Sunteți pe pagina 1din 19

LAPORAN KASUS

NYERI PASCA HERPES

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Kepanitraan Klinik Bagian Dermatovenerologi
Rumah Sakit Tentara Tingkat II Dokter Soedjono

Disusun oleh :

REZKA OCTAVIANO
1410221100

Pembimbing :

Letkol CKM. dr. Susilowati, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU DERMATOVENEROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
VETERAN JAKARTA
2016

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
NYERI PASCA HERPES
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Kepanitraan Klinik Bagian Dermatovenerologi
Rumah Sakit Tentara Tingkat II Dokter Soedjono

Disusun oleh :

REZKA OCTAVIANO
1410221100

Telah disetujui dan disahkan oleh :


Dokter pembimbing,

Letkol CKM. dr. Susilowati, Sp.KK

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia dan nikmatNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan refleksi kasus yang berjudul Nyeri Pasca
Herpes. Penulis berharap laporan ini dapat dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan dan instasi
terkait.
Dalam penyelesaian dan penyusunan laporan kasus ini penulis ingin menyampaikan banyak
terimakasih kepada :
1. Letkol CKM dr. Susilowati, Sp.KK
2. Teman-teman stase dermatovenerology yang selama ini selalu memberikan dukungan
Penulis menyadari bahwa selama penulisan laporan ini, penulis masih mempunyai
banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritikan untuk
menyempurnakan laporan ini.
Magelang,

maret 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai
suatu pengalaman inderawi dan emosional yang tidak menyenangkan,yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi rusak.1

Herpes zoster merupakan infeksi virus (yang sifatnya terlokalisir) dari reaktivasi infeksi
virus varicella-zoster endogen (telah ada sebelumnya dalam tubuh seseorang). Virus ini bersifat
laten pada saraf sensorik atau pada saraf-saraf wajah dan kepala (saraf kranialis) setelah serangan
varicella (cacar air) sebelumnya. Reaktivasi virus sering terjadi setelah infeksi primer, namun
bila sistem kekebalan tubuh mampu meredamnya maka tidak nampak gejala klinis. Sekitar 90%
orang dewasa di Amerika Serikat pada pemeriksaan laboratorium serologik (diambil dari darah)
ditemukan bukti adanya infeksi varicella-zoster sehingga menempatkan mereka pada kelompok
resiko tinggi herpes zoster. Angka insidens zoster dalam komunitas diperkirakan mencapai 1.2
hingga 3.4 per-1000 orang tiap tahunnya. Dari angka tersebut, diperkirakan insidennya bisa
mencapai lebih dari 500,000 kasus tiap tahun dan sekitar 9-24% pasien-pasien ini akan
mengalami Neuralgia Pasca Herpetika. Peningkatan usia nampaknya menjadi kunci faktor resiko
perkembangan herpes zoster, insidensnya pada lanjut usia (diatas 60-70 tahun) mencapai 10
kasus per-1000 orang pertahun, sementara Neuralgia Pasca Herpetika juga mencapai 50% pada
pasien-pasien ini dan mengalami nyeri yang berkepanjangan (dalam hitungan bulan bahkan
tahun). Neuralgia Pasca Herpetika sendiri menimbulkan masalah baru akibat disability, depresi
dan terisolasi secara sosial serta menurunkan kualitas hidup. Sekali Neuralgia Pasca Herpetika
terjadi, akan sangat sulit melakukan penatalaksanaan secara efektif.1
Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa pencegahan dan pengobatan yang tepat pada
penderita Neuralgia Pasca Herpetika merupakan hal yang sangat penting dan pengetahuan
tentang patofisiologi Neuralgia Pasca Herpetika sangat penting untuk pengobatan dan
meningkatkan kualitas hidup penderita.

BAB II
STATUS PASIEN
II.

LAPORAN KASUS
IDENTITAS

A.

Nama

: Ny. S R

Umur

: 66 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Status

: Kawin

Alamat

: Magelang

ANAMNESE PRIBADI
Seorang perempuan umur 66 tahun beragama islam, tidak bekerja, sudah kawin
dan tinggal didaerah magelang datang dengan keluhan nyeri dan panas pada seluruh
tubuh, nyeri dirasakan terutama pada kaki hingga tidak bisa tidur.

B.

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


Keluhan Utama : nyeri pada kaki
Telaah
: Hal ini telah dialami OS kurang lebih 3 bulan terakhir sebelum masuk
rumah sakit. panas yang dirasakan OS di seluruh tubuh dan terdapat
rasa nyeri yang dirasakan OS bersifat seperti ditusuk-tusuk dan
semakin memberat jika disentuh, cuaca panas, cuaca dingin dan
terkena hembusan angin hal ini dirasakan OS terus menerus di bagian
kaki.OS sebelumnya menderita Herpes Zooster 3 bulan yang lalu tepat
didaerah yang dirasakan nyeri oleh OS saat ini.
RPD

: Belum pernah menderita penyakit kulit dengan gejala seperti ini


sebelumnya, Asma (-), Alergi (-).

RPO

: Gejala yang timbul saat ini sudah pernah diobati ke PUSKESMAS


mendapat obat minum dan salep namun tidak ada perbaikan, nama
obatnya pasien tidak mengetahui.

RPK

: Keluarga tak ada yang sakit dengan gejala seperti ini.

PEMERIKSAAN FISIK
Status general
Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi
Pernafasan

: Compos Mentis
: 110/70 mmHg
: 68 x/i
: 18 x/i

Temperatur
Kepala
Mata, THT

: 36,70 C
: Normocephalic
: Anemis (-), ikterus (-), Oedem Palpebra (-), cyanosis (-),

Thoraks
Jantung

telinga makrotia (-), telinga mikrotia (-), nyeri telinga (-)


: simetris fusiformis
: ictus cordis tidak teraba, batas jantung normal, murmur dan

Paru-Paru

gallop (-)
: Simetris statis dinamis, stem fremitus kanan = kiri, vesikuler

Abdomen

(+)
: simetris, soepel, peristaltik (+), hepar lien tidak teraba, nyeri

Genitalia
Ekstremitas

tekan (-)
: tidak dilakukan pemeriksaan
: Akral hangat, edema (-)

DIAGNOSIS
DIAGNOSIS BANDING

:
1. Neuralgia pasca herpetik
2. Selulitis
3. Dermatitis kontak

DIAGNOSA KERJA
PENATALAKSANAAN
P/o

Alpentin 3x1
Na Diclofenac 2x1
Ranitidin 2x1

: Nyeri pasca herpetik


:

KESIMPULAN
Seorang perempuan umur 66 tahun beragama islam, tidak bekerja, sudah kawin
dan tinggal didaerah magelang datang dengan keluhan nyeri dan panas pada seluruh
tubuh, nyeri dirasakan terutama pada kaki hingga tidak bisa tidur.
.Hal ini dialami OS lebih kurang 3 bulan yang lalu. Nyeri yang dirasakan OS
bersifat seperti ditusuk-tusuk dan semakin memberat jika disentuh, cuaca panas, cuaca
dingin dan terkena hembusan angin hal ini dirasakan OS terus menerus. Mual (-), Muntah
(-), nyeri kepala (-), demam (-), BAB dan BAK (+) normal. Riwayat Herpes zooster (+).

III. TINJAUAN PUSTAKA


III.1 DEFINISI
Neuralgia pasca herpes didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan di tempat
penyembuhan ruam, terjadi sekitar 9-15% pasien herpes zoster yang tidak diobati. Dan
pada pasien yang berumur tua memiliki resiko yang lebih tinggi.1
Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri
disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Dworkin,
1994, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap
setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster).2
Herpes Zoster dikenal pula sebagai shingles dapat menginfeksi system saraf
dengan reaktivasi dari virus ini. Infeksi ini menimbulkan erupsi kulit sepanjang distribusi
dermatomal yang terkena. Fenomena nyeri yang timbul dikenal sebagai neuralgia paska
herpetika. Biasanya gangguan sensorik dikarakteristikan sebagai nyeri radikular dengan
rasa terbakar, gatal, dan dapat sangat mengganggu kehidupan penderitanya.2
Reaktivasi virus ini biasanya terjadi pada orang tua dan penderita dengan imunitas
menurun seperti pada kasus transplantasi organ atau kemoterapi untuk kanker dan
penderita HIV.2
III. 2 EPIDEMIOLOGI
Sebagian besar insidens herpes zoster dan neuralgia paska herpetika didapatkan
data dari Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan belum didapatkan angka insiden di Asia,
Australia dan Amerika Selatan.3
Pada penderita herpes zoster hampir 100 persen pasien mengalami nyeri, dan 1070 persennya mengalami neuralgia pasca herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada
penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%. Anak antara usia 5 dan 9
tahun mengambil 50% dari semua kasus, kebanyakan kasus lain timbul antara usia 1 dan
4 tahun serta 10 dan 14 tahun. Sekitar 10% diatas usia 15 tahun. Pada penderita HIV atau
dengan leukemia dilaprkan 50-100 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok
sehat usia sama.5,6

III. 3 ETIOLOGI
Virus zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi
manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah
icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya terdapat
DNA untai ganda. Virus varicella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm. 1,3
Analisis endonuklease terbatas atas DNA virus pasien varicella yang kemudian menderita
herpes zoster membenarkan identitas molekul dua virus yang bertanggung jawab untuk
presentasi klinis yang berbeda ini.5

Gambar 1. Virus Varisella zoster, virus ini menyebabkan penyakit varicella dan untuk
reaktivasi selanjutnya akan menyebabkan pnyakit zoster.3
Setelah infeksi primer, virus ini akan tetap berada di dalam akar saraf sensorik
untuk hidup. Setelah reaktivasi, virus bermigrasi ke saraf sensoris pada kulit,
menyebabkan ruam karakteristik dermatomal yang menyakitkan. Setelah resolusi, banyak
individu terus mengalami nyeri pada distribusi dari ruam (postherpetic neuralgia).7

III.4 PATOGENESIS

Gambar 2. Infeksi yang dilakukan oleh virus Varissela zooster2


1. Herpes Zoster
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella
zoster yang hidup secara dorman di ganglion setelah paparan pertama melalui system
pernafasan. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang
virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler
terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan
dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju
ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara
parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan,
vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal
dengan nama Lipschutz inclusion body.1,2
Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan
hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu
sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan
proses sklerosis. Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.2

2. Nyeri

Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 3 jenis :


A. Proses stimulasi singkat
Pada jenis I, pukulan, cubitan pada tubuh dan lain sebagainya akan
menyebabkan timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi yang terjadi tidak menyebabkan
terjadinya lesi, maka rasa nyeri yang terjadi hanya dalam waktu singkat.
B. Proses stimulasi yang berkepanjangan sehingga menyebabkan lesi atau inflamasi
jaringan.
Pada jenis II, adalah jenis nyeri oleh karena terjadinya inflamasi jaringan atau
dikenal sebagai nyeri nosiseptif. Ciri khas dari inflamasi ialah terjadinya kalor, rubor,
dolor dan fungsiolaesa.
C . Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf.
Pada Jenis III, dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral
akan mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari system saraf
tersebut. Lesi saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam
keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan
lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron
sensorik, melalui perubahan molekuler, sehingga aktivitas sistem saraf aferen
menjadi abnormal yang selanjutnyamenyebabkan gangguan nosiseptif sentral
(sensitisasi sentral). Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal
(secara normal semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan A
yang biasanya berupa sentuhan halus atau raba normal dirasakan dengan rasa normal,
tetapi pada allodinia diraakan nyeri.2
Nyeri pada neuralgia paska herpetika merupakan nyeri neuropatik yang
diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses
pengolahan sinyal pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah rusak memiliki
ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga menunjukkan respon berlebihan
terhadap stimulus. Regenerasi akson setelah perlukaan menimbulkan percabangan
saraf yang juga mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas saraf perifer yang
berlebihan tersebut menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis
sehingga pada akhirnya menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan
terhadap semua rangsang masukan/ sensorik. Perubahan ini berjalan dalam berbagai

macam proses sehingga dapat dimengerti bila pendekatan terapeutik neuralgia paska
herpetika memerlukan beberapa macam pendekatan pula.7
III. 5 Patofisiologi
Menurut Nurmikko dan Dworkin, patofisiologi NPH sampai saat ini belum jelas.
Secara umum dipercaya bahwa herpes zooster diakibatkan oleh perubahan saraf perifer
oleh multiplikasi virus pada ganglion radiks dorsalis, dan migrasi cepat virus sepanjang
akson saraf sensorik perifer menuju jaringan ikat kulit dan subkutan. Proses ini
menimbulkan respon inflamatorik masif pada daerah yang terkena dan menyebabkan
nyeri. Nyeri kemudian berlanjut melalui proses eksitasi dan sensitisasi berkelanjutan
terhadap nosiseptor. Proses inflamatorik melibatkan kornu anterior dan posterior medulla
spinalis, ditandai dengan kerusakan aksonal myelin yang meluas ke perifer dari, sehingga
jumlah akhiran saraf di kulit yang dilayani neuron ini berkurang.5
Nyeri yang berhubungan dengan zooster akut dan NPH bersifat neuropati yang
digambarkan melalui fenomena nosiseptor yang iritabel dan sensitisasi sentral. Lamina
superfisial substansi gelatinosa menerima serabut saraf nyeri diameter kecil (serabut C)
dan lapisan lebih dalam menerima serabut dengan diameter yang lebih besar
(mekanoreseptor A). Setelah kerusakan serabut saraf, terminal serabut saraf C
mengalami atrofi dan terjadi sprouting serabut saraf A ke kornu dorsalis superficial. Jika
ini terjadi, rangsangan nonnoksius mekanoreseptor di kulit akan mengaktivasi area kornu
dorsalis yang menghasilkan impuls nyeri dan berlanjut ke level yang lebih tinggi. Proses
sentisisasi sentral selanjutnya impuls aferen diperkuat (amplified), melalui kerja reseptor
N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) dan menimbulkan nyeri spontan dan nyeri evoked.8

Mekanisme ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. Kerusakan serabut C pada PNH5


Setelah kerusakan, neuron perifer mengalami spontaneous discharge, memiliki
ambang aktivasi yang lebih rendah dan menunjukkan respon yang berlebihan terhadap
stimuli. Pertumbuhan aksonal setelah cedera menyebabka timbulnya sprouting. Aktivitas
perifer yang berlebihan diperkirakan menyebabkan hipereksitabilitas kornu dorsalis, dan
diikuti oleh respon berlebihan susunan saraf sentral terhadap semua input. Perubahan ini
cukup kompleks sehingga tidak ada pendekatan terapeutik tunggal yang dapat
menghentikan abnormalitas ini.9
Pemeriksaan histologis menunjukkan atrofi kornu dorsalis, fibrosis ganglion
radiks dorsalis, dan hilangnya serabut saraf epidermal di daerah yang terkena. Proses ini
dapat terjadi bilateral dengan manifestasi klinis bilateral.9

III.6 MANIFESTASI KLINIS


Herpes zoster secara tipikal mengenai 1 atau 2 dermatom yang berlebihan,
biasanya mengenai region T3 sampai dengan L3. Lesi berkembang dari bercak lesi eritem
yang terrpisah menjadi vesikel berkelompok yang dapat mengalami pustulasi dan krusta

dalam 7 hingga 10 hari dan penyembuhannya serabut A dan serabut C Ganglion dorsalis
Garis pertengahan medulla spinalis serabut A Terjadi kerusakan pada serabut C makan
waktu hingga 1 bulan yang dapat meninggalkan bekas berupa jaringan perut, perubahan
pigmentasi, kulit, dan nyeri.(nyeri neuropatik). Nyeri merupakan symptom herpes zoster
yang paling sering dan dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya
erupsi kulit, atau dapat pula nyeri dialami sebagai gejala tunggal (zoster sine herpete).
Sensasi ini dapat menyembuh atau tetap dirasakan secara tidak terduga, sehingga
menimbulkan kesulitan dalam membedakan nyeri herpes zoster dengan neuralgia
pascaherpes.3,5
Sindroma neuralgia pasca-herpes dikenali secara tunggal dengan adanya nyeri
setelah seorang menderita herpes zoster, baik dengan maupun tanpa interval bebas nyeri.
Definisi yang paling sering digunakan adalah nyeri yang dirasakan lebih dari 1 bulan
setelah onset ruam zoster. Keluhan yang sering dilaporkan adalah nyeri seperti terbakar,
parestesi yang bisa disertai rasa sakit (disestesi), respon nyeri berlebihan terhadap
stimulus (hiperestesi), atau nyeri seperti tersengat listrik. Nyeri dapat diprovokasi antara
lain oleh stimulus trivial (alodinia), gatal-gatal yang tak tertahankan dan nyeri yang terus
bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang (wind-up pain).6
III.7 TERAPI
a. Analgesik
Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek analgesik
perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik.
Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih baik. Tramadol
telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis muopioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah
penelitian, jika dosis dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis,
tramadol terbukti lebih efektif dibanding placebo dalam pengobatan NPH. Namun, efek
pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang tua. Hal yang
harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri
yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Oxycodone
berdasarkan penelitian menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam

meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan. Dosis yang digunakan
maksimal 60 mg/hari pada NPH.9,10
b. Anti epilepsi
Mekanisme

kerja

obat

epilepsi

ada

3,

yakni

dengan

memodulasi

voltagegatedsodium channel dan kanal kalsium, meningkatkan efek inhibisi GABA, dan
menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik.9
Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya kalsium
pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral, gabapentin
dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Karbamazepin, lamotrigine
bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi
hambatan.9
Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti
halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan
subunit dari voltage-gated calcium channel , sehingga mengurangi influks kalsium dan
pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide)
pada primary afferent nerve terminals. Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai
efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati diabetikorum
dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis. Didapatkan pula hasil
perbaikan dalam hal tidur dan ansietas.7
c. Anti depressan
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia paska
herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake (pengambilan
kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur
inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat
antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% oasien mengalami pengurangan
nyeri tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik
norepinefrin maupun serotonin. TCA telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri
neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor ) seperti fluoxetine,
paroxetine,

sertraline,

dan citalopram. Alasannya

mungkin

dikarenakan

TCA

menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI hanya


menghambat reuptake serotonin.1,2 Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi,
konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia
ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang
kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus
neuralgia pot herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan
lainnya.10
d. Terapi topikal
Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim
capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia
paska herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (Cfiber). Telah diketahui
bahwa neuron ini melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang
menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini. Pada
suatu uji klinik acak terkendali melibatkan 143 pasien neuralgia paska herpetika,
dilaporkan setelah pengobatan selama 4 minggu, 21% nyeri berkurang pada kelompok
yang mendapat terapi capsaicin , sedangkan 6% nyeri berkurang pada kelompok kontrol
(p<0.05). Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar yang sering
tidak bias ditoleransi pemakainya.11
III.8 PROGNOSIS
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu
fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi
didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa. Prognosis ad
sanactionam dubia ad bonam karena risiko berulangnya HZ masih mungkin terjadi,
namun selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali
kecil.8
IV. DISKUSI KASUS

Pada kasus ini seorang perempuan umur 66 tahun beragama islam, tidak bekerja,
sudah kawin dan tinggal didaerah magelang datang dengan keluhan nyeri dan panas pada
seluruh tubuh, nyeri dirasakan terutama pada kaki hingga tidak bisa tidur. Diagnosis
sebagai neuralgia pasca herpatika ditegakkkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan neurolgis.
Dari anamnesis diperolah bahwa os 3 bulan yang lalu pernah menderita penyakit
herpes zooster dibagian daerah yang dirasakan os nyeri saat ini. Setelah herpes zooster
yang diderita os sembuh dan meninggalkan bercak hipopigmentasi pada bagian tersebut,
os mulai merasakan keluhan nyeri, gatal dan panas pada kaki dan semakin lama semakin
berat terutama jika tersentuh, cuaca dingin, cuaca panas, dan hembusan angin.
Pada pemeriksaan fisik sensorium compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg,
suhu tubuh afebris. Pada pemeriksaan neurologis tidak dilakukan.
Maka diagnosis pada penderita ini dapat ditegakkan dengan Neuralgia Pasca Herpetika.

V. KESIMPULAN
Neuralgia Pasca Herpetika (NPH) adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di
bagian tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zooster. Herpes zooster sendiri
merupakan suatu reaktivasi virus varicella yang berdiam didalam jaringan saraf.

NPH dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetic akut (30 hari setelah
timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetic subakut (30-120 hari setelah timbulnya
ruam pada kulit) dan NPH (di definisikan sebagai rasa sakit yang terjadi setidaknya 120
hari setelah timbulnya ruam pada kulit).
NPH lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang
rendah. Data seluruh dunia menunjukkan di antara pasien herpes zooster yang berumur di
atas 60 tahun, 6% masih merasakan nyeri saat 1 bulan sejak terkena herpes zooster, dan
1% masih merasakan nyeri 3 bulan sesudahnya.
Patofisiologi NPH terjadi oleh karena cedera neuron yang mengenai sistem saraf
baik perifer maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan perifer
mengadakan discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi untuk
menghasilkan nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak sesuai pada stimulus yang
tidak menyebabkan nyeri. Biopsi kulit menunjukkan hilangnya ujung saraf bebas
epidermal pada daerah yang terkena, namun, reinervasi tidak dibutuhkan untuk resolusi
nyeri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Meliala L. Neuralgia Pasca Herpes. Nyeri Neuropatik patofisiologi dan


penatalaksanaan. Kelompok studi nyeri Perdossi 2001.
2. Martin.

Neuralgia

Paska

Herpetika.

Jakarta

2008

available

from:

http://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?view=article&catid=43%3Apaper
3. Dworkin, Robert H. and Kenneth E. Schmader. Treatment and Prevention of
Postherpetic Neuralgia. In: Goldstein, Ellie J. C, eds. Clinical Practice. New York:
Department of Anesthesiology, University of Rochester School of Medicine and
Dentistry, Rochester; 2003.p. 1-7.
4. Mazzoni, P. Pearson, T. Rowland, L. Merritts Neurology Handbook. 2nd Edition.
Lippincott Williams & Wilkins : 2006.
5. Gilhus. E, Barnes. M, brainin, M. European Handbook of Neurogical Management.
Vol.1, willey Blackwell : 2010.
6. Sidharta, P Neurologi Klinis Dalam Prakteku umum . Jakarta : Dian Rakyat.2004
7. Mayo Foundation For Medical Education And Research. Post Herpetic Neuralgia.
2009 [on line].http://www.mayoclinic.com/health/postherpetic-neuralgia/DS00277
8. U. S. National library of Medicine and The National Institute of health. Medical
Encyclopedia : Neuralgia.2009. [on line].http://medlineplus.com
9. Ropper, A. H. Principles Of Neurology : Viral Infection of the Nervous system,
chronic meningitis, prion disease. New York : McGraw-Hill. 2005 (8) : 643-644
10. Harsono .Kapita Selekta neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University. 2005.
11. Djuanda, A dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Penyakit Virus. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1993; (3): 94-95

S-ar putea să vă placă și