Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Oleh :
DANASTRI DANNISWARI
115070201111023
DEFINISI ANEMIA
a. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass)
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh
penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). (Bakta, 2009)
Kriteria Anemia menurut WHO
Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dL
Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL
Wanita hamil Hb < 11 gr/dL
b. Anemia adalah penurunan kadar hemoglobin dalam sirkulasi darah. Ada tiga kelompok besar
anemia:
Perdarahan secara berlebihan. Misalnya perdarahan saluran cerna, keluarnya darah haid
KLASIFIKASI ANEMIA
Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis : (Bakta.2009)
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. ANEMIA APLASTIK
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
B. Anemia akibat perdarahan
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
c.
Anemia aplastik didapat merupakan kelainan hematologi yang serius yang memiliki karakteristik
berupa pansitopenia dan aplasia atau hipoplasia sumsum tulang.
Anemia Aplastik
Sangat Berat
Anemia Aplastik Bukan
Berat
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi,
kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak
diketahui.
Anemia
yang
Aplastik
Didapat
(Acquired
Aplastic Anemia)/
Anemia
Aplastik
Sekunder
Anemia
yang
Aplastik
diturunkan
(Inherited Aplastic
Anemia)/ Anemia
Aplastic Ideopatik
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
a. Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel dan
progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis yang
aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif. Bila stem sel hematopoiesis yang terkena
maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan
menyebabkan fibrosis. Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis
dan luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat digunakan
sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan
lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang
menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada
sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads
untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1
dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi
yang lebih tinggi Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada
dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan
jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.
b. Bahan-Bahan Kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia aplastik
dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti insektisida dan
logam berat juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan kerusakan sumsum
c.
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang disebut
resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik
cell anemia,
sferositosis
Pada pasien
yang
memungkinkan agen-agen infeksius, dan pajanan toksik yang prevalensinya lebih sering
terjadi pada individu dengan status sosioekonomi yang rendah.
5. MANIFESTASI KLINIK ANEMIA APLASTIK
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang
timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan
anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe deffort, palpitasi
cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan
granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi
sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat
sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir
atau pendarahan di organ-organ. Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik
yang sering dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi
kadang-kadang juga dikeluhkan. Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada
pemeriksaan rutin Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi.
Keluhan yang Dirasakan Klien
Jenis Keluhan
Pendarahan
Lemah badan
Pusing
Jantung berdebar
Demam
Nafsu makan berkurang
Pucat
Sesak nafas
Penglihatan kabur
Telinga berdengung
%
83
80
69
36
33
29
26
23
19
13
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel 5
terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan
ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya
bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak
ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan
diagnosis.
Hasil Pemeriksaan Fisik yang Ditemukan pada Klien
Jenis Pemeriksaan Fisik
Pucat
Pendarahan
Kulit
Gusi
%
100
63
34
26
20
7
Retina
Hidung
Saluran cerna
Vagina
6
3
16
7
0
Demam
Hepatomegali
Splenomegali
6. PATOFISIOLOGI ANEMIA APLASTIK
Terlampir
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
A. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah Tepi
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis anemia
adalah normokromik normositik. Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis,
anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam
darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan
rendah. Limfositosis relatif ditemukan pada lebih dari 75% kasus.
Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil kasus,
persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi
terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte count) maka diperoleh persentase
retikulosit normal atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi
menandakan bukan anemia aplastik.
Perbedaan antara gambaran sumsum tulang normal dan sumsum tulang aplastik
dapat dilihat pada gambar berikut.
c. Faal Hemostasis
Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh
trombositopenia. Fase hemostasis lainnya normal.
d. Sumsum Tulang
Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin teraspirasi,
maka sering diperlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi
sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik. Hasil pemeriksaan
sumsum tulang sesuai criteria diagnosis.
e. Virus
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus Hepatitis, HIV,
parvovirus dan sitomegalovirus.
f.
anemia aplastik.
B. Pemeriksaan Radiologik
a. Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan
karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang ebrlemak
dan sumsum tulang berseluler.
b. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah
disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag
sumsum tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada transferin. Dengan
bantuan scan sumsum tulang dapat ditemukan daerah hemopoiesis aktif untuk
memperoleh sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel induk.
8. DIAGNOSA BANDING
Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi menunjukkan aplasia, namun hiposelularitas
sumsum dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji diagnostic yang baru telah
sirkulasi,
blas
di
ssirkulasi,
cincin
sideroblas,
disgranulopoiesis,
diagnosis
antara
anemia
aplastik
dan
mDS.
Penelitian
terbaru
menganjurkan bahwa pada kasus anemia aplastik dengan monosomi 7 harus dievaluasi
secara teliti untuk dismegakaryosit yang dapat mengindikasikan MDS.
a. Pengobatan Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red
cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan
penyakit kardiovaskular. Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari
20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar
trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit
donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan
zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang
cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai
profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih
parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.
b. Terapi Imunosupresif
Pemberian
dosis
tinggi
siklofosfamid
juga
merupakan
bentuk
terapi
imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar
aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan
dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif daripada
myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas sebab
toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan
siklosporin. Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk imunosupresif
yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi
dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75%
respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps
dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.
c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies)
Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktorfaktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolic Pasien yang refrakter
dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus imunosupresi ATG
ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda tercapai dengan
siklus kedua ATG kelinci.
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte- Colony
Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi
neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh
stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik
tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi GCSF dengan terapi imunosupresif telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada
kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan
pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan
sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastik
ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan
sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.
d. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia
aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi,
transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya
sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA).
Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum
dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi
imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan
beratnya
reaksi
penolakan
sumsum
tulang
donor
(Graft
Versus
Host
Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih
jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.
Kelangsungan Hidup Klien dengan Transplantasi Sumsum Tulang dari Donor Saudara dengan
HLA yang Cocok Hubungannya dengan Umur
Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih
baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif. Pasien dengan umur kurang
dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi
sumsum tulang dapat dipertimbangkan. Akan tetap survival pasien yang menerima
transplanasi sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek
daripada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali. Pada pasien
yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi selama beberapa
bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari donor yang bukan
potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi
penolakan cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation (EBMT)
adalah sebagai berikut:
i.
tampak pucat
Neurologis : Gerakan normal, tonus tidak meningkat, tidak ada atrofi, tidak didapatkan
klonus, reflek fisiologis tidak meningkat, reflek patologis tidak ada. Sensibilitas normal.
Tanda rangsangan meningeal tidak ada
j. Susunan saraf : Dalam batas normal
k.
Genitalia : Jenis kelamin laki-laki. Pemeriksaan genitalia tidak didapatkan adanya
kelainan
Anus : Positif, tidak ada kelainan
l.
Aktivitas/ istirahat
Gejala: keletihan, kelemahan, malaise umum. Kehilangan produktivitas/; penurunan
semangat untuk bekerja. Toleransi terhadap latihan rendah. Kebutuhan untuk tidur dan
istirahat lebih banyak.
Tanda:takikardia/takipnae; dispnea pada waktu bekerja atau istirahat. Letargi, menarik
diri, apatis, lesu, dan kurang tertarik pada sekitarnya. Kelemahan otot, dan penurunan
kekuatan. Tubuh tidak tegak. Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-
Tanda: TD: peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi melebar,
hipotensi postural. Disritmia: abnormalitas EKG, depresi segmen ST dan pendataran
atau depresi gelombang T; takikardia. Bunyi jantung: murmur sistolik (DB). Ekstremitas
(warna): pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjungtiva, mulut, faring, bibir) dan
dasar kuku. (catatan: pada pasien kulit hitam, pucat dapat tampak sebagai keabuabuan). Kulit seperti berlilin, pucat (aplastik, AP) atau kuning lemon terang (AP). Sklera:
biru atau putih seperti mutiara (DB). Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran
darah ke kapiler dan vasokontriksi kompensasi) kuku: mudah patah, berbentuk seperti
sendok (koilonikia) (DB). Rambut: kering, mudah putus, menipis, tumbuh uban secara
premature (AP).
Eliminasi
Gejala: Riwayat pielonefritis, gagal ginjal. Flatulen, sindrom malabsorpsi (DB).
Hematemesis, feses dengan darah segar, melena. Diare atau konstipasi. Penurunan
haluaran urine.
Tanda: distensi abdomen.
Integritas ego
Gejala: Keyakinanan agama/budaya mempengaruhi pilihan pengobatan, misalnya
penolakan transfusi darah.
Tanda: Depresi.
Makanan / cairan
Gejala: penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani rendah/masukan produk
sereal tinggi. Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring).
Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia. Adanya penurunan berat badan. Tidak pernah puas
mengunyah atau peka terhadap es, kotoran, tepung jagung, cat, tanah liat, dan
sebagainya.
Tanda: lidah tampak merah daging/halus; defisiensi asam folat dan vitamin B12).
Membrane mukosa kering, pucat. Turgor kulit: buruk, kering, tampak kisut/hilang
elastisitas. Stomatitis dan glositis (status defisiensi). Bibir: selitis, misalnya inflamasi bibir
ekimosis (aplastik).
Seksualitas
Gejala : Kehilangan libido.
7. Pemeriksaan laboratorium
Hematologi
Hb : kurang dari L : 13,0-17,5 gr%; P : 11,5-15,5 gr%
Leukosit : kurang dari : 4700 10.500 L
Hematokrit : kurang dari L : 40-50%; P : 35-45%)
Retikulosit : 0,04% corrected (normal : 0,5-1,5%)
Nilai absolut : 312/L (normal : 25.000-75.000)
Trombosit : kurang dari 150.000-350.000)
WBC : 2,1 x 103/L
RBC : 0,78 x 106/L
Lymph : 1,4 x103/L
HGB : 2,8 g/dL
Mid : 0,2 x103/L
HCT : 7,8%
Gran : 0,5 x 103/L
MCV : 100,8 fL
MCH : 35,8 pq
RDW-SD : 65,8 fL
MCHC : 35,8 g/dL
PLT : 5 x 103/L
RDW-CV : 18,,4 %
Apusan Darah Tepi
Eritrosit : normokromik normositik, anisositosis
Leukosit : kesan menurun, sel muda (-), limfositosis relatif
Trombosit : kesan jumlah sangat menurun
Kesan : pansitopenia
Saraf : BMA
Pemeriksaan Sumsum Tulang
Sediaan dipulas : Wright
Partikel : ada
Kepadatan sel : kurang
Sel lemak : banyak
Trombopoesis : menurun, megakaryosit tidak ditemukan
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Adapun kemungkinan diagnosa keperawatan pada klien anemia sel sabit baik aktual maupun
potensial adalah sebagai berikut :
a
Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan fungsi / gangguan pada
sum-sum tulang.
Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan porsi makan tidak dihabiskan.
INTERVENSI KEPERAWATAN
1.
2.
b.
d.
Anjurkan
klien
untuk
menghentikan
aktivitas
bila
terjadi
kelemahan.
3.
b.
c.
d.
e.
4.
Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan porsi makan tidak dihabiskan.
Tujuan : Nutrisi terpenuhi
Dengan kriteria : nafsu makan meningkat, porsi makan dihabiskan.
Tindakan keperawatan :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
5.
integritas
kulit,
catat
pada
perubahan
turgor,
gangguan
warna
b)
c)
d)
DAFTAR PUSTAKA
Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001;501-8.
Bakshi S. 2009. Aplastic Anemia. http://www.emedicine.com/med/ topic162.html. Diakses pada
tanggal 5 September 2015 Pukul 17.00 WIB.
Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic Principles and
Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000.