Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
PENDAHULUAN
Penyakit HIE merupakan salah satu penyebab ensefalopati yang sering terjadi pada
neonatus. Pada negara yang memiliki pelayanan perinatal yang tinggi, insidens dari asfiksia yang
menyebabkan ensefalopati tingkat sedang sampai parah mencapai 1-3 per 1000 kelahiran
hidup.1,3 Keadaan ensefalopati ini dapat menyebabkan adanya kebutuhan untuk mendapatkan
resusitasi saat lahir, depresi neurologis, kejang atau kelainan elektroensephalografi. Keadaan HIE
merupakan penyebab utama dari mortalitas perinatal dan kelainan neurologis yang parah.
Angka kematian untuk penyakit ini mencapai 10 persen pada kasus sedang dan 60 persen
pada kasus yang berat. Sekitar 30 persen anak yang mengalami HIE sedang dan 100 persen anak
yang mengalami HIE berat akan mengalami kelainan neurologis yang permanen. 1 Kelainan ini
antara lain seperti retardasi mental, disfungsi visual motorik atau visual perseptif, peningkatan
reaktifitas, cerebral palsy, dan epilepsi. Karena besarnya beban yang ditimbulkan akibat HIE ini,
maka penyakit ini dapat membuat masalah yang besar bagi pasien, keluarganya, dan masyarakat
di sekitarnya.3
Pada orang dewasa, kebanyakan kasus HIE terjadi akibat terhentinya sistem
kardiopulmoner, hipotensi atau hipertensi yang parah, trauma, dan trombosis sinus vena.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Untuk menentukan apakah kebutuhan energi seorang bayi telah tercukupi, kita harus
melakukan pengawasan terhadap pertumbuhan berat, panjang dan berat badan menurut panjang
badan menurut usia. Kemudian dari data ini dilakukan plot ke grafik pertumbuhan yang normal
dan dilakukan pembacaan kesimpulannya. Dalam hal ini, penting untuk mengetahui kapan masa
untuk mengejar ketertinggalan (catch up) pada periode pertumbuhan dapat terjadi. Apabila
terjadi penurunan laju pertumbuhan atau bahkan mengalami penurunan berat badan, maka hal ini
harus diinvestigasi secara seksama. Sebaliknya apabila seorang bayi mengalami pertumbuhan
yang terlalu cepat dibanding umurnya, maka harus dievaluasi ulang pemberian susu formula atau
makanan yang dimakan oleh bayi tersebut.11
2.2.
Patofisiologi
Ensefalopati timbul akibat kombinasi dari penurunan oksigenasi serebral (hipoksia) dan
penurunan perfusi aliran darah ke otak (iskemia). Kerusakan pada otak muncul dengan dua fase
yang dapat dibedakan. Pertama, pada fase akut akan terjadi kematian neuron akibat nekrosis dari
sel, hal ini menandakan dari penurunan yang cepat dari energi pada otak. Penurunan energi akan
membuat pengaktifan dari metabolisme anaerob yang akan menyebabkan penumpukan asam
laktat dan ion H+. Dengan pembentukan laktat yang berjalan progresif, maka akan menyebabkan
gangguan pada autoregulasi vaskular, inhibisi dari aktivitas phosphofruktokinase akibat pH yang
rendah, dan kaskade yang menyebabkan kerusakan sel. Beberapa jam setelahnya, energi
metabolisme otak akan kembali pulih namun kaskade dari senyawa biokimia telah diaktifkan dan
membuat kematian neuron dan membuat kerusakan otak yang parah. Keadaan ini dimulai
dengan kegagalan pompa NA+-K+ ATP dependen. Hal ini menyebabkan penumpukan Na+, Ca+
+, dan air (sitotoksik edema) yang diikuti dengan depolarisasi membran dan peningkatan
berlebihan neurotransmitter eksitasi termasuk diantaranya glutamat. 1,3,4 Glutamat bekerja pada
tiga jenis kelas reseptor yang mengontrol jalan dari kanal ion melalui reseptor membran sel
neuron: alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionate (AMPA), kainate and Nmethyl-D-aspartate (NMDA). Neuron memiliki konsentrasi glutamat yang tinggi dan biasanya
2
dilepaskan dalam jumlah yang sedikit dan jangka waktu yang sebentar. Adanya konsentrasi
glutamat yang tinggi dapat memuat sel saraf mengalami eksitasi berlebih dan dapat
menyebabkan kematian pada sel tersebut. Hal ini ikut berkontribusi juga terhadap kerusakan
saraf yang terjadi pada beberapa penyakit neurodegeneratif. Glutamat mengaktifkan reseptor
AMPA, membuat sel mengalami depolarisasi dan membuat penghilangan dari voltage dependent
block yang dioperasikan oleh Mg++ pada reseptor NMDA. Hal ini membuat masuknya Ca++
melalui kanal ion ini dan menstimulasi proses yang dapat menyebabkan nekrosis dan apoptosis.
Dalam proses ini juga menyebabkan peningkatan Ca++ yang berlebihan pada mitokondria
sehingga membuat produksi dari radikal bebas, aktivasi caspase dan pelepasan faktor yang
memicu apoptosis, aktivsi neuronal nitrit oksida sintetase (nNOS) yang memicu sintesis dari
nitrit oksida (NO) dan pembentukan toxic preoxynitrite dan nitrosylated-GAPDH, stimulasi p38
mitogen-activated protein kinase (p38 MAPK), yang mengaktifkan transkripsi dari faktor yang
masuk ke nukleus dan memicu kerusakan neuron dan apoptosis. Antara kerusakan awal akut dan
ensuing damage yang diperantarai oleh pelepasan zat kimia yang bersifat toksik, ada periode jeda
(time window) yang dapat memungkinkan untuk melakukan tatalaksana sebagai neuroprotektif
bagi otak.1
Dalam kaitannya dengan glutamat, maka fenomena mengapa area yang kaya akan
glutamat dan reseptor eksitasi asam amino seperti gray matter dan area yang memiliki demand
metabolik yang lebih tinggi lebih rentan terhadap kerusakan hipoksia-iskemik dapat dijelaskan.4
Kelainan dasar penyakit ini adalah karena kurangnya oksigen dan aliran darah ke otak
yang diakibatkan kegagalan dari fungsi jantung dan sirkulasi atau dari jantung atau sistem
pernapasan. Kadang kedua hal ini sering timbul bersamaan dan tidak dapat diperkirakan mana
yang menyebabkan kelainan, oleh karena itu dipakai terminologi ensefalopati hipoksia-iskemik.2
Keadaan yang menyebabkan kurangnya suplai oksigen ke otak akibat dari kegagalan perfusi
serebral (iskemia) atau kurangnya kadar oksigen yang beredar pada arteri. Kondisi medis yang
sering menyebabkan kelainan ini, antara lain:
1. Penurunan dari aliran darah serebral (infark miokard, aritmia ventrikuler, diseksi aorta ,
syok sepsis)
2. Hipoksia dari keadaan yang menyebabkan sufokasi (tenggelam, jeratan, aspirasi hasil
muntah, kompresi trakea akibat massa atau perdarahan)
3. Penyakit pada otot pernafasan (Guillain-Barre syndrome, myasthenia, poliomyelitis)
4. Keracunan karbonmonoksida2
3
2.3.
Klasifikasi
2.4.
1. Bilateral
2. Selective neuronal necrosis: kerusakan terjadi pada gray matter. Daerah korteks dan gray
matter lebih sering terkena karena neuron lebih rentan terhadap keadaan hipoksia
dibandingkan oligodendroglia atau astrosit, mikroglia dan pembuluh darah. Jumlah
jaringan kapiler lebih banyak terdapat pada gray matter dibandingkan white matter yang
menandakan perbedaan keadaan metabolik diantara kedua jenis jaringan ini. Aktivitas
otak menentukan tingkat oksigenasi, metabolisme glukosa dan autoregulasi aliran darah
yang tergantung oleh variasi pada ion hidrogen, adenosin, dan nitrous oxide.
3. Cortical laminar necrosis: pada otak, lapisan korteks ketiga paling rentan terhadap
iskemia. Lapisan 5 dan 6 cukup resisten, sedangkan lapisan 2 dan 4 paling resisten.
Perbedaan susceptibility ini dapat membuat nekrosis yang terjadi terutama pada satu
lapisan. Kerusakan biasanya lebih berat pada kedalaman dan sisi dari sulkus
dibandingkan crest dari girus.
4. Phylogenetic susceptibility: bagian neurokorteks dan purkinje biasanya lebih rentan
terhadap HIE. Neuron yang tua (gray nuclei of the brain stem, globus pallidus dan
thalamus) lebih resisten dibandingkan bagian yang lebih muda (nukleus kaudatus dan
putamen).
Gambar 1. Phylogenic
susceptibility:
kavitasi
pada
nukleus
tampak
of
neuronal
involvement4:
bagian
korteks
oksipitoparietal
parah
terkena
dibandingkan
dengan
temporal.
Bagian
frontal
dan
oksipitoparietal
lebih
Gambar 2. Neuronal involvement: pada gambar DWI pasien 55 tahun yang mengalami henti
jantung daerah oksipitoparietal tampak lebih mengalami kelainan
2.5. Perjalanan waktu HIE
1. Acute phase (less than 24h)
Iskemia menyebabkan kegagalan dari metabolisme energi selular, disfungsi pompa ion,
dan kerusakan eksitotoksik akibat akumulasi dari glutamat. Hal ini membuat hilangnya
gradien ion dan perpindahan air dari ekstraseluler ke intraseluler yang dapat
menyebabkan edema sitotoksik. Keadaan edema sitotoksik ini dapat terjadi dalam
sepuluh menit setelah penurunan kritis dari aliran darah otak sampai dua jam setelah
terjadinya oklusi vaskuler pada model binatang. Pada manusia, diperkirakan keadaan ini
dapat lebih panjang, yakni antara 30 menit sampai 8-32 jam tergantung dari intensitas
kejadian iskemik dan keadaan reperfusi.
2. Early subacute phase (1-13th days)
Keadaan reperfusi umumnya heterogen dan masih kurang cukup untuk membuat aliran
darah kembali normal. Perkembangan dari edema vasogenik dan viskositas darah yang
tinggi compromise gerakan air dalam sel dan meningkatkan edema sitotoksik dan
vasogenik.
3. Late subacute phase (14th-30th days)
Edema berkurang dan atrofi muncul, menyebabkan dilatasi dari ventrikel. Breakdown
dari sawar otak dapat terlihat menyusul dari kerusakan neuron dan vaskular yang terjadi
pada korteks dan deep gray matter. Dapat muncul tanda nekrosis laminar korteks dan
deep gray nuclei yang ditandai dengan adanya perdarahan petekie sekunder dari
kerusakan sawar otak atau akumulasi dari makrofag. Pada saat ini dapat muncul delayed
postanoxic encephalopathy (0,1-2,8%). Kejadian ini memiliki karakteristik berupa
demielinisasi hemisfer serebral non inflamasi yang ekstensif dan biasanya menyerang
deep white matter tanpa involvement dari neuron.
4. Chronic phase (months-years)
Pada fase kronik, penemuan utama adalah hilangnya volume otak yang merefleksikan
kematian neuron dan tanda atrofi otak. Setelah 6 minggu terjadi gliosis dan ekspansi dari
jaringan ekstraseluler dan juga pengerutan serebelum dan retraksi dari basal ganglia.
Tanda dari necrosis laminar pada korteks dan basal ganglia juga dapat muncul dalam
waktu yang bervariasi.4
Peningkatan serupa juga dapat terjadi pada penurunan kadar hemoglobin mencapai 20 persen
waktu normal.2
Efek patologis kerusakan otak iskemik akibat hipotensi sistemik berbeda dengan
penyebab iskemik akibat anoksia. Dalam kondisi transient iskemik, salah satu bentuk pola
kerusakan yang terjadi adalah infark inkomplit pada daerah batas antara arteri serebral mayor.
Dengan adanya anoksia yang dominan, neuron yang terdapat pada hipokampus dan bagian dalam
folia serebelum paling rentan terhadap kerusakan. Apabila derajat iskemia atau hipoksia makin
berat, maka dapat menimbulkan kerusakan sampai ke lapisan tertentu dari neuron kortikal dan
apabila kerusakan lebih luas dapat menyebabkan kerusakan menyeluruh pada korteks serebri,
nucleus dalam, dan serebelum. Bagian inti dari struktur brainstem dan korda spinalis relatif lebih
resisten terhadap anoksia dan hipotensi dan bagian ini baru tidak berfungsi apabila korteks
serebri telah mengalami kerusakan yang sangat berat.2
Salah satu mekanisme dari kerusakan neuron saat mengalami iskemia adalah terhentinya proses
metabolisme aerob. Apabila sel neuron mengalami kekurangan energi, maka sel tidak dapat
mempertahankan integritasnya dan dapat menjadi nekrosis. Bentuk paling akut dari kematian sel
terjadi dengan karakteristik berupa pembengkakan yang masif dan nekrosis dari sel neuron dan
non neuron (edema sitotoksik).2
2.7. Gejala klinis HIE
Mild degree of hypoxia without loss of consciosness >>> inattentiveness, poor judgment
dan inkoordinasi. Decline in visual and verbal for long-term memory and mild aphasic error.
Profound anoxia may be well tolerated if terjadi secara gradual.2
Severe global ischemia with prolonged loss of consciousness >>> tanda klinis dapat
bervariasi. Contohnya pada pasien yang mengalami henti jantung, kesadaran dapat kembali
apabila pernafasan, oksigenasi dan fungsi jantung dapat kembali dalam waktu 3-5 menit. Akan
tetapi bila henti jantung terjadi lebih dari lima menit, biasanya akan terjadi kerusakan yang
permanen.
Secara umum, pasien anoksik yang fungsi brainstemnya masih intak memiliki
kemungkinan pulih kesadarannya lebih tinggi. Dalam hal ini fungsi brainstem dapat dinilai
dengan melakukan tes reflek cahaya pada pupil. Apabila kerusakan terjadi hampir total, maka
dapat terjadi koma, postur deserebrasi yang dapat muncul secara langsung atau dalam respons
terhadap stimulus nyeri dan dapat muncul refleks babinski bilateral. Pada 24-48 jam setelah,
maka dapat terjadi kematian yang timbul dalam keadaan hipertermi, koma yang semakin dalam,
dan kegagalan sirkulasi.2
Severe but lesser degree of hypoxia >>> pasien ini akan mengalami stabilisasi pada
pernafasan dan aktivitas jantungnya pada saat pertama kali diperiksa, namun masih tetap dalam
keadaan koma dengan mata yang sedikit divergen dan tidak bergerak, pupil yang masih reaktif
limbs inert dan flaccid atau intensely rigid dan reflex tendon diminished. Setelah beberapa menit
setelah aktivitas pernafasan dan jantung kembali, maka dapat terjadi kejang umum atau grouped
myoklonik twitches. Keduanya merupakan tanda prognosis yang buruk. Dengan derajat
kerusakan yang parah, korteks serebral dan serebelar dan sebagian dari thalamus dapat
mengalami kerusakan namun bagian brainstem-spinal dapat tetap bertahan. Keadaan ini disebut
juga sebagai kematian kortikal, ireversible coma, atau persistent vegetative state. Beberapa
pasien tetap mute, unresponsive, dan unaware terhadap lingkungannya dalam periode waktu
minggu, bulan atau bahkan sampai tahunan.2
Lesser degree of anoxic-ischemic >>> pasien mengalami perbaikan setelah periode koma
dalam jangka waktu beberapa jam atau kurang. Beberapa pasien dapat mengalami pulih secara
sempurna dan beberapa pasien ada yang mengalami disabilitas permanent dalam derajat yang
bervariasi.2
Pada gambaran imagingnya, perubahan yang paling sering terjadi pada kerusakan yang
berat adalah loss of distinction between the gray matter and white matter. Pasien dengan
gambaran imaging seperti ini mengalami keadaan koma yang bervariasi dan ada beberapa yang
dapat sadar dengan outcome neurologis yang baik.2
2.8. Keadaan khusus HIE
2.8.1.Posthypoxic neurologic syndrome
Sequale permanent posthypoxia :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
2,4
akan membuat penurunan metabolisme otak, radikal bebas, respons imun saat reperfusi, dan
menginhibisi pelepasan neurotransmiter yang bekerja untuk melakukan program apoptosis.
Terapi hipotermia ini telah direkomendasikan oleh American Heart Association dan European
Resuscitation Council dalam algoritma penanganan pasien yang baru mengalami keadaan henti
jantung ketika ritme jantung yang dideteksi adalah fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikular
pulseless dan dipertimbangkan untuk pengobatan ritme selain dari fibrilasi ventrikel. 4 Sebuah
penelitian mengungkapkan bahwa bila suhu tubuh pasien diturunkan sampai 33 C dalam 2 jam,
maka
akan
membuat
prognosis
yang
lebih
baik
pada
pasien
HIE.
Obat-obatan
vasodilator,glutamat bloker, dan ca channel blocker belum terbukti memiliki efek yang
menguntungkan pada pasien HIE. Penggunaan kortikosteroid dapat mengurangi pembengkakan
10
pada jaringan otak, namun dalam uji klinis belum menunjukkan manfaat yang jelas pada pasien
HIE.2
Bila ada gejala kejang, maka perlu dikontrol dengan metode yang sesuai dengan indikasi.
Bila kejang cukup parah, berlangsung terus menerus, dan tidak responsif terhadap pengobatan,
maka diperlukan infus secara terus menerus dari obat seperti midazolam atau propofol dan bisa
sampai ditambahkan obat neuromuskular blocking agent. Biasanya kejang akan berhenti setelah
beberapa jam dan kejadian kejang tersebut akan digantikan oleh gerakan polymyoclonus. Untuk
obat lanjutan dapat diberikan klonazepam 8-12 mg per hari dalam dosis yang terbagi. Akan tetapi
walaupun berguna, namun pemberian antikonvulsan ini hanya sedikit manfaatnya. Bila ada
demam, dapat diberikan antipiretik dan cooling blanket.2
2.11. Prognosis
13 persen pasien mengalami keadaan fungsi yang independen dalam jangka waktu satu
tahun setelah evaluasi awal. 25 persen pasien tidak memiliki refleks cahaya pada pupil, none of
whom regained independent function. 10 persen pasien yang memiliki pupil reaktif terhadap
cahaya, pergerakan mata, dan respons motorik memiliki prognosis yang baik pada setengah
kasusnya.2
Prognosis berdasarkan CT:
1. Reversal sign
2. White cerebellum sign
3. GM/WM differentiation4
5 tanda klinis setelah 1 hari cardiac arrest untuk menentukan prognosis:
1.
2.
3.
4.
Respons kornea
Reaktivitas pupil
Tidak ada withdrawal dengan rangsang nyeri
Tidak ada respons motorik
BAB III
KESIMPULAN
Masalah nutrisi merupakan salah satu aspek penting dalam tatalaksana sebuah penyakit.
Adanya malnutrisi pada seseorang dapat memperberat keadaan suatu penyakit. Oleh karena itu
sangat penting untuk memikirkan mengenai aspek nutrisi dalam setiap penyakit. Karena
11
tingginya resiko terkena malnutrisi pada Penyakit Jantung Bawaan, sebaiknya dukungan nutrisi
perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari perawatan rutin pada PJB dan dimulai pada saat
diagnosis.
Identifikasi risiko malnutrisi adalah langkah penting dalam penatalaksanaan bayi dengan
PJB dan gagal jantung kongestif. Dengan adanya diagnosis dari faktor resiko yang ada dan juga
terapi melalui koreksi bedah, maka hal ini dapat menghindarkan resiko kegagalan tumbuh
kembang akibat PJB apabila dilakukan sedini mungkin.
Dukungan nutrisi pada pasien yang mengalami malnutrisi pada Penyakit Jantung Bawaan
dapat dilakukan dengan nutrisi enteral dan nutrisi parenteral. Nutrisi enteral lebih dianjurkan
bilamana memungkinkan. Nutrisi parenteral total diindikasikan bila traktus gastrointestinal tidak
berfungsi atau kontraindikasi nutrisi enteral. Untuk nutrisi yang dibutuhkan oleh bayi dengan
PJB yang terkait malnutrisi memerlukan formula tinggi energi untuk mencapai mengejar
pertumbuhan yang terhambat.
Dafpus:, di
1. Filippi et al.Safety and efficacy of topiramate in neonates with hypoxic ischemic
encephalopathy treated with hypothermia (NeoNATI). BMC Pediatrics 2012,12:144.
2. Ropper AH, Samuels MA. Adams and Victors Principles of Neurology. 9th ed. The
Mcgraw Hill Companies. 2009. USA.
3. Lai MC, Yang SN. Perinatal Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. Journal of Biomedicine
and Biotechnology. 2011.
4. Gutierrez LG, et al. CT and MR in non-neonatal hypoxicischemic encephalopathy:
radiological findings with pathophysiological correlations
12
LAMPIRAN
13
14