Sunteți pe pagina 1din 142

CA NASOFARING

A.
1.

KONSEP
Definisi

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring


dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di
Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)
Karsinoma nasofaring merupakan sebuah kanker yang bermula tumbuh pada sel
epitelial-batas permukaan badan internal dan external sel di daerah nasofaring.
(American Cancer Society, 2011)
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan (kanker) sel yang terbentuk
di jaringan nasofaring, yang merupakan bagian atas pharynx (tengorokan), di
belakang hidung. Pharynx merupakan sebuah lembah yang berbentuk tabung
dengan panjang 5 inchi dimulai dari belakang hidung dan berakhir di atas trakea
dan esofagus. Udara dan makanan melawati pharynx. Karsinoma nasofaring paling
sering bermula pada sel skuamos yang melapisi nasofaring. (National Cancer
Institute, 2011).
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas karsinoma berasal dari epitel nasofaring.
Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa rosenmuller dan dapat meluas ke
hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak. (Munir, 2010)

2.

Etiologi

a.

Faktor Virus (Virus EIPSTEIN BARR)

b.

Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine

c.
Faktor lingkungan (polusi asap kayu bakar, atau bahan karsinogenik
misalnya asap rokok dll)
d.
Sering kontak dengan Zat karsinogen (benzopyrenen, benzoantrance, gas
kimia, asap industri, asap kayu, beberapa ekstrak tumbuhan).
e.

Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)

f.

Radang kronis nasofaring

g.
dll.

Iritasi menahun : nasofaringitis kronis disertai rangsangan oleh asap, alkohol

h.

Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.

3.

Manifestasi Klinik

Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah :
a.
Epiktasis : sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, diantaranya 23,2 %
pasien datang berobat dengan gejala awal ini. Sewaktu menghisap dengan kuat
sekret dari rongga hidung atau nasofaring, bagian dorsal palatum mole bergesekan
dengan permukaan tumor, sehingga pembuluh darah di permukaan tumor robek
dan menimbulkan epiktasis. Yang ringan timbul epiktasis, yang berat dapat timbul
hemoragi nasal masif.
b.
Hidung tersumbat : sering hanya sebelah dan secara progesif bertambah
hebat. Ini disebabkan tumor menyumbat lubang hidung posterior.
c.
Tinitus dan pendengaran menurun : penyebabnya adalah tumor di resesus
faringeus dan di dinding lateral nasofaring menginfiltrasi, menekan tuba eustaki,
menyebabkan tekanan negatif di dalam kavum timpani, hingga terjadi otitis media
transudatif. Bagi pasien dengan gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustaki dapat
meredakan sementara. Menurunnya kemampuan pendengaran karena hambatan
konduksi, umumnya disertai rasa penuh di dalam telinga.
d.
Sefalgia : kekhasannya adalah nyeri yang kontinyu di regio temporo parietal
atau oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf cranial
atau os basis kranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iriasi pembuluh darah
yang menyebabkan sefalgia reflektif.
e.
Rudapaksa saraf cranial : kanker nasofaring meninfiltrasi dan ekspansi direk
ke superior, dapat mendestruksi silang basis kranial, atau melalui saluran atau
celah alami kranial masuk ke area petrosfenoid dari fosa media intrakanial (temasuk
foramen sfenotik, apeks petrosis os temporal, foramen ovale, dan area sinus
spongiosus) membuat saraf kranial III, IV, V dan VI rudapaksa, manifestasinya
berupa ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata (temasuk paralisis saraf
abduksi tersendiri), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi
meningen (sindrom fisura sfenoidal), bila terdapat juga rudapaksa saraf kranial II,
disebut sindrom apeks orbital atau petrosfenoid.
f.
Pembesaran kelenjar limfe leher : lokasi tipikal metastasisnya adalah kelenjar
limfe kelompok profunda superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut
permukaannya tertutup otot sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri, maka
pada mulanya sulit diketahui. Ada sebagian pasien yang metastasis kelenjar
limfenya perama kali muncul di regio untaian nervi aksesorius di segitiga koli
posterior.
g.
Gejala metastasis jauh : lokasi meatstasis paling sering ke tulang, paru, hati.
Metastasi tulang tersering ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas.
Manifestasi metastasis tulang adalah nyeri kontinyu dan nyeri tekan setempat,
lokasi tetap dan tidak berubah-ubah dan secara bertahap bertambah hebat. Pada
fase ini tidak selalu terdapat perubahan pada foto sinar X, bone-scan seluruh tubuh
dapat membantu diagnosis. Metastasis hati, paru dapat sangat tersembunyi,
kadang ditemukan ketika dilakukan tindak lanjut rutin dengan rongsen thorax,
pemeriksaan hati dengan CT atau USG. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 147 -148).

4.

Patofisiologi

Infeksi virus Epstein Barr dapat menginfeksi sel epitel dan berhubungan dengan
transformasi ganas yang dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat
dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada
penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang teerinfeksi oleh EBV
akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses poliferasi dan
mempertahankan kelangsungan virus didalam sel host. Protein laten ini dapat
dipakai sebagai pertanda dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring. Karsinoma
nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal dari selsel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai
pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan
jaringan sekitarnya. Penyebaran ke jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya kemudian
terjadi perlahan. Jika terjadi Penyebarannya keatas tumor meluas ke intracranial
menjalar sepanjang fossa medialis disebut penjalaran petrosfenoid, biasanya
melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus dan fossa kraniimedia dan
fossa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior (N.I-N.VI) kumpulan
gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor
ini disebut sindrom petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan
neuralgia trigeminal. Jika penyebaran ke belakang tumor meluas ke belakang secara
ekstrakranial menembus fascia pharyngobasilaris yaitu sepanjang fossa posterior
dimana di dalamnya terdapat nervus cranial IX-XII disebut penjalaran
retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu N.VII-N.XII

5.

Pathway

Karsinoma nasofaring
Virus Eistein Bar

Makanan yang diawetkan (ikan asin)

Faktor lingkungan, iritasi menahun

Sering kontak dgn karsinogen

Radang kronis nasofaring

Pertumbuhan sel abnorma


Perub. Membran mukosa
Konstipasi/diare

Kekeringan kel. rambut


alopenia
Gangguan konsep diri: HDR
Nutrisi kurang dari kebutuhan
Mual muntah
Kekeringan mukosa
Iritasi mukosa GI
Gejala hidung
Hidung tersumbat
epistaksis
pilek
Gejala mata
mata kabur
diplopia
Hilang pendengaran
Gejala pendengaran
Pembesaran kel. limfe
Gejala tumor lainnya
Penekanan jar. Syaraf o/ sel2 kanker
Gangguan rasa nyaman nyeri
Gejala saraf
Nyeri kepala
Susah menelan
Perubahan persepsi sensori
Post radioterapi
radiasi

6.

Pemeriksaan Penunjang

a.

Nasofaringoskopi

1)

tanpa menggunakan kateter

menggunakan kaca dan lampu khusus untuk menilai nasofaring dan area yang
dekat sekitarnya. Pada pasien dewasa yang tidak sensitif, pemeriksaan ini dapat
dilakukan. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan dapat tampak
dengan mudah.
2)

menggunakan kateter

menggunakan sebuah fibreoptic scope (lentur, menerangi, tabung sempit yang


dimasukkan ke rongga hidung atau mulut) untuk menilai secara langsung lapisan
nasofaring. Dua buah kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung
kanan dan kiri, setelah tampak di orofaring, ujung katater tersebut dijepit dengan
pinset dan ditarik keluar selanjutnya disatukan dengan masing-masing ujung
kateter yang lainnya.
b.
Biopsi nasofaring yaitu Penghapusan sel atau jaringan sehingga dapat
dilihat dibawah mikroskop oleh patologi untuk memastikan tanda-tanda kanker
c.
Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui
keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan.
Memastikan luas lesi,memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan
tindak lanjut
d.
Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi
virus E-B.
1)

Titer antibodi (Viral Capsid Antigens-Imunoglobulin A) VCA-IgA >= 1:80;

2)
Dari penelitian pemeriksaan VCA-IgA, (Early Antigen-Imunoglobulin) EA-IgA
dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indikator tersebut positif.
3)
Dari tiga indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang
tinggi kontinu atau terus meningkat.
e.

Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

(Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 148 - 149).


7.

Penatalaksanaan

a.

Radioterapi

Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik, hygiene mulut, bila
ada infeksi mulut diperbaiki dulu. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat
berupa diseksi leher (benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau
timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih
dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor
transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.
b.

Kemoterapi

Kemoterapi meliputi kemoterapi neodjuvan, kemoterapi adjuvan dan


kemoradioterapi konkomitan.

c.

Operasi pembedahan

Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa kelenjar
pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor
primer sudah dinyatakan bersih.

B.
1.

PROSES KEPERAWATAN
Pengkajian

a.
Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek
dengan riwayat kanker payudara
b.
Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu
tertentu.
c.
Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan
kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan
( daging dan ikan).
d.
Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan
lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)
e.
1)

Pemeriksaan Fisik
Aktivitas

Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
2)

Sirkulasi

Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah,
epistaksis/perdarahan hidung.
3)

Integritas ego

Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis,


perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
4)

Eliminasi

Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan
bising usus, distensi abdomen.
5)

Makanan/cairan

Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia,


mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan,
kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
6)

Neurosensori

Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus


7)

Nyeri/kenyamanan

Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di
daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran
8)

Pernapasan

Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok),


pemajanan
9)

Keamanan

Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan,


demam, ruam kulit.

10)

Seksualitas

Masalah seksual misalnya dampak hubungan, perubahan pada tingkat kepuasan.


11)

Interaksi sosial

Ketidakadekuatan atau kelemahan sistem pendukung


(Doenges, 2000)

2.
a.

Diagnosa Keperawatan
Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).

b.
Gangguan sensori persepsi (pendengaran) berubungan dengan gangguan
status organ sekunder metastase tumor
c.
Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake makanan yang kurang.
d.
Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
e.
Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan penyakit,
pengobatan penyakit.

3.

1.

Rencana Keperawatan

Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).

Tujuan

: Rasa nyeri teratasi atau terkontrol

Kriteria hasil :

Mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri

Melaporkan penghilangan nyeri maksimal/kontrol dengan pengaruh minimal


pada AKS
Intervensi
Rasional
Mandiri
1.

Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi

2.
Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas
hiburan.
3.
Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi,
visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
4.

Evaluasi penghilangan nyeri atau control

Kolaborasi
1.
Berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau campuran
narkotik

1. Informasi memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan/ keefektivan


intervensi
2. Meningkatkan relaksasi dan membantu memfokuskan kembali perhatian
3. Memungkinkan pasien untuk berpartisipasi secara aktif dan meningkatkan rasa
control

4. Kontrol nyeri maksimum dengan pengaruh minimum pada AKS

1. Nyeri adalah komplikasi sering dari kanker, meskipun respon individual berbeda.
Saat perubahan penyakit atau pengobatan terjadi, penilaian dosis dan pemberian
akan diperlukan

2.
Gangguan sensori persepsi (pendengaran) berubungan dengan gangguan
status organ sekunder metastase tumor
Tujuan

: mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi.

Kriteria Hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan.


Intervensi
Rasional
1.

Tentukan ketajaman pendengaran, apakah satu atau dua telinga terlibat .

2.

Orientasikan pasien terhadap lingkungan.

3.

Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi.

1. Mengetahui perubahan dari hal-hal yang merupakan kebiasaan pasien .


2. Lingkungan yang nyaman dapat membantu meningkatkan proses
penyembuhan.
3. Mengetahui faktor penyebab gangguan persepsi sensori yang lain dialami dan
dirasakan pasien.

3.
Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake makanan yang kurang.
Tujuan

: Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi

Kriteria hasil :

Berat badan dan tinggi badan ideal.

Pasien mematuhi dietnya.

Kadar gula darah dalam batas normal.

Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.

Intervensi
Rasional
1.

Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan.

2.

Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.

3.

Timbang berat badan setiap seminggu sekali.

4.

Identifikasi perubahan pola makan.

1. Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien sehingga


dapat diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.
2. Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya
hipoglikemia/hiperglikemia.
3. Mengetahui perkembangan berat badan pasien (berat badan merupakan salah
satu indikasi untuk menentukan diet).
4. Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang ditetapkan.

4.
Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan
: Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang
penyakitnya.
Kriteria Hasil :

Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan


pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.

Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang


diperoleh.
Intervensi
Rasional
1.
Kaji tingkat pengetahuan pasien/keluarga tentang penyakit DM dan Ca.
Nasofaring
2.

Kaji latar belakang pendidikan pasien.

3.
Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan pada
pasien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.
4.
Jelasakan prosedur yang kan dilakukan, manfaatnya bagi pasien dan libatkan
pasien didalamnya.

5.

Gambar-gambar dalam memberikan penjelasan (jika ada / memungkinkan).

1. Untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan yang diketahui pasien/keluarga.


2. Agar perawat dapat memberikan penjelasan dengan menggunakan kata-kata
dan kalimat yang dapat dimengerti pasien sesuai tingkat pendidikan pasien.
3. Agar informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehingga tidak
menimbulkan kesalahpahaman.

4. Agar pasien lebih kooperatif dan cemasnya berkurang.

5. Gambar-gambar dapat membantu mengingat penjelasan yang telah diberikan.

5.
Harga diri Rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan penyakit,
pengobatan penyakit.
Tujuan
dirinya

: Setelah dilakukan askep selama 324 jam klien menerima keadaan

Kriteria Hasil :

Menjaga postur yang terbuka

Menjaga kontak mata

Komunikasi terbuka

Menghormati orang lain

Secara seimbang dapat berpartisipasi dan mendengarkan dalam kelompok

Menerima kritik yang konstruktif

Menggambarkan keberhasilan dalam kelompok social.

Intervensi
Rasional

1.

Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien.

2.

Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.

3.

Gunakan komunikasi terapeutik.

4.
Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk
ikut serta dalam tindakan keperawatan.

5.
Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain
selalu berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.
6.
Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara
bergantian.
7.

Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.

1.
Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga perawat
bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
2.

Dapat meringankan beban pikiran pasien.

3.
Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga pasien
kooperatif dalam tindakan keperawatan.
4.
Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan pasien dalam
melakukan tindakan dapat mengurangi beban pikiran pasien.
5.
Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan kecemasan yang
dirasakan pasien.

6.

Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang menunggu.

7.

Lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa cemas

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC.
Jakarta.
Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT.
Edisi kekempat. FKUI : Jakarta.
DIPOSKAN OLEH ROCHA ANANDA INDRASWARI DI 09.29

ASKEP CA NASOFARING
BAB II
TINAJAUAN TEORITIS
Konsep Dasar Keganasan
Kanker adalah suatu proses penyakit yang bermula ketika sel abnormal diubah
oleh mutasi genetik dari DNA seluler. Sel abnormal ini membentuk klon dan mulai

berploriferasi secara abnormal mengaaikan sinyal-sinyal pengatur pertumbuhan


dalam lingkungan sekitar sel tersebut, kemudian dicapai suatu tahap dimana sel
mendapatkan ciri-ciri intensif dan terjadio peruibahan pada jaringan sekitar dan
memeperoleh akses ke .limfe dan pembuluh-pembuluh darah, melelui pem,bul;u
darah tersebut sel dapat terbawa ke daerah lain dalam tubuh untuk bermetastase
pada bagian tubuh lain.
Membran sel pada sel kanker mengalami gangguan yang mempengaruhi
perpindahan masuk dan keluar cairan dari sel. Membran sel dari sel-sel maligna
juga mengandung protein yang disebut anti genm spesifik tumor. Inti sel dari sel
kanker seringkali besar dan bentuknya tidak beraturan. Nukleolus lenih besar dan
lebih banyak pada sel-sel maligan karena meningkatnya sintesis RNA. Mitosis lebih
sering pada sel-sel maligna sehingga meningkatkan fraksi pertumbuhan dari populsi
sel tumor. Sel-sel kanker juga mengalami perubahan dari siklus adenosin
monoposfat (AMP) dan siklus Gaunosin Monoposfat (GMP).
Konsep Dasar Keperawatan Kanker
Keperawatan kanker adalah suatu area praktek yang mencakup semua
kelompok usia dan spesialisasi keperawtan serta dilakukan dalam beragam tatanan
peraweatan, pelayanan kesehatan, meliputi rumah, komunitas, institusi perawatan
akut dan pusat-pusat rehabilitasi. Bidang atau spesialisasi keperawatan kanker atau
keperawatan onkologi memiliki perkembangan yang sejajar dengan onkologis medis
dan kemajuan terapeutik utama yang telah terjadi dalam perawatan individu
dengan kanker.
Lingkup, tangguang jawab dan tujuan dari perawatyan kanker adalah sama
beragan dan kompleksnya seperti spesialisai lainnya. Terdapat suatu tantangan
khusus yang menyatu dalam merawat individu dengan kanker karena dalam
masyarakat kita kata knker seringkali disamakan dengan nyeri dan kematian.
Mengidentifikasi seseorang terhadap kanker dan membuat tujuan realistik yang
dapat dicapai memungkinkan bekal utuk mendukung pasien dan keluarga melewati
rentang krisis fisik, emosional, budaya dan spiritual yang luas. Pencapaian hasil
yang diinginkan meliputi pemberia dukungan yang realistik pada mereka yang
menerima asuhan keperawatan dan dengan menggunakan standar-stndar praktek
dan proses keperwatan sebagai dasar asuhan.
Konsep Dasar Ca Nasofaring
1. Pengertian
Kanker nasofarig adalah suatu masa dalam nasofaring dan seringkali
tenang sampai masa ini mencapai ukuran yang cukup mengganggu struktur
sekitarnya ( Boies, 1997: 323 ).
Kanker nasofaring merupakan karsinoma sel skamosa yang mula-mula
terlihat sebagai masa yang berulserasi dan emgerosi kanker nasofaring, menginvasi
ke daerah tengkorak dan bermetastase ke nodus limfatikus dalam satadium dini.
Sehingga sering terlihat sebagai benjolan metastasis di leher atau sebagai paralisis
saraf otak tersendiri (dr. Petrus Andrianto, 1998: 372).

Dari kedua pengertin diatas dapat disimpulkan bahwa kanker nasofaring


adalah suatu massa dalam nasofaring yang merupakan karsinoma sel skuamosa
yang menginvasi ke daerah tengkorak dan bermetastase ke nodus limfatikus
sehingga sering terluhat sebagai benjolan metastase di leher yang cukup
mengganggu srtuktur sekitarnya.
2.

Anatomi Fisiologi

Anatomi dan Fisiologi Sistem pernafasan


Pernafasasn (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak
mengandung CO2. sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan udara
disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi.
Fungsi pernafasan
Mengambil oksigen yang kemudian dibawa oleh darah seluruh tubuh (sel
selnya) untuk mengadakan pembakaran.
Mengeluarkan karbon dioksida yang terjadi sebagai sias adari pembakaran ,
kemudian di abewa oleh garah ke paru paru untuk dibuang
Menghangatkan dan melembabkan udara
Organ organ pernafasan
Saluran pernafasan terdiri dari hidung, faring, laring, trakea, broncus,
broncheolus dan alveolus. Saluran pernafasan dari hidung sampai bronchiolus
dilapisi oleh membrane mukosa yang bersilia.Ketika udara masuk kdalam rongga
hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan, Ketiga proses ini merupakan fungsi
utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel torax bertinglat, bersilia dan
bersel goblet
HIDUNG

Bekerja sebagai saluran udara pernafasan


Sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu bulu hidung
Dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa
Membunuh kuman kuman yang masuk, bersama samaudara pernafasan oleh
lekosit yang terdapat dalam selaput lender (mukosa atau hidung)
Faring
Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasr tengkorak sampai
persambungannya dengan esophagus pada ketinggian kartilago krikoid. Maka
letaknya dibelakang hidung (nasofaring), dibelakang mulut (orofaring), dan
dibelakang laring (laringofaring )fungsi faring adalah Mengalirkan udara dari hidung
ke laring

Laring
Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot
dan mengan dung pita suara. Laring terletak didepan bagian terendah faring yang
memisahkannya dari kolumna vertebra, berjalan dari faring sampai ketinggian
vertebra servikalis dan masuk kedalam trachea dibawahnya.
Trakea
Trakea disokong oleh cicncin tulang rawan yang berbentuk sepeti sepatu kuda
yang panjangnya kurang lebih 5 inchi/9 cm
Bronchus
Bronchus utama kiri dan kanan tidak simetris. Bronchus kanan lebih pendek
dan lebih lebar dan merupalkan kelanjutan dari trakea yang arahnya lebih
vertical .Sebaliknya , bronchus kiri lebih panjang dan lebih sempit dan merupakan
kelanjutan dari trakea dengan sudut yang lebih tajam.
Alveolus
Merupakan inti dari fungsi pernafasan ,karena pada alveolus terjadi pertukaran
oksigen dengan kapiler darah.
Fisiologi pernafasan :
Empat proses yang berhubungan dengan pernafasan pulmonary :
1.
Ventilasi pulmonal atau gerak pernafasan yang menukar udara dalam alveoli
dengan udara luar
2. Arus darah melalui paru-paru
3. Distribusi arus udara dan arus darah sesemikian sehingga jumlah tepat dari
setiap udara dapat mencapai semua bagian tubuh
4. Difusi gas yang menembusi membrane pemisah alveoli dan kapiler. CO2 lebih
nudah berdifusi dari pada O2
Anatomi Fisiologi Nasofaring
Faring dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu : nasofaring, orofaring dan laringofaring
atau hipofaring. Sepertiga bagian atas atau nasofaring adalah bagian pernapasan
dari faring dan tidak dapat bergerak kecuali palatum mole bagian bawah. Ruang
nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat
dengan beberapa srtuktur yang secara klinis mempunyai arti penting, yaitu :
a. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid
b.Terdapat jaringan limfoid pada dinding faringeal lateral dan pada resesus
faringeus, yang dikenal dengan Fossa Rosenmuller

c. Torus tubarrius, refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilago saluran tuba
eustachius yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai benjolan seperti
ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat di atas perlekatan palatum mole
d.

Koana posterisor rongga hidung

e. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan
dari pnyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial
glosofaringeus, vagus dan assesoris spinalis.
f. Struktur pembuluh daraha yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus
petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital
dan arteri faringeal asenden dan foramen hipoglosus yang dilalui saraf hipoglosus.
g.Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat
bagian lateral atap nasofaring
h.Ostium dari sinus-sinus sfenoid
3. Etiologi
Dapat ditemukan berbagi jenis tumor ganas nasofaring antara lain berbagi
jenis karsinoma epidermoid, adenokarsinoma, karsinoma adenoid kistik dll serta
berbagi jenis sarkoma dan limfoma malignum. Yang paling sering ditemukan kirakira 90 % adalah karsinoma epidemoid. Penyebab karsinoma ini masih nelum
diketahui lebih jelas. Kemungkinan bear penyebabnya adalah suatu jenis virus yang
disebut virus Epstein Bar, akan tetapi selain dari itu juga terdapat faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan tumor ganas ini, antara lain:
Faktor ras
Banyak ditemukan pada ras mongoloid terutama daerah Cina bagian selatan,
malaysia, Singapura dan Indonesia.
Faktor Genetik
Sering tumor ini atau tumor pada organ lain ditemukan pada beberapa generasi
sutu keluarga
Faktor Sosial Ekonomi
Faktor yang mempengaruhi adalah keadaan gizi, polusi dll.
Faktor Kebudayaan
Kebiasaan hidup, cara memasak makanan serta pemakaian berbagai bumbu
masakan memengaruhi pertumbuhan tumor ini.
Faktor Geografis
Terdapat banyak di Asia Selatan, Afrka Utara, Eskimo dan Yunani.
4. Tanda dan Gejala

Gejala tumor ganas nasofaring dikelompokan dalam berbagai kelompok gejala


seperti telina, mata, hidung, neurologik dan pembesaran kelenjar leher.
Gejala di telinga terjadi karena seringnya tumor tumbuh di fosa Rosenmuller.
Dengan demikian timbul gejala tinitus, penyumbatan tuba eustachius, otitis media
serosa kronis. Gejala di telina ini merupakan gejala awal. Akan tetapi sering pasien
atau dokter yang pertama memeriksa pasien ini mengabaikan kelainan ini,
sehingga yang sering ditemukan adalah pada stadium lebih lanjut telah terjadi
metastase ke jaringan getah bening leher.
Sering terjadi gejala sumbatan di hidung yang didahului oleh gejala epistaksis
yang berulang. Pada keadaan lanjut tumor masuk ke dalam rongga hidung atau
sinus paranasal.
Gejala di mata terjadi karena tumor berfiltrasi ke rongga tengkorak, sehingga
yang pertama terkena adalah saraf otak III, IV, dan VI yaitu sarf yang mempersarafi
otot mata sehingga menimbulkan gejala diplopia.
Gejala yang lebih lanjut adalah gejala neurologi karena infiltrasi tumor ke
intrakranial melalui foramen laserum, dapat mengenai saraf otot ke III, IV, V dan VI.
Pada keadaan lanjut akanmasuk ke foramen jugulare sehingga mengenai saraf otak
IX, X, XI dan XII dan bila keadaan ini terjadi progosisnya buruk.
5.

Patofisiologi

Metastase
pada jaringan

Nasofaring saluran nafas

Terjadi perubahan

bagian atas
Nyeri kepala
pembuluh darah

Teraktivasinya RAS

Ca Nasofaring

Pembesaran jaringan

Gangguan pemenuhan
terapi radiasi

Akses ke limfa dan

Metastase

Sumbatan jalan nafas

Dilakukan

istirahat tidur
Kompresi pita suara

Kesulitan bernafas

Efek sampingnya
Meningkatkan Hcl dalam

lambung

Fungsi pita sura tergganggu

Suara tidak terbentuk

Tindakan trakheostomi

Peningkatan sekresi sekret

Gangguan komunikasi

Akumulasi sekret

mual

Muntah

Intake nutrisi
Tidak adekuat

Pengetahuan klien dan

Membutuhkan suction

Keluarga kurang

Koping tidak efektif


samping sinar

yang sering

Sinar elektomagnetik
(Sinar alfa dan beta)

Iritasi jariungan sekitar


Muosa faring

Efek

radiasi yang tersu

menerus

Gangguan rasa aman cemas


kerusakan
jaringan
Timbul bercak-bercak kehitaman
Kerusakan integritas

Terakumulasi secret di tenggorokan


Media masuknya mikroorganisme
Penurunan daya than tubuh
Resiko tingi infeksi
kulit
Perubahan pola napas hidung

perdarahan

Mengakibatkan

Ke kanul tracheostomi
Bersihan jalan nafas tidak efektif
Dispneu
Gangguan oksigenasi
6. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis dan stadium tumor ditegakkan maka ditentukan tindakan yang
akan diambil sebagai penanggulangannya, yaitu:
a.

Terapi radiasi

Hasil yang memuaskan dapat dicapai dengan terapi radiasi pada pasien yang hanya
mengalami satu gangguan pita suara yang sakit dan normalnya dapat digerakkan
(sat tonasi) selain itu pasien ini masih mempinyai suara yang hampir normal.
Beberapa mungkin mengalami kondritis (inflamasi kartilago) atau stenosis,
sebagian kecil dari mereka yang mengalami stenosis nantinya membutuhkan
laringektomi. Terapi radiasi digunakan untuk preopertif untuk mengurangi ukuran
tumor.
b.

Pemakaian sitostatika

Pemakaian sitostaika belum memuaskan biasanya jadwal pemberian sitostatika


tidak sampai selesai karena keadaan umum memburuk, disamping harga obat ini
yang relatif mahal, sehingga tidak terjangkau oleh klien. Pengobatan untuk kondisi
ini bervariasi sejalan dengan keluasan malignasinya.
7. Dampak Ca Nasofaring Terhadap Sistem Tubuh lain
a.

Sistem respiratori

Faring merupakan saluran nafas bagian atas sebagai jalan udara dari dan ke paruparu sewaktu bernafas. Jika ada pembesaran pada daerah tersebut bisa saja
mengakibatkan tersumbatnya saluran pernafasan, bila hal ini teradi akan
mengakibatkan jalan nafas tidak efektif ditandai dengan adanya perubahan
frekuensi nafas dan adanya stridor, jika hal ini makin berat maka bisa saja dilakukan
tindakan trakheostomi untuk kelancaran pernafasan klien.
b.

Sistem cardiovaskuler

Tekanan darah bisa naik dan bisa juga turun tergantung dari keadaan klien.
Trombositopenia sering terjadi akibat supresi sumsum tulang setelah kemoterapi
atau terapi radiasi.
c.

Sistem pencernaan

Pada Ca Nasofaring yang sudah membesar biasanya terjadi gangguan menelan


sehingga diberikan makanan cair .
d.

Sistem persyarafan

Jika Ca berinfiltrasi dapat menyebabkan penekanan pada nervus IX, X, dan XI


sehingga uvula tidak dapat bergetar dan dapat mengakibatkan aspirasi, juga terjadi
penurunan pengecapan pada klien.
e.

Sistem penglihatan

Jika Ca bermetastase ke rongga tengkorak kemungkinan nervus III, IV dan VI akan


terganggu seperti reaksi pupil terhadap cahaya melambat, pergerakan bola mata
tidak teratur, untuk melihat kekiri atau kekanan akan sulit atau tertahan dan juga
akan terjadi penurunan penglihatan.
f.

Sistem pendengaran

Sistem pendengaran akan terganggu bila Ca bermetastase ke nervus VIII sehingga


klien akan mengalami gangguan pendengaran atau telinga berdenging.
g.

Sistem perkemihan

Bila hasil pemeriksaan darah untuk fungsi ginjal menunjukan kelainan kemungkinan
Ca sudah bermetastase ke ginjal.
h.

Sistem muskuloskeletal

Metabolisme yang meningkat pada Ca tonsil, asupan nutrisi yang berkurang


mengakibatkan pembentukan energi menurun sehingga energi yang digunakan
untuk melakukan kontraksi berkurang dan klien terbatas dalam pergerakan.
i.

Sistem integumen

Ca nasofaring bila dilakukan terapi akan terjadi perubahan warna kulit di area
penyinaran. Sensitifitas kulit mungkin menurun, bila dilakukan tindakan kemoterapi
integritas kulit akan terganggu.
j.

Sistem reproduksi

Biasanya dengan adanya perasaan nyeri pada klien dapat menyebabkan gangguan
pada seksualitas.
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan adalah suatu metode pemberian asuhan keperawatan
yang logis dan sistematis, dinamis, dan teratur yang memerlukan pendekatan,
perencanaan, dan pelaksanan asuhan keperawatan yang metodis dan teratur
dengan mempertimbangkan ciri-ciri pasien yang bersifat bio-psiko-sosial-spiritual
maupun masalah kesehatannya. (Depkes R.I, 19942 :2).
Perawatan dalam memberikan asuhan keperawatan klien harus melalui proses
keperawatan sesuai dengan teori dan konsep keperawatan dan diimplementasikan
secara terpadu dalam tahapan yang terorganisir meliputi pengkajian, perencanaan
keperawatan, tindakan keperawatan, dan evaluasi.
1.

Pengkajian

Identitas


Identitas klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa, status marital, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk RS, tanggal
pengkajian, No Medrec, diagnosis dan alamat.

Identitas penanggung jawab yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin,


pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
Riwayat kesehatan

Keluhan utama

Biasanya didapatkan adanya keluhan suara agak serak, kemampuan menelan


terjadi penurunan dan terasa sakit waktu menelan dan terdapat kekakuan dalam
menelan.

Riwayat kesehatan sekarang

Merupakan informasi sejak timbulnya keluhan sampai klien dirawat di RS.


Menggambarkan keluhan utama klien, kaji tentang proses perjalanan penyakit
sampai timbulnya keluhan, faktor apa saja memperberat dan meringankan keluhan
dan bagaimana cara klien menggambarkan apa yang dirasakan, daerah terasanya
keluhan, semua dijabarkan dalam bentuk PQRST.

Riwayat kesehatan dahulu

Kaji tentang penyakit yang pernah dialami klien sebelumnya yang ada
hubungannya dengan penyakit keturunan dan kebiasaan atau gaya hidup, misalnya
pada penderita Ca tonsil adanya kebiasaan merokok, minum alkohol, terpapar zatzat kimia, riwayat stomatitis yang lama, oral hygiene yang jelek, dan yang lainnya.

Riwayat kesehatan keluarga

Kaji apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan
klien atau adanya penyakit keturunan, bila ada cantumkan genogram.
Pola aktivitas sehari-hari
Pemerikasaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi sistem tubuh secara menyeluruh dengan
menggunakan tekhnik inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
1)

Keadaan umum

Kaji tentang keadaan klien, kesadaran dan tanda-tanda vital.


2)

Sistem respirasi

Jika Ca sudah membesar dan menyumbat jalan nafas maka klien akan mengalami
kesukaran bernafas, apalagi klien dilakukan Trakheostomi, produksi sekret akan
menumpuk dan mengakibatkan jalan nafas tidak efektif dengan adanya perubahan
frekuensi nafas dan stridor.
3)

Sistem cardiovaskuler

Ca nasofaring dengan pemasangan Trakheostomi dan produksi sekret meningkat,


bila dilakukan suction yang berlebihan dalam satu waktu dapat merangsang reflek
nerves sehingga mengakibatkan bradikardi dan biasanya terjadi peningkatan JVP.
4)

Sistem gastrointestinal

Dapat ditemukan adanya mukosa dan bibir kering, nafsu makan menurun,
penurunan berat badan. Jika Ca sudah menyumbat saluran pencernaan dapat
dilakukan tindakan Gastrostomy.
5)

Sistem muskuloskeletal

Kekuatan otot mungkin penuh atau bisa juga terjadi kelemahan dalam mobilisasi
leher karena adanya pembengkakan bila Ca sudah terlalu parah.
6)

Sistem endokrin

Mungkin ditemukan adanya gangguan pada hormonal apabila ada metastase pada
kelenjar tiroid.
7)

Sistem persyarafan

Biasanya ditemukan adanya gangguan pada nervus III, IV, dan VI yaitu syaraf yang
mempersyarafi otot-otot mata, nervus IX, X, XI dan XII yang mempersyarafi
glosofaringeal, vagus, asesorius dan hipoglosus. Biasanya bila ada nyeri yang
dirasakan klien dapat merangsang pada sistem RAS di formatio retikularis sehingga
menyebabkan klien terjaga.
8)

Sistem urinaria

Biasanya tidak ditemukan adanya masalah, bila ada metastase ginjal, akan terjadi
penurunan fungsi ginjal.
9)

Sistem wicara dan pendengaran

Dapat terjadi gangguan pendengaran yang disebabkan adanya sumbatan pada tuba
eustacius sehingga menggangu saluran pendengaran. Bila Ca sudah bermetastase
pada pita suara, maka klien tidak dapat berkomunikasi secara verbal.
10) Sistem integumen
Klien yang mendapat terapi radiasi atau kemoterapi akan terjadi perubahan warna
hiperpigmentasi pada area penyianaran.
11) Sistem reproduksi
Biasanya dengan adanya perasaan nyeri, maka dapat menyebabkan gangguan
pada sexualitas.
Data psikologis
Ca tonsil dengan pemasangan Trakheostomy dan atau Gastrostomy akan
menimbulkan perasaan denial, timbulnya perasaan rendah hati, dengan ditemukan
data klien lebih suka diam dan menarik diri.

Data spiritual
Kaji tentang keyakinan atau persepsi klien terhadap penyakitnya. Biasanya klien
akan merasa kesulitan dalam menjalankan ibadahnya.
Data sosial
Biasanya didapatkan interaksi klien dengan lingkungannya menjadi menurun
dikarenakan adanya penyakit yang diderita klien.
Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan radiologis, soft tissue leher AP lateral.

Pemeriksaan CT Svan leher untuk determinasi klinis ukuran danekstensi


tumor.

Thorax foto untuk melihat ada tidaknya metastase ke paru-paru.

PA untuk mengetahui jenis keganasan.

Laboratorium darah lengkap.

Pemeriksaan biopsi.

Program dan rencana pengobatan

Pembedahan

Radiasi

Chemoterapy

2.

Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu penyimpanan yang menggunakan respon


manusia (status kesehatan, pola interaksi, baik aktual maupun potensial sebagai
individu atau kelompok dimana perawat dapat mengidentifikasi dan melaksanakan
intervensi secara legal untuk mempertahankan status kesehatan).
Berdasarkan hasil studi kepustakaan dari berbagai literatur, didapatkan diagnosa
keperawatan yang muncul menurut (Doengoes, marilyn E) :
1.
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan terdapatnya akumulasi
sekret yang banyak dan mengental.
2.

Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan :

a.

Insisi bedah

b.

Pembengkakan jaringan

3.

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan :

a.

Radiasi atau agen kemoterapi

b.

Pembentukan oedema

4.

Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan :

a.

Hambatan fisik (pemasangan trakheostomy)

b.

Ketidakmampuan berbicra

5.
Gangguan pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk menelan.
6.
Gangguan pemenuhan ADL : personal hygiene berhubungan dengan
keterbatasan aktifitas.
7.
Gangguan pemenuhan istirahat tidur berhubungan dengan teraktivasinya RAS
di formatio retikularis.
3.

Perencanaan

Perencanaan adalah keputusan tentang apa yang dilakukan dalam membantu


klien dalam menghadapi masalah yang dihadapinya, terdiri dari : tujuan, intervensi,
rasional, rencana ini disusun dengan melibatkan klien, keluarga dan tim kesehatan
lainnya. Adapun masalah dari intervensinya adalah sebagai berikut :
1.
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan terdapatnya
akumulasi sekret yang banyak dan mengental.
Tujuan :
Jalan nafas efektif dengan kriteria evaluasi :

Jalan nafas efektif.

Suara nafas bersih.

Frekuensi nafas normal (16-20x / menit).

Intervensi :

Tinggikan kepala 300 450.

Dorong menelan bila klien mampu.

Dorong batuk efektif dan nafas dalam.

Hisap sekret melalui lobang Trakheostomy, oral dan rongga mulut.

Observasi jaringan sekitar terhadap adanya perdarahan.

Ganti kanule sesuai indikasi.

2.

Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan :

a.

Insisi bedah.

b.

Pembengkakan jaringan.

Tujuan :

Nyeri hilang dengan kriteria evaluasi :

Klien terlihat rileks dan tidak mengeluh nyeri.

Skala nyeri menurun.

Intervensi :

Sokong kepala dan leher dengan bantal.

Berikan tindakan yang nyaman, contohnya memberikan pijatan pada


punggung dan aktivitas hiburan seperti nonton TV.

Anjurkan penggunaan perilaku manajemen stress, contoh : teknik relaksasi


dan bimbingan imajinasi.

Berikan analgetik sesuai indikasi.

3.

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan :

c.

Insisi bedah.

d.

Pembengkakan jaringan.

Tujuan :
Menentukan waktu penyembuhan yang tepat komplikasi dengan kriteria evaluasi :

Luka didaerah pemasangan gastrostomy bersih.

Klien dan keluarga mengatahui cra perawatan kulit daerah radioterapi.

Intervensi :

Beri penjelasan tentang perawatan pada area eritematosa :

? Hindari penggunaan sabun, kosmetik, parfum, bedak, lotion, dan salep deodorant.
? Hindari menggosok dan menggaruk area sekitar leher.
? Hindari menempelkan botol air panas, es dan plester adhesif pada area sekitar
leher.

Anjurkan klien untuk menghindari pemakaian baju yangberkeraj ketat.

4.

Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan :

a.

Hambatan fisik.

b.

Ketidakmampuan berbicara.

Tujuan :
Klien dapat menytakan kebutuhannya dengan cara efektif dengan kriteria :

Klien dapat merencanakan pilihan metode berbicara yang tepat.

Klien dapat menyatakan keinginannya dengan tepat.

Intervensi :

Berikan cara-cara yang tepat dan kontinue untuk memenuhi kebutuhannya,


misalnya dengan menyediakan bel sebagai alat untuk memanggil perawat.

Berikan pilihan cara komunikasi yang tepat, misalnya menggunakan pensil


dan buku untuk menyatakan keinginan.

Berikan waktu yang cukup untuk berkomunikasi.

Libatkan keluarga dalam komunikasi dengan pertanyaan tertutup, misalnya


pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak.
5.
Gangguan pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk menelan.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dengan adekuat dengan kriteria evaluas:

Berat badan meningkat.

Porsi makan klien habis.

Nilai laboratorium normal.

Intervensi :

Beri penjelasan pada klien dan keluarga tentang pentingnya makan bagi
klien.

Anjurkan untuk makan makanan kecil dan tingkatkan sesuai toleransi.

Kembangkan dan dorong lingkungan yang nyaman untuk makan.

Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet sesuai indikasi.

6.
Gangguan pemenuhan ADL : personal hygiene berhubungan dengan
keterbatasan aktifitas.
Tujuan :
Klien dapat melakukan personal hygiene secara mandiri dengan kriteria evaluasi :

Klien mengetahui tentang pentingnya perawatan diri.

Klien mampu melakukan aktifitas sendiri.

Keadaan badan klien bersih.

Rambut klien tersisir rapih dan bersih.

Kuku pendek dan bersih.

Intervensi :


Berikan informasi pada klien tentang pentingnya perawatan diri untuk orang
yang sedang sakit.

Bantu dan fasilitasi klien dalam memenuhi perawatan dirinya.

Bantu klien dalam memenuhi personal hygienenya seperti : mandi, gosok


gigi, dan gunting kuku.

Libatkan keluarga dalam menjaga perawatan diri klien.

7.
Gangguan pemenuhan istirahat tidur berhubungan dengan teraktivasinya RAS
di formatio retikularis.
Tujuan :
Kebutuhan istirahat tidur klien terpenuhi dengan kriteria evaluasi :

Klien tidak tampak sayu.

Tidak tampak lingkaran hitam pada daerah periorbital.

Klien dapat tidur dengan nyenyak.

Klien tidak sering terbangun dari tidurnya.

Jumlah jam tidur klien cukup 7 8 jam / hari.

Lingkungan sekitar klien tenang, aman dan nyaman untuk klien tidur.

Intervensi :

Jelaskan pada klien tentang pentingnya istirahat tidur bagi klien.

Kurangi stimulus yang dapat menyebabkan klien sulit tidur dengan


menciptakan lingkungan yang tenang, aman dan nyaman untuk klien tidur.

Atur posisi klien yang nyaman untuk tidur : berikan posisi semifowler 300
450 untuk klien tidur.

4.

Bimbing klien untuk berdoa sebelum tidur.


Implementasi

Implementasi / pelaksanaan pada klien dengan gangguan sistem pencernaan


post op gastrostomy akibat Ca tonsil dilaksankan sesuai dengan perencanaan
perawatan yang meliputi tindakan-tindakan yang telah direncanakan oleh perawat
maupun hasil kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya serta memperhatikan
kondisi dan keadaan klien.
5.

Evaluasi

Evaluasi dilakukan setelah diberikan tindakan perawatan dengan melihat


respon klien, mengacu pada kriteria evaluasi, tahap ini merupakan proses yang
menentukan sejauah mana tujuan telah tercapai.
Anak Menanga

I Putu Juniartha Semara Putra

Askep CA Nasofaring
BY IDI SUWARDI , AT 19.29 , HAS 0 KOMENTAR
Asuhan Keperawatan (Askep) CA Nasofaring berikut ini adalah contoh tugas bidang
keperawatan. Tugas ini membahas tentang, pengertian nasofaring, epidemiologi
dan etiologi, tanda dan gejala karsinoma nasofaring, pemeriksaan penunjang
nasofaring, pathway, pelaksanaan medis sampai dengan konsep dan pelaksaan
asuhan keperawatan karsinoma nasofaring atau tomor ganas nasofaring.

CA NASOFARING

A. PENGERTIAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring
dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di
Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)

B. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI


Urutan tertinggi penderita karsinoma nasofaring adalah suku mongoloid yaitu 2500
kasus baru pertahun. Diduga disebabkan karena mereka memakan makanan yang

diawetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin.


(Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146).

Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan


makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997 hal 460). Selain itu
faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup,
kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga sangat mempengaruhi
kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa
penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr, karena pada semua
pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi (Efiaty &
Nurbaiti, 2001 hal 146).

C. TANDA DAN GEJALA


Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara
lain :
1. Gejala nasofaring
Adanya epistaksis ringan atau sumbatan hidung.Terkadang gejala belum ada tapi
tumor sudah tumbuh karena tumor masih terdapat dibawah mukosa (creeping
tumor)

2. Gangguan pada telinga


Merupakan gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa
Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, tuli, rasa tidak nyaman di telinga
sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)

3. Gangguan mata dan syaraf


Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui foramen
laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga dijumpai diplopia,
juling, eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan motorik dan sensorik.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran
melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika seluruh saraf
otak terkena disebut sindrom unialteral. Prognosis jelek bila sudah disertai destruksi
tulang tengkorak.

4. Metastasis ke kelenjar leher

Yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus sternokleidomastoid yang


akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilat. Hal inilah yang
mendorong pasien untuk berobat.

Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah
diteliti dicina yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring seperti
pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukositis berat
pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun tahun akan menjadi
karsinoma nasofaring. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 147 -148).

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Nasofaringoskopi
Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi virus EB.
Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
(Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 148 - 149).

E. PENATALAKSANAAN MEDIS
Radioterapi merupakan pengobatan utama
Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher
yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran
dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik
dan serologik) , pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi,
seroterapi, vaksin dan antivirus.
Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil.
Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum. Kombinasi
kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum diberikan
radiasi yang bersifat RADIOSENSITIZER.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN
Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan
riwayat kanker payudara
Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu
tertentu.

Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan
makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan
ikan).
Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan
dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)
Pemeriksaan Fisik
Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah,
epistaksis/perdarahan hidung.
Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis,
perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan
bising usus, distensi abdomen.
Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia,
mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan,
kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di
daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran
Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok),
pemajanan
Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan,
demam, ruam kulit.
Seksualitas

Masalah seksual misalnya dampak hubungan, perubahan pada tingkat kepuasan.


Interaksi sosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
(Doenges, 2000)

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1. Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi karingan saraf


Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri .
Intervensi :
Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi
Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas
hiburan.
Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi, visualisasi,
bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol
Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau
campuran narkotik.

2. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder


metastase tumor
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi
Kriteria hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan
Intervensi :
Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat.
Orientasikan pasien terhadap lingkungan
Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi
Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur
Bicara dengan gerak mulut yang jelas
Bicara pada sisi telinga yang sehat

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual


muntah sekunder kemoterapi radiasi
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
Intervensi :
Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan
toleransi pasien
Berikan dorongan higiene oral yang sering
Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan
Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian obat,
kaji masukan dan haluaran.
Pantau masukan makanan tiap hari.
Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)
Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan
adekuat.
Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan kebisingan)

4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder


imunosupresi
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.
Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi
dan infeksi respiratori
Intervensi :
Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi :

Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam,
menggigil, perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa
perih saat berkemih
Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi
pengunjung yang mengalami infeksi.
Tekankan higiene personal
Pantau suhu
Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)

5. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan imunologi, efek


radiasi kemoterapi
Tujuan : integritas kulit tetap terjaga
Kriteria hasil :
Menunjukkan perubahan yang minimal pada kulit dan menghindari trauma pada
area kulit yang sakit
Intervensi :
Kaji kulit dengan sering terhadap efek samping kanker
Mandikan dengan menggunakan air hangat dan sabun ringan
Hindari menggosok atau menggaruk area
Anjurkan pasien untuk menghindari krim kulit apapun, bedak, salep apapun kecuali
diijinkan dokter.
Hindarkan pakaian yang ketat pada aea tersebut
Oleskan vitamin A dan D pada area tersebut
Tinjau ulang efek samping dermatologis yang dicurigai pada kemoterapi.

6. Resiko tinggi perubahan membran mukosa oral behubungan dengan efek


samping agen kemoterapi radiasi
Tujuan : tidak terjadi gangguan pada membran mukosa
Kriteria hasil :
Menunjukkan mukosa oral yang bersih dan utuh
Tidak menunjukkan adanya ulserasi atau infeksi pada rongga mulut
Melaporkan tidak adanya nyeri, kesulitan menelan dan dehidrasi

Intervensi :
Kaji kesehatangigi dan hihiene oral secara periodik
Kaji rongga mulut tiap hari, perhatikan perubahan pada integritas membran mukosa
oral
Instruksikan mengenai perubahahn diet misalnya hindari makanan panas atau
pedas, anjurkan penggunaan sedotan, mencerna makanan lembut atau diblender.
Pantau dan jelaskan tanda-tanda tentang superinfeksi oral
Mulai program higiene oral : gunakan pencuci mulut dari salin hangat, larutan
pelarut dari hidrogen peroksida, sikat dengan sikat gigi/benang gigi, pertahankan
bibir lembab dengan pelumas bibir.

7. Gangguan harga diri berhubugan dengan efek samping radioterapi: kehilangan


rambut
Tujuan : gangguan harga diri teratasi
Kriteria hasil : Mengungkapkan perubahan gaya hidup tentang perasaan tidak
berdaya, putus asa
Intervensi :
Tinjau ulang efek samping yang diantisipasi berkenaan dengan pengobatan tertentu
Dorong diskusi tentang/pecahkan masalah tentang efek kanker
Akui kesulitan yang mungkin di alami
Evaluasi struktur pendukung yang ada dan digunakan oleh pasien /orang terdekat
Beri dukungan emosi untuk pasien/orang terdekat selama tes diagnostik dan fase
pengobatan
Gunakan sentuhan selama interaksi

8. Konstipasi/diare berhubungan dengan iritasi mukosa GI sekunder kemoterapi


Tujuan : gangguan defekasi tidak terjadi
Kriteria hasil : Mempertahankan konsistensi atau pola defekasi umum
Intervensi :
Kaji bising usus, gerakan usus termasuk frekuensi, konsistensi.
Pantau masukan dna haluaran serta berat badan
Dorong masukan cairan adekuat, peningkatan serat diet, latihan

Pastikan diet yang tepat; hindari makanan tinggi lemak, makanan serat tinggi,
kafein tinggi.
Periksa infeksi bila tidak defekasi selama 3 hari atau distensi abdomen.
Berikan cairan IV, agen antidiare, laksatif.

9. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem


hematopoetik
Tujuan : perdarahan dapat teratasi
Kriteria hasil :
Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi
Tidak menunjukkan adanya darah feses, urin atau emesis
Tidak menunjukkan perdarahan gusi
Intervensi :
Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit
Kaji terhadap perdarahan : petekhie, penurunan Hb Ht, perdarahan dari orifisium
tubuh
Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : gunakan sikat gigi halus, hindari
cairan pembilas mulut komersial, hindari makanan yang sulit dikunyah
Lakukan tindakan meminimalkan perdarahan : hindari mengukur suhu rektal,
hindari suntikan IM, lembabkan bibir dengan petrolatum, mempertahankan
masukan cairan
Gunakan pelunak feses atau tingkatkan serat dalam diet.
(Doenges, 2000)

Askep Ca Nasofaring
Ana Nurkhasanah Thursday, December 3, 2015 Askep KMB

A. Definisi
Kanker nasofaring adalah kanker yang berasal dari sel epitel nasofaring di rongga
belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Kanker ini merupakan
tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak di temukan di Indonesia.
Hampir 60% tumor ganas dan leher merupakan kanker nasofaring, kemudian diikuti
tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas
rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah.
Pada banyak kasus, nasofaring carsinoma banyak terdapat pada ras mongoloid
yaitu penduduk Cina bagian selatan, Hong Kong, Thailand, Malaysia dan Indonesia
juga di daerah India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain
itu kanker nasofaring juga merupakan jenis kanker yang diturunkan secara genetik.

B. Etiologi
Terjadinya Ca Nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin
mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker
nasofaring adalah:
1.

Kerentanan Genetik

Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap


Ca Nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki
fenomena agrregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gan HLA ( Human
luekocyte antigen ) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E ( CYP2E1)
kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap Ca Nasofaring, mereka berkaitan
dengan timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring . Penelitian menunjukkan bahwa
kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan ketidakstabilan , sehingga lebih
rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul
penyakit.
2.

Virus EB

Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik seperti


antigen kapsid virus ( VCA ), antigen membran ( MA ), antigen dini ( EA ), antigen
nuklir ( EBNA ) , dll. Virus EB memiliki kaitan erat dengan Ca Nasofaring , alasannya
adalah :
a.
Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB
( termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll ) , dengan frekuensi positif maupun rata-rata
titer geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita jenis
kanker lain, dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor . Selain itu titer
antibodi dapat menurun secara bertahap sesuai pulihnya kondisi pasien dan
kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau memburuk.

b.
Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA
virus dan EBNA.
c.
Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung
virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat , gambaran
pembelahan inti juga banyak.
d.
Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat
menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus
manusia.
3.

Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat
berikut berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :
a.
Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker
nasofaring , kandungan 3,4- benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83
ug, jelas lebih tinggi dari keluarga di area insiden rendah.
b.
Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada proses
timbulnya kanker nasofaring .
c.
Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin. Terkait
dengan kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya terdeteksi
nitrosamin volatil yang berefek mutagenik.

C. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah :
1.
Epiktasis : sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, diantaranya 23,2 %
pasien datang berobat dengan gejala awal ini . Sewaktu menghisap dengan kuat
sekret dari rongga hidung atau nasofaring , bagian dorsal palatum mole
bergesekan dengan permukaan tumor , sehingga pembuluh darah di permukaan
tumor robek dan menimbulkan epiktasis. Yang ringan timbul epiktasis, yang berat
dapat timbul hemoragi nasal masif.
2.
Hidung tersumbat : sering hanya sebelah dan secara progesif bertambah
hebat. Ini disebabkan tumor menyumbat lubang hidung posterior.
3.
Tinitus dan pendengaran menurun: penyebabnya adalah tumor di resesus
faringeus dan di dinding lateral nasofaring menginfiltrasi , menekan tuba eustaki,
menyebabkan tekana negatif di dalam kavum timpani , hingga terjadi otitis media
transudatif . bagi pasien dengan gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustaki dapat
meredakan sementara. Menurunnya kemmpuan pendengaran karena hambatan
konduksi, umumnya disertai rasa penuh di dalam telinga.
4.
Sefalgia : kekhasannya adalah nyeri yang kontinyu di regio temporo parietal
atau oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf kranial

atau os basis kranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iriasi pembuluh darah
yang menyebabkan sefalgia reflektif.
5.
Rudapaksa saraf kranial : kanker nasofaring meninfiltrasi dan ekspansi direk
ke superior , dapat mendestruksi silang basis kranial, atau melalui saluran atau
celah alami kranial masuk ke area petrosfenoid dari fosa media intrakanial (temasuk
foramen sfenotik, apeks petrosis os temporal, foramen ovale, dan area sinus
spongiosus ) membuat saraf kranial III, IV, V dn VI rudapaksa, manifestasinya
berupa ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata ( temasuk paralisis saraf
abduksi tersendiri ), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi
meningen ( sindrom fisura sfenoidal ), bila terdapat juga rudapaksa saraf kranial II,
disebut sindrom apeks orbital atau petrosfenoid.
6.
Pembesaran kelenjar limfe leher : lokasi tipikal metastasisnya adalah kelenjar
limfe kelompok profunda superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut
permukaannya tertutup otot sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri , maka
pada mulanya sulit diketahui. Ada sebagian pasien yang metastasis kelenjar
limfenya perama kali muncul di regio untaian nervi aksesorius di segitiga koli
posterior.
7.
Gejala metastasis jauh : lokasi meatstasis paling sering ke tulang, paru, hati .
metastasi tulang tersering ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas.
Manifestasi metastasis tulang adalah nyeri kontinyu dan nyeri tekan setempat,
lokasi tetap dan tidak berubah-ubah dan secara bertahap bertambah hebat. Pada
fase ini tidak selalu terdapat perubahan pada foto sinar X, bone-scan seluruh tubuh
dapat membantu diagnosis. Metastasis hati , paru dapat sangat tersembunyi ,
kadang ditemukan ketika dilakukan tindak lanjut rutin dengan rongsen thorax ,
pemeriksaan hati dengan CT atau USG

D. Patofisiologi
Sudah hampir dipastikan ca.nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini
dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita ca.
nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protin tertentu yang
berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus
didalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda adanya EBV,
seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang
berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif
dikarenakan konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen
yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol,
sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal inilah yang
memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada
fossa Rossenmuller.

E. Penggolongan Ca Nasofaring :

1.

T1

: Kanker terbatas di rongga nasofaring.

2.
T2
: Kanker menginfiltrasi kavum nasal, orofaring atau di celah
parafaring di anterior dari garis SO ( garis penghubung prosesus stiloideus dan
margo posterior garis tengah foramen magnum os oksipital ).
3.
T3
: Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai
basis kranial, fosa pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal syaraf kranial
kelompok anterior atau posterior.
4.
T4
: Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena serentak,
atau kanker mengenai sinus paranasal, sinus spongiosus, orbita, fosa infratemporal.
5.

N0

: Belum teraba pembesaran kelenjar limfe .

6.

N1

: Kelenjar limfe koli superior berdiameter <4 cm,.

7.

N2

: Kelenjar koli inferior membesar atau berdiameter 4-7 cm .

8.

N3

: Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter >7 cm

9.

M0

: Tak ada metastasis jauh.

10. M1

: Ada metastasis jauh.

Penggolongan stadium klinis, antara lain :


1.

Stadium I

: T1N0M0

2.

Stadium II

: T2N0 1M0, T0 2N1M0

3.

Stadium III

: T3N0 - 2M0, T0 3N2M0

4.

Stadium IVa

: T4N0 3M0, T0 4N3M0

5.

Stadium IVb

:T apapun, N Apapun, M1

F. Pemeriksaan Diagnosis
Untuk mencapai diagnosis dini harus melaksanakan hal berikut :
1.

Tindakan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien.

Pasien dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral,
limfadenopati leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial dengan kausa yang
tak jelas, dan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaringya dengan
nasofaringoskop indirek atau elektrik.
2.

Pemeriksaan kelenjar limfe leher.

Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai nervus
aksesorius dan arteri vena transvesalis koli apakah terdapat pembesaran.

3.

Pemeriksaan saraf cranial

Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai


prosedur rutin satu persatu , tapi pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok
otot kunyah dan lidah kadang perlu diperiksa berulang kali, barulah ditemukan
hasil yang positif
4.

Pemeriksaan serologi virus EB

Dewasa ini, parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring
adalah VCA-IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hasil positif pada kanker nasofaring
berkaitan dengan kadar dan perubahan antibodi tersebut. Bagi yang termasuk
salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memilki resiko tinggi kanker
nasofaring :
5.

Titer antibodi VCA-IgA >= 1:80

6.
Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga
indikator tersebut positif.
7.
Dua dari tiha dari indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer
yang tinggi kontinyu atau terus meningkat.
Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut , harus diperiksa teliti dengan
nasofaringoskop elektrik , bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu ditekankan adalah
perubahan serologi virus Eb dapat menunjukkan reaksi positif 4 46 bulan sebelum
diagnosis kanker nasofaring ditegakkan.
8.

Diagnosis pencitraan.

9.
Pemeriksaan CT : makna klinis aplikasinya adalah membantu diagnosis,
memastikan luas lesi, penetapan stadium secara adekuat, secara tepat menetapkan
zona target terapi, merancang medan radiasi, memonitor kondisi remisi tumor
pasca terapi dan pemeriksaa tingkat lanjut.
10. Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak,
dapat serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih baik
dari pada CT. MRI selai dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring
dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam
membedakan antara fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor , MRI juga lebih
bermanfaat .
11. Pencitraan tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker nasofaring
dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan rongtsen biasa atau CT,
umumnya lebih dini 4-6 bulan dibandingkan rongsen. Setelah dilakukan bone-scan,
lesi umumnya tampak sebagai akumulasi radioaktivitas, sebagian kecil tampak
sebagai area defek radioaktivitas. Bone-scan sangat sensitif untuk metastasis
tulang, namun tidak spesifik . maka dalam menilai lesi tunggal akumulasi
radioaktivitas , harus memperhatikan riwayat penyakit, menyingkirkan rudapaksa
operasi, fruktur, deformitas degeneratif tulang, pengaruh radio terapi, kemoterapi,
dll.

12. PET ( Positron Emission Tomography ) : disebut juga pencitraan biokimia


molukelar metabolik in vivo. Menggunakan pencitraan biologismetabolisme glukosa
dari zat kontras 18-FDG dan pencitraan anatomis dari CT yang dipadukan hingga
mendapat gambar PET-CT . itu memberikan informasi gambaran biologis bagi
dokter klinisi, membantu penentuan area target biologis kanker nasofaring ,
meningkatka akurasi radioterapi, sehingga efektifitas meningkat dan rudapaksa
radiasi terhadap jaringan normal berkurang.
13. Diagnosis histology
Pada pasien kanker nasofaringn sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi primer
nasofaring untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai harus diperoleh
diagnosis histologi yang jelas. Hanya jika lesi primer tidak dapat memeberikan
diagnosis patologik pasti barulah dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe leher.

G. Penatalaksanaan
1.

Radioterapi

Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik, hygiene mulut, bila
ada infeksi mulut diperbaiki dulu. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat
berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran
atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang
terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin,
faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.
2.

Kemoterapi

Kemoterapi meliputi kemoterapi neodjuvan, kemoterapi adjuvan dan


kemoradioterapi konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah : PF
( DDP + 5FU ), kaboplatin +5FU, paklitaksel +DDP, paklitasel +DDP +5FU dan DDP
gemsitabin , dll.
DDP
: 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama ( mulai sehari sebelum
kemoterapi , lakukan hidrasi 3 hari )
5FU
: 800-1000 mg/m2/d IV drip , hari ke 1-5 lakukan infus kontinyu
intravena.
Ulangi setiap 21 hari atau:
Karboplatin : 300mg/m2 atau AUC = 6 IV drip, hari pertama.
5FU
: 800-1000/m2/d IV drip , hari ke 1-5 infus intravena kontinyu. Ulangi
setiap 21 hari.
3.

Terapi Biologis

Dewasa ini masih dalam taraf penelitian laboraturium dan uji klinis.
4.

Terapi Herbal TCM

Dikombinasi dengan radioterapi dan kemoterapi, mengurangi reaksi


radiokemoterapi , fuzhengguben ( menunjang, memantapkan ketahanan tubuh) ,
kasus stadium lanjut tertentu yang tidak dapat diradioterapi atau kemoterapi masih
dapat dipertimbangkan hanya diterapi sindromnya dengan TCM. Efek herba TCM
dalam membasmi langsung sel kanker dewasa ini masih dalam penelitian lebih
lanjut.
5.

Terapi Rehabiltatif

Pasien kanker secara faal dan psikis menderita gangguan fungsi dengan derajat
bervariasi. Oleh karena itu diupayakan secara maksimal meningkatkan dan
memperbaiki kualitas hidupnya.
6.

Rehabilitas Psikis

Pasien kanker nasofaring harus diberi pengertian bahwa pwnyakitnya berpeluang


untuk disembuhkan, uapayakan agar pasien secepatnya pulih dari situasi emosi
depresi.
7.

Rehabilitas Fisik

Setelah menjalani radioterapi, kemoterpi dan terapi lain, pasien biasanya


merasakan kekuatan fisiknya menurun, mudah letih, daya ingat menurun. Harus
memperhatikan suplementasi nutrisi , berolahraga fisik ringan terutama yang statis,
agar tubuh dan ketahanan meningkat secara bertahap.
8.

Pembedahan

Dalam kondisi ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :


a.

Rasidif lokal nasofaring pasca radioterapi , lesi relatif terlokalisasi.

b.

3 bulan pasca radioterapi kurtif terdapat rasidif lesi primer nasofaring

c.

Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.

d.
Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma
skuamosa grade I, II, adenokarsinoma.
e.

Komplikasi radiasi.

H. Konsep asuhan keperawatan


1.

Pengkajian

Identitas/ biodata klien


Nama
Tempat tanggal lahir
Umur

Jenis Kelamin
Agama
Warga Negara
Bahasa yang digunakan

Penanggung Jawab
Nama
Alamat
Hubungan dengan klien

Keluhan Utama
Leher terasa nyeri, semakin lama semakin membesar, susah menelan, badan
merasa lemas, serta BB turun drastis dalam waktu singkat.

Riwayat Kesehatan Sekarang

Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Riwayat Kesehatan Keluarga

Keadaan Lingkungan

Observasi
Keadaan Umum

Suhu

Nadi

Tekanan Darah

RR

BB

Tinggi badan

Pemeriksaan Persistem

B1 (breathing)
meningkat.

B2 (blood)

: RR meningkat, sesak nafas, produksi sekret


: normal

B3 (brain)

: Pusing, nyeri, gangguan sensori

B4 (bladder)

: Normal

B5 (bowel)

: Disfgia, Nafsu makan turun, BB turun

B6 (bone)

: Normal

2.

Diagnosa

a.

Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).

b.
Gangguan sensori persepsi (pendengaran ) berubungan dengan gangguan
status organ sekunder metastase tumor
c.
Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake makanan yang kurang
d.
Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
e.
Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan penyakit,
pengobatan penyakit.

3.

Intervensi

Lihat di NANDA

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC.
Jakarta.

Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.


Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach. 2
nd Edition : WB Sauders.
Lab. UPF Ilmu Penyakit THT FK Unair. (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi
Lab/UPF Ilmu Penyakit THT. Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT.
Edisi kekempat. FKUI : Jakarta.
Sri Herawati. (2000). Anatomi Fisiologi Cara Pemeriksaan Telinga, Hidung,
Tenggorokan. Laboratorium Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya.

ASKEP CA NASOFARING
I. Pengertian

Karsinoma nasofaring adalah keganasan pada nasofaring yang berasal dari epitel
mukosa nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring.
Carsinoma Nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak di THT. Sebagian
besar klien datang ke THT dalam keadaan terlambat atau stadium lanjut.
II. Anatomi Nasofaring.
Nasofaring letaknya tertinggi di antara bagian-bagian lain dari faring, tepatnya di
sebelah dorsal dari cavum nasi dan dihubungkan dengan cavum nasi oleh koane.
Nasofaring tidak bergerak, berfungsi dalam proses pernafasan dan ikut menentukan
kualitas suara yang dihasilkan oleh laring. Nasofaring merupakan rongga yang
mempunyai batas-batas sebagai berikut :
Atas : Basis kranii.

Bawah : Palatum mole


Belakang : Vertebra servikalis
Depan : Koane
Lateral : Ostium tubae Eustachii, torus tubarius, fossa rosenmuler (resesus
faringeus).
Pada atap dan dinding belakang Nasofaring terdapat adenoid atau tonsila faringika.
III. Etiologi
Kaitan Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama
timbulnya penyakit ini. Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana
tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator kebiasaan untuk
mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak,
merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga
menimbulkan Ca Nasofaring. Mediator yang berpengaruh untuk timbulnya Ca
Nasofaring :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.
2. Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen, benzoantrance, gas kimia,
asap industri, asap kayu, beberapa ekstrak tumbuhan).
4. Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)
5. Radang kronis nasofaring
6. Profil HLA
IV. Tanda dan Gejala
Simtomatologi ditentukan oleh hubungan anatomic nasofaring terhadap hidung,
tuba Eustachii dan dasar tengkorak
Gejala Hidung :
Epistaksis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan.
Sumbatan hidung. Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam
rongga nasofaring dan menutupi koana, gejalanya : pilek kronis, ingus kental,
gangguan penciuman.
Gejala telinga
Kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula dofosa Rosen Muler,
pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba ( berdengung,
rasa penuh, kadang gangguan pendengaran)

Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran


Gejala lanjut
Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat mencapai
kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang
biak hingga kelenjar membesar dan tampak benjolan dileher bagian samping, lama
kelamaan karena tidak dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot
sehingga sulit digerakkan.
V. Pembagian Karsinoma Nasofaring
Menurut Histopatologi :
Well differentiated epidermoid carcinoma.
- Keratinizing
- Non Keratinizing.
Undiffeentiated epidermoid carcinoma = anaplastic carcinoma
- Transitional
- Lymphoepithelioma.
Adenocystic carcinoma
Menurut bentuk dan cara tumbuh
Ulseratif
Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip.
Endofilik : Tumbuh di bawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari jaringan sekitar
(creeping tumor)
VI. Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)
Tipe WHO 1
- Karsinoma sel skuamosa (KSS)
- Deferensiasi baik sampai sedang.
- Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan).
Tipe WHO 2
- Karsinoma non keratinisasi (KNK).
- Paling banyak pariasinya.
- Menyerupai karsinoma transisional
Tipe WHO 3

- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).


- Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma anaplastik, Clear Cell Carsinoma,
varian sel spindel.
- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.
Indonesia Cina
Tipe WHO 1. 29% 35% 2. 14% 23% 3. 57% 42%
VII. Perluasan Tumor ke Jaringan Sekitar
1. Perluasan ke atas : ke N.II dan N. VI, keluhan diplopia, hipestesi pipi
2. Sindrom petrosfenoid terjadi jika semua saraf grup anterior terkena dengan
gejala khas :
Neuralgia trigeminal unilateral
Oftalmoplegia unilateral
Amaurosis
Gejala nyeri kepala hebat akibat penekanan tumor pada duramater
3. Perluasan ke belakang : N.VII-N.XII, trismus, sulit menelan, hiper/hipo/anestesi
palatum,faring dan laring,gangguan respirasi dan salvias, kelumpuhan otot
trapezius, stenokleidomastoideus, hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
4. Manifestasi kelumpuhan :
N IX: kesulitan menelan akibat hemiparese otot konstriktor superior serta
gangguan pengecap pada sepertiga belakang lidah.
N X : Hiper / hipo / anestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai
gangguan respirasi dan salvias.
N XI : kelumpuhan atau atropi otot-otot trapezius, sterno kleido mastoideus,
serta hemiparese palatum mole.
N XII : hemiparese dan atropi sebelah lidah.
VIII. Penentuan Stadium :
TUMOR SIZE (T)
T
Tumor primer
T0
Tidak tampak tumor
T1

Tumor terbatas pada satu lokasi saja


T2
Tumor dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas pada rongga
nasofaring
T3
Tumor telah keluar dari rongga nasofaring
T4
Tumor teah keluar dari nasofaring dan telah kmerusak tulang tengkorak atau sarafsaraf otak
Tx
Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
REGIONAL LIMFE NODES (N)
N0
Tidak ada pembesaran
N1
Terdapat pembesarantetapi homolateral dan masih bisa digerakkan
N2
Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat digerakkan
N3
Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah
melekat pada jaringan sekitar
METASTASE JAUH (M)
M0
Tidak ada metastase jauh
M1
Metastase jauh
Stadium I : T1 No dan Mo
Stadium II : T2 No dan Mo
Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 dan Mo atau T3 dan No dan Mo
Stadium IV : T4 dan No/N1 dan Mo atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan Mo atau
T1/T2/T3/t4 dan No/N1/N3/N4 dan M1

IX. Pemeriksaan Penunjang


Nasofaringoskopi
a. Rinoskopi posterior dengan atau tanpa kateter
b. Biopsi multiple
c. Radiologi :Thorak PA, Foto tengkorak, Tomografi, CT Scan, Bone scantigraphy (bila
dicurigai metastase tulang)
d. Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor kejaringan
sekitar yang menyebabkan penekanan atau infiltrasi kesaraf otak, manifestasi
tergantung dari saraf yang dikenai.
X. Penatalaksanaan
a. Radioterapi : hal yang perlu dipersiapkan adalah KU pasien baik, hygiene mulut,
bila ada infeksi mulut diperbaiki dulu.
b. Kemoterapi
c. Pembedahan
XI. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
Nyeri akut b/d agen injuri fisik (pembedahan).
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan
pemasukan nutrisi..
Risiko infeksi b/d tindakan infasive, imunitas tubuh menurun
Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d misintepretasi
informasi, ketidak familiernya sumber informasi.
Harga diri Rendah b/d perubahan perkembangan penyakit, pengobatan penyakit.
XII. PERENCANAAN
No
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
1
Nyeri akut
Setelah dilakukan askep selama 3 x 24 jam tingkat kenyamanan klien meningkat,
dan dibuktikan dengan level nyeri: klien dapat melaporkan nyeri pada petugas,
frekuensi nyeri, ekspresi wajah, dan menyatakan kenyamanan fisik dan psikologis,
TD 120/80 mmHg, N: 60-100 x/mnt, RR: 16-20x/mnt

Control nyeri dibuktikan dengan klien melaporkan gejala nyeri dan control nyeri.
Manajemen nyeri :
1. Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri klien
sebelumnya.
4. Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan.
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
6. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologis/non farmakologis)..
7. Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi nyeri..
8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
9. Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.
10.Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain tentang pemberian analgetik tidak
berhasil.
11.Monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.
Administrasi analgetik :.
1. Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
2. Cek riwayat alergi..
3. Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
4. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.
5. Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul.
6. Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping.
2
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Setelah dilakukan askep selama 324 jam klien menunjukan status nutrisi adekuat
dibuktikan dengan BB stabil tidak terjadi mal nutrisi, tingkat energi adekuat,
masukan nutrisi adekuat
Manajemen Nutrisi
1. kaji pola makan klien
2. Kaji adanya alergi makanan.

3. Kaji makanan yang disukai oleh klien.


4. Kolaborasi dg ahli gizi untuk penyediaan nutrisi terpilih sesuai dengan kebutuhan
klien.
5. Anjurkan klien untuk meningkatkan asupan nutrisinya.
6. Yakinkan diet yang dikonsumsi mengandung cukup serat untuk mencegah
konstipasi.
7. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan pentingnya bagi tubuh klien.
Monitor Nutrisi
1. Monitor BB setiap hari jika memungkinkan.
2. Monitor respon klien terhadap situasi yang mengharuskan klien makan.
3. Monitor lingkungan selama makan.
4. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak bersamaan dengan waktu klien makan.
5. Monitor adanya mual muntah.
6. Monitor adanya gangguan dalam proses mastikasi/input makanan misalnya
perdarahan, bengkak dsb.
7. Monitor intake nutrisi dan kalori.
3
Risiko infeksi
Setelah dilakukan askep selama 3 x 24 jam tidak terdapat faktor risiko infeksi pada
klien dibuktikan dengan status imune klien adekuat: bebas dari gejala infeksi, angka
lekosit normal (4-11.000),
Konrol infeksi :
1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.
2. Pertahankan teknik isolasi.
3. Batasi pengunjung bila perlu.
4. Intruksikan kepada keluarga untuk mencuci tangan saat kontak dan sesudahnya.
5. Gunakan sabun anti miroba untuk mencuci tangan.
6. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
7. Gunakan baju dan sarung tangan sebagai alat pelindung.
8. Pertahankan lingkungan yang aseptik selama pemasangan alat.
9. Lakukan perawatan luka dan dresing infus setiap hari.

10.Tingkatkan intake nutrisi.


11.berikan antibiotik sesuai program.
Proteksi terhadap infeksi
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.
2. Monitor hitung granulosit dan WBC.
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi..
4. Pertahankan teknik aseptik untuk setiap tindakan.
5. Pertahankan teknik isolasi bila perlu.
6. Inspeksi kulit dan mebran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.
7. Inspeksi kondisi luka, insisi bedah.
8. Ambil kultur jika perlu
9. Dorong masukan nutrisi dan cairan yang adekuat.
10.Dorong istirahat yang cukup.
11.Monitor perubahan tingkat energi.
12.Dorong peningkatan mobilitas dan latihan.
13.Instruksikan klien untuk minum antibiotik sesuai program.
14.Ajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala infeksi.
15.Laporkan kecurigaan infeksi.
16.Laporkan jika kultur positif.
4
Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatan nya
Setelah dilakukan askep selama 324 jam, pengetahuan klien meningkat.
Knowledge : Illness Care dg kriteria :
1 Tahu Diitnya
2 Proses penyakit
3 Konservasi energi
4 Kontrol infeksi
5 Pengobatan
6 Aktivitas yang dianjurkan
7 Prosedur pengobatan

8 Regimen/aturan pengobatan
9 Sumber-sumber kesehatan
10.Manajemen penyakit
Teaching : Dissease Process
1. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang proses penyakit
2. Jelaskan tentang patofisiologi penyakit, tanda dan gejala serta penyebab yang
mungkin
3. Sediakan informasi tentang kondisi klien
4. Siapkan keluarga atau orang-orang yang berarti dengan informasi tentang
perkembangan klien
5. Sediakan informasi tentang diagnosa klien
6. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah
komplikasi di masa yang akan datang dan atau kontrol proses penyakit
7. Diskusikan tentang pilihan tentang terapi atau pengobatan
8. Jelaskan alasan dilaksanakannya tindakan atau terapi
9. Dorong klien untuk menggali pilihan-pilihan atau memperoleh alternatif pilihan
10. Gambarkan komplikasi yang mungkin terjadi
11. Anjurkan klien untuk mencegah efek samping dari penyakit
12. Gali sumber-sumber atau dukungan yang ada
13. Anjurkan klien untuk melaporkan tanda dan gejala yang muncul pada petugas
kesehatan
14. kolaborasi dg tim yang lain.
5
Harga diri rendah
Setelah dilakukan askep selama 324 jam klien menerima keadaan dirinya
Dengan criteria :
Mengatakan penerimaan diri & keterbatasan diri
Menjaga postur yang terbuka
Menjaga kontak mata
Komunikasi terbuka
Menghormati orang lain

Secara seimbang dapat berpartisipasi dan mendengarkan dalam kelompok


Menerima kritik yang konstruktif
Menggambarkan keberhasilan dalam kelompok social
Menggambarkan kebanggaan terhadap diri
PENINGKATAN HARGA DIRI
1. Monitor pernyataan pasien tentang harga diri
2. Anjurkan pasien utuk mengidentifikasi kekuatan
3. Anjurkan kontak mata jika berkomunikasi dengan orang lain
4. Bantu pasien mengidentifikasi respon positif dari orang lain.
5. Berikan pengalaman yang meningkatkan otonomi pasien.
6. Fasilitasi lingkungan dan aktivitas meningkatkan harga diri.
7. Monitor frekuensi pasien mengucapkan negatif pada diri sendiri.
8. Yakinkan pasien percaya diri dalam menyampaikan pendapatnya
9. Anjurkan pasien untuk tidak mengkritik negatif terhadap dirinya
10. Jangan mengejek / mengolok olok pasien
11. Sampaikan percaya diri terhadap kemampuan pasien mengatasi situasi
12. Bantu pasien menetapkan tujuan yang realistik dalam mencapai peningkatan
harga diri.
13. Bantu pasien menilai kembali persepsi negatif terhadap dirinya.
14. Anjurkan pasien untuk meningkatkan tanggung jawab terhadap dirinya.
15. Gali alasan pasien mengkritik diri sendiri
16. Anjurkan pasien mengevaluasi perilakunya.
17. Berikan reward kepada pasien terhadap perkembangan dalam pencapaian
tujuan
18. Monitor tingkat harga diri
DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC.
Jakarta
Guyton, Athur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , Edisi 9, EGC, Jakarta
Iskandar.N, 1989, Tumor Telinga-Hidung-Tenggorokan, Diagnosis dan
Penatalaksanaan, Fakultas Kedokteran Umum, Universitas Indonesia, Jakarta

Joanne C.Mc Closkey. 1996. Nursing intervention classification (NIC). Mosby year
book. St. Louis
Marion Johnon,dkk. 2000. Nursing outcome classification (NOC). Mosby year book.
St. Louis
Marjory godon,dkk. 2000. Nursing diagnoses: Definition & classification 2001-2002.
NANDA
NANDA International, 2001, Nursing Diagnosis Classification 2005 2006, USA

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CA


NASOFARING

1.

Anatomi

Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga hidung.
Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput dan
ruas pertama tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana. Orificium dari tuba eustachian berada pada dinding samping dan
pada bagian depan dan belakang terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut
dengan torus tubarius. Bagian atas dan samping dari torus tubarius merupakan
reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller.
Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft palatum.

Gambar 1. Anatomi nasofaring (Dikutip dari : Anatomi Nasofaring [ cited 2010 Jan
5].
Available from: http://www.cliffsnotes.com/study_guide/Structure-of-the-Respiratory
System.topicArticleId-22032,articleId-21997.html.

Nasopharing berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena
dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Batas
nasopharing:
Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat
subjektif karena tergantung dari palatum durum.
Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
Posterior : - vertebra cervicalis I dan II Fascia space = rongga yang berisi jaringan
longgar Mukosa lanjutan dari mukosa atas
Srtuktur Penting Pada Nasopharing
1.

Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva

2.
Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena cartilago tuba auditiva
3.
Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena musculus levator veli palatini.
4.

Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius

5.
Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan
penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka
ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan.
6.
Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat
predileksi Nasopharingeal Carcinoma.
7.
Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid
jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
8.

Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.

9.
Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing da
oropharing karena musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei

2.

Definisi

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring


dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di
Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146).
Carsinoma Nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak di THT. Sebagian
besar klien datang ke THT dalam keadaan terlambat atau stadium lanjut.
3.

Epidemiologi

Urutan tertinggi penderita karsinoma nasofaring adalah suku mongoloid yaitu 2500
kasus baru pertahun. Diduga disebabkan karena mereka memakan makanan yang
diawetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin.
(Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal146).

4.

Etiologi dan Faktor Resiko

Epstein-Barr Virus (EBV), Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya
keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring.
Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai
penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam
tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka
waktu yang lama.
Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring
yaitu :

Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.

Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.

Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti :


benzopyrenen ,

Benzoanthracene, gas kimia, asap industri, asap kayu

Ras dan keturunan, tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus
herediter atau familier (Malaysia dan Indonesia)

Dari pasien karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain.

Radang kronis daerah nasofaring

Penggunaan tembakau, adalah salah satu faktor risiko terbesar kanker pada
kepala dan leher,

85% kanker kepala dan leher disebabkan oleh factor ini.

Alcohol, konsumsi yang sering dan tinggi adalah faktor risiko kanker pada
kepala dan leher.

Jenis Kelamin, laki-laki 2 kali lebih berpotensi menderita penyakit ini


dibandingkan wanita.

Usia, karsinoma nasofaring lebih sering menyerang seseorang yang berusia


diatas 30 tahun.

Profil HLA

5.

Klasifikasi

Sesuai dengan klasifikasi karsinoma nasofaring:


1.
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi, terdapat jembatan interseluler dan
keratin, dapat dilihat dengan mikroskop cahaya.
2.
Karsinoma nonkeratinisasi, pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya,
terdapat tanda difrensiasi, tetapi tidak ada difrensiasi skuamosa.
3.
Karsinoma tidak berdifrensiasi, sel mempunyai inti vesikuler, nucleolus yang
menonjol dan dinding sel tidak tegas; tumor tampak lebih berbentuk sinsitium
daripada bentuk susunan batubata.
6.

Penentuan Stadium

TUMOR SIZE (T)


T
Tumor primer
T0

Tidak tampak tumor


T1
Tumor terbatas pada satu lokasi saja
T2
Tumor dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas pada rongga
nasofaring
T3
Tumor telah keluar dari rongga nasofaring
T4
Tumor teah keluar dari nasofaring dan telah kmerusak tulang tengkorak atau sarafsaraf otak
Tx
Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
REGIONAL LIMFE NODES (N)
N0
Tidak ada pembesaran
N1
Terdapat pembesarantetapi homolateral dan masih bisa digerakkan
N2
Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat digerakkan
N3
Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah
melekat pada jaringan sekitar
METASTASE JAUH (M)
M0
Tidak ada metastase jauh
M1
Metastase jauh
7.

Manifestasi Klinik

Simtomatologi ditentukan oleh hubungan anatomic nasofaring terhadap hidung,


tuba Eustachii dan dasar tengkorak

Gejala Hidung :
Epistaksis

: rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan.

Sumbatan hidung. Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam


rongga nasofaring dan menutupi koana, gejalanya : pilek kronis, ingus kental,
gangguan penciuman.

Gejala

telinga

Kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula dofosa Rosen Muler,


pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba ( berdengung,
rasa penuh, kadang gangguan pendengaran)

Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran

Gejala lanjut

Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat mencapai


kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang
biak hingga kelenjar membesar dan tampak benjolan dileher bagian samping, lama
kelamaan karena tidak dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot
sehingga sulit digerakkan.
8.

Patofisiologi

WOC terlampir

9.

Pemeriksaan Diagnostik

1.
Magnetic resonance imaging (MRI), menghasilkan secara detail gambaran
tubuh, khususnya jaringan lunak. MRI sensitivitasnya lebih tinggi dibandingkan
dengan CT Scan dalam mendeteksi tumor nasofaring dan kemungkinan
penyebarannya yang menyusup ke jaringan atau nodus limfe
2.
Bone scan. Prosedur ini menggunakan material radioaktif yang sangat kecil
untuk menentukan apakah kanker telah menyebar sampai ke tulang. Alat ini
menggambarkan bila tulan sehat maka pada kamera akan tampak berwarna abuabu, dan bila ada kanker akan tampak gelap.
3.
Neurologic tests. Tes ini untuk mengetahui fungsi nervus, khususnya sensasi
taktil wajah dan fungsi gerak pada nervus tertentu di area leher dan kepala.
4.

Hearing test. Tes ini dilakukan bila diduga ada cairan pada telinga tengah.

5.
Positron emission tomography (PET) scan. A PET scan adalah alat yang
digunakan untuk menciptakan tampilan gambaran organ dan jaringan dalam tubuh.

Substansi radioaktif yang berukuran kecil diinjeksikan ke dalam tubuh pasien dan
akan terdeteksi oleh sebuah scanner, yang akan menghasilkan gambar.

10. Pemeriksaan Penunjang


a.

Nasofaringoskopi

b.

Rinoskopi posterior dengan atau tanpa kateter

c.

Biopsi multiple

d.
Radiologi :Thorak PA, Foto tengkorak, Tomografi, CT Scan, Bone scantigraphy
(bila dicurigai metastase tulang)
e.
Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor
kejaringan sekitar yang menyebabkan penekanan atau infiltrasi kesaraf otak,
manifestasi tergantung dari saraf yang dikenai.

11. Penatalaksanaan
a.
Radioterapi : hal yang perlu dipersiapkan adalah KU pasien baik, hygiene
mulut, bila ada infeksi mulut diperbaiki dulu.
b.
Kemoterapi, yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil. Sedangkan
kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum. Kombinasi kemoradioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum diberikan radiasi
yang bersifat RADIOSENSITIZER.
c.

Pembedahan

12. Komplikasi
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan
paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain
ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke
paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %,
ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. Komplikasi lain yang biasa dialami adalah terjadinya
pembesaran kelenjar getah bening pada leher dan kelumpuhan saraf kranial.

13. Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan


1.

Pengkajian Berdasarkan 11 Fungsional Gordon

DATA KLINIS

a.

Data biografi

Berupa nama pasien, usia, TB,BB, tanggal masuk, TD, RR, Nadi dan suhu
b.

Keluhan utama

Mengeluh ketajaman sumbatan hidung, tuli, rasa tidak nyaman di telinga


sampai rasa nyeri di telinga.
c.

Riwayat perjalanan penyakit :

Tanyakan sejak kapan pasien ketajaman sumbatan hidung, tuli, rasa tidak
nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga.
d.

Riwayat kesehatan masa lalu


Apakah klien ada riwayat penyakit ini sebelumnya

e.

Riwayat kesehatan keluarga

Apakah ada keluarga yang menderita penyakit ini sebelumnya atau adakah
keluarga yang menderita kanker misalnya ibu atau nenek
a.

POLA PERSERPSI DAN PENANGANAN PENYAKIT

Tanyakan apakah pasien pernah berobat ke dokter sebelumnya dan apa


penyakitnya
Kebiasaan minum minuman keras atau alkohol, tembakau, alergi obat-obatan,
makanan, dll.
b.

POLA NUTRISI/METABOLISME

Kaji bagaimana kebiasaan klien dalam memenuhi nutrisi, frekuensi makan,


jumlah, dan makanan tambahan serta nafsu makan klien (adakah anoreksia,
mual/muntah), adakah mulut rasa kering, intoleransi makanan, perubahan berat
badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
. Tanyakan pada pasien apakah pasien sering mengkonsumsi ikan asin dan
memakan makanan yang sering diawetkan
c.

POLA ELIMINASI

Tanyakan bagaimana kebiasaan defekasi dan berkemih pasien, dan tanyakan


apakah pasien memakai alat bantu saat memenuhi pola eliminasi pasien.
d.

POLA AKTIVITAS/OLAHRAGA

Tanyakan bagaimana kemampuan pasien dalam beraktifitas dan keluhan apa


yang dirasakan saat beraktifitas .
e.

POLA ISTIRAHAT/TIDUR

Tanyakan bagaimana kebiasaan tidur pasien ( berapa lama, adakah kebiasaan


sebelum tidur, apakah terasa efektif).

f.

POLA KOGNITIF/PERSEPSI

Tanyakan kemampuan membaca dan menulis, ketajaman pandangan,


pendengaran penggunaan alat bantu pendengaran?
g.

POLA KONSEP DIRI

Tanyakan apakah hal yang menjadi pikiran, apakah ada kejadian yang akhirnya
mengubah gambaran terhadap diri.
h.

POLA HUBUNGAN PERAN

Keluarga berperan dalam membantu klien dalam pemenuhan kebutuhannya dan


bagaimana aktivitas sosial antara klien dengan keluarga.
i.

POLA SEKSUALITAS/REPRODUKSI

Tanyakan apakah pasien mengalami kesulitan/perubahan dalam pemenuhan


kebutuhan seks.
j.

POLA KOPING/PENANGANAN STRES

Tanyakan apakah perubahan pasien dalam beberapa tahun terakhir. Bagaimana


pasien dalam menghadapi masalah dan adakah pasien menggunakan obat-obat
tertentu
k.

POLA NILAI/AGAMA
Bagaimana pengaruh agama dalam kehidupan sehari-hari

2.

Diagnosa Keperawatan (NANDA), Kriteria Hasil (NOC), dan Intervensi (NIC)


NANDA, NOC, DAN NIC

No.
NANDA
NOC
NIC
1.

Nyeri

Melaporkan nyeri secara verbal dan nonverbal

Menunjukkan kerusakan

Posisi untuk mengurangi nyeri

Gerakan untuk melindungi

Tingkah laku berhati-hati

Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau,
menyeringai)

Fokus menyempit

Tingkah laku ekspresif (gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas


panjang, mengeluh)

Perubahan dalam nafsu makan

1 Tingkat Kenyamanan
Indikator :

Melaporkan keadaan fisik membaik

Melaporkan kepuasan terhadap kontra gejala

Mengekspresikan kepuasan terhadap kontrol nyeri

1.

Kontrol Nyeri

Indikator:

Mengenali faktor penyebab

Mengetahui serangan nyeri

Menggunakan tindakan preventif

Mengenali gejala/tanda nyeri

Menggunakan tindakan non analgesik

2.

Nyeri : efek dekstruktif

Indikator:

Hilangnya gangguan tidur

Hambatan eliminasi

Hambatan mobilisasi fisik

Hambatan perawatan diri

3.

Tingkat Nyeri

Indikator:

Keluhan nyeri

Ekspresi wajah terhadap nyeri

Perubahan tekanan darah

Perubahan denyut jantung

Perlindungan posisi tubuh

Frekuensi nyeri

Melakukan penilaian nyeri secara komprehensif dimulai dari lokasi,


karakteristik, durasi, kualitas, dan penyebab.

Kaji ketidaknyamanan secara nonverbal

Gunakan komunikasi yang terpeutik agar pasien dapat menyatakan


pengalamannya tehadap nyeri

Menyediakan analgesik yang dibutuhkan dalam mengatasi nyeri

Dorong klien untuk mendiskusikan pengalamannya terhadap nyeri

Monitor kepuasan pasien terhadap manejemen nyeri yang diberikan

Cek order medis mengenai obat, dosis, dan frekuensi analgesik yang diberikan

Cek riwayat alergi obat

Pilih analgesik yang tepat atau kombinasi analgesik ketika lebih dari satu obat
yang diresepkan

Pilih rute IV dari pada IM untuk nyeri

Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian obat analgesik

Dokumentasikan respon analgesik dan dampak negatif

2.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Karakteristik:

Pucatnya membrane mukosa

Kelemahan otot yang diperlukan saat menelan atau mengunyah

Kurang nafsu makan

1. status nutrisi
Intake nutrisi
Intake makanan dan cairan
Energi
Berat tubuh
2. status nutrisi:intake makanan dan cairan
Intake makanan di mulut
Intake cairan
Intake cairan di mulut
Intake di saluran makanan
3. status nutrisi: intake nutrisi
Intake kalori
Intake ptotein
Intake lemak
Intake karbohidrat
Intake kalsium
Intake mineral
Intake zat besi
Intake vitamin

Manajemen Nutrisis

Menanyakan apakah pasien mempunyai alergi terhadap makanan

Menetukan makanan pilihan pasien

Menentukan jumlah kalori dan jenis zat makanan yang diperlukan untuk
memenuhi nutrisi,

Tunjukkan intake kalori yang tepat sesuai tipe tubuh dan gaya hidup

Menawarkan banyak minum dan buah segar/jus buah

Memberi makanan yang sehat, bersih, dan lunak, jika diperlukan

Memastikan bahwa makanan meliputi makanan tinggi serat untuk mencegah


konstipasi

Memberikan tanaman obat dan rempah-rempah sebagai alternative pengganti


garam

Memberi pasien makanan dan minuman tinggi protein, tinggi kalori, dan
bernutrisi yang siap dikonsumsi

Memberi pilihan makanan

Menimbang berat badan pasien pada jarak waktu yang tepat

Anjurkan pasien memasang gigi palsu dengan tepat dan/atau memperoleh


perwatan gigi

Memberi informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana


memenuhinya

Ajarkan teknik pengolahan dan pemeliharaan makanan yang aman

Memantau kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi

2. Terapi nutrisi

Mengontrol penyerapan makanan/cairan dan menghitung intake kalori harian,


jika diperlukan

Memantau ketepatan urutan makanan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi


harian

Menentukan jumlah kalori dan jenis zat makanan yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi, ketika

Menetukan makanan pilihan dengan mempertimbangkan budaya dan agama

Menetukan kebutuhan makanan saluran nasogastric

Membantu pasien untuk memilih makanan lembut, lunak dan tidak asam

Mengatur pemasukan makanan,

Mengontrol cairan pencernaan

Memastikan keadaan terapeutik terhadap kemajuan makanan

Memberi pemeliharaan yang diperlukan dalam batas makanan yang


ditentukan


Mengontrol keadaan lingkungan untuk membuat udara menyenangkan dan
relaks

Memberi makanan yang punya daya tarik, dengan cara yang menyenangkan,
memberi penambahan warna, tekstur, dan variasi

Melakukan perawatan mulut sebelum makan,

Membantu pasien membentuk posisi duduk yang benar sebelum makan

Mengajarkan pasien dan kelurga tentang memilih makanan

Memberi pasien dan keluarga contoh tertulis makanan pilihan

3. Penyuluhan Nutrisi

Menerapkan hubungan terapeutik berdasarkan pada kepercayaan dan


kehormatan

Menentukan pengenalan perubahan perilaku makan

Menentukan tujuan jangka pendek dan jangka panjang bagi perubahan status
nutrisi

Menggunakan standar nilai gizi untuk membantu klien mengevaluasi


kecukupan intake makanan

Memberi informasi tentang kesehatan yang diperlukan untuk perubahan:


kekurangan berat badan, penambahan berta badan, penurunan kolesterol,
pembatasan cairan

Membantu pasien mempertimbangkan factor usia, tahap pertumbuhan dan


perkembangan, melalui pengalaman makan, luka, penyakit, budaya, dan keuangan
dalam rencana pemenuhan nutrisi

Memantau pengetahuan pasien tentang dasar empat kelompaok makanan,


persepsi yang baik terhadap perubahan makanan yang diperlukan

Mengetahui makanan yang disukai dan tidak disukai pasien

Membantu pasien mencaat kebiasaan makan selama 24 jam

Tinjau kembali dengan pasien penukuran intake dan output cairan, jumlah
hemoglobin, tekanan darah, atau penambahan atau pengurangan berat, jika
diperlukan

Mendiskusikan pengertian makanan dengan pasien

Memantau aturan dan keyakinan orang yang terkait tentang makanan,


makan, dan perubahan nutrisi yang diperlukan pasien

Membantu pasien menyatakan perasaan dan perhatikan pencapaian tujuan

Memuji usaha pencapaian tujuan

Konsultasi dengan anggota tim pelayanan kesehatan lainnya

4. Mengontrol nutrisi

Menimbang berat badan pasien

Memantau gejala kekuranagan dan penambahan berat badan

Memantau respon emosional pasien ketika ditempatkan pada situasi yang


melibatkan makanan dan makan

Mengontrol keadaan lingkungan ketika makan

Mengatur prosedur dan pengobatan pada waktu lainnya dari waktu makan

Memantau gusi saat menelan, karang gigi, dan penambahan luka

Mengontrol mual dan muntah

Memantau pengukuran lapisan kulit: lapisan kulit trisep, lingkar otot lengan,
dan lingkar lengan

Mengontrol albumin, jumlah protein, hemoglobin, dan tingkat hematocrit

Mengontrol jumlah limfosit dan elektrolit

Mengontrol makanan utama dan pilihan

Memantau tingkat energy, rasa tidak nyaman, kelelahan, dan kelemahan

Memantau jaringan yang pucat, memerah, dan kering

Mengontrol intake kalori dan nutrisi

Memantau kemerahan, bengkak, dan retak pada mulut/bibir

Catat nyeri, edema, dan hyperemic dan hyperthropic papilla lidah dan rongga
mulut

Catat perubahan utama pada status nutrisi dan mulai pengobatan, jika
diperlukan

Menentukan apakah pasien membutuhkan makanan khusus

Mengontrol kondisi lingkungan dengan optimal saat makan

3.
Resiko Infeksi

Pertahanan primer tidak adekuat (kerusakan kulit, trauma jaringan, penurunan


aktivitas badan siliar)

Peningkatan paparan lingkungan terhadap pathogen

Kurangnya pengetahuan untuk menghindari paparan pathogen

Pengetahuan: control infeksi

Mendeskripsikan mode transmisi

Mendeskripsikan factor-faktor yang menyertai transmisi

Mendeskripsikan aktivitas-aktivitas meningkatkan daya tahan terhadap infeksi

Mendeskripsikan cara pengobatan untuk diagnose

Mendeskripsikan tanda-tanda dan gejala

Mendeskripsikan praktek pengurangan transmisi

Control resiko

Mengetahui resiko

Memperhatikan factor resiko lingkungan

Perhatikan factor resiko perilaku individu

Kembangkan strategi pengawasan factor resiko yang efektif

Tentukan strategi kontrol resiko yang dibutuhkan

Mengikuti strategi yang dipilih

Mengubah gaya hidup untuk mengurangi resiko

Hindari masalah kesehatan

Ikut serta dalam mengamati masalah kesehatan yang berhubungan

Ikut serta dalam mengidentifikasi resiko

Integritas jaringan kulit dan selaput lendir

Temperatur jaringan

Sensasi dari skala yang diharapkan

Elastisitas dari skala yang diharapkan

Hidrasi dari skala yang diharapkan

Tekstur dari skala yang diharapkan

Ketebalan dari skala yang diharapkan

Luka jaringan

Perfusi jaringan

Konrol infeksi :

Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.

Pertahankan teknik isolasi.

Batasi pengunjung bila perlu.

Intruksikan kepada keluarga untuk mencuci tangan saat kontak dan


sesudahnya.

Gunakan sabun anti miroba untuk mencuci tangan.

Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.

Gunakan baju dan sarung tangan sebagai alat pelindung.

Pertahankan lingkungan yang aseptik selama pemasangan alat.

Lakukan perawatan luka dan dresing infus setiap hari.

Tingkatkan intake nutrisi.

berikan antibiotik sesuai program.

Proteksi terhadap infeksi

Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.

Monitor hitung granulosit dan WBC.

Monitor kerentanan terhadap infeksi..

Pertahankan teknik aseptik untuk setiap tindakan.

Pertahankan teknik isolasi bila perlu.

Inspeksi kulit dan mebran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.

Inspeksi kondisi luka, insisi bedah.

Ambil kultur jika perlu

Dorong masukan nutrisi dan cairan yang adekuat.

Dorong istirahat yang cukup.

Monitor perubahan tingkat energi.

Dorong peningkatan mobilitas dan latihan.

Instruksikan klien untuk minum antibiotik sesuai program.

Ajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala infeksi.

Laporkan kecurigaan infeksi.

Laporkan jika kultur positif.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC.
Jakarta
Nanda. (2009) Nursing Diagnoses: Definitions and Classification (NANDA) 2009
2011. Willey-Blackwell
IOWA OUTCOMES PROJECT. (2000). Nursing Outcomes Classification (NOC). 2nd ed.
Mosby. Inc
IOWA OUTCOMES PROJECT. (1996). Nursing Interventions Classification (NIC). 2nd
ed. Mosby. Inc
Guyton, Athur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , Edisi 9, EGC, Jakarta
Iskandar.N, 1989, Tumor Telinga-Hidung-Tenggorokan, Diagnosis dan
Penatalaksanaan, Fakultas Kedokteran Umum, Universitas Indonesia, Jakarta
Arina, C. A., 2006, Paralisis Saraf Kranial Multipel pada Karsinoma Nasofaring, USU
Digital Library, diakses pada 19 September 2008,
http://library.usu.ac.id/download/fk/D0400193.pdf.
Asroel, H. A., 2002, Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring, USU
Digital Library, diakses pada 19 September 2008,
http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary2.pdf

LAPORAN PENDAHULUAN CA NASOFARING

A.

PENGERTIAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring


dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring.Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di
Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001)

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring


dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.Keganasan ini termasuk
5 besar bersama kanker mulut rahim, payudara, kulit dan getah bening sedangkan
pada laki-laki merupak tumor yang paling banyak ditemukan (Roezin, 2003).
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang mempunyai predisposisi rasial
yang sangat mencolok. Insidennya paling tinggi pada ras Mongoloid terutama pada
penduduk di daerah Cina bagian selatan, Hongkong, Singapura, Malaysia dan
Indonesia. Di Indonesia penyakit ini ditemukan pertamakali oleh Banker pada tahun
1926, kemudian laporan kasus dalam jumlah cukup banyak baru setelah tahun
1953. Keganasan ini ditemukan lebih banyak pada laki-laki dari perempuan dalam
perbandingan 2,5:1.
Nasofaring sendiri merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai struktur
berbentuk kuboid.Banyak terdapat struktur anatomis penting di sekitarnya.Banyak
syaraf kranial yang berada di dekatnya, dan juga pada nasofaring banyak terdapat
limfatik dan suplai darah.Struktur anatomis ini mempengaruhi diagnosis, stadium,
dan terapi dari kanker tersebut.

B. ETIOLOGI
Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan
makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997). Selain itu faktor
geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan,
sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga sangat mempengaruhi
kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa
penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr, karena pada semua
pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi (Efiaty &
Nurbaiti, 2001).

C.

PATOFISIOLOGI

Terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring.


Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten
pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh
EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan
mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat
dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu
EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1
dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring.
Selain itu, dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) dalam Rusdiana
(2006) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita

karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring


primer.
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga
dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini .Pada
pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di
dalam serum plasma.EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam
mempertahankan genom virus.Huang dalam penelitiannya, mengemukakan
keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita karsinoma nasofaring.
Terdapat 5 stadium pada karsinoma nasofaring yaitu:
PENENTUAN STADIUM :
TUMOR SIZE (T)
T
Tumor primer
T0
Tidak tampak tumor
T1
Tumor terbatas pada satu lokasi saja
T2
Tumor dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas pada rongga
nasofaring
T3
Tumor telah keluar dari rongga nasofaring
T4
Tumor teah keluar dari nasofaring dan telah kmerusak tulang tengkorak atau sarafsaraf otak
Tx
Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
REGIONAL LIMFE NODES (N)
N0
Tidak ada pembesaran
N1
Terdapat pembesarantetapi homolateral dan masih bisa digerakkan
N2

Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat digerakkan


N3
Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah
melekat pada jaringan sekitar
METASTASE JAUH (M)
M0
Tidak ada metastase jauh
M1
Metastase jauh
-

Stadium I :T1 No dan Mo

Stadium II :T2 No dan Mo

Stadium III :T1/T2/T3 dan N1 dan Mo atau T3 dan No dan Mo

- Stadium IV : T4 dan No/N1 dan Moatau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan Moatau
T1/T2/T3/t4 dan No/N1/N3/N4 dan M1
1. Stadium 0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasopharing, biasa disebut
nasopharynx in situ
2. Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasopharing
3. Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasopharing ke rongga
hidung. Atau dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening pada salah satu
sisi leher.
4. Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di semua
sisi leher
5. Stadium 4: kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah.
Konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen dapat
mengaktifkan Virus Epstein Barr ( EBV). Ini akan menyebabkan terjadinya stimulasi
pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan
proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker
pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.
D.

TANDA DAN GEJALA

Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara


lain:
1. Gejala nasofaring

Adanya epistaksis ringan atau sumbatan hidung.Terkadang gejala belum ada tapi
tumor sudah tumbuh karena tumor masih terdapat dibawah mukosa (creeping
tumor)
2. Gangguan pada telinga
Merupakan gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa
Rosenmuller). Gangguan yang timbul akibat sumbatan pada tuba eustachius seperti
tinitus, tuli, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
3. Gangguan mata dan syaraf
Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui foramen
laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga dijumpai diplopia,
juling, eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan motorik dan sensorik.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika
seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral.Prognosis jelek bila sudah
disertai destruksi tulang tengkorak.
4. Metastasis ke kelenjar leher
Yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus
sternokleidomastoid yang akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilat.
Hal inilah yang mendorong pasien untuk berobat.Suatu kelainan nasofaring yang
disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti dicina yaitu 3 bentuk yang
mencurigakan pada nasofaring seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa,
pembesaran nodul dan mukositis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila
diikuti bertahun tahun akan menjadi karsinoma nasofaring.

E.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan


tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan.
2. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi
virus E-B
3. Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan dengan ane\stesi topikal
dengan Xylocain 10 %.
4. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
F.

PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Radioterapi
Sebelumnya persiapan pasien dengan oral hygiene, dan apabila infeksi/kerusakan
gigi harus diobati terlebih dahulu. Dosis yang diberikan 200 rad/hari sampai 6000-

6600 rad untuk tumor primer, sedangkan kelenjar leher yang membesar diberi 6000
rad. Jika tidak ada pembesaran kelenjar diberikan juga radiasi efektif sebesar 4000
rad. Ini dapat diberikan pada keadaan kambuh atau pada metastasis tulang yang
belum menimbulkan keadaan fraktur patologik. Radiasi dapat menyembuhkan lesi,
dan mengurangi rasa nyeri.
2. Pengobatan tambahan
yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang
pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya
sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik) ,
pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan
antivirus.
4. Kemoterapi
Sebagai terapi tambahan dan diberikan pada stadium lanjut.Biasanya dapat
digabungkan dengan radiasi dengan urutan kemoterapi-radiasi-kemoterapi.
Kemoterapi yang dipakai yaitu Methotrexate (50 mg IV hari 1 dan 8); Vincristin (2
mg IV hari1); Platamin (100 mg IV hari 1); Cyclophosphamide (2 x 50 mg oral, hari 1
s/d 10); Bleomycin (15 mg IV hari 8). Pada kemoterapi harus dilakukan kontrol
terhadap efek samping fingsi hemopoitik, fungsi ginjal dan lain-lain.

5. Operasi
Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa kelenjar
pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor
primer sudah dinyatakan bersih.
G. PENCEGAHAN
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal didearah
dengan resiko tinggi.Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko
tinggi ketempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah
cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan
yang berbahaya, penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat,
meningkatkan keadaan sosial/ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik lgA-anti VCA
dan lgA anti EA secara massal dimsa yang akan datang bermanfaat dalam
menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.
H. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan
riwayat kanker payudara
b. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu
tertentu.

c. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan
makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan
ikan).
d. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan
lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)
e. Tanda dan gejala :
1. Aktivitas
Kelemahan atau keletihan.Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
2. Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan
3. Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis,
perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
4. Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan
bising usus, distensi abdomen.
5. Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia,
mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan,
kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
6. Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
7. Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di
daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran
8. Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok),
pemajanan
9. Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan,
demam, ruam kulit.
10. Seksualitas
Masalah seksual misalnya dampak hubungan, perubahan pada tingkat kepuasan.

11. Interaksi sosial


Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
2.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi berlebihan


Nyeri akut b/d agen injuri fisik (pembedahan).
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan
pemasukan nutrisi..
Risiko infeksi b/d tindakan infasive, imunitas tubuh menurun
Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d misintepretasi
informasi, ketidak familiernya sumber informasi.
Resiko Aspirasi b/d inefektif reflek menelan
Defisit self care b/d kelemahan
Harga diri Rendah b/d perubahan perkembangan penyakit, pengobatan penyakit.

3.

PERENCANAAN KEPERAWATAN

No
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
1
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi berlebihan
Setelah dilakukan askep .. jam status respirasi: terjadi kepatenan jalan nafas
dengan Kriteria :
1.

Tidak ada panas

2.

Cemas tidak ada

3.

Obstruksi tidak ada

4.

Respirasi dalam batas normal 16-20x/mnt

5.

Pengeluaran sputum dari jalan nafas

6.

paru bersih

Airway Management/Manajemen jalan nafas

Bebaskan jalan nafas.


Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
Identifikasi apakah klien membutuhkan insertion airway
Jika perlu, lakukan terapi fisik (dada)
Auskultasi suara nafas, catat daerah yang terjadi penurunan atau tidak adanya
ventilasi
Berikan bronkhodilator, jika perlu
Atur pemberian O2, jika perlu
Atur intake cairan agar seimbang
Atur posisi untuk mengurangi dyspnea
Monitor status pernafasan dan oksigenasi

Airway Suctioning/Suction jalan nafas

Keluarkan sekret dengan dorongan batuk/suctioning

Lakukan suction pada endotrakhel/nasotrakhel, jika perlu

2
Nyeri akut b/d agen injuri fisik
Setelah dilakukan askep .. jam klien menunjukkan tingkat kenyamanan dan level
nyeri: klien terkontrol dg KH:

Klien melaporkan nyeri berkurang skala nyeri 2-3

Ekspresi wajah tenang, klien mampu istirahat dan tidur

V/S dbn (TD 120/80 mmHg, N: 60-100 x/mnt, RR: 16-20x/mnt)

Manajemen nyeri :

Kaji tingkat nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,


frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.

Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.

Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri


klien sebelumnya.

Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,


pencahayaan, kebisingan.

Kurangi faktor presipitasi nyeri.

Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologis/non farmakologis)..

Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi


nyeri..

Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.

Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.

Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain tentang pemberian analgetik tidak
berhasil.

Monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.

Administrasi analgetik :

Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.

Cek riwayat alergi..

Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.

Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.

Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul.

Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping.

3
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake nutisi in
adekuat, faktor biologis
Setelah dilakukan askep . jam klien menunjukan status nutrisi adekuat dibuktikan
dengan BB stabil tidak terjadi mal nutrisi, tingkat energi adekuat, masukan nutrisi
adekuat
Manajemen Nutrisi

kaji pola makan klien

Kaji adanya alergi makanan.

Kaji makanan yang disukai oleh klien.

Kolaborasi dg ahli gizi untuk penyediaan nutrisi terpilih sesuai dengan


kebutuhan klien.

Anjurkan klien untuk meningkatkan asupan nutrisinya.

Yakinkan diet yang dikonsumsi mengandung cukup serat untuk mencegah


konstipasi.

Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan pentingnya bagi tubuh klien.

Monitor Nutrisi

Monitor BB setiap hari jika memungkinkan.

Monitor respon klien terhadap situasi yang mengharuskan klien makan.

Monitor lingkungan selama makan.

Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak bersamaan dengan waktu klien


makan.

Monitor adanya mual muntah.

Monitor adanya gangguan dalam proses mastikasi/input makanan misalnya


perdarahan, bengkak dsb.

Monitor intake nutrisi dan kalori.

4
Risiko infeksi b/d imunitas tubuh primer menurun, prosedur invasive
Setelah dilakukan askep jam tidak terdapat faktor risiko infeksi pada klien
dibuktikan dengan status imune klien adekuat: bebas dari gejala infeksi, angka
lekosit normal (4-11.000),
Konrol infeksi :

Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.

Batasi pengunjung bila perlu.

Intruksikan kepada keluarga untuk mencuci tangan saat kontak dan


sesudahnya.

Gunakan sabun anti miroba untuk mencuci tangan.

Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.

Gunakan baju dan sarung tangan sebagai alat pelindung.

Pertahankan lingkungan yang aseptik selama pemasangan alat.

Lakukan perawatan luka dan dresing infus setiap hari.

Tingkatkan intake nutrisi dan cairan

berikan antibiotik sesuai program.

Proteksi terhadap infeksi

Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.

Monitor hitung granulosit dan WBC.

Monitor kerentanan terhadap infeksi..

Pertahankan teknik aseptik untuk setiap tindakan.

Inspeksi kulit dan mebran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.

Inspeksi kondisi luka, insisi bedah.

Ambil kultur jika perlu

Dorong istirahat yang cukup.

Monitor perubahan tingkat energi.

Dorong peningkatan mobilitas dan latihan.

Instruksikan klien untuk minum antibiotik sesuai program.

Ajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala infeksi.

Laporkan kecurigaan infeksi.

Laporkan jika kultur positif.

5
Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatan nya b/d kurang terpapar dg
informasi, terbatasnya kognitif
Setelah dilakukan askep ........jam, pengetahuan klien meningkat. Dg KH:

Klien / keluarga mampu menjelaskan kembali penjelasan yang telah dijelaskan

Klien / keluarga kooperatif saat dilakukan tindakan.

Teaching : Dissease Process

Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang proses penyakit

Jelaskan tentang patofisiologi penyakit, tanda dan gejala serta penyebab yang
mungkin

Sediakan informasi tentang kondisi klien

Siapkan keluarga atau orang-orang yang berarti dengan informasi tentang


perkembangan klien

Sediakan informasi tentang diagnosa klien

Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah


komplikasi di masa yang akan datang dan atau kontrol proses penyakit

Diskusikan tentang pilihan tentang terapi atau pengobatan

Jelaskan alasan dilaksanakannya tindakan atau terapi

Dorong klien untuk menggali pilihan-pilihan atau memperoleh alternatif pilihan

Gambarkan komplikasi yang mungkin terjadi

Anjurkan klien untuk mencegah efek samping dari penyakit

Gali sumber-sumber atau dukungan yang ada

Anjurkan klien untuk melaporkan tanda dan gejala yang muncul pada petugas
kesehatan

kolaborasi dg tim yang lain.

6
Risiko aspirasi b/d inefektifnya reflek menelan
Setelah dilakukan askep . jam tidak terjadi aspirasi / Aspiration tercontrol
Kriteria Hasil :

Dapat bernafas dengan mudah dan frekuensi normal (16-20x/mnt).

Pasien mampu menelan, mengunyah tanpa terjadi aspirasi, dan mampu


melakukan oral hygien, serta posisi tegak selama M/M

Menghindari factor risiko

Jalan nafas paten, mudah bernafas, tidak merasa tercekik dan tidak ada suara
nafas abnormal
Aspiration precaution

Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk dan kemampuan menelan

Monitor status paru

Pelihara jalan nafas

Monitor v/s

Lakukan suction jika diperlukan

Cek nasogastrik sebelum makan

Hindari makan kalau residu masih banyak

Potong makanan kecil kecil

Haluskan obat sebelum pemberian

Naikkan kepala 30-45 derajat pada saat dan setelah makan

Jika pasien menunjukkan gejala mual muntah, posisikan klien miring.


Jika perlu suapi klien perlahan dan berikan waktu cukup untuk mengunyah /
menelan
7
Defisit self care b/d kelemahan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan . jam klien mampu Perawatan diri
Self care :Activity Daly Living (ADL) dengan indicator :
Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari (makan, berpakaian, kebersihan,
toileting, ambulasi)
Kebersihan diri pasien terpenuhi

Bantuan perawatan diri

Monitor kemampuan pasien terhadap perawatan diri

Monitor kebutuhan akan personal hygiene, berpakaian, toileting dan makan

Beri bantuan sampai klien mempunyai kemapuan untuk merawat diri

Bantu klien dalam memenuhi kebutuhannya.

Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kemampuannya

Pertahankan aktivitas perawatan diri secara rutin

Evaluasi kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Berikan reinforcement atas usaha yang dilakukan dalam melakukan perawatan


diri sehari hari.
8
Harga diri rendah b/d perubahan gaya hidup
Setelah dilakukan askep . jam klien menerima keadaan dirinya Dg KH:

Mengatakan penerimaan diri & keterbatasan diri

Menjaga postur yang terbuka

Menjaga kontak mata

Komunikasi terbuka

Secara seimbang dapat berpartisipasi dan mendengarkan dalam kelompok

Menerima kritik yang konstruktif

Menggambarkan kebanggaan terhadap diri

Peningkatan harga diri

Monitor pernyataan pasien tentang harga diri


Anjurkan pasien utuk mengidentifikasi kekuatan
Anjurkan kontak mata jika berkomunikasi dengan orang lain
Bantu pasien mengidentifikasi respon positif dari orang lain.
Berikan pengalaman yang meningkatkan otonomi pasien.
Fasilitasi lingkungan dan aktivitas meningkatkan harga diri.
Monitor frekuensi pasien mengucapkan negatif pada diri sendiri.
Yakinkan pasien percaya diri dalam menyampaikan pendapatnya
Anjurkan pasien untuk tidak mengkritik negatif terhadap dirinya
Sampaikan percaya diri terhadap kemampuan pasien mengatasi situasi
Bantu pasien menetapkan tujuan yang realistik dalam mencapai peningkatan
harga diri.
Bantu pasien menilai kembali persepsi negatif terhadap dirinya.
Anjurkan pasien untuk meningkatkan tanggung jawab terhadap dirinya.
Gali alasan pasien mengkritik diri sendiri
Anjurkan pasien mengevaluasi perilakunya.
Berikan reward kepada pasien terhadap perkembangan dalam pencapaian
tujuan
Monitor tingkat harga diri

DAFTAR PUSTAKA
Arya, Fandy. 2013. Laporan Pendahuluan Askep Pada Klien (dalam
:http://fandyarya2.blogspot.com/2013/05/laporan-pendahuluan-askep-padaklien.html ). diakses tanggal 15 september 2014.
Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan
dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta
: EGC;1999
Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
Moorhead, Sue, et.al. Nursing Outcomes Classification (NOC).Fourth Edition. St.
Louis Missouri : Mosby Elsevier.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 20122014 oleh NANDA International. Jakarta : EGC
Bulechek ,Dochterman. Nursing Interventions Classification (NIC). Fourth Edition. St.
Louis Missouri : Mosby Elsevier.
Putra, semara. 2012. Laporan pendahuluan pada klien dengan ca nasofaring
(dalam : :http://semaraputraadjoezt.wordpress.com/2012/10/29/laporanpendahuluan-askep-pada-klien-dengan-ca-nasofaring-2/). Diakses tanggal 15
September 2014
R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ;
1997
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.

LAPORAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN
CARSINOMA NASOFARING
RUANG THT RSUD DR. SOETOMO
SURABAYA

DI SUSUN OLEH :
SITI AMIYAKUN
04.07.1597
A/KP/VI
KONSENTRASI KEPERAWATAN
PROGRAM STUDY KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2010

LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus Asuhan Keperawatan Klien dengan
Di Ruang THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Mengetahui
Kepala Ruang THT
Luh Gede Arsiti AMd.Kep
NIP. 14 00 72 113
Surabaya, 1 Maret 2010
Mahasiswa
Siti Amiyakun
NIM. 04 07 1597

LAPORAN PENDAHULUAN
CARSINOMA NASOFARING
Anatomi Nasofaring.
Nasofaring letaknya tertinggi di antara bagian-bagian lain dari faring, tepatnya di
sebelah do sal dari cavum nasi dan dihubungkan dengan cavum nasi oleh koane.
Nasofaring tidak bergerak, berfungsi dalam proses pernafasan dan ikut menentukan
kualitas suara yang dihasilkan oleh laring. Nasofaring merupakan rongga yang
mempunyai batas-batas sebagai berikut :
Atas : Basis kranii.
Bawah : Palatum mole
Belakang : Vertebra servikalis
Depan : Koane
Lateral : Ostium tubae Eustachii, torus tubarius, fossa rosenmuler (resesus
faringeus).
Pada atap dan dinding belakang Nasofaring terdapat adenoid atau tonsila faringika.
Pengertian Carsinoma Nasofaring
Karsinoma Nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa
nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring.
Carsinoma Nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak di THT.

Sebagian besar kien datang ke THT dalam keadaan terlambat atau stadium lanjut.
Didapatkan lebih banyak pada pria dari pada wanita, dengan perbandingan 3 : 1
pada usia / umur rata-rata 30 50 th.
Etiologi
Penyebab timbulnya Karsinoma Nasofaring masih belum jelas. Namun banyak yang
berpendapat bahwa berdasarkan penelitian-penelitian epidemiologik dan
eksperimental, ada 5 faktor yang mempengaruhi yakni :
1. Faktor Genetik (Banyak pada suku bangsa Tionghoa/ras mongolid).
2. Faktor Virus (Virus EIPSTEIN BARR)
3. Faktor lingkungan (polusi asap kayu bakar, atau bahan karsinogenik misalnya
asap rokok dll).
4. Iritasi menahun : nasofaringitis kronis disertai rangsangan oleh asap, alkohol dll.
5. Hormonal : adanya estrogen yang tinggi dalam tubuh.
Pembagian Karsinoma Nasofaring
Menurut Histopatologi :
Well differentiated epidermoid carcinoma.
- Keratinizing
- Non Keratinizing.
Undiffeentiated epidermoid carcinoma = anaplastic carcinoma
- Transitional
- Lymphoepithelioma.
Adenocystic carcinoma
Menurut bentuk dan cara tumbuh
Ulseratif
Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip.
Endofilik : Tumbuh di bawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari jaringan sekitar
(creeping tumor)
Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)
Tipe WHO 1
- Karsinoma sel skuamosa (KSS)
- Deferensiasi baik sampai sedang.

- Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan).


Tipe WHO 2
- Karsinoma non keratinisasi (KNK).
- Paling banyak pariasinya.
- Menyerupai karsinoma transisional
Tipe WHO 3
- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).
- Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma anaplastik, Clear Cell Carsinoma,
varian sel spindel.
- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.
Indonesia Cina
Tipe WHO 1 29% 35%
2 14% 23%
3 57% 42%
Klasifikasi TNM
Menurut UICC (1987) pembagian TNM adalah sebagai berikut :
T1 = Tumor terbatas pada satu sisi nasofaring
T2 = Tumor terdapat lebih dari satu bagian nasofaring.
T3 = Tumor menyebar ke rongga hidung atau orofaring.
T4 = Tumor menyebar ke endokranium atau mengenai syaraf otak.
N1 = Metastasis ke kelenjar getah bening pada sisi yang sama, mobil, soliter dan
berukuran kurang/sama dengan 3 cm.
N2 = Metastasis pada satu kelenjar pada sisi yang sama dengan ukuran lebih dari
3 cm tetapi kurang dari 6 cm, atau multipel dengan ukuran besar kurang dari 6 cm,
atau bilateral/kontralateral dengan ukuran terbesar kurang dari 6 cm.
N3 = Metastasis ke kelenjar getah bening ukuran lebih besar dari 6 cm.
M0 = Tidak ada metastasis jauh.
M1 = Didapatkan metastasis jauh.
Penentuan Stadium
Stadium I T1 N0 M0

Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T3 N0 M0
T1 3 N1 M0
Stadium IV T4 N0 1 M0
Semua T N2 3 M0
Semua T Semua N M1
Lokasi :
1 Fossa Rosenmulleri.
2 Sekitar tuba Eustachius.
3 Dinding belakang nasofaring.
4 Atap nasofaring.
Gejala Klinik
1. Gejala Setempat :
Gejala Hidung :
Pilek dari satu atau kedua lubang hidung yang terus-menerus/kronik.
Lendir dapat bercampur darah atau nanah yang berbau.
Epistaksis dapat sedikit atau banyak dan berulang.
Dapat juga hanya berupa riak campur darah.
Obstruksio nasi unilateral atau bilateral bila tumor tumbuh secara eksofilik
Gejala Telinga :
Kurang, pendengaran.
Tinitus
OMP.
2. Gejala karena tumbuh dan menyebarnya tumor
Merupakan gejala yang timbul oleh penyebaran tumor secara ekspansif, infiltratif
dan metastasis.
a. Ekspansif
A Ke muka, tumor tumbuh ke depan mengisi nasofaring dan menutuk koane
sehingga timbul gejala obstruksi nasi/hidung buntu.
A Ke bawah, tumor mendesak palatum mole sehingga terjadi bombans palatum
mole sehingga timbul gangguan menelan/sesak.

b. Infiltratif
A Ke atas :
Melalui foramen ovale masuk ke endokranium, maka terkena dura dan timbul
sefalgia/sakit kepala hebat, Kemudian akan terkena N VI, timbul diplopia,
strabismus. Bila terkena N V, terjadi Trigeminal neuralgi dengan gejala nyeri kepala
hebat pada daerah muka, sekitar mata, hidung, rahang atas, rahang bawah dan
lidah. Bila terkena N III dan IV terjadi ptosis dan oftalmoplegi. Bila lebih lanjut lagi
akan terkena N IX, X, XI dan XII.
A Ke samping :
Masuk spatium parafaringikum akan menekan N IX dan X : Terjadi Paresis palatum
mole, faring dan laring dengan gejala regurgitasi makan-minum ke kavum nasi,
rinolalia aperta dan suara parau.
Menekan N XI : Gangguan fungsi otot sternokleido mastoideus dan otot trapezius.
Menekan N XII : Terjadi Deviasi lidah ke samping/gangguan menelan
c. Gejala karena metastasis melalui aliran getah bening :
Terjadi pembesaran kelenjar leher yang terletak di bawah ujung planum mastoid, di
belakang ungulus mandibula, medial dari ujung bagian atas muskulus
sternokleidomastoideum, bisa unilateal dan bilateral. Pembesaran ini di sebut tumor
colli.
d. Gejala karena metastasis melalui aliran darah :
Akan terjadi metastasis jauh yaitu paru-paru, ginjal, limpa, tulang dan sebagainya.
Gejala di atas dapat dibedakan antara :
I. Gejala Dini : Merupakan gejala yang dapat timbul waktu tumor masih tumbuh
dalam batas-batas nasofaring, jadi berupa gejala setempat yang disebabkan oleh
tumor primer (gejala-gejala hidung dan gejala-gejala telinga seperti di atas).
II. Gejala Lanjut : Merupakan gejala yang dapat timbul oleh karena tumor telah
tumbuh melewati batas nasofaring, baik berupa metastasis ataupun infiltrasi dari
tumor.
Sebagai pedoman :
Ingat akan adanya tumor ganas nasofaring bila dijumpai TRIAS :
A. Tumor colli, gejala telinga, gejala hidung.
B. Tumor colli, gejala intrakranial (syaraf dan mata), gejala hidung dan telinga.
C. Gejala Intrakranial, gejala hidung dan telinga.
Pemeriksaan Fisik
A Inspeksi : Wajah, mata, rongga mulut dan leher.

A Pemeriksaan THT:
- Otoskopi : Liang telinga, membran timpani.
- Rinoskopia anterior :
o Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin hanya banyak
sekret.
o Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung, tertutup
sekret mukopurulen, fenomena palatum mole negatif.
- Rinoskopia posterior :
o Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak menonjol,
tak rata dan paskularisasi meningkat.
o Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan.
- Faringoskopi dan laringoskopi :
Kadang faring menyempit karena penebalan jaringan retrofaring; reflek muntah
dapat menghilang.
- X foto : tengkorak lateral, dasar tengkorak, CT Scan
Pemeriksaan tambahan
- Biopsi :
Biopsi sedapat mungkin diarahkan pada tumor/daerah yang dicurigai. Dilakukan
dengan anestesi lokal.
Biopsi minimal dilakukan pada dua tempat (kiri dan kanan), melalui rinoskopi
anterior, bila perlu dengan bantuan cermin melalui rinoskopi posterior.
Bila perlu Biopsi dapat diulang sampai tiga kali.
Bila tiga kali Biopsi hasil negatif, sedang secara klinis mencurigakan dengan
karsinoma nasofaring, biopsi dapat diulang dengan anestesi umum.
Biopsi melalui nasofaringoskopi dilakukan bila klien trismus atau keadaan umum
kurang baik.
Biopsi kelenjar getah bening leher dengan aspirasi jarum halus dilakukan bila terjadi
keraguan apakah kelenjar tersebut suatu metastasis.
Penatalaksanaan :
Terapi utama : Radiasi/Radioterapi ditekankan pada penggunaan megavoltage
dan pengaturan dengan komputer (4000 6000 R)
Terapi tambahan : diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, inferferon,
Sitostatika/Kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus

Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan


kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi ajuvan (tambahan). Berbagai macam
kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan
Cis-platinum sebagai inti. Pemberian ajuvan kemoterapi Cis-platinum, bleomycin
dan 5-fluorouracil sedang dikembangkan di bagian THT Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian
pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan efirubicin
dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan
harapan kesembuhan yang lebih baik.

PATOFISIOLOGI

Telinga
Pendengaran berkurang

Perubahan sensori persepsi pendengaran


Hidung
Pilek kronis

Sakit kepala/pusing
Hidung buntu (terasa)

Bersihan jalan nafas tidak efektif

Pengkajian
1. Aktivitas/istirahat
Gejala :
- Kelemahan dan / atau kelelahan.
- Perubahan pada pola istirahat / jam tidur karena keringat berlegih, nyeri atau
ansietas.
2. Integritas Ego :
Gejala :

- Faktor stress (perubahan peran atau keuangan).


- Cara mengatasi stress (keyakinan/religius).
- Perubahan penampilan.
3. Makanan/cairan
Gejala : Kebiasaan diet buruk (Bahan Pengawet)
4. Neurosensori
Gejala : Pusing atau sinkope
5. Pernafasan
Gejala : Pemajanan bahan aditif
6. Interaksi sosial
Gejala : Kelemahan sistem pendukung
7. Pembelajaran
Gejala : Riwayat kanker pada keluarga
Prioritas Keperawatan
1. Dukungan adaptasi dan kemandirian.
2. Meningkatkan kenyamanan.
3. Mempertahankan fungsi fisiologis optimal.
4. Mencegah komplikasi.
5. Memberi informasi tentang proses/kondisi penyakit, prognosis dan kebutuhan
pengobatan.
Tujuan Pemulangan
1. Klien menerima situasi dengan realistis.
2. Nyeri berkurang/terkontrol.
3. Homeostasis dicapai.
4. Komplikasi dicegah/dikurangi
5. Proses/kondisi penyakit, prognosis, pilihan terapeutik dan aturan dipahami.
Diagnosa Keperawatan
1. Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada kepala.
Tujuan : Gangguan pola tidur pasien akan teratasi.
Kriteria hasil : 1. Pasien mudah tidur dalam waktu 30 40 menit.

2. Pasien tenang dan wajah segar.


3. Pasien mengungkapkan dapat beristirahat dengan cukup.
Rencana tindakan :
1. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat membantu meningkatkan tidur/istirahat.
2. Kaji tentang kebiasaan tidur pasien di rumah.
Rasional : Mengetahui perubahan dari hal-hal yang merupakan kebiasaan pasien
ketika tidur akan mempengaruhi pola tidur pasien.
3. Kaji adanya faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain seperti cemas, efek
obat-obatan dan suasana ramai.
Rasional : Mengetahui faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain dialami dan
dirasakan pasien.
4. Anjurkan pasien untuk menggunakan pengantar tidur dan teknik relaksasi .
Rasional : Pengantar tidur akan memudahkan pasien dalam jatuh dalam tidur,
teknik relaksasi akan mengurangi ketegangan dan rasa nyeri.
5. Kaji tanda-tanda kurangnya pemenuhan kebutuhan tidur pasien.
Rasional : Untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tidur pasien akibat
gangguan pola tidur sehingga dapat diambil tindakan yang tepat.
2. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
Tujuan : rasa cemas berkurang/hilang.
Kriteria Hasil : 1. Pasien dapat mengidentifikasikan sebab kecemasan.
2. Emosi stabil., pasien tenang.
3. Istirahat cukup.
Rencana tindakan :
1. Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien.
Rasional : Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga
perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
2. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.
Rasional : Dapat meringankan beban pikiran pasien.
3. Gunakan komunikasi terapeutik.
Rasional : Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga pasien
kooperatif dalam tindakan keperawatan.

4. Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk
ikut serta dalam tindakan keperawatan.
Rasional : Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan pasien
dalam melakukan tindakan dapat mengurangi beban pikiran pasien.
5. Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain
selalu berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.
Rasional : Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan kecemasan
yang dirasakan pasien.
6. Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara
bergantian.
Rasional : Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang
menunggu.
7. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.
Rasional : Lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa
cemas pasien.
3. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil : 1. Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang
diperoleh.
Rencana Tindakan :
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien/keluarga tentang penyakit DM dan Ca.
Nasofaring
Rasional : Untuk memberikan informasi pada pasien/keluarga, perawat perlu
mengetahui sejauh mana informasi atau pengetahuan yang diketahui
pasien/keluarga.
2. Kaji latar belakang pendidikan pasien.
Rasional : Agar perawat dapat memberikan penjelasan dengan menggunakan katakata dan kalimat yang dapat dimengerti pasien sesuai tingkat pendidikan pasien.
3. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan pada pasien
dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.
Rasional : Agar informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehingga tidak
menimbulkan kesalahpahaman.

4. Jelasakan prosedur yang kan dilakukan, manfaatnya bagi pasien dan libatkan
pasien didalamnya.
Rasional : Dengan penjelasdan yang ada dan ikut secra langsung dalam tindakan
yang dilakukan, pasien akan lebih kooperatif dan cemasnya berkurang.
5. Gunakan gambar-gambar dalam memberikan penjelasan (jika ada /
memungkinkan).
Rasional : Gambar-gambar dapat membantu mengingat penjelasan yang telah
diberikan.
4. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake makanan yang kurang.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria hasil : 1. Berat badan dan tinggi badan ideal.
2. Pasien mematuhi dietnya.
3. Kadar gula darah dalam batas normal.
4. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.
Rencana Tindakan :
1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan.
Rasional : Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien
sehingga dapat diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.
2. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.
Rasional : Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya
hipoglikemia/hiperglikemia.
3. Timbang berat badan setiap seminggu sekali.
Rasional : Mengetahui perkembangan berat badan pasien (berat badan merupakan
salah satu indikasi untuk menentukan diet).
4. Identifikasi perubahan pola makan.
Rasional : Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang
ditetapkan.
5. Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian insulin dan diet diabetik.
Rasional : Pemberian insulin akan meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam
jaringan sehingga gula darah menurun,pemberian diet yang sesuai dapat
mempercepat penurunan gula darah dan mencegah komplikasi.
Evaluasi

A. Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang
ditetapkan di tujuan.
B. Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang
ditentukan dalam pernyataan tujuan.
C. Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang
diharapakan sesuai dengan pernyataan tujuan.

FORMAT ASUHAN KEPERAWATAN


Nama Mahasiswa : Siti Amiyakun
N I M : 04.07.1597
Ruang : THT Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo.
Pengkajian diambil tanggal : 1 Maret 2010. Jam 08.00 BBWI
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn A. B. Tanjung No. Regester :
Umur : 64 Tahun/Bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki.
Suku/Bangsa : Dayak/Indonesia
Agama : Kristen
Status Marieta : Kawin
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SLTA
Bahasa yang digunakan : Indonesia
Alamat : Jl. Sethaji 4/54 Kab.Kuala Kapuas Kalimantan Tengah
Kiriman dari : dokter praktek
Tanggal MRS : 1 Maret 2010 Jam... WIB.
Cara Masuk : Lewat Instalasi Rawat Darurat/Poliklinik RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Diagnosa Medis : Ca Nasofaring + Diabetes Melitus + Hipertensi
Alasan Dirawat : Ingin menjalani kemoterapi
Keluhan Utama : Telinga kiri terasa buntu/hingga peradangan. Timbul benjolan di
leher kanan dan kiri sejak 3 bulan yang lalu.
Upaya yang telah dilakukan : Berobat ke dokter praktek.

Terapi/operasi yang pernah dilakukan :...


2. RIWAYAT KEPERAWATAN (NURSING HISTORY)
1) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada tahun 1999 klien pernah mengalami stroke
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Telinga kiri terasa buntu/hingga peradangan. Timbul benjolan di leher kanan dan kiri
sejak 3 bulan yang lalu.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat kesehatan keluarga yang lain tidak ada yang menderita penyakit seperti
yang diderita klien saat ini.
4) Keadaan Kesehatan Lingkungan
Klien mengatakan bahwa Lingkungan rumah tempat tinggal cukup bersih
5) Riwayat Kesehatan Lainnya
Alat bantu yang dipakai : ..
Genogram:

: Laki-laki /penderita

: Perempuan
3. OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK
1) Keadaan Umum : baik
2) Tanda-tanda vital
Suhu : 36,8 0C
Nadi : 90 X/menit. Kuat dan teratur
Tekanan darah : 140/90 mmHg.
Respirasi : 20 x/menit
3) Body Systems
(1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Pernafasan melalui hidung. Frekuensi 20 x/menit, Irama teratur, tidak terlihat
gerakan cuping hidung, tidak terlihat Cyanosis, tidak terlihat keringat pada dahi,

tidak terdengar suara nafas tambahan, dentuk dada simetris.Hasil foto Thorax PA
Cor/pulmo tidak ada kelainan.
(2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Nadi 90 X/menit kuat dan teratur, tekanan darah 140/90 mmHg, Suhu 36,8 0C,
perfusi hangat. Cor S1 S2 tunggal reguler, ekstra sistole/murmur tidak ada
(3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Tingkat kesadaran (GCS) Membuka mata : Spontan (4)
Verbal : Orientasi baik (5)
Motorik : Menurut perintah (6)
Compos Mentis : Pasien sadar baik
Persepsi Sensori :
Pendengaran :
Penciuman :
Pengecapan :
Penglihatan :
Peradaan :
(4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B.4 : Bladder)
Jumlah urine 1200 cc/24 jam, warna urine kuning
(5) Pencernaan-Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Mulut dan tenggorokan normal, Abdomen normal, Peristaltik normal, tidak
kembung, tidak terdapat obstipasi maupun diare, Rectum normal, klien buang air
besar 1 X/hari.
(6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Kemampuan pergerakan sendi bebas/terbatas
Parese ada/tidak, Paralise ada/tidak, Hemiparese ada/tidak,
Ekstrimitas :
Atas :
Bawah :
Tulang Belakang :
Warna kulit :
Akral :

Turgor :
Tidak terdapat kontraktur maupun dikubitus.
Tidak terdapat kontraktur maupun dikubitus
(7) Sistem Endokrin
Terapi hormon :
Karakteristik sex sekunder :
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan fisik :
Hipoglikemia
Polidipsi
Poliphagi
Poliuri
Postural hipotensi
kelemahan
Pola aktivitas sehari-hari
(1) Pola Persepsi Dan Tata Laksana Hidup Sehatan
Pada pasien diabetik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat
karena kurangnya pengetahuan tentang dampak diabetuk sehingga menimbulkan
persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi
prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya
penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka kadar gula
darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering kencing,
banyak makan, banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah. Keadaan
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang
dapat mempengaruhi status kesehatan penderita.
(3) Pola Eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang menyebabkan
pasien sering kencing (poliuri) dan lancar, Jumlah urine 1200 cc/24 jam, warna urine
kuning. Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan. Klien buang air besar 1
X/hari.
(4) Pola tidur.dan Istirahat
Adanya poliuri dan situasi rumah sakit yang ramai akan mempengaruhi waktu tidur
dan istirahat penderita, sehingga pola tidur dan waktu tidur penderita mengalami

perubahan. Klien kurang tidur baik pada waktu siang maupun malam hari. Klien
tampak terganggu dengan kondisi ruang perawatan yang ramai.
(5) Pola Aktivitas dan latihan
Adanya diabetik dan Ca. nasofaring menyebabkan penderita tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah mengalami
kelelahan. Klien biasanya bekerja diluar rumah, tapi saat ini klien hanya beristirahat
di Rumah Sakit sambil menunggu rencana operasi.
(6) Pola Hubungan dan Peran
Ca nasofaring yang sukar sembuh menyebabkan penderita malu dan menarik diri
dari pergaulan.
(7) Pola Sensori dan Kognitif
Pasien dengan diabetes cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada luka
sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat dan
mendengar dengan baik, klien tidak mengalami disorientasi.
(8) Pola Persepsi Dan Konsep Diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya
perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan
gangguan peran pada keluarga (self esteem). Klien mengalami cemas karena
Kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan
tindakan yang diprogramkan.
(9) Pola Seksual dan Reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga
menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta
memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Selama dirawat di rumah
sakir klien tidak dapat melakukan hubungan seksual seperti biasanya.
(10) Pola mekanisme/Penanggulangan Stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak
berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain lain, dapat menyebabkan
penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif.
Klien merasa sedikit stress menghadapi tindakan kemoterapi/sitostatika. karena
kurangnya pengetahuan.
(11) Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta ca
nasofaring tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi
mempengaruhi pola ibadah penderita.
Personal Higiene

Kebiasaan di rumah klien mandi 2 X/hari, gosok gigi 2 X/hari, dan cuci rambut 1
X/minggu.
Ketergantungan
Klien tidak perokok, tidak minum-minuman yang mengandung alkohol.
Aspek Psikologis
Klien terkesan takut akan penyakitnya, merasa terasing dan sedikit stress
menghadapi tindakan operasi.
Aspek Sosial/Interaksi
Hubungan dengan keluarga, teman kerja maupun masyarakat di sekitar tempat
tinggalnya biasa sangat baik dan akrab. Saat ini klien terputus dengan dunia luar,
kehilangan pencari nafkah (bagi keluarganya), biaya mahal.
Aspek Spiritual
Klien dan keluarganya sejak kecil memeluk agama Kristen, ajaran agama dijalankan
setiap saat. Klien sangat aktif menjalankan ibadah dan aktif mengikuti kegiatan
agama yang diselenggarakan oleh gereja di sekitar rumah tempat tinggalnya
maupun oleh masyarakat setempat.
Saat ini klien merasa tergangguan pemenuhan kebutuhan spiritualnya
DIAGNOSTIC TEST/PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan Laboratorium tanggal 1 Maret 2010
- Hb : 15,8 mg/dl (>13,4 mg/dl)
- Leukosit : 11,3
- Albumin : 4,1 gr/dl (3,2 3,5 gr/dl)
- SGOT : 10,2 ( kurang 29 )U/L
- SGPT : 13,5 U/L
- Bilirubin Direk : 0,31 (< 0,25)
- Bilirubin Total : 1,01 (< 1,00)
- Alkali Phospatase : 148
- Cholesterol Total : 148,8 (< 200)
- Trigliserida : 81,4 (< 200)
- HDL Cholesterol : 30 (> 35
- LDL Cholesterol : 101 (< 130)
- Ureum/BUN : 13,8 mg/dl (10 20)

- Serum Creatinin : 1,16 mg/dl (L : 0,9 1,5 P : 0,7 1,3)


- Uric Acid : 4,1 (L : 3,4 7,0 P : 2,4 5,7)
- Glukosa puasa : 300 mg/dl (< 126 mg/dl)
- Glukosa 2 jam pp : 463 mg/dl (< 140 mg/dl)
Hasil pemeriksaan Laboratorium tanggal 3 Maret 2010
- Gula darah acak : 178 mg/dl (< 140 mg/dl)
Hasil pemeriksaan Patologi tanggal 3 Maret 2010
Mikroskopik
- Jaringan nasofaring hiperplastik, tidak tampak tanda-tanda keganasan
- Jaringan nasofaring dengan infiltrat luas undiff. Epidermoid carcinoma, WHO type
3.
- Kesimpulan : Nasofaring kiri, biopsi undiff. Epidermoid carcinoma, WHO type 3.
Hasil pemeriksaan CT Scan tanggal 4 Maret 2010
Terlihat gambaran massa daerah nasopharynx mengenai atap serta dinding kanan
kiri. Batas anterior mencapai cavum nasi bagian posterior. Sisi kanan juga terlihat
ada cairan dalam sinus maxillaris kanan suspect merupakan perluasan tumor
tersebut. Belum terlihat ada invasi tumor ke intracranial. Perluasan ke lateral, kanan
kiri sampai di musculus pterygoideus tetapi belum mengadakan infiltrasi pada
musculus tsb. Pada infiltrasi intracranial.
Kesimpulan : Gambaran tumor nasopharynx
Hasil pemeriksaan Radiologi tanggal 4 Maret 2010
Thorax PA
Cor / pulmo tidak ada kelainan.
TERAPI :
Tanggal 2 Maret 2010
- Infus RL/D5%
- Inj Actrapid 16 UI jam sebelummakan.
- Copar 6 X 1 Tab/hari
- Inj Xylo Della 2 : 2 Im
- Inj Novoban 1 Amp
- Inj Carbocin 450 mg dalam Inf D5% 100 cc drip habis dalam 6 jam.
Tanggal 4 maret 2010

- Inj Curasil (5 FU) 1000mg dalam 100 cc D5% drip habis dalam 30 menit.
Tanggal 5 Maret 2010
- Inj Bleocyn 30 mg dalam 100 cc RL drip habis dalam 30 menit.
Tanda tangan mahasiswa
()

ANALISA DAN SINTESA DATA


NO
DATA
ETIOLOGI
MASALAH
PARAF
Klien kurang tidur baik pada waktu siang maupun malam hari. Klien tampak
terganggu dengan kondisi ruang perawatan yang ramai.
Rasa nyeri pada kepala.
Ganguan pola tidur
O:
S:
Klien mengatalakn cemas karena Kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit,
pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.
Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan dan gangguan
peran pada keluarga (self esteem).
Klien mengatakan sedikit stress menghadapi tindakan kemoterapi/ sitostatika.
karena kurangnya pengetahuan.
Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
Cemas
O:
S:
Klien mengatakan kurang mengetahui tentang proses penyakit, perawatan maupun
pengobatan serta kurangnya pengetahuan tentang dampak diabetuk dan diet.
Kurangnya informasi.

Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan


O:
Klien mengalami muntah 2 X
S:
Klien mengeluh selalu mual dan selalu ingin muntah
Intake makanan yang kurang.
Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada kepala.
2. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
3. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
4. Gngguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan intake makanan yg kurang.

PERENCANAAN INTERVENSI
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
TUJUAN
PERENCANAAN INTERVENSI
RASIONAL
1.
Gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada kepala.
Tujuan : Gangguan pola tidur pasien akan teratasi.
Kriteria hasil :
1. Pasien mudah tidur dalam waktu 30 40 menit.
2. Pasien tenang dan wajah segar.
3. Pasien mengungkapkan dapat beristirahat dengan cukup.
1. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
2. Kaji tentang kebiasaan tidur pasien di rumah.

3. Kaji adanya faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain seperti cemas, efek
obat-obatan dan suasana ramai.
4. Anjurkan pasien untuk menggunakan pengantar tidur dan teknik relaksasi.
5. Kaji tanda-tanda kurangnya pemenuhan kebutuhan tidur pasien.
1. Lingkungan yang nyaman dapat membantu meningkatkan tidur/istirahat.
2. Mengetahui perubahan dari hal-hal yang merupakan kebiasaan pasien ketika
tidur akan mempengaruhi pola tidur pasien.
3. Mengetahui faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain dialami dan dirasakan
pasien.
4. Pengantar tidur akan memudahkan pasien dalam jatuh dalam tidur, teknik
relaksasi akan mengurangi ketegangan dan rasa nyeri.
5. Untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tidur pasien akibat
gangguan pola tidur sehingga dapat diambil tindakan yang tepat
2.
Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
Tujuan : rasa cemas berkurang/hilang.
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat mengidentifikasikan sebab kecemasan.
2. Emosi stabil., pasien tenang.
3. Istirahat cukup.
1. Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien.
2. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.
3. Gunakan komunikasi terapeutik.
4. Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk
ikut serta dalam tindakan keperawatan.
5. Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain
selalu berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.
6. Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara
bergantian.
7. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.
1 Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga perawat bisa
memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
2 Dapat meringankan beban pikiran pasien.

3 Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga pasien kooperatif
dalam tindakan keperawatan.
4 Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan pasien dalam
melakukan tindakan dapat mengurangi beban pikiran pasien.
5 Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan kecemasan yang
dirasakan pasien.
6 Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang menunggu.
7 Lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa cemas
pasien.
3.
Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil :
1. Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatannya
dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang
diperoleh.
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien/keluarga tentang penyakit DM dan Ca.
Nasofaring.
2. Kaji latar belakang pendidikan pasien.
3. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan pada pasien
dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.
4. Jelasakan prosedur yang kan dilakukan, manfaatnya bagi pasien dan libatkan
pasien didalamnya.
5. Gunakan gambar-gambar dalam memberikan penjelasan (jika ada /
memungkinkan).
1. Untuk memberikan informasi pada pasien/keluarga, perawat perlu mengetahui
sejauh mana informasi atau pengetahuan yang diketahui pasien/keluarga.
2. Agar perawat dapat memberikan penjelasan dengan menggunakan kata-kata dan
kalimat yang dapat dimengerti pasien sesuai tingkat pendidikan pasien.
3. Agar informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehingga tidak
menimbulkan kesalahpahaman.
4. Dengan penjelasdan yang ada dan ikut secra langsung dalam tindakan yang
dilakukan, pasien akan lebih kooperatif dan cemasnya berkurang.

5. Gambar-gambar dapat membantu mengingat penjelasan yang telah diberikan.


4.
Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake makanan yang kurang.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria hasil :
1. Berat badan dan tinggi badan ideal.
2. Pasien mematuhi dietnya.
3. Kadar gula darah dalam batas normal.
4. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.
1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan.
2. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.
3. Timbang berat badan setiap seminggu sekali.
4. Identifikasi perubahan pola makan.
5. Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian insulin dan diet diabetik.
1. Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien sehingga dapat
diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.
2. Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya
hipoglikemia/hiperglikemia.
3. Mengetahui perkembangan berat badan pasien (berat badan merupakan salah
satu indikasi untuk menentukan diet).
4. Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang ditetapkan.
5. Pemberian insulin akan meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam jaringan
sehingga gula darah menurun,pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat
penurunan gula darah dan mencegah komplikasi.

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI (SOAP)


NO
DIAGNOSA
TANGGAL
JAM
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

EVALUASI (SOAP)
TANDA TANGAN
1. Gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada kepala.
2 Maret 2010
08.00
08.10
08.20
08.30
08.40
1. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
2. Kaji tentang kebiasaan tidur pasien di rumah.
3. Kaji adanya faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain seperti cemas, efek
obat-obatan dan suasana ramai.
4. Anjurkan pasien untuk menggunakan pengantar tidur dan teknik relaksasi.
5. Kaji tanda-tanda kurangnya pemenuhan kebutuhan tidur pasien.
S:
Pasien mengungkapkan dapat beristirahat dengan cukup.
O:
1. Pasien mudah tidur dalam waktu 30 40 menit.
2. Pasien tenang dan wajah segar.
A : Tujuan Berhasil
P : Intervensi dihentikan
2. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
3 Maret 2010
08.00
08.10
08.20
08.30
08.40
08.50

09.00
1. Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien.
2. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.
3. Gunakan komunikasi terapeutik.
4. Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk
ikut serta dalam tindakan keperawatan.
5. Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain
selalu berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.
6. Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara
bergantian.
7. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman
S:
O:
1. Pasien dapat mengidentifikasikan sebab kecemasan.
2. Emosi stabil., pasien tenang.
3. Istirahat cukup.
A : Tujuan Berhasil
P : Intervensi dihentikan
3. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
4 Maret 2010
08.00
08.10
08.20
08.30
08.40
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien/keluarga tentang penyakit DM dan Ca.
Nasofaring.
2. Kaji latar belakang pendidikan pasien.
3. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan pada pasien
dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.

4. Jelasakan prosedur yang kan dilakukan, manfaatnya bagi pasien dan libatkan
pasien didalamnya.
5. Gunakan gambar-gambar dalam memberikan penjelasan (jika ada /
memungkinkan).
S:
O:
1. Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatannya
dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang
diperoleh.
A : Tujuan Berhasil
P : Intervensi dihentikan
4. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake makanan yang kurang.
6 Maret 2010
08.00
08.10
08.20
08.30
08.40
1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan.
2. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.
3. Timbang berat badan setiap seminggu sekali.
4. Identifikasi perubahan pola makan.
5. Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian insulin dan diet diabetik.
S:
O:
1. Pasien mematuhi dietnya.
2. Kadar gula darah dalam batas normal.
3. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.
A : Tujuan tercapai sebagian

P : Intervensi terus dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC.
Jakarta.
Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.
Prasetyo B, Ilmu Penyakit THT, EGC Jakarta
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
Santoso,Budi.2002.Nanda.Jakarta: EGC.
Marlon,dkk.2004.Nursing Intervention Classification (NIC).Phyladhelphia.
Marlon,dkk.2004.Nursing Outcomes Classification (NOC).Phyladhelphia.

ASUHAN KEPERAWATAN CA NASOFARING


1. DEFINISI
Karsinoma Nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa
nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring. Carsinoma Nasofaring
merupakan karsinoma yang paling banyak di THT. Sebagian besar kien datang ke
THT dalam keadaan terlambat atau stadium lanjut. Didapatkan lebih banyak pada
pria dari pada wanita, dengan perbandingan 3 : 1 pada usia / umur rata-rata 30
50 th.

2. ANATOMI NASOFARING
NASOFARING \ disebut juga Epifaring, Rinofaring. merupakan yang terletak
dibelakang rongga hidung, diatas Palatum Molle dan di bawah dasar tengkorak.
Bentuknya sebagai kotak yang tidak rata dan berdinding enam, dengan ukuran
melintang 4 sentimeter, tinggi 4 sentimeter dan ukuran depan belakang 2-3
sentimeter. Batas-batasnya :
1.

Dinding depan : Koane

2.
Dinding belakang : Merupakan dinding melengkung setinggi Vertebra Sevikalis
I dan II.
3.

Dinding atas : Merupakan dasar tengkorak.

4.

Dinding bawah : Permukaan atas palatum molle.

5.

Dinding samping : di bentuk oleh tulang maksila dan sfenoid.

Dinding samping ini berhubungan dengan ruang telinga tengah melalui tuba
Eustachius. Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius menonjol diatas ostium tuba
yang disebut Torus Tubarius. Tepat di belakang Ostium Tuba. Terdapat cekungan
kecil disebut Resesus Faringeus atau lebih di kenal dengan fosa Rosenmuller; yang
merupakan banyak penulis merupakan local isasi permulaan tumbuhnya tumor
ganas nasofaring.Tepi atas dari torus tubarius adalah tempat meletaknya oto
levator veli velatini; bila otot ini berkontraksi, maka setium tuba meluasnya tumor,
sehingga fungsinya untuk membuka ostium tuba juga terganggu. Dengan radiasi,
diharapkan tumor primer dinasofaring dapat kecil atau menghilang. Dengan
demikian pendengaran dapat menjadi lebih baik. Sebaliknya dengan radiasi dosis
tinggi dan jangka waktu lama, kemungkinan akan memperburuk pendengaran oleh
karena dapat terjadi proses degenerasi dan atropi dari koklea yang bersifat
menetap, sehingga secara subjektif penderita masih mengeluh pendengaran tetap
menurun.

3. ETIOLOGI

Meskipun penyelidikan untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah dilakukan di


berbagai negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun sampai
sekarang belum berhasil. Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan
sehingga akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor.
Kaitan antara suatu kuman yang di sebut sebagai virus Epstein-Barr dan konsumsi
ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut
dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan
suatu mediator. Sebagai contoh, kebiasaan untuk mengkomsumsi ikan asin secara
terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang
mendiator yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan Karsinoma
Nasofaring. Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma
nasofaring ialah :
1.
Zat Nitrosamin. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata
merupakan mediator penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan
yang diawetkan di Greenland . juga pada Quadid yaitu daging kambing yang
dikeringkan di tunisia, dan sayuran yang difermentasi ( asinan ) serta taoco di Cina.
2.
Keadaan sosial ekonomi yang rendah. Lingkungan dan kebiasaan hidup.
Dikatakan bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik
ventilasinya di Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatnya jumlah kasus KNF. Di
Hongkong, pembakaran dupa rumah-rumah juga dianggap berperan dalam
menimbulkan KNF.
3.
Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat
menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene ( sejenis
Hidrokarbon dalam arang batubara ), gas kimia, asap industri, asap kayu dan
beberapa Ekstrak tumbuhan- tumbuhan.
4.
Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini.Di Asia
terbanyak adalah bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan.
Ras melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang agak banyak kena.
5.
Radang Kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan,
mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.
5. HISTOLOGI NASOFARING
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak
jaringan limfosid, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara
epitel dengan jaringan limfosid ini sangat erat, sehigga sering disebut Limfoepitel
.
Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :
1.

Epitek selapis torak bersilia Simple Columnar Cilated Epithelium

2.

Epitel torak berlapis Stratified Columnar Epithelium .

3.

Epitel torak berlapis bersilia Stratified Columnar Ciliated Epithelium

4.
Epitel torak berlapis semu bersilia Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated
Epithelium
Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para hali.60 %
persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng Stratified
Squamous Epithelium , dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring dilapisi oleh
epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh
epitel transisional, yang meruapkan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng
dan torak bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin, kecuali pada
Kripta yang dalam. Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau
peralihan dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu
karsinoma.

6. KLASIFIKASI
WHO 1978
1.

Tipe. 1 : Karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi

2.

Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi

3.

Tipe 3 : Karsinoma tanpa diferensiasi

Working formulation
1. Karsinoma Tipe A : anaplasia / Pleomorfy nyata-derajat keganasan menegah.
2. Karsinoma Tipe B : anaplasia / pleomorfy ringan-derajat keganasan ringan.
Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan
mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma
sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak
menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr.
Klasifikasi Working Formulation digunakan untuk membandingkan respon radiasi
pada karsinoma nasofaring dengan metastasis ke kelenjar leher, respons radiasi
paling baik pada karsinoma nasofaring tipe B, kurang begitu baik pada tipe A dan
paling kurang baik pada karsinoma sel skuamosa berkeratin.

7. MANIFESTASI KLINIS

a. Gejala Dini
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan
pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui
gejala dini KNF dimana tumor masih terbatas di rongga nasofaring.

- Gejala telinga :
1.
Kataralis/sumbatan tuba eutachius Pasien mengeluh rasa penuh di telinga,
rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini
merupakan gejala yang sangat dini.
2.
Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini
merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana
rongga teliga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin
banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat
gangguan pendengaran.

- Gejala Hidung :
1.
Mimisan Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan
sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini
biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus,
sehingga berwarna merah jambu.
2.
Sumbatan hidung Sumbutan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan
tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek
kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus
kental.
3.
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk
penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis
dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita
radang.

b. Gejala Lanjut
1.
Pembesaran kelenjar limfe leher. Tidak semua benjolan leher menandakan
pemyakit ini. Yang khas jika timbulnya di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di
bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar
limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum sek tumor ke bagian tubuh yang lebih
jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit
digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran
kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter.
2.
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Tumor dapat meluas ke
jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan kebelakang
melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan gejala akibat
kelumpuhan otak syaraf yang sering ditemukan ialah penglihatan dobel (diplopia),
rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah,

nahu, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan


lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak
rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor.
Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi
pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh.
3.
Gejala akibat metastasis. Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama aliran
limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasotoring, hal ini
yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini
terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.

8. STADIUM
Stadium T = Tumor Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC
(1992).
T = Tumor primer
T0 - Tidak tampak tumor.
T1 - Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lainlain).
T2 - Tumor terdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas di dalam
rongga nasofaring .
T3 - Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring
dsb).
T4 - Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau
mengenai saraf-saraf otak.
TX - Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
N = Nodule
N - Pembesaran kelenjar getah bening regional .
N0 - Tidak ada pembesaran.
N1 - Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan masih dapat di gerakkan .
N2 - Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dan masih dapat di gerakkan .
N3 - Terdapat pembesaran , baik homolateral ,kontralateral ,maupun bilateral yang
sudah melekat pada jaringan sekitar .
M = Metastasis
M = Metastesis jauh
M0 - Tidak ada metastesis jauh.

M1 - Terdapat Metastesis jauh .


Stadium I :
T1 dan N0 dan N0
Stadium II :
T2 dan N0 dan M0
Stadium III :
T1/T2/T3 dan N1 dan M0 atau T3 dan N0 dan M0
Stadium IV :
T4 dan N0/N1 dan M0 atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0 atau T1/T2/T3/T4 dan
N0/N1/N2/N3 dan M1.

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.
Pemeriksaan radiologi konvisional foto tengkorak potongan antero- postofor
lateral, dan posisi waters tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada foto
dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fosa serebia media.
2.
Pemeriksaan tomografi, CT Scaning nasofaring. Merupakan pemeriksaan yang
paling dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan perluasan tumor. Pada
stadium dini terlihat
asimetri dari saresus lateralis, torus tubarius dan dinding posterior nasofaring.
3.

Scan tulang dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metastasis jauh.

4.
Psemeriksaan serologi, beruoa pemeriksaan titer antibodi terhadap virus
Epsten-Barr ( EBV ) yaitu lg A anti VCA dan lg A anti EA.
5.
pemeriksaan aspirasi jarum halus, bila tumor primer di nasofaring belum jelas
dengan pembesaran kelenar leher yang diduga akibat metatasisi karsinoma
nasifaring. pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi adanya
metatasis.

10. DIAGNOSIS
Persoalan diagnosis sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-scan daerah
kepada dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan
terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan serologi lg A anti EA dan lg A anti VCA untuk
infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma
nasofaring. Diagnosa pasti ditegakkan dengan melakukan Biopsi nasofaring. Biopsi
nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu : dari hidung atau dari mulut.

Biopsi melaui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya ( blind biopsy ).
Cunam biopsi dimasukkan melalui ronga hidung menyulusuri konka media de
nasofaring kemudian cunam di arahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung keteter yang berada dalam mulut diterik keluar dan
diklem bersama-sama ujung keteter yang di hidung. Demikian juga dengan keteter
yang di hidung di sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian
denan kaca laring di lihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat
tumoir melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan
melalui mulut, masa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring
umumnya dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10%. Bila dengan
cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan
pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

11. PENGOBATAN
Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah
radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang Bersifat radiosensitif.
Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal
(Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini
ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta
pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta klasikula. Radiasi daerah
getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai
pembesaran kelenjar.
Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga
nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor
primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang seius pada jaringan sehat
disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh
dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau
pada kasus kambuh lokal.
perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian
radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek
samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified
Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan dibeberapa negara maju.
Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA Ribose
Nucleic Acid dan (2) DNA Desoxy Ribose Nucleic Acid . DNA terutama terdapat
paa khromosom ionizing radiation menghambat metabolisme DNA dan
menghentikan aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis
dan plasma sel menjadi granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya
berakibat sel akan mati dan menghilang.
Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase
mitosis merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. daerah nasofaring
dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring

sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok
timah. Arah penyinaran dri lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan
kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi
dari depan.
Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka luas lapangan
radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad , terutama dari
atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat . Dengan
lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis
seluruh antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas
lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil
bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000 rad. Daerah penyinaran
kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis kelenjar
leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad,
sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah
tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran
terhadap medullaspinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan
supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah
didaerah leher tengah.
Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 7000 rad, dalam waktu 6 7 minggu
dengan periode istirahat 2 3 minggu (split dose). Alat yang biasanya dipakai
ialah cobalt 60, megavoltageorthovoltage.

A. Akibat- Akibat Radiasi Pada Pendengaran


Telah disebutkan terdahulu, bahwa tumor ganas nasofaring dapat menyebabkan
penurunan pendengaran tipe konduksi yang refersibel. Hal ini terjadi akibat
pendesakan tumor primer terhadap tuba Eustachius dan gangguan terhadap
pergerakan otot levator pelatini yang berfungsi untuk membuka tuba. Kedua hal
diatas akan menyebabkan terganggunya fungsi tuba.
Infiltrasi tumor melalui liang tuba Eustachius dan masuk kerongga telinga tengah
jarang sekali terjadi . Dengan radiasi, tumor akan mengecil atau menghilang dan
gangguan-gangguan diatas dapat pula berkurang atau menghilang, sehingga
pendengaran akan membaik kembali.
Terlepas dari hal-hal diatas, radiasi sendiri dapat juga menurunkan pendengaran,
baik bertipe konduksi maupun persepsi.

Radiasi dapat menyebabkan penurunan pendengaran tipe konduksi, karena :


1.
Terjadi dilatasi pembuluh darah mukosa disertai edema pada tuba Eustachius
yang mengakibatkan penutupan tuba.
2.

Terjadi nekrosis tulang-tulang pendengaran (radionecrosis).

Perubahan konduksi setelah radiasi ini disebabkan 3 hal :


1.

menempelnya sekret kental pada dinding lateral nasofaring.

2.

Atresia dari muara tuba.

3.

Fibrosis pada ruang fasia sekitar otot levator palatini.

Radiasi dengan cobalt-60 pada penderita tumor ganas nasofaring, dosis yang
digunakan sebesar 4.000-6.000 rad.didapatnya bahwa perubahan ambang
pendengaran tidak begitu besar. Peningkatan pendengaran rata-rata 10 desibel dan
penurunan pendengaran rata 14 desibel. Penurunan pendengaran yang bersifat
konduksi yasng disebabkan terjadinya radiation otitis media dan radionecrosis
Radiation otitis media ini terjadi karena ada gangguan dari fungsi tuba yang
akan menimbulkan efusi cairan pada rongga telinga tengah. Sedangkan
Radionecrosis ossiclesa disebabkan terjadinya perubahan veskuler berupa
degenerasi dan pembengkakan jaringan kolagen dan otot polos dinding pembuluh
darah kecil yang berakibat dinding pembuluh darah tersebut menyempit atau
menutup lumen sehingga terbentuk trombus yang akan mengganggu suplai darah
melalui end arteri ke tulang-tulang pendengaran.
Bila pada penderita dengan tuli persepsi dan ketulian ini bertambah berat, ini
disebabkan adanya penambahan komponen-komponen konduksi akibat dari
terjadinya problem ditelinga tengah karena radiasi. Pada umumnya gangguan
persepsi baru terjadi bila dosis radiasi yang tingi dan dalam waktu yang lama. Hal
ini akibat terjadinya perubahan-perubahan pada koklea. Sedangkan pada dosis
yang rendah dikatakan bahwa koklea relatif radioresisten.

12. PROGNOSIS

Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis


diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :
a.

Stadium yang lebih lanjut.

b.

Usia lebih dari 40 tahun

c.

Laki-laki dari pada perempuan

d.

Ras Cina dari pada ras kulit putih

e.

Adanya pembesaran kelenjar leher

f.

Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

g.

Adanya metastasis jauh

RadioterapiSyarat-sarat bagi penderita yang akan di radio terapi :

a.

Keadaan umum baik

b.

Hb> 10 g%

c.

Leukosit > 3000/mm3

d.

Trombosit > 90.000 mm3

Indikasi Radioterapi
a.
Radikal : Tumor satadium permulaan yang belum infiltrasi ke jaringan
sekitarnya dan belum terdapat penyebaran
b.

Paliatif : Tumor stadium lanjut : Mengurangi rasa nyeri dan keluhan

c.

Post Operatif :

d.

Pada tumor brd/lymphatic field of drainage

e.

Untuk menghancurkan sel-sel ganas

Tujuan pre operatif terapi


a.

Mencegah metastasis ke perifer

b.

Mengecilkan volume tumor sehingga menjadi operable

c.

Perdarahan berkurang karena vaskularisasi tumor berkurang

Tujuan post operasi


a.

Mengatasi sisa sel Ca

Efek radiasi terhadap beberapa jaringan


1. Kulit
a.
Dermatitis akut : Terkelupasnya selaput lendir fibrinous, kulit hitam merah dan
edema. Epilasi permanen dengan dekstruksi epidermis, ulserasi, nyeri.
b.

Dermatitis Kronis : Kulit kering, hipertrofi/keratosis, veruka vulgaris. Ca Kulit.

c.
Late Dermatitis Accute effect : pigmintasi , atrofi, talengiektasi, ulserasi dan
epitelioma.
2. Sistem Hemopoetik dan darah
a.

Efek langsung pada sel darah / pada jaringan hemopoitik

b.

Urutan sensitifikasi : Limfosit ? granulosit ? trombosit ? eritrosit

3. Alat pencernaan
a.

Reaksi eritematus pada selaput lendir yang nyeri

b.

Disfagia

c.

Reaksi fibrinous pada selaput lendir dengan nyeri yang lebih hebat

d.

Nausea, muntah, diare, ulserasi dan perforasi (Dosis di tingkatkan)

4. Alat Kelamin
a.

SterilitasM

b.

Kelainan kelamin

c.

Mutasi gen

5. Mata
a.

Konjungtivitis dan keratitis

b.

Katarak

6. Paru paru
a.

Batuk dan nyeri dada

b.

Sesak nafas, fibrosis paru

6.

Tulang

c.

Gangguan pembentukan tulang

d.

Osteoporosis

e.

Patah Tulang (dosis ditambah)

8. Syaraf
a.

Urat saraf menjadi kurang sensitive terhadap stimulus

b.

Mielitis

c.

Degenerasi jaringan otak

9. Penyakit radiasi
a.

Demam

b.

Rasa lemah

c.

Muntah dan diare

d.

Nausea

e.

Nyeri kepala

f.

Gatal

g.

Nafsu makan menurun

Macam-macam alat radiasi


1. External radiasi
a.

UKG Untuk pemanasan pada sinusitis, salpingitis

b.

Dermatofan Hemangioma, basalioma

c.

Stabilipan Tumor yang lebih dalam (Squamosa cell Ca)

d.
Clinac (Computer Linear Accelerator) yang dipakai adalah unsur elektronya.
Untuk tumor-tumor yang superficial (rhabdomiosarkoma)
2.

Internal radiasi

e.
Afterloadaing (HDR/High Dose rate) Menggunakan unsur Cesium 137. Dipakai
untuk Ca Serviks, Ca bronkus, Ca Nasofaring
f.

Clinac, dipakai unsur fotonya untuk tumor-tumor yang lebih dalam.

Perbedaan radioterapi
1. Clinac 18 Cobalt 60 Radioaktif
a.

Dihasilkan dengan linear accelerator dari mesin dengan tenaga listrik

b.

Sinar yang digunakan sinar X

c.

Energi yang dihasilkan 4-10 MsV

d.

Tidak terdapat waktu paruh

e.

Surface Source Distance : 100 cm

f.

Dosis maksimum 100% pada kedalaman 2,5 cm

g.

Dari segi elektroniknya lebih rumit dan mahal Sumbernya radio aktif

h.

Sinar ?

i.

1,23 volt

j.

Energi akan bertambah lemah sesuai waktu paruhnya

k.
l.

SSD 80cm
Daya tembus cm dibawah permukaan

m. Tidak terlalu rumit dibanding Clinac Dibuat dalam reaktor nuklir


n.

Dengan membordair unsurnya sehingga menjadi radioaktif

o.

Untuk terapi superficial

2. Sinar sinar yang dipakai untuk radio terapi


p.

Sinar X dan sinar ?

q.

Sinar ? (Elektron)

r.

Sinar ? (terbatas)

s.

Sinar Neutron (untuk pengobatan tumor otak)

t.

Sinar proton (untuk menghancurkan kelenjar hipofisa)

3. Teknik Penyinaran
u.

Singel field (satu arah) : AP, PA, Lateral, Medial Oblique

v.

Plan pararel/pararel opposing field (dua arah) : Mis Ca Nasofaring

w.

Multified

x.

Tiga arah : Kepala muka tengah, naso faring, sinus paranasal.

y.

Empat arah : Cerviks

z.

Lima arah : Ca Buli-buli

aa. Rotasi
bb. Full rotasi 360 derajat : Tumor hipofisa (Sella tursica)
cc. Semi rotasi

4. Terapi medicamentosa
Sitostatika :
endoxan : 200 mg 2-3 x /mgg IV s/d 10 x, Dosis tinggi 1 gram/m2 luar tubuh 1
bulan/x

13. PROSES KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Aktivitas/istirahat
Gejala :
Kelemahan dan / atau kelelahan.

Perubahan pada pola istirahat / jam tidur karena keringat berlegih, nyeri atau
ansietas.

2. Integritas Ego :
Gejala :
Faktor stress (perubahan peran atau keuangan).
Cara mengatasi stress (keyakinan/religius).
Perubahan penampilan.

3. Makanan/cairan
Gejala : Kebiasaan diet buruk (Bahan Pengawet)

4. Neurosensori
Gejala : Pusing atau sinkope

5. Pernafasan
Gejala : Pemajanan bahan aditif

6. Interaksi sosial
Gejala : Kelemahan sistem pendukung

7. Pembelajaran
Gejala : Riwayat kanker pada keluarga
a. Prioritas Keperawatan
1. Dukungan adaptasi dan kemandirian
2. Meningkatkan kenyamanan.
3. Mempertahankan fungsi fisiologis optimal.
4. Mencegah komplikasi.
5. Memberi informasi tentang proses/kondisi penyakit, prognosis dan kebutuhan
pengobatan.

b. Tujuan Pemulangan
1. Klien menerima situasi dengan realistis.
2. Nyeri berkurang/terkontrol.
3. Homeostasis dicapai.
4. Komplikasi dicegah/dikurangi
5. Proses/kondisi penyakit, prognosis, pilihan terapeutik dan aturan dipahami.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa Keparawatan yang Mungkin Muncul


1. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit : inflamasi
2. Resiko tinggi diare berhubungan dengan iritasi mukosa GI dari kemoterapi
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah
4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi ( eritrosit, leukosit,
trombosit)
5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan efek kemoterapi
6. Resiko tinggi perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan efek
kemoterapi
7. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan kehilangan ranbut efek
kemoterapi
8. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan pertumbuhan sel kanker pada
nasofaring
C. PERENCANAAN
1.

Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi


Tujuan

: Rasa nyeri pasien akan teratasi.

Kriteria Hasil : Pasien melaporkan kehilangan nyeri maksimal


Pasien tenang dan wajah segar

Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :


1.

Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.

2.

Tentukan riwayat nyeri pada pasien

3.

Bantu pasien menggunakan keterampilan menejemen nyeri; tehnik relaksasi,

4.

Berikan kenyamanan dasar dengan mereposisikan pasien dengan baik

5.

Evaluasi nyeri atau control. Dan nilai aturan pengobatan

Tindakan Kolaborasi :
1.

Kembangkan rencana menejemen nyeri dengan pasien dan dokter

2.

Berikan obat analgesik sesuai dengan indikasi : morfin, metadon.

2.

Resiko tinggi diare berhubungan dengan iritasi mukosa GI efek dari kemoterapi

Tujuan

: Diare pasien dapat tertangani

Kriteria Hasil : Mempertahankan konsistensi atau pola defekasi umum


Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :
1.

Pasrikan kebiasaan eliminasi umum

2.

Kaji bising usus dan catat gerakan usus termasuk frekuensi, konsistensi

3.

Catat masukan dan haluaran serta berat badan

4.

Berikan masukan cairan yang adekuat (2000 ml/24 jam)

5.

Berikan makan sedikit dan sering dengan makanan rendah sisa

6.
Periksa terhadap infeksi bila pasien tidak defekasi dalam 3 hari atau ada
distensi abdomen
Tindakan Kolaborasi :
1.

Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi misalnya elektrolit

2.

Berikan cairan intravena NaCl

3.

Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah

Tujuan

: Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi

Kriteria Hasil : Penambahan berat badan progresif kearah tujuan dengan


normalisasi nilai laboratorium dan bebas tanda malnutrisi
Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :
1.

Pantau masukan makanan setiap hari

2.

Ukur tinggi dan berat badan serta ketebalan lipatan kulit trisep sesuai indikasi

3.
Dukung pasien untuk makan makanan yang mengandung tinggi kalori kaya
nutrient
4.

Berikan cairan yang adekuat dan makan sedikit tapi sering setiap hari

5.
Nilai diet sebelumnya dan segera setelah pengobatan dan berikan cairan 1 jam
sebelum dan sesudah makan
6.

Kontrol faktor lingkungan ( bau kuat tidak sedap dan kebisingan )

7.

Ciptakan suasana makan malam yang menyenangkan

8.
Ajarkan pasien teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi, latihan
sedang sebelum makan
9.

Identifikasi pasien bila mengalami mual dan muntah yang diantisipasi

10. Anjurkan komunikasi terbuka mengenai masalah anoreksia(tidak ada nafsu


makan)
Tindakan Kolaborasi :
1.
Tinjau ulang pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, misalnya jumlah
limfosit total, transferin serum, dan albumin
2.
Berikan obat-obatan sesuai indikasi; Fenotiazin misalnya (Compazine).
Tietilperazin (torecan). Antidopanergik ,misalnya; metoclopramid (raglan).
Kortikosteroid. Misalnya deksametason (decadron)
3.

Pemberian vitamin, khususnya A, D, E dan B6

4.

Antasid

5.

Rujuk pada ahli diet atau pendukung nutrisi

4.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupressi ( eritrosit,leukosit,
trombosit)
Tujuan
pasien

: Untuk meminimalisir terjadinya infeksi pada kondisi penyakit

Kriteria Hasil : Pasien dapat berpartisipasi dalam intervensi untuk


mencegah dan mengurangi resiko infeksi
Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :
1.

Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik dengan staf dan pengunjung

2.

Batasi pengunjung yang mengalami infeksi

3.

Tekankan higine personal

4.

Pantau selalu suhu tubuh pasien

5.
Kaji semua sistem (misalnya kulit, pernapasan, genitourinaria) terhadap tanda
dan gejala infeksi secara kontinu
6.

Ubah posisi pasien dengan sering : pertahankan linen kering dan bebas kerut

7.

Tingkatkan istirahat adekuat

8.

Tekankan pentingnya higine oral yang baik

9.

Hindari atau batasi prosedur invasif dan taati teknik aseptic

Tindakan Kolaborasi :
1.

Pantau jumlah granulosit dan trombosit sesuai indikasi

2.

Dapatkan kultur sesuai indikasi

3.

Berikan antibiotic sesuai indikasi

5.

Gangguan integritas kulit berhubungan dengan efek kemoterapi

Tujuan

: Meminimalkan terjadinya komplikasi

Kriteria Hasil : Mengidentifikasi intervensi yang tepat untuk kondisi khusus


Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :
1.
Kaji kulit dengan sering terhadap efek samping terapi kanker, pastikan
kerusakan atau pelambatan penyembuhan luka dan tekankan pentingnya
melaporkan area terbuka pada pemberi perawatan
2.

Mandikan dengan air hangat dan sabunringan

3.

Berikan motivasi pada pasien untuk menghindari menggaruk

4.

Bantu pasien dalam mengatur posisi tidur dengan sering

5.
Anjurkan pada pasien untuk menghindari pemakaian krim apapun kecuali
sesuai dengan older dokter
6.

Tinjau protokol perawatan kulit untuk pasien yang mendapatkan terapi radiasi

7.
Tinjau ulang protokol perawatan kulit untuk pasien yang mendapatkan
kemoterapi
8.
Lihat ulang efek samping dermatologis yang dicurigai pada kemoterapi
misalnya ruam, hiperpigmentasi,
9.
Informasikan pada pasien bahwa kerontokan rambut akan tumbuh kembali
setelah kemoterapi
Tindakan Kolaborasi :
1.
Berikan obat antidot yang tepat bila terjadi eksaserbasi; misalnya DMSO
topical

2.

Hialuronidase (Wydase)

3.

NaHCO3

4.

Tiosulfat

6.

Resiko tinggi perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan efek

kemoterapi
Tujuan

: Mempertahankan integritas mukosa mulut

Kriteria Hasil : Menunjukkan membran mukosa utuh, yang berwarna merah muda,
lembab dan bebas infruksikan lamasi atau ulserasi
Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :
5.

Kaji kesehatan gigi dan higine oral pada penerimaan dan secara periodik

6.
Kaji rongga mulut setiap hari, perhatikan perubahan pada integritas membran
mukosa oral (misalnya, kering, kemerahan).
7.
Diskusikan dengan pasien tentang area yang memerlukan perbaikan dan
demonstrasikan metode untuk perawatan oral yang baik
8.
Intruksikan mengenai perubahan diet misalnya hindari makanan yang panas,
atau pedas
9.
Pantau dan jelaskan tanda-tanda pasien tentang superinfeksi oral (missal.
Sariawan)
Tindakan Kolaborasi :
1.
Rujuk pada dokter gigi sebelum dilakukan kemoterapi atau radiase kepala dan
leher
2.

Kultur oral yang dicurigai

3.
Berikan obat-obatan sesuai dengan indikasi misalnya : pancuci analgesik, jeli
lidokain topical (Xylicaine). Preparat pencuci mulut antimikrobial misalnya nistatin
(Mycostatin).

7.
Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan kehilangan ranbut efek
kemoterapi
Tujuan
efektif

: Meningkatkan mekanisme koping dalam menghadapi masalah secara

Kriteria Hasil

: Pasien dapat memahami dan menerima diri dalam situasi

Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :


1.
Diskusikan dengan pasien atau orang terdekat bagaimana diagnosis dan
pengobatan yang mempengaruhi kehidupan pribadi pasien atau rumah dan
aktivitas kerja
2.
Tinjau ulang efek samping yang diantisipasi berkenaan denngan pengobatan
tertentu
3.
Mendiskusikan masalah tentang efek kanker atau pengobatan pada peran
sebagai ibu rumah tangga, orang tua, dan sebagainya
4.
Berikan dukungan emosi untuk pasien atau orang terdekat selama tes
diagnostik dan fase pengobatan
5.
Gunakan sentuhan selama interaksi, bila dapat diterima pada pasien dan
mempertahankan kontak mata.
Tindakan Kolaborasi :
1.

Rujuk pasien atau orang terdekat pada program kelompok pendukung bila ada

2.

Rujuk pada konseling profesional bila diindikasikan

8.
Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan pertumbuhan sel kanker
pada nasofaring
Tujuan
stimulasi

: Mampu mendemonstrasikan respon yang meningkat sesuai

Kriteria Hasil : Mengontrol perubahan terhadap kemampuan persepsi sensori


Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :
1.
Kaji derajat sensori atau gangguan persepsi dan bagaimana hal tersebut
mempengaruhi individu yang termasuk di dalamnya penurunan pendengaran.
2.
Berikan motivasi agar pasien menggunakan alat bantu untuk pendengaran
sesuai keperluan
3.

Pertahankan hubungan orientasi realita dan lingkungan

4.

Berikan sentuhan dalam cara perhatian

5.

Gunakan permainan sensori untuk menstimulasi realita

Tindakan Kolaborasi :
1.

Konsultasi pada dokter dalam permberian terapi obat sesuai indikasi

D. EVALUASI
1.
Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal
yang ditetapkan di tujuan.
2.
Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang
ditentukan dalam pernyataan tujuan.
3.
Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang
diharapakan sesuai dengan pernyataan tujuan.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. EGC.
Jakarta.
Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.
Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach. 2
nd Edition : WB Sauders.
Lab. UPF Ilmu Penyakit THT FK Unair. (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi
Lab/UPF Ilmu
Penyakit THT. Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Surabaya.
Makalah Kuliah THT. Tidak dipublikasikan Prasetyo B, Ilmu Penyakit THT, EGC Jakarta
Rothrock, C. J. (2000). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT.
Edisi kekempat. FKUI : Jakarta.
Sri Herawati. (2000). Anatomi Fisiologi Cara Pemeriksaan Telinga, Hidung,
Tenggorokan. Laboratorium Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya.
Rasad U, Dalam : Nasopharyngeal Carcinoma. Medical Progress. July Vol 23 no 7
1996 ; 11-16

Soepardi EA, Iskandar N. Dalam : Karsinoma Nasofaring. Buku Ajar THT. Edisi Kelima.
Balai Penerbit FK UI. Jakarta, 2000 : 146-150
Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT : Balai Penerbit FKUI. Jakarta,
1989.
Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Dalam : Bahaya Radiasi dan Pencegahan.
Radiologi Diagnostik, FKUI, 1985 : 25-28.
Susworo. Dalam : Kanker Nasofaring Epidemologi dan Pengobatan Mutakhir. Cermin
Dunia Kedokteran. 2004 : 16-20

S-ar putea să vă placă și