Sunteți pe pagina 1din 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistemik

Lupus

Eritematosus

(SLE)

adalah

penyakit

yang

penyebabnya tidak diketahui, dengan terjadinya kerusakan pada


jaringan atau sel akibat autoantibodi atau imun kompleks langsung
terhadap satu atau lebih komponen inti. Kejadinnya 90% pada wanita,
sekitar 500 pada masa subur. Masa hidup akibat penyakit ini dengan
lama 10 tahun sebesar 75% dan dengan lama 20 tahun sebesar 50%.
Penyebab kematiannya adalah infeksi sampai sepsis, lupusflares
(serangan mendadak), kegagalan organ vital, atau penyakit jantung.
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang
seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang
masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti
ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena
organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan
lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat
kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat,
dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
Faktor pencetusnya adalah faktor keturunan, akibat pengaruh
lingkungan, atau keadaan abnormal hormone seksual. Bukti faktor
keturunannya

adalah

kejadiannya

lebih

besar

pada

monozigot

dibandingkan dizigot. Sekitar 10% dapat terjadi pada lingkungan


keluarga.
Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini
disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui
sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan
kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh
penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya
kebutuhan

penderita

SLE

dan

keluarganya

tentang

informasi,

pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena itu
penting

sekali

meningkatkan

kewaspadaan

masyarakat

tentang

dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak


psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk penderita maupun
keluarganya. Kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk
menemukan obat-obat penyakit SLE yang baru, aman dan efektif,
dibandingkan dengan penyakit lain juga merupakan masalah tersendiri
(Yayasan Lupus Indonesia).

B. Rumusan Masalah
1. Apa konsep Teori SLE?
2. Bagaimana Konsep Askep SLE?
C. Tujuan
1. Memenuhi tugas mata kuliah KMB
2. Mengetahui konsep teori tentang penyakit SLE.
3. Mengetahui Askep SLE.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian
SLE (Systemic Lupus Erythematosus) merupakan penyakit radang
atau

inflamasi

multisistem yang

disebabkan

oleh

banyak

faktor

(Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan


disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem
produksi

autoantibodi

Terbentuknya

yang

autoantibodi

berlebihan

terhadap

dsDNA,

imun

dan

(Albar, 2003).
berbagai

macam

ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat


menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau
penyakit auto imun, dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi
yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati,
sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam
tubuh
B. Etiologi
1. Genetik
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting
dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% 20%
pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang
menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik
(24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%).
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan
antara

lain

haplotip

MHC

terutama

HLA-DR2

dan

HLA-DR3,

komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi


pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta
gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin
(Albar, 2003) .
2. Lingkungan
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu
sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar
sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut

serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat


diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi
lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini
direspon

sebagai

benda

asing

oleh

tubuh

sehingga

tubuh

membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang


benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
3. Makanan
Seperti wijen (alfafa sprouts) yang

mengandung

asam

amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan


B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002).
4. Infeksi virus dan bakteri
Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan
perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan
peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit
nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE

(Herfindalet al.,

2000).
C. Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid
lupus,systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh
obat.
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas
eritema

yang

meninggi,

skuama,

sumbatan

folikuler,

dan

telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan,


punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan
karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian
tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn,
2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem
yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998)
dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun
berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan

(Albar,

2003).

Terbentuknya

autoantibodi

terhadap

dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel


darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar,
2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya
pada

asetilator

menyebabkan

lambat

asetilasi

yang
obat

mempunyai
menjadi

gen

lambat,

HLA

obat

DR-4
banyak

terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat


untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai
benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut
(Herfindal et al., 2000
D. Manifestasi Klinis
Tanda atau gejala lainnya dari SLE telah dinyatakan oleh American
College of Rheumatology yaitu 11 kriteria untuk klasifikasi SLE.
Kesebelas kriteria tersebut antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Ruam malar
Ruam discoid
Fotosensitivitas (sensitivitas pada cahaya)
Ulserasi (semacam luka) di mulut atau nasofaring
Artritis
Serositis (radang membran serosa), yaitu pleuritis (radang pleura)

atau perikarditis (radang perikardium)


7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria (adanya protein pada urin)
persisten >0.5 gr/hari
8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang
9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik atau leucopenia
10.
Kelainan imunologik, yaitu ditemukan adanya sel LE positif
atau anti DNA positif
11.
Adanya antibodi antinuklear.
Selain itu, gejala atau tanda lainnya yang sering ditemukan antara lain
penurunan berat badan, demam, dan kelainan tulang seperti pada
arthritis.
E. Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan
aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi,

hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan


kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B
disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal
dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus,
fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA
dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau
berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses
oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui
molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan
mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk
autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs
dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4
(Epstein, 1998).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel
Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2
menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi
antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang
diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga
mengganggu

cell-mediated immunity.

Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya


produksi

IL-2

dan

hilangnya

respon

terhadap

rangsangan

pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T


(Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat
berupa

gangguan

fungsi

limfosit

dan

B,

NKC,

dan

APCs.

Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena


antibodi

antilimfosit

T.

Peningkatan

sel

yang

teraktivasi

menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan


dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2,
mengalami

peningkatan

sedangkan

CR1

menurun

(Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock
protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan
terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan
terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+
(supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan
peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan
CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan
menyediakansignal bagi

CD8+

(Isenberg

and

Horsfall,

1998).

Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset


tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan
menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif.
Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double
negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi
(Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka
tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen
integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan
kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu
pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam
membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan
kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen
jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen
akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang
terakhir

adalah

autoantibodi

menempel

pada

membran

dan

menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel


atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel
dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui
mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens
kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan
penurunan up-take kompleks

imun

pada

limpa

(Albar,

2003).

Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1


dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena

lemahnya

ikatan

reseptor

FcRIIA

dan

FcRIIIA.

Hal

ini

juga

berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4.


Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan
antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun
(Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ sehingga terjadi
fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan
aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi
yang

menimbulkan

reaksi

radang.

Reaksi

radang

inilah

yang

menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang


bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan
sebagainya (Albar, 2003).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat
menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti
klorpromazin

yang

menginduksi

apoptosis

sel

limfoblas)

dapat

meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel


dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti
serta

kontraksi

sitoplasma. Phosphatidylserine (PS)

yang

secara

normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di


bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP,
SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel
fagosit

melalui

reseptor

membran

seperti

transporter

ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor V3, CD36, CD14,


lektin,

dan mannose

antiinflamasi.

receptor(MR)

Sedangkan

dengan autoantibodi

pada

SLE

yang
yang

menghasilkan
terjadi

sitokin

adalah ikatan

yang kemudian akan berinteraksi dengan

reseptor FcR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain


gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE
juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas
dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).
F. Komplikasi
Yang menjadi komplikasi dari SLE adalh sebagai berikut.

a. Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita


LES. Gagal ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks antibodiantigen pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen resultan
yang

menyebabkan

cedera

sel,

suatu

contoh

reaksi

hipersensitivitas tipe III


b. Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikadium yang
mengelilingi jantung)
c. Peradangan membran

pleura

yang

mengelilngi

paru

dapat

membatasi perapasan. Sering terjadi bronkhitis.


d. Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer.
e. Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang.
Perubahan kepribadian, termasuk psikosis dan depresi dapat
terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi
obat atau penyakitnya (Elizabeth, 2009).
G. Penatalaksanaan Medis
1. Tes Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan:
a. Hematologi: ditemukan anemia, leukopenia, trombositopenia
b. kelainan imunologis: ditemukan sel LE, antibodi antinuklear,
komplemen serum menurun trioglobulin, faktor reumatoid dan
uji terhadap lues yang positif (semu).
Pemeriksaan khusus
a. Biopsi ginjal
b. Biopsi kulit
c. Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG
granular pada dermaepidermal junction, baik pada lesi kulit yang
aktif (90%) maupun pada
Evaluasi Diagnostik

kulit yang tidak terkena (70%).

Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang


lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup
demam, keletihan serta penurunan berat badan dan kemungkinan
pula artritis, peuritis dan perikarditis. Pemeriksaan serum : anemia
sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia
dan antibodi antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik
lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis.
2. Terapi

a. Obat-obatan non-steroidal anti inflammatory, seperti ibuprofen


(advil & motrin), naproxen, naprosyn (aleve), clinoril, feldene,
voltaren membantu mengurangi peradangan dan sakit pada otototot, sendi-sendi, dan jaringan-jaringan lain.
b. Obat-obatan corticosteroid, seperti prednison,

prednisolone,

medrol, deltasone, cortison. dapat mengurangi peradangan dan


memugarkan kembali fungsi ketika penyakit aktif. Corticosteroids
terutama

berguna

ketika

organ-organ

internal

terlibat.

Corticosteroids dapat diberikan secara oral, disuntikkan langsung


kedalam sendi-sendi dan jaringan-jaringan lain, atau dimasukkan
melalui urat nadi (intravenously). Sayangnya, corticosteroids
mempunyai efek-efek sampingan yang serius jika diberikan
dalam dosis tinggi untuk periode-periode waktu yang panjang,
termasuk penambahan berat badan, penipisan dari tulang-tulang
dan kulit, infeksi, diabetes, muka yang bengkak, katarak, dan
kematian (necrosis) dari sendi-sendi besar.
c. Obat-obatan anti malaria sangat efektif untuk persendian yang
sakit, luka kulit dan borok di dalam hidung atau mulut, dan gejala
kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan. Obat anti malaria
yang sering diberikan adalah plaquonil (hydroxichloroquine).
Efek-efek sampingannya meliputi diare, gangguan perut, dan
perubahan-perubahan

pigmen

mata.

Perubahan-perubahan

pigmen mata adalah jarang, namun memerlukan pengawasan


(monitoring), dan mengurangi secara signifikan frekuensi dari
gumpalan-gumpalan darah abnormal pada pasien-pasien dengan
SLE sistemik.
d. Immunosuppressants/ chemotherapy. Obat ini untuk menyetop
over aktifitas sistem kekebalan dan juga membantu membatasi
kerusakan yang terjadi dan mengembalikan fungsi organ. (lupus
bukan sejenis cancer) disebut obat-obat cytotoxic. Obat-obat
peneken imunitas digunakan untuk

merawat pasien-pasien

dengan manisfestasi-manifestasi yang lebih berat dari SLE


dengan kerusakan pada organ-organ internal. Contoh-contoh dari
obat-obat

peneken

kekebalan

termasuk

methotrexate

(Rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran), cyclophosphamide


(Cytoxan),

chlorambucil

(Leukeran),

dan

cyclosporine

(Sandimmune). Semua obat-obat peneken kekebalan dapat


menekan secara serius jumlah sel darah dan meningkatkan risiko
infeksi dan perdarahan. Efek-efek sampingan lainnya adalah khas
untuk setiap obat. Contohnya, Rheumatrex dapat menyebabkan
keracunan hati, sedangkan Sandimmune dapat menggangu
fungsi ginjal.
e. Penelitian baru-baru ini mengindikasikan keuntungan-keuntungan
dari rituximab (Rituxan) dalam merawat lupus. Rituximab adalah
suatu antibodi yang diinfus melalui urat nadi yang menekan
suatu sel darah putih yang tertentu, sel B, dengan mengurangi
jumlahnya

didalam

sirkulasi.

Sel-sel

telah

ditemukan

memainkan suatu peran pusat pada aktivitas lupus, dan ketika


mereka ditekan, penyakitnya cenderung menuju remisi.
f. Pada pertemuan National Rheumatology tahun 2007, ada suatu
makalah yang disajikan menyarankan bahwa tambahan makanan
dari minyak ikan omega-3 dalam dosis rendah dapat membantu
pasien-pasien lupus dengan mengurangi aktivitas penyakit dan
kemungkinan mengurangi risiko penyakit jantung.
g. Obat-obatan yang sebaiknya dihindari penderita lupus
Tidak ada obat yang sangat tepat atau sangat tidak tepat bagi
pasien SLE. Harus memperhatikan faktor alergi terhadap obatobatan tertentu, dan mempelajari hubungan antara

masa

kambuh dan hormon estrogen atau pil KB. Pasien terutama harus
berhati-hati pada obat-obatan antibiotik sulfa(Bactrim, gantrisin,
septra) sering diberikan pada orang yang mengalami gangguan
infeksi pada saluran kencing, dan dapat menambah kepekaan
penderita

lupus

terhadap

sinar

matahari,

mengakibatkan

rendahnya jumlah darah merah yang biasanya diikuti kambuhnya


penyakit

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN SLE
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi nama lengkap, tempat tanggal lahir, umur, alamat, asal
suku bangsa, pekerjaan, status.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama : Mengeluhkan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya
hidup serta citra diri pasien
b. Riwayat kesehatan saat ini : adanya tanda dan gejala klinis
berupa demam, malaise, nyeri sendi, mialgia,

kelelahan, dan

hilangnya kemampuan kognitif sementara.


c. Riwayat penyakit dahulu : mengidentifikasi adanya faktor-faktor
penyulit atau faktor yang membuat kondisi pasien menjadi lebih
parah.
d. Riwayat penyakit keluarga : adakah penyakit yang diderita oleh
anggota keluarga yang mungkin ada hubungannya dengan
penyakit

klien

sekarang.

Adanya

anggota

keluarga

yang

menderita penyakit lupus.


e. Kondisi lingkungan tempat tinggal : apakah tempat tinggal klien
langsung terpapar dengan sinar UV atau matahari.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Integumen

Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu
yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat
mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
b. Sistem Kardiovaskuler
Friction rub pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi
pleura. Lesi eritematosus papuler dan purpura yang menjadi
nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari
tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan.
c. Sistem Muskoloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeriketika bergerak,
rasa kaku pada pagi hari.
d. Sistem Paru
Pleuritis atau efusi pleura
e. Sistem Vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematosus dan purpura di ujung jari kaki, tangan,
siku sreta permukaan ekstensor bawah.
f. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
g. Sistem Saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang,
korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
B. Diagnosa
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan dispnea
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber
informasi
C. Intervensi

No

Diagnosa

Tujuan

dan Intervensi

Keperawata

Kriteria Hasil

Rasional

n
1.

Nyeri

Tujuan :

Mandiri :

berhubunga 1)

Gangguan

nyeri

dengan

dapat

1. Kaji
Nyeri

Keluhan
:

1. Nyeri

hampir

selalu

ada

pada

inflamasi
dan

2)

teratasi
Perbaikan
dalam tingkat

kerusakan

kenyamanan

jaringan.

Kriteria Hasil :
Skala Nyeri : 110

Pencetus, catat

beberapa

lokasi,

derajat

karakteristik,

beratnya

dan

keterlibatan

intensitas

(skala nyeri 110).


2. Tutup

akan
luka

sesegera

biasanya
berat

selama

kecuali

penggantian

perawatan luka
metode

pemajanan
pada

udara

terbuka.
3. Pertahankan
suhu

penghangat,
penutup tubuh
hangat.
4. Lakukan

dan

gerakan

udara

dapat

menyebabkan
hebat

ujung saraf.
3. pengaturan
suhu

dapat

hilang karena
luka

penggantian
balutan

dan

debridemen
setelah pasien
obat

dan/atau pada
hidroterapi.
5. Dorong
perasaan

debridemen.
2. suhu berubah

pemajanan

berikan lampu

ekspresi

dan

pada

nyaman,

beri

balutan

nyeri

lingkungan

di

tetapi,

paling

mungkin

bakar

jaringan/kerus

bakar

mayor.
Sumber
panas
eksternal
perlu

untuk

mencegah
menggigil.
4. menurunkan
terjadinya
distress

fisik

tentang nyeri.
6. Dorong
penggunaan
teknik

emosi

sehubungan
dengan
penggantian

manajemen
stress,

dan

contoh

relaksasi

balutan

dan

debridemen.
5. Pernyataan

progresif,

memungkinka

napas

dalam,

bimbingan
imajinasi

pengungkapa
dan

visualisasi.
7. Berikan
aktivitas

n emosi dan
dapat
meningkatkan
mekanisme

terapeutik
tepat

koping.
untuk 6. memfokuskan

usia/kondisi

kembali

Kolaborasi

perhatian,

8. berikan

meningkatkan

analgesic

relaksasi dan

sesuai indikasi.

meningkatkan
rasa

control,

yang

dapat

menurunkan
ketergantung
an
farmakologis
7. membantu
mengurangi
konsentrasi
nyeri yang di
alami

dan

memfokuskan
kembali

perhatian
8. membantu
mengurangi
2.

Kerusakan
integritas
kulit

b/d

Tujuan :

nyeri.
1. Menentukan

Mandiri :

1. pemelihara
an

dan

1. Kaji kulit setiap


hari.

Catat

garis dasar di
man

proses

perawatan

warna,

perubahan

penyakit

integritas

turgor,sirkulasi

pada

kulit

dan

dapat

kriteria hasil :
1. kulit

dapat

terpelihara
dan terawat
dengan
baik

sensasi.

status
di

Gambarkan

bandingkan

lesi dan amati

dan

perubahan.
2. Pertahankan/in

melakukan
intervensi

struksikan

yang tepat.
dalam hygiene 2. mempertahan
kulit, misalnya

kan

membasuh

kebersihan

kemudian

karena

mengeringkan

yang

nya

dapat menjadi

dengan

berhati-hati
dan melakukan

menggunakan
atau

dan

meningkatkan
risiko
kerusakan

kuku

secara teratur.
4. Tutupi
luka
tekan

barier infeksi.
3. kuku
yang
kasar

dengan

krim.
3. Gunting

kering

panjang

masase

lotion

kulit

yang

dermal.
4. Dapat
mengurangi
kontaminasi

terbuka

bakteri,

dengan

meningkatkan

pembalut yang

proses

steril

atau

barrier
protektif,

mis,

perawatan

sesuai

lesi kulit.

petunjuk.
Kombinasi :
5. gunakan/berika
obat-obatan

(NSAID

dan

kortikosteroid)
3.

Pola

sesuai indikasi
NIC
:
Oxygen

nafas Tujuan :

tidak efektif Setelah dilakukan therapy


b.d dispnea

tindakan

Intervensi :

keperawatan

1.

diharapkan
nafas
dengan
hasil :

Bersihkan

pola mulut dan hidung


efektif dan

secret

criteria trachea
2.

Pertahankan

1. RR dengan batas jalan nafas yang


normal
paten
2. Irama
nafas
3. Atur
normal
peralatan
3. Tidak ada dispnea
4. Suara
perkusi oksigenasi
normal
4. Monitor
5. Tidak ada traktil
aliran oksigen
fremitus
5. Pertahankan
6. Kapasitas
vital
posisi pasien
normal
NIC : Vital sign
monitoring
Intervensi :
1.

Monitor

.
5. Digunakan
pada

duoderm,

penyembuhan

TD,

nadi, suhu da RR
2.

Monitor

frekuensi

dan

irama pernafasan
3.

Monitor suhu,

warna

dan

kelembaban kulit

D. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang lebih baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Gordon, 1994,
dalam Potter & Perry, 1997).
E. Evaluasi
Evaluasi

merupakan

langkah

memungkinkan perawat untuk

proses

keperawatan

yang

menentukan apakah intervensi

keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi klien. Sumber:


Potter & Perry. (2009). Fundamental of Nursing 7 th Edition.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa
peningkatan

sistem

imun

dan produksi

autoantibodi yang berlebihan. Klasifikasi SLE ada

yaitu Discoid

Lupus, Systemic Lupus Erythematosus, Lupus yang diinduksi oleh obat.


SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria, Manifestasi
klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa
lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat
badan.Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang
lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Tidak ada satu tes laboratorium
tunggal yang dapat memastikan diagnostik SLE. Pengobatan yang
digunakan

pada

SLE

adalahNonsteroidal

anti-inflammatory

drugs (NSAIDs), Corticosteroids dan lain-lain yang dapat mendukung


pengobatan penyakit SLE.
B. Saran
Sebagai seorang calon

perawat

kita

diaharapkan

mampu

memberikan asuhan keperawatan terhadap penderita SLE sesuai


dengan standar prosedur.

S-ar putea să vă placă și