Sunteți pe pagina 1din 49

Laporan Kasus

SEORANG LAKI-LAKI 57 TAHUN DATANG DENGAN


LUKA DI KAKI KANAN YANG TIDAK KUNJUNG
SEMBUH SEJAK 2 MINGGU SMRS

Oleh:
Fatty Maulidira, S. Ked
Meida Rarasta, S. Ked

Pembimbing:
dr. Ratna Maila Dewi Anggraini, Sp.PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2016

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul . Pada
kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada selaku pembimbing yang telah membantu dalam penyelesaian laporan
kasus ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman, dan semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan.
Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat, amin.

Palembang,

Januari 2016

Penulis

ii

HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Oleh:

Fatty Maulidira, S. Ked


Meida Rarasta, S. Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Univesitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang periode 11
Januari-28 Maret 2016

Palembang,

DAFTAR ISI
iii

Januari 2016

JUDUL .............................................................................................................

KATA PENGANTAR................

ii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................

iii

DAFTAR ISI

iv

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................

BAB II LAPORAN KASUS ..

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


3.1 Anemia...

20

3.2 Insidens..
3.3 Etiologi dan Klasifikasi
3.4 Perubahan Kardiovaskular pada Anemia
3.5 Tanda dan Gejala Klinis .
3.6 Diagnosis
3.7 Pemeriksaan Laboratorium. ..
3.8 Penatalaksanaan.
3.9 Prognosis... .

21
21
24
27
29
29
30
31

BAB IV ANALISA KASUS ...

32

DAFTAR PUSTAKA .

35

iv

BAB I
PENDAHULUAN
Ulkus kaki diabetik sampai saat ini menjadi masalah kesehatan utama di
seluruh dunia, karena kasus yang semakin meningkat, ulkus bersifat kronis dan
sulit sembuh, mengalami infeksi dan iskemia tungkai dengan risiko amputasi
bahkan mengancam jiwa, membutuhkan sumber daya kesehatan yang besar,
sehingga memberi beban sosio-ekonomi bagi pasien, masyarakat, dan negara.
Berbagai metode pengobatan telah dikembangkan namun sampai saat ini belum
memberikan hasil yang memuaskan.
Peningkatan populasi penderita diabetes mellitus (DM), berdampak pada
peningkatan kejadian ulkus kaki diabetik sebagai komplikasi kronis DM, dimana
sebanyak 15-25% penderita DM akan mengalami ulkus kaki diabetik di dalam hidup
mereka. Di Amerika Serikat, Huang dkk. (2009) memproyeksikan jumlah
penyandang DM dalam 25 tahun ke depan (antara tahun 2009-2034) akan meningkat
2 kali lipat dari 23,7 juta menjadi 44,1 juta, biaya perawatan per tahun meningkat
sebanyak 223 miliar dolar dari 113 menjadi 336 miliar dolar Amerika Serikat. Biaya
pengobatan DM dan komplikasinya pada tahun 2007 di Amerika Serikat mencapai
116 miliar dolar, dimana 33% dari biaya tersebut berkaitan dengan pengobatan ulkus
kaki diabetik.
Penyembuhan luka pada diabetes memerlukan pendekatan yang holistik.
Selain pengendalian luka, pasien dengan ulkus diabetikum memerlukan pengendalian
infeksi, pengendalian gula darah, perbaikan suplai vaskular, pengendalian infeksi, dan
pengendalian tekanan darah. Oleh karena itu, pasien perlu diberikan penyuluhan baik
dalam pengertian diabetes mellitus, gejala dan tandanya, serta pengobatan rutin untuk
mengontrol gula darah dan bahayanya bila tidak berobat teratur. Apabila tidak teratasi
maka debridemen merupakan langkah penting dan menentukan pada penanganan
ulkus kaki diabetik sebagai usaha wound bed preparation dengan mengubah suasana
lingkungan dari suasana luka kronis menjadi suasana luka akut, untuk merangsang
dan mempercepat proses penyembuhan luka.

BAB II
LAPORAN KASUS
I.

II.

IDENTIFIKASI
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Alamat

: Ny. NT
: 28 tahun
: Perempuan
: Jl. May Zen Lr. Harapan Jaya Sei Selayur

Agama
Status
Pekerjaan
Pendidikan
MRS

Kecamatan Kalidoni, Palembang


: Islam
: Menikah
: Ibu Rumah Tangga
: SMA
: 30 April 2016

ANAMNESIS ()
Keluhan Utama
Demam tinggi sejak 3 hari SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit
3 hari SMRS os mengeluh demam, demam tinggi terutama bila
pagi dan malam hari. Menggigil (+), mual (+), muntah (+) dialami sejak
os hamil 4 bulan yang lalu. Muntah 5x/hari hingga mengeluarkan
bercak darah. Muntah satu kali sebanyak 1/4 gelas belimbing. Sakit kepala
(+) yang datang tiba-tiba tanpa dipengaruhi oleh aktivitas, nyeri seluruh
tubuh (+), mimisan satu kali (+) sebanyak satu sendok makan. Os juga
mengeluh jantung terasa seperti sering berdebar-debar, sering merasa
panas dan os mengaku lebih senang dengan udara dingin. Riwayat berat
badan turun ada, 10 kg dalam 2 bulan yang dibuktikan dengan celana
os yang terasa longgar. Os dibawa ke Rumah Sakit YK Madira lalu
dirujuk ke RSMH. Os sedang hamil 4 bulan, anak ke-2, riwayat abortus 1
kali pada anak pertama. Riwayat kehamilan anak pertama abortus
spontan pada usia kehamilan 10 minggu pada November 2015.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat badan kuning disangkal

Riwayat darah tinggi ada sejak 3 tahun yang lalu namun tidak

teratur minum obat


Riwayat kencing manis (-)
Riwayat jantung berdebar-debar 3 tahun namun baru diketahui
menderita hipertiroid bulan Februari tahun 2016, mengonsumsi
PTU awal bulan April 2016 namun berhenti minum obat karena

gatal-gatal.
Riwayat keguguran 1 tahun yang lalu saat usia kehamilan 2 bulan

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga
disangkal.
Riwayat Sosial-Ekonomi
Os merupakan seorang ibu rumah tangga
Riwayat Makanan
Os makan 4 kali sehari, sebanyak 1 piring setiap kali makan,
teratur. Os biasa makan nasi piring dengan variasi lauk antara lain,
ikan 4 kali seminggu, telur 3 kali seminggu, dan sayur 6 kali
seminggu dengan variasi tahu dan tempe
III. PEMERIKSAAN FISIK (11 Mei 2016)
KEADAAN UMUM
Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan Darah
: 130/90 mmHg
Nadi
: 108x/menit, reguler, isi dan tegangan
Pernafasan
Suhu
Berat Badan
Tinggi Badan

cukup
: 20x/menit, reguler, torakoabdominal
: 36,7o C
: 61 kg
: 165 cm

KEADAAN SPESIFIK
Kulit
Warna kulit putih putih, efloresensi dan jaringan parut (-), pigmentasi (-),
turgor kembali cepat, ikterus (-), bintil & bercak merah yang semakin

banyak di kulit kepala, leher, dan dada seukuran biji kacang hijau dan
gatal, pertumbuhan rambut normal, sianosis (-).
Kelenjar Getah Bening (KGB)
Tidak terdapat pembesaran KGB pada regio submandibula, cervical,
supraclavicula, infraclaviculla.
Tidak diperiksa pada regio axilla, dan inguinal.
Kepala
Bentuk normocephali, ekspresi wajar, rambut hitam dan tidak mudah
dicabut, beruban (-), allopesia (-), deformitas (-), perdarahan temporal
(-), nyeri tekan (-), moon face (-)
Mata
Eksoftalmus dan endoftalmus (-), edema palpebra (-), ptosis (-), tremor
(-), konjungtiva palpebra pucat (+), sklera ikterik (-), mata cekung (-),
pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflek cahaya (+/+), visus 6/6,
pergerakan bola mata ke segala arah, lapangan pandang luas.
Hidung
Deviasi septum nasal (-), sekret (-), epistaksis (-),nafas cuping hidung (-)
Telinga
MAE lapang, edema periaurikular/tophi (-), nyeri tekan processus
mastoideus (-), selaput pendengaran tidak ada kelainan, pendengaran
baik.
Mulut
Bibir pucat (-), gigi hilang (-q), angularis cheilitis (-), lidah kotor (-),
atrofi papil (-), gusi berdarah (-), hipertrofi gingiva (-), faring hiperemis
(-), Tonsil T1-T1
Leher
Pembesaran KGB (-), teraba struma ukuran 10 x 5 cm, kenyal, isthmus
teraba , bruit (-), JVP (5-2) cmH2O.
Dada

Bentuk dada simetris, sela iga tidak melebar, barrel chest (-), retraksi
dinding dada (-), spider naevi (-), venektasi (-), nyeri tekan (-), nyeri
ketok (-), payudara simetris, nipple discharge (-)
Paru-paru (Anterior)
Inspeksi
: Statis dan dinamis simetris kanan=kiri
Palpasi
: Strem femitus kanan=kiri
Perkusi
: Sonor di kedua lapangan paru, batas paru-hepar
pada ICS V linea midclavicularis dextra,
Auskultasi

peranjakan paru hepar 1 sela iga


: Vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Paru-paru (Posterior)
Inspeksi
: Statis dan dinamis simetris kanan=kiri
Palpasi
: Stremfemitus kanan=kiri
Perkusi
: Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi
: Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: Ictus cordis tidak terlihat


: Ictus cordis tidak teraba
: Batas atas jantung ICS II linea parasternalis

Auskultasi

sinistra
Batas kanan ICS IV linea sternalis dextra,
Batas kiri ICS V linea midclavicularis
: HR 110 x/menit, reguler, BJ I-II normal, murmur
(-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi
Palpasi

: Datar , caput medusae (-), venektasi (-)


: lemas, nyeri tekan (+) pada epigastrium, hepar dan
lien tidak teraba, tinggi fundus uteri setinggi

Perkusi
Auskultasi

umbilikus.
: timpani, shiffting dullness (-)
: Bising usus (+) normal

Ekstremitas
Akral hangat (+/+), Palmar eritema (-/-), Edema Pretibia (-/-),
koilonikia (-)
Ekstermitas Superior

Palmar eritem (-), palmar pucat (-), ptekie (-), clubbing finger (-),
tremor (+), edema (-).
Tabel 2.1. Pulsasi arteri ekstermitas superior
Pulsasi
arteri radialis
arteri brakhialis

Dextra
baik
baik

Sinistra
baik
baik

Ekstermitas Inferior
Akral hangat, Akral pucat (-), ptekie (-), Edema (-)
Tabel 2.2. Pulsasi arteri ekstermitas inferior
Pulsasi
arteri dorsalis pedis
arteri tibialis posterior
arteri poplitea

Dextra
sulit dinilai
sulit dinilai
baik

Sinistra
baik
baik
baik

Tabel 2.3. Status Neurologikus


Neurologis

Superior dx

Superior sx

Inferior dx

Cukup

Cukup

Cukup

Cukup

Tonus

Eutoni

Eutoni

Eutoni

Eutoni

Klonus

Refleks fisiologis

Refleks patologis

tidak ada
kelainan

tidak ada
kelainan

tidak ada
kelainan

tidak ada
kelainan

Gerakan
Kekuatan motorik

Fungsi sensorik

Kesan: Tidak ada kelainan neurologis

Genitalia dan Anus


Tidak diperiksa

10

Inferior sx

IV.

Pemeriksaan Penunjang
7 Mei 2016
Darah
Hemoglobin
Ht

Hasil
10.6
34

Nilai Rujukan
13.2-17.3
40-48

Satuan
g/dl
%

Eritrosit
Leukosit
Trombosit
MCV
MCH

3.96
6.3
149
84.8
27

4.20-4.87
4.5-11.0
150-450
85-95
28-32

106/mm3
103/mm3
103/l
fL
pg

MCHC
LED
Basofil
Eosinofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
Glukosa

32
33-35
21
<20
Hitung jenis leukosit
0
0-1

g/dL
mm/jam

2
1-3
49
50-70
37
20-40
12
2-8
Metabolisme Karbohidrat
129
< 180

%
%
%
%

mg/dl

sewaktu
SGOT
SGPT
Ureum
Creatinin
Kalsium
Natrium
Kalium
Free T4
TSHs

Kimia Klinik Hati


< 31
< 31
Ginjal
8
16.6-48.5
0.26
0.5-0.9
Elektrolit
8.7
8.4-9.7
138
135-155
3.7
3.5-5.5
Imunoserologi
7.77
0.93-1.70
0.005
0.27-4.20
16
11

U/L
U/L
mg/dl
mg/dl
mg/dl
mEq/L
mEq/L
ng/dl
IU/mL

V. Diagnosis Sementara
Hipertiroid e.c. suspek Grave's Disease G2P0A1 hamil 18 minggu dengan
hipertiroid
VI. Diagnosis Banding

11

Krisis Tiroid dan Struma


VII. Penatalaksanaan
Non Farmakologis :
- Bedrest
- Edukasi
Penderita hipertiroid harus mengetahui penyakitnya hipertiroid dalam
kehamilan
Penderita harus diberikan tahu

mengenai etiologi, penegakan

diagnosis, tatalaksana, serta komplikasi dari penyakitnya itu sendiri.


Farmakologis :
-

IVFD NS gtt xx/menit


Ondansentron 3x8 mg (k/p)
Injeksi ceftriaxone 2x1 g (i.v.)
Asam folat 3x1 mg
Neurodex 1x1
Cetirizin 1x10 mg p.o.
Omeprazole 1x40 mg i.v.
Sucralfat syrup 3x1 sendok makan p.o.
Thyrozol 1x10 mg p.o. (pagi hari)

VIII. Rencana Pemeriksaan


- Pemeriksaan darah rutin, urin rutin, dan feses rutin.
- Pemeriksaan Imunoserologi fT4 dan TSH.
- Konsul kulit dan obsgyn.
IX. Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

12

X. Follow Up
Tanggal
31-1-16

1-2-2016

P
Non Farmakologis :

S:
O : KU : tampak sakit sedang
- Istirahat
Sens : CM
- Edukasi
TD : 120/70 mmHg
- Diet DM 1940 kkal
Nadi : 88 x/menit
- Perawatan luka per hari
RR : 20 x/menit
T : 36,5 oC
Keadaan Spesifik
Farmakologis :
Kepala : konj. pucat (-/-), SI (-/-)
- IVFD NaCl 0,9% gtt
Leher: JVP (5-2) cmH20
pembesaran KGB (-)
xx/menit
Thorax: Cor : BJ I dan II normal,
- Terapi Insulin:
murmur (-), gallop (-)
o Inj. Levemir 1x10
Pulmo : Vesikuler (+) normal,
IU (sc)
ronkhi (-), wheezing (-)
o
Inj. Novorapid 3x 5
Abdomen : cembung, lemas, shifting
IU (sc)
dullness (-), BU(+)N
Injeksi
ceftriaxone
2x1 g
Ekstremitas: akral hangat (+/+)
Metronidazole
4
x
500
mg
edema pretibial (+/-), ulkus (+) pedis
- CaCO3 3x500 g
dextra, gangren (+) digiti III dan IV
- Albumin 20% 2x1 flash
dextra
A: Ulkus pedis diabetikum + gangren Rencana Pemeriksaan:
- Kultur dan resistensi pus
digiti III dan IV + DM tipe 2
- Profil lipid
- Fungsi hati (SGOT, SGPT)
Uncontrolled
- Fungsi ginjal (Ureum,
Follow up BSS:
Kreatinin, CCT)
06.00: 260 mg/dl
Pemeriksaan radiologi
11.00: 171 mg/dl
- Konsul bedah (ortopedi),
17.00: 231 mg/dl
22.00: 216 mg/dl
mata, neurologi
P
S:
Non Farmakologis :
O : KU : tampak sakit sedang
- Istirahat
Sens : CM
- Edukasi
TD : 120/70 mmHg
- Diet DM 1940 kkal
Nadi : 88 x/menit
- Perawatan luka per hari
RR : 20 x/menit
o
T : 36,5 C
Keadaan Spesifik
Farmakologis :
Kepala : konj. pucat (-/-), SI (-/-)
- IVFD NaCl 0,9% gtt
Leher: JVP (5-2) cmH20
13

pembesaran KGB (-)


Thorax: Cor : BJ I dan II normal,
murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+) normal,
ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen : cembung, lemas, shifting
dullness (-), BU(+)N
Ekstremitas: akral hangat (+/+)
edema pretibial (+/-), ulkus (+) pedis
dextra, gangren (+) digiti III dan IV

xx/menit
Terapi Insulin:
o Inj. Levemir 1x10
IU (sc)
o Inj. Novorapid 3x 5

IU (sc)
Injeksi ceftriaxone 2x1 g
Metronidazole 4 x 500 mg
CaCO3 3x500 g
Albumin 20% 2x1 flash

dextra
A: Ulkus pedis diabetikum + gangren Rencana Pemeriksaan:
- Kultur dan resistensi pus
digiti III dan IV + DM tipe 2
- Profil lipid
- Fungsi hati (SGOT, SGPT)
Uncontrolled
- Fungsi ginjal (Ureum,
Follow up BSS:
Kreatinin, CCT)
06.00: 97 mg/dl
- Pemeriksaan radiologi
11.00: 104 mg/dl
- Konsul bedah (ortopedi),
17.00: 83 mg/dl
22.00: 111 mg/dl
mata, neurologi
2-2-2016

S:
Non Farmakologis :
O : KU : tampak sakit sedang
- Istirahat
Sens : CM
- Edukasi
TD : 120/70 mmHg
- Diet DM 1940 kkal
Nadi : 88 x/menit
- Perawatan luka per hari
RR : 20 x/menit
T : 36,5 oC
Keadaan Spesifik
Farmakologis :
Kepala : konj. pucat (-/-), SI (-/-)
- IVFD NaCl 0,9% gtt
Leher: JVP (5-2) cmH20
pembesaran KGB (-)
xx/menit
Thorax: Cor : BJ I dan II normal,
- Terapi Insulin:
murmur (-), gallop (-)
o Inj. Levemir 1x10
Pulmo : Vesikuler (+) normal,
IU (sc)
ronkhi (-), wheezing (-)
o
Inj. Novorapid 3x 5
Abdomen : cembung, lemas, shifting
IU (sc)
dullness (-), BU(+)N
Injeksi
ceftriaxone
2x1 g
Ekstremitas: akral hangat (+/+)
Metronidazole
4
x
500
mg
edema pretibial (+/-), ulkus (+) pedis
- CaCO3 3x500 g
dextra, gangren (+) digiti III dan IV
- Albumin 20% 2x1 flash
dextra
14

A: Ulkus pedis diabetikum + gangren Rencana Pemeriksaan:


- Kultur dan resistensi pus
digiti III dan IV + DM tipe 2
- Profil lipid
Uncontrolled
- Fungsi hati (SGOT, SGPT)
- Fungsi ginjal (Ureum,
Follow up BSS:
06.00: 104 mg/dl
Kreatinin, CCT)
- Pemeriksaan radiologi
- Konsul bedah (ortopedi),
mata, neurologi

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1

Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid merupakan kelenjar yang terletak di leher dan terdiri atas
sepasang lobus di sisi kiri dan kanan. Terletak di leher dihubungkan oleh ismus
yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Kelenjar ini tersusun dari zat hasil sekresi
bernama koloid yang tersimpan dalam folikel tertutup yang dibatasi oleh sel epitel
kuboid. Koloid ini tersusun atas tiroglobulin yang akan dipecah menjadi
hormon tiroid (T3 dan T4) oleh enzim endopeptidase. Kemudian hormon ini akan
disekresikan ke sirkulasi darah untuk kemudian dapat berefek pada organ target 1.
Hormon tiroid membantu tubuh menggunakan energi, tetap hangat dan menjaga
fisiologis otak, jantung. otot, dan organ lainnya bekerja seperti seharusnya3.
Mekanisme sekresi hormon tiroid sendiri diatur oleh suatu axis
hipothalamus-hipofisis-tiroid.

Hipotalamus

akan

mensekresikan

Thyroid

Releasing Hormon (TRH) yang akan merangsang hipofisis untuk mengeluarkan


Thyroid Stimulating Hormon (TSH). Kemudian TSH merangsang kelenjar tiroid
untuk memproduksi hormon tiroid. Hormon tiroid terutama dalam bentuk T3 dan
T4. Biosintesis hormon tiroid terbagi dalam beberapa tahap: a. Tahap trapping; b.
Tahap oksidasi; c. Tahap coupling; d. Tahap penimbunan atau storage; e. Tahap
deyodinasi; f. Tahap proteolisis; g. Tahap sekresi.
Hormon T3 dan T4 bersifat lipofilik dan dapat berdifusi lewat membran
plasma semua sel, menjumpai reseptor spesifiknya di dalam sel sasaran. Reseptor

15

hormon tiroid manusia terdapat paling tidak dalam tiga bentuk: hTR- 1 dan 2
serta hTR-1. : hTR- mengandung asam amino 410 asam amino , mempunyai
BM sekitar 47.000, dan gennnya terletak pada kromosom 17. hTR- mengandung
456 asam amino dengan BM sekitar 52.000, gennnya terletak pada kromosom 3.
Setiap reseptor mengandung tiga daerah spesifik:
1. Suatu daerah amino terminal yang meningkatkan aktivitas reseptor
2. Suatu daerah pengikat DNA sentral dengan dua jari-jari sistein seng
3. Suatu daerah pengikat hormon terminal karboksil
Ada kemungkinan bahwa hTR-1dan hTR- 1 merupakan bentuk reseptor
yang aktif secara biologik. hTR- 2 tidak mempunyai kemampuan mengikat
hormon tetapi berikatan dengan unsur respon hormon tiroid (TRE) pada DNA
dengan demikian dapat bertindak pada beberapa kasus untuk menghambat T 3.
Mutasi titik pada gen hTR- yang menimbulkan reseptor T3 abnormal merupakan
penyebab dari sindroma resistensi generalisata terhadap hormon tiroid (sindroma
refetotoff)2.
Kompleks Hormon Reseptor selanjutnya menjalani reaksi aktivasi yang
tergantung pada suhu serta garam dan reaksi ini akan mengakibatkan perubahan
ukuran, bentuk, muatan permukaan yang membuat kompleks hormon tersebut
mampu berikatan dengan kromatin pada inti sel. Kompleks hormon reseptor
berikatan pada suatu regio spesifik DNA yang dinamakan unsur respon
hormon/HRE dan membuat aktif dan inaktif gen spesifik. Dengan memberi
pengaruh yang selektif pada transkripsi gen dan produksi masing-masing mRNA,
pembentukan protein spesifik.

16

3.2

Gambar 3.1 Metabolisme Hormon Tiroid


Hipertiroid dalam Kehamilan
Adanya kehamilan menyebabkan terjadinya perubahan hormonal pada
tubuh wanita secara normal, kehamilan normal menyebabkan perubahan secara
fisiologik dan hormonal yang dapat mempengaruhi fungsi tiroid. Perubahan ini
menyebabkan pemeriksaan laboratium darah pada wanita yang sedang hamil
memerlukan perhatian khusus karena adanya perubahan secara hormonal. Dua
hormon utama dalam kehamilan meliputi human chorionic gonadotropin dan
esterogen dapat menyebabkan perubahan hormon tiroid secara fungsional. Adanya
hCG yang tinggi bersirkulasi dalam darah dapat menyebabkan penurunan hormon
TSH pada trimester pertama dalam kehamilan (hipertiroid subklinis). Saat hal ini
terjadi,, TSH dapat menurun pada trimester pertama dan kembali normal selama
kehamilan minggu-minggu berikutnya (seperti terlihat pada tabel 3.1). Estrogen
juga dapat menyebabkan peningkatan hormon tiroid binding protein (TBP) pada
serum yang berakibat pada penikatan hormon tiroid total dalam darah karena
>99% hormon tiroid dalam darah berikatan dengan protein ini; Pengukuran
hormon "bebas" (free; hormon yang tidak berikatan dengan protein, merupakan

17

bentuk aktif hormonnya) berada dalam kadar yang normal. Tiroid berfungsi
normal apabila TSH, fT4 dan fT3 berada dalam kadar normal selama kehamilan3.
Tabel 3.1 Kadar Hormon Tiroid pada Kehamilan

Kelenjar tiroid juga dapat membesar selama kehamilan (goiter).


Bagaimanapun, goiter pada kehamilan lebih sering terjadi karena defisiensi iodin
secara epidemiologi. Sebuah studi menyatakan peningkatan prevalensi goiter di
Skotlandia dibandingkan Amerika Serikat karena kurangnya iodin pada
masyarakat di Skotlandia yang disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya saja
asupan yodium yang kurang4. Apabila pemeriksaan yang sensitif dilakukan
(misalnya dengan ultrasound), gambaran yang dapat ditemukan adalah adanya
pembesaran volume kelenjar tiroid pada beberapa wanita. Ukuran kelenjar tiroid
dapat membesar sebanyak 10-15% dari ukuran normal dan biasanya tidak
ditemukan dengan pemeriksaan fisik oleh dokter (memerlukan bantuan
pemeriksaan penunjang USG). Pembesaran kelenjar tiroid secara signifikan
biasanya menyebabkan pemeriksaan penunjang lain wajib dilakukan, misalnya
dengan melakukan beberapa uji untuk melihat fungsi hormonal dari kelenjar tiroid
itu sendiri.
Pada kehamilan 10-12 minggu, bayi sepenuhnya bergantung pada ibu untuk
memproduksi hormon tiroid. Pada akhir trimester pertama, tiroid bayi dapat
memproduksi hormon tiroidnya sendiri. Bayi tentunya memerlukan asupan
adekuat dari iodin melalui ibunya untuk membuat hormon tiroid. WHO
merekomendasikan asupan iodin 200 mikrogram/hari selama kehamilan untuk

18

memeliharaproduksi hormon tiroid yang adekuat. Namun diet normal di Amerika


Serikat sudah dapat mencukup kebutuhan iodin sehingga tidak memerlukan
suplementasi iodin lagi3.
Kehamilan disertai dengan penurunan persediaan yodium didalam kelenjar
tiroid karena peningkatan bersihan ginjal terhadap yodium dan hilangnya yodium
melalui kompleks feto-plasental pada akhir kehamilan. Hal ini akan menyebabkan
keadaan defisiensi yodium relatif5.
Bersamaan dengan meningkatnya laju filtrasi glomerulus selama
kehamilan, ekskresi yodium meningkat dan terjadi penurunan iodine pool.
Respons TSH terhadap TRH juga meningkat selama kehamilan. Hal ini
disebabkan karena pengaruh estrogen, dimana dapat juga terjadi pada wanitawanita tidak hamil yang menggunakan obat-obat kontrasepsi. Walaupun terjadi
perubahan-perubahan di atas, namun kecepatan produksi hormon tiroid tidak
mengalami perubahan selama kehamilan. Menurut Burrow, pada wanita hamil
terjadi beberapa perubahan faal kelenjar tiroid seperti tersebut dibawah ini:
Meningkat:
Laju metabolisme basal
Ambilan yodium radioaktif
Respons terhadap TRH
Thyroxin Binding Globulin (TBG)
Tiroksin
Triyodotironin
Human Chorionic Thyrotropin/ Gonadotropin
Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
Tidak berubah :
Konsentrasi tiroksin bebas (fT4)
Kecepatan produksi tiroksin
Perubahan faal kelenjar tiroid ibu selama kehamilan diikuti pula oleh
perubahan faal kelenjar tiroid janin. Yodium organik tidak ditemukan dalam
kelenjar tiroid janin sebelum usia kehamilan 10 minggu. Pada usia kehamilan 11-

19

12 minggu, kelenjar tiroid janin baru mulai memproduksi hormon tiroid. TSH
dapat dideteksi dalam serum janin mulai usia kehamilan 10 minggu, tetapi masih
dalam kadar yang rendah sampai usia kehamilan 20 minggu yang mencapai kadar
puncak 15 U per ml dan kemudian turun sampai 7 U per ml. Penurunan ini
mungkin karena kontrol dari hipofisis yang mulai terjadi pada usia kehamilan 12
minggu sampai 1 bulan post natal. Selama usia pertengahan kehamilan, didalam
cairan amnion dapat dideteksi adanya T4 yang mencapai puncaknya pada usia
kehamilan 25 sampai 30 minggu. Kadar T3 didalam cairan amnion selama awal
kehamilan masih rendah dan berangsur akan meningkat.
Tetrayodotironin (T4) didalam tubuh janin terutama dimetabolisir dalam
bentuk reverse T3 (rT3) , hal ini mungkin disebabkan karena sistem enzimnya
belum matang. Reverse T3 meningkat terus dan mencapai kadar puncak pada usia
kehamilan 17 sampai 20 minggu. Kadar rT3 didalam cairan amnion dapat dipakai
sebagai diagnosis prenatal terhadap kelainan faal kelenjar tiroid janin. Pada saat
lahir terjadi peningkatan kadar TSH karena sekresinya oleh hipofisis meningkat.
Kadar TSH neonatus meningkat beberapa menit setelah lahir 7,5 U/ml dan
mencapai puncaknya 30 U/ ml dalam 3 jam. Karena rangsangan TSH akan
terjadi kenaikan yang tajam dari kadar T4 total dan T4 bebas di dalam serum.
Kadar T3 juga meningkat secara dramatis, tetapi sebagian tidak tergantung dari
TSH. Hal ini mungkin disebabkan karena meningkatnya aktifitas jaringan dalam
memetabolisir T4 menjadi T3. Ambilan yodium radioaktif neonatus meningkat
mulai 10 jam setelah lahir yang mencapai puncaknya pada hari kedua dan
menurun sampai batas normal seperti orang dewasa pada hari ke 5 setelah lahir5.
3. 2. 1 Etiologi
Penyebab paling sering dari hipertiroid dalam kehamilan (80-85%) adalah
grave's disease dan terjadi 1 dari 1500 wanita hamil. Selain itu, peningkatan kadar
hCG (human chorionic gonadotropin) yang ada pada bentuk berat dari
hiperemesis gravidarum, dapat menyebabkan hipertiroid temporer. Diagnosis
hipertiroid dalam kehamil dapat ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Telah ditemukan hubungan antara adanya
antibodi tiroid dalam darah ibu dengan keterjadian abortus spontan. Oleh karena
20

itu, skrining menyeluruh untuk mengetahui kadar antibodi antitiroid, dan


tatalaksananya tidak direkomendasi untuk saat ini.
3. 2. 2 Patogenesis
3. 2. 3 Tatalaksana
Apabila konsentrasi serum TSH menurun tidak signifikan, hal ini tidak
selalu berarti adanya keterjadian hipertiroid. Namun, adanya penurunanan (kadar
subnormal) dari TSH secara fisiologis dapat terjadi pada imunoserologi wanita
yang hamil. Untuk dapat membedakan grave's disease gestational tirotoksikosis
dapat didukung dengan bukti klinis adanya autoimunitas, tipikal goiter, dan
adanya antibodi reseptor TSH (TRAb).
Propiltiourasil (PTU), apabila tersedia, direkomendasikan sebagai terapi
hipertiroid lini pertama dalam kehamilan karena adanya kemungkinan asosiasi
metimazole (MMI) dengan abnormalitas kongenital yang dapat terjadi selama
organonegesis trimester pertama. MMI dapat juga diberikan apabila PTU tidak
tersedia atau jika pasien tidak dapat mentolerir (alergi) terhadap PTU. MMI 10 mg
tergolong ekuivalen dengan 100-150 mg PTU. Analisis terbaru melaporkan bahwa
FDA (Food and Drug Administration) mengindikasikan PTU dapat (meskipun
jarang) menyebabkan toksisitas hepar berat. Untuk alasan inilah, klinisi
merekomendasikan pergantian obat antitiroid dari PTU menjadi MMI setelah
trimester pertama.
Data yang tersedia juga menyebutkan bahwa MMI dan PTU memiliki
efikasi yang sama dalam penatalaksaan pada wanita hamil. Apabila pengobatan
dengan PTU diganti dengan MMI, fungsi tiroid selayaknya dinilai (diperiksa)
setelah dua minggu dan dalam interval dua hingga empat minggu.
Subtotal tiroidektomi dapat juga diindikasikan selama kehamilan sebagai
terapi Grave's Disease apabila:
1) Pasien memiliki efek samping berat terhadap terapi obat antitiroid.
2) Dosis tinggi obat antitiroid dibutuhkan secara persisten (> 30 mg/hari MMI
atau 450 mg/hari PTU)
3) Pasien tidak dapat mentolerir pemberian obat antitiroid dan memiliki
hipertiroid tidak terkontrol
Waktu operasi yang tergolong optimal adalah ada trimester kedua.

21

Reseptor antibodi tiroid (thyroid receptor stimulating, binding, atau


inhibiting antibodies) dapat melewati plasenta dan dapat menstimulasi tiroid
janin, oleh karena itu, antibodi-antibodi ini seharusnya diperiksa dalam usia
kehamilan 22 minggu dengan ibu: 1) menderita Grave's disease; 2) riwayat
terkena grave's disease dan ditatalaksana dengan iodinasi atau tiroidektomi
sebelum kehamilan; atau 3) neonatus sebelumnya mengakami grave's disease;
atau 4) Peningkatan reseptor antibodi tiroid sebelumnya 6.
Pada ibu dengan thyroid receptor antibody atau thyroid stimulating
immunoglobulin meningkat dua hingga tiga kali dari kadar normal dan pada
wanita yang diobati dengan obat antitiroid (MMI atau PTU), kadar fT4 ibu dan
disfungsi tiroid janin seharusnya dilakukan skrining anatomi USG janin pada
minggu 18-22 kehamilan dan diulangi tiap empat hingga enam minggu atau
secara klinis terindikasi. Bukti adanya disfungsi tiroid janin dapat juga didukung
dengan adanya pembesaran tiroid, pertumbuhan terhambat, hydrops, adanya
goiter, takikardi, ataupun gagal jantung. Apabila hipertiroid janin didiagnosis dan
dipikirkan dapat membahayakan kehamilan, tatalaksana dengan MMI atau PTU
seharusnya diberikan dengan pengawasan secara klinis, dan laboratorik.
Sampel darah umbilikus seharusnya dilakukan hanya apabila diagnosis
penyakit tiroid janin tidak dapat dibuktikan secara pasti dari gejala klinis dan
sonografis sehingga informasi yang didapatkan dari sampel darah umbilikus dapat
merubah rencana terapi6.
Obat-obat anti tiroid yang banyak digunakan adalah golongan tionamida
yang kerjanya menghambat sintesis hormon tiroid melalui blokade proses
yodinasi molekul tirosin. Obat-obat anti tiroid juga bersifat imunosupresif dengan
menekan produksi TSAb melalui kerjanya mempengaruhi aktifitas sel T limfosit
kelenjar tiroid. Oleh karena obat ini tidak mempengaruhi pelepasan hormon tiroid,
maka respons klinis baru terjadi setelah hormon tiroid yang tersimpan dalam
koloid habis terpakai. Jadi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan
eutiroid tergantung dari jumlah koloid yang terdapat didalam kelenjar tiroid. Pada
umumnya perbaikan klinis sudah dapat terlihat pada minggu pertama dan keadaan
eutiroid baru tercapai setelah 4-6 minggu pengobatan. Propylthiouracil (PTU) dan
metimazol telah banyak digunakan pada wanita hamil hipertiroidisme. Namun
22

PTU mempunyai banyak kelebihan dibandingkan metimazol antara lain :

PTU dapat menghambat perubahan T4 menjadi T3 disamping menghambat


sintesis hormon tiroid.

PTU lebih sedikit melewati plasenta dibandingkan metimazol karena PTU


mempunyai ikatan protein yang kuat dan sukar larut dalam air.
Selain itu terdapat bukti bahwa metimazol dapat menimbulkan aplasia

cutis pada bayi. Oleh karena itu, PTU merupakan obat pilihan pada pengobatan
hipertiroidisme dalam kehamilan. Pada awal kehamilan sebelum terbentuknya
plasenta, dosis PTU dapat diberikan seperti pada keadaan tidak hamil, dimulai
dari dosis 100 sampai 150 mg setiap 8 jam. Setelah keadaan terkontrol yang
ditunjukkan dengan perbaikan klinis dan penurunan kadar T4 serum, dosis
hendaknya diturunkan sampai 50 mg 4 kali sehari. Bila sudah tercapai keadaan
eutiroid, dosis PTU diberikan 150 mg per hari dan setelah 3 minggu diberikan 50
mg 2 kali sehari. Pemeriksaan kadar T4 serum hendaknya dilakukan setiap bulan
untuk memantau perjalanan penyakit dan respons pengobatan. Pada trimester
kedua dan ketiga, dosis PTU sebaiknya diturunkan serendah mungkin. Dosis PTU
dibawah 300 mg per hari diyakini tidak menimbulkan gangguan faal tiroid
neonatus. Bahkan hasil penelitian Cheron menunjukkan bahwa dari 11 neonatus
hanya 1 yang mengalami hipotiroidisme setelah pemberian 400 mg PTU perhari
pada ibu hamil hipertiroidisme. Namun keadaan hipertiroidisme maternal ringan
masih dapat ditolerir oleh janin daripada keadaan hipotiroidisme. Oleh karena itu
kadar T4 dan T3 serum hendaknya dipertahankan pada batas normal tertinggi.
Selama trimester ketiga dapat terjadi penurunan kadar TSAb secara
spontan, sehingga penurunan dosis PTU tidak menyebabkan eksaserbasi
hipertiroidisme. Bahkan pada kebanyakan pasien dapat terjadi remisi selama
trimester ketiga, sehingga kadang-kadang tidak diperlukan pemberian obat-obat
anti tiroid. Namun Zakarija dan McKenzie menyatakan bahwa walaupun terjadi
penurunan kadar TSAb selama trimester ketiga, hal ini masih dapat menimbulkan
hipertiroidisme pada janin dan neonatus. Oleh karena itu dianjurkan untuk tetap
meneruskan pemberian PTU dosis rendah (100-200 mg perhari). Dengan dosis ini
diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap neonatus dari keadaan
23

hipertiroidisme.
Biasanya janin mengalami hipertiroidisme selama kehidupan intra uterin
karena ibu hamil yang hipertiroidisme tidak mendapat pengobatan atau mendapat
pengobatan anti tiroid yang tidak adekuat. Bila keadaan hipertiroidisme masih
belum dapat dikontrol dengan panduan pengobatan diatas, dosis PTU dapat
dinaikkan sampai 600 mg perhari dan diberikan lebih sering, misalnya setiap 4 6
jam. Alasan mengapa PTU masih dapat diberikan dengan dosis tinggi ini
berdasarkan hasil penelitian Gardner dan kawan-kawan bahwa kadar PTU
didalam serum pada trimester terakhir masih lebih rendah dibandingkan kadarnya
post partum. Namun dosis diatas 600 mg perhari tidak dianjurkan.
Pemberian obat-obat anti tiroid pada masa menyusui dapat pula
mempengaruhi faal kelenjar tiroid neonatus. Metimazol dapat dengan mudah
melewati ASI sedangkan PTU lebih sukar. Oleh karena itu metimazol tidak
dianjurkan pada wanita yang sedang menyusui. Setelah pemberian 40 mg
metimazol, sebanyak 70 ug melewati ASI dan sudah dapat mempengaruhi faal
tiroid neonatus. Sebaliknya hanya 100 ug PTU yang melewati ASI setelah
pemberian dosis 400 mg dan dengan dosis ini tidak menyebabkan gangguan faal
tiroid neonatus. Menurut Lamberg dan kawan-kawan, PTU masih dapat diberikan
pada masa menyusui asalkan dosisnya tidak melebihi 150 mg perhari. Selain itu
perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap faal tiroid neonatus. Dosis
metimazol bagi ibu hamil masih dapat ditolerir dengan pemberian 10 mg per hari78

3. 2. 4 Komplikasi bagi Ibu


Grave's disease biasanya ditemukan pada trimester pertama atau dapat
mengalami eksaserbasi dari wanita yang sebelumnya pernah ditegakkan diagnosis
hipertiroid. Penatalaksanaan yang tidak adekuat dari kondisi hipertiroid dalam
kehamilan ini dapat menyebabkan persalinan preterm dan komplikasi serius yang
diketahui di antaranya preeklampsia. Sebagai tambahan, perempuan dengan
grave's disease memiliki faktor resiko tinggi untuk dapat berkembang menjadi
hipertiroid berat atau dapat juga disebut thyroid storm. Grave's disease sering

24

membaik saat trimester ketiga kehamilan dan dapat memburuk saat periode postpartum.
3. 2. 5 Komplikasi bagi Janin
1) Hipertiroid maternal tidak terkontrol: berkaitan dengan fetal takikardi
(peningkatan denyut jantung), IUGR, prematuritas, bayi lahir mati dan
kemungkinan malformasi kongenital. Hal ini menjadi alasan yang sangat kuat
untuk dapat menatalaksana hipertiroid pada ibu.
2) Kadar Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSIs) yang sangat tinggi:
grave's disease merupakan penyakit autoimun yang disebabkan oleh produksi
antibodi yang dapat menstimulasi kelenjar tiroid yaitu thyroid stimulating
immunoglobulin (TSI). Antibodi-antibodi ini akan memasuki plasenta dan dapat
berinteraksi dengan tiroid bayi. Meskipun jarang (2-5% kasus grave's disease
dalam kehamilan), kadar yang tinggi dari TSIs, telah diketahui dapat
menyebabkan fetal atau neonatal hipertiroid. Untungnya, hal ini hanya dapat
terjadi apabila kadar TSI ibu benar-benar sangat tinggi (sangat tinggi dari kadar
normal). Pengukuran TSI pada ibu dengan grave's disease sering dilakukan dalam
trimester ketiga. Pada ibu dengan grave's disease memerlukan terapi antitiroid,
hipertiroid fetal yang berkaitan dengan TSI ibu sangat jarang, mengingat obat
antitiroid juga dapat masuk melalui plasenta.
3) Terapi obat antitiroid: Methimazole (Tapazole) atau Propiltiourasil (PTU)
merupakan obat antitiroid yang digunakan sebagai tatalaksana hipertiroid. Kedua
obat ini melewati plasenta dan dapat secara potensial merusak fungsi tiroid bayi
dan menyebabkan fetal goiter. Secara empirik, PTU telah sering digunakan
sebagai obat pilihan untuk pengobatan hipertiroid maternal, hal ini disebabkan
jalur transplasental cenderung minimal apabila dibandingkan methimazole
(tapazole). Bagaimanapun, beberapa studi cenderung menyebutkan bahwa kedua
obat baik PTU maupun methimazole (tapazole) tergolong aman digunakan saat
kehamilan. Namun, dosis minimum sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
hipotiroid pada bayi ataupun neonatus. Kedua obat ini juga cenderung tidak
menyebabkan resiko defek kelahiran secara umum3.

25

3.1.1. DEFINISI
DM merupakan penyakit gangguan kronik pada metabolisme yang
ditandai

dengan

hiperglikemia

yang

berhubungan

dengan

abnormalitas

metabolism karbohidrat, lemak dan protein, disebabkan oleh defisiensi insulin


relative atau absolut. Gambaran patologik DM sebagian besar dapat dihubungkan
dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin yaitu berkurangnya
pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh, peningkatan metabolisme lemak yang
menyebabkan terjadinya metabolism lemak abnormal disertai endapan kolesterol
pada dinding pembuluh darah sehingga timbul gejala aterosklerosis serta
berkurangnya protein dalam jaringan tubuh. (Guyton CA. 1996)
3.1.2. EPIDEMIOLOGI
Menurut Soegondo (2009), Diabetes Melitus (DM) atau penyakit gula
merupakan salah satu dari 7 penyakit kronis yang ada didunia yaitu: kanker,
jantung, AIDS, diabetes, TB, vector borne, dan hepatitis. Dikatakan penyakit gula
karena memang jumlah atau konsentrasi glukosa atau gula didalam darah melebihi
keadaan normal.WHO, 2003 menyatakan kasus diabetes di Asia akan naik sampai
90% dalam 20 tahun ke depan
Di Indonesia berdasarkan penelitian epidemiologis didapatkan prevalensi
Diabetes mellitus sebesar 1,5 2,3% pada penduduk yang usia lebih 15 tahun,
bahkan di daerah urban prevalensi DM sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar
7,2%. Prevalensi tersebut meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan negara maju,
sehingga Diabetes mellitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk Indonesia
yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun 2003
26

diperkirakan terdapat penderita DM di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di


daerah rural sejumlah 5,5 juta. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan
penduduk diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk yang
berusia di atas 20 tahun maka diperkirakan terdapat penderita sejumlah 12 juta di
daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural.
3.1.3. KLASIFIKASI
Diabetes tipe 1 biasanya terjadi sejak usia kecil. Tetapi kebanyakannya
didiagnosis pada usia lebih 20 tahun. Pada diabetes mellitus tipe 1, badan kurang
atau tidak menghasilkan insulin. Ini mungkin karena masalah genetic, virus atau
penyakit autoimun. Injeksi insulin diperlukan setiap hari untuk pasien diabetes
mellitus tipe 1.
Diabetes tipe 2 adalah lebih umum dari diabetes mellitus tipe 1. Biasanya
terjadi pada usia dewasa tetapi remaja juga banyak didiagnosa dengan diabetes
tipe 2 sejak belakangan ini. Kebanyakan kasus diabetes mellitus adalah kasus
diabetes tipe 2. Diabetes mellitus tipe 2 ini terjadi karena badan tidak respon
terhadap insulin atau serisng dikenal dengan resistensi insulin. Banyak yang tidak
tahu mereka menderita diabetes mellitus tipe 2. Diabetes tipe 2 menjadi semakin
umum oleh karena factor resikonya yaitu obesitas dan kekurangan olahraga.
Banyak faktor yang akan menyebabkan seseorang menderita diabaetes
mellitus salah satunya adalah faktor keturunan. Akan tetapi pada penderita
diabetes banyak yang tidak menyadarinya karena gejala awal diabetes tidak terlalu
terlihat. Untuk mengetahui seseorang terkena diabetes ada beberapa gejala umum
yang dialami oleh penderita diabetes yaitu poliuri (urinasi yang sering), polidipsi
(banyak

minum

akibat

meningkatnya

tingkat

kehausan),

dan

polifagi

(meningkatnya hasrat untuk makan). Gejala awalnya berhubungan dengan efek


langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai di atas
160-180 mg/dl, maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih
tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah
besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah
yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak

27

(poliuri). Akibatnya, penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak


minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang dalam air kemih, sehingga
penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk mengompensasikan hal ini,
penderita sering kali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan
(polifagi) .
Penderita diabetes mellitus beresiko terjadi komplikasi baik bersifat akut
maupun kronis. Diabetes mellitus sangat berpotensi merusak pembuluh darah
kecil dan pembuluh darah besar. Karena terbentuknya zat kompleks yang terdiri
dari gula didalam pembuluh darah, maka pembuluh darah akan menebal dan
mengalami kebocoran. Akibatnya, aliran darah menjadi berkurang, terutama yang
menuju kekulit dan saraf. Kurangnya aliran darah yang menuju saraf akan
mengakibatkan kerusakan saraf yang bisa menyebabkan kulit lebih sering
mengalami cedera karena penderita tidak dapat meredakan perubahan tekanan
maupun suhu. Berkurangnya aliran darah kekulit juga bisa menyebabkan ulkus
diabetik dan semua penyembuhan luka berjalan lambat. Ulkus diabetik terjadi
karena hiperglikemia yang berkepanjangan mengakibatkan perubahan stuktur
pembuluh darah perifer (angiopati) yang mengakibatkan berkurangnya suplai
darah kearah distal khususnya pada ekstremitas bagian bawah sehingga terjadi
ulkus dikaki. Jika ulkus dikaki berlangsung lama, tidak

dilakukan

penatalaksanaan dan tidak sembuh, luka akan sangat dalam dan mengalami infeksi
sehingga sebagian tungkai harus diamputasi.
Penderita diabetes mellitus memiliki resiko amputasi lebih besar
dibandingkan dengan non diabetik, karena penderita diabetes mellitus berisiko
29x terjadi komplikasi ulkus diabetik. Ulkus diabetika merupakan luka terbuka
pada permukaan kulit yang disebabkan adanya makroangiopati sehingga terjadi
vaskuler insusifiensi dan neuropati. Ulkus diabetika mudah berkembang menjadi
infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan adanya gula darah yang tinggi
menjadi tempat yang strategis untuk pertumbuhan kuman, Rini (2008).
3.1.4. GEJALA DAN MANIFESTASI KLINIS

28

Gejala dan tanda-tanda diabetes mellitus dapat digolongkan menjadi gejala


akut dan gejala kronik. Gejala akut penyakit diabetes mellitus dari satu penderita
ke penderita lain bervariasi, bahkan mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun
sampai saat tertentu namun pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi
serba banyak / poli seperti banyak makan (poliphagia), banyak minum
(polidipsia), dan banyak berkemih (poliuria). Bila keadaan tersebut tidak segera
diobati maka akan timbul gejala sering berkeringat pada malam hari disertai
peningkatan frekuensi berkemih, nafsu makan mulai berkurang / berat badan
turun dengan cepat (turun 5 10 kg dalam waktu 2 4 minggu), mudah lelah, bila
tidak segera mendapat perhatian untuk dilakukan tindakan kuratif maka akan
timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma
diabetik (Mansjoer, 1999).
Gejala kronik diabetes mellitus yang sering dialami oleh penderita diabetes
mellitus adalah seperti kesemutan, kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk
jarum, rasa tebal di kulit terutama pada bagian ekstremitas, kram, mudah lelah,
mudah mengantuk, mata kabur biasanya sering berganti kacamata, gatal di sekitar
kemaluan terutama wanita, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan
seksual menurun bahkan sampai menyebabkan terjadinya impotensi, pada ibu
hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau
dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (Mansjoer, 1999 ; PERKENI, 2006 ;
Suyono, 2006).
3.1.5. PENATALAKSAAN
Tujuan pengelolaan diabetes mellitus meliputi tujuan jangka pendek dan jangka
panjang. Tujuan jangka pendek yaitu menghilangkan gejala / keluhan dan
mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian darah.
Sedangkan tujuan jangka panjang yaitu mencegah komplikasi, mikroangiopati dan
makroangiopati dengan tujuan menurunkan mortalitas dan morbiditas (Erman,
1998 ; Mansjoer, 1999).
Penyuluhan

29

Tujuan penyuluhan yaitu meningkatkan pengetahuan penderita diabetes mellitus


tentang penyakit dan pengelolaannya dengan tujuan dapat merawat sendiri
sehingga mampu mempertahankan hidup dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Penyuluhan meliputi penyuluhan untuk pencegahan primer yang ditujukan untuk
kelompok risiko tinggi dan penyuluhan untuk pencegahan sekunder yang
ditujukan pada penderita diabetes mellitus terutama pasien yang baru. Materi yang
diberikan meliputi pengertian diabetes mellitus, gejala diabetes mellitus,
penatalaksanaan diabetes mellitus, mengenal dan mencegah komplikasi akut dan
kronik dari diabetes mellitus, perawatan dan pemeliharaan kaki, dll. Penyuluhan
untuk pencegahan tersier ditujukan pada penderita diabetes mellitus lanjut, dan
materi yang diberikan meliputi cara perawatan dan pencegahan komplikasi lebih
lanjut, upaya untuk rehabilitasi, dll (Erman, 1998 ; Mansjoer, 1999 ; Soebardi,
2006).
Diet Diabetes mellitus
Tujuan diet pada diabetes mellitus adalah mempertahankan atau mencapai berat
badan ideal, mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal, mencegah
komplikasi akut dan kronik serta meningkatkan kualitas hidup. Penderita diabetes
mellitus didalam melaksanakan diet harus memperhatikan 3 J, yaitu : jumlah
kalori yang dibutuhkan, jadwal makan yang harus diikuti, dan jenis makanan yang
harus diperhatikan. Komposisi makanan yang dianjurkan adalah makanan dengan
komposisi seimbang yaitu yang mengandung karbohidrat ( 45-60%), Protein (1015%) , lemak (20-25%), garam ( 3000 mg atau 6-7 gr perhari), dan serat ( 25
g/hr). Jenis buah-buahan yang dianjurkan adalah buah golongan B (salak, tomat,
dll) dan yang tidak dianjurkan golongan A (nangka, durian, dll), sedangkan
sayuran yang dianjurkan golongan A (wortel, nangka muda, dll) dan tidak
dianjurkan golongan B (taoge, terong, dll) (Erman, 1998 ; Mansjoer, 1999 ;
Soebardi, 2006 ; Tjokroprawiro, 2006).
Latihan Fisik (Olah Raga).

30

Tujuan olah raga adalah untuk meningkatkan kepekaan insulin, mencegah


kegemukan, memperbaiki aliran darah, merangsang pembentukan glikogen baru
dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Olah raga meliputi empat prinsip yang
terkait pada jenis olah raga, intensitas olahraga, lamanya latihan, dan frekwensi
latihan. Jenis olah raga terkait dengan olah raga / latihan yang dilakukan secara
kontinyu, ritmis, interval, progresif dan latihan daya tahan. Intensitas olah raga
terkait dengan takaran latihan sampai 72 - 87 % denyut nadi maksimal disebut
zona latihan. Rumus denyut nadi maksimal adalah 220 dikurangi usia (dalam
tahun) dan lamanya latihan ialah latihan yang dilakukan kurang lebih 30 menit,
untuk frekwensi latihan paling baik 5 x per minggu (Erman, 1998 ; Mansjoer,
1999 ; Soebardi, 2006 ; Tjokroprawiro, 2006).
3.1.6. PENGOBATAN
Jika penderita diabetes mellitus telah menerapkan pengaturan makanan dan
kegiatan jasmani yang teratur namun pengendalian kadar gula darah belum
tercapai maka dipertimbangkan pemberian obat. Obat meliputi obat hipoglikemi
oral (OHO) dan insulin. Pemberian obat hipoglikemi oral diberikan kurang lebih
30 menit sebelum makan. Pemberian insulin biasanya diberikan lewat
penyuntikan di bawah kulit (subkutan) dan pada keadaan khusus diberikan secara
intravena atau intramuskuler. Mekanisme kerja insulin short acting, medium
acting dan long acting (Erman, 1998 ; Mansjoer, 1999 ; Soebardi, 2006 ;
Tjokroprawiro, 2006).
3.1.7. PEMANTAUAN DAN PENCEGAHAN KOMPLIKASI
Tujuan pengendalian diabetes mellitus adalah menghilangkan gejala, memperbaiki
kualitas hidup, mencegah komplikasi akut dan kronik, mengurangi laju
perkembangan komplikasi yang sudah ada. Pemantauan dapat dilakukan dengan
pemeriksaan glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial, pemeriksaan HbA1C
setiap 3 bulan, pemeriksaan ke fasilitas kesehatan kurang lebih 4 x pertahun
(kondisi normal) dan dilakukan pemeriksaan jasmani lengkap, albuminuria mikro,
kreatinin, albumin globulin, ALT, kolesterol total, HDL, trigliserida, dan

31

pemeriksaan lain yang diperlukan (Erman, 1998 ; mansjoer, 1999 ; Soebardi, 2006
; Tjokroprawiro, 2006).

3.2 ULKUS DIABETIKUM


3.2.1. DEFINISI
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus
merupakan

suatu

kelompok

penyakit

metabolik

dengan

karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Diabetes Melitus dapat menimbulkan berbagai komplikasi,baik
mikrovaskular dan mikrovaskular. Salah satu komplikasi makrovaskular adalah
ulkus diabetikum. Ulkus diabetikum disebabkan oleh penyakit vaskular perifer
atau neuropati namun seringkali disebabkan oleh keduanya 1. Ulkus diabetikum
merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi
makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati, yang lebih
lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan, dan dapat
berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob
Ulkus kaki diabetik adalah kerusakan sebagian (partial thickness) atau
keseluruhan (full thickness) pada kulit yang dapat meluas kejaringan dibawah
kulit, tendon, otot, tulang dan persendian yang terjadi pada seseorang yang
menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM), kondisi ini timbul sebagai akibat
terjadinya peningkatan kadar gula darah yang tinggi. Jika ulkus kaki berlangsung
akan menjadi terinfeksi. Ulkus kaki, infeksi, neuroarthropati dan penyakit arteri
perifer sering mengakibatkan gangren dan amputasi ekstremitas bawah.
3.2.2. PATOFISIOLOGI
Ada dua teori utama mengenai terjadinya komplikasi kronik DM akibat
hiperglykemia yaitu teori sorbitol dan teori glikosilasi
1.
Teori Sorbitol
Hyperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel
dan jaringan tertentu dan dapat mentransport glukosa tanpa insulin.
Glukosa yang berlebihan ini tidak akan termetabolisasi habis secara

32

normal melalui glikolisis, tetapi sebagian dengan perantaraan enzim


aldosereduktasi akan diubah menjadi sorbitol.Sorbitol akan menumpuk
2.

dan menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi.


Teori Glikolisasi
Akibat hyperglikemia akan menyebabka terjadinya glikosilasi pada
semua protein, terutama yang mengandung senyawa lisin. Terjadinya
proses glikosilasi pada protein membrane basal dapat menjelaskan semua
komplikasi baik makro maupun mikro vaskuler. Faktor utama yang
berperan pada timbulnya ulkus diabetikum adalah angiopati, neuropati
dan infeksi. adanya neuropati perifer akan menyebabkan hilang atau
menurunnya sensasinyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma
tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan
motorik juga akan mengakibatkan terjadinya atrofi pada otot kaki
sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan ulsestrasi pada kaki
klien.Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebih
besar maka penderita akan merasa sakit pada tungkainya sesudah ia
berjalan

pada

jarak

tertentu.

Adanya

angiopati

tersebut

akan

menyebabkan terjadinya penurunan asupan nutrisi, oksigen serta


antibiotika sehingga menyebabkan terjadinya luka yang sukar sembuh.
Infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai ulkus diabetikum
akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati, sehingga faktor
angiopati dan infeksi berpengaruh terhadap penyembuhan ulkus
diabetikum.
3.2.3. KLASIFIKASI
Klasifikasi Ulkus diabetikum pada penderita Diabetes mellitus menurut
Wagner ,terdiri dari 6 tingkatan :
0. Tidak ada luka terbuka, kulit utuh.
1. Ulkus Superfisialis, terbatas pada kulit.
2. Ulkus lebih dalam sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan.
3. Ulkus dalam yang melibatkan tulang, sendi dan formasi abses.
4. Ulkus dengan kematian jaringan tubuh terlokalisir seperti pada ibu jari
kaki, bagian depan kaki atau tumit.
5. Ulkus dengan kematian jaringan tubuh pada seluruh kaki.
33

3.2.4. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala ulkus diabetikum yaitu :
a. Sering kesemutan.
b. Nyeri kaki saat istirahat.
c. Sensasi rasa berkurang.
d. Kerusakan Jaringan (nekrosis).
e. Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea.
f. Kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal.
g. Kulit kering
3.2.5. DIAGNOSIS
Diagnosis ulkus diabetika meliputi :
a. Pemeriksaan Fisik : inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka/ulkus
pada kulit atau jaringan tubuh pada kaki, pemeriksaan sensasi
vibrasi/rasa berkurang atau hilang, palpasi denyut nadi arteri dorsalis
pedis menurunatau hilang.
b. Pemeriksaan Penunjang : X-ray, EMG dan pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui apakah ulkus diabetika menjadi infeksi dan
menentukan kuman penyebabnya
3.2.6. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko terjadi ulkus diabetika pada penderita Diabetes mellitus
menurut Lipsky dengan modifikasi dikutip oleh Riyanto dkk.terdiri atas :
a. Faktor-faktor risiko yang tidak dapat diubah :
1) Umur 60 tahun.
2) Lama DM 10 tahun.
b. Faktor-Faktor Risiko yang dapat diubah :
(termasuk kebiasaan dan gaya hidup)
1) Neuropati (sensorik, motorik, perifer).
2) Obesitas.
3) Hipertensi.
4) Glikolisasi Hemoglobin (HbA1C) tidak terkontrol.
5) Kadar glukosa darah tidak terkontrol.
6) Insusifiensi Vaskuler karena adanya Aterosklerosis yang
disebabkan :
1.
Kolesterol Total tidak terkontrol.
2.
Kolesterol HDL tidak terkontrol.
3.
Trigliserida tidak terkontrol.
7) Kebiasaan merokok.
8) Ketidakpatuhan diet DM.
9) Kurangnya aktivitas Fisik.
10) Pengobatan tidak teratur.
34

11) Perawatan kaki tidak teratur.


12) Penggunaan alas kaki tidak tepat
3.2.7. PENATALAKSANAAN
1.
Pengelolaan farmakologis
1.
Insulin
a. Rapid acting insulin
Rapid action insulin adalah jenis insulin yang dikonsumsi sebelum
atau sesudah penderita diabetes makan. Berfungsi untuk mengontrol
lonjakan gula darah. Tipe insulin ini biasanya dipakai sebagai
tambahan dalam mengkonsumsi insulin yang bekerja lambat. Insulin
ini bekerja secara cepat setelah dikonsumsi hanya sekitar 15 menit
sampai 30 menit hingga 90 menit dan mampu bekerja selama 3-5 jam.
Keuntungan insulin ini dapat bekerja dengan sangat cepat.

Yang

termasuk dalam insulin ini adalah humalog (lispro), novoLog (aspart)


dan apidra (glulisine). (Soegondo, 2009)
b. Short action insulin
Insulin jenis ini biasanya memenuhi kebutuhan insulin saat makan
(bersamaan). Biasanya dikonsumsi 30 sampai 1 jam sebelum makan.
Jenis insulin berlaku dalam waktu sekitar 30 sampai 1 jam dan puncak
setelah dua sampai empat jam. Efeknya cenderung terakhir sekitar
lima sampai delapan jam. Keuntungan short acting insulin ini adalah
bahwa penderita tidak harus mengambil setiap kali makan. Selain itu
bisa mengambilnya saat sarapan dan makan malam dan masih
memiliki kontrol yang baik karena berlangsung sedikit lebih lama.
(Soegondo, 2009)
c. Intermediate acting insulin
Intermediate acting insulin dapat mengontrol kadar gula darah selama
sekitar12 jam atau lebih, sehingga dapat digunakan dalam semalam.
Insulin ini mulai bekerja dalam waktu 1 sampai 4 jam, dan puncak
antara 4 dan 12 jam tergantung merk. (Soegondo, 2009)
d. Long acting insulin
Long acting insulin memiliki onset 1 jam dan berlangsung selama 20
hingga 26 jam dengan tanpa puncak. Jenis insulin cenderung untuk
menutupi kebutuhan insulin sehari penuh. Hal ini sering diambil pada

35

waktu tidur. Long acting insulin ini menyediakan cakupan 24 jam dan
telah membantu untuk mencapai kontrol gula darah baik pada
diabetes tipe 2 hanya dengan satu obat. (Soegondo, 2009)
2.

Pemicu sekresi insulin


a. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk
pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh
diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang
tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang. (Soegondo, 2009)

b. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin
fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu:
Repaglinid

(derivat

asam

benzoat)

dan

Nateglinid

(derivat

fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian


secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. (Soegondo, 2009)
3.2.8. PENCEGAHAN DAN PENGELOLAAN
Pencegahan

dan

pengelolaan

ulkus

diabetikum

untuk mencegah

komplikasi lebih lanjut adalah :


1.
2.
3.
4.

Memperbaiki kelainan vaskuler


Memperbaiki sirkulasi.
Pengelolaan pada masalah yang timbul (infeksi, dll).
Edukasi perawatan kaki.

36

5.

Pemberian obat-obat yang tepat untuk infeksi (menurut


hasil laboratorium lengkap) dan obat vaskularisasi, obat untuk penurunan

6.
7.
8.

gula darah maupunmenghilangkan keluhan/gejala dan penyulit DM.


Olah raga teratur dan menjaga berat badan ideal.
Menghentikan kebiasaan merokok.
Merawat kaki secara teratur setiap hari, dengan cara :
a.
Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih.
b.
Membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air suam-suam
kuku dengan memakai sabun lembut dan mengeringkan dengan
c.

sempurna dan hati-hati terutama diantara jari-jari kaki.


Memakai krem kaki yang baik pada kulit yang kering atau tumit
yang retak-retak, supaya kulit tetap mulus, dan jangan menggosok

d.

antara jari-jari kaki (contoh: krem sorbolene).


Tidak memakai bedak, sebab ini akan menyebabkan kulit menjadi

e.

kering dan retak-retak.


Menggunting kuku hanya boleh digunakan untuk memotong kuku
kaki secara lurus dan kemudian mengikir agar licin. Memotong

f.

kuku lebih mudah dilakukan sesudah mandi, sewaktu kuku lembut.


Kuku kaki yang menusuk daging dan kalus, hendaknya diobati oleh
podiatrist. Jangan menggunakan pisau cukur atau pisau biasa, yang
bisatergelincir; dan ini dapat menyebabkan luka pada kaki. Jangan
menggunakan penutup kornus/corns. Kornus-kornus ini seharusnya

g.

diobati hanya oleh podiatrist.


Memeriksa kaki dan celah kaki setiap hari apakah terdapat kalus,

h.
i.

bula, luka dan lecet.


Menghindari penggunaan air panas atau bantal panas.
Menghindari trauma berulang, trauma dapat berupa fisik, kimia dan
termis, yang biasanya berkaitan dengan aktivitas atau jenis

j.

pekerjaan.
Menghidari pemakaian obat yang bersifat vasokonstriktor misalnya

k.

adrenalin, nikotin.
Memeriksakan diri secara rutin ke dokter dan memeriksa kaki
setiap kontrol walaupun ulkus diabetik sudah sembuh

37

BAB IV
ANALISIS MASALAH
Pasien Tn. S, 57 tahun datang dengan keluhan utama luka di kaki kanan
yang tidak sembuh sejak 2 minggu SMRS. Berdasarkan anamnesis, didapatkan
bahwa sekitar 2 minggu SMRS os mengeluh ada bentol merah di kaki kanan
seperti digigit nyamuk dan gatal. Os menggaruk dengan jari dan mengoreknya
dengan ujung jarum. Luka tersebut terasa nyeri dan tidak berbau. Luka berdarah,
dibersihkan dengan air biasa. 1 minggu SMRS, pasien mengeluh luka pada kaki
kanan terasa melebar. Pada luka tampak darah, nanah dan berbau busuk, namun
nyeri terasa berkurang. Pasien mengeluh badannya terasa lebih lemas sehingga
lebih sulit untuk bergerak. Pasien tidak mengeluh adanya demam, menggigil,
berkeringat banyak, gangguan penglihatan, pusing/sakit kepala, kesemutan pada
lengan dan tangan, nyeri ulu hati, mual, muntah, nyeri dada, sesak nafas, batuk.
1 hari SMRS luka semakin merah, bernanah, dan berbau busuk, demam tidak
terlalu tinggi, badan lemas, kepala pusing, dan nafsu makan makin menurun. Os
mengaku sebelumnya menderita sakit kencing manis sejak 2 tahun yang lalu. Os
mengaku sering merasa lapar dan haus, makan dengan porsi lebih banyak dari
sebelumnya namun bertambah kurus, sering BAK, namun tidak ada perubahan
warna BAK. Os kemudian mengecek gula darahnya sendiri dan didapatkan kadar
gula darah yang tinggi namun os lupa berapa kadarnya.

38

Diagnosis diabetes mellitus tipe 2 pada pasien ini ditegakkan berdasarkan


gejala adanya polidipsi, poliphagi dan poliuri, penurunan berat badan serta kadar
glukosa darah sewaktu >200mg/dL. Diagnosis ulkus diabetikum pada pasien ini
ditegakkan berdasarkan anamnesis dimana didapatkan pasien telah mengidap DM
sejak lama dan luka yang tidak kunjung sembuh dengan pengobatan disertai
gejala-gejala neuropati dan angiopati perifer, serta pada pemeriksaan fisik
didapatkan ulkus pada kaki kanan. Adanya angiopati, neuropati, dan infeksi inilah
yang menyebabkan ulkus pada kaki pasien DM sulit sembuh.
Tabel 4.1. Kriteria Diagnosis DM

Pada pasien dibetes mellitus dapat terjadi angiopati yang dapat


menyebabkan penurunan suplai nutrisi dan oksigen sehingga menyebabkan luka
yang sukar sembuh. Proses angiopati pada penderita diabetes mellitus berupa
penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer akibat kadar gula darah
yang tinggi. Angiopati sering terjadi pada tungkai bawah terutama kaki, akibat
perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi berkurang kemudian timbul
ulkus kaki diabetes jika terjadi luka.
Faktor risiko yang ditemukan pada pasien ini adalah riwayat merokok
selama 15 tahun sekitar 3 batang per hari. Merokok menyebabkan kerusakan
endotel kemudian terjadi penempelan dan agregasi trombosit yang selanjutnya
terjadi kebocoran sehingga lipoprotein lipase akan memperlambat clearance

39

lemak darah dan juga mempermudah timbulnya aterosklerosis. Aterosklerosis dan


angiopati menyebabkan insufisiensi vaskuler sehingga aliran darah ke arteri
dorsalis pedis, poplitea, dan tibialis menurun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 90
kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, laju pernafasan 20 kali/menit, tipe
pernapasan torakoabdominal, suhu 36,7oC. Pemeriksaan khusus tidak didapatkan
kelainan. Pada status lokalis regio plantar pedis dextra didapatkan ulkus ukuran
3cm x 2cm, bentuk ireguler, tepi ireguler, dasar otot, jaringan granulasi (+),
jaringan nekrotik (-), darah (+), pus (+), krusta (+), bau (+), eritema (+), nyeri
tekan (+). Pada regio dorsum pedis dextra tampak ulkus ukuran 5 cm x 4 cm,
bentuk ireguler, tepi ireguler, dasar otot, jaringan granulasi (+), jaringan nekrotik
(+), darah (+), pus (+), bau (+), eritema (+), nyeri tekan (+). Pada pedis dekstra,
pulsasi arteri tibialis posterior dan dorsalis pedis sulit dinilai sedangkan pulsasi
arteri politea baik. Pada pedis sinistra, pulsasi arteri poplitea, tibialis posterior, dan
dorsalis pedis baik. Gambaran luka berupa adanya ulkus diabetik pada telapak
kaki kanan belum mencapai tendon atau tulang sehingga kaki diabetik pada
penderita ini mungkin dapat dimasukkan pada derajat II klasifikasi kaki diabetik
menurut Wagner dimana terdapat ulkus dalam tanpa terlibat tulang/pembentukan
abses.
Pasien yang mengalami diabetes mellitus sejak lama dan mengalami ulkus
diabetikum perlu dicurigai telah mengalami komplikasi. Pasien ini telah diketahui
mengalami neuropati. Untuk mengetahui adanya retinopati, pasien ini dikonsulkan
ke bagian mata dan untuk menilai nefropati perlu dilakukan pemeriksaan fungsi
ginjal. Pada pasien ini juga dilakukan pemeriksaan Ankle-Brachial Index (ABI)
dan didapatkan hasil normal pada kaki kiri, sehingga diagnosis peripheral arterial
disease (PAD) dapat disingkirkan untuk sementara. Pemeriksaan ABI sebaiknya
dilakukan mengingat perubahan-perubahan metabolik pada diabetes akan
berpengaruh pada perubahan struktur dan fungsi dinding arteri yang dapat
menyebabkan PAD.

40

Secara umum, prinsip perawatan ulkus kaki diabetes pada pasien ini
dilakukan melalui Metabolic control, Vascular control, Infection control, Wound
control, Pressure control, dan Education control.

Metabolic control
Kontrol metabolik utama pada pasien ulkus diabetikum adalah kontrol
glukosa darah akibat DM tipe 2. Pada umumnya, tatalaksana farmakologis
diabetes mellitus tipe 2 adalah obat hipoglikemik oral (OHO), seperti Metformin,
sulfonilurea, acarbose, dan lain-lain. Namun, pada pasien ini penggunaan insulin
harus diterapkan karena pasien memiliki riwayat penggunaan obat glibenklamid 1
x 5 mg selama kurang lebih 5 tahun namun kadar gula gagal terkontrol dan timbul
komplikasi ulkus diabetikum. Indikasi pemberian insulin pada pasien ini dapat
dilihat dari tabel dibawah ini.
Tabel 4.2. Indikasi Pemberian Insulin

Berdasarkan lama kerjanya, insulin dibagi menjadi 4 macam yaitu, kerja


cepat, kerja pendek, kerja menengah, dan kerja panjang. Umumnya para klinisi
menggunakan kombinasi insulin kerja cepat dengan kerja panjang atau insulin
kerja pendek dengan kerja menengah. Pada pasien ini, kami berikan kombinasi

41

insulin kerja panjang berupa insulin detemir (Levemir) dan insulin kerja cepat
berupa aspart (Novorapid). Tujuan pemberian insulin detemir adalah mengontrol
kadar gula basal yang dihasilkan oleh hepar atau otot melalui glukoneogenesis dan
glikolisis sedangkan pemberian insulin aspart ditujukan untuk mengontrol kadar
gula prandial sehingga diberikan sesaat sebelum makan.
Dosis pemberian insulin pada kasus ini menggunakan dosis IHT (Insulin
Harian Total) menurut Cheng dan Ziemann (2005). Dosis IHT adalah 0,5 unit x
berat badan (kg) yang kemudian dibagi menjadi IPT (Insulin Prandial Total) yaitu
60% IHT dibagi menjadi 3 yaitu dosis sarapan, dosis makan siang, dan dosis
makan malam dimana masing-masing adalah 1/3 dari IPT dan IBT (Insulin Basal
Total) yaitu 40% IHT. Dengan berat badan 49 kg, pasien ini diberikan dosis IHT
berupa 24,5 unit/hari dibulatkan ke 25 unit/hari dengan dosis IHT berupa 15 unit
dibagi dalam 3 dosis menjadi 3x5 unit dan dosis IBT 10 unit. Dosis yang
diberikan dibulatkan ke atas menjadi bilangan genap untuk memudahkan
penggunaan pen insulin yang menggunakan skala dosis bilangan genap. Dosis
pemberian insulin dapat ditingkatkan apabila dosis yang digunakan tidak adekuat
(dipantau melalui kurva BSS). Dosis insulin dapat ditingkatkan 2-4 unit dari dosis
awal apabila tidak ada penurunan glukosa dalam 3 hari. Secara skematis, dosis
pemberian insulin dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 4.1. Skema Dosis Pemberian Insulin


42

Berdasarkan

hasil

laboratorium,

pasien

memiliki

kesan

anemia.

Berdasarkan perhitungan nilai hemoglobin, hematokrit, dan eritrosit pasien,


didapatkan nilai MCV, MCH, dan MCHC sebagai berikut:

MCV

Ht
28
10
10 72, 35 fl(normositer : 80 100 fl)
Eritrosit
3,87

MCH

Hb
9, 7
10
10 25, 06 pg(normokrom: 27 31pg)
Eritrosit
3,87

MCHC

Hb
9, 7
10
10 25gr / dl(normal32 36gr / dl)
Ht
3,87

Pada perhitungan MCV, MCH, dan MCHC, didapatkan hasil anemia


hipokrom mikrositer. Anemia hipokrom mikorsiter dapat disebabkan oleh
defisensi besi, penyakit kronik, dan malnutrisi. Pada anemia karena defisiensi besi
dapat terjadi hipokrom mikrositer karena kurangnya heme sehingga mengganggu
proses pembentukan hemoglobin. Pasien ini belum dapat diketahui apakah terjadi
defisiensi besi atau tidak, namun karena pasien terjadi malnutrisi, maka dapat
dipikirkan adanya defisiensi besi, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan ferritin
dan TIBS. Pada penyakit kronis, anemia dapat disebabkan karena hematological
stress syndrome, yang diinduksi oleh aktivasi makrofag dan limfosit sebagai
respon terhadap kerusakan jaringan, infeksi, inflamasi kronik. Aktivasi ini
menyebabkan sekuestrasi berlebihan dari makrofag terhadap Fe, dan Fe terikat
protein, peningkatan destruksi eritrosit oleh lien, dan supresi erythroid stem cell.
Bila terdapat malnutrisi, anemia hipokrom mikrositer dapat terjadi karena
kurangnya protein dalam pembentukan Hb. Selain itu juga dapat terjadi
terhambatnya perubahan T4 menjadi T3 menimbulkan hipotiroidisme fungsional
dan gangguan produksi eritropoetin. Transfusi darah dapat dipikirkan karena
anemia dapat mengganggu proses penyembuhan pada ulkus diabetikum. Pada
pasien ini belum diberikan transfusi karena indikasi transfusi adalah Hb < 7 gr/dl,
atau Hb 7-8 gr/dl dengan symptomatic anemia (fatique, weakness, dizziness,

43

shortness of breath, reduced exercise tolerance, gangguan perfusi). Tatalaksana


anemia penyakit kronis pada kasus ini dapat dicapai dengan tatalaksana ulkus
diabetikum pasien, apabila luka yang diobati tidak kunjung membaik, dapat
dipikirkan transfusi darah.
Pada

pemeriksaan

laboratorium

albumin

didapatkan

kesan

hipoalbuminemia (2,6 g/dL). Hubungan antara hipoalbuminemia dengan hasil


akhir yang buruk telah memotivasi para klinisi untuk memberikan albumin
eksogen

pada

pasien

dengan

hipoalbuminemia.

Human

albumin

telah

diindikasikan untuk terapi hipoalbuminemia di Amerika Serikat dan negara


lainnya. Hipoalbuminemia dapat terjadi akibat produksi albumin yang tidak
adekuat (malnutrisi, luka, dan infeksi), katabolisme yang berlebihan, kehilangan
albumin dari tubuh, hemoragik, eksresi ginjal yang berlebihan, redistribusi dalam
tubuh (kondisi inflamasi). Pada pasien ini, penyebab hipoalbumin dapat
dipikirkan akibat infeksi pada ulkus diabetikum. Umumnya tatalaksana utama
hipoalbuminemia dapat dilakukan melalui pengaturan diet dan tatalaksana
penyebabnya namun pada beberapa kasus hipoalbuminemia yang disertai dengan
cedera, infeksi atau inflamasi, tatalaksana penyebabnya tidak dapat memperbaiki
kadar albumin plasma secara cepat dan suplemen nutrisi seringkali gagal untuk
memperbaiki kadar serum albumin sehingga diperlukan albumin eksogen. Pada
pasien ini, kami berikan human albumin 20% (20 gr/100 ml) sebanyak 2 kali (40
gr) berdasarkan koreksi albumin sebagai berikut.

Koreksi Albumin = 0,8 BB Albumin Target-Albumin Sekarang = 0,8 49 3, 5 2, 6 35, 28gr


Regulasi kalsium sangat penting untuk fungsi normal sel, transmisi saraf,
stabilitas membran, struktur tulang, pembekuan darah, dan sinyal intraseluler.
Fungsi penting dari kation divalen ini terus dijelaskan, terutama pada gangguan
neuropati dan penyembuhan ulkus diabetikum. Pada hasil laboratorium pasien ini
didapatkan kesan hipokalsemia (7,4 mg/dl). Kalsium serum dalam vaskular
dibawa oleh protein pembawa, umumnya berupa albumin. Oleh karena itu, pada
pasien dengan hipoalbuminemia, didapatkan kadar serum kalsium yang rendah.
Koreksi kalsium dapat diperoleh melalui formula berikut.
44

Kalsium sebenarnya = Kalsium serum + (3,5 - Albumin serum)


Kalsium sebenarnya = 7,4 mg/dl + (3,5 - 2,6) = 8,3 mg/dl
Kadar kalsium sebenarnya pada pasien ini adalah 8.3 mg/dl sehingga pada
pasien ini terjadi hipokalsemia (8,4-9,7 mg/dl). Oleh karena itu, tatalaksana
hipokalsemia dengan menggunakan supplemen kalsium ( CaCO 3 ). Koreksi
hipokalsemia pada pasien ini juga dapat dilakukan dengan mengatasi
hipoalbuminemianya.
Pada pasien ini kadar natrium dan kalium dalam batas normal sehingga
tidak perlu dikoreksi.
Vascular Control
Pada pasien diabetes mellitus dengan ulkus, resiko PAD meningkat seiring
usia, durasi penyakit DM, dan adanya neuropati perifer. PAD (Peripheral Arterial
Disease) adalah penyakit oklusi aterosklerosis pada ekstermitas inferior.
Umumnya gejala berupa klaudasio intermitten, yaitu nyeri, kram, atau gatal pada
betis, paha, atau bokong yang muncul atau dicetuskan dengan berjalan dan hilang
dengan istirahat.
Penyebab umum PAD pada pasien DM disebabkan disfungsi uptake
glukosa oleh trombosit dalam keadaan hiperglikemia dan hasilnya terjadi
peningkatan stres oksidatif. Akibatnya, agregasi platelet ditingkatkan pada pasien
dengan diabetes. Penggunaan asam asetilsalisilat sebagai antiplatelet telah
direkomendasikan oleh beberapa klinisi untuk pencegahan penyakit PAD.
Infection Control
Perawatan luka pada ulkus diabetikum dapat dibantu dengan mengatasi
infeksi. Pemberian antibiotik yang paling tepat dalam mengatasi infeksi adalah
berdasarkan hasil kultur. Sementara menunggu hasil kultur, umumnya pasien
diberikan antibiotik secara empiris. Adapun prinsip-prinsip penggunaan antibiotik
pada ulkus diabetikum.
1. Pilihlah antibiotik yang paling potent terhadap bakteri - bakteri ditempat yang

45

dicurigai sebagai lokasi (site infeksi).


2. Harus diketahui potensi antibiotik yang kita pilih terhadap bakteri -bakteri
tertentu. Antibiotik yang mempunyai potensi baik, memungkinkan pemberian
dosis yang kecil khususnya pada infeksi yang ringan - sedang.
3. Spektrum antibiotik. Pada infeksi yang dalam dan mengancam jiwa biasanya
penyebabnya polymicrobial. Sehingga gunakan antibiotik yang melawan
aerob gram positif, aerob gram negatif, dan anaerob.
Pada umumnya, infeksi pada ulkus diabetikum yang dalam dan
mengancam mempunyai penyebab berupa polimikrobial, terdiri dari Aerobic gram
negatif, gram positif (E coli, Klebsiella sp, Proteus sp), dan anaerob ( Bacteriodes
sp, Peptostreptcoccus sp). Pada pasien ini kami berikan kombinasi antibiotik
secara intravena berupa antibiotik ceftriaxone 2 x 1 gr IV dan metronidazole 4 x
500 mg IV. Ceftriaxone mempunyai kerja broad spectrum, yang poten untuk
bakteri gram positif dan terutama gram negatif. Untuk mengatasi bakteri anaerob
pada ulkus diabetikum, kami berikan antibiotik metronidazole. Selain itu dapat
dipikirkan penggunaan asetaminofen pada pasien ini jika ada demam.
Wound Control
Tatalaksana umum untuk Wound Control pada pasien ini adalah perawatan
luka. Perawatan luka dilakukan mencuci luka dengan NaCl 0,9% per hari.
Penggunaan NaCl 0,9% untuk mencuci luka karena merupakan cairan steril dan
isotonis terhadap tubuh dan dapat membuang jaringan terinfeksi dan nekrotis
secara teratur. Setelah itu, luka dikompres luka dengan NaCl 0,9% per hari agar
kondisi luka lembab (tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah) kurang lebih 10
menit untuk mempercepat fase proliferasi penyembuhan luka. Ganti perban
dilakukan per hari untuk menjaga luka tetap bersih (fasilitasi proses penyembuhan
luka). Evaluasi derajat luka harus dilakukan per hari untuk mengevaluasi
pengobatan yang dilakukan.
Berdasarkan klasifikasi Wagner, dapat ditentukan tindakan yang tepat
sesuai dengan derajat ulkus yang ada. Pada pasien ini, terdapat ulkus yang dalam
disertai selulitis tanpa abses atau kehilangan tulang sehingga dikatakan derajat II.

46

Pada derajat I-IV hanya dilakukan pengelolaan medik dan tindakan bedah minor
tanpa dilakukannya bedah mayor misalnya amputasi.
Untuk mengatasi banyaknya debris dan luka ulkus yang dalam, pasien ini
kami rencanakan tindakan bedah minor, yaitu debridement. Debridement
merupakan tahapan yang penting dalam proses penyembuhan luka dengan
membuang jaringan mati, jaringan hiperkeratosis dan membuat drainase yang
baik, dan jika diperlukan dilakukan secara berulang. Harus diketahui bahwa tidak
ada obat-obatan topikal yang dapat menggantikan debridement yang baik dengan
teknik yang benar dan proses penyembuhan luka selalu dimulai dari jaringan yang
bersih. Sebelum debridement, kondisi yang harus diperhatikan adalah keadaan
umum serta serum protein > 6,2 g/dl, serum albumin >3,5 g/dl, total limfosit
>1500 sel/mm3.
Pressure Control
Mengurangi tekanan yang diterima kaki saat berjalan diperlukan pada
penderita DM dengan atau tanpa ulkus diabetikum. Tekanan yang berulang dapat
menyebabkan ulkus, sehingga harus dihindari. Hal itu sangat penting dilakukan
pada ulkus neuropatik, dan diperlukan pembuangan kalus dan memakaikan sepatu
yang pas yang berfungsi untuk mengurangi tekanan.

Education control
Pada pasien diberi edukasi mengenai pengertian penyakitnya dan
diharuskan kontrol minimal 1x/6 bulan bila pulang dari rumah sakit. Penderita
Diabetes Melitus pada intinya mengikuti rumus 3 J: jumlah dihabiskan, jadwal
diikuti, dan jenis dipatuhi. Selain itu, olahraga teratur minimal 3x seminggu
dengan durasi 120 menit dan jenis aerobik (jalan pagi) diwajibkan untuk
meningkatkan kepekaan insulin pada sel-sel otot serta menjaga berat badan yang
ideal. Komplikasi akut hipoglikemia harus diketahui oleh pasien dan keluarga
pasien akibat penggunaan insulin yang tidak tepat. Pasien juga diberitahukan
kapan pasien harus dibawa ke rumah sakit kembali atau hanya dilakukan
penatalaksanaan di rumah (minum air gula atau tablet gula). Tanda-tanda KAD
47

(Ketoasidosis diabetikum) juga harus diperhatikan dan bila ditemukan sebaiknya


langsung dirujuk ke rumah sakit. Pembatasan cairan pada pasien ini dilakukan
untuk mengatasi hiponatremi dengan meminta pasien minum secukupnya.
Menggunakan alas kaki saat berjalan, membersihkan dan cuci kaki setiap hari,
mengeringkan, terutama di celah jari kaki dan memeriksa kaki dan celah kaki
setiap hari harus dilakukan mengingat keadaan neuropati yang dimiliki
pasien.Pasein juga diwajibkan untuk berhenti merokok untuk mengurangi stress
oksidatif yang dapat merusak saraf dan pembuluh darah pasien yang berkontribusi
pada kejadian PAD dan lainnya.
Rencana pemeriksaan pada pasien ini adalah cek darah rutin, elektrolit,
fungsi hati dan ginjal, profil lipid, dan kurva BSS untuk mengontrol kadar gula
darah dan faktor resiko dispilidemia dan mengevaluasi pengobatan serta
komplikasi sistemik lainnnya. HbA1C untuk melihat kontrol glukosa darah
selama 3 bulan terakhir, urinalisa dan sedimen urin untuk mengevaluasi
komplikasi nefropati pada diabetes mellitus, serta konsultasi ke bagian neurologi
dan mata untuk menilai komplikasi neuropati dan retinopati. Prognosis pada
pasien ini adalah bonam untuk vitam, malam untuk fungsionam, dan dubia untuk
sanasionam.

48

DAFTAR PUSTAKA
Djokomoeljanto. Tinjauan Umum tentang Kaki Diabetes. Dalam: Djokomoeljanto
dkk, editor, Kaki Diabetik Patogenesis dan Penatalaksanaannya, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 1997.
Djoko W. Diabetes Melitus dan Infeksi. Dalam : Noer, dkk, editors, Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid I, Edisi ketiga, Penerbit FK UI, Jakarta, 1999.
Guyton, A, 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, Jakarta : EGC (pp.
699-709)
Misnadiarly. Diabetes Mellitus : Ulcer, Infeksi, Ganggren. Penerbit Populer
Obor,Jakarta, 2006.
Riyanto B. Infeksi pada Kaki Diabetik. Dalam : Darmono, dkk, editors. Naskah
Lengkap Diabetes Mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit dalam,
dalam rangka Purna Tugas Prof Dr.dr.RJ Djokomoeljanto. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro Semarang, 2007. p.15-30.
Subekti I. Neuropati Diabetik. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu PenyakitDalam,
Jilid III, Edisi keempat, Penerbit FK UI, Jakarta, 2006.
Soegondo, Sidartawan. 2009. Ilmu Penyakit Dalam : Farmakoterapi pada
Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2. Jakarta : FKUI (pp. 18841890)
Waspadji S. Kaki Diabetes. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid III, Edisi keempat, Penerbit FK UI, Jakarta 2006.

49

S-ar putea să vă placă și