Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Belakangan ini sastra dianggap kurang penting dan kurang berperan dalam
masyarakat Indonesia hari ini. Hal ini terjadi karena masyarakat kita saat ini sedang
mengarah ke masyarakat industri sehingga konsep-konsep yang berkaitan dengan sains,
teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting dan mendesak untuk digapai.
Ulasan ini diharapkan dapat menggugah kembali kesadaran kita untuk menempatkan
pengajaran sastra Indonesia pada tempat yang layak dan sejajar dengan mata ajar
lainnya.
1.2.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini,ialah sebagai berikut:
1. Bagaimana pentingnya pembelajaran sastra
2. Bagaimana realitas Sastra Indonesia dalam masyarakat Indonesia pada
masa kini
3. Bagaimana pengajaran sastra di lingkup sekolah
1.3. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai ialah:
1. Mengetahui apa itu sastra
2. Mengetahui bagaimana realitas sastra indonesia dalam masyarakat
Indonesia pada masa kini
3. Mengetahui bagaimana pembelajaran sastra di lingkungan sekolah
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.
Pengertian Sastra
Banyak sekali para ahli yang mendefinisikan pengertian mengenai sastra, Mursal
Ensten mendefinisikan Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta
artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui
bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia
(kemanusiaan). (1978:9). Di sisi lain Semi mengungkapkan Sastra adalah suatu
bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan
menggunakan bahasa sebagai mediumnya. (1988:8). Panuti Sudjiman mendefinisikan
Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti
keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam bagian isi, dan ungkapannya. (1986:68).
Plato dan Aristoteles mempunyai definisi tersendiri mengenai sastra, menurut Plato
Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya
sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model
kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide. Sastra
sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. diungkapkan
oleh Aristoteles. Menurut Engleton sendiri (1988:4), sastra yang disebutnya adalah
Karya tulisan yang halus (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa
harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan,
dipanjang tipiskan dan diterbitkan, dijadikan ganjil
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat didefinisikansastra merupakan suatu
bentuk karya seni baik berupa lisan maupun tulisan yang berisi nilai-nilai dan unsur
tertentu lainnya yang bersifat imaginatif.
2.2.
dengan angkatan berikutnya. Misalnya ada Angkatan 1966 setelah Angkatan 1945.
Sangat pendek, hanya berjarak 11 tahun. Perkembangan sepesat ini hanya terjadi apabila
sastrawan-sastrawan Indonesia terpengaruh oleh perkembangan sastra dunia.
Dengan demikian, pengertian sastra Indonesia adalah bentuk pengungkapan gagasan,
pikiran, dan pengucapan sastra orang Indonesia, menggunakan bahasa Indonesia, baik
sastra itu dipengaruhi oleh sastra asing atau tidak.
Perkembangan Sastra Indonesia
Sejarah perkembangan sastra Indonesia dimulai pada abad ke-20 yang diawali oleh
kehadiran karya-karya dari pengarang Balai Pustaka. Adapun karya-karya yang lahir
sebelum periode tersebut digolongkan ke dalam sastra Melayu. Perkembangan sastra
Indonesia secara garis besar terbagi dalam angkatan-angkatan berikut.
1.
Pada tahun 1908, kolonial Belanda mendirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie
de Volkslectur) yang bertugas menyediakan bahan-bahan bacaan bagi rakyat
Indonesia. Pada tahun 1917, nama komisi tersebut berubah menjadi /Balai Pustaka/.
Dengan berdirinya penerbitan tersebut telah mendorong para penulis Indonesia untuk
berkarya.
Nama-nama pengarang dan karyanya pada periode awal ini adalah sebagai berikut.
lain-lain
Tema ceritapada periode ini berkisar pada peristiwa sosial, kehidupanadat-istiadat,
kehidupan beragama, dan peristiwa kehidupan masyarakat.Karya waktu itu
cenderung berbentuk roman.
2. Angkatan Pujangga Baru (1933-1942)
Angkatan ini dipelopori oleh empat serangkai. Yaitu Sutan TakdirAlisyahbana,
Armijn Pane, Sanusi Pane, dan Amir Hamzah.Karya sastra yang muncul sebagian
besar berbentuk sajak, cerpen, novel, roman, dan drama. Karya padaangkatan ini
antara lain sebagai berikut.
lain-lain
3. Angkatan 45
Ciri khas karyasastra angkatan 45 lebih bebas, namun ditekankan pada isinya.
Kalimat-kalimatnya pendek dan tidak menggunakan bahasa yang klise.Isinya pun
bersifat realisme.
Pengarang-pengarang yang terkenal pada masa ini antara lain Idrus,Chairil Anwar,
Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan lain-lain. Karya yang muncul antara lain Atheis,
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, danlain-lain.
4. Angkatan 66
Angkatan 66 diperkenalkan oleh HB Jassin dalam bukunya yang berjudulAngkatan
66. Angkatan ini muncul berbarengan dengan adanya kekacauanpolitikakibat
adanyapemberontakan G-30S/PKI.
Karya-karya yang diterbitkan antara lain sebagai berikut.
Karya sastra di Indonesia berdasarkan bentuknya dibagi menjadi dua macam yaitu prosa
dan puisi. Lalu prosa dan puisi ini dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu prosa dan puisi
lama dan modern.
Ciri-ciri sastra lama:
1.
2.
3.
4.
Bersifat statis
Tema ceritanya istana sentris
Nama pengarang tidak disebutkan atau disebut juga anonim
Menggunakan bahasa melayu kuno yang penuh dengan pepatah serta
BAB III
PEMBAHASAN
Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di berbagai jenjang pendidikan sering
diaggap kurang penting oleh para guru, apalagi pada guru yang pengetahuan dan apresiasi
sastranya rendah. Hal ini menyebabkan mata pelajaran yang idealnya menarik dan besar
sekali manfaatnya bagi para siswa ini disajikan hanya sekedar memenuhi tuntutan
kurikulum dan cenderung kurang mendapat tempat di hati siswa. Bila kita kaji secara
mendalam, tujuan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dimaksudkan untuk
menumbuhkan keterampilan, rasa cinta, dan penghargaan para siswa terhadap bahasa dan
sastra Indonesia sebagai bagian dari budaya warisan leluhur. Dengan demikian, tugas guru
bahasa dan sastra Indonesia tidak hanya memberi pengetahuan saja, tetapi juga
keterampilan dan menanamkan rasa cinta, baik melalui kegiatan di dalam kelas ataupun di
luar kelas.
3.1.
Kesemuanya itu, tidak lain bertujuan untuk menjadikan pemberdayaan identitas budaya
lokal yang ampuh, ujar Azhar. Dia juga berpendapat, umumnya pembelajaran sastra
memerlukan nafas baru, sehingga perlu melakukan pendekatan dalam pengajaran.
3.2.
unik.
Potensi individu seperti itu menurut para ahli pendidikan akan berkembang jika
mendapat dukungan kultur lingkungan yang menghargai percobaan, melakukan
langkah-langkah spekulatif, fokus pada pengembangan ide-ide baru, bahkan melakukan
hal yang tidak dapat dilakukan orang sebelumnya. Semua potensi dikembangkan
melalui pengulangan yang variatif sehingga terbentuk mutu keterampilan yang terasah.
3.3.
Sastra dianggap kurang penting dan kurang berperan dalam masyarakat Indonesia
hari ini. Hal ini terjadi karena masyarakat kita saat ini sedang mengarah ke masyarakat
industri sehingga konsep-konsep yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan
fisik dianggap lebih penting dan mendesak untuk digapai. Sedikitnya perhatian anggota
masyarakat terhadap kegiatan kesastraan dan kebudayaan pada umumnya merupakan
salah satu indikasi adanya kecenderungan tersebut. Kegiatan kesastraan dan kebudayaan
dianggap hanya memberi manfaat nonmaterial, batiniah, sehingga dianggap kurang
mendesak dan masih dapat ditunda.
Kondisi di atas juga terjadi dalam dunia pendidikan. Perhatian para murid dan
pengelola sekolah terhadap mata pelajaran yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan
kebutuhan fisik jauh lebih besar bila dibandingkan dengan mata pelajaran kemanusiaan.
Ketiadaan laboratorium bahasa, sanggar seni, buku bacaan kesastraan, dan berbagai
fasilitas lain yang diperlukan dalam pengajaran merupakan bukti konkret adanya
ketidakperhatian tersebut.
Bila kita menganggap pendidikan merupakan upaya lain untuk memanusiakan
manusia, perhatian terhadap semua materi ajar di sekolah haruslah seimbang. Seorang
guru dapat melakukan hal-hal seperti dibawah ini untuk mewujudkan pembelajaran
sastra di sekolah sehingga mata pelajaran ini menjadi menarik dan mendapat tempat di
hati siswa.
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah meyakinkan siswa bahwa pengajaran
sastra tidak hanya menawarkan hiburan sesaat, tetapi juga akan memberi berbagai
manfaat lain bagi siswa. Penikmatan yang apresiatif terhadap puisi, prosa fiksi, drama
dalam berbagai genre akan membuktikan kemanfaatan tersebut pada siswa.
Selanjutnya, guru pun harus berusaha mengubah teknik pembelajaran sastra di
8
sekolah. Selama ini pengajaran sastra dan juga bahasa Indonesia lebih diarahkan pada
aspek sejarah dan pengetahuan sehingga siswa dipacu untuk menghafal, bukan untuk
mengahayati karya yang diajarkan.
Kegiatan apresiasi sastra tidak hanya diajarkan dalam bentuk pembacaan karya
sastra oleh siswa. Kegiatan ini dapat juga diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan
dengan berbagai teknik pembelajaran. Kegiatan deklamasi, lomba penulisan puisi,
musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, mendongeng, pembuatan sinopsis, bermain peran,
penulisan kritik dan esei, dan berbagai kegiatan lain dapat dimanfaatkan untuk
menumbuhkan apresiasi sastra pada siswa. Berbagai kegiatan tersebut akan
menumbuhkan penghayatan, pencintaan, dan penghargaan yang relatif baik pada para
siswa terhadap mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Hal lain yang juga perlu dipikirkan saat ini adalah pemanfaatan dan pengadaan
buku/ bacaan kesastraan di sekolah. Pemerintah, di satu sisi, telah berusaha melengkapi
buku bacaan untuk para siswa melalui Proyek Pengadaan Buku Bacaan. Meskipun
bahan yang dikirimkan ke sekolah belum memadai, guru seharusnya dapat
memanfaatkan sarana yang ada itu untuk memancing kreativitas membaca dan mencipta
pada siswa. Di samping itu, guru dan pihak sekolah harus juga berusaha membeli
bacaan lain, seperti surat kabar, kumpulan puisi, dan berbagai media lain yang harganya
relatif murah.
Kendala lain yang tampaknya juga perlu dicarikan pemecahannya adalah sistem
evaluasi pengajaran sastra dan bahasa yang cenderung ke aspek kognitif/pengetahuan.
Selama ini, ulangan semester dan ebtanas memang lebih terfokus pada evalusi
pengetahuan para siswa. Kalau mau guru dapat melakukan evaluasi yang mengarah ke
penumbuhan keterampilan dan apresiasi masih dapat dilaksanakan di berbagai
kesempatan lain di luar evaluasi di atas. Evaluasi keterampilan dan apresiasi siswa ini
dapat saja dilakukan melalui penugasan di rumah, kegiatan ekstrakurikuler, dan
berbagai kegiatan lain. Sekarang tinggal lagi mau atau tidakkah guru bahasa/guru kelas
memanfaatkan kesempatan itu untuk evaluasi yang tidak hanya mengagungkan aspek
hafalan pada siswa.
Terakhir, guru bahasa dan pihak sekolah tampaknya juga perlu mengaktifkan
kembali sanggar-sanggar siswa di sekolah. Kegiatan sanggar di luar jam belajar secara
langsung pasti akan berpengaruh terhadap penumbuhan keterampilan, kecintaan,
9
penghayatan, dan penghargaan yang positif terhadap sastra dan bahasa Indonesia pada
siswa. Bagaimanapun kita tetap bersepakat bahwa penumbuhan kreativitas, penyaluran
bakat/minat, dan pembinaan moral siswa tidak hanya dilaksanakan pada saat-saat
belajar secara formal di dalam kelas, tetapi juga melalui kegiatan ekstrakurikuler di luar
jam belajar.
3.4.
Pengajaran Sastra
diperoleh dengan kegiatan ini. Beban siswa terhadap standart kompetensi yang disusun
dalam silabus masing-masing guru mata pelajaran bisa terpenuhi dengan tidak terlalu
banyak pengulangan. Mengadakan kegiatan yang melibatkan siswa secara aktif ini akan
meningkatkan kompetensi siswa dalam sastra tanpa harus menambah rasa kebosanan
mereka dan sekaligus membuat pengajaran bahasa dan sastra Indonesia menjadi lebih
menarik dan meningkatkan daya kreasi siswa.
Sastra tak bisa dan tak perlu diajarkan. Yang bisa dilakukan oleh seorang guru
sastra dalam mengajar adalah mengajak anak didiknya untuk melihat kemanfaatan
sastra. Memposisikan sastra sedemikian rupa pada tempatnya yang tepat sehingga jelas
kaitannya, relevansinya dengan kehidupan dan proses pembelajaran. Dengan lain kata,
seorang guru sastra berdiri di depan kelas di hadapan murid-muridnya, bagaikan
seorang pembela di dalam sebuah peristiwa pengadilan, untuk membuktikan, untuk
menunjukkan, bahwa sastra adalah ilmu.
Mengajarkan sastra tidak boleh dimulai dengan sastra itu sendiri, tetapi siapa yang
akan mempelajarinya. Lingkungan, latar belakang dan kebutuhan mereka yang hendak
diberikan pelajaran sastra, tidak boleh kalah penting dari suara karya-karya itu. Tidak
seperti pelajaran sejarah, sastra bukanlah masa lalu, karenanya harus mulai dari aksiaksi yang nyata.
Kerucut sistim pembelajaran yang mengajak guru memulai pelajaran sastra seperti
pelajaran sejarah sastra, sehingga harus mulai dengan menghapal apa itu pantun,
gurindam, soneta dan seloka, perlu dibalik total. Pelajaran sastra harus hidup, dimulai
dengan apa yang nyata di sekitar dalam lingkungan mereka yang diajar.
Sebuah sajak, novel, lakon, cerpen, esei dan sebagainya hanya alat untuk
menyampaikan/mengekspresikan gagasan dari penulisnya/pengarangnya. Di balik
cerita, di dalam kata-kata ada rembukan dan kesaksian. Itulah yang harus ditontonkan
kepada mereka yang belajar sastra. Membaca karya sastra seperti menggali tambang
mengeruk, memburu makna-makna yang bersembunyi di balik kata-kata.
11
BAB IV
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Pembelajaran sastra sangatlah penting terlebih pada jenjang Pendidikan Sekolah
Dasar, karena di dalam pembelajaran sastra tersebut terdapat beberapa aspek humaniora
yang dapat mengasah kepekaan sosial, ketajaman watak, serta dengan mempelajari
sastra, seseorang dapat belajar bagaimana caranya mengharagai karya-karya orang lain,
karena pada dasarnya sastra dapat membantu seseorang lebih memahami kehidupan dan
menghargai nilai-nilai kemanusiaan
4.2.
Saran
Pembelajaran sastra dianggap tidaklah penting, karena pada jenjang pendidikan
12
DAFTAR PUSTAKA
Leroy, Diana. 2003. Soal-Soal dan Pembahasan UAN (Ujian Akhir Nasional) Bahasa
Indonesia SMP (Edisi Kedua). Jakarta:Erlangga.
Wijaya, Putu. 2011. Pengajaran Sastra. http://sastraindonesia.com/2011/03/pengajaran-sastra/. Diakses pada tanggal 20/12/2011 10:03
Wibisono, B Kunto. 2010. Pembelajaran Sastra Dorong Sikap Kritis.
http://www.antaranews.com/berita/206353/pembelajaran-sastra-dorong-sikap-kritis.
Diakses pada tanggal 31/12/2011 7:47
Arif, Mohammad. 2008. Pembelajaran Sasta Secara Integratif. http://researchengines.com/mohamad0708.html. Diakses pada tanggal 20/12/2011 9:53
Hamid, Mukhlis A. Pengajaran Sastra Indonesia Di Sekolah.
http://gemasastrin.wordpress.com/2007/04/20/pengajaran-sastra-indonesia-di-sekolah/.
Diakses pada tanggal 31/12/2011 7:42
Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah. http://gurupembaharu.com/home/?p=9911.
Diakses pada tanggal 31/12/2011 8:03
13