Sunteți pe pagina 1din 8

Nama : Hana Rianti Nurfaridah

NPM : 150610130048
Kelas : B
Modernisasi Ritel Produk Pertanian
ProCon Perkembangan Ritel Modern di Indonesia
Perkembangan sangat cepat terjadi pada industri retail yang merupakan industri
perdagangan terakhir dalam rantai perdagangan. Studi ini bertujuan untuk mengetahui
kondisi industri retail di Indonesia. Metode yang digunakan yaitu dengan pendekatan yuridis
normatif. Bahan penelitian dikumpulkan dengan cara studi pustaka atau dokumen. Analisis
pemain retail modern dilakukan secara kualitatif, yaitu menerangkan bahan hukum yang
diperoleh dari kepustakaan setelah terlebih dahulu diseleksi, disusun secara sistematis
kemudian disimpulkan untuk mendapatkan gambaran atas jawaban permasalahan yang
berkaitan dengan penerapan aturan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat dalam industri retail. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pasar modern, yang selama ini
menunjukkan kinerja yang sangat baik, akan menghadapi tantangan. Salah satu tantangan
terbesar adalah potensi perlambatan laju pertumbuhan revenue sebagai dampak dari
perlambatan perekonomian yang diakibatkan oleh krisis global.
Bisnis retail adalah penjualan barang secara eceran pada berbagai tipe gerai seperti
kios, pasar, department store, butik dan lain-lain (termasuk juga penjualan dengan sistem
delivery service), yang umumnya untuk dipergunakan langsung oleh pembeli yang
bersangkutan. Bisnis retail di Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 kelompok besar, yakni
retail tradisional dan retail modern. Retail modern pada dasarnya merupakan pengembangan
dari retail tradisional. Format retail ini muncul dan berkembang seiring perkembangan
perekonomian, teknologi, dan gaya hidup masyarakat yang membuat masyarakat menuntut
kenyamanan yang lebih dalam berbelanja. Industri retail, terus tumbuh pesat, bukan hanya di
Indonesia, melainkan juga di Asia. Era retail modern menjelang Asean Economic Community
(AEC) 2015 diprediksi akan tumbuh lebih cepat. Hal itu didukung oleh banyak perusahaan
asing yang akan investasi di Indonesia.
Retail modern pertama kali hadir di Indonesia saat Toserba Sarinah didirikan pada
1962. Pada era 1970 s/d 1980-an, format bisnis ini terus berkembang. Awal dekade 1990-an
merupakan tonggak sejarah masuknya retail asing di Indonesia. Ini ditandai dengan
beroperasinya retail terbesar Jepang Sogo di Indonesia. Retail modern kemudian
berkembang begitu pesat saat pemerintah, berdasarkan Kepres no. 99 th 1998, mengeluarkan
bisnis retail dari negative list bagi Penanaman Modal Asing. Sebelum Kepres 99 tahun 1998
diterbitkan, jumlah peretail asing di Indonesia sangat dibatasi. Saat ini, jenis-jenis retail
modern di Indonesia sangat banyak meliputi Pasar Modern, Pasar Swalayan, Department
Store, Boutique, Factory Outlet, Specialty Store, Trade Centre, dan Mall/Supermall/Plaza.
Pasar Modern adalah tempat penjualan barang-barang kebutuhan rumah tangga
(termasuk kebutuhan sehari-hari), dimana penjualan dilakukan secara eceran dan dengan cara
swalayan (konsumen mengambil sendiri barang dari rak dagangan dan membayar ke kasir).
Itulah sebabnya, pasar dengan format seperti ini disebut juga Pasar Swalayan. Perkembangan
ekonomi saat ini memicu persaingan didalam negeri semakin bebas dan ketat sehingga
diperlukan suatu strategi bersaing yang baik dan terpadu karena persaingan adalah kunci dari
keberhasilan atau kegagalan suatu perusahaan. Kemampuan suatu perusahaan untuk dapat
memenuhi kebutuhan konsumennya merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi oleh
setiap organisasi bisnis. Kebutuhan masyarakat yang makin meningkat berdampak pada
persaingan antar perusahaan semakin meningkat tajam sehingga perusahaan harus mampu
mendeteksi apa yang menjadi kebutuhan pasar atau keinginan konsumen serta membaca dan
menterjemahkan setiap perubahan situasi sebagai peluang. Tujuan strategi bersaing adalah

menjadikan perusahaan pada posisi yang menguntungkan dan dapat dipertahankan terhadap
kekuatan-kekuatan yang menentukan persaingan industri. Indonesia dengan jumlah penduduk
ke-Empat terbanyak di dunia setelah Cina dan India memiliki potensi yang sangat besar bagi
pasar retail. Sejalan dengan perkembangan waktu dan perubahan gaya hidup masyarakat yang
berpengaruh pada pola belanja, kegiatan bisnis retail atau bisnis eceran modern di Indonesia
menunjukan perkembangan pesat. Pada awal tahun 1980-an perkembangan pasar retail
ditunjukan dengan munculnya gerai perdagangan eceran modern di kota-kota besar dan pada
awal 1990-an sampai dengan sekarang gerai perdagangan eceran modern merambah kotakota kecil. Dalam 5 tahun terakhir, Pasar Modern merupakan penggerak utama
perkembangan retail moden di Indonesia. Pada 2004 2008, revenue Pasar Modern
bertumbuh 19,8%, tertinggi dibanding format retail modern yang lain. Revenue Department
Store, Specialty Store dan format retail modern lainnya masing-masing meningkat hanya
5,2%, 8,1%, dan 10,0% per tahun (Grafik 1).

Peningkatan revenue yang cukup tinggi tersebut membuat Pasar Modern semakin
menguasai pangsa revenue Retail Modern. Pada 2004, market share revenue Pasar Modern
adalah 70,5% dari total revenue Retail Modern di Indonesia. Pada tahun 2008 telah
meningkat menjadi 78,7%. Selain itu, jika dibandingkan terhadap total revenue industri retail
di Indonesia (retail modern dan retail tradisional), pangsa revenue Pasar Modern juga
mengalami peningkatan dari 18,3% pada 2004, menjadi 24,4% pada 2008 (Tabel 2).

Memang terjadi kecenderungan pergeseran pengeluaran uang para pembeli dari pasar
tradisional ke pasar modern. Survei Nielsen (2003) mengatakan bahwa konsumen di kotakota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya cenderung membelanjakan sebagian besar
dari uangnya ke pasar swalayan. Hal ini ditunjukkan peningkatan yang cukup besar dalam
setahun yakni dari sekitar 35% pada tahun 2001 menjadi 48% pada tahun 2002. Sebaliknya,
persentase dari total konsumen ke pasar tradisional mengalami penurunan dari 65% ke 52%
dalam waktu yang sama. Khususnya di Jakarta minat konsumen berbelanja ke pasar swalayan
meningkat cukup signifikan dari sekitar 31% pada tahun 2001 menjadi 48% pada tahun 2002,
sedangkan yang ke pasar tradisional menurun dari 69% ke 52% selama periode yang sama.
Ke depan, pasar modern yang selama ini menunjukkan kinerja yang sangat baik,
menghadapi beberapa tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah potensi perlambatan
laju pertumbuhan revenue sebagai dampak dari perlambatan perekonomian yang diakibatkan

oleh krisis global. Saat ini, daya beli masyarakat sudah mulai terganggu akibat terjadinya
perlambatan perekonomian. Kedepannya, daya beli masyarakat diperkirakan akan terus
menurun. Namun sebagai bisnis yang memperdagangkan kebutuhan pokok masyarakat, Pasar
Modern diperkirakan masih dapat bertumbuh, walaupun tidak sepesat tahun-tahun
sebelumnya.
Jika pada 2004 - 2008 revenue Pasar Modern bertumbuh rata-rata 20% per tahun, maka
pada 2009 hingga 2010, saat dampak negatif krisis ke sektor riil mencapai puncaknya,
revenue Pasar Modern diperkirakan bertumbuh hanya pada kisaran 5-10%. Tetapi, seiring
membaiknya perekonomian global, maka pada 2011 pertumbuhan revenue diperkirakan akan
kembali mendekati laju pertumbuhan sebelum krisis global terjadi. Selain itu, perkembangan
retail modern masih banyak terkendala, antara lain tingkat suku bunga yang tinggi, dan
perizinan yang masih berbelit-belit dan juga persepsi negatif tradisional dan modern masih
menjadi kendala tersendiri. Seharusnya pasar tradisional dimodernkan karena konsumen terus
berubah, arus informasi sangat pesat dan transparan. Pedagang retail tradisional seperti
warung perlu mendapat pembinaan sehingga bisa tetap hidup dan minimarket juga berjalan.
Kebanyakan pedagang retail tradisional tidak memiliki kemampuan manajemen retail.
Padahal setiap hari banyak produk baru, lalu bagaimana membuat display, rotasi barang,
pasokan yang tidak rutin, serta sikap disiplin, hingga modal habis. Sementara itu. Komisaris
Alfamart, Djoko Susanto, menuturkan, mau tidak mau Indonesia memang harus menghadapi
AEC pada 2015. Nantinya, lanjutnya, pola belanja akan berkembang terus, begitupun dunia
usaha. "Kalau tidak Ikuti AEC. akan ketinggalan kereta. Indonesia harus mengikuti zaman."
ujar Djoko. Yang perlu diwaspadai adalah retail asal China akan semakin agresif untuk
berinvestasi di Indonesia. Tantangan lainnya datang dari sisi regulasi. Fakta bahwa Pasar
Tradisional semakin terhimpit, terlihat dari semakin tergerusnya pangsa revenue Retail
Tradisional dan semakin sepinya pasar-pasar tradisional, membuat pemerintah mengeluarkan
beberapa ketetapan yang mengatur harmonisasi antara Pasar Modern dengan Retail
Tradisional.

Tidak disangkal, Pasar Modern memang merupakan salah satu format retail yang
mengalami pertumbuhan yang sangat baik dalam 5 tahun terakhir ini. Namun kedepannya,
industri ini menghadapi tantangan yang cukup besar seperti potensi penurunan laju
pertumbuhan akibat krisis global, dan juga regulasi yang oleh peretail Pasar Modern,
dipandang kurang bersahabat bagi mereka. Selain itu, Pasar Modern juga menghadapi isu-isu
sosial seperti dugaan pelanggaran terhadap aturan zonasi, melakukan praktek monopoli pasar,

serta beberapa isu-isu lainnya. Isu-isu pelanggaran tersebut tentu berdampak buruk bagi Pasar
Modern. Karena itu, Pasar Modern hendaknya mampu menepis isu-isu tersebut dengan
meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi yang telah ditetapkan. Peraturan yang telah dibuat
untuk mengatur harmonisasi antara peretail Pasar Modern dan Retail Tradisional hendaknya
ditanggapi bijak oleh segenap pihak terkait agar tujuan pemerintah mewujudkan harmonisasi
antara segenap pihak yang terkait dalam industri retail di Indonesia, dapat terealisasi.
Bagai buah simalakama, di satu sisi, masuknya peritel asing itu akan berdampak positif
terhadap perekonomian nasional. Disisi lain, hal tersebut sangat berpotensi mematikan pasar
tradisional. Dampak negatif pertumbuhan ritel modern yang sbertumbuh semakin pesat
belakangan ini, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, mulai dirasakan
banyak pedagang tradisional. Hasil diskusi diantara pengamat ritel Indonesia Koestarjono
Prodjolalito dan sejumlah pedagang alat-alat listrik tradisional menunjukkan, banyaknya
macam/ merek barang yang ditawarkan hypermarket, termasuk alat-alat listrik mengancam
usaha mereka. Dia berpendapat, kelangsungan usaha pasar tradisional sekarang tidak
mencerminkan daya saing yang sesungguhnya di tengah pesatnya pembangunan pusat
perdagangan atau pasar ritel modern (BI, 2003). Survei juga menunjukkan, pasar modern di
Indonesia tumbuh 31,4 persen per tahun, sedangkan pasar tradisional malah menurun 8
persen setiap tahun. Bila hal itu dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin pasar
tradisional hanya menyisakan nama.
Sandera Pasar Tradisional
Berdasar data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2010, jumlah pasar
tradisional di Indonesia mencapai 13.450 pasar dengan jumlah pedagang sekitar 12.625.000
orang. Jika dibanding pasar-pasar modern yang dikuasai ritel asingsengan jumlah tenaga
kerja lebih sedikit, sesungguhnya pasar tradisional sangat berpotensi untuk menggerakkan
perekonomian daerah serta menyerap tenaga kerja. Merujuk data ekonomi nasional dalam
lima tahun belakangan ini, industri ritel memiliki kontribusi terbesar kedua terhadap GDP
setelah industri pengolahan. Bahkan, dalam penyerapan tenaga kerja, industri ritel berada di
posisi kedua setelah sektor pertanian. Karena itu, industri ritel dapat dikatakan sebagai
industri yang menguasai hajat hidup orang banyak. Alasannya, hampir 10 persen penduduk
Indonesia menggantungkan hidupnya dengan berdagang. Apalagi, menurut data
Kemenakertrans 2011, angkatan kerja masih didominasi tenaga kerja berpendidikan SD ke
bawah. Jumlah pekerja dengan tingkat pendidikan SD ke bawah mencapai 54,2 juta orang
atau 49,90 persen. Kebanyakan angkatan kerja tersebut hanya mampu ditampung industri
ritel selain sektor pertanian, khususnya pasar tradisional. Sayangnya, realita yang
berkembang menunjukkan, pasar tradisional seakan mati suri, kalah bersaing dengan ritel
asing. Akibatnya, berdasar hasil pengamatan di lapangan, banyak pasar tradisional di daerah
yang gulung tikar.
Selain itu APPSI melaporkan, omzet pasar tradisional di DKI Jakarta merosot hingga
60 persen setelah kehadiran ritel asing, khususnya hypermarket. Imbasnya, tingkat hunian
pasar tradisional tersebut sangat strategis. Kondisi yang tak jauh berbeda terjadi di Kota
Malang yang terkenal sebagai sentral pasar tradisional di Jawa Timur. Dikabarkan, omzet
pasar tradisional di sana merosot hingga 30 persen. Melacak lebih jauh, sebenarnya akar
permasalahan industri ritel di Indonesia adalah market power ritel asing yang sangat kuat
dan tinggi. Karena itu, terjadi terjadi ketidakseimbangan dalam bersaing antara ritel asing dan
pasar tradisional/ ritel kecil. Konsekuensinya, bergaining position (posisi tawar) pasar
tradisional sangat rendah di mata konsumen dan publik. Menelaah secara kritis market
power yang merupakan akar masalah, tersingkirnya pasar tradisional selama ini
disebabkan adanya beberapa faktor.
Di antaranya, pertama, masih buruknya infrastruktur kelembagaan pasar tradisional.
Umumnya, kebanyakan pengembangan kelembagaan pasar tradisional masih dikelola secara

tradisional dan besifat asal-asalan sehingga kurang profesional. Berdasar hasil survei KPPU
di beberapa kota, model-model pengembagan kelembagaan pasar tradisional masih dilakukan
dengan pola tidak jelas, cenderung menggunkan pendekatan birokrasi yang mengedepankan
peran pemerintah di atas segalanya, sedangkan pedagang dan pasar hanya menjadi objek.
Pola yang tersedia masih belum mendukung terjadinya pemberdayaan pasar tradisional demi
membangun keunggulan bersaing dengan ritel modern. Pasar tradisional masih dipandang
sebagai ajang pemasukan pendapatan asli daerah (PAD), namun tanpa ada upaya perbaikan
menuju kemampuan bersaing. Malahan, dalam berbagai aspek, sering dijumpaitidak adanya
kerangka pengembangan pasar tradisional sebagai bagian dari roadmap pengembangan
pemberdayaan perekonomian masyarakat.
Kedua, masih belum adanya payung hukum berupa peraturan perundangan-undangan
yang memberikan sanksi tegas dan keras terhadap pelanggar regulasi industri ritel. Meski
pemerintah telah menerbitkan Perpres Nomor 112 Tahun2007 tentang penataan dan
pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan serta Permendag Nomor
53 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern
dan Pusat Perbelanjaan untuk mengatur regulasi industri ritel nasional, dalam
implementasinya, dua peraturan tersebut kurang berjalan efektif dan masih jah dari harapan.
Sekedar, coretan diatas kertas. Bahkan, ironisnya, beberapa daerah tidak mengetahui adanya
dua peraturan tersebut dalam industri ritel. Alasan utama ketidakefektifan dua peraturan
perundangan dalam pengaturan zonasi maupun pembatasan lainnya, umumnya, disebabkan
belum jelasnya sanksidan penegak hukum bagi pelanggarnya. Beberapa negara yang sukses
melakukan best practices dalam pengelolaan dan pengaturan industri ritel melalui pembuatan
UU ritel, antara lain, Jepang yang mengeluarkan pedoman mengenai unfair trade yang berisi
code of conduct masing-masing pelaku, baik peritel maupun pemasok, serta Korea yang
mempunyai regulasi berupa Korean Monopoly Regulation and Fair Trade Act, khususnya
pada article 36 (1) dan (2), yang bertujuan mengidentifikasi kriteria peritel besar yang
melakukan praktik perdangangan tidak adil dengan mengambil keuntungan dari bargaining
position-nya. Yang kuat terhadap peritel lainnya.
Ketiga, lemahnya political will pemerintah daerah. Hal itu tampak dari rendahnya
dukungan serta keberpihakan pemerintah daerah dalam pembangunan fisik pasar tradisional
di daerah sanagt memprihatinkan, kumuh, sempit, becek, bau tak sedap, serta banyak bangkai
tikus, asap pembakaran, sampah dan lain-lain. Tak salah, menurut keterangan Asosiasi
Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo), pada 2010 masih terdapat sekitar 9000 pasar yang
bangunannya sudah tua dan lebih dari 20 tahun tida tersentuh renovasi. Sebanyak 70 persen
dari 13.000 bangunan pasar di Indonesia sudah berumur lebih dari 20 tahun. Malahan, ada
yang 30 tahun dan tak kunjng ada perbaikan. Selain itu, lemahnya political will pemerintah
daerah yang begitu longgar dan leluasa dalam memberikan izin berdirinya ritel-ritel baru
turut mempercepat menjamnurnya ritel modern di daerah.
Solusi
Untuk menghindari semakin tersisihnya pasar tradisional dalam era persaingan
perdagangan bebas saat ini, pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah strategis
untuk melindungi pasar tradisional bisa dilakukan pemerintah dengan pemberdayaan pasar
tradisional melalui pembangunan fasilitas dan renovasi fisik pasar, peningkatan kompetensi
pedangag dan pengelola pasar , melaksanakan program pendampingan pasar, penataan dan
pembinaan pasar, mengevaluasi pengelolaan pasar tradisional, serta mengupayakan pencarian
dana alternatif selain APBD untuk memberdayakan pasar tradisional. Misalnya, yang
dilakukan pemerintah Thailand untuk memberdayakan usaha kecil ritel dengan mendirikan
perusahaan negara atau BUMN nonprofit Allied Retail Trade Co (ART Co) dengan modal
kerja sekitar USD 9,1 juta. Perusahaan tersebut bertugas membeli barang dari pabrikan dan
kemudian disalurkan ke jaringan toko-toko kecil dan warung tradisional lainnya.

Kedua, memperketat proses perizinan dalam pendirian ritel baru. Pemerintah harus
lebih selektif dan ketat dalam proses perizinan yang dilakukan ritel-ritel baru, terutama ritel
asing.
Ketiga, meregulasi penataan dan kebijakan zonasi ritel asing dengan pasar tradisional.
Misalnya, zonasi kawasan, zonasi jarak, dan zonasi rasio penduduk.
Keempat, mendorong pengelolaan pasar tradisional ke arah pola pasar modern. Terlepas
dari berbagai solusi tersebut, hal utama yang paling dibutuhkan adalah niat dan langkah
serius pemerintah untuk benar benar bisa melindungan pasar tradisional dari serbuan ritel
asing.
Dampak Perkembangan Pasar Modern
Pasar Modern Memberikan Kenyamanan dan Prestise Bagi Konsumen
Keberadaan pasar modern dewasa ini sudah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari
gaya hidup modern yang berkembang di tengah tengah masyarakat Indonesia. Tidak hanya
di kota metropolitan tetapi sudah merambah sampai kota kecil setingkat kecamatan di tanah
air. Tempat-tempat tersebut menjanjikan tempat belanja yang nyaman dengan berbagai
fasilitas dan harga yang menarik. Pasar-pasar modern menyediakan barang-barang bermutu
tinggi dengan harga pasti, dan kadang-kadang menawarkan diskon. Terlebih lagi, mereka
menawarkan aneka pilihan sistem pembayaran, mulai dari kartu kredit hingga pendanaan
untuk barang-barang yang lebih besar. Tempat pembelanjaan juga bersih, terang, dan
memiliki fasilitas yang berfungsi dengan baik seperti toilet, tempat makan, dan tempat parkir
yang luas.
Keunggulan Kompetitif Pasar Modern Merebut Pelanggan Pasar Tradisional
Pasar modern dan pasar tradisional bersaing di sektor yang sama yaitu industri ritel. Di
satu sisi, pasar modern dikelola dengan tangan profesional dan fasilitas yang serba lengkap.
Sedangkan di sisi yang lain pasar tradisional masih terkungkung pada masalah klasik,
pengelolaan yang masih jauh dari profesional, hingga ketidaknyamanan dalam berbelanja.
Ritel modern mampu menyediakan segala kebutuhan dengan harga yang relatif tidak kalah
dengan pasar tradisional dari segala jenis barang, dengan kualitas bisa lebih baik. Kalau
selama ini pasar tradisional dianggap unggul dalam memberikan harga relatif lebih rendah
untuk banyak komoditas, dengan fasilitas berbelanja yang jauh lebih baik skala ekonomis
pengecer modern yang cukup luas dan akses langsung mereka terhadap produsen dapat
menurunkan harga pokok penjualan mereka sehingga mereka mampu menawarkan harga
yang lebih rendah. Sebaliknya para pedagang pasar tradisional, mereka umumnya
mempunyai skala yang kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang cukup panjang untuk
membeli barang yang akan dijualnya. Keunggulan biaya rendah pedagang tradisional kini
mulai terkikis.
Dulu, keunggulan pasar tradisional juga didapat dari lokasi. Masyarakat akan lebih suka
berbelanja ke pasar-pasar yang lokasinya lebih dekat. Akan tetapi pusat-pusat perbelanjaan
modern terus berkembang memburu lokasi-lokasi potensial. Dengan semakin marak dan
tersebarnya lokasi pusat perbelanjaan modern maka keunggulan lokasi juga akan semakin
hilang. Kedekatan lokasi kini tidak lagi dapat dijadikan sumber keunggulan yang
berkelanjutan.
Hasil riset AC Nielsen menyatakan bahwa pada tahun 2005 penjualan produk
kebutuhan sehari-hari di pasar tradisional kembali mengalami penurunan sebesar 2 %
sehingga pangsa pasarnya pada tahun 2005 menjadi hanya 67,6 %. Survei atas 51 kategori
produk barang kebutuhan sehari-hari menunjukkan pangsa pasar tradisional termakan ritel
modern berformat minimarket. Sedangkan hasil survei Dekopin (Dewan Koperasi Indonesia)
menyebutkan bahwa satu pasar modern seperti Indomaret, Alfamart, serta sejenisnya
membunuh 20 warung disekitarnya. Sementara untuk hipermarket jika jaraknya 2 km dari
pasar tradisional bisa menurunkan omset antara 20% hingga 40%. Di Bandung, APPSI Jawa

Barat mengeluhkan bahwa omzet pedagang pasar tradisional menurun rata-rata 40%, sejak
hypermarket hadir di kota Bandung
Pasar Modern Mengeksploitasi Pemasok (Supplier)
Persoalan berikutnya dari industri ritel terkait dengan ketidakseimbangan posisi antara
pemasok dengan pelaku usaha ritel. Ritel modern telah menjelma menjadi kekuatan yang luar
biasa. Dalam manajemen rantai pasokan produk sampai ke konsumen, ritel modern kini
menjadi bagian yang sangat menentukan, karena kemampuannya mendatangkan konsumen
sangat besar. Kekuatan pemasok semakin bertambah lemah karena persaingan antar mereka
sendiri juga terjadi dengan sangat ketat, sementara peritel modern di satu wilayah tidak
memiliki banyak pesaing. Akibatnya, peritel modern dapat dengan leluasa menggunakan
kekuatan pasarnya.
Pertama, barang yang dijual di pasar modern perlu melewati seleksi yang ketat, dimana
pemasok kecil yang tidak mampu memenuhi standar kualitas, biaya penyimpanan barang,
dan tidak dapat menyanggupi jangka waktu pembayaran yang lebih panjang daripada
pengusaha ritel tradisional, akan ditolak. Di titik ini saja, banyak pemasok lokal tak
memenuhi syarat untuk masuk ke pasar modern. Sementara itu, pasar tradisional mulai
ditinggalkan pembelinya, sehingga para pemasok lokal ini dengan sendirinya kehilangan
konsumen.
Jika para pemasok tersebut telah lolos persyaratan standar kualitas, mulailah para
peritel modern tersebut menerapkan berbagai persyaratan perdagangan (trading terms),
sehingga pemasok berpotensi menjadi lahan eksploitasi bagi peritel modern. Maka muncullah
kemudian yang dikenal sebagai listing fee, minus margin, fixed rebate, term of payment,
regular discount, common assortment cost, opening cost/new store danpenalty (Tabel 2).
Bahkan dalam perkembangannya, trading terms tersebut telah berubah menjadi sebuah
bagian pemasukan sendiri bagi para peritel. Hasil penelusuran KPPU dalam kasus Carrefour
Indonesia, misalnya memperlihatkan bahwa hipermarket asal Prancis itu sepanjang 2004
mampu meraih pendapatan lain-lain (other income) hingga Rp 40,19 miliar. Perolehan
dari listing fee terbesar, mencapai Rp 25,68 miliar. Sedangkan dana dari kepesertaanminus
margin (jaminan pemasok bahwa harga jual produk paling murah) Rp1,98 miliar, dan sisanya
Rp12,53 miliar berasal dari pembayaran syarat dagang.
Pasar Modern Meningkatkan PDB, tetapi Menyebabkan Ketimpangan Distribusi
Pendapatan
Ritel merupakan salah satu tulang punggung ekonomi nasional. Pada tahun 2003,
potensi pasar bisnis ritel mencapai sekitar Rp. 600 Trilyun. Kontribusi sektor ritel terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 20%. Dilihat dari kuantitas, dari sekitar 22, 7 juta
jumlah usaha di Indonesia sebanyak 10.3 juta atau sekitar 45% merupakan usaha
perdagangan besar dan eceran. Aprindo menyatakan bahwa sektor ritel merupakan sektor
kedua setelah sektor pertanian, yang menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, dengan
kemampuan menyerap sebesar 18,9 juta orang.
Adapun perkembangan terakhir komposisi industri ritel Indonesia digambarkan dalam
survey yang dilakukan oleh AC Nielsen dalam tahun 2004-2005 (Lampiran I). Data survey
ini memperlihatkan bahwa secara kuantitas, jumlah pelaku usaha ritel tradisional jauh diatas
jumlah pelaku usaha ritel modern dengan selisih kuantitas yang sangat signifikan. Namun,
omset ritel modern berada di kisaran Rp 50-60 triliun per tahun, dengan omset sisanya sekitar
Rp 550-600 triliun dari ritel tradisional, maka sangat jelas bahwa omset ritel modern tersebut
jauh diatas ritel tradisional (KPPU:2007).
Berbagai jenis ritel modern telah memusatkan kekuatan modal besar pada satu orang
atau kelompok dagang. Hal ini membuat persaingan menjadi tidak seimbang dengan pasarpasar tradisional yang selama ini menjadi salah satu penggerak roda kegiatan perekonomian
di suatu wilayah serta merupakan salah satu sarana publik yang mendukung dan membangun

kegiatan ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia. Penguasaan pasar oleh ritel modern
lambat laun akan meningkatkan penumpukan kapital pada golongan ekonomi menengah
keatas, sehingga pemerataan ekonomi tidak tercapai. Penyebab utama ketimpangan distribusi
pendapatan adalah sangat tidak meratanya kepemilikan aset (kekayaan, sumber daya, atau
faktor produksi).
Investasi Asing dalam Pasar Modern Dapat Mengurangi Devisa
Terdapat banyak penyebab dari pesatnya pertumbuhan pasar modern di Indonesia.
Dorongan pertama lahir dari munculnya kebijakan yang pro terhadap liberalisasi ritel, antara
lain diwujudkan dalam bentuk mengeluarkan bisnis ritel darinegative list bagi Penanaman
Modal Asing (PMA) sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden No 118/2000 tentang
Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu
Bagi Penanaman Modal. Kebijakan tersebut telah menyebabkan tidak adanya lagi
pembatasan kepemilikan dalam industri ritel. Akibatnya, pelaku usaha di industri ini terus
bermunculan. Bahkan perkembangan terakhir memperlihatkan munculnya sinyal akan
masuknya peritel asing dalam segmen ritel yang selama ini terlarang bagi penanaman modal
asing (PMA) seperti di minimarket dan convenience store. (KPPU:2007)
Padahal, dampak investasi asing dalam jangka panjang dapat mengurangi penghasilan
devisa, baik dari sisi neraca transaksi berjalan maupun neraca modal. Neraca transaksi
berjalan bisa memburuk karena adanya impor besar-besaran atas barang-barang setengah jadi
dan barang modal, sedangkan neraca modal makin memburuk dikarenakan adanya
pengiriman kembali keuntungan, hasil bunga, royalti, biaya-biaya jasa manajemen, dan danadana lainnya ke negara asalnya. (Todaro & Smith,2003: 173)
Sebaliknya, bila pasar tradisional sanggup berjaya di Indonesia, maka akan
berpengaruh positif bagi neraca pembayaran Indonesia. Apabila mayoritas masyarakat
Indonesia lebih memilih berbelanja di pasar tradisional, maka invasi pasar modern akan
mampu ditahan. Produk-produk lokal berkualitas tinggi yang saat ini dijual di pasar modern
bisa dialihkan menjadi komoditas ekspor. Sedangkan kebocoran akibat pelarian dana-dana
dalam negeri ke luar negeri dapat ditekan.
Pengaruh retail terhadap pertumbuhan ekonomi
Pengaruh positif
Membuat lapangan pekerjaan baru
Membentuk pekerja yang inovatif dan kreatif
Menambah pemasukan kas negara dengan cara mengekspor barang ke luar negeri
Membuat pekerja muda lebih semangat dan mandiri
Pengaruh negatif
Mengurangi pemasukan pasar tradisional karena masyarakat mulai memilih gaya hidup
modern
Merugikan perekonomian pihak petani daerah perdesaan
Memberikan gaya hidup hedonisme bagi masyarakat menegah ke atas
Merugikan para produsen grosir di kota maupun daerah
Sumber :
http://feb.ub.ac.id/id/agus-suman-ritel-asing-pasar-tradisional.html
http://researchdashboard.binus.ac.id/uploads/paper/document/publication/Proceeding/Humaniora/Vol.
%202%20No.%202%20Oktober%202011/40_MCM%20-%20Handy%20Martinus.pdf

S-ar putea să vă placă și