adanya polihidramnion pada 24% kasus. Walaupun ada beberapa
keadaan fetus yang meyebabkan polihidramnion, setiap wanita hamil dengan
polihidramnion harus melakukan pemeriksaan ultrasonografi secara rutin. Prenatal
ultrasonografi dapat mengidentifikasi adanya obstruksi usus halus yang berhubungan
dengan atresia, volvulus, dan pritonitis mekonium. Dengan adanya hal tersebut dapat
mengantipasi dan melakukan rencana manajemen yang tepat saat bayi tersebut lahir3.
6

Bilious vomiting adalah salah satu tanda cardinal dan selalu bersifat patologik. Adanya
cairan empedu pada aspirasi gaster harus diperiksa ataupun diselidiki secara hati-hati.
Lambung bayi yang baru lahir biasanya mengandung kurang dari 15 mL getah
lambung/gastric juice yang jernih saat lahir. Jika lebih dari 20 sampai 25 mL getah
lambung yang jernih atau sedikit saja getah empedu menandakan adanya obstruksi usus.
Bilious vomiting juga dapat terlihat pada neonatal sepsis dengan adinamik ileus. Ketika
obstruksi mekanik terjadi, adanya getah empedu menandakan tingkat obstruksi di bagian
distal ampula Vateri. Bilious vomiting terjadi pada 85 % bayi dengan atresia jejunum dan
lebih sedikit pada atresia ileum3.
Jaundice terjadi lebih dari 30% bayi dengan atresi jejunum dan 20% pada atresia
ileum dan biasanya berhubungan dengan peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi.
Distensi abdomen salah satu tanda obstruksi terjadi pada bagian usus yang lebih distal.
Kontur atau bentuk normal abdomen pada bayi baru lahir adalah bulat/round, berbeda
pada dewasa yang berbentuk skapoid. Pada pemeriksaan fisik yang berhubungan dengan
adanya distensi abdomen antara lain terkihatnya vena dari dinding abdomen yang tipis,
terlihatnya lekukan usus (intestinal patterning) dengan atau tanpa terlihatnya peristaltik
dan terkadang terdapat distres pernapasan akibat peninggian diafragma3.
Ketika obstruksi dicurigai, foto abdominal harus dilakukan untuk mengevaluasi
penyebab distensi3.
Salah satu lagi tanda obstruksi usus adalah kegagalan mekonium lewat secara spontan
dalam 24 sampai 48 jam pertama kehidupan. Mekonium normal terdiri dari cairan
amnion dan debris (skuama,rambut lanugo), succus entericus, mukus untestinal.
Mekonium berwarna hijau gelap atau hitam dan lengket, serta 250 g melewati rectum.
Kegagalan melewati pada hari pertama kehidupan sering merupakan suatu keadaan
patologik3.
Diagnosis
Pada atresia intestinal dari manifestasi klinis di atas yang didapat dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik, diperlukan juga beberapa pemeriksaan3.
Pada atresia duodenum pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam posisi tegak akan
terlihat gambaran double bubble. Bila pada foto hanya terlihat satu gelembung udara,
mungkin sekali gelembung duodenum terisi penuh cairan atau gambaran gelembung
duodenum dan lambung dalam proyeksi tumpang tindih. Foto ulang dengan sebelumnya

dilakukan pengisapan cairan lambung dan duodenum atau dibuat foto dengan proyeksi
lateral2,3.
Diagnosis atresia jejunoileal umumnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan abdominal
x-ray 3 posisi. Atresia jejunum yang tinggi terlihat adanya sedikit air-fluid level dan tidak
adanya gambaran udara mulai dibawah titik tersebut. Atresia yang letaknya lebih distal,
distensi abdomen terlihat secara klinik dan gambaran intestinal loop dan air-fluid level.
Intestinal loop pada usus yang mengalami atresia lebih besar dari pada bagian usus yang
normal2,3.
Foto kontras barium enema dapat memperlihatkan perbedaan antara distensi ileum
dan kolon, melihat apakah kolon pernah terpakai atau tidak/ unused (mikrokolon) dan
dapat pula mengevaluasi lokasi sekum untuk kemungkinan kelainan rotasi usus3.

Gambar 11. A. foto polos abdomen pada bayi dengan bilious vomiting menunjukkan
dilatasi usus dengan air fluid level, B. Tipe I atresia jejunum.
Penatalaksanaan
Secara umum tatalaksana awal pasien dengan obstruksi usus adalah mengatasi
dehidrasi dan gangguan elektrolit, dekompresi nasogastrik atau orogastrik dengan ukuran
yang adekuat, pemberian antibiotik intravena. Termoregulasi, pencegahan terhadap
hipotermi penting sekali pada pasien pediatrik khususnya pasien neonatus. Tidak boleh
dilupakan untuk identifikasi kemungkinan adanya kelainan penyerta bila penyebab
obstruksi adalah kelainan kongenital. Harus selalu diingat bahwa setiap kelainan
kongenital dapat disertai kelainan kongenital lain, sehingga perlu dicari karena mungkin
8

memerlukan penanganan secara bersamaan. Perkiraan dehidrasi baik dari muntah atau
sekuestrasi cairan akibat obstruksi usus perlu dihitung dan diganti. Dengan sedikit
pengecualian, dehidrasi yang ditimbulkan obstruksi usus biasanya berupa dehidrasi
isotonik, sehingga cairan pengganti yang ideal yang mirip cairan ekstraselular adalah
Ringer asetat.
Nasogastic tube (NGT) atau orogastrik tube(OGT) dengan ukuran yang adekuat
sangat bermanfaat untuk dekompresi dan mencegah aspirasi. Orogastric tube lebih
dipilih untuk pasien neonatus karena neonatus bernapas lebih dominan melalui lubang
hidung3.
Antibiotik intravena untuk bakteri-bakteri usus hampir selalu perlu diberikan pada
pasien-pasien yang mengalami obstruksi usus. Antibiotik ini dapat bersifat profilaktif
atau terapeutik bila lamanya obstruksi usus telah memungkinkan terjadinya translokasi
flora usus2,3.
Tatalaksana Bedah
Secara umum tatalaksana pasien obstruksi usus akibat atresia intestinal adalah
tindakan pembedahan3.
Pada obstruksi setinggi duodenum insisi transversal supraumbilikus memberikan
akses terbaik untuk mencapai duodenum. Pilihan tindakan tergantung situasi anatomis
intraoperatif. Pada obstruksi yang disebabkan oleh atresia atau pankreas annulare,
duodeno-duodenostomi

adalah

pilihan

tindakan

bedah

terbaik.

Sebaiknya

duodenojejenostomi tidak dilakukan karena dengan tehnik ini bagian distal duodenum
dieksklusi dan dianggap prosedur yang tidak fisiologis. Sedangkan bila penyebab
obstruksinya berupa duodenal web atau diafragma duodenum, duodenotomi vertikal dan
eksisi dari web tersebut (septectomy) adalah pilihan terbaik. Setelah prosedur tersebut
perlu dilakukan penilaian ulang kemungkinan adanya obstruksi tambahan lainnya dengan
cara melewatkan kateter 8 fr ke proksimal dan distal. Bila telah yakin tidak ada obstruksi
lainnya maka duodenotomi segera dijahit kembali3.
Pada obstruksi jejunoileal insisi transversal supra umbilikal juga merupakan
akses terpilih. Prosedur operatif tergantung pada temuan patologi, seperti tipe atresia,
panjang usus, ada tidaknya perforasi usus, malrotasi dan volvulus, mekonium peritonitis,
mekonium ileus. Dilakukan eksplorasi, bila terdapat perforasi seluruh rongga abdomen
diirigasi dengan NaCl hangat, semua debris dibersihkan, adhesi dilepaskan dan sebisanya
semua usus dieksteriorisasi. Inspeksi dilakukan mulai dari duodenum sampai sigmoid
9

untuk mencari area atresia lainnya, ada tidaknya kelainan penyerta seperti malrotasi, atau
mekonium ileus yang memerlukan koreksi pada saat bersamaan.
Prosedur operatif atresia jejunoileal pada umumnya adalah reseksi-anastomosis.
Berdasarkan sejarah dan bukti-bukti eksperimental prosedur yang dianjurkan
berkembang dari eksteriorisasi menjadi anastomesis side-to-side, kemudian end-to-end
atau end-to-side, dan terakhir : reseksi segmen atretik proksimal yang dilatasi dan
hipertofi diikuti anastomosis end-to-end/ end-to-back dengan atau tanpa tailoring
segmen proksimal dan juga end-to-oblique. Perlu diingat bahwa segmen atresia
proksimal yang berdilatasi dan hipertrofi dapat menyebabkan kembalinya fungsi
peristaltik yang terlambat setelah koreksi anastomosis sehingga reseksi bulbus proksimal
segmen atretik perlu dilakukan agar hasilnya memuaskan3.
RESEKSI ANASTOMOSIS

Terdapat beberapa teknik anastomosis yang telah ditemukan. Prosedur tersebut


diklasifikasikan menjadi 2 tipe: (1) pelebaran kaliber usus bagian distal yang mengecil
dan (2) mengurangi kaliber usus bagian proksimal yang membesar. Anastomosis end-toback, end-to-side, dan end-to-oblique merupakan jenis tipe pertama, dan enteroplasty
diikuti dengan anastomosis end-to-end merupakan tipe kedua. End-to-back anastomosis
menunjukan baik masalah teknik maupun obstruksi fungsional post-operatif anastomosis
jika kaliber rasio antara segmen proksimal dan segmen distal usus yang mengalami
atresia tidak besar. Namun, rasio kaliber meningkat deviasi aksis longitudinal antara
proksimal dan distal usus secara bertahap menjadi mendekati 90o, menyerupai
anastomosis end-to-side yang dengan mudah menghasilkan obstruksi fungsional.
Sepertinya akan sangat sulit untuk melakukan fungsional end-to-back anastomosis dalam
kasus di mana rasio kaliber lebih dari 4.3
Anastomosis End to end
Umumnya dilakukan insisi tranverasal supraumbilikus pada kuadran kanan atas.
Abdomen dieksplorasi, dan level obstruksi dan tipe obstruksi ditentukan. Dilakukan
diseksi pada ruang antara pembuluh darah mesenterium dari segmen distal usus yang
mengecil. Diseksi secara tumpul sampai tepi mesenterik usus, peritoneum dibebaskan
dari mesenterium yang telah dipotong, memberikan akses ke vascular plane.

10

Insisi 2 cm dilakukan pada ujung buntu dari proksimal usus yang mengalami dilatasi di
sudut kanan mengarah ke mesenterium. Dilanjutkan dengan jahitan interupted satu lapis
dengan benang poliglikolat 5-0.3

Gambar 12. Peritoneal dibebaskan sampai mendekati tepi usus bagian distal yang
mengalami atresia

Gambar 13. Usus bagian distal yang mengecil dan buntu dipotong melalui tepi
mesenterium usus yang telah dipotong. Insisi pada ujung buntu proksimal usus pada
sudut kanan mengarah ke mesenterium.
Anastomosis End-to-oblique
Dilakukan insisi tranverasal supraumbilikus pada kuadran kanan atas. Abdomen
dieksplorasi, dan level obstruksi dan tipe obstruksi ditentukan.

11

Dilakukan reseksi pada segmen proksimal usus yang mengalami dilatasi pada pasien
dengan panjang usus yang mendekati normal. Pada bagian proksimal dilakukan reseksi
dengan sudut 90o dari sumbu panjang usus dan pada bagian distal 45o. Kemudian
dilakukan penjahitan. Pada bagian distal usus harus dilakukan evaluasi untuk menilai
masih adanya atresia atau stenosis dengan menggunakan kateter yang dilalui oleh larutan
normal saline.

Gambar 14. Anastomosis end-to-oblique.


Tatalaksana Pasca Operatif Obstruksi Usus
Meskipun laparotomi pada bayi atau anak memberikan stres yang signifikan kepada
pasien, kebanyakan pasien berangsur membaik setelah koreksi bedah terhadap penyebab
obstruksi ususnya. Pada periode pasca operatif awal, gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, metabolisme glukosa dan gangguan respirasi biasa terjadi. Kebanyakan bayi
yang menjalani operasi laparotomi biasanya mengalami sekuestrasi cairan ke rongga
ketiga dan ini memerlukan tambahan jumlah cairan pada periode pasca operatif.
Kebutuhan pemeliharaan disesuaikan dengan kondisi pasien. Semua kehilangan cairan
tubuh harus diperhitungkan. Kehilangan cairan melalui muntah, NGT, ileostomi, atau
jejenostomi harus diganti sesuai volume yang hilang. Swenson menyebutkan untuk
berhati-hati dalam instruksi pasca operasi. Tidak ada istilah rutin dalam intruksi pasca
operasi terhadap bayi atau anak. Semua dosis obat, elektrolit atau cairan untuk terapi
harus dikalkulasi secara individual dengan mempertimbangkan berat badan, umur atau
kebutuhan metabolik3.

12

Dekompresi nasogastrik dengan ukuran yang adekuat sampai tercapai fungsi usus yang
normal merupakan bantuan yang tak dapat dipungkiri dalam dekompresi bagian
proksimal usus dan fasilitasi penyembuhan anastomosis usus. Ileus hampir selalu terjadi
pada pasien pasca operasi dengan obstruksi usus. Pada atresia duodenum atau atresia
jejunoileal misalnya, ileus yang memanjang dapat terjadi lebih dari 5 hari. Swenson
menyebutkan pulihnya fungsi duodenum dapat lambat sekali bila duodenum sangat
berdilatasi. Cairan berwarna hijau dapat keluar dari nasogastrik dalam periode waktu
yang memanjang. Hal ini disebabkan bukan hanya karena edema di daerah anastomosis
tetapi juga karena terganggunya peristaltik pada segmen duodenum proksimal yang
mengalami dilatasi hebat. Kesabaran yang tinggi sangat diperlukan sebelum memutuskan
re-operasi pada bayi dengan obstruksi anastomose, karena diskrepansi ukuran lumen
atau disfungsi anastomosis yang bersifat sementara dapat menyebabkan ileus yang
memanjang3.
Permulaan asupan melalui oral dengan air gula / dextrose dapat dimulai bila drainase
gaster mulai berkurang atau warnanya mulai kecoklatan atau jernih yang kemudian
diikuti oleh susu formula (progestimil, isomil) secara bertahap. Bila program feeding
tersebut tidak bisa diterima pasien atau terdapat ileus yang memanjang maka nutrisi
parenteral perlu dipertimbangkan dalam menjaga kecukupan asupan nutrisi pasca
operasi.
Prognosis
Hasil tergantung pada anomali yang terkait dan berat badan lahir. Prognosis umumnya
baik.

13

BAB III
KESIMPULAN
Atresia merupakan suatu kelainan di mana terjadi absen/tidak terbentuknya suatu
bagian/porsi dari saluran cerna, sehingga membentuk saluran yang buntu. Atresia dapat
terjadi di duodenum, jejunum, ileum dan kolon. Atresia duodenum biasanya berhubungan
dengan sindrom Down. Penyebab terjadinya atresia adalah gangguan vaskular pada saat
embriologi (dalam uterus) terutama pada saat pembentukan saluran cerna, menyebabkan
perfusi dan iskemik sehingga lumen saluran cerna tidak terbentuk dengan baik bahkan
mengalami obliterasi. Selain itu gangguan/oklusi pada arteri mesenterika superior pada masa
embriologi dapat menyebabkan atresia intestinal.
Pada neonatus, atresia yang paling sering terjadi adalah atresia jejunoilealis
danstenosis (okulsi intraluminal yang inkomplet).
Gejala yang timbul pada atresia antara lain distensi abdomen, muntah yang
mengandung empedu, jaundice pada 32% pasien, serta riwayat polyhidramnion

14

DAFTAR PUSTAKA
1. Sadler,TW. Sistem Pencernaan. Embriologi Kedokteran Langman.Ed.7. Jakarta:EGC.
2. Jones, BA. Intestinal Atresia, Stenosis, and Webs. 2009.
http://emedicine.medscape.com/article/940615-overview. Diakses tanggal: 19 Juni
2014.
3. Rescorla FJ, Grosfeld JL. Intestinal atresia and stenosis. Surgery.
4. Hasanuddin Tri, Isni Gina. Makalah stenosis jejunum. 2012. Universitas hasanuddin
Makassar.
5. Anonim. Intestinal Atresia and Stenosis. 2007.
http://www.cincinnatichildrens.org/health/info/abdomen/diagnose/obstructions.htm.
Diakses tanggal: 19 Juni 2014.
6. Louw J. H. Congenital Intestinal Atresia And Stenosis In The Newborn Observations
On Its Pathogenesis And Treatment.Handout Lecture. University of Cape Town; Head
of the Department of Surgery, Groote Schuur Hospital and Red Cross War Memorial
Children's Hospital, Cape Town.
7. Witmer, LM. Embryological Anatomy of the Gastrointestinal Tract and Related Birth
Defects.2003. http://www.oucom.ohiou.edu/dbms-witmer/peds-rpac.htm. Diakses
tanggal: 19 Juni 2014.

15

S-ar putea să vă placă și