Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta. E-mail: udiyobee@gmail.com.
PANGGUNG HUKUM
A. Pendahuluan
Pada dasarnya jika kita berbicara mengenai negara dan segala sesuatu
yang berkaitan dengannya, maka tidak akan mungkin terlepas dari
membicarakan konstitusi sebagai landasan berpijak dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Galibnya, negara-negara modern abad kedua
puluh, merumuskan aturan-aturan dasar penyelenggaraan negara ke dalam
konstitusi atau Undang-Undang Dasarnya. Menurut Yusril,1 dimuatnya
aturan-aturan dasar penyelengggaraan negara dalam konstitusi, dan bukan
perincian-perinciannya adalah kesengajaan, bukan kealpaan para perumus
konstitusi. Perumus konstitusi pada umumnya menyadari bahwa
masyarakat yang eksis di negaranya bersifat dinamis, terus berubah dari
waktu ke waktu. Dengan demikian, hubungan antara masyarakat dan
kostitusi adalah hubungan interaktif. Pada satu pihak kontitusi
memberikan dasar atau kerangka tentang masalah-masalah fundamental
dalam penyelengggaraan negara, sedang di pihak lain pemahaman
terhadap konstitusi juga dipengaruhi perkembangan masyarakat.
Kostitusi dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu konstitusi
politik dan konstitusi sosial. Konstitusi politik adalah konstitusi yang
semata-mata merupakan sebuah dokumen hukum yang berisikan pasalpasal yang mengandung norma-norma dasar dalam penyelenggaraan
negara, hubungan antara rakyat dengan negara, lembaga-lembaga negara
dan sebagainya. Sedang konstitusi sosial mengandung pengertian yang
lebih luas daripada sekadar dokumen hukum karena mengandung cita-cita
sosial bangsa yang menciptakannya, rumusan-rumusan filosofis tentang
negara, rumusan sistem sosial dan ekonomi, juga rumusan sistem politik
yang ingin dikembangkan di negara itu.2
Namun, betapapun sebuah konstitusi termasuk dalam kategori
konstitusi konstitusi sosial, corak perumusan norma-norma konstitusi
tetap terbuka bagi perubahan. Konstitusi, walaupun diyakini dirumuskan
berdasarkan sumber-sumber yang bersifat transenden, pada dasarnya
merupakan hasil karya manusia yang terbatas oleh ruang dan waktu.
Karena itu, setiap konstitusi selalu membuka peluang perubahan.
Dalam pada itu, pengertian konstitusi dalam praktek kenegaraan
pada umumnya dapat berarti lebih luas daripada Undang-Undang Dasar
atau sama dengan pengertian Undang-Undang Dasar, karena pengertia
1Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Kompiflasi Aktual Masalah
Kontitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Keparataian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm.
18
2Ibid., hlm. 19
PANGGUNG HUKUM
PANGGUNG HUKUM
PANGGUNG HUKUM
PANGGUNG HUKUM
Demokrasi liberal yang lahir dari hasil amandemen juga tidak cocok bagi
Indonesia yang kulturnya berbasis kekeluargaan, bukan individual, tingkat
pendidikan dan kesejahteraan rendah, kemajemukan multi aspeknya pun
amat lebar.3
Bagi mereka yang mendukung amandemen menilai yang dilakukan
MPR selama periode 1999-2002 merupakan lompatan besar. Reformasi
konstitusi berjalan di jalur yang benar karena tetap mempertahankan
Pancasila, Pembukaan UUD 1945 dan Negar Kesatuan, seiring dengan
terjadinya perubahan dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi, konstitusi
perlu juga disempurnakan.4 Dua arus besar ini, yaitu kelompok yang ingin
kembali ke UUD 1945 awal dan kelompok yang menginginkan UUD 1945
kembali disempurnakan akan mewarnai polemik konstitusi berikut di
masa-masa mendatang. Bertolak dari uraian di atas hendak dikaji sekali
lagi (amandemen UUD 1945) dan perlukah amandemen kelima UUD
1945.
B. Amandemen Pertama Hingga Amandemen Keempat
Dalam pelaksanaannya, UUD 1945 yang merupakan norma
peraturan perundangan tertinggi mengalami banyak penyimpangan dan
penyelewengan. Rezim Orde Lama dan Orde Baru selalu
mengindoktrinasi masyarakat dengan sakralisasi konstitusi, yang
menempatkan UUD 1945 seperti halnya kitab suci. Sikap dan perilaku
otoriter rezim Orde Lama dan Orde Baru atau sakralisasi konstitusi
tersebut, membuat kebanyakan orang Indonesia kehilangan nyali
mempersoalkan UUD 1945.5 Perlakuan yang demikian membuat UUD
1945 tidak ditempatkan pada posisinya sebagai living constitution, yang
membuka horizon dan spirit pemahaman yang sesuai dengan
perkembangan kebutuhan warga negara dan pertumbuhan tuntutan atas
perikehidupan politik yang sesuai dengan cita negara hukum. Hal ini masih
diperparah dengan tindakan represif dan prefentif rezim Orde Lama dan
Orde Baru tidak memberikan celah kepada masyarakat dan berbagai pihak
untuk mengutarakan gagasan ke arah pembaharuan konstitusi.
3Kiki
PANGGUNG HUKUM
6Harun Alrasyid, Relevansi UUD 1945 dalam Orde Reformasi, dalam Jurnal
Hukum UII, Vol. 2 Tahun 1998, hlm. 7.
7Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, (Jakarta: Jajasan Prapanca,
tanpa tahun), hlm. 410.
8Aidul Fitriciada Azhari, UUD 1945 Sebagai Revolutiegrondwet, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), hlm.31
9Secara umum, pada awalnya kelemahan dan kekurangan UUD 1945 dalam
praktik ketatanegaraan adalah bahwa UUD 1945 bersifat very executive heavy, multi
interpretable, dan tidak memuat check and balance system.
PANGGUNG HUKUM
PANGGUNG HUKUM
PANGGUNG HUKUM
10
PANGGUNG HUKUM
11
PANGGUNG HUKUM
12
PANGGUNG HUKUM
13
hlm. 39-40.
PANGGUNG HUKUM
14
PANGGUNG HUKUM
15
PANGGUNG HUKUM
16
sementara serta belum lengkap dan sempurna,32 sehingga tidak ada alasan
lagi untuk menunda pembaharuan kontitusi Indonesia, UUD 1945.
Amandemen atas UUD 1945 adalah suatu keharusan dan
merupakan amanat dari konstitusi itu sendiri, hanya saja upaya reformasi
itu harus dilakukan dengan logika dan akar argumen yang jelas serta
dijauhkan dari upaya mempermainkannya untuk kepentingan jangka
pendek. Hal ini karena hasil amandemen akan sangat menentukan nasib,
perjalanan dan kehidupan berbangsa dan bernegara di masa mendatang.
Di kalangan mereka yang menyetujui amandemen masih terdapat
kontroversi tentang hal yang menyangkut pilihan atas realisasi amandemen
yang perlu dilakukan. Artinya meskipun telah sama pandangannya tentang
kemutlakan perlunya amandemen konstitusi, namun pilihan realisasinya
tidaklah selalu sama. Menurut Mahfud MD,33 ada beberapa pertanyaan
yang dapat diabstraksikan dari perbedaan-perbedaan tersebut yaitu,
pertama, apakah amandemen itu mencakup seluruh komponen UUD yang
mencakup pembukaan, batang tubuh dan penjelasan. Kedua, apakah
amandemen akan menyangkut perubahan bentuk dan sistem
pemerintahaan negara dan ketiga, jika amandemen tidak mengubah bentuk
dan sistem pemerintahan negara, apakah amandemen akan berubah
penggantian naskah atau sekadar mencabut atau menyisipkan kalimatkalimat di pasal tertentu, atau bahkan sekadar membuat lampiran otentik
atas naskah yang telah ada.
Bahkan kemudian ada rambu-rambu atau pembatasan-pembatasan
amandemen, yaitu pertama, tidak mengubah pembukaan UUD 1945. Kedua,
tetap dalam pemerintahan sistem presidensiil, ketiga, mempertahankan
bentuk Negara Kesatuan dan keempat, proses amandemen yang dilakukan
tidak akan membuat konstitusi baru, artinya perubahan UUD dilakukan
dengan cara adendum yaitu dengan melampirkan perubahan, sementara
naskah asli tidak dirubah. Pembatasan-pembatasan di atas, pada mulanya
dianggap mengkerangkeng agenda reformasi konstitusi Indonesia dari
kemungkinan membentuk konstitusi baru yang demokratis.34 Baju
amandemen itu terlalu sesak untuk membungkus tuntutan perubahan
UUD 1945. Sayangnya baju sesak ini tidak bisa dimanfaatkan MPR secara
32Secara
PANGGUNG HUKUM
17
PANGGUNG HUKUM
18
PANGGUNG HUKUM
19
lain apapun juga dan tak dapat pula diserahkan atau diwakilkan kepada
suatu instansi/badan lain (inalienable), sebab kehendak rakyat umum itu
sesugguhnya tak dapat diperwakilkan (la volonte generale ne se represente pas).
Dalam perkembangannya, demokrasi langsung ini makin sulit
dilaksanakan, baik karena wilayah negara menjadi makin luas,
penduduknya makin banyak, maupun karena urusan pemerintahan makin
rumit, sehingga tidak mungkin semua orang dapat duduk sebagai
penyelenggara negara, maka lahirlah sistem perwakilan. Rakyat tidak lagi
secara langsung menyelenggarakan pemerintahan, akan tetapi
diselenggarakan oleh wakil-wakil rakyat yang bukan hanya memerintah
atas nama rakyat, tetapi untuk rakyat (for the people). Untuk rakyat,
maksudnya pemerintahan dijalankan atau berjalan sesuai dengan kehendak
rakyat.40
E. Rambu-rambu Amandemen Kelima
Amandemen UUD 1945 hingga empat kali yang dilakukan oleh
MPR pascagerakan reformasi 1999-2002, dirasakan oleh berbagai pihak
dan komponen bangsa belum membuahkan hasil nyata pada kesejahteraan
rakyat.41 Karenanya kemudian muncul berbagai gagasan, seperti
mengamandemen kembali UUD 1945, atau bahkan kembali ke UUD 1945
sebelum amandemen. Dua arus gagasan ini sangat kuat di luar alur gagasan
yang relatif netral, yaitu memberi kesempatan untuk melihat hasil
amandemen pertama hingga keempat.42
Pendapat yang tidak setuju amandemen serta menginginkan kembali
ke UUD 1945 yang asli diantaranya menyatakan bahwa UUD 1945 hasil
amandemen dinilai cacat hukum, batang tubuh UUD 1945 tidak lagi sesuai
dengan pembukaannya. Proses amandemen dinilai tidak berjalan sesuai
prosedur yang benar. Sebagai produk MPR, amandemen UUD 1945
mestinya dinyatakan dalam bentuk Tap MPR. Namun, sejauh ini
amandemen tersebut tidak memiliki dasar hukum dan hanya sekadar
notulen rapat.43
40Gregorius
PANGGUNG HUKUM
20
5.
46Pemerintahan
hlm. 7.
PANGGUNG HUKUM
21
PANGGUNG HUKUM
22
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Novel, Amandemen UUD 1945 sebagai Syarat Menuju Civil
Society, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Mengkritisi
Sakralisme Konstitusi dan Kekuasaan sebagai Upaya Penguatan Civil Society,
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999.
Alrasyid, Harun, Relevansi UUD 1945 dalam Orde Reformasi, dalam
Jurnal Hukum UII, Vol. 2 Tahun 1998.
Azhari, Aidul Fitriciada, Evaluasi Proses Amandemen UU 1945: Dari
Demokratisasi ke Perubahan Sistem Makalah disampaikan pada
Diskusi Publik Kontitusionalisme UUD 1945, diselenggarakan oleh
PSKH FH UII bekerjasama dengan MK RI, Yogyakarta, 15
Februari 2007.
_____________________, UUD 1945 Sebagai Revolutiegrondwet,
Yogyakarta: Jalasutra, 2011.
Bagir Manan, Pembaharuan Undang-Undang Dasar 1945, dalam Jurnal
Magister Hukum UII, Vol.2 No. 1 Februari 2000.
Basuki, Udiyo, Pembaharuan Konstitusi sebagai Amanat Reformasi
(Suatu Tinjauan Sosio Yuridis), dalam Jurnal Sosio Religi Vol. 1 No.
1 November 2001.
____________, Dinamika Konstitusi Indonesia (Refleksi Yuridis atas
Proses dan Hasil Amandemen UUD 1945), dalam Jurnal Sosio
Religia Vol. 1 No. 4 Agustus 2002.
____________, Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia (Ulasan
terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945), dalam Jurnal Asy-Syirah
No. 8 Tahun 2001.
_____________, Reformasi Konstitusi (Beberapa Catatan atas
Amandemen UUD 1945), Jurnal Sosio Religia Vol. 1 No. 2 Februari
2002.
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982.
Budiman N.P.D. Sinaga, Hukum Konstitusi, Yogyakarta: Kurnia Kalam
Semesta, 2005.
Fadjar, Abdul Muktie, Beberapa Catatan tentang Kajian Konstitusi,
Makalah Seminar Regional, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi
diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi RI dan Program
Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia di
Yogyakarta, 2007.
PANGGUNG HUKUM
23
PANGGUNG HUKUM
24
PANGGUNG HUKUM