Sunteți pe pagina 1din 47

REFERAT

ILMU PENYAKIT SARAF


SPONDILITIS TUBERKULOSA

Pembimbing:
dr. Dian Maria Pia, Sp.S
Penyusun:
Albert Kurniawan

2009.04.0.0065

Hendry Prasetyo Wibowo

2009.04.0.0067

Julius Tanoto

2010.04.0.0049

Stefanus Budi Setiawan

2010.04.0.0051

Vega Christina Paath

2010.04.0.0052

Elisia

2010.04.0.0054

Maria Adventia Debi M.M

2010.04.0.0055

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2015

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
ILMU PENYAKIT SARAF

Judul Referat Spondilitis Tuberkulosa telah diperiksa dan disetujui


sebagai salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
Dokter Muda di bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSAL dr. Ramelan Surabaya.

Mengetahui:
Pembimbing

dr. Dian Maria Pia, Sp.S

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,


karena dengan rahmat dan karunia-Nya akhirnya referat yang berjudul
Spondilitis Tuberkulosa ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat
pada waktunya.
Penyusunan referat ini merupakan salah satu pemenuhan tugas
kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf di RSAL dr. Ramelan Surabaya. Tak
lupa ucapan terima kasih kami ucapkan pada semua pihak yang telah
membantu penyusunan referat ini, terutama kepada dr. Dian Maria Pia,
Sp.S yang membimbing penyusunan referat ini.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Penulis
menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran yang
membangun, selalu penulis harapkan.

Surabaya, 23 Agustus 2015

Tim Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul

Lembar Pengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi

ii

iii

iv

Daftar Gambar

Daftar Tabel vi
BAB I PENDAHULUAN

BAB II SPONDILITIS TUBERKULOSA 3


2.1 Definisi

2.2 Anatomi 3
2.3 Epidemiologi
2.4 Etiologi

2.5 Patogenesis

2.6 Klasifikasi

13

2.7 Manifestasi Klinis


2.8 Diagnosis

16

18

2.9 Pemeriksaan penunjang


2.10 Diagnosis Banding

28

2.11 Penatalaksanaan

29

2.12 Prognosis

36

2.13 Komplikasi

36

BAB III KESIMPULAN

38

23

DAFTAR PUSTAKA 39

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi vertebra

Gambar 2.2 Ciri-ciri vertebra

Gambar 2.3 Skema patogenesis spondilitis tuberkulosa

11

Gambar 2.4 MRI spondilitis tuberkulosa 18


Gambar 2.5 Skor ASIA

22

Gambar 2.6 X-Ray sacral spondilitis tuberkulosa dan foto thoraks


Gambar 2.7 X-Ray dan MRI C6-C7
Gambar 2.8 Hong Kong Operation

26

27

35

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Potts Paraplegia

14

Tabel 2.2 Klasifikasi klinikoradiologis

14

Tabel 2.3 Klasifikasi berdasarkan lesi

15

Tabel 2.4 Klasifikasi ASIA 15

BAB I
PENDAHULUAN
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang juga dikenal
dengan nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral
osteomyelitis adalah penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia.
Penyakit ini mengenai tulang belakang yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi
tiap tahun dikarenakan penyakit ini. ,
Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada
tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat
gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak
dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil
tersebut oleh Koch tahun 1882 sehingga etiologi untuk kejadian tersebut
menjadi jelas. ,
Dahulu,

spondilitis

tuberkulosa

merupakan

istilah

yang

dipergunakan untuk penyakit pada masa kanak-kanak, terutama usia 3


5 tahun. Namun seiring waktu dengan adanya perbaikan pelayanan
kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga
golongan usia dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anakanak.
Infeksi

Mycobacterium

tuberculosis

pada

tulang

belakang

terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi


terutama oleh penyebaran melalui hematogen. Penyakit ini sangat
berpotensi menyebabkan morbiditas serius, termasuk defisit neurologis
dan deformitas tulang belakang yang permanen, oleh karena itu diagnosis
dini sangatlah penting. Diagnosis dini spondilitis tuberkulosa sulit
ditegakkan dan sering disalahartikan sebagai neoplasma spinal atau
spondilitis piogenik lainnya. Diagnosis biasanya baru dapat ditegakkan

pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas tulang belakang yang
berat dan defisit neurologis yang bermakna seperti paraplegia. ,,,
Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang
belakang sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada kasuskasus tertentu diperlukan tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang
harus dilakukan dengan baik sebelum ataupun setelah penderita
menjalani tindakan operatif. Tata laksana spondilitis TB secara umum
adalah kemoterapi dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), imobilisasi, dan
intervensi bedah ortopedi atau saraf. Banyak penelitian telah dilakukan
untuk mengevaluasi efektivitas pendekatan penanganan spondilitis
tuberkulosa dengan hasil dan rekomendasi yang beragam. ,

BAB II
SPONDILITIS TUBERKULOSIS
2.1 Definisi
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah
peradangan granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh
Mycobacterium tuberculosis. Spondilitis ini sering ditemukan pada T8
L3 dan paling jarang pada vertebra C1 2. Spondilitis tuberkulosis
biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus
vertebrae3.
2.2 Anatomi

Gambar 2.1 Anatomi vertebra (Currier and Eismont, 1992)

Vertebra adalah tulang yang membentuk punggung yang mudah


digerakkan. Terdapat 33 vertebra pada manusia yaitu 7 ruas vertebra
servikal, 12 ruas vertebra thorakalis, 5 ruas vertebra lumbalis, 5 ruas
vertebra sakralis yang membentuk os sacrum, dan 4 ruas vertebra
coccygealis yang membentuk os coccygeus (Rohen and Decroil,
2009).Dibawah ini dipaparkan ciri-ciri masing-masing vertebra.
1. Vertebra Servikalis
Mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
- Korpus vertebra kecil, pendek, dan berbentuk segiempat.
- Foramen vertebra berbentuk segitiga dan besar.
- Processus transversus terletak di sebelah vertebra processus articularis.
- Pada processus transversus terdapat foramen costotransversarium,
dilalui oleh arteri dan vena vertebralis.
- Processus transversus mempunyai dua tonjolan, yaitu tuberculum
anterius dan tuberculum posterius yang dipisahkan oleh sulcus spinalis,
dilalui oleh nervus spinalis.
- Processus spinosus pendek dan bercabang dua (Rohen and Decroil,
2009).
2. Vertebra Thorakalis
Mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
- Korpus vertebra berukuran sedang, berbentuk seperti jantung, bagian
anterior lebih rendah daripada bagian posterior.
- Foramen vertebra bulat.
- Processus spinosus panjang dan runcing.
- Pada processus transversus dan pada korpus vertebra terdapat fovea
costalis, tempat perhubungan dengan costa (Rohen and Decroil, 2009).
3. Vertebra Lumbalis
Vertebra lumbalis merupakan vertebra terbesar, korpusnya sangat
besar dibandingkan dengan korpus vertebra yang lainnya dan berbentuk
seperti ginjal melintang, processus spinosusnya lebar dan berbentuk
seperti kapak kecil, processus tranversusnya panjang dan langsing, ruas
ke lima membentuk sendi dengan sakrum pada sendi lumbo sakral
(Rohen and Decroil, 2009).
4. Vertebra Sakralis
Terdiri atas 5 ruas tulang yang saling melekat menjadi satu
membentuk os sacrum. Os sacrum berbentuk segitiga, dasarnya berada

10

di sebelah cranial, disebut basis ossis sacri, dan puncaknya berada di


bagian caudal, disebut apex ossis sacri (Rohen and Decroil, 2009).
5. Vertebra Coccygeus
Terdiri atas 4 ruas yang melekat menjadi satu tulang. Vertebra
coccygeus

masih

mempunyai

sisa-sisa

processus

transversus,

membentuk cornu coccygeus (Rohen and Decroil, 2009).

Gambar 2.2 Ciri-ciri vertebra (Currier and Eismont, 1992)

2.3 Epidemiologi
Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan
mortalitas

utama

pada

negara

berkembang,

terutama

di

Asia.

Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per
tahun. Diperkirakan 20-30% dari penduduk dunia terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Kasus ini semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya angka kejadian HIV. Diperkirakan 15% dari kejadian TB
tahun 2007 merupakan kejadian koinfeksi dengan HIV (WHO, 2009).
Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan China
dengan penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB menular
262.000 orang dan angka kematian 140.000 orang pertahun (Hidalgo,
2008).

11

Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya


berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat
yang tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini merupakan
sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan
sedang berkembang dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih
menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah
berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara
dramatis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Selain itu dari penelitian
juga diketahui bahwa peminum alkohol dan pengguna obat-obatan
terlarang adalah kelompok beresiko besar terkena penyakit ini(8).
Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama
mengenai dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia
dan Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara
usia 1-20 tahun).
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan
sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau
sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk
menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup
besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang
lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang
paling sering terkena tuberkulosa tulang (kurang lebih 50% kasus)(Gorse
et al. 1983), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang
lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dantangan jarang terkena. Area
torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal
bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada
area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai
maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral(2,3,4,9,10).

12

2.4 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil
(basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah
Mycobacterium tuberculosis, spesies lainnya seperti Mycobacterium
africanum

(Afrika

Barat),

bovine

tubercle

baccilus,non-tuberculous

mycobacteria (HIV). Bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnonmotile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang
konvensional. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium
tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan
spesies lain.
2.5 Patogenesis
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang
sifatnya

sekunder

dari

TBC

tempat

lain

di

dalam

tubuh.

Penyebarannya secara hematogen, diduga terjadinya penyakit ini


sering karena penyebaran hematogen dari infeksi traktus urinarius
melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra ditandai dengan proses
destruksi tulang progresif tetapi lambat di bagian depan (anterior
vertebral body). Penyebaran dari jaringan yang mengalami perkejuan
akan menghalangi proses pembentukan tulang sehingga berbentuk
tuberculos squestra. Sedang jaringan granulasi TBC akan penetrasi
ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang dapat menjalar ke
atas atau bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan posterior.
Sedangkan diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten
tetapi akan mengalami dehidrasi dan penyempitan karena dirusak
oleh jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian anterior
vertebra akan menimbulkan kifosis (Savant, 2007).

13

Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium


yaitu:
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh
penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni
yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya
terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak pada daerah
sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan
yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses,
yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya
dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan diskus intervertebralis.
Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan (wedging
anterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang
terjadi tetapi ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.
Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang kecil sehingga
gangguan neurologis lebih mudah terjadi di daerah ini. Apabila
terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia yaitu:
i. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau
berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf
sensoris.

14

ii. Derajat II
Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih
dapat melakukan pekerjaannya.
iii. Derajat III
Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak
atau aktivitas penderita disertai dengan hipoestesia atau
anestesia.
iv. Derajat IV
Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan
defekasi dan miksi.
TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau
lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang
masih aktif, paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari
abses paravertebral atau kerusakan langsung sumsum tulang
belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit
yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena tekanan pada jembatan
tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosis yang
progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi
secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai dengan
angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium
implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen karena kerusakan
vertebra yang massif di depan (Savant, 2007).
Patofisiologi
Kuman yg bangun kembali dari paru-paru akan menyebar
mengikuti aliran darah ke pembuluh tulang belakang dekat
dengan ginjal. Kuman berkembang biak umumnya di tempat aliran
darah yg menyebabkan kuman berkumpul banyak (ujung pembuluh).
Terutama di tulang belakang, di sekitar tulang thorakal (dada) dan
lumbal (pinggang) kuman bersarang. Kemudian kuman tersebut akan
menggerogoti badan tulang belakang, membentuk kantung nanah
(abses) yg bisa menyebar sepanjang otot pinggang sampai bisa

15

mencapai daerah lipat paha. Dapat pula memacu terjadinya


deformitas. Gejala awalnya adalah perkaratan umumnya disebut
pengapuran tulang belakang, sendi-sendi bahu, lutut, panggul.
Tulang rawan ini akan terkikis menipis hingga tak lagi berfungsi.
Persendian terasa kaku dan nyeri, kerusakan pada tulang rawan
sendi, pelapis ujung tulang yg berfungsi sebagai bantalan dan
peredam kejut bila dua ruang tulang berbenturan saat sendi
digerakkan.
Terbentuknya abses dan badan tulang belakang yg hancur, bisa
menyebabkan tulang belakang jadi kolaps dan miring ke arah depan.
Kedua hal ini bisa menyebabkan penekanan syaraf-syaraf sekitar
tulang belakang yg mengurus tungkai bawah, sehingga gejalanya bisa
kesemutan, baal-baal, bahkan bisa sampai kelumpuhan.
Badan tulang belakang yg kolaps dan miring ke depan
menyebabkan tulang belakang dapat diraba dan menonjol di belakang
dan nyeri bila tertekan, sering sebut sebagai gibbus
Bahaya yg terberat adalah kelumpuhan tungkai bawah, karena
penekanan batang syaraf di tulang belakang yg dapat disertai
lumpuhnya syaraf yg mengurus organ yg lain, seperti saluran kencing
dan anus (saluran pembuangan).
Tuberkulosis tulang adalah suatu proses peradangan yg kronik
dan destruktif yg disebabkan basil tuberkulosis yg menyebar
secara hematogen dari fokus jauh, dan hampir selalu berasal dari
paru-paru. Penyebaran basil ini dapat terjadi pada waktu infeksi primer atau pasca primer. Penyakit ini sering ter-jadi pada anak-anak.
Basil tuberkulosis biasanya menyangkut dalam spongiosa tulang.
Pada tempat infeksi timbul osteitis, kaseasi clan likuifaksi dengan
pembentukan pus yg kemudian dapat mengalami kalsifikasi. Berbeda
dengan osteomielitis piogenik, maka pembentukan tulang baru pada
tuberkulosis tulang sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Di
samping itu, periostitis dan sekwester hampir tidak ada. Pada

16

tuberkulosis tulang ada kecenderungan terjadi perusakan tulang


rawan sendi atau diskus intervertebra.
Dari pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan refleks fisiologis normal.
Ditemukan hipestesia (raba) setinggi VT6. Tidak ditemukan adanya
refleks patologis. Pada pemeriksaan nervi cranialis tidak ditemukan
adanya kelainan.
Gambar 2.3 Skema patogenesis spondilitis tuberkulosa

Patologi
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran
hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta

17

atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah
ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus
infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang
paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.
Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang
berasal dari fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa
penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar
yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan,
yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas
vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batsons yang mengelilingi
columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang
terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus,
penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,
sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga
bentuk spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area
metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior / area
subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat
menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak
ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi
sehingga disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anakanak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini
dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas
spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat
spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari
vertebra di atas dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya

18

mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari


sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan
karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses
prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena
adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya
tidak

dapat

diidentifikasikan.

Termasuk

didalamnya

adalah

tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan


granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang
(tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan
spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral
posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior
tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
2.6 Klasifikasi
Menurut Wilson dan MacDonald, 2003, klasifikasi Spondilitis Tuberkulosis
dibedakan berdasarkan klinis dan gambaran radiologinya adalah sebagai
berikut.

19

1. Klasifikasi Potts Paraplegia


Tabel 2.1 Klasifikasi Potts Paraplegia

Klasifikasi Potts paraplegia disusun untuk mempermudah komunikasi


antar klinisi dan mempermudah deskripsi keparahan gejala klinis pasien
spondilitis TB.
2. Klasifikasi klinikoradiologis
Tabel 2.2 Klasifikasi klinikoradiologis

20

3. Klasifikasi berdasarkan lesi


Tabel 2.3 Klasifikasi berdasarkan lesi

Klasifikasi menurut Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) dibuat


berdasarkan kriteria klinis dan radiologis, antara lain : formasi abses,
degenarasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi sagital, instabilitas
vertebra dan gejala neurologis.

21

4. Klasifikasi ASIA
Untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis dan
memprediksi prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera
medula spinalis digunakan klasifikasi American Spinal Injury
Association (ASIA)

Tabel 2.4 Klasifikasi ASIA


2.7 Manifetasi Klinis
2.7.1 Gejala Umum
Gejala umum meliputi gejala konstitusional, nyeri punggung, nyeri
tulang belakang, paraplegia, dan kelainan bentuk tulang belakang.
Manifestasi lainnya yaitu letargi, keringat malam, penurunan berat badan
dan tanda sistemik seperti anemia (Garg and Somvanshi, 2011).

2.7.2 Gejala Lokal


Gambaran klinis karakteristik spondilitis tuberkulosa termasuk rasa
sakit lokal, nyeri lokal, kekakuan dan kejang otot, abses dingin, gibbus,
dan deformitas tulang belakang menonjol. Gejala yang paling menonjol
adalah nyeri dan kaku punggung. Nyeri dapat dirasakan terlokalisir
disekitar lesi atau berupa nyeri menjalar sesuai saraf yang terangsang.
Spasme otot punggung terjadi sebagai suatu mekanisme pertahanan
menghindari pergerakan pada vertebra. Saat penderita tidur, spasme otot

22

hilang dan memungkinkan terjadinya pergerakan tetapi kemudian timbul


nyeri lagi. Gejala ini dikenal sebagai night cry, umumnya terdapat pada
anak-anak (Garfin and Vaccaro, 1997).
Abses dingin perlahan-lahan berkembang ketika infeksi TB meluas ke
ligamen yang berdekatan dan jaringan lunak. Abses dingin ditandai
dengan kurangnya rasa sakit dan tanda-tanda peradangan lainnya (Kotil
et al., 2007).
Deformitas

tulang

belakang

merupakan

ciri

dari

spondilitis

tuberkulosa. Jenis kelainan tulang belakang tergantung pada lokasi lesi


vertebral TB. Pada vertebra servikal, dapat ditemukan gejala kaku leher,
nyeri vertebra yang menjalar ke oksipital atau lengan yang dirasakan lebih
hebat bila kepala ditekan ke arah kaudal. Kemudian dapat terjadi
deformitas, lordosis-normal akan berkurang dan bila pada anak-anak akan
menopang kepalanya dengan lengan, abses retrofaringeal atau servikal,
paralisa lengan diikuti oleh paralisa tungkai (Moesbar, 2006).
Kifosis, deformitas tulang belakang yang paling umum, terjadi dengan
lesi yang melibatkan vertebra thoraks. Tingkat keparahan kifosis
tergantung pada jumlah tulang yang terlibat. Peningkatan deformitas
kifosis sebesar 10 atau lebih dapat terlihat pada sampai dengan 20% dari
kasus, bahkan setelah pengobatan (Owolabi et al., 2010).
Pada daerah lumbosacral dapat dijumpai gejala lokal misalnya
deformitas, nyeri yang menyebar ke ekstremitas bawah, abses psoas, dan
gangguan gerak pada sendi panggul (Moesbar, 2006).

23

Gambar 2.4 MRI spondilitis tuberkulosa (Garg and Somvanshi, 2011)


Keterangan : 'Pembentukan gibbus' di daerah torakolumbal dari pasien
dengan spondilitis tuberkulosa (foto kiri). Hasil MRI menunjukkan
spondilitis tuberkulosa di T10-T12. Spondilitis tuberkulosa
menyebabkan kerusakan, kolaps tulang belakang, dan angulasi tulang
belakang (foto kanan)

2.8 Diagnosis
Diagnosis dari penyakit spondilitis tuberkulosa biasanya terlambat
karena perkembangan penyakit yang lambat serta gejala yang tidak terlalu
khas.

Diagnosis

dini

spondilitis TB

sulit

ditegakkan

dan

sering

disalahartikan sebagai neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya.


Ironisnya, diagnosis biasanya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut,
saat sudah terjadi deformitas tulang belakang dan defisit neurologis
(Coraican et al, 2006, Sinan T et al, 2004, Savvidau C, 2000).
Penegakan diagnosis Spondilitis tuberkulosa dapat dilihat melalui
beberapa tanda seperti (Savant and Rajamani, 1997):

Nyeri punggung yang terlokalisir.

Bengkak pada daerah paravertebral.

24

Tanda dan gejala sistemik dari TB.

Tanda defisit neurologis, terutama paraplegia.


Penegakan

umumnya

diagnosis

melalui

pemeriksaan

seperti

anamnesis,

penunjang.

pada

pemeriksaan

Keberhasilan

penyakit-penyakit
fisik,

melakukan

diikuti

pada
dengan

diagnosis

dini

menjanjikan prognosis yang lebih baik.


Menurut Garg and Somvanshi (2011), cara mendiagnosis pasien
tersebut spondilitis tuberkulosa adalah :
1. X-ray, CT Scan, atau MRI tulang belakang harus dilakukan pada
semua pasien.
2. Spinal MRI menentukan tingkat dan sifat dari penghancuran tulang
serta keterlibatan jaringan lunak (termasuk saraf tulang belakang).
3. Skrining seluruh tulang belakang harus dilakukan untuk mencari lesi.
4. Semua pasien harus memiliki foto thoraks x-ray untuk mendeteksi TB
paru.
5. Keuntungan dan kerugian dari biopsi dan FNAB (aspirasi jarum) harus
didiskusikan dengan pasien, dengan tujuan memperoleh bahan yang
memadai untuk diagnosis.
6. Material yang diperoleh dari lokasi spondilitis tuberkulosa dengan
biopsi jarum atau pembedahan terbuka harus diserahkan untuk
diperiksa mikrobiologi maupun histologi.
7. Regimen pengobatan yang tepat harus dimulai tanpa menunggu hasil
kultur.
8. Dokter harus mempertimbangkan spondilitis tuberkulosa bahkan jika
histologi dan tes diagnostik cepat dengan hasil

negatif, tetapi

kecurigaan klinis yang kuat.


9. Regimen obat yang sesuai harus dilanjutkan bahkan jika hasil kultur
berikutnya negatif.

25

2.8.1 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik


Nyeri punggung belakang adalah keluhan yang paling awal, sering
tidak spesifik dan membuat diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari
itu, setiap pasien TB paru dengan keluhan nyeri punggung harus dicurigai
mengidap spondilitis TB sebelum terbukti sebaliknya.
Selain itu, dari anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat TB paru,
atau riwayat gejala klasik (demam lama, diaforesis nokturnal, batuk lama,
penurunan berat badan) jika TB paru belum ditegakkan sebelumnya.
Demam lama merupakan keluhan yang paling sering ditemukan namun
cepat menghilang (satu hingga empat hari) jika diobati secara adekuat
(Ahn J.C., 2007). Paraparesis adalah gejala yang biasanya menjadi
keluhan utama yang membawa pasien datang mencari pengobatan.
Gejala neurologis lainnya yang mungkin dirasakan oleh pasien adalah
gejala seperti rasa kebas, baal, gangguan defekasi dan miksi (Jung N.Y.,
2004).
Pemeriksaan fisik umum dapat menunjukkan adanya fokus infeksi
TB di paru atau di tempat lain, meskipun pernah dilaporkan banyak
spondilitis TB yang tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi TB ekstraspinal
(Byrn T.N. et al, 2000, Pertuiset E et al, 1999). Pernapasan cepat dapat
diakibatkan oleh hambatan pengembangan volume paru oleh tulang
belakang yang kifosis atau infeksi paru oleh kuman TB. Infiltrat paru akan
terdengar sebagai ronkhi, kavitas akan terdengar sebagai suara amforik
atau bronkial dengan predileksi di apeks paru. Kesegarisan (alignment)
tulang belakang harus diperiksa secara seksama. Infeksi TB spinal dapat
menyebar membentuk abses paravertebra yang dapat teraba, bahkan
terlihat dari luar punggung berupa pembengkakan. Permukaan kulit juga
harus diperiksa secara teliti untuk mencari muara sinus/fistel hingga regio
gluteal dan di bawah inguinal (trigonum femorale). Tidak tertutup
kemungkinan abses terbentuk di anterior rongga dada atau abdomen
(Papavramidis, 2007).

26

Terjadinya gangguan neurologis menandakan bahwa penyakit telah


lanjut, meski masih dapat ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis yang
teliti sangat penting untuk menunjang diagnosis dini spondilitis TB. Pada
pemeriksaan neurologis bisa didapatkan gangguan fungsi motorik,
sensorik, dan autonom. Kelumpuhan berupa kelumpuhan upper motor
neuron (UMN), namun pada presentasi awal akan didapatkan paralisis
flaksid, baru setelahnya akan muncul spastisitas dan refleks patologis
yang positif. Kelumpuhan lower motor neuron (LMN) mononeuropati
mungkin saja terjadi jika radiks spinalis anterior ikut terkompresi. Jika
kelumpuhan sudah lama, otot akan atrofi, yang biasanya bilateral.
Sensibilitas dapat diperiksa pada tiap dermatom untuk protopatis (raba,
nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atas dan bawah untuk proprioseptif
(gerak, arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi keringat rutin
dikerjakan untuk menilai fungsi saraf autonom (Jung N.Y., 2004).

2.8.2 Pemeriksaan Khusus


Terdapat pemeriksaan khusus untuk menentukan kerusakan medulla
spinalis utuh atau tidak utuh yaitu dengan menggunakan ASIA (American
Spinal Injury Association) sacral sparing, yang terdiri dari 4 komponen
yaitu (James, 2005):
1. Kontraksi volunter anal
2. Skor sensori sentuhan S4-S5
3. Skor sensori tusuk (pin prick) S4-S5
4. Sensasi anal
Bila kontraksi volunteer anal tidak ada, semua skor sensori S4-S5
tidak ada dan sensasi anal tidak ada, maka kerusakannya termasuk
kerusakan utuh.

27

Gambar 2.5 Skor ASIA (James, 2005)


Pemeriksaan lain yang dibutuhkan adalah dengan mengecek dari
motorik dan sensoris sesuai dengan persarafan. Pada pemeriksaan ini,
hanya diambil beberapa saraf yang dianggap mewakili semua saraf, yaitu:
Motorik:
C-5: Fleksi dari sendi siku
C-6: Ekstensi dari pergelangan tangan
C-7: Ekstensi dari sendi siku
28

C-8: Fleksi dari distal phalang middle finger (jari tengah)


T-1: Abduksi dari jari kelingking tangan
L-2: Fleksi dari sendi pinggul
L-3: Ekstensi dari sendi lutut
L-4: dorsofleksi dari sendi ankle
L-5: Ekstensi dari jempol kaki
S-1: fleksi dari telapak kaki
Sensoris:
C-5 :Deltoid
C-6: Ibu jari tangan
C-7: Jari tengah tangan
C-8 :Jari kelingking tangan
T-4: Puting susu
T-8 :Xiphoid
T-10 :Umbilikus
T-12: Symphysis pubis
L-4: Tungkai bawah bagian medial
L-5 :Jari kaki pertama dan kedua
S-1 :Kaki bagian lateral
S-4: Perianal

2.9 Pemeriksaan Penunjang


2.9.1 Laboratorium
Pemeriksaan penunjang laboratorium, meliputi (Hidalgo et al., 2008):
1 Laju endap darah meningkat (tidak spesifik) dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
2 Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein
Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi
pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium.
Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,

29

kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72


jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada 20% kasus
dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang
immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi
atau disertai penyakit lain).
3 Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal),
sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang aktif).
4 Pemeriksaan mikroskopik dengan Ziehl-Nielsen didapatkan adanya
bakteri tahan asam basil berwarna merah. Pemeriksaan bisa juga
dilakukan dengan cara melakukan kultur pada media LowensteinJensen. Tetapi kultur ini memakan waktu 4-6 minggu. Saat ini telah
digunakan system BACTEC yang dapat memberikan hasil dalam 7-10
hari. Kendala yang timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain dan
harga yang mahal.
5 Tes darah untuk

titer

anti-staphylococcal

dan

anti-streptolysin

haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus


yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup
canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding
6 Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan
kemungkinan infeksi. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial
akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan
tampak:
Xantokrom
Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada
tahap akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada
meningitis piogenik.
Kandungan protein meningkat.
Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis
sangat kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.
7 Pemeriksaan dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent
Assay)

yang

dilaporkan

memiliki

sensitivitas

60-80%,

tetapi

30

pemeriksaan ini menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan


alergi.
8 Identifikasi dengan PCR (Polymerase Chain Reaction) yang masih
terus dikembangkan. Prosedur ini meliputi denaturasi DNA kuman
tuberkulosis melekatkan nukleotida tertentu pada fragmen DNA,
amplifikasi menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai
DNA utuh yang dapat diidentifikasi dengan gen.

2.9.2 Radiologi
1. X-Ray
Di negara-negara berkembang, x-ray masih tetap menjadi landasan
pencitraan tulang belakang. X-ray sering memberikan informasi yang
cukup untuk diagnosis dan pengobatan spondilitis tuberkulosa. X-ray
dapat menjelaskan perubahan yang konsisten pada spondilitis tuberkulosa
sampai dengan 99% dari kasus (Polley and Dunn, 2009). Temuan pada Xray meliputi penghalusan dari lempeng akhir vertebra, kehilangan tinggi
disk, kerusakan tulang, formasi baru-tulang dan abses jaringan lunak
(Watts and Lifeso, 1996). X-ray sulit untuk menilai kompresi sumsum
tulang belakang, keterlibatan jaringan lunak dan abses. Kelainan yang
jelas pada x-ray, biasanya pasien sudah mencapai stadium lanjut penyakit
dengan mayoritas memiliki kolaps vertebra dan defisit neurologis (Grag
and Somvanshi, 2011).

31

Gambar 2.6 X-Ray sacral spondilitis tuberkulosa dan foto thoraks


(Garg and Somvanshi, 2011)
Keterangan : X-ray dari daerah sacral tulang belakang menunjukkan
penghancuran tulang pada spondilitis tuberkulosa (foto kiri). Foto
thoraks pasien yang sama yang menunjukkan adanya TB paru (foto
kanan).
2. CT Scan
Menurut Perrone et al. (1994), CT scan menunjukkan kelainan lebih
awal dibandingkan x-ray. Pola kerusakan tulang: fragmentaris (47%),
osteolitik (34%), lokal

dan

sklerotik (10%), subperiosteal

(30%).

Sedangkan menurut Ridley et al. (1998), CT scan dapat menunjukkan


temuan lain termasuk keterlibatan jaringan lunak dan jaringan abses
paraspinal. CT scan bernilai besar menunjukkan setiap kalsifikasi dalam
abses dingin atau memvisualisasikan lesi epidural yang mengandung
fragmen

tulang.

CT scan

bernilai

terbesar

pada

penggambaran

perambahan dari kanal tulang belakang dengan ekstensi posterior


jaringan, tulang atau cakram materi inflamasi.
3. MRI
MRI merupakan neuroimaging pilihan untuk spondilitis tuberkulosa.
MRI lebih sensitif dibandingkan x-ray dan lebih spesifik daripada CT scan
dalam diagnosis spondilitis tuberkulosa. MRI memungkinkan untuk

32

penentuan cepat dari mekanisme keterlibatan neurologis (Moorthy and


Prabhu, 2002). MRI menunjukkan keterlibatan badan vertebra, kerusakan
disk, abses dingin, kolaps vertebra, dan kelainan bentuk tulang belakang.
Pada tahap awal, hanya disk yang degenerasi dengan perubahan
intensitas sinyal sumsum tulang vertebra yang terlihat, yang mungkin tidak
cukup menegakkan diagnostik spondilitis tuberkulosa. Pembentukan
abses, pengumpulan dan perluasan jaringan granulasi yang berdekatan
dengan

badan

vertebral

sangat

mungkin

terdiagnosis

spondilitis

tuberkulosa. MRI juga berguna dalam mendeteksi intramedulla atau


extramedullary tuberculoma, kavitasi sumsum tulang belakang, edema
sumsum tulang belakang, dan lesi noncontiguous (Polley and Dunn,
2009). Penyebaran subligamentous massa paraspinal dan keterlibatan
beberapa tulang berdekatan dan perubahan tulang belakang intramedulla
dapat sangat baik ditunjukkan dengan MRI (Oguz et al., 2008).

Gambar 2.7 X-Ray dan MRI C6-C7 (Garg and Somvanshi, 2011)
Keterangan : X-ray dari daerah serviks yang menunjukkan spondilitis
tuberkulosa pada C6-C7 dan abses retropharyngeal (foto kiri). Gambar
MRI dari pasien yang sama, yang menunjukkan penghancuran C6-C7.

33

4. CT Guided Needle Biopsy


Biopsi jarum dengan bantuan CT scan pada lokasi yang terkena di
tengah badan vertebral merupkan gold standard untuk diagnosis
histopatologis awal spondilitis tuberkulosa (Grag and Somvanshi, 2011).
Biopsi jarum yang dipandu CT Scan biasanya menghasilkan materi yang
cukup baik dari tulang belakang itu sendiri atau dari abses yang
berdekatan (Jain et al., 1993). Dalam sebuah studi di India, aspirasi
menggunakan biopsi jarum yang dilakukan dengan panduan CT Scan
berhasil mendiagnosis spondilitis tuberkulosa pada 34 dari 38 pasien
(Mondal, 1994).
2.10 Diagnosis Banding
Menurut Bohndorf and Imhof (2001), spondilitis tuberkulosa memiliki
beberapa diagnosis banding seperti:
1. Infeksi piogenik (contoh : karena

staphylococcal / suppurative

spondilitis). Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto


rontgen menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan
dua atau lebih korpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan
adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari
pemeriksaan laboratorium.
3. Tumor / penyakit keganasan

(leukemia,

Hodgkin`s

disease,

eosinophilic granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewing`s sarcoma).


Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya korpus
vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang
diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena
infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor
tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
4. Scheuermanns disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa
oleh karena tidak adanya penipisan korpus vertebra kecuali di bagian
sudut superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses
paraspinal.

34

2.11 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa ditujukan untuk eradikasi
infeksi , memberikan stabilitas pada tulang belakang dan menghentikan
atau memperbaiki kifosis. Kriteria kesembuhan sebagian besar ditekankan
pada tercapainya favourable status yang didefenisikan sebagai pasien
dapat beraktifitas penuh tanpa membutuhkan kemoterapi atau tindakan
bedah lanjutan, tidak adanya keterlibatan sistem saraf pusat, fokus infeksi
yang tenang secara klinis maupun secara radiologis (Currier and Eismont,
1992).
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan
sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta
mencegah

paraplegia.

Prinsip pengobatan paraplegia Pott`s sebagai berikut :


1. Pemberian obat antituberkulosis (OAT).
2. Dekompresi medulla spinalis.
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft).
Sebelum ditemukannya OAT yang efektif, penganganan spondilitis
TB hanya dengan metode imobilisasi, yaitu tirah baring dan korset/bidai.
Mortalitas dan angka relaps sangat tinggi saat itu.
Sekarang, penanganan spondilitis TB secara umum dibagi menjadi
dua bagian yang berjalan dapat secara bersamaan, medikamentosa dan
pembedahan. Terapi medikamentosa lebih diutamakan, sedangkan terapi
pembedahan melengkapi terapi medikamentosa dan disesuaikan dengan
keadaan individual tiap pasien. Pasien spondilitis TB pada umumnya bisa
diobati secara rawat jalan, kecuali diperlukan tindakan bedah dan
tergantung pada stabilitas keadaan pasien. Tujuan penatalaksanaan
spondilitis TB adalah untuk mengeradikasi kuman TB, mencegah dan
mengobati defi sit neurologis, serta memperbaiki kifosis.

35

Parthasarathy dkk melakukan penelitian pada pasien spondilitis TB


tanpa paraplegia dengan tujuan membandingkan efektivitas kemoterapi
OAT dan intervensi bedah. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pada
fase

awal,

terapi

medikamentosa

memberikan

hasil

yang

lebih

memuaskan dibandingkan terapi bedah. Namun, ketika deformitas kifosis


telah melanjut, terapi medikamentosa justru tidak begitu berguna. Terapi
OAT selama 9 bulan memberikan angka remisi yang lebih baik (hingga 99
persen) dibandingkan terapi OAT selama 6 bulan.
Untuk mempermudah klinisi menentukan tindakan yang cocok
untuk pasien, dapat digunakan klasifi kasi GATA. Namun, penulis
menyarankan untuk menatalaksana pasien secara individual, dan juga
mempertimbangkan keahlian ahli bedah, serta ketersediaan fasilitas
rumah sakit.
1. Medikamentosa
Spondilitis TB dapat diobati secara sempurna hanya dengan OAT
saja hanya jika diagnosis ditegakkan awal, dimana destruksi tulang dan
deformitas masih minimal. Seperti pada terapi TB pada umumnya, terapi
infeksi spondilitis TB adalah multidrug therapy. Secara umum, regimen
OAT yang digunakan pada TB paru dapat pula digunakan pada TB
ekstraparu, namun rekomendasi durasi pemberian OAT pada TB
ekstraparu hingga saat ini masih belum konsisten antar ahli. World Health
Organization (WHO) menyarankan kemoterapi diberikan setidaknya
selama 6 bulan. British Medical Research Council menyarankan bahwa
spondilitis TB torakolumbal harus diberikan kemoterapi OAT selama 6 9
bulan.2 Untuk pasien dengan lesi vertebra multipel, tingkat servikal, dan
dengan defisit neurologis belum dapat dievaluasi, namun beberapa ahli
menyarankan durasi kemoterapi selama 912 bulan.
The Medical Research Council Committee for Research for
Tuberculosis in the Tropics menyatakan bahwa isoniazid dan rifampisin
harus selalu diberikan selama masa pengobatan. Selama dua bulan

36

pertama (fase inisial), obat-obat tersebut dapat dikombinasikan dengan


pirazinamid, etambutol dan streptomisin sebagai obat lini pertama. Hal ini
senada dengan penelitian Karaeminogullari dkk yang mengobati pasien
spondilitis TB lumbal dengan rifampisin dan insoniazid saja selama 9
bulan, dengan hasil yang memuaskan.
Dosis Rekomendasi OAT pada anak (di bawah 12 tahun) dan
dewasa
Obat

Dosis mg/kgBB (dosis maksimum)


Harian
Dua kali seminggu Tiga kali seminggu
Anak
Dewasa
Anak
Dewasa
Anak
Dewasa
INH
10 20
5
20 40
15
20 40
15
RIF
10 20
10
10 20
10
10 20
10
PRZ
15 30 15 30 50 70 50 70 50 70 50 70
ETB
15 25 15 25
50
50
25 30 25 30
SM
20 40 12 18 25 30 25 30 25 30 25 30
INH, isoniazid, RIF, rifampisin, PRZ, pirazinamid, ETB, etambutol, SM,
streptomisin.Dosis berdasarkan berat badan harus
disesuaikan pertambahan berat badan. Semua pasien yang menerima
dosis intermiten harus dipantau langsung terapinya.
PRZ dan SM tidak dipakai pada wanita hamil. ETB tidak disarankan untuk
pasien anak karena sulit diobservasi fungsi visualnya.
Obat lini kedua diberikan hanya pada kasus resisten pengobatan.
Yang termasuk sebagai OAT lini kedua antara lain: levofl oksasin, moksifl
oksasin, etionamid, tiasetazon, kanamisin, kapreomisin, amikasin,
sikloserin, klaritomisin dan lain-lain.
Adakalanya kuman TB kebal terhadap berbagai macam OAT.
Multidrug resistance TB (MDR-TB) didefi nisikan sebagai basil TB yang
resisten terhadap isoniazid dan rifampisin. Spondilitis MDR-TB adalah
penyakit yang agresif karena tidak dapat hanya diterapi dengan
pengobatan OAT baku. Regimen untuk MDR-TB harus disesuaikan
dengan hasil kultur abses. Perbaikan klinis umumnya bisa didapatkan
dalam 3 bulan jika terapi berhasil.

37

Adapula rekomendasi terbaru untuk penganganan MDR-TB, yaitu


dengan kombinasi 5 obat, antara lain:
1) salah satu dari OAT lini pertama yang diketahui sensitif melalui hasil
kultur resistensi,
2) OAT injeksi untuk periode minimal selama 6 bulan,
3) kuinolon,
4) sikloserin atau etionamid,
5) antibiotik lainnya seperti amoksisilin klavulanat dan klofazimin. Durasi
pemberian OAT setidaknya selama 1824 bulan.
The United States Centers for Disease Control merekomendasikan
pengobatan spondilitis TB pada bayi dan anak-anak setidaknya harus
selama 12 bulan. Durasi kemoterapi pada pasien imunodefi siensi sama
pada pasien tanpa imunodefi siensi. Namun, adapula sumber yang
mengatakan durasinya harus diperpanjang. Kemoterapi pada pasien
dengan HIV positif harus disesuaikan dan memerhatikan interaksi OAT
dan obat antiretroviral. Zidovudin dapat meningkatkan efek toksik OAT.
Didanosin harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat
penyanggah antasida.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia telah merumuskan regimen
terapi OAT untuk pasien TB. Untuk kategori I, yaitu kasus baru TB paru
kasus baru dengan TB ekstraparu, termasuk TB spinal, diberikan 2 HRZE
(HRZS) fase inisial dilanjutkan 4HR fase lanjutan, atau 2HRZE(HRZS)
fase inisial dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan, atau 2RHZE(HRZS) fase
inisial dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian regimen bisa
diperpanjang sesuai dengan respons klinis penderita. Sedangkan untuk
kategori II, yaitu kasus gagal pengobatan, relaps, drop-out, diberikan
2RHZES fase inisial dilanjutkan 5HRE fase lanjutan, atau 2HRZES fase
inisial dilanjutkan 5H3R3E3 fase lanjutan.
Deksametason jangka pendek dapat digunakan pada kasus
dengan defisit neurologis yang akut untuk mencegah syok spinal. Namun,
belum ada studi yang menguji efektivitasnya pada kasus spondilitis TB.

38

Pemberian bisfosfonat intravena bersamaan dengan kemoterapi


OAT telah dicoba pada beberapa pasien dan dikatakan dapat
meningkatkan proses perbaikan tulang. Nerindronat 100 mg pada
pemberian pertama, dan 25 mg setiap bulan berikutnya selama 2 tahun
telah diujicobakan dengan hasil yang memuaskan. Nerindronat disebutkan
dapat menghambat aktivitas resorpsi osteoklas dan menstimulasi aktivitas
osteoblas. Namun, studi ini masih terbatas pada satu pasien dan perlu
dievaluasi lebih lanjut.
Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika dalam 34 minggu, nyeri
dan atau defisit neurologis masih belum menunjukkan perbaikan setelah
pemberian OAT yang sesuai, dengan atau tanpa imobilisasi atau tirah
baring.
2. Terapi operatif
Menurut Garg and Somvanshi (2011), indikasi operasi spondilitis
tuberkulosa, meliputi :
1. Indikasi untuk operasi pada pasien tanpa komplikasi neurologis:
- Kerusakan tulang progresif meskipun telah diberi pengobatan
antituberkulosis.
- Kegagalan dalam terapi konservatif.
-Evakuasi abses paravertebral ketika telah meningkat dalam ukuran
meskipun pengobatan medis.
-Ketidakpastian diagnosis, biopsi.
-Alasan teknik: ketidakstabilan tulang belakang yang disebabkan oleh
kerusakan atau kehancuran, kerusakan dua atau lebih tulang
belakang, kifosis.
- Pencegahan kifosis parah pada anak-anak dengan lesi dorsal yang
luas.
-Large paraspinal abscess.
Indikasi untuk operasi pada pasien dengan komplikasi neurologis:
-Komplikasi saraf baru atau perburukan atau kurangnya perbaikan
dengan pengobatan konservatif.
-Paraplegia onset cepat atau paraplegia parah.
-Late-onset paraplegia.
-Neural arch disease.

39

-Nyeri paraplegia pada pasien usia lanjut.


-Spinal tumor syndrome (tuberculoma

spinal

epidural

tanpa

keterlibatan tulang).
Menurut Jutte et al. (2006), terdapat dua jenis prosedur bedah yang
dilakukan pada spondilitis tuberkulosa :
1. Debridement lokasi yang terinfeksi.
Pada operasi ini tidak ada upaya dilakukan untuk menstabilkan tulang
belakang.
2. Debridement dengan stabilisasi tulang belakang (spinal rekonstruksi).
Merupakan operasi dengan prosedur yang lebih luas dan rekonstruksi
dilakukan dengan cangkok tulang. Stabilisasi juga dapat dilakukan
dengan menggunakan bahan buatan seperti baja, serat karbon, atau
titanium.

40

Gambar 2.8 Hong Kong Operation


(debridement anterior dan strut grafting) + instrumentasi posterior
Keterangan : Gambar (a,b) : X-ray pra operasi, (c): MRI pra-operasi, (d,e) : X-ray post
operasi

41

2.12 Prognosis
Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi
klinik yang terjadi. Prognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi oleh
usia, deformitas kifotik, letak lesi, defisit neurologis, diagnosis dini,
kemoterapi, fusi spinal, komorbid, tingkat edukasi dan sosioekonomi.
Usia

muda

memiliki

prognosis

lebih

baik.

Namun,

menurut

Parthasarathy dkk, menyimpulkan bahwa pada pasien usia dibawah


15 tahun dan dengan kifosis lebih dari 30 o cenderung tidak responsif
terhadap pengobatan.
Prognosis yang buruk juga memiliki hubungan dengan TB milier,
dan meningitis TB, karena dapat terjadi sekuele antara lain tuli, buta,
paraplegi, retardasi mental, gangguan bergerak dan lain-lain.
Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak dengan usia kurang dari 5
tahun sampai 30%. (Paramarta, et al, 2008)
Diagnosis dini sebelum terjadi destruksi corpus vertebra yang nyata
dikombinasi dengan kemoterapi yang adekuat menjanjikan pemulihan
yang sempurna pada semua kasus. Resistensi terhadap OAT akan
memperburuk prognosis spondilitis TB. Komorbid lain seperti AIDS
berkaitan dengan prognosis buruk. (Paramarta, et al, 2008)
Penelitian lain di Nigeria mengatakan bahwa tingkat pendidikan
pasien mempengaruhi motivasi pasien untuk datang berobat. Pasien
dengan tingkat pendidikan yang kurang cenderung malas untuk
datang berobat sebelum ada gejala berat seperti, paraplegia.
(Paramarta, et al, 2008)
2.13
Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari Spondilitis tuberkulosa
adalah kifosis berat. Kifosis berat selain menimbulkan dampak estetika,
dapat menimbulkan defisit neurologis atau kegagalan pernafasan dan
jantung karena keterbatasan fungsi paru.
Cedera korda spinalis (spinal cord injury), dapat terjadi karena
adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra
tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott`s paraplegia

42

prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda


spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis
prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda
dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat
membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi
dura dan korda spinalis. Empiema tuberkulosa karena rupturnya abses
paravertebral di thorakal ke dalam pleura (Ombregt et al., 1995).

43

BAB III
KESIMPULAN
Spondilitis tuberkulosa atau penyakit Pott`s adalah peradangan
granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh Mycobacterium
tuberculosa. Pada anak-anak biasanya infeksi spondilitis tuberkulosa
berasal dari fokus primer di paru-paru, sedangkan pada orang dewasa
penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).
Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan dengan meilhat
manifestasi klinis seperti nyeri tulang belakang terlokalisir, bengkak
perivertebral, tanda dan gejala sistemik TB, tanda defisit neurologis.
Disertai pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang mendukung.
Pemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkulosa meliputi
pemeriksaan laboratorium berupa LED, tuberculin skin test/ Mantoux test/
Tuberculine

Purified

Protein

Derivative

(PPD),

kultur

urin

pagi,

pemeriksaan mikroskopik dengan Ziehl-Nielsen, tes darah untuk titer antistaphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins, pemeriksaan CSF,
ELISA, PCR. Kemudian pemeriksaan radiologi meliputi X-ray, CT scan,
MRI, CT guided needle biopsy.
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa dapat diberikan terapi
konservatif dan operatif sesuai indikasi.

44

DAFTAR PUSTAKA
1. Martini F. H, Welch K, The Lymphatic System and Immunity. In :
Fundamentals of Anatomy and Physiology. 5th ed. New Jersey,
2001 : 132,151
2. Hidalgo A. Pott disease (Tuberculous Spondylitis). Didapat dari
http://www.emedicine.com/med/topic1902.htm
3. Savant C, Rajamani K. Tropical Disease of the Spinal Cord. In:
Critchley E, Ersen A,editor. Spinal Cord Disease : Basic Science,
Diagnosis and Management. London : Springer-Verlag, 1997: 37887.
4. Lindsay, KW, Bone I, Caliander R. Spinal Cord and Root
Compresion. In : Neurology and Neurosurgery Illustrated. 2 nd ed.
Edinburgh : Churchill Livingstone, 1991 : 388.
5. Camillo FX. Infections of the Spine Canale ST, Beaty JH, ed.
Campbells Operative Orthopaedics. Edisi ke-11.2008. vol 2, hal
2237.
6. Cormican L, Hammal R, Messenger J, Milburn HJ. Current
Difficulties in the Diagnosis and Management of Spinal
Tuberculosis. Postgrad Med J. 206; 82 : 46-51
7. Sinan T, Al-khawari H, Ismail M, Bennakhi A, Sheikh M. Spinal
tuberculosis : CT and MRI feature. Ann Saudi Med 2004; 24:437-41
8. Vitriana. Spondylitis Tuberkulosa. 2002. Bagian Ilmu Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi FK, Unpad. Hal 1.
9. Janitra R, Zuwanda. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis
Tuberkulosis. CDK-208/ vol 40 no 9. 2013. Hal 661.
10. Currier B.L,Eismont F.J.Infections of The Spine.In:The spine.3rd
ed.Rothman Simeon eeditor.Philadelphia:W.B.Sauders,1992:135364
11. Rohen,J.W.

&

Drecoil,

E.L.(2009)

Embriologi

Fungsional

Perkembangan Sistem Fungsi Organ manusia. Ed 2. Dany, F. ed .


Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC
12. Hidalgo JA, Alangaden G, Cunha BA, et al..2008. Pott disease:
tuberculous spondylitis [Internet] New York: WebMD LLC; 2008
13. Wilson J, MacDonald. Current Orthopedics. Elsevier Science; 2003.
hal. 468.
45

14. http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_208Diagnosis%20dan
%20Penatalaksanaan%20Spondilitis%20Tuberkulosis.pdf
15. Sidharta P, Spondilitis Tuberculosa, in Lazuardi S, Hok TS, Sudibjo
AI, at all eds, Neurologi Klinik dalam Praktek Umum,Dian Rakyat,
Jakarta 1999:341
16. Dewi LK, Edi A, Suarthana E, Spondilitis Tuberkulosa, in Mansjoer
A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, eds, Kapita Selekta
Kedokteran Media Aesculapius Jakarta 2000 : 58
17. Garg,R.K. Somvanshi,D.S. Spinal Tuberculosis: A Review. J Spinal Cord
Med. Sep 2011; 34(5): 440454
18. Garfin S.R. and Vaccaro A.R 1997. Spinal Infections In: Orthopaedic
Knowledge. Spine Update. AmericanAcademy of Orthopaedic surgeon.
P.261-263.
19. Kotil K, Alan MS, Bilge T.2007. Medical management of Pott disease in
the thoracic and lumbar spine: a prospective clinical study. J Neurosurg
Spine 2007;6(3):2228
20. Moesbar N. 2006. Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Majalah
kedokteran Nusantara 39(3).
21. Spondilitis Tuberkulosis. Sari Pediatri, vol 10, no 3, oktober 2008
I Gede Epi paramarta, Putu Siadi Purniti, Ida Bagus Subanada, Putu
Astawa
22. Owolabi LF, Nagoda MM, Samaila AA, Aliyu I. 2010. Spinal tuberculosis in
adults: a study of 87 cases in Northwestern Nigeria. Neurology
Asia 2010;15(3):23944
23. Moesbar N. 2006. Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Majalah
kedokteran Nusantara 39(3).
24. Garg,R.K. Somvanshi,D.S. Spinal Tuberculosis: A Review. J Spinal Cord
Med. Sep 2011; 34(5): 440454
25. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley
E,Eisen A., editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and
Management. London :Springer-Verlag, 1997 : 378-87
26. James SK. Spinal Cord Injury Rehabilitation. South Carolina. 2005
27. Hidalgo JA, Alangaden G, Cunha BA, et al..2008. Pott disease:
tuberculous spondylitis [Internet] New York: WebMD LLC; 2008
28. Currier B.L,Eismont F.J.Infections of The Spine.In:The spine.3rd
ed.Rothman Simeon eeditor.Philadelphia:W.B.Sauders,1992:1353-64
29. Jutte PC, Van Loenhout-Rooyackers JH. 2006. Routine surgery in
addition to chemotherapy for treating spinal tuberculosis. Cochrane

46

Database

Syst

Rev 2006;(1):CD004532.

DOI:

10.1002/14651858.CD004532
30.

47

S-ar putea să vă placă și