Sunteți pe pagina 1din 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana
janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut
dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh
serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009)
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin
dengan berat badan diatas 500 gram melalui sayatan
pada dinding uterus yang utuh (Gulardi & Wiknjosastro,
2006)
Seksio

sesaria

merupakan

prosedur

bedah

untuk

melahirkan janin dengan insisi melalui abdomen dan uterus.


Resiko penyerta prosedur bedah harus dipertimbangkan. Di
Inggris angka mortalitas untuk prosedur elektif berada antara
15 dan 17 per 100.000 kasus maternitas selama tahun 19911996 (DoH 1998). Embolisme paru, pendarahan dan sepsis
terus terjadi sebagai penyebab mortalitas yang menonjol.
Pendelegasian yang tidak tepat, fasilitas yang tidak adekuat
dan komunikasi yang buruk menjadi penyebab perawatan di
bawah standar yang memrerlukan perbaikan.
Masalah yang disertai perlahiran per vaginam seperti
inkontinensia rektal dan urine, pertanyaan mengenai pilihan,
peningkatan keamanan seksio sesaria, semakin besarnya
jumlah

ibu

yang

mengandung

dan

kesiapan

penolong

terhadap litigasi untuk komplikasi pelahiran operatif per


vaginam

merupakan

faktor-faktor

peningkatan angka seksio sesaria.

yang

menyebabkan

B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan informasi dan pengalaman nyata
dalam mengelola dan menangani kasus pasien dengan
Sectio Caesaria (SC)
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian Sectio Caesaria (SC)
2. Untuk mengetahui etiologi Sectio Caesaria (SC)
3. Untuk mengetahui patofisiologi Sectio Caesaria (SC)
4. Untuk mengetahui klasifikasi Sectio Caesaria (SC)
5. Untuk mengetahui komplikasi dari Sectio Caesaria
(SC)
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Sectio
Caesaria (SC)
7. Untuk mengetahui tehnik dari Sectio Caesaria (SC)
8. Untukmengetahui penatalaksanaan dari Sectio
Caesaria (SC)

BAB II
LANDASAN TEORI

A. DEFINISI

Gambar 1. Sectio Caesaria (SC)


Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan
sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut.
(Rustam Mochtar, 1992)
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin
dengan berat badan diatas 500 gram melalui sayatan pada
dinding uterus yang utuh (Gulardi & Wiknjosastro, 2006)
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan
janin dengan membuka dinding perut dan dinding rahim
(Mansjoer, 2002)
Sectio caesarea adalah suatu tindakan pembedahan untuk
melahirkan janin dengan membuka dinding perut (laparatomi)
dan dinding uterus (histerektomi)..(dunn j. Leen obstetrics and
gynekology)
Jadi operasi Seksio Sesaria ( sectio caesarea ) adalah suatu
pembedahan guna melahirkan janin ( persalinan buatan ),
melalui insisi pada dinding abdomen dan uterus bagian depan
sehingga janin dilahirkan melalui perut dan dinding perut dan
dinding rahim agar anak lahir dengan keadaan utuh dan sehat.

B. ETIOLOGI
Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea
adalah ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban
pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal distres
dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor
sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab
sectio caesarea sebagai berikut:
1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD)

adalah

ukuran

lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar


kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat
melahirkan

secara

alami.

Tulang-tulang

panggul

merupakan susunan beberapa tulang yang membentuk


rongga panggul yang merupakan jalan yang harus dilalui
oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul
yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga
dapat menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan
alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan
patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul
menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul
menjadi abnormal.
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit
yang

langsung

disebabkan

oleh

kehamilan,

sebab

terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan


infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab
kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu
kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu
mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut
menjadi eklamsi.
3. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum
terdapat tanda persalinan dan ditunggu satu jam belum
terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini adalah

hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36


minggu.

4. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar.
Hal ini karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi
komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi.
Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang
atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan
secara normal.
5. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir
yang tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya
tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat
pendek dan ibu sulit bernafas.
6. Kelainan Letak Janin
a. Kelainan pada letak kepala
1)

Letak kepala tengadah


Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada
pemeriksaan dalam teraba UUB yang paling rendah.
Etiologinya

kelainan

panggul,

kepala

bentuknya

bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar


2)

panggul.
Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga
bagian kepala yang terletak paling rendah ialah

muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.


3)
Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi
berada pada posisi terendah dan tetap paling depan.
Pada penempatan dagu, biasanya dengan sendirinya
akan

berubah

belakang kepala.
b. Letak Sungsang

menjadi

letak

muka

atau

letak

Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin


terletak memanjang dengan kepala difundus uteri dan
bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal
beberapa

jenis

letak

sungsang,

yakni

presentasi

bokong, presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi


bokong

kaki

tidak

sempurna

dan

presentasi

kaki (Saifuddin, 2002)


C. PATOFISIOLOGI
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan
berat di atas 500 gr dengan sayatan pada dinding uterus yang
masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan ini yaitu distorsi
kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak,
placenta previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah
gawat janin. Janin besar dan letak lintang setelah dilakukan SC
ibu akan mengalami adaptasi post partum baik dari aspek
kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang informasi
dan dari aspek fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak
adekuat akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit,
luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi kuman. Oleh
karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka
dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena insisi
yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi
bisa bersifat regional dan umum. Namun anestesi umum lebih
banyak pengaruhnya terhadap janin maupun ibu anestesi
janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan
upnoe yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya
janin bisa mati, sedangkan pengaruhnya anestesi bagi ibu
sendiri yaitu terhadap tonus

uteri berupa

atonia uteri

sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap


nafas yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret yan
berlebihan karena kerja otot nafas silia yang menutup.

Anestesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan dengan


menurunkan mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk
lambung akan terjadi proses penghancuran dengan bantuan
peristaltik

usus.

Kemudian

diserap

untuk

metabolisme

sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas


yang menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang
ada di lambung akan menumpuk dan karena reflek untuk
batuk juga menurun. Maka pasien sangat beresiko terhadap
aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu
motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan pola
eliminasi yaitu konstipasi.
(Saifuddin, Mansjoer & Prawirohardjo, 2002)
D. KLASIFIKASI
Klasifikasi Sectio Caesaria secara umum adalah :
1) Sectio Caesaria Transperitonealis Profunda
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan
insisi di segmen bawah uterus.insisi pada bawah rahim,
bisa

dengan

teknik

melintang

atau

memanjang.

Keunggulan pembedahan ini adalah:


a. Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
b. Bahaya peritonitis tidak besar.
c. Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya
ruptur uteri dikemudian hari tidak besar karena pada
nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak
mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga
luka dapat sembuh lebih sempurna.
2) Sectio Caesaria Klasik atau Section Cesaria Corporal
Pada sectio caesaria klasik ini di buat kepada korpus
uteri, pembedahan ini yang agak mudah dilakukan,hanya
di selenggarakan apabila ada halangan untuk melakukan
section

cacaria

transperitonealis

memanjang pada segmen atas uterus.


3) Sectio Cesaria Ekstra Peritoneal

profunda.

Insisi

Sectio caesaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan


untuk mengurangi bahaya injeksi perporal akan tetapi
dengan

kemajuan

pengobatan

terhadap

injeksi

pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi di lakukan.


Rongga peritoneum tak dibuka, dilakukan pada pasien
infeksi uterin berat.
4) Sectio Caesaria Hysteroctomi
Setelah sectio cesaria, dilakukan hysteroktomy dengan
indikasi:
a. Atonia uteri
b. Plasenta accrete
c. Myoma uteri
d. Infeksi intra uteri berat

E. KOMPLIKASI
Yang sering terjadi pada ibu SC adalah :
1. Infeksi puerperial : kenaikan suhu selama beberapa hari
dalam masa nifas dibagi menjadi:
a. Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
b. Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan
dehidrasi dan perut sedikit kembung
c. Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
2. Perdarahan : perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat
pembedahan cabang-cabang arteri uterine ikut terbuka
atau karena atonia uteri.
3. Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung
kencing, embolisme paru yang sangat jarang terjadi.
4. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada
kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptur uteri, yang sering
terjadi pada ibu bayi : kematian perinatal
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektroensefalogram ( EEG )
Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
2. Pemindaian CT

Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.


3. Magneti Resonance Imaging (MRI)
Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan
magnetik

dan

gelombang

radio,

berguna

untuk

memperlihatkan daerah daerah otak yang itdak jelas


terliht bila menggunakan pemindaian CT.
4. Pemindaian Positron Emission Tomography ( PET )
Untuk

mengevaluasi

kejang

yang

membandel

dan

membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik


atau alirann darah dalam otak.
5. Uji laboratorium
a. Fungsi

lumbal:

menganalisis

cairan

serebrovaskuler
b. Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit
c.
d.
e.
f.
g.
h.

dan hematokrit
Panel elektrolit
Skrining toksik dari serum dan urin
AGD
Kadar kalsium darah
Kadar natrium darah
Kadar magnesium darah

G. TEHNIK SECTIO CAESARIA


1. Bedah Caesar Klasik/ Corporal.
a. Buatlah insisi

membujur secara tajam dengan pisau

pada garis tengah korpus uteridiatas

segmen bawah

rahim. Perlebar insisi dengan gunting sampai sepanjang


kurang lebih 12 cm saat menggunting lindungi janin
dengan dua jari operator.
b. Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah. Janin
dilahirkan dengan meluncurkan kepala janin keluar
melalui irisan tersebut.
c. Setelah janin lahir sepenuhnya tali pusat diklem ( dua
tempat) dan dipotong diantarakedua klem tersebut.

d. Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera


disuntikkan

uterotonika

kedalam

miometrium

dan

intravena.
e. Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
a) Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara
silang dengan menggunakan benang chromic catgut
no.1 dan 2
b) Lapisan II
Lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur
horizontal (lambert) dengan benang yang sama.
c) Lapisan III
Dilakukan reperitonealisasi dengan cara peritoneum
dijahit secara jelujur menggunakan benang plain
catgut no.1 dan 2
f. Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut
dari sisa-sisa darah dan air ketuban
g. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
2. Bedah Caesar Transperitoneal Profunda
a. Plika

vesikouterina

diatas

segmen

bawah

rahim

dilepaskan secara melintang, kemudian secara tumpul


disisihkan kearah bawah dan samping.
b. Buat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen
bawah rahim kurang lebih 1 cm dibawah irisan plika
vesikouterina.

Irisan

kemudian

diperlebar

dengan

gunting sampai kurang lebih sepanjang 12 cm saat


menggunting lindungi janin dengan dua jari operator.
c. Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah dan
janin dilahirkan dengan cara meluncurkan kepala janin
melalui irisan tersebut.
d. Badan

janin

ketiaknya.

dilahirkan

dengan

mengaitkan

kedua

e. Setelah janin dilahirkan seluruhnya tali pusat diklem


( dua tempat) dan dipotong diantara kedua klem
tersebut.
f. Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera
disuntikkan

uterotonika

kedalammiometrium

dan

intravena.
g. Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
a) Lapisan I
Miometrium
secara

tepat

silang

diatas

dengan

endometrium

menggunakan

dijahit
benang

chromic catgut no.1 dan 2


b) Lapisan II
Lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur
horizontal (lambert) dengan benang yang sama.
c) Lapisan III
Dilakukan reperitonealisasi dengan cara peritonium
dijahit secara jelujur menggunakan benang plain
catgut no.1 dan 2
h. Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut
dari sisa-sisa darah dan air ketuban
i. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
3. Bedah Caesar Ekstraperitoneal
a. Dinding perut diiris hanya sampai pada peritoneum.
Peritoneum kemudia digeser kekranial agar terbebas dari
dinding cranial vesika urinaria.
b. Segmen bawah rahim diris melintang seperti pada bedah
Caesar transperitoneal profunda demikian juga cara
menutupnya.
4. Histerektomi Caesarian ( Caesarian Hysterectomy)
a. Irisan uterus dilakukan seperti pada bedah Caesar
klasik/corporal demikian juga cara melahirkan janinnya.

b. Perdarahan yang terdapat pada irisan uterus dihentikan


dengan menggunakan klem secukupnya.
c. Kedua adneksa dan ligamentum rotunda dilepaskan dari
uterus.
a. Kedua cabang arteria uterina yang menuju ke korpus
uteri di klem (2) pada tepi segmen bawah rahim. Satu
klem juga ditempatkan diatas kedua klem tersebut.
b. Uterus

kemudian diangkat diatas kedua klem yang

pertama. Perdarahan pada tunggul serviks uteri diatasi.


c. Jahit

cabang

arteria

uterine

yang

diklem

dengan

dengan

jahitan

menggunakan benang sutera no. 2.


d. Tunggul

serviks

uteri

ditutup

( menggunakan chromic catgut ( no.1 atau 2 ) dengan


sebelumnya diberi cairan antiseptic.
e. Kedua adneksa dan ligamentum rotundum dijahitkan
pada tunggul serviks uteri.
f. Dilakukan reperitonealisasi sertya eksplorasi daerah
panggul dan visera abdominis.
g. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis
H. PENATALAKSANAAN
1. Perawatan awal
a. Letakan pasien dalam posisi pemulihan
b. Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit
selama 1 jam pertama,

kemudian tiap 30 menit jam

berikutnya. Periksa tingkat kesadaran tiap 15 menit


sampai sadar
c. Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
d. Transfusi jika diperlukan
e. Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan
transfusi,

segera

kembalikanke

kamar

kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah.

bedah

2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah
penderita flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan
makanan peroral.Pemberian minuman dengan jumlah yang
sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca
operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam
setelah operasi
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil
tidur telentang sedini mungkin setelah sadar
c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan
selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu
menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi
posisi setengah duduk (semifowler)
e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien
dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan,
dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai
hari ke5 pasca operasi.
4. Fungsi gastrointestinal
a. Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair
b. Jika ada tanda infeksi , tunggu bising usus timbul
c. Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat
d. Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum
dengan baik
5. Perawatan fungsi kandung kemih
a. Jika

urin

jernih,

kateter

dilepas

pembedahan atau sesudah semalam

jam

setelah

b. Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan


kateter terpasang sampai minimum7 hari atau urin
jernih.
c. Jika

sudah

tidak

memakai

antibiotika

berikan

nirofurantoin 100 mg per oral per harisampai kateter


dilepas
d. Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan
tidak enak pada penderita,menghalangi involusi uterus
dan

menyebabkan

perdarahan.

Kateter

biasanya

terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis


operasi dan keadaan penderita.
6. Pembalutan dan perawatan luka
a. Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar
cairan tidak terlalu banyak jangan mengganti pembalut
b. Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi
beri plester untuk mengencangkan
c. Ganti pembalut dengan cara steril
d. Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih
e. Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen,
angkat jahitan kulit dilakukan pada hari kelima pasca SC
7. Jika masih terdapat perdarahan
a. Lakukan masase uterus
b. Beri Oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam
fisiologik atau RL) 60

tetes/menit, ergometrin 0,2 mg

I.M. dan prostaglandin


8. Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi
sampai pasien bebas demam selama 48 jam :
a. Ampisilin 2 gr I.V. setiap 6 jam
b. Ditambah Gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8
jam
c. Ditambah Metronidazol 500 mg I.V setiap 8 jam
9. Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja

saluran

pencernaan
a. Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting

b. Supositoria = Ketopropen supp 2x/ 24 jam


c. Oral = Tramadol tiap 6 jam atau Paracetamol
d. Injeksi = Penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila
perlu
10.

Obat-obatan lain

Untuk

meningkatkan

vitalitas

dan

keadaan

umum

penderita dapat diberikan Roboransia seperti Neurobion I


amp dan vit. C

11.

Hal Hal lain yang perlu diperhatikan


a. Pasca bedah penderita dirawat
kemungkinan

komplikasi

berupa

dan

diobservasi

perdarahan

dan

hematoma pada daerah operasi


b. Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah
terjadinya hematoma.
c. Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring
dengan lutut ditekuk) agar dinding abdomen tidak
tegang.
d. Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.
e. Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadiny
infeksi
f. Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang
berat.
g. Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan
yang dapat menaikkan tekanan intra abdomen
h. Pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas,
karena

bila

terjadi

obstruksi

kemungkinan

terjadi

gangguan ventilasi yang mungkin disebab-kan karena


pengaruh obat-obatan, anestetik, narkotik dan karena
tekanan diafragma.
mempertahankan

Selain itu juga penting untuk


sirkulasi

dengan

mewaspadai

terjadinya hipotensi dan aritmia kardiak. Oleh karena itu


perlu memantau TTV setiap 10-15 menit dan kesadaran
selama 2 jam dan 4 jam sekali.

i. Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik


berupa nyeri dan kenyamanan psikologis juga perlu
dikaji sehingga perlu adanya orientasi dan bimbingan
kegi-atan post op seperti ambulasi dan nafas dalam
untuk mempercepat hilangnya pengaruh anestesi.
j. Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang
tekanan

darah,

frekuensi

nadi

dan

nafas.

Jadwal

pengukuran jumlah produksi urin Berikan infus dengan


jelas,

singkat

dan

terinci

bila

dijumpai

adanya

penyimpangan
Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi. Anestesia;
regional atau general Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan
sectio caesaria. Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi.
Pemberian oksitosin sesuai indikasi. Tanda vital per protokol
ruangan pemulihan, Persiapan kulit pembedahan abdomen,
Persetujuan ditandatangani.
BAB III
ANESTESI SPINAL
A. DEFINISI
Anestesi spinal adalah salah satu metode Anestesi
yang diinduksi dengan menyuntikkan sejumlah kecil
obat Anestesi lokal ke dalam cairan cerebro-spinal
(CSF). Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai
analgesi/blok

spinal

intradural

atau

blok

intratekal.

Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat


analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah
antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5 (USU, 2011).
Spinal Anestesi mudah untuk dilakukan dan
memiliki potensi untuk memberikan kondisi operasi
yang sangat baik untuk operasi di bawah umbilikus.
Spinal

Anestesi

umbilikus

dianjurkan

misalnya

hernia,

untuk

operasi

ginekologi

di

dan

bawah
operasi

urologis dan setiap operasi pada perineum atau alat


kelamin. Semua operasi pada kaki, meskipun amputasi
tidak sakit, tapi mungkin merupakan pengalaman yang
tidak menyenangkan untuk pasien yang dalam kondisi
terjaga. Dalam situasi ini dapat menggabungkan tehnik
spinal Anestesi dengan Anestesi umum. Teknik Anestesi
secara garis besar dibagi menjadi dua cara, yaitu Anestesi
umum dan Anestesi regional. Anestesi umum bekerja
untuk

menekan

aksis

hipotalamus-pituitari

adrenal,

sementara Anestesi regional berfungsi untuk menekan


transisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom efisien
ke adrenal. Anestesi spinal sangat cocok untuk pasien
yang berusia tua dan orang-orang dengan penyakit
sistemik seperti penyakit pemapasan kronis, hati, ginjal
dan gangguan endokrin seperti diabetes. Banyak pasien
dengan penyakit jantung ringan mendapat manfaat dari
vasodilatasi yang menyertai Anestesi spinal kecuali orangorang dengan penyakit katub pulmonalis atau hipertensi
tidak terkontrol. Sangat cocok untuk menangani pasien
dengan trauma yang telah mendapatkan resusitasi yang
adekuat dan tidak mengalami hipovolemik (Morgan,
2006).
B. INDIKASI
Bedah ekstremitas bawah
Bedah panggul
Tindakan sekitar rektum perineum
Bedah obstetrik-ginekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik
biasanya dikombinasikan dengan Anestesia umum
ringan
C. KONTRA INDIKASI
a. Kontra indikasi absolut :

Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
Tekanan intrakranial meningkat
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen
Anestesi.

b. Kontra indikasi relative :


Infeksi sistemik
Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronik

D. PERSIAPAN ANESTESI SPINAL


Pada dasarnya persiapan untuk Anestesi Spinal seperti
persiapan pada anestesia umum. Daerah sekitar tempat
tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau
pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan
prosesusspinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di
bawah ini :
1.
Informed consent: tidak boleh memaksa pasien
untuk menyetujui Anestesia spinal;
2. Pemeriksaan fisik: tidak dijumpai kelainan spesifik
seperti kelainan tulang punggung;
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran : Hb, ht, pt, ptt;
4. Peralatan Anestesi Spinal;
5.
Peralatan monitor: tekanan darah, pulse oximetri,
ECG;
6. Peralatan resusitasi;
7.
Jarum spinal: Jarum spinal dengan ujung tajam
(ujung bambu

runcing, quinckebacock) atau jarum

spinal dengan ujung pensil (pencil pointwhitecare).

a. Gambar 2.1. Jarum Spinal


E. TEHNIK ANESTESI SPINAL
1. Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus
dengan tusukan pada gar is tengah ialah posisi
yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan
di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan
hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan

posisi

berlebihan

dalam

30

menit

pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

b. Gambar 2.2 Posisi Spinal Anasthesi

2. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan


dalam posisi lateral

dekubitus. Seri bantal kepala,

selain enak untuk pasien juga supaya tulang


belakang

stabil.

Buat

pasien

membungkuk

maximal agar processus spinosus mudah teraba.


Posisi lain adalah duduk.
3.

Perpotongan

antara

garis

yang

menghubungkan kedua garis krista iliaka, misal L 2L3,

L3-L4,

tusukan

pada

L 1-L2

atau

diatasnya

berisiko trauma terhadap medulla spinalis.


4.

Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau

alkohol.
5.

Beri anestesi local pada tempat tusukan

misalnya dengan lidokain 1-2 % 2-3 ml.


6. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk
jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat langsung
digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau
29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu
jarum

suntik

biasa

semprit

10

cc.

Tusukkan

introduser sedalam kira-kira 2 em agak sedikit


kearah sefal, kemudian masukan jarum spinal
berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika
menggunakan

jarum

tajam

(Qunicke-Batocock)

irisan Jarum (bevel) harus sejajar dengan serat


duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel
mengarah

ke

menghindari
berakibat

atas

atau

kebocoran

timbulnya

kebawah,

likuor

nyeri

yang

kepala

untuk
dapat

pascaspinal.

Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal


dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat

dan

obat

dapat

dimasukkan

pelan-pelan

(0,5m / detik) diselingi pirasi sedikit, hanya untuk


meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda
makin ujung jarum spinal pada posisi yang benar
dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90
biasanya

likuor

keluar.

Untuk

analgesia

spinal

kontinyu dapat dimasukan kateter.


7.
Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah
perineal

misalnya

bedah

hemoroid

dengan

anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum


dewasa 6 cm.
F. POSISI
1. Posisi Duduk :
Pasien duduk di atas meja operasi.

Dagu di dada.
Tangan istirahat di lutut.
2. Posisi Lateral :
Bahu sejajar dengan meja operasi.
Posisikan pinggul di pinggir meja operasi.
Memeluk bantal/knee chest position.

G. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGGI BLOK


ANESTESI SPINAL
1. Volume obat analgetik lokal : makin besar makin
tinggi daerah analgesia.
2. Konsentrasi obat : makin pekat makin tinggi batas
daerah analgesia.
3. Barbotase : penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang
meninggikan batas daerah analgetik.
4. Kecepatan : penyuntikan yang cepat menghasilkan
batas analgesia yang tinggi. Kecepatan penyuntikan
yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
5. Maneuver valsava : mengejan meninggikan tekanan
liquor serebrospinal dengan akibat batas analgesia
bertambah tinggi.
6. Tempat pungsi : pengaruhnya besar pada L4-L5 obat
hiperbarik

cenderung

berkumpul

ke

kaudal

(saddleblok) fungsi L2-L3 atau L3-L4 obat cenderung


menyebar ke cranial.
7. Berat jenis larutan : hiper, iso atau hipobarik.
8. Tekanan abdominal yang meningkat dengan dosis
yang sama didapat batas analgesia yang lebih
tinggi.
9. Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna
vertebralis makin besar dosis yang diperiukan. (BB
tidak berpengaruh terhadap dosis obat).
10.
Waktu:
setelah
15
menit
dari

saat

penyuntikan, umumnya larutan analgetik sudah


menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi
diubah dengan posisi pasien.

H. ANESTESI LOKAL UNTUK ANESTESI SPINAL


Berat jenis cairan cerebrospinahs pada 370 celcius adalah
1.003-1.008. astetik lokal dengan berat jenis sama dengan
CSS disebut isobaric. Anastetik local dengan berat jenis
lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anastetik local
dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local
dengan

dextrose.

digunakan

Untuk

tetrakain

jenis

diperoleh

hipobarik
dengan

biasanya

mencampur

dengan air injeksi (Latief dkk, 2009).


Tabel 2.1 anestetik local yang paling sering digunakan:
Anestesi Local
Lidocain 2%

Berat
Jenis
1,006

Dosis

Isobarik

20 100

4,5

45

mg

mg/kgBB

menit

plain 5% dalam
dextrose 7,5%
1,033

Dosis

Sifat

Hiperbari
k

Maximal

(2 5 ml)

Durasi

2 Jam

20 50
mg
(1 2 ml)

Bupivacain

1,005

Isobarik

0,5% dalam air


0,5% dalam
dextrose
8,25%

1,027

Hiperbari
k

5 20

4,5

45

mg

mg/kgBB

menit

(1 4 ml)

2 Jam

5 15
mg
(1 3 ml)

Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat

dan perluasan daerah terAnestesi Pada Anestesi spinal


jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS
(hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke
dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat
akan berpindah dan area penyuntikan ke atas. Bila
sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama
di

tempat

penyuntikan.

Bupivacaine

adalah

obat

anestetik l o k a l y ang termasuk dalam golongan ainino


amida.

Bupivacaine

di

indikasi

pada

penggunaan

Anestesi lokal termasuk Anestesi infiltrasi, blok serabut


saraf,

Anestesi

Bupivacaine

epidura

kadang

dan

Anestesi

diberikan

pada

intratekal.

injeksi

epidural

sebelurn melakukan operasi athroplasty pinggul. Obat


tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi
untuk

mengurangi

rasa

nyeri

dengan

efek

obat

mencapai 20 jam setelah operasi. Bupivacaine dapat


diberikan

bersamaan

memperpanjang

durasi

dengan
efek

obat

obat

lain

seperti

untuk

misalnya

epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi epidural.


Kontraindikasi untuk pemberian bupivacaine adalah
Anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko untuk
kegagalan toumiket dan adanya absorpsi sistemik dari
obat

tersebut.

Bupivacaine

berikatan

secara

memblok

hifluk natrium

bekerja

intraselular

dengan

dengan

kedalam

inti

natrium
sel

cara
dan

sehingga

mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut


saraf

yang

menghantarkan

rasa

nyeri

mempunyai

serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung


mietin, maka Bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat
ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan
serabut

saraf

penghantar

rasa

proprioseptif

yang

mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih

tebal. Penyebaran anastetik local tergantung :


1. Faktor utama :
Berat jenis anestetik local (barisitas).
Posisi pasien.
Dosis dan volume anestetik.
2. Faktor tambahan :
Ketinggian suntikan.
Kecepatan suntikan/barbotase.
Ukuran jarum.
Keadaan fisik pasien.
Tekanan abdominal.
3. Lama kena anestetik lokal tergantung :
Jenis anestetia lokal.
Besarnya dosis.
Ada tidaknya vasokonstriktor.
Besarnya penyebaran anastetik local.
I. KOMPLIKASI ANESTESI SPINAL
1. Komplikasi tindakan :
Hipotensi berat : Akibat blok
venouspooling.

Pada

dewasa

simpatis
dicegah

terjadi
dengan

memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau


koloid 500ml sebelum tindakan.
Bradikardia : Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi
atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai T-2.
Hipoventilasi : Akibat paralisis saraf frenikus atau

hi p op e rf us i pusat kendali nafas.


Trauma pembuluh saraf.
Trauma saraf.
Mual-muntah.
Gangguan pendengaran.
Blok spinal tinggi atau spinal total.

2. Komplikasi pasca tindakan :


Nyeri tempat suntikan.
Nyeri punggung.
Nyeri kepala karena kebocoran likuor.
Retensio urine.
Meningitis.
3. Komplikasi Intra Operatif :
a. Komplikasi kardiovaskular.
Insiden terjadi hipotensi akibat Anestesi spinal adalah

10-40%. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat


blok

simpatis,

yang

menyebabkan

terjadi

penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena,


makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac
output akan berkurang akibat dari penurunan venous
return. Hipotensi

yang

signifikan harus

diobati

dengan pemberian cairan intravena yang sesuai


dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau
fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada
pasien yang sehat pada saat dilakukan Anestesi
spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya
karena terjadi bradikardia yang berat walaupun
hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil.
Pada kasus seperti ini, hipotensi atau hipoksia
bukanlah penyebab utama dari

cardiac arrest

tersebut tapi merupakan dari mekanisme reflek


bradikardi dan asistol yang disebut reflek BezoldJarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringer
laktat) secara cepat sebanyak 10-15rn1/kgbb dim 10
menit segera setelah penyuntikan Anestesia spinal.
Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih
terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor
seperti efedrin intravena sebanyak 10 mg diulang
setiap 3-4 menit sampai mencapai tekanan darah
yang

dikehendaki.

Bradikardia

dapat

terjadi

karena aliran darah balik berkurang atau karena


blok simpatis, dapat diatasi dengan sulfas atropine
1/8-1/4 mg IV.
b. Blok spinal tinggi atau total.
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat
dari kesalahan perhitungan dosis yang diperlukan
untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul
dari

hal

ini

adalah

hipotensi,

henti

nafas,

penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika


tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung.
Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi
arterial dan kapasitas pembuluh darah vena.
c. Hipotensi.
Hipotensi adalah komplikasi yang paling sering
teriadi pada Anestesi spinal. Hal ini menyebabkan
teriadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital
terutama

otak

dan

jantung,

yang

cenderung

menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke


serebral

merupakan

faktor

pendng

yang

menyebabkan terjadi henti nafas pada Anestesi


spinal

total.

Walau

hagaimanapun,

terdapat

kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi


akibat

dari

blok

pada

saraf

somaticinterkostal.

Aktivitas saraf phrenik biasanya dipertahankan.


Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong
terjadinya penunman kesadaran. Jika hipotensi ini
tidak

diatasi, sirkulasi jantung akan berkurang

seterusnya

menyebabkan

terjadi

iskemik

miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan


akhimya menyebabkan henti jantung. Pengobatan
yang

cepat

sangat

penting

dalam

mencegah

terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk


pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian
oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat Anestesi
spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan
normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada
sequel

yang

permanen

yang

disebabkan

oleh

komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan


yang cepat dan tepat.
d. Komplikasi respirasi
e. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok

spinal tinggi. bila tinggi paru-paru normal.


f.
Penderita PPOM atau COPD merupakan
kontraindikasi untuk blok spinal tinggi.
g. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang
terlalu tinggi atau karena hipotensi berat dan
iskemia medulla.
h. Kesulitan bicara.batuk kering yang persisten,
sesaknafas,

merupakan

adekuatnya

pemafasan

tanda-tanda
yang

perlu

tidak
segera

ditangani dengan pernafasan buatan.


4. Komplikasi postoperative :
a. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia,
tonus parasimpatis berlebihan, pemakaian obat
narkotik,

reflek

karena

tracsi

pada

traktus

gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing


kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri
kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada
perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai
terasa pada 24-48 jam, pasca pungsi lumbal,
dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang
tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.
b. Nyeri kepala
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh
pasien adalah nyeri kepala. Nyeri kepala ini bisa
terjadi selepas Anestesi spinal atau tusukan pada
dural

pada

Anestesi

epidural.

Insiden

terjadi

komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti


ukuran jarum yang menggunakan. Semakin besar
ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi
nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri
kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan
pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan
biasanya muncul dalam 6-48 jam selepas suntikan
Anestesi

spinal.

Nyeri

kepala

yang

berdenyut

biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke


retro oksipital, dan Bering disertai dengan tanda
meningismus, diplopia, mual, dan muntah. Tanda
yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah
nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau
berubah

posisi

dari

tiduran/supinasi

ke

posisi

duduk. dan akan berkurang atau hilang total bila


pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 48 jam harus di coba teriebih dahulu seperti tirah
baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena),
analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen.
Tekanan pada vena cava akan renyebabkan terjadi
perbendungan

dari

plexus

vena

pelvik

dan

epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari


cairan

serebrospinal

dengan

meningkatkan

tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak


efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke
dalam epidural untuk menghentikan kebocoran.
c. Nyeri punggung
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri
punggung

akibat

dari

tusukan

jarum

yang

menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur


dari struktur ligament dengan atau tanpa hematoma
intraligamentous.

Nyeri

punggang

trauma

jarum

dapat

suntikan

di

akibat
obati

dari

secara

simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa


waktu yang singkat saja.
d. Komplikasi neurologik
Insidensi defisit neurologi berat dari Anestesi spinal
adalah rendah. Komplikasi neurologik yang paling
sering

adalah

meningitis

aseptik.

Sindrom

ini

muncul dalam waktu 24 jam setelah Anestesi spinal


ditandai

dengan

demam,

rigiditas

nuchal

dan

fotofobia. Meningitis aseptic hanya memeriukan


pengobatan

simptomatik

dan

biasanya

akan

menghilang dalam beberapa hari. Sindrom cauda


equina muncul setelah regresi dari blokneuraxial.
Sindrom ini mungkin dapat menjadi permaoen atau
bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu
atau bulan. Ditandai dengan defisit sensoris pada
area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan
derajat yang bervariasi pada defisit motorik pada
ekstremitas bawah. Komplikasi neurologic yang
paling serius adalah arachnoiditis adesif, Reaksi ini
biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan
setelah Anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini
ditandai

oleh

motorik

pada

penyakit

defisit

ini

meninges

sensoris

tungkai
terdapat

dan

dan

yang
reaksi

vasokonstriksi

kelemahan

progresif

Pada

proliferatif

dari

dari

vasculature

korda spinal. Iskemia dan infark korda spinal bisa


terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.
Penggunaan epinefrin di dalam obat Anestesi bisa
mengurangi

aliran

darah

ke

korda

spinal.

Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat


trauma tusukan jarum pada spinal maupun epidural,
kateter epidural atau suntikan solution Anestesi
lokal intra neural adalah jarang, tapi tetap berlaku.
Perdarahan

subaraknoid

yang

terjadi

akibat

Anestesi regional sangat jarang beriaku karena


ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor
didalam

ruang

subaraknoid.

Hanya

pembuluh

darah radikular lateral merupakan pembuluh darah


besar di area lumbar yang menyebar keruang
subaraknoid

dari

akar

saraf.

Sindrom

spinal-

arterianterior akibat dari Anestesia adalah jarang.


Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada

tungkai bawah karena iskemia pada 2/3 anterior


bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya
tidak merata dan adalah sekunder dari nekrosis
iskemia pada akar posterior saraf dan bukannya
akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri.
Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinalarteri kekurangan bekalan darah ke arteri spinal
anterior karena terjadi gangguan bekalan darah
dari arteri-arteri yang diganggu oleh operasi,
kekurangan

aliran

Sarah

dari

arteri

karena

hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran


darah

sama

ada

dari

kongesti

vena

obstruksi

aliran.

Anestesi

regional

penyebab

yang

mungkin

yang

terjadinya

sindrom

beberapa

faktor,

menggunakan

spinal-arteri
contohnya

obat

maupun

merupakan

menyebabkan
anterior

Anestesi

Anestesi

oleh
spinal

lokal

yang

dicampurkan dengan epinefrin. Jadi kemungkinan


epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada
arteri spinal anterior atau pembuluh darah yang
-nemberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang
timbul

setelah

Anestesi

regional

dapat

menyebabkan kekurangan aliran darah. infeksi


pada spinal sangat jarang terjadi kecuali dari
penyebaran
berasal dari

bacteria

secara

Hematogen

lokal infeksi ditempat lain.

yang
Jika

Anestesi spinal diberikan kepada pasien yang


mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan
terjadi penyebaran ke bakteri ke spinal. Oleh
yang demikian, penggunaan Anestesi spinal pada
pasien

dengan

bakteremia

merupakan

kontraindikasi relatif. Jika infeksi terjadi di dalam

ruang

subaraknoid,

akan

menyebabkan

arachnoiditis. Tanda dan symptom yang paling


prominen

pada

komplikasi

punggung

yang

berat,

ini

nyeri

adalah
lokal,

nyeri

demam,

leukositosis, dan rigiditasnuchal. Oleh itu, adalah


benar jika menggunakan Anestesi regional pada
pasien yang mengalami infeksi kulit lokal pada
area

lumbar

atau

yang

menderita

selulitis.

Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan


pemberian antibiotik dan drenase jika perlu.
5. Retentio urine / Disfungsi kandung kemih
Fungsi kandung kemih dapat terjadi

selepas

Anestesi umum maupun regional. Fungsi kandung


kencing

merupakan

kembali

paling

bagian

akhir

pada

yang

fungsinya

analgesia

spinal,

umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan


saraf

permanen

merupakan

komplikasi

yang

sangat jarang terjadi.

BAB IV

ASUHAN KEPERAWATAN
Ruangan/kamar : OK IRD lt 5 / 04
No. Register
: 12.43.30.12
Tanggal MRS
: 03 Agustus 2015
Tanggal Pengkajian
: 03 Agustus 2015 jam 15.10 WIB
Diagnosa Medis : G1P0000 33/34 mgg + Placenta letak rendah
+ TBJ 1800Kg
Tindakan Operasi : Sectio Caesaria
A. PENGKAJIAN

a. Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Status
Suku
Agama
Berat Badan
Alamat

:
:
:
:
:
:
:
:

NY. S
31 Tahun
Perempuan
Menikah
Jawa
Islam
70 kg
Penjaringan Sari 17A - Rungkut

b. Anamnesa
1. Keluhan Utama
: Kenceng - kenceng
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien tgl 27 Juli 2015 mengalami perdarahan sebanyak +
1 pembalut dan disertai gumpalan darah, pasien ke RS.
Pura Raharja dan dikatakan placenta menutupi jalan lahir
dan

disarankan

MRS,

tanggal

31

Juli

2015

pasien

mengalami perdarahan kembali dan diputuskan pasien di


rujuk ke RS. Dr. Soetomo dengan G1P0000 33/34 mgg +
APB Fluxus aktif e.c placenta previa pro terminasi ( post
terminasi paru 2 hari)

3. Riwayat Persalinan :
Hamil ini
HPHT : 05 Desember 2014
TP
: 11 September 2015
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Di dalam keluarg klien tidak ada yang mempunyai penyakit
menular, maupun menahun, dan tidak ada yang menderita
penyakit yang sama.
c. Pemeriksaan Fisik
B1 (Breath)

Airway

Jalan

nafas

bebas,

nafas

spontan,gerak leher bebas, buka mulut 3 jari,


jarak mentohyoid 3 jari, jarak hyothiroid 2 jari,
leher pandek (-), malampathy 3, obesitas (+),

tidak di temukan adanya gigi goyang, sulit


ventilasi (-)
Breathing = SR, RR 18x/mnt, Rh -/-, Wh -/-,
B2 (Blood)

SpO2 : 98 % dengan O2 21 %
: TD 120/78 mmHg, Nadi 98 x/menit, CRT < 2

B3 (Brain)

detik, perfusi hangat, kering, merah.


: Keadaan umum cukup, GCS E4V5M6, pupil

isokor (3/3), reflek cahaya (+/+)


B4 (Bladder) : Terpasang kateter No.16 tgl 03 Agustus 2015
B5 (Bowel)
: Abdomen Gravida(+), Bising Usus (+)
B6 (Bone)
: edema -/d. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Laboratorium
:
Tanggal 03 Agustus 2015 Jam 14.10 WIB
HB
: 10,3 g/dl
(Normal: 11,0 14,7)
BUN
: 28 mg/dl
(Normal: 10-20)
Albumin
: 2,57 gr/dl
(Normal: 3,4-5)
Kreatinin serum : 1,49 mg/dl
(Normal: 0,5-1,2)
SGOT
: 11 U/L
(Normal: < 41)
SGPT
: 09 U/L
(Normal: < 38)
PPT
: 9,8 detik
(Normal: 9 12 detik)
APTT
: 21,5 detik
(Normal: 23 33
detik)
GDA
Natrium

: 61 mg/dl
: 136 mmol/I

(Normal: 0,50 1,20)


(Normal:
136-

144)
Kalium
: 4,5 mmol/I
(Normal: 3,8-5)
Klorida
: 112 mmol/I
(Normal: 97-103)
2) Pemeriksaan USG
Tanggal 03 Agustus 2015
BPD : 81.9 ~ 33 mgg
HC
: 277 ~ 30/31 mgg
AC
: 262 ~ 30 mgg
FL
: 63.8 ~ 33 mgg
EFW : 1760 g
Placenta Corp. ant. / gr I / Ketuban cukup
e. Status Anastesi
1. Pre Operatif, tgl 03 Agustus 2015
a. Informed consent
b. Dilakukan anamnesa dan pemeriksaan
hasilnya adalah :
1) TD
: 120/78 mmHg

fisik

yang

2) N
: 98 x/menit
3) RR
: 18 x/menit
4) BB
: 70 kg
c. Pasien disiapkan Operasi Cito di OK IRD 04
d. Pasang Infus RL 60cc/jam (surflo 18, blood set, three way
panjang)
e. Pemeriksaan Laboratorium dan penunjang lainnya
f. Berdoa
g. Kesimpulan evaluasi pra bedah :
PS ASA 2 dengan penyulit : Serum Kreatinin

Hipoalbumin
h. Rencana Operasi : Anastesi : SAB
Posisi
: Supine
2. Durante Operatif
a. Persiapan Pasien
1) Informed Concent
2) Memasang monitor, (EKG, Tensi, SpO2, RR)
3) Memasang 2 IV line dan Pastikan IV line terfiksasi
dengan baik dan infus berjalan dengan lancar
4) Memasang kateter urine
b. Persiapan Obat
1) Obat Emergency :
a) Sulfas Atropin 0.25mg/cc
b) Lidocain 2% 40mg/cc
c) Ephedrine
5mg/cc
2) Obat Induksi :
a) Midazolam 1mg/cc
b) Fentanyl 50mg/cc
c) Lidodex 5 % 1 ampul
d) Lidocain 2 % 1 ampul
c. Persiapan Alat
1) Alat untuk General Anastesi :
a) Mesin anastesi yang siap pakai
b) Bag Valve Mask
c) Bag and mask + selang O2 dan sumber O2
d) Chateter suction dan mesin suction pastikan
e)
f)
g)
h)

berfungsi baik
Xyllocain spray
ETT no 6. 6,5. 7
Stilet
Magyll Forceps

i) Laryngoscope

lengkap

dengan

blade

sesuai

ukuran dan pastikan lampu menyala dengan


terang.
j) Oropharingeal tube
k) Stetoskop
l) Spuit 20cc
m) Plester untuk fixasi ETT
n) Bantal Intubasi, donat
2) Alat untuk SAB :
a) Alat alat steril
Baki steril
1 duk lubang steril
Cucing steril 2 biji
Korentang / rintang steril 1 biji
Depress steril 6 biji
Spinocain
b) Alat alat tidak steril
Spuit 3cc 1 biji
Spuit 5cc 1 biji
Betadine
Alkohol 70%
Lekomet/plester
d. Penatalaksanaan Anastesi
1) Premedikasi
: tidak di lakukan premedikasi
2) Jenis Anestesi
: SAB
3) Posisi Operasi
: Supine
4) SAB jam 15.10 WIB
Tehnik : SAB paramedian Approach L3-4 LCS

mengalir
Anestesi lokal obat : Lidodex 0,5 %, 60 mg
Tipe : Hiperbarik
Jumlah volume : 1,2 cc
Keterangan : Tercapai blok setinggi Th 6

5) Kondisi Hemodinamik pasien durante operasi :

6) Cairan masuk durante operasi :


Cairan Kristaloid

: RL 400 cc

7) Cairan keluar durante operasi :

EBV

Urine
Darah

: 200 cc
: 300 cc

: 70 cc x BB
: 70 cc x 75 = 5250 cc

Hb

11.2

g/dl
EBL

: Derajat Perdarahan x EBV


: 10 % x 5250 = 525 cc Hb : 10.08 g/dl
: 20 % x 5250 = 1050 cc

Hb

8.96

: 30 % x 5250 = 1575 cc

Hb

7.84

: 40 % x 5250 = 2100 cc

Hb

6.72

: 50 % x 5250 = 2625 cc

Hb

g/dl
g/dl
g/dl
:

5.6

g/dl
11) Lama Operasi

: 15.30 WIB 16.30 WIB

3. Pesanan pasca anastesi :


Jaga airway tetap bebas
O2 masker 6 lpm bila SpO2 < 95%
Infus RD5 1000 cc/ 24 jam
Sementara puasa, mual (-), muntah (-)
sedikit sedikit
Bila
mual
(+),muntah(+),

miringkan

minum
kepala

bersihkan, kalau perlu suction


Observasi TTV dan perfusi tiap 15 menit, produksi
urine 60 menit
Lapor dokter bila : TDS > 140 atau TDS < 100 mmHg
ND > 100 atau ND < 60 x/m
RR > 25 atau RR < 12 x/m
T
> 38 atau T
< 36 0C
Terapi: Ranitidin 2 x 50 mg IV
Metoclopramid 3 x 10 mg IV
Ketorolac 3 x 30 mg IV
Tramadol 3 x 100 mg IV

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Kemungkinan Diagnosa Keperawatan yang dapat terjadi selama durante
operasi antara lain :
1. Resiko terjadi

perdarahan

berhubungan

dengan

tindakan

pembedahan
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan discontinuitas
jaringan dan syaraf akibat trauma

C. INTERVENSI
Dx 1

: Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan tindakan

pembedahan
Tujuan tercapai dalam 1 x 60 menit dengan kriteria :

Tidak ditemukan adanya tanda-tanda syock


Hb dalam batas normal (9-10 gr/dl)
Perdarahan minimal
TTV dalam batas normal :
TD (systole 110-130 mmHg, diastole 70-90 mmHg)
HR (60 100 x/menit)
RR (16 20 x/menit)
T (36,5 37,50C)

Intervensi :
a. Kaji tanda-tanda vital
R/ Menetapkan data dasar pasien, untuk mengetahui dengan cepat
penyimpangan dari keadaan normalnya
b. Observasi adanya tanda tanda syock
R/ Agar dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani syock
yang dialami pasien
c. Berikan cairan intravaskuler sesuai program dokter
R/ Pemberian cairan IV sangat penting bagi pasien yang
mengalami devisit volume cairan dengan keadaan umum yang
buruk karena cairan langsung masuk ke dalam pembuluh darah
d. Kaji output dan input cairan
R/
Untuk mengetahui keseimbangan cairan dan tingkatan
dehidrasi
e. Komunikasi dengan dokter bedah / operator untuk berhati hati dan
segera memblok pembulu darah jika ada pendarahan.
R/ Sebagai upaya untuk mengurangi jumlah pendarahan.

Dx 2

Gangguan

rasa

nyaman

(nyeri)

berhubungan

dengan

discontinuitas jaringan dan syaraf akibat trauma


Tujuan tercapai dalam waktu 1 x 60 menit : klien mengungkapkan tidak
ada keluhan, dengan kriteria :
Pasien tampak rileks
Tidak ada posisi tubuh melindungi
Tidak ada kegelisahan atau ketegangan otot
Nilai VAS : 1 2
Tanda tanda vital dalam batas normal :
TD (systole 110-130 mmHg, diastole 70-90 mmHg)
HR (60 100 x/menit)
RR (16 20 x/menit)
T (36,5 37,50C)
Intervensi :
1. Kaji skala nyeri dengan memantau perubahan tanda vital pada
monitor selama durante operasi.
R/ mengetahui secara dini perubahan yang terjadi pada pasien.
2. Monitor tanda-tanda vital
R/ deteksi dini terhadap perkembangan hemodinamik pasien.
3. Pertahankan kenyamanan pasien dengan memberi analgetik pada
pasien.
R/ Menghilangkan rasa nyeri pada pasien agar tidak mempengruhi
hemodinamik pasien.
4. Memberi O2 dan sedasi yang adekuat selama durante operasi.
R/ O2 dan sedasi yang adekuat memberi efek relaksasi pada
pasien.
5. Kolaborasi pemberian terapi post op setelah durante operasi
hamper selesai.
R/ Menangani nyeri post operasi.

D. IMPLEMENTASI
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan
ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang

diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan


untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan
klien.Adapun tahap-tahap dalam tindakan keperawatan adalah sebagai
berikut :
Tahap 1 : persiapan
Tahap awal tindakan keperawatan ini menuntut perawat

untuk

mengevaluasi yang di indentifikasi pada tahap perencanaan.


Tahap 2 : intervensi
Fokus tahap pelaksanaan tindakan perawatan adalah kegiatan dan
pelaksanaan tindakan dari perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik
dan emosional.
Tahap 3 : dokumentasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang
lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan.
E. EVALUASI
Perencanaan

evaluasi

memuat

kriteria

keberhasilan

proses

dan

keberhasilan tindakan keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat


dengan jalan membandingkan antara proses dengan pedoman/rencana
proses tersebut. Sedangkan keberhasilan tindakan dapat dilihat dengan
membandingkan antara tingkat kemandirian pasien dalam kehidupan
sehari-hari dan tingkat kemajuan kesehatan pasien dengan tujuan yang
telah di rumuskan sebelumnya.

S-ar putea să vă placă și