Sunteți pe pagina 1din 26

LAPORAN PENDAHULUAN ANEMIA APLASTIK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi


Departemen Medikal di Ruang 27 RSSA Malang

Oleh :
DANASTRI DANNISWARI
115070201111023

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

DEFINISI ANEMIA
a. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass)
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh
penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). (Bakta, 2009)
Kriteria Anemia menurut WHO
Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dL
Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL
Wanita hamil Hb < 11 gr/dL
b. Anemia adalah penurunan kadar hemoglobin dalam sirkulasi darah. Ada tiga kelompok besar
anemia:
Perdarahan secara berlebihan. Misalnya perdarahan saluran cerna, keluarnya darah haid

secara berlebihan, hemoroid (wasir) dan sebagainya.


Penurunan atau gangguan produksi sel darah merah. Ini dapat terjadi akibat kurangnya zat

besi, vitamin B 12, dan folat.


Penghancuran sel darah merah yang berlebihan, misalnya akibat penyakit talassemia dan
penyakit autoimun.

KLASIFIKASI ANEMIA
Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis : (Bakta.2009)
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. ANEMIA APLASTIK
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
B. Anemia akibat perdarahan
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)

b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD


c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalasemia
- Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi: (Bakta.2009)
A. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
B. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
C. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik

1. DEFINISI ANEMIA APLASTIK


a. Menurut The National Organization for Rare Disorders (NORD, 2008), anemia aplastik adalah
kelainan yang memiliki karakteristik berupa kegagalan sumsum tulang dalam memproduksi selsel darah yang cukup untuk sirkulasi. Kekurangan produksi sel-sel darah tersebut berpotensi
sangan serius atau dapat menjadi penyakit yang fatal apabila tidak diatasi sebagaimana
mestinya.
b. Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari sumsum tulang yang
mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak adanya unsure pembentuk darah dalam
sumsum. Hal ini khas dengan penurunan produksi eritrosit akibat pergantian dari unsure produksi
eritrosit dalam sumsum oleh jaringan lemak hiposeluler, juga dapat mempengaruhi megakaryosit
mengarah pada neutropenia (Sacharin, 2002).

c.

Anemia aplastik didapat merupakan kelainan hematologi yang serius yang memiliki karakteristik
berupa pansitopenia dan aplasia atau hipoplasia sumsum tulang.

2. EPIDEMIOLOGI ANEMIA APLASTIK


Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai
6 kasus persejuta penduduk pertahun. Analisis retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden
anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun. The Internasional
Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta
orang pertahun. Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun;
peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur
Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di
Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih
besar daripada di negara Barat belum jelas. Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan
dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan
dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia
yang tinggal di Amerika.

3. KLASIFIKASI ANEMIA APLASTIK


Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
A. Klasifikasi menurut kausa2 :
1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus.
2. Sekunder : bila kausanya diketahui.
3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia Fanconi
B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis

Anemia Aplastik Berat

Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan <30%

sel hematopoietik residu, dan


Dua dari tiga kriteria berikut :
netrofil < 0,5x109/l
trombosit <20x109 /l
retikulosit < 20x109 /l
Sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2x109/l

Anemia Aplastik
Sangat Berat
Anemia Aplastik Bukan

Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia aplastik berat atau

Berat

sangat berat; dengan sumsum tulang yang hiposelular dan


memenuhi dua dari tiga kriteria berikut :
netrofil < 1,5x109/l
trombosit < 100x109/l
hemoglobin <10 g/dl

4. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO ANEMIA APLASTIK

Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi,
kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak
diketahui.
Anemia
yang

Aplastik
Didapat

(Acquired
Aplastic Anemia)/
Anemia

Aplastik

Sekunder

Anemia
yang

Aplastik

diturunkan

(Inherited Aplastic
Anemia)/ Anemia
Aplastic Ideopatik

Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

a. Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel dan
progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis yang
aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif. Bila stem sel hematopoiesis yang terkena
maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan
menyebabkan fibrosis. Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis
dan luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat digunakan
sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan
lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang
menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada
sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads
untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1
dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi

yang lebih tinggi Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada
dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan
jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.
b. Bahan-Bahan Kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia aplastik
dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti insektisida dan
logam berat juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan kerusakan sumsum
c.

tulang dan pansitopenia.


Obat-Obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan.
Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi
genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang
juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obatobatan sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea.

Obat-Obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik

Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang disebut
resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik

merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan


resiko rendah.
d. Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis, virus
Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering.
Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi hepatitis.
Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat hubungan
antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.. Parvovirus B19 dapat
menyebabkan krisis aplasia sementara pada penderita anemia hemolitik kongenital
(sickle

cell anemia,

sferositosis

herediter, dan lain-lain).

Pada pasien

yang

imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap Parvovirus


suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi.
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum
tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat
menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan
sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder,
inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel
atau destruksi jaringan stroma penunjang.
e. Faktor Genetik
Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian dari
padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia
Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia sumsung
tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali,
f.

retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan limpa.


Pekerjaan
Pekerja tani di rural Thailand memiliki hubungan penting dengan anemia
aplastik. Pestisida agrikultur telah dilaporkan berhubungan dengan anemia aplastik.
Hubungan signifikan yang telah diteliti pada pestisida agrikultur yang disebut
organofosfat, DDT, dan karbamat.15
Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa penggunaan pestisida rumah tangga
yang dapat meningkatkan risiko anemia aplastik. Terdapat 2 penelitian case-control
yang meneliti pajanan cat dan benzene yang dapat meningkatkan risiko anemia aplastik.

Terdapat pula hubungan signifikan untuk lem dan tinner.8


g. Status sosial ekonomi
Terdapat trend signifikan dalam peningkatan risiko dengan penurunan tahun
edukasi dan pemasukan rumah tangga total. Status sosioekonomi bukan merupakan
kausa anemia aplastik namun lebih pada indicator pada faktor risiko lingkungan yang

memungkinkan agen-agen infeksius, dan pajanan toksik yang prevalensinya lebih sering
terjadi pada individu dengan status sosioekonomi yang rendah.
5. MANIFESTASI KLINIK ANEMIA APLASTIK
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang
timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan
anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe deffort, palpitasi
cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan
granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi
sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat
sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir
atau pendarahan di organ-organ. Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik
yang sering dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi
kadang-kadang juga dikeluhkan. Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada
pemeriksaan rutin Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi.
Keluhan yang Dirasakan Klien
Jenis Keluhan
Pendarahan
Lemah badan
Pusing
Jantung berdebar
Demam
Nafsu makan berkurang
Pucat
Sesak nafas
Penglihatan kabur
Telinga berdengung

%
83
80
69
36
33
29
26
23
19
13

Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel 5
terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan
ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya
bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak
ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan
diagnosis.
Hasil Pemeriksaan Fisik yang Ditemukan pada Klien
Jenis Pemeriksaan Fisik
Pucat
Pendarahan

Kulit
Gusi

%
100
63
34
26
20
7

Retina
Hidung
Saluran cerna
Vagina

6
3
16
7
0

Demam
Hepatomegali
Splenomegali
6. PATOFISIOLOGI ANEMIA APLASTIK
Terlampir
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
A. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah Tepi
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis anemia
adalah normokromik normositik. Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis,
anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam
darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan
rendah. Limfositosis relatif ditemukan pada lebih dari 75% kasus.
Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil kasus,
persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi
terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte count) maka diperoleh persentase
retikulosit normal atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi
menandakan bukan anemia aplastik.
Perbedaan antara gambaran sumsum tulang normal dan sumsum tulang aplastik
dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar. Sumsum tulang normal (kiri) dan aplastik (kanan)


b. Laju Endap Darah
Laju endap darah selalu meningkat. Menurut Widjanarko dkk (2007), 62 dari 70
kasus (89%) mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam jam pertama.

c. Faal Hemostasis
Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh
trombositopenia. Fase hemostasis lainnya normal.
d. Sumsum Tulang
Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin teraspirasi,
maka sering diperlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi
sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik. Hasil pemeriksaan
sumsum tulang sesuai criteria diagnosis.
e. Virus
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus Hepatitis, HIV,
parvovirus dan sitomegalovirus.
f.

Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa


Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab
g. Kromosom
Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan
sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridation (FISH) dan imunofenotipik
dengan flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti
myelodisplasia hiposeluler.
h. Defisiensi Imun
Adanya defisiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan
i.

pemeriksaan imunitas sel T.


Lain-lain
Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin ditemukan pada
anemia aplastik konstitusional. Kadar eritropoietin ditemukan meningkat pada

anemia aplastik.
B. Pemeriksaan Radiologik
a. Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan
karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang ebrlemak
dan sumsum tulang berseluler.
b. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah
disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag
sumsum tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada transferin. Dengan
bantuan scan sumsum tulang dapat ditemukan daerah hemopoiesis aktif untuk
memperoleh sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel induk.
8. DIAGNOSA BANDING
Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi menunjukkan aplasia, namun hiposelularitas
sumsum dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji diagnostic yang baru telah

mempengaruhi diagnosis banding dan pemahaman tentang kegagalan sumsum tulang.


Perbedaan antara anemia aplastik didapat dan herediter telah dipertajam dengan assay
spesifik untuk kelainan kromosomal dan zat kimia tertentu yang menandai anemia Fanconi.
Meskipun biasanya muncul pada anak-anak, anemia Fanconi dapat didiagnosis pada saat
dewasa, walaupun tanpa kelainan skeletal atau urogenital.2
Sumsum tulang hiposeluler dibutuhkan untuk diagnosis anemia aplastik. Namun, aspirat
kadang-kadang secara mengejutkan tampak selular meskipun secara keseluruhan sumsum
tulang hiposeluler, sebab sebagian besar pasien masih mempunyai sarang-sarang
hemopoiesis yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy 1-2 cm penting untuk pengkajian
selularitas. Diseritropoiesis ringan bukan tidak lazim pada anemia aplastik, khususnya pada
pasien yang juga memiliki populasi sel-sel hemoglobinuria nocturnal paroksismal kecil
sampai sedang. Namun, adanya sejumlah sel kecil sel-sel blas myeloid, atau gambaran
displastik seri myeloid atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom myelodisplastik
hipoplastik.
a. Myelodisplasia Hiposeluler
Membedakan anemia aplastik dari sindom myelodisplastik hipoplastik dapat
menjadi tantangan, khususnya pada pasien yang lebih tua, karena sindrom ini lebih
banyak terjadi. Proporsi sel-sel CD34 di sumsum tulang mungkin membantu pada
beberapa kasus. CD34 diekspresikan pada sel-sel asal/induk hemopoietik dan bersifat
fundamental untuk patofisiologi kedua kelainan ini. Pada sindrom myelodisplastik,
ekspansi klonal muncul dari sel asal CD34, sedangkan pada anemia aplastik didapat,
sel-sel asal CD34 merupakan target serangan autoimun. Dengan demikian, proporsi selsel SD34 adalah 0,3% atau kurang pada pasien anemia aplastik, sedangkan
proporsinya normal (0,5-1,0 %) atau lebih tinggi pada sindrm myelodisplastik hipoplastik.
Pemeriksaan sitogenetik sel-sel sumsum tulang sekarang sudah rutin dilakukan,
tetapi interpretasi hasil dapat controversial. Kromosom umumnya normal pada anemia
aplastik, tetapi aneuploidi atau abnormalitas structural relative sering pada sindrom
myelodisplastik. Jika sumsum tulang normal atau hiperseluler dan sel-sel hematopoietik
jelas-jelas dismorfik, maka myelodisplasia mudah dibedakan dari anemia aplastik.
Namun, mungkin pada sekitar 20% kasus, sumsum tulang tampak hiposeluler, selain itu,
perubahan morfologinya mungkin ringan atau meragukan, dan uji kromosom
memberikan hasil normal atau tidak berhasil. Diagnosis banding lebih dipersulit dengan
evolusi anemia aplastik yang telah diobati menjadi myelodisplasia.
Perbedaan antara anemia aplastik dengan MDS hiposeluler sulit didapatkan.
Baik anemia aplastik maupun MDS dapat ditemukan diseritropoiesis. Mikromegakaryosit
di

sirkulasi,

blas

di

ssirkulasi,

cincin

sideroblas,

disgranulopoiesis,

dismegakaryositopoiesis, lokalisasi abnormal pada precursor imatur, fibrosis sumsum


tulang, dan peningkatan blas lebih banyak menetap pada MDS.
Kemunculan morfologik tersebut didapatkan pada perubahan anemia aplastik
menjadi MDS. Pada penelitian terbaru, 3 kasus anemia aplastik dengan sitogenetik
normal berubah menjadi MDS dengan dismegakaryositopoiesis dan monosomi.
Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa pewarnaan specimen biopsy trephine
sumsum tulang untuk SD34 dan sel proliferasi antigen nuclear dapat membantu untuk
diferensial

diagnosis

antara

anemia

aplastik

dan

mDS.

Penelitian

terbaru

memperlihatkan pewarnaan CD61 untuk mengevaluasi megakaryosit. Meskipun


monosomi 7 telah terlihat melibatkan megakaryosit, hal tersebut tidak spesifik untuk
turunan megakaryosit pada gangguan myeloid.

Penelitian Dollan et al (2005)

menganjurkan bahwa pada kasus anemia aplastik dengan monosomi 7 harus dievaluasi
secara teliti untuk dismegakaryosit yang dapat mengindikasikan MDS.

A. Dismegakaryositopoiesis setelah penambahan monosomi 7 pada hapusan aspirasi


sumsum tulang (Pewarnaan Wright-giemsa, pembesaran 2000x)
B. Dismegakaryositopoiesis setelah penambahan monosomi 7 pada biopsy trephine
sumsum tulang (Pewarnaan H&E, pembesaran 1200x)

A. Pewarnaan CD61 pada biopsy trephine sumsum tulang yang memperlihatkan


megakaryosit displastik setelah penambahan monosomi 7 (pembesaran 400x)
B. Pewarnaan CD61 pada biopsy trephine pada anemia aplastik sebelumnya dengan
karyotipe normal (pembesaran 400x)
b. Leukemia Limfositik Granular Besar
Penyakit ini juga dapat menjadi diagnosis untuk sumsum tulang yang kosong
atau displastik. Limfosit granular besar dapat dikenali dari fenotipenya yang berbeda
pada pemeriksaan mikroskopik darah, yaitu pola pulasan sel-sel khusus pada glow

cytometri, dan ketidakteraturan reseptor sel T yang membuktikan adanya ekspansi


monoclonal populasi sel T.2
c. Anemia Aplastik dan Paroxysmal Haemoglobinuria Paroxyxmal (PNH)
Terdapat hubungan klinis yang sangat kuat antara anemia aplastik dan PNH.
Pada PNH, sel asal hematopoietik abnormal menurunkan populasi sel darah merah,
granulosit dan trombosit yang semuanya tidak mempunyai sekelompok protein
permukaan sel. Dasar genetic PNH adalah mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom
X yang menghentikan sintesis struktur jangkar glikosilfosfatidilinositol. Defisiensi protein
ini menyebabkan hemolisis intravascular, yang mengakibatkan ketidakmampuan eritrosit
untuk meng-inaktivasi komplemen permukaan. Tidak adanya protein tersebut mudah
dideteksi dengan flow cytometry eritrosit dan leukosit, tes Ham, dan sukrosa sekarang
sudah ketinggalan jaman (obsolete).
Telah lama diketahui bahwa beberapa pasien PNH akan mengalami kegagalan
sumsum tulang, dan sevaliknya, PNH dapat ditemukan sebagai peristiwa klonal lanjut
bertahun-tahun setelah diagnosis anemia aplastik. Pemeriksaan flow cytometry
memperlihatkan bahwa sejumlah besar pasien dengan kegagalan sumsum tulang
mengalami ekspansi klon PNH hematopoietic pada saat datang.
9. PENATALAKSANAAN ANEMIA APLASTIK
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan
monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial
mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien.
Manajemen Awal Anemia Aplastik
Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi

penyebab anemia aplastik.


Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan.
Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.
Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak
dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan
infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi

granulosit dari donor yang belum mendapat terapi GCSF.


Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas
pasien, orang tua dan saudara kandung pasien. Pengobatan spesifik aplasia sumsum
tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi
imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi

siklofosfamid. Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau


transplantasi sumsum tulang.
Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling
donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan
untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi imunosupresif atau
transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi
sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease).
Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi
imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan
anemia aplastik.
Alogaritma Penanganan Klien Anemia Aplastik Berat

a. Pengobatan Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red
cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan
penyakit kardiovaskular. Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari
20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar
trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit
donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan
zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang
cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai
profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih
parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.
b. Terapi Imunosupresif

Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin


(ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG
diindikasikan pada :
Anemia aplastik bukan berat
Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat
pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih
dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui
koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung
atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.Karena merupakan produk biologis, pada
terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan
bersama-sama dengan kortikosteroid. Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya
dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik.
Protocol Pemberian ATG
Dosis test ATG :
ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan
dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya.
Bila tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan.
Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :
Asetaminofen 650 mg peroral
Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus
Hidrokortison 50 mg intravena perbolus
Terapi ATG :
ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :
Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG dan
dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum sickness,
tapering dosis setiap 2 minggu.
Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal
kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau
lebih mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan bila
terdapat kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati.
Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi
ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada
anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi
sebesar 46%.

Pemberian

dosis

tinggi

siklofosfamid

juga

merupakan

bentuk

terapi

imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar
aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan
dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif daripada
myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas sebab
toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan
siklosporin. Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk imunosupresif
yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi
dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75%
respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps
dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.
c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies)
Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktorfaktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolic Pasien yang refrakter
dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus imunosupresi ATG
ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda tercapai dengan
siklus kedua ATG kelinci.
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte- Colony
Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi
neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh
stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik
tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi GCSF dengan terapi imunosupresif telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada
kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan
pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan
sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastik
ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan
sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.
d. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia
aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi,
transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya
sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA).
Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum
dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi
imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan

beratnya

reaksi

penolakan

sumsum

tulang

donor

(Graft

Versus

Host

Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih
jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.

Kelangsungan Hidup Klien dengan Transplantasi Sumsum Tulang dari Donor Saudara dengan
HLA yang Cocok Hubungannya dengan Umur
Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih
baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif. Pasien dengan umur kurang
dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi
sumsum tulang dapat dipertimbangkan. Akan tetap survival pasien yang menerima
transplanasi sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek
daripada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali. Pada pasien
yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi selama beberapa
bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari donor yang bukan
potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi
penolakan cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation (EBMT)
adalah sebagai berikut:

Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan

trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.


Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3 dan

trombosit dibawah 100.000/mm3.


Refrakter : tidak ada perbaikan.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ANEMIA APLASTIK


PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Kaji nama klien, jenis kelamin, agama, suku/ bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
2. Status kesehatan saat ini
Keluhan utama : pada keluhan utama akan nampak semua apa yang dirasakan klien pada
saat itu seperti kelemahan, nafsu makan menurun dan pucat.
3. Riwayat kesehatan saat ini
Bagaimana proses klien dibawa ke rumah sakit dan penanganan awal yang telah dilakukan
baik oleh keluarga maupun tenaga kesehatan.
4. Riwayat kesehatan terdahulu
Kaji riwayat penyakit yang pernah di derita klien sebelumnya. Kaji pula apakah tanda-tanda
anemia aplastik telah muncul sejak klien kecil.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah keluarga juga ada yang menderita penyakit anemia aplastik.
6. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : tampak pucat
b. Kesadaran : komposmentis, GCS 4-5-6
c. Tanda vital
Tensi : 100/60 mmHg
Nadi : 96 kali/menit, kualitas kuat
Suhu : 35,6 C
Respirasi : 24 kali/menit, teratur
Berat Badan : 28 Kg (79% standar BB/U)
Tinggi Badan : 128 cm (89 % standar TB/U)
d. Kulit : Kulit berwarna sawo matang, tidak ada sianosis, tidak ditemukan hemangioma,
tidak ditemukan hematom/purpura/ ekimosis di bawah kulit, turgor cepat kembali,
kelembaban cukup, kulit tampak pucat.
e. Kepala/leher
Kepala : Bentuk kepala simetris, ukuran mesosefali, ubun-ubun besar datar, ubun-ubun
kecil sudah menutup.
Rambut : Rambut berwarna hitam, tebal, distribusi merata, tidak terdapat alopesia.
Mata : Palpebra tidak edema, alis dan bulu mata tidak mudah dicabut dan tidak mudah
rontok, konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik, produksi air mata cukup, pupil berdiameter
3mm/3 mm, isokor, reflek cahaya +/+, kornea jernih.
Telinga : Bentuk normal, simetris, tidak ada secret, serumen minimal, nyeri tidak ada.
Hidung : Hidung berbentuk normal, simetris, tidak terdapat pernapasan cuping hidung,
tidak terdapat epistaksis, kotoran hidung minimal.
Mulut : Bentuk tidak ada kelainan, mukosa bibir basah, bercak darah (-). Gusi tidak
berdarah dan tidak bengkak. Bibir tampak anemis.
Lidah : Bentuk simetris, anemis, tidak tremor, tidak kotor, warna merah keputihan.
Pharing : Tidak tampak hiperemis, tidak edema, tidak ada abses, tidak ada
pseudomembran.

Tonsil : Warna merah muda, tidak membesar, tidak ada abses/pseudomembran.


f. Leher : Pada vena jugularis tidak teraba pulsasi, tekanan vena jugularis tidak meningkat,
pembesaran kelenjar leher tidak teraba, kuduk kaku tidak ditemukan, massa tidak ada,
tortikolistidak ditemukan.
g. Toraks
Pulmo
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ditemukan retraksi dinding dada Pernapasan: Inspirasi
dan ekspirasi normal, frekuensi 24 kali/menit, teratur
Palpasi : Pergerakan napas dada simetris, fremitus fokal simetris kanan dan kiri
Perkusi : Suara ketok sonor
Auskultasi : Suara napas vesikuler, tidak ditemukan ronki dan wheezing
Jantung
Inspeksi : Tidak terlihat adanya vousseure cardiaque, pulsasi dan ictus
Palpasi : Tidak teraba adanya thrill, apeks tidak teraba
Perkusi : Batas kanan : ICS IV LPS kanan
Batas kiri : ICS V LMK kiri
Batas atas : ICS II LPS kanan
Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, tidak terdapat bising, tidak ada takikardia, frekuensi 96
kali/menit, reguler
h. Abdomen
Inspeksi : Bentuk cembung, simetris
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba (tidak ada organomegali), tidak ditemukan massa
Perkusi : Suara ketuk timpani, tidak ditemukan adanya asites Auskultasi : Bising usus (+)
normal
Ekstremitas
Umum : Akral hangat, tidak edema, tidak ada parese, kedua telapak tangan dan kaki

i.

tampak pucat
Neurologis : Gerakan normal, tonus tidak meningkat, tidak ada atrofi, tidak didapatkan
klonus, reflek fisiologis tidak meningkat, reflek patologis tidak ada. Sensibilitas normal.
Tanda rangsangan meningeal tidak ada
j. Susunan saraf : Dalam batas normal
k.
Genitalia : Jenis kelamin laki-laki. Pemeriksaan genitalia tidak didapatkan adanya
kelainan
Anus : Positif, tidak ada kelainan

l.

Aktivitas/ istirahat
Gejala: keletihan, kelemahan, malaise umum. Kehilangan produktivitas/; penurunan
semangat untuk bekerja. Toleransi terhadap latihan rendah. Kebutuhan untuk tidur dan
istirahat lebih banyak.
Tanda:takikardia/takipnae; dispnea pada waktu bekerja atau istirahat. Letargi, menarik
diri, apatis, lesu, dan kurang tertarik pada sekitarnya. Kelemahan otot, dan penurunan
kekuatan. Tubuh tidak tegak. Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-

tanda lain yang menunujukkan keletihan.


Sirkulasi

Tanda: TD: peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi melebar,
hipotensi postural. Disritmia: abnormalitas EKG, depresi segmen ST dan pendataran
atau depresi gelombang T; takikardia. Bunyi jantung: murmur sistolik (DB). Ekstremitas
(warna): pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjungtiva, mulut, faring, bibir) dan
dasar kuku. (catatan: pada pasien kulit hitam, pucat dapat tampak sebagai keabuabuan). Kulit seperti berlilin, pucat (aplastik, AP) atau kuning lemon terang (AP). Sklera:
biru atau putih seperti mutiara (DB). Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran
darah ke kapiler dan vasokontriksi kompensasi) kuku: mudah patah, berbentuk seperti
sendok (koilonikia) (DB). Rambut: kering, mudah putus, menipis, tumbuh uban secara

premature (AP).
Eliminasi
Gejala: Riwayat pielonefritis, gagal ginjal. Flatulen, sindrom malabsorpsi (DB).
Hematemesis, feses dengan darah segar, melena. Diare atau konstipasi. Penurunan

haluaran urine.
Tanda: distensi abdomen.
Integritas ego
Gejala: Keyakinanan agama/budaya mempengaruhi pilihan pengobatan, misalnya
penolakan transfusi darah.
Tanda: Depresi.
Makanan / cairan
Gejala: penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani rendah/masukan produk
sereal tinggi. Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring).
Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia. Adanya penurunan berat badan. Tidak pernah puas
mengunyah atau peka terhadap es, kotoran, tepung jagung, cat, tanah liat, dan
sebagainya.
Tanda: lidah tampak merah daging/halus; defisiensi asam folat dan vitamin B12).
Membrane mukosa kering, pucat. Turgor kulit: buruk, kering, tampak kisut/hilang
elastisitas. Stomatitis dan glositis (status defisiensi). Bibir: selitis, misalnya inflamasi bibir

dengan sudut mulut pecah.


Hygiene
Gejala : Keletihan / kelemahan
Tanda : Penampilan tidak rapi.
Neurosensori
Gejala: Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo,

tinnitus, ketidak mampuan

berkonsentrasi. Insomnia, penurunan penglihatan, dan bayangan pada mata.


Kelemahan, keseimbangan buruk, kaki goyah; parestesia tangan/kaki; klaudikasi.
Sensasi manjadi dingin.
Tanda: Peka rangsang, gelisah, depresi cenderung tidur, apatis. Mental: tak mampu
berespons, lambat dan dangkal. Oftalmik: hemoragis retina (aplastik). Epitaksis:

perdarahan dari lubang-lubang (aplastik). Gangguan koordinasi, ataksia, penurunan

rasa getar, dan posisi, tanda Romberg positif, paralysis.


Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri pada punggung, sakit kepala.
Tanda : Penurunan rentang gerak, gelisah.
Pernafasan
Gejala : Dispnea saat bekerja.
Tanda : Mengi
Keamanan
Gejala: riwayat pekerjaan terpajan terhadap bahan kimia. Riwayat terpajan pada
radiasi; baik terhadap pengobatan atau kecelekaan. Riwayat kanker, terapi kanker.
Tidak toleran terhadap dingin dan panas. Transfusi darah sebelumnya. Gangguan
penglihatan, penyembuhan luka buruk, sering infeksi.
Tanda: demam rendah, menggigil, berkeringat malam, limfadenopati umum. Ptekie dan

ekimosis (aplastik).
Seksualitas
Gejala : Kehilangan libido.
7. Pemeriksaan laboratorium
Hematologi
Hb : kurang dari L : 13,0-17,5 gr%; P : 11,5-15,5 gr%
Leukosit : kurang dari : 4700 10.500 L
Hematokrit : kurang dari L : 40-50%; P : 35-45%)
Retikulosit : 0,04% corrected (normal : 0,5-1,5%)
Nilai absolut : 312/L (normal : 25.000-75.000)
Trombosit : kurang dari 150.000-350.000)
WBC : 2,1 x 103/L
RBC : 0,78 x 106/L
Lymph : 1,4 x103/L
HGB : 2,8 g/dL
Mid : 0,2 x103/L
HCT : 7,8%
Gran : 0,5 x 103/L
MCV : 100,8 fL
MCH : 35,8 pq
RDW-SD : 65,8 fL
MCHC : 35,8 g/dL
PLT : 5 x 103/L
RDW-CV : 18,,4 %
Apusan Darah Tepi
Eritrosit : normokromik normositik, anisositosis
Leukosit : kesan menurun, sel muda (-), limfositosis relatif
Trombosit : kesan jumlah sangat menurun
Kesan : pansitopenia
Saraf : BMA
Pemeriksaan Sumsum Tulang
Sediaan dipulas : Wright
Partikel : ada
Kepadatan sel : kurang
Sel lemak : banyak
Trombopoesis : menurun, megakaryosit tidak ditemukan

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Adapun kemungkinan diagnosa keperawatan pada klien anemia sel sabit baik aktual maupun
potensial adalah sebagai berikut :
a

Nyeri berhubungan dengan diogsigenasi jaringan (Hb menurun).

Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan fungsi / gangguan pada
sum-sum tulang.

Aktifitas intolerance berhubungan dengan kelemahan otot.

Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan porsi makan tidak dihabiskan.

Integritas kulit berhubungan dengan menurunnya aliran darah ke jaringan.

Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.

Kecemasan / kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang


penyakitnya.

INTERVENSI KEPERAWATAN
1.

Nyeri berhubungan dengan diogsigenasi jaringan (HB rendah)


Tujuan : Tidak merasakan nyeri,
Tindakan keperawatan
a. Kaji tingkat nyeri
Rasional: Dengan mengkaji tingkat nyeri dapat mempermudah dalam menentukan
intervensi selanjutnya.
b. Anjurkan klien teknik nafas dalam.
Rasional : Dengan menarik nafas dalam memungkinkan sirkulasi O2 ke jaringan
terpenuhi.
c. Bantu klien dalam posisi yang nyaman.
Rasional : Mengurangi ketegangan sehingga nyeri berkurang.
d. Kolaborasi pemberian penambah darah
Rasional : Membantu klien dalam menaikkan tekanan darah dan proses penyembuhan.

2.

Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan fungsi/ gangguan


sumsum tulang.
Tujuan : Perfusi jaringan adekuaT
Tindakan keperawatan :
a.

Ukur tanda-tanda vital:


Rasional : Untuk mengetahui derajat/ adekuatnya perfusi jaringan dan menentukan
intevensi selanjutnya.

b.

Tinggikan kepala tempat tidur klien

Rasional : Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigenasi untuk


kebutuhan seluler
c.

Pertahankan suatu lingkungan yang nyaman.


Rasional : Vasekonstriksi menurunkan sirkulasi perifer dan menghindari panas
berlebihan penyebab vasodilatasi.

d.

Anjurkan

klien

untuk

menghentikan

aktivitas

bila

terjadi

kelemahan.

Rasional : Stres kardiopulmonal dapat menyebabkan kompensasi.

3.

Aktivitas intolerance berhubungan dengan kelemahan otot


Tujuan : aktifitas toleransi,
Dengan kriteria : klien bisa melakukan gerakan motorik halus.
Tindakan keperawatan:
a.

Kaji tingkat aktifitas klien


Rasional : Untuk mengetahui aktivitas yang dilakukan klien dan untuk menetukan
intervensi selanjutnya.

b.

Dekatkan alat-alat yang dibutuhkan klien


Rasional : Untuk membantu klien dalam memenuhi kebutuhannya.

c.

Bantu pasien dalam melakukan latihan aktif dan pasif


Rasional : Untuk meningkatkan sirkulasi jaringan

d.

Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan ADLnya.


Rasional : Dengan bantuan perawat dan keluarga klien dapat memenuhi kebutuhannya.

e.

Berikan lingkungan tenang


Rasional : Meningkatkan istirahat untuk menurunkan regangan jantung dan paru.

4.

Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan porsi makan tidak dihabiskan.
Tujuan : Nutrisi terpenuhi
Dengan kriteria : nafsu makan meningkat, porsi makan dihabiskan.
Tindakan keperawatan :
a.

Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai


Rasional : Mengidentifikasi efisiensi, menduga kemungkinan intervensi.

b.

Anjurkan klien makan sedikit-sedikit tapi sering dan bervariasi


Rasional : Pemasukan makanan atau menambah kekuatan dan diberikan sedikit-sedikit
agar pasien tidak merasa bosan.

c.

Beri HE tentang pentingnya makanan atau gizi


Rasional : Makanan yang bergizi dapat mempercepat penyembuhan penyakitnya.

d.

Timbang berat badan setiap hari.


Rasional : Mengawasi penurunan BB atau efektivitas intervensi nutrisi.

e.

Penatalaksanaan pemberian vitamin B1.


Rasional : Vitamin bisa menambah nafsu makan.

f.

Konsul pada ahli gizi


Rasional : Membantu dalam membuat rencana diit untuk memenuhi kebutuhan individu.

5.

Gangguan integritas kulit berhubungan dengan menurunnya aliran darah ke jaringan


Tujuan : Mempertahankan integritas kulit
Dengan kriteria : kulit segar, sirkulasi darah lancar
Tindakan keperawatan .
a. Kaji

integritas

kulit,

catat

pada

perubahan

turgor,

gangguan

warna

Rasional : Kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi dan imobilitas


b. Anjurkan permukaan kulit kering dan bersih
Rasional : Area lembab, terkontamiansi memberikan media yang sangat baik untuk
pertumbuhan organisme patogenik
c. Ubah posisi secara periodik
Rasional : Meningkatkan sirkulasi ke semua area kulit membatasi iskemia jaringan /
mempengaruhi hipoksia selular.
d. Tinggikan ekstremitas bawah bila duduk
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena menurunkan statis vena / pembentukan
edema.
6.

Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit


Tujuan : Mencegah / menurunkan resiko infeksi
Tindakan keperawatan
a) Berikan perawatan kulit

Rasional : Menurunkan resiko kerusakan kulit / jaringan dan infeksi


b) Dorong perubahan posisi / ambulasi yang sering
Rasional : Meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan membantu mobilisasi
sekresi
c) Tingkatkan masukan cairan adekuat
Rasional : Membantu dalam mengencerkan sekret pernafasan untuk mempermudah
pengeluaran dan mencegah statis cairan tubuh
d) Pantau suhu, catat adanya menggigil dan takikardia.
Rasional : Adanya proses inflamasi / infeksi membutuhkan evaluasi / pengobatan.
7.

Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakitnya


Tujuan : Memahami tentang penyakitnya, mau menerima keadaan penyakitnya, klien tidak
bertanya tentang penyakitnya
Tindakan keperawatan
a)

Berikan informasi tentang penyakitnya


Rasional : Memberikan dasar pengetahuan sehingga pasien dapat membuat pilihan
yang tepat, menurunkan ansietas dan dapat meningkatkan kerjasama dalam program
terapi

b)

Kaji pengetahuan pasien tentang penyakitnya


Rasional : Memberi pengetahuan berdasarkan pola kemampuan klien untuk memilih
informasi

c)

Dorong mengkonsumsi sedikitnya 4 6 liter cairan perhari


Rasional : Mencegah dehidrasi dan konsekuensi hiperviskositas yang dapat membuat
sabit / krisis.

d)

Dorong latihan rentang gerak dan aktivitas fisik teratur


dengan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
Rasional : Mencegah demineralisasi tulang dan dapat menurunkan resiko fraktur.

DAFTAR PUSTAKA
Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001;501-8.
Bakshi S. 2009. Aplastic Anemia. http://www.emedicine.com/med/ topic162.html. Diakses pada
tanggal 5 September 2015 Pukul 17.00 WIB.
Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic Principles and
Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000.

Niazzi M, Rafiq F. 2008. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia.


http://www.jpmi.org/org_detail.asp. Dikases pada tanggal 5 September 2015 Pukul 17.25
WIB.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. IPD FKUI Pusat. Jakarta.
Sembiring, Samuel PK. 2009. Anemia Aplastik. http:/www.morphostlab.com. Diakses pada
tanggal 5 september 2015 Pukul 17.14 WIB.
Alkhouri, Nabiel and Solveig G Ericson. Aplastic Anemia : Review of Etiology and Treatment.
Hospital Physician ; 1999.
Bakta, I Made Prof,dr. Hematologi Klinis Ringkas. Jakarta : EGC ; 2006.
Suriadi, Yuliani R. (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. Jakarta, CV Sagung Seto.

S-ar putea să vă placă și