Sunteți pe pagina 1din 4

Amanah adalah salah satu sifat mulia yang harus dimiliki oleh setiap muslim, terlebih lagi

bila ia menjadi pemimpin, ulama atau orang kaya. Lawan amanah adalah khianat. Sebab itu,
tidak heran jika salah satu sifat yang wajib bagi Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
adalah amanah. Sedangkan khianat merupakan salah satu sifat yang mustahil dimiliki oleh
beliau.
Amanah lazim dipahami sebagai sebuah karakter kejujuran dalam menjalankan tugas,
pekerjaan atau kedudukan yang diperoleh atau diberikan. Ada lagi yang memahami amanah
dengan memberikan atau menerima tugas dan tanggung jawab sesuai profesi dan keahlian.
Ada pula yang mengartikan amanah sebagai penerapan hukum secara adil terhadap semua
manusia, tanpa ada unsur kolusi dan nepotisme.
Apapun bentuk definisi amanah yang dirumuskan, sulit menemukan sebuah definisi yang
mencakup semua aspek yang terkandung dalam kata amanah, karena begitu besar makna
dan perannya dalam kehidupan, khususnya dalam kehidupan Dakwah Ilallah. Dakwah Ilallah
akan terasa hampa dan kering tanpa amanah. Dakwah Ilallah akan hancur, paling tidak
menyimpang dari jalan dakwah itu sendiri tanpa amanah, terlebih lagi jika yang tidak amanah
itu para pemimpinnya, ulamanya dan para orang kaya yang ada di dalamnya.
Amanah bukanlah sebuah rangkaian kata-kata indah yang selalu menghiasi bibir kita
sehingga menjadi indah didengar dan dikhayalkan. Akan tetapi, amanah, khususnya dalam
kehidupan jamaah dan dakwah Ilallah, hendaknya menjadi sebuah karakter permanen dalam
diri para pemimpin, tokoh, ulama dan para aktivis dakwah yang tercermin bukan hanya
dalam kata-kata, melaikan dapat pula diterjemahkan oleh pikiran, tulisan, perasaan, sikap dan
tingkah laku keseharian.
Tanpa amanah seperti yang disebutkan di atas, sulit bagi kita membangun jamaah dakwah
Ilallah yang kuat, dan terhormat yang kehidupan sehari-harinya diliputi oleh suasana kasih
sayang (mahabbah) dan kejujuran. Bila amanah sudah sirna, virus-virus kebencian, KKN,
like and dislike, kecurangan, tidak transparan, licik, oportunis, persaingan tidak sehat, saling
menjatuhkan dan bahkan memperjual belikan ayat-ayat Allah dengan harga (dunia) yang
sedikit serta berbagai virus mematikan lain yang semakin merajalela. Akhirnya kehancuran
yang akan menimpa (la samahallah).
Rasul Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari rahimahullah mengingatkan kita: Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu
berkata: Bersabda Rasul Shallallahu alaihi wasallam: Bila amanah sudah diabaikan, maka
tunggulah kehancuran. Dia berkata: Bagaimana mengabaikan amanah itu wahai baginda
Rasulillah? Beliau menjawah: Bila diberikan suatu urusan/tugas/pekerjaan kepada yang
bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran. [1]
Agar kita mudah memahami dan menghayati kebesaran makna dan peran amanah dalam
kehidupan, khususnya dalam kehidupan dakwah, mari kita simak dan renungkan beberapa
kisah seputar amanah yang menakjubkan yang terjadi dalam sejarah umat Islam terdahulu,
dimulai sejak Nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wasallam memimpin umatnya sampai
beberapa abad setelahnya. Kisah-kisah di bawah ini mencerminkan amanah yang telah

menjadi karakter masyarakat Islam sejak dari pemimpin, ulama, pegawai/profesional dan
orang kaya dari kalangan kaum muslimin.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dan Imam Muslim
rahimahullah, pernah seorang wanita ternama mencuri di zaman Rasul Shallallahu alaihi
wasallam. Keluarganya mencoba mendapatkan keringanan (dispensasi hukum) dari Rasul
Shallallahu alaihi wasallam agar tidak diterapkan padanya hukuman potong tangan.
Mendengar dan melihat gelagat mereka, beliau pun marah sambil berkata: Wahai manusia!
Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur karena mereka (menerapkan hukum
tebang pilih). Ketika yang mencuri (korupsi) itu dari kalangan terhormat, mereka
membiarkannya. Namun, bila yang mencuri itu dari kalangan lemah (rakyat jelata), mereka
terapkan hukum pada mereka. Demi Dzat (Allah) yang jiwa Muhammad di tangan-Nya.
Sekiranya Fathimah anak kesayangan Muhammad mencuri, pasti Muhammad potong
tangannya. [1] [2]
Ini adalah amanah seorang penguasa dalam menerapkan undang-undang/peraturan
terhadap semua rakyatnya.
Salah seorang anak amirul mukminin Umar Ibnul Khattab radhiyallahu anhu pernah
meminjam modal untk berdagang dari Abu Musa Al-Asyaari radhiyallahu anhu yang ketika
itu menjadi Gubernur Kufah (Irak). Abu Musa meminjamkannya dari uang simpanan negara
dengan syarat dikembalikan utuh, tanpa ada pemotongan sedikitpun. Perdaganganpun
dijalankan sampai anak khalifah tersebut meraih keuntungan besar. Berita itu sampai kepada
sang khalifah. Lalu beliau berkata kepada anaknya, Ketika kamu membeli barang, para
penjual pasti mendiscount harganya karena mereka mengetahui kamu adalah anak seorang
Amirul Mukminin. Ketika kamu menjual barang daganganmu pasti dibeli dengan harga yang
lebih tinggi karena para pembeli juga mengetahui kamu adalah anak Amirul Mukminin.
Okelah Jika demikian keadaannya, kaum Muslimin memiliki hak terhadap keuntungan
yang kamu peroleh (karena modalnya dari harta mereka).
Lalu Umar membagi dua (50 : 50) keuntungan tersebut -sebagian untuk anaknya dan
sebagian yang lain diserahkan ke Baitul Mal- Umar pun meminta agar modal yang dipinjam
anaknya itu segera dikembalikan ke kas negara dan mengingatkan dengan keras akan
perbuatan anaknya. Bukan hanya sampai di situ, Umar juga menegur Abu Musa dengan keras
atas perbuatannya yang meminjamkan harta negara kepada anaknya yang seharusnya tidak
boleh terjadi.
Ini adalah amanah penguasa yang tidak tidur di malam hari demi menjaga harta rakyatnya
serta tidak pandang bulu; teman atau keluarga terdekat sekalipun (tidak melakukan KKN).
Sholahuddin Al-Ayubi rahimahullah, adalah raja yang amat popular di zamannya dalam
penaklukan dan kemenangan. Di tangannya negara memperoleh ghanimah (harta rampasan
perang) yang sangat banyak. Semuanya beliau gunakan untuk wakaf pengembangan
pendidikan, rumah sakit dan masjid yang bekas peninggalannya masih kita temukan sampai
hari ini. Sungguh demikian, sedikitpun tidak ada yang beliau tinggalkan untuk dirinya dan
anak-anaknya. Bahkan sejarah mencatat, ketika meninggal dunia, beliau adalah manusia yang

paling miskin, tidak ada dirham, dinar, tanah dan rumah yang ditinggalkan untuk anakanaknya.
Ini adalah amanah seorang pemimpin yang Mujahid yang tidak tergoda memperdagangkan
jihad (perjuangan)-nya. Dia hanya mencari ridha, syurga dan ganjaran dari Allah sebagai
ganti semua itu.
Ketika Khalifah Utsman Ibnu Affan radhiyallahu anhu hendak meminjamkan sebagian harta
negara kepada beberapa orang (kawannya), ia memanggil direktur Baitul Mal dan
memerintahkan agar merealisasikan permintaannya itu. Sang direkturpun menolak perintah
Utsman. Lalu Utsman berkata padanya, Kenapa kamu tidak mau merealisasikannya
sedangkan kamu pegawai kami?
Sang Direkturpun lari menuju masjid (Nabawi) dan berkata dengan suara yang amat keras
sehingga terdengar semua orang yang ada di masjid, Wahai manusia! Utsman menduga
bahwa saya adalah pegawainya. Saya sesungguhnya adalah pegawai yang menjaga Baitul
Mal kalian. Baitul Mal ini milik kalian, bukan milik pribadinya. Ini kunci Baitul Mal itu,
sekarang saya serahkan kepada kalian. Kemudian sang Direktur melemparkan kunci-knuci
Baitul Mal itu dan langsung pergi.
Ini adalah amanah seorang pegawai yang terhormat. Dia tidak mau melecehkan peraturan
demi hanya mencari keridhaan presiden atau pimpinannya.
Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, khalifah Rasul keempat karromallahu wajhah- pernah
melewati sebuah masjid. Dia melihat seseorang sedang memberikan pelajaran agama kepada
para hadirin. Lalu Ali berkata kepada sang ustadz tersebut, Apakah Anda menguasai hukumhukum dalam Al-Quran, nasikh (ayat-ayat yang membatalkan/menghapus hukum
sebelumnya) dan mansukh (ayat-ayat yang dibatalkan/dihapus)?
Sang ustadz menjawab, Saya belum mengetahuinya.
Spontan Ali berkata, Celaka engkau dan engkau mencelakakan masyarakat.
Kemudian Ali melarang orang tersebut memberikan pelajaran agama kepada masyarakat.
Ini adalah amanah seorang Presiden dalam menjaga kemurnian ilmu dan aqidah umat agar
tidak dirusak oleh orang-orang bodoh/ tidak berilmu.
Pernah suatu kali, Syekh Izzuddin Abdussalam, sang Jaksa Agung Damaskus berseberangan
dengan Sultan Damaskus karena ia (Sultan Damaskus) bekerjasama dengan pihak asing
untuk memerangi Sultan Mesir; saudara muslimnya. Syekh Izzuddin menganggap perbuatan
itu adalah sebuah pengkhianatan terhadap kaum muslimin dan sebuah tindakan kriminal
terhadap negerinya. Ketika Sultan Damaskus memecatnya, Sykeh Izzuddin tidak mau tinggal
di negeri yang penguasanya adalah para pengkhianat atas hak-hak masyarakat, kemerdekaan
dan kedaulatan mereka. Beliau tidak mau pulang ke Damaskus kendati sang Sultan sudah
berupaya dengan segala cara seperti janji-janji manis nan menggiurkan.

Ini adalah amanah seorang alim (ulama) yang tegas menegakkan kebenaran di hadapan
penguasa yang zalim dan membongkar pengkhianatannya terhadap masyarakat, tanpa takut
menghadapi berbagai ancaman penguasa demi berjalan di jalan Allah.
Pada suatu hari, ummul mukminin Aisyah radhiyallahu anha bersedekah sebanyak 100.000
dirham sedangkan ia berpuasa dan memakai pakaian yang bertambal. Lalu pembantunya
berkata kepadanya, Wahai sekiranya engkau tinggalkan sedikit untuk membeli makanan
untuk buka puasa kita hari ini. Tidak ada lagi yang bisa kita makan hari ini.
Aisyah pun menjawab, Kalau kamu ingatkan sejak awal, aku akan lakukan itu. [3]
Ini adalah amanah orang kaya mukmin yang lupa rasa lapar dalam dirinya. Pada waktu
yang sama, ia malah ingat rasa lapar orang lain dari masyarakatnya.
Nah, setelah membaca sekelumit fakta sejarah umat Islam tentang amanah, timbul pertanyaan
mendasar dalam diri kita: Di mana gerangan amanah seperti itu bersembunyi sekarang?
Kapan kita mampu membangun jamaah dakwah yang tegak di atas dasar sifat atau karakter
amanah seperti yang dicontohkan umat Islam terdahulu? Semoga Allah melindungi kita
semua dari sifat / karakter tidak amanah, siapapun kita. Amin yaa Robb
Oleh: Fathuddin Jafar Lc MA
Referensi/Catatan:
[1] Shahih Imam Bukhari
[2] Shahih Imam Muslim
[3] Kisah-Kisah di atas dikutip dari buku: Akhlaquna Al-Ijtimaiyyah (Akhlak Sosial Kita),
cet. Ke 5 1407H/1987M, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, karya Dr. Mustafa As-SibaI
rahimahullah, hal. 105 107.
[4] Al-Bidayah wal Nihayah (kitab Khalifah Umar bin al-Khattab), Imam Ibnu Katsir

S-ar putea să vă placă și