Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Jumlah Penduduk
1980 14167 7824 10040 8414 40445 410,72 3406,13
1985 17154 8720 11325 10661 47860 472,31 ,735,79
1990 19464 10678 13065 11500 54707 502,06 ,99,76
1994 23822 12411 15368 12131 63732 4265,90
Laju Pertumbuhan
1980-1985 4,22 2,2 2,56 5,34 3,67 3,00 1,94
1980-1990 3,74 3,65 3,01 3,67 3,53 2,22 1,74
1985-1990 2,69 4,49 3,07 1,57 2,86 1,26 1,41
1990-1994 5,60 4,06 4,41 1,37 4,12 1,66
Transmigrasi
TAP MPR nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara telah menetapkan bahwa Pembangunan
transmigrasi bertujuan untuk memeratakan pembangunan,
memperluas lapangan kerja dan kesempatan usaha, serta
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dengan berpegang
rencana tata ruang daerah dan wilayah, serta pelestarian
lingkungan hidup.
Penempatan transmigrasi di Kepulauan Mentawai sampai
saat ini berjumalah 571 KK, 2504 jiwa yaitu penempatan I di Sipora
(Sipora I) tahun 1985/1986 sebanyak 271 KK, 1395 jiwa dan
penempatan ke II tahun 1995/1996 sebanyak 300 KK, 1109 jiwa di
Sipora II.
Kebijakan yang dilaksanakan dalam penempatan
transmigrasi adalah mengarahkan penempatan transmigrasi ke
Pulau Sipora, yaitu Sipora I sampai Sipora IV. Untuk tahun
anggaran 1996/1997 diprogramkan penempatan transmigrasi
sebanyak 300 KK. Sesudah penempatan transmigrasi sampai Sipora
IV. Untuk tahun anggaran 1996/1997 diprogramkan penempatan
transmigrasi sebanyak 300 KK. Sesudah penempatan transmigrasi
sampai Sipora IV, baru penempatan transmigrasi diarahkan ke
Pulau Siberut.
Pembangunan Sumber Daya Manusia di Kepulauan
Mentawai haruslah mendapat perhatian khusus, baik melalui
lembaga pendidikan formal dan non formal, peningkatan derajat
kesehatan dan gizi masyarakat, termasuk juga melalui pendidikan
dan penyuluhan yang dilakukan oleh masing-masing
dinas/kandep/instansi sesuai dengan sektornya perlu menmpatkan
bobot kegiatan proyeknya dengan memasukkan kegiatan
penyuluhan. Oleh karena itu proyek-proyek yang dilaksanakan di
Kepulauan Mentawai khususnya haruslah mengandung unsur
“learning by doing”. Dengan demikian diharapkan secara bertahap
akan terjadi peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia.
PERJALANAN DAKWAH ILA’LLAH
DI MUARA SIBERUT, MENTAWAI1)
1 )
Mas’oed Abidin, Harian Umum Singgalang, 19 Januari 1995
di bawah koordinasi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
Perwakilan Sumbar.
Alhamdulillah, program yang berlangsung tanggal 19
Desember 1994 s/d 2 Januari 1995 (16-30 Rajab 1415 H), meliputi
kegiatan-kegiatan pelatihan da'i se-kecamatan Siberut Selatan dan
pelatihan dalam bimbingan ibadah, pendalaman Islam bagi para
muhtadin (muallaf baru), khitanan massal sebanyak 66 orang
muhtadin Siuberut Selatan, peresmian pemakaian masjid baru di
dusun Malilimok Katurai, penyerahan bantuan untuk pembinaan
jama'ah masjid dan mushalla di kecamatan Siberut Selatan.
Di samping itu juga dilaksanakan acara tabligh akbar
untuk menjalin ukhuwah Islamiyah di antara ummat Islam
Mentawai, pensyahadatan para muhtadin, penyerahan paket
peralatan shalat berupa sarung, peci dan mukenah untuk para
muallaf, dan peninjauan ke daerah-daerah terpencil untuk
menjalin rasa persaudaraan sesama ummat Islam.
PEKAN MUHTADIN II
Bimbingan Ibadah
Para Muhtadin senantiasa perlu adanya bimbingan ibadah.
Umumnya mereka masih awam dalam mengenal ajaran Islam.
Mereka baru beberapa waktu mengakui Islam sebagai anutan
mereka. Perlu disimak ungkapan Drs. Suhefri (mewakili Kepala
Kanwil Depag Tk.I Propinsi. Sumbar), ketika memberikan
bimbingan kepada para muhtadin di sini. Animo para muallaf
menerima dan mendalami Islam cukup tinggi. Ini dapat dilihat dari
keseriusan mereka mengikuti acara pelatihan, meninggalkan
kampung halaman, anak istri bahkan pekerjaan sehari-hari, hanya
untuk belajar Islam. Waktu yang mereka sisihkan cukup panjang,
lima belas hari non-stop dari pagi hingga malamnya. Kondisi yang
langka ditemui di daerah perkotaan di Sumbar.
Setelah ini kecemasanlah membayangi kita semua. Mereka
akan merasa ditinggalkan atau kurang dipedulikan, bila di desa-
desa tempat tinggal para muhtadin, tidak ada da'i yang menetap
dan bersedia membina ibadah harian mereka.
Selama pembinaan muhtadin ini, Drs. Suhefri memberikan
materi pokok "Islam adalah Agama Fitrah", yang dilengkapi oleh
Burhanuddin Yusuf, Lc "Kebutuhan Manusia terhadap Islam",
Najib Adnan dengan materi "Aqidah Tauhid", sementara Marfendi
dan kawan-kawan melakukan mentoring/ bimbingan ibadah setiap
saat selama 15 hari. Pelatihan muhtadin ini mengambil tempat di
Gedung Madrasah Ibtidaiyah Al Washliyah Muara Siberut.
Khitanan Massal
Sunat Rasul (khitanan massal) bagi para muallaf
merupakan kelanjutan program rutin Dewan Dakwah. Program ini
terlaksana berkat kerja sama dengan Rumah Sakit Ibnu Sina Yarsi
Sumatera Barat, yang mengirimkan tenaga medis dan obat-obatan.
Semua pelaksanaannya di bawah pengawasan Kepala Puskesmas
Muara Siberut, dr. Khair Jauhari dan perawat yang bertugas di
daerah ini.
Suatu bentuk pengabdian masyarakat yang dikerjakan
secara terpadu. Masyarakat setempat menyediakan pondokan,
memberikan makanan (nasi bungkus) secara bergiliran, dan
menjaga para muallaf yang dikhitan sampai sembuh. Para
muhsinin dari Tanah Tepi menyediakan sarung dan peci untuk
saudara mereka yang baru masuk Islam. Jumlah muallaf yang
dikhitan waktu itu adalah 66 orang, di antaranya adalah yang telah
berumur 35 tahun. Bahkan ada yang seiring disunatkan anak dan
ayah.
Hampir tidak ada kendala dalam pelaksanaan semua
kegiatan di sini. Hanya faktor psikologis dari para muallaf yang
akan dikhitan, itu pun mereka yang telah berusia dewasa. Namun
semua bisa diatasi dengan pendekatan iman dan Islam.
Peresmian Masjid
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi
Sumatera Barat, yang diwakili oleh Drs. Suhefri berkenan
meresmikan bangunan masjid baru yang berukuran 10 x 10 m.
Masjid yang dibangun atas bantuan DDII dan Lajnah Muslimy Asia
ini, terletak di desa Malilimok Katurai kecamatan Siberut Selatan.
Seiring dengan itu, disyahadatkan pula 13 KK yang terdiri dari 46
jiwa. Di antaranya seorang kepala suku, yang setelah masuk Islam
namanya berubah menjadi Thamrin. Dan juga kepala dusun
Malilimok sendiri, yang setelah masuk Islam namanya dirubah
menjadi Mohammad Yunus.
Pensyahadatan dilakukan oleh Ketua DDII Padang, H.
Mas'oed Abidin dengan disaksikan oleh Sheikh Ahmad Sayyid
Jalbanth (Wamy) dan Camat kecamatan Siberut Selatan. Dalam
bimbingan pensyhadatan ini, sebelum mereka disyahadatkan,
terlebih dahulu ditanya apakah mereka masuk Islam karena
terpaksa atau dirayu. Semuanya menjawab bahwa mereka masuk
Islam atas kesadaran sendiri.
Di tengah-tengah kesaksian hampir 100 pasang telinga yang
mengunjungi masjid Malilimok ini, kalimat Asyhadu an laa
ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammad dan
Rasul Allah diulangi sebanyak tiga kali. Terdengarlah suara
gemuruh di masjid dan tanpa disadari air mata pun mengalir tanda
haru atas rahmat Allah di hari itu.
Selanjutnya kepada mereka disumbangkan seperangkat
peralatan shalat berupa kain sarung, mukenah, peci, yang berasal
dari muslim Tanah Tepi. Kemudian mereka pun melakukan
bimbingan ibadah di Muara Siberut. Kakanwil Depag Sumbar,
dalam rangka peresmian masjid ini, meminta masyarakat
memanfaatkan bangunan ini dengan sebaik mungkin dan sungguh-
sungguh, melalui pengisian ibadah dan pendalaman ajaran Islam.
Dan memperlihatkan amalan nyata di tengah-tengah masyarakat.
Camat Siberut Selatan, Nasril HB., meminta agar masyarakat
menjaga dan memelihara masjid ini dengan baik, dan melanjutkan
pembangunan sarana-sarana penunjangnya, serta meminta
dukungan DDII untuk program pembinaan berkelanjutan. masjid di
dusun Malilimok Katurai ini dibangun di atas tanah wakaf kepala
suku yang masuk Islam hari itu. Masjid ini bernama Masjid
Fathiyyah Al Azzaz
Di desa ini ditempatkan seorang da'i pembina yaitu Saudara
Ja'far Nasution, yang sedang diusahakan untuknya sebuah
bangunan untuk tempat tinggal.
Gelombang Pensyahadatan
Tidak hanya di Malilimok, di Masjid Al Wahidin Muara
Siberut, pada hari Selasa tanggal 20 Desember 1994 (17 Rajab 1415
H) juga dilaksanakan acara pensyahadatan. Selesai shalat Isya',
disyahadatkan pula sebanyak 9 KK yang berasal dari desa
Matotonan, Saliguma dan Rogdok.
Bimbingan pensyahadatan dilakukan oleh Ketua DDII
Sumbar Kantor Padang dan Camat Siberut Selatan, serta tamu-tamu
ummat Islam yang memenuhi masjid malam itu. Dalam kesempatan
itu, Camat Siberut Selatan menghimbau agar para muallaf secara
sungguh-sungguh membekali diri dengan ilmu Islam dan langsung
mengamalkannya sesuai dengan ajaran Islam.
Di satu sisi kita melihat bahwa gelombang pensyahadatan
sebagai manifestasi penerimaan agama Islam, secara kuantitas telah
menambah jumlah penduduk Islam di daerah ini. Sisi lain yang
lebih berat adalah pembinaan yang secara rutin dan terus-menerus.
Agama Islam sangat intensif memerangi kemiskinan dan
kebodohan. Sama intensifnya dengan menegakkan yang makruf
serta menolak setiap bentuk kemaksiatan. (=amar makruf nahi
munkar)
Untuk daerah-daerah sulit seperti di Kepulauan Mentawai
ini, pembinaan yang sangat dituntut adalah harus tersedianya
tenaga da'i yang berkenan menetap di daerah binaannya. Selain
dukungan dana dari berbagai kalangan ummat Islam sendiri.
Masalah ini merupakan tantangan bagi setiap lembaga-lembaga
da'wah dan pembangunan.
Mentawai memerlukan lembaga pendidikan setingkat
dengan Tsanawiyah dan Aliyah, juga Islamic Centre. Hal ini untuk
mengantisipasi perkembangan ummat Islam di daerah ini yang dari
tahun ke tahun cenderung meningkat. Lembaga-lembaga
Pendidikan Islam di seluruh daerah Sumatera Barat sudah tiba
waktunya untuk membuat program-program khusus dalam bentuk
kemah-kemah pelajar ke daerah ini. Ideal sekali bila setiap lembaga
Islam memulai langkah yang berkesinambungan, seperti
mengirimkan tenaga-tenaga yang berkenan menetap pada satu
daerah dalam jangka waktu tertentu, kemudian secara rolling system
bisa bergantian dengan arahan program yang jelas dan tetap.
Kesungguhan dan ketabahan adalah modal utama dalam
perjalanan da'wah Ila’llah di Mentawai dan daerah sulit lainnya.
Masalah dana, kiranya bukan masalah yang utama bagi ummat
Islam, selama kita memfungsikan dengan baik hak-hak yang
terdapat dalam BAZIS. Mereka saudara kita yang di Mentawai telah
ditetapkan oleh Allah SWT sebagai satu asnaf dari bagian rezeki
yang terkandung di setiap muslim, dimanapun mereka berada.
Ada hikmah yang terkandung dari perjalanan Dakwah
Ila’llah di Kepulauan Mentawai ini, di antaranya patut kita syukuri
bahwa Allah menyiapkan untuk kita di awal abad kelima belas
hijriyah dan peralihan abad 20 ke 21 masehi ini, suatu daerah
dimana kita semua dapat memadukan amal ibadah bersama Islam.
Dengan ini kita bisa berlomba dengan para mujahid yang ada di
zaman Rasulullah dalam menegakkan kalimat Allah di tengah
kehidupan ummat manusia. Inilah sebuah perjalanan menuju ridha
Allah, suatu rihlah Ila’llah di Kepulauan Mentawai.
PEKAN MUHTADIN III
2) Replianto,
mengenai perkembangan daerah lain atau perkembangan bangsa
dan negaranya.
Sebenarnya, masyarakat Mentawai memiliki nilai-nilai luhur
yang persis sama dengan ajaran Islam. Di antaranya, pada
dahulunya masyarakat Mentawai hanya mengenal satu penguasa
yang mereka namakan Taikamanua, siapa yang ketahuan berbuat
zina akan dibunuh, mereka sangat teguh memegang janji, bila
berjanji dengan orang Mentawai dan tidak ditepati, maka jangan
harap lagi bisa berhubungan dengan mereka.
Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat daerah
ini memiliki jiwa kebersamaan yang tinggi. Hal ini terlihat dari
kerjasama dan pembagian hasil dari pekerjaan yang dilakukan
bersama. Contohnya, bila dalam satu kelompok masyarakat
mendapatkan suatu barang, maka barang tersebut akan dibagi rata
dan yang membagi harus mendapat hasil pembagian yang terakhir.
Bila pada saat ini kita temukan adanya pelanggaran-
pelanggaran budaya di tengah-tengah masyarakat Mentawai, semua
itu adalah karena pengaruh budaya asing dan karena adanya ajaran
dari luar yang memperbodoh mereka serta merusak budaya luhur
mereka.
Berangkat dari kesadaran dan untuk mencerdaskan
kehidupan masyarakat Mentawai, maka DDII Perwakilan Padang
sejak tahun 1981 yang lalu telah memasuki Mentawai untuk
melakukan sesuatu yang berguna bagi masyarakat di kepulauan ini.
Tujuannya untuk mengembalikan masyarakat Mentawai pada citra
masyarakat Mentawai seperti semula. Hal ini sangat tepat bila
dilakukan dengan menyiarkan ajaran Islam. Selain itu para da'i dari
DDII dan dari Lembaga Dakwah lainnya seperti Muhammadiyah
Jakarta, Jamiatul Washliyah Medan, Baitul Makmur Medan dan
Rabital Alam Islamy Saudi Arabia, juga mengajarkan berbagai usaha
yang berguna untuk meningkatkan pendapatan. Ini dimaksudkan
untuk mengurangi kemiskinan. Islam memang sangat anti kepada
kemiskinan, sebab kemiskinan dapat menjadikan orang menjadi
kafir.
Sejak tahun 1992, DDII dengan dukungan berbagai instansi
pemerintah maupun swasta serta lembaga-lembaga lainnya, makin
meingkatkan kepeduliannya terhadap Mentawai. Programnya pun
dibuat terpadu antara da'wah Islamiyah dan usaha untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui apa yang disebut
Pekan Muhtadin. DDII dan lembaga pendukungnya tidak hanya
mengirim dan menyebarkan da'i serta membangun masjid, tetapi
juga mengajak mereka untuk memperbaiki kesejahteraan hidup
mereka.
Dalam Pekan Muhtadin III (20-24 Januari 1995) DDII Padang
memberikan bantuan kepada masyarakat Mentawai. Bantuan itu
diberikan dalam bentuk barang, yang diharapkan dapat
memberikan rangsangan kepada masyarakat untuk berusaha dan
bekerja. Sebagai contoh, dalam membangun sebuah masjid, DDII
hanya memberikan bahan-bahan bangunan, sedangkan tenaga
pembangunnya diserahkan kepada masyarakat setempat.
Salah satu masjid yang telah dibangun adalah Masjid
Ummul Mukminin di desa Mara, kecamatan Sipora yang
pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur Wilayah II yang
diwakilkan kepada Drs. Azhar Ilyas, pada tanggal 21 Januari 1995.
Selain itu, DDII juga memberikan bantuan minyak dan oli untuk
keperluan motor boat yang akan digunakan untuk kegiatan da'wah
juga untuk berusaha.
Kegiatan lain yang lebih menjurus dalam pengembangan
syi'ar Islam adalah pensyahadatan 50 muallaf dan khitanan 100
muslim. Keseluruhan muslim yang disyahadatkan dan dikhitan
tersebut adalah penduduk kecamatan Sipora. Selama tiga hari
bekerja, banyak peristiwa menarik terjadi.
3 )
Harian Umum Singgalang, 8 Pebruari 1997
oleh keyakinan Protestan.
Sebenarnya pendapat itu sangat salah sekali, karena
sebenarnya orang Mentawai telah berhubungan akrab dengan
penduduk Tanah Tepi yaitu penduduk Tiku (sekarang Tanjung
Mutiara) sejak tahun 1621, yaitu tiga ratus tujuh puluh enam
tahun yang lalu. Atas jelasnya duaratus delapan puluh enam
tahun lebih dahulu dari kedatangan missionaris August Lett ke
Mentawai.
Sejak masa itu (1621) orang-orang Mentawai telah
berhubungan akrab dengan masyarakat Tiku salah satu pelabuhan
armada barat dari Minangkabau dan Aceh. Namun kedatangan
orang Tiku ke Mentawai bukanlah kedatangan da'wah walaupun
mereka telah berda'wah menurut keyakinan agama yang
dianutnya yaitu Islam. Jauh beda dengan kedatangan August Lett
pada duaratus delapan puluh tahun kemudian, yang sengaja
menaburkan ajaran Protestan. Kedatangan Katolik ke kepulauan
ini, baru dimulai sejak tahun 1954.
Sungguh tidak terlambat masuk, tetapi dirasakan
terlambat melakukan sentuhan, sehingga penduduk Mentawai,
dianggap sebagai gembalaan missionaris. Dari jauh mereka
datang, hanya untuk membelai kita.
Sebetulnya tidaklah demikian, bila kita mendengar alunan
takbir di Siberut Utara, 20 orang da'i dengan binaan muallaf
1.592 orang Siberut Selatan 32 da'i dengan binaan 4.990 ummat,
Sipora 22 da'i dengan binaan 2.360 ummat, dan Sikakap dengan 2
da'i dan 275 binaan muallaf, maka pada awal Ramadhan 1417
H/1997 M ini, di kepulauan ini ada 9.217 orang muallaf binaan
secara intensif tersebar pada 40 desa 4 kecamatan dengan 76 orang
da'i atau guru mengaji Islam. Mereka berhari raya ke Masjid.
Dari lidah mereka pada malam takbir Ramadhan,
menggema takbiran Allahu Akbar, Walillahil hamd,
menyenak ke dada, menyebabkan bengkaknya kerongkongan
karena haru dah syukur. Maha Besar Engkau Wahai Allah, yang
menggerakkan hati ummat manusia menerima hidayah Agama
Islam. Agama Mu yang terpilih. Allahu Akbar.
Di Sagitsi di Sipora Selatan, di daerah pantai dimana
berdiam Ummat Islam pada daerah yang sekarang di sebut Darul
Huda, di Masjid yang baru dibangun Masjid Al Maghfirah,
ummat Islam yang jumlahnya 300 jiwa itu mereka berhari raya
Iedul Fithri. Mereka bawa penganan ke surau.
Mereka telah menyediakan acara untuk Shalat Iedul Fithri,
dengan Imam dan Khatib, putra mereka sendiri, Saudara Hiram
H Sakerebau, SH seorang lulusan Fakultas Hukum
Muhammadiyah Sumatera Barat.
Setelah selesai Shalat hari raya, di halaman Masjid akan
diadakan perayaan besar, hiburan segar untuk anak-anak, dengan
pacu goni, olahraga, yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat
tanpa memilih agama mereka. Mereka menyatu di dalam satu
kekeluargaan, selesai mereka melakukan kegiatan ibadah Iedul
Fithri.
MELALUI DDII, KORP TKS
BANTU ISLAM MENTAWAI4)
4 )
Harian Umum Singgalang, 7 April 1993
Padang ini mengucapkan terima kasih atas bantuan dari korp
TKS-Butsi Sumbar ini. Menurut rencana, bersama bantuan
tersebut Sekjen DDII Sumbar tersebut, hari ini juga akan
diserahkan sisa infak, sedekah dan wakaf jama'ah masjid Al
Munawarah kepada kepala KUA (Kantor Urusan Agama)
Kecamatan Siberut Selatan H. Abdul Hadi dan Kepala Desa
Taleleo di tempat yang sama, karena kedua pemuka masyarakat
Mentawai itu, kini berada di Padang.
Penyerahan bantuan dari TKS-Butsi Sumbar itu
dilaksanakan setelah shalat Dzuhur berjama'ah di masjid Al
Munawarah Siteba, kecamatan Nanggalo. Acara penyerahan ini
disaksikan langsung puluhan jama'ah masjid itu.
ROSIANA TERTARIK MASUK
ISLAM5)
5 )
Harian Umum Singgalang, 5 April 1993
SORE TUNGGU KETONTONG
MALAM SHALAT TARAWIH 6)
6 )
Harian Umum Singgalang, 28 Maret 1997
kemiskinan itu. Karena alam tidak selamanya menjanjikan
kesempatan yang sama setiap waktu. Alam memerlukan
keakraban penduduk disekitarnya. Hutan juga tidak selamanya
menyediakan hasil-hasilnya jika penduduk tidak pernah mau
memelihara sumber hasil hutan itu.
Dan penduduk pribumi Mentawai, tidak pernah diajarkan
hal-hal pemeliharaan. Sikap mereka dibiarkan selalu bodoh dan
konsumtif.
Kebudayaan Mentawai, sebetulnya banyak sekali
persamaannya dengan ajaran Agama Islam. Antara lain,
penduduk asli Mentawai tidak mengenal zina. perzinahan di
Mentawai, diancam hukum masyarakat yang keras sekali.
Dibunuh keduanya pelakunya sampai mati. Caranya dengan
membenamkan kedua pelaku dengan pemberat ke dalam laut
atau air sungai, hingga mati. Atau di usir ke luar kampung dengan
membekali sehari makan, dan sebuah perahu, kemudian
melepasnya ke laut. Pelaku zina itu, tidak boleh kembali lagi.
Jika pada kehidupan sekarang, penduduk asli Mentawai
ada melakukan perzinahan, itu mungkin hanya karena pergeseran
nilai budaya. Adanya sistem pembayaran denda sebagai
kesepakatan.
Larangan-larangan lainnya dapat kita lihat mempunyai
persamaan dengan sunnah menurut Islam. Umpamanya tidak
boleh laki-laki berjalan bersama perempuan yang bukan keluarga
(muhrim). Tidak boleh memasuki pekarangan rumah yang
bukan milik kita tanpa izin. Tidak boleh menaiki rumah
seseorang, jika didalam rumah hanya ada perempuan. Tidak boleh
mengganggu ketentraman orang lain. Membagi sama banyak dan
sama merata di tengah kehidupan penduduk asli.
Di Labuhan Bakau terdapat sekitar 30 KK Jemaah
Muhtadin (Muallaf Mentawai) atau mencapai 150 jiwa. Jumlah
yang kecil ini tidak halangan untuk melakukan kegiatan shalat
jemaah di masjid mereka.
Ketiga da'i sukarela di sini, secara bergantian mendatangi
kedua dusun bertetangga Sigapokna dan Labuhan Bajau. Mereka
mengaji tanpa mengenal amplop. Tidak ada ucapan terima kasih
berupa benda materi. Mereka juga tidak mengenal gaji.
Uniknya, Jama'ah Muhtadin datang ke Mushalla untuk
shalat tarawih. Bermalam di sini, makan sahur bersama-sama. Dan
kala pagi telah muncul, para muallaf menebar menari rezeki.
Mereka bertemu kembali nanti malam. Begitu mereka mendirikan
Ramadhan.
Begitu pula desa Boshe, salah satu desa yang mulai maju.
Muallafnya tidak banyak. Hanya 175 jiwa. Ada sebuah Masjid
sederhana ukuran 9 x 9 meter, diberi nama DARUL JADID. Di sini
setiap malamnya, selama Ramadhan, aktif dengan shalat tarawih.
Terutama anak-anak didik Ustadz Drs. Rosikhin (Da'i
LDK/Muhammadiyah Pusat dari Jawa Timur) dan binaan Ustadz
Bahaudin (45). Desa ini memang tidak terlalu jauh dari ibu
kecamatan Muara Sikabaluan. Hanya satu jam pelayaran
memakai boat 40 PK.
Dusun Malancan. Ummat Islam (Jama'ah Muhtadin)
termasuk sedikit. Banyak 60 orang saja. Namun disini ada sebuah
mushalla permanen ukuran 9 x 9 meter. Mushalla ini dibina oleh
Da'i Islam Mohammad Yusuf dan Syamsir Zahram, bernama
Mushalla MUKHLISIN. Dusun Malancan termasuk dusun yang
pertama dimasuki Islam. Sejak tahun 1953. Sungguhpun
jumlahnya sedikit, tetapi selama mengisi malam-malam
Ramadhan dengan shalat tarawih.
Dusun tetangga POKAL, yang sudah ada mushalla Al-
Ikhlas ukuran 5 x 5 meter. Dipimpin oleh da'i Shaleh yang juga
bertugas di dusun ini secara sukarela, Jama'ah Muhtadin di dusun
ini hanya berjumlah 65 orang. Sekarang di kedua dusun ini sedang
dikembangkan Islamic Centre oleh LDK/Muhammadiyah dan
tengah berlangsung pembangunan sebuah Masjid Permanen.
Kedua dusun bertetangga ini, merencanakan untuk shalat
Iedul Fithri 1413 H, menggabungkan diri di Malancan, dengan
khatibnya Ustadz Syamsir Zahra.
PAULUS Hidayat (Tatgetsir) da'i Islam di Dusun
SATBOYAK sedang duduk dilantai Mushalla Al Hidayah
berbincang-bincang dengan jama'ah Muhtadin desa itu. Mushalla
berdinding papan susun sirih, sangat sederhana ukuran 6 x 6
meter, petang ini menunggu ketontong (tanda buka puasa
Ramadhan) beberapa menit lagi, sore pertengahan Ramadhan
1413 H.
Anak-anak bermain, berlarian di depan orang mereka.
Sementara orang tua mereka dengan keletihan khas menunggu
menit-menit membuka puasa (shaum) mereka.
Tatgetsir, yang sekarang menjadi da'i berumur 27 tahun.
Tadinya dia bernama Paulus. Dan setelah menganut agama Islam
dia enggan mengganti nama pemberian pertamanya. Namun dia
ingin menyatakan pula bahwa dia telah mendapatkan hidayah
Islam itu. Makanya namanya sekarang adalah Paulus Hidayat,
walaupun ditengah keluarga Mentawai dia dipanggil Tatgetsir.
Tatgetsir hidup dikampungnya, membina saudara-
saudara sesukunya. Dan jumlah Jama'ah Muhtadin di desa ini
baru 367 orang. Hari ke hari jumlahnya bertambah memang
memerlukan pembinaan yang berkepanjangan.
Kesulitan mendatangi desa ini, adalah karena jauhnya dan
sulit pula hubungan. Namun kesulitan itu, segera tidak
terpikirkan lagi tatkala di sore itu, kita dikelilingi oleh saudara se
Iman, yang sama menunggu "waktu".
Berda'wah ke Mentawai, di kepedalaman tempat
tinggalnya penduduk asli Mentawai, memiliki keunikan yang
khas. Mereka lugu dan menunggu. Tidak mau mendahului,
sebelum perintah datang mengajak. Jiwa yang bersih ini, perlu
dibina secara bersih pula. Hanya jiwa yang hiduplah yang mampu
menghidupkan keimanan dihati penduduk terisolir ini.
Dan tatkala ketontong akan dibunyikan, seorang anak
berseru dalam bahasa Mentawai. Artinya kira-kira "di Mushalla
lampu belum dihidupkan, lantaran minyak tanah tidak ada,”
katanya. Da'i Hidayat bangkit menuju ke warung melihat-lihat
sisa-sisa minyak di gerigen terakhir. "Minggu depan, kita cari
lagi", katanya menyenangkan hati jemaahnya.
Masya Allah, alangkah teguhnya pendiriannya, dan
alangkah optimisnya hidup mereka, di tengah kesulitan
perhubungan di tengah hutan.
Kiprah Dewan Dakwah di MentawaiProfil Dakwah
Komprehensif
Keajaiban 1986
Al Wahidin adalah nama yang diberikan sejak pembangu
nan awal masjid ini pada tahun 1986 lalu. Sebagaimana masjid
yang wahid (pertama) sudah semestinya menjadi pusat segala
egiatan keagamaan Islam didaerah sulit seperti Mentawai. Dalam
sejarahnya terkesan ajaib dihati umat. Hingga eksistensi masjid di
tengah umat benar-benar berarti sebagai pusat kegiatan Islam.
Sebelum tahun 1986 lalu, itu lokasi masjid ini masih rawa.
Untuk mengadakan pasir bagi menimbun agar masjid permanen
dapat berdiri adalah masaalah besar. Sebab, tidak ada tanah yang
dapat dijadikan penimbunan. Tidak mungkin untuk dibeli,
disamping biaya transportasi cukup tinggi karena areal tempat
pengambilan ketengah pulau yang jauh menyebabkan harga
perkubiknya menjadi sangat mahal. Masyarakat Muslim di
Mentawai yang miskin ditengah kehidupan yang miskin pula,
baik ekonomi maupun pengetahuan, ditengah-tengah kekayaan
alam belum tergali itu, pasti tidak memiliki kemampuan
mengusahakannya, kalaupun bisa akan memakan waktu yang
panjang. Satu-satunya jalan yang tampak adalah berserah diri
kepada Allah dengan mengandalkan tenaga dan kekuatan
seadanya. Dalam kalut dan bingung itu, terjadilah suatu peristiwa
ajaib. Benar-benar ajaib, mungkin merupakan pertanda
terterimanya do’a dan harapan ummat yang lemah tatkala
bersandar kepada kekuatan Maha Kuat, Allah ‘Azza Wa Jalla.
Selama tiga hari berturut-turut daerah itu diguyur hujan lebat,
sangat lebat, rasanya belum pernah dialami pada waktu-waktu
sebelumnya. Pada awalnya sangat mencemaskan karena badai
ikut pula menyertai. Setelah hujan reda, penduduk yang selama
hujan berlangsung takut keluar rumah, apalagi mendatangi bibir
pantai yang ditakuti bisa mengundang bahaya itu, menjadi sangat
kaget sekali. Kaget berbaur dengan keheranan dan takjub, tetapi
mengundang rasa gembira dan syukur kepada Allah. Kenapa
tidak, disepanjang bibir pantai yang selama ini hanya ada air laut
kini telah tertutup onggokan pasir setinggi dua meter sepanjang
hampir 20 meter. Allahu akbarr … allahu akbarr.. kalimat itulah yang
terloncat dari mulut setiap muslim yang ikut serta membangun
masjid yang sangat diidamkan mereka sebagai tempat mereka
bersujud. Peristiwa serupa terulang kembali di Taileleo ketika
masyarakatnya berkeinginan membangun Masjid Maznah Al
Muthairy mengalami kesulitan mendapatkan pasir, segera Allah
mendatangkan hujan lebat, sungai kecil yang membelah kampung
itu, membawa banjir bandang. Banjir sekali itu telah berperan
membawakan pasir dari hulu dan berhenti persis disamping
masjid yang akan di bangun. Namun setelah masjid selesai
dibangun, hingga sekarang tidak pernah masyarakat mengalami
banjir serupa walaupun hujan deras sering menerpa, bahkan lebih
besar dari yang pernah rasakan tatkala masa-masa awal
membangun masjid yang dinamai Masjid Maznah Al Muthairy
itu. Subhanallah.
Selama satu minggu setiap hari dipergunakan oleh seisi kampung,
tuamuda, lelaki perempuan, remaja maupun anak-anak tumplek
datang ketepi pantai mengangkut pasir dengan alat apa adanya,
bahkan ada yang hanya dengan panci ataupun geribah karena
itulah yang mereka punyai. Inilah yang terjadi sebelas tahun lalu
itu dikala membangun Masjid Al Wahidin, dan yang juga terjadi
lima tahun silam tatkala Maznah Al Muthairy mulai ditegakkan.
Tiada henti dari pagi hingga maghrib, setiap hari selama
seminggu, sampai seluruh lapangan pembangunan masjid yang
rawa itu tertimbuni pasir dan persiapan pekerjaan pasangan batu
dan bata tersedia pula. Lebih menakjubkan lagi, karena setelah
seluruh lokasi tempat masjid yang akan dibangunn tertimbun
rata, hujan badai datang lagi. Air laut naik menghantam daratan,
bersamaan dengan itu onggokan pasir yang tersisa hanyut
terbawa arus. Allah Maha Mengetahui, bahwa umatnya sudah
terbantu, dan tidak dibutuhkan lagi pasir sebanyak itu. Ketika
cuaca kembali mereda, pemandangan seperti semula menghias
pantai tanpa onggokan pasir sama sekali. Kala itu pahamlah
semua penduduk bahwa Allah SWT, mengirimkan pasir ke pantai
Muara Siberut hanya untuk keperluan mesjid, tidak lebih dari itu.
Allahu Akbar…, Allahu Akbar.
Kisah ini tetap tertanam di hati umat Islam Muara Siberut, dan
pada akhirnya masjid yang dibangun dengan susah payah telah
diberi nama Masjid “Al Wahidin” artinya bukti keagungan Allah
Yang Satu dan bukti kemuliaan rahmat-Nya yang pertama dan
utama di negeri ini. Mentawai “pantai berkilau”.
Sentuhan kalbu
Drs. H. Misbach Malim, Lc dari DDII Pusat, sejak mulai
berdiri memberikan kata sambutannya, tidak mampu menahan air
matanya. “Dikota-kota besar sekarang”, katanya mengawali
sambutannya mewakili pimpinan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia Pusat di Jakarta, “banyak mubaligh yang hanya mampu
mengajak jamaahnya untuk ketawa”, apalagi setiap acara
peresmian seperti ini, kegembiraanlah yang sering kali menonjol.
Akan tetapi di hari ini katanya, “Bapak Hamzah mampu
menyampaikan kepada kita bicara iman yang menyentuh hati dan
kalbu semua kita yang hadir. Hingga tak seorangpun dari jamaah
yang hadir ini yang tidak merebak air matanya.”
Inilah suatu kenyataan, jika yang berbicara itu hati, maka
hati pulalah yang akan menyahutinya. Ucapan sekedar lidah
hanya akan mampu didengar oleh telinga saja.
“Kenapa kita semua berada disini?” kata Misbach mengulang
tanya. “Kita telah berkumpul di sini, dari Padang, dari Jakarta,
Bukittinggi, Medan dan daerah lainnya, dengan mengarungi
bahtera lautan lepas selama lebih dua jam pelayaran, karena kita
terpanggil oleh iman semata. Kita kemari justru karena menerima
saudara-saudara kita seiman. Kita datang kemari, karena kita
ingin bertemu dengan saudara-saudara kita seaqidah dan
seagama. Walaupun saudara-saudara kita ini berada di pulau
terpencil, Siberut Mentawai ini.” Inilah suatu kekuatan yang lahir
dari safari dakwah Ila Allah dipulau terbarat yang berbatasan
dengan samudera Hindia ini. Masjid Maznah Al Muthairy, yang
dibangun oleh Muhsinin dan para dermawan melalui ‘Dewan
Dakwah’ hanya dikerjakan dalam jangka waktu 4 bulan walaupun
disana sini masih banyak yang mesti disempurnakan, namun
tukang-tukang masih bekerja sampai bulan Ramadhan 1413 itu
supaya siap dimanfaatkan bagi kepentingan ibadah para
Muhtadin.