Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Eko Arisetijono
Pendahuluan
Stroke merupakan kumpulan gejala akibat proses patologi di otak yang didasari
oleh berbagai factor resiko. Menurut EUSI 2003, stroke atau serangan otak (brain attack) adalah
defisit neurologis mendadak susunan saraf pusat yang disebabkan oleh peristiwa iskemik atau
hemoragik. 4)
Berdasarkan proses patologi, stroke terbagi dalam beberapa jenis. (1) stroke infark atau
stroke iskemik, dan (2) stroke perdarahan yang mencakup perdarahan intra serebral dan
perdarahan subarakhoid. Penelitian di Indonesia menunjukkan 65% stroke adalah infark serebral,
33% perdarahan intra serebral, dan sekitar 2% disebabkan oleh perdarahan sub arakhoid.2
Otak merupakan organ yang paling aktif secara metabolic dalam tubuh kita. Berat otak
hanya 2% dari berat badan tubuh kita,tetapi otak memerlukan 15-20% dari kardiak output total
saat beristirahat yang diperlukan untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan otak terhadap
oksigen dan glukosa sebagai satu satunya makanan otak. Kecepatan aliran darah otak yang
normal adalah lebih dari 100mL/100mg/min. Stroke yang merupakan manifestasi dari
menurunnya fungsi neuron terjadi apabila kecepatan aliran darah otak terjadi pada level kurang
dari 18 mL/100 mg/min.
Ischemic cascade
Proses yang terjadi pada stroke pada tingkat selular adalah hal yang kita sebut sebagai “
ischemic cascade” Banyak factor yang mempengaruhi terjadinya kematian neuron dan factor
tersebut mempengaruhi dalam waktu yang relative cepat. Dalam hitungan detik sampai ke menit
akibat terganggunya suplai oksigen dan glukosa tersebut mulailah terjadinya proses yang kita
sebut dengan “ ischemic cascade”. Proses ini merupakan proses yang rumit dan akan terus
berlanjut apabila tidak segera dihentikan yang akan berakibat semakin luasnya kerusakan sel
otak tersebut bahkan pada area otak yang tidak terganggu.
Ischemic penumbra
Merupakan area di sekitar neuron yang mengalami kerusakan akibat stroke yang mana
daerah ini biasanya juga sudaah mengalami penurunan kecepatan aliran darah yang apabila tidak
segera dilakukan tindakan akan berakibat kematian sel neuron.
Di Indonesia stroke menjadi penyebab penyebab kematian pertama di rumah sakit sejak
tahun 1996 hingga 2005. Data insiden stroke di masyarakat hingga saat ini belum ada. Menurut
data Depkes, jumlah penderita stroke yang dirawat di rumah sakit mengalami kenaikan dari
waktu ke waktu; Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, sampai tahun 1995 rata-rata
dirawat 726 penderita stroke dengan CFR (case fatality rate) rata-rata 37,2% sedangkan pada
tahun 2000 terdapat 1000 orang penderita yang dirawat; RSUP Djamil Padang tahun 1995
jumlah 37 pada tahun 1999 menjadi 279; RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi pada tahun 1999
menjadi 830 dan RSUP Sanglah Bali pada tahun 1999 748 penderita.
Sumber data ASNA (Asean Neurological Association) melaporkan selama kurun waktu 6
bulan (Oktober 1996-Maret 1997) terdapat 2065 pasien stroke akut yang terdaftar di 28 Rumah
Sakit yang mewakili daerah dengan populasi padat di Indonesia. Sejumlah 13 Rumah sakit
berlokasi di Jawa, Sumatera dan Jakarta.
1. Insiden stroke di Indonesia yang tinggi dan cenderung meningkat terus, seiring dengan
meningkatnya faktor resiko, penyebab dan pencetus stroke (gaya hidup masyarakat di
perkotaan meliputi pola makan, merokok, aktifitas dan stress; dampak urbanisasi dan
globalisasi), serta pengaruh dari meningkatnya jumlah populasi lanjut usia sebagai akibat
bertambahnya umur harapan hidup.
2. Stroke dapat menyebabkan kematian dan menjadi penyebab kecacatan yang utama.
3. Pemahaman pimpinan Rumah Sakit dan para klinisi selain neurolog tentang stroke dan
cara penanggulangannya masih perlu ditingkatkan.
4. Dibutuhkan manajemen/penatalaksanaan khusus dalam penatalaksanaan stroke di rumah
sakit.
5. Belum adanya standarisasi pelayanan yang menyeluruh dan terpadu dalam penanganan
stroke secara menyeluruh dan terpadu.
6. Belum adanya bentuk pelayanan multidisiplin untuk penderita stroke di Rumah Sakit.
7. Belum ada konsep-konsep dan prosedur penanganan terpadu neurorestorasi pada stroke.
8. Tantangan dalam pengobatan/penatalaksanaan stroke akut masih terus berkembang.
9. Belum tersebarluasnya pedoman penatalaksanaan stroke yang melibatkan baik pasien,
keluarga maupun masyarakat mengenai kedaruratan stroke dan upaya-uapaya
preventifnya.
10. Kurangnya kemampuan dan ketrampilan tenaga kesehatan di rumah sakit dalam
penatalaksanaan stroke akut.
11. Kurangnya penelitian /kajian tentang data dasar stroke.
Menurut data AHA 2004 Stroke merupakan ranking ke 2 atau 18 % penyebab kematian
3).
di USA Golden period managemen stroke < 3 jam (Trombolisis) sehingga diperlukan
penatalaksanaan stroke terpadu dengan multidisipliner 4).
Menurut data EUSI 2003 Stroke Unit Trialist Collaboration 2003 : adanya Stroke Unit
menurunkan angka kematian 18%, penurunan kematian atau ketergantungan sebanyak 29%
dan penurunan kematian atau kebutuhan perawatan khusus 25 % 4). Di RSCM sejak 1994
dengan adanya stroke unit menurunkan kematian stroke 13% 4)
Data Evidence Base Medicine dari Royal College pada buku “ National clinical
guidelines for Stroke “ edisi kedua tahun 2004, oleh Stroke Unit Trialist Collaboration 2004
Cohrane review meta analisis 26 RCT pada 4911 pasien , membandingkan pelayanan Stroke
Unit dengan perawatan ruang biasa, menunjukkan menurunkan mortalitas dan morbiditas,
sedang lama perawatan tidak memanjang secara signifikan 6)
Data Evidence Base Medicine di Swedia 1999 dari 80 rumah sakit dengan 14308 pasien,
membandingkan pelayanan Stroke Unit dengan perawatan ruang biasa, menunjukkan
menurunkan mortalitas dan morbiditas, sedang lama perawatan tidak memanjang secara
signifikan 6)
1. Beberapa negara maju (Inggris, Australia dan Amerika Serikat) telah menyelenggarakan
pelayanan unit stroke yang berdasarkan evidence based medicine berhasl menurunkan
angka kematian dan kecacatan akibat stroke.
2. Di Indonesia khususnya RSCM dengan menyelenggarakan pelayanan unit stroke,mampu
menurunkan angka kematian dan kecacatan akibat stroke.
3. Penyelenggaraan pelayanan unit stroke, bukan merupakan pelayanan yang membutuhkan
biaya operasional yang mahal, sehingga dinilai cukup feasible, atau layak untuk
diterapkan.
4. Penyelenggaraan pelayanan unit stroke membutuhkan pengorganisasian tim yang baik
dan terpadu dengan dukungan tenaga terampil dan profesional.
5. Evaluasi kegawatdaruratan dan terapi pada jam-jam pertama menentukan prognsis;
penyakit dan kualitas hidup.
6. Protocol medis yang tertulis
Dalam Konsensus National Asosiasi Stroke di Amerika Serikat yang berjudul “Stroke
The First Hours Emergency Evaluation and Treatment” menyatakan bahwa stroke membutuhkan
pemahaman dan penanganan secara khusus baik oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat
setempat dalam penatalaksanaannya. Rumah sakit harus dapat memberikan pelayanan gawat
darurat yang cepat. Tersedianya unit perawatan khusus stroke, termasuk pelayanan ICU.
Perawatan khusus ini di banyak negara diselenggarakan dalam bentuk perawatan terpadu di Unit
Stroke.4,5 Berdasarkan evidence based medicine di negara maju, terbukti adanya penurunan
angka kematian dan angka kecacatan stroke sejak diterapkan perawatan di Unit Stroke.
Di RSCM dikembangkan dua macam jenis pelayanan stroke yaitu Sroke Corner dan
Stroke Unit dengan keuntungan dan kerugiannya sebagai berikut 4) :
• angka mortalitas & morbiditas turun • angka mortalitas & morbiditas turun
DASAR RASIONAL
1. Insiden stroke di Indonesia yang tinggi dan cenderung meningkat terus, seiring dengan
meningkatnya faktor resiko, penyebab dan pencetus stroke (gaya hidup masyarakat di perkotaan
meliputi pola makan, merokok, aktifitas dan stress; dampak urbanisasi dan globalisasi), serta
pengaruh dari meningkatnya jumlah populasi lanjut usia sebagai akibat bertambahnya umur
harapan hidup.
2. Sesuai dengan PERMENKES tentang: “ Standart Pelayanan Stroke Unit “ yang menyatakan
bahwa semua rumah sakit harus mempunyai STROKE UNIT .
3. Stroke merupakan penyakit nomer 1 dari 10 penyakit terbanyak di IRNA I RSSA (sumber
Laporan IRNAI RSSA 2002 -2005)
4. Stroke dapat menyebabkan kematian nomer 2 di dunia, nomer 1 di IRNA I RSSA (sumber
Laporan Tahunan RSSA 2005) dan menjadi penyebab kecacatan nomer 1 di dunia
5. Data Evidence Base menunjukkan adanya stroke unit menurunkan mortalitas dan morbiditas
stroke secara signifikan.
6. Penanganan stroke pra hospital, hospital dan post hospital masih jauh dari standar
international.
7. Diperlukan suatu ruangan khusus/ tersendiri untuk penanganan stroke denga pertimbangan :
a. Dalam waktu singkat (Time window 3 jam) diperlukan kerjasama multidsiplin (Neurologi,
Emergency Medicine, Radiology, Patologi klinik, kardiologi, Penyakit Dalam, Bedah saraf.
b. Perawatan khusus untuk penderita stroke dikarenakan adanya masalah yang terkait stroke
(Gangguan kesadaran, gangguan pernafasan, gangguan menelan, kejang, stress ulcer dll).
c. Perlu spesifikasi ruangan yang berbeda dengan ruangan lain seperti, bed khusus (anti
9. Belum tersebar luasnya pedoman penatalaksanaan stroke yang melibatkan baik pasien,
keluarga maupun masyarakat mengenai kedaruratan stroke dan upaya-uapaya preventifnya.
10. Kurangnya kemampuan dan ketrampilan tenaga kesehatan di rumah sakit dalam
penatalaksanaan stroke akut.
1. Promotif. Upaya ini bertujuan untuk menurunkan angka kejadian stroke dengan
mencegah peningkatan faktor resiko stroke di masyarakat. Termasuk upaya ini adalah
kampanye atau penyuluhan tentang gaya hidup sehat agar terhindar dari berbagai faktor
resiko stroke, seperti merokok, minum alkohol, inaktivitas, dan obesitas.
2. Prevensi primer. Upaya ini bertujuan untuk menurunkan angka kejadian stroke dengan
mencari dan mengobati individu yang mempunyai faktor resiko tinggi terserang stroke,
antara lain: hipertensi, diabetes melitus dan penyakit jantung.
3. Prevensi sekunder, untuk mencegah serangan ulang pada penderita yang pernah
mengalami serangan stroke atau TIA (transient ischemic attack). Upaya ini diharapkan
dapat menurunkan angka kekambuhan (rekurensi).
4. Terapi stroke fase akut. Upaya ini bertujuan untuk menurunkan angka kematian dan
kecacatan pada penderita yang mengalami serangan stroke untuk pertama kalinya
maupun serangan ulang.
5. Rehabilitasi. Di samping keempat komponen di atas, tidak kalah pentingnya adalah
usaha meningkatkan kemandirian penderita melalui upaya rehabilitasi.
Salah satu komponen krusial dalam penanggulangan stroke adalah upaya terapi stroke
fase akut. Paradigma lama memandang terapi stroke akut dengan cara pandang “wait and see”,
sehingga penderita yang mengalami serangan stroke dibawa ke rumah sakit hanya jika gejala
stroke semakin memberat. Berbagai studi klinik telah menyimpulkan bahwa serangan stroke
merupakan keadaan darurat yang harus segera ditangani, sebagaimana penanganan trauma berat
atau infark miokard akut. Dengan demikian, “time is brain” merupakan cara pandang yang
lebih tepat dalam terapi stroke fase akut (Warlow, 1996; Lewandowski, 2001). Terapi
trombolitik pada penderita stroke iskemik akut, misalnya, saat ini hanya dilakukan saat selang
waktu 3 jam sejak terjadinya serangan stroke (Marler, 2001)..
Keberhasilan terapi stroke akut sangat ditentukan oleh beberapa tahap yang merupakan
mata rantai yang saling berkait (Gambar 2). “Stroke chain survival and recovery” tersebut
meliputi (Kidwell, 2000; Lewandowski, 2001):
1. Detection. Pengenalan gejala dan tanda-tanda stroke oleh penderita, keluarga atau orang
di sekitar penderita.
2. Dispatch. Sistem komunikasi yang baik antara masyarakat dan rumah sakit.
3. Delivery. Fasilitas pengiriman penderita ke rumah sakit. Berdasarkan hasil pelayanan
ambulans darurat merupakan komponen paling signifikan yang berhubungan dengan
kecepatan penderita stroke tiba di unit pelayanan stroke
4. Door. Bagian triage dari instansi rawat darurat.
5. Data. Evaluasi penderita, termasuk pemerisaan CT scan kepala.
6. Decision. Penentuan diagnosis dan rencana penanganan selanjutnya. Di sini, peran
neurologist sangat menentukan keberhasilan terapi.
7. Drug therapy. Pengobatan umum dan spesifik, termasuk tindakan bedah bila diperlukan.
8. Device. Perlengkapan atau sarana perawatan akut dan rehabilitasi dini. Dari penelitian
yang dilakukan Indredavik dkk (1999a), mobilisasi atau latihan dini merupakan faktor
terpenting yang berkaitan dengan keberhasilan terapi.
Sampai saat ini terdapat berbagai bentuk organisasi pelayanan penderita stroke akut.
Setelah tiba di triage dan menjalani evaluasi di instalasi rawat darurat, sebagian besar
penderita dirawat di bangsal umum (general medical/neurologist words). Sebagian yang lain
di rawat di bangsal perawatan khusus stroke (stroke-spesific units) (Warlow,
1996;Langhorne,1998).
Bangsal Umum
Di bangsal umum, penderita stroke akut dirawat bersama-sama dengan penderita lain.
Dalam bangsal, dilakukan perawatan penderita sesuai prosedur perawatan stroke akut.
Penderita dirawat oleh dokter dan paramedik dengan kemampuan yang baik dalam merawat
setiap penderita darurat pada umumnya. Perawatan neurorehabilitasi dan konsultasi kepada
bagian lain biasanya dilakukan bila dianggap perlu oleh dokter yang merawat.
Saat ini terdapat berbagai model perawatan khusus bagi penderita stroke, antara lain unit
perawatan intensif penderita stroke akut, unit neurorehabilitasi stroke, serta unit perawatan
stroke akut dan rehabilitasi dini.
Unit perawatan intensif penderita stroke akut (stroke intensive care unit) disediakan
khusus untuk merawat penderita stroke akut yang berat. Mencontoh keberhasilan unit
perawatan intensif penyakit jantung koroner (ICCU), unit ini hanya melakukan perawatan
singkat sampai beberapa hari saja. Unit ini dilengkapi berbagai fasilitas canggih, antara lain
alat pemantau intensif berbagai fungsi fisiologik (jantung, rehabilitatif respiratorik, dan
neurologik), serta kemampuan untuk melakukan tindakan intensif terhadap peningkatan
tekanan intrakranial dan keadaan gawat lainnya. Dengan fasilitas pemeriksaan canggih,
pemantauan ketat, dan perawatan yang sangat intensif, diharapkan “accute neurovascular
intensive care unit” ini mampu menurunkan angka kematian penderita stroke akut.
(Mansbach, 1997).
Unit ini menekankan perawatan penderita pasca stroke daripada perawatan stroke akut.
Penderita yang dirawat di unit ini biasanya sudah selesai menjalani terapi stroke akut di
bangsal umum atau bangsal perawatan khusus stroke akut. Fisioterapi, terapi wicara, terapi
okupasi, dan upaya neurorehabilitatif lain yang dilakukan terutama untuk menurunkan angka
ketergantungan, atau meningkatkan kemandirian penderita yang mengalami cacat akibat
stroke. Perawatan di unit ini menunjukkan perbaikan fungsional yang nyata dan lebih cepat
(Kalra, 1994a). Kalra (1994b) juga melaporkan adanya perbaikan fungsional yang lebih
mencolok pada kelompok usia dibawah 75 tahun dibanding kelompok usia diatas 75 tahun.
Unit ini melakukan perawatan penderita stroke akut sesuai prosedur terapi stroke akut
dan komplikasinya, disertai neurorehabilitasi yang dimulai sedini mungkin. Unit semacam
inilah yang sekarang lebih sering dikembangkan sebagai unit stroke.
Unit Stroke
Tidak ada satu model baku unit stroke. Unit stroke di satu negara mungkin berbeda
dengan unit stroke di negara lain. Bahkan beberapa unit stroke di satu negara mungkin saja
berbeda satu sama lain. Kendati demikian, dapat dijumpai beberapa karakteristik berikut ini
pada berbagai model unit stroke (Warlow, 1996; Mansbach, 1997; Davis, 1997; Langhorne,
1998; Adam, 1998; Caplan, 2000).
Unit stroke melakukan aktivitas diagnosis dan terapi stroke akut, termasuk upaya
penanganan penyakit vaskular yang mendasari terjadinya stroke, serta komplikasinya. Untuk
itu, unit stroke memerlukan fasilitas yang memungkinkan untuk mengakses secara cepat
berbagai pemeriksaan laboratorium yang diperlukan, foto thoraks, dan elektrokardiografi,
yang tersedia dalam 24 jam. Klinik neurovaskular non-invasif (misalnya CT scan, MRI,
Doppler transkranial, dan ekokardiografi), maupun invasif (misalnya angiografi), sangat
mendukung keberhasilan unit stroke.
Upaya neurorehabilitasi dilakukan secara integratif dengan pengobatan stroke akut sejak
saat penderita dirawat di unit stroke. Dengan demikian, neurorehabilitasi merupakan unsur
yang tak terpisahkan dari perawatan penderita stroke akut, termasuk pula dalam penentuan
dan pemecahan masalah serta tujuan terapi.
Perawatan penderita di unit stroke di kendalikan oleh TMD yang terdiri dari dokter,
perawat, fisioterapist, terapist wicara/bahasa, terapist okupasi, pekerja sosial, dan ahli gizi.
Dokter spesialis saraf (sebagai ketua tim) mengendalikan perawatan penderita di unit stroke.
Dokter spesialis lain (kardiolog, radiolog, penyakit dalam, psikiatrist, bedah saraf, dan
anestesi) bertindak sebagai konsultan yang dihubungi sesuai masalah yang dihadapi. Kegiatan
masing-masing anggota TMD dicatat dan dievaluasi. Untuk menilai dan mengatasinya
berbagai masalah penderita yang dirawat, TMD mengadakan pertemuan berkala (biasanya
setiap minggu).
Bangsal Khusus
Unit stroke menempati bangsal khusus dengan kapasitas sekitar 6 sampai 15 tempat tidur.
Jumlah tempat tidur ini tergantung pada kemampuan perawatan dan tenaga medik maupun
paramedik yang tersedia. Agar perawatan bisa dilakukan secara efektif, idealnya rasio tenaga
paramedik dan penderita adalah 1:1. Selain sarana perawatan akut, bangsal khusus ini
dilengkapi juga dengan sarana rehabilitasi dini.
Manfaat Unit Stroke
Beberapa peneliti telah menunjukkan hasil (outcome ) yang lebih baik bagi penderita
stroke yang dirawat di unit stroke dibandingkan bangsal umum. Sebagian diantaranya dapat
dilihat pada tabel 2.
Indredavik dkk (1991) melaporkan penurunan angka kematian dalam 6 minggu setelah
dirawat di unit stroke. Selain itu, dijumpai pula perbaikan status fungsional dalam waktu 6
dan 12 minggu setelah penderita yang dirawat di unit stroke. Langhorne dkk (1993)
membuktikan pula bahwa perawatan di unit stroke mampu menurunkan angka kematian dan
ketergantungan angka kematian dan ketergantungan penderita Stroke Unit Triallists
Collaboration (1997) menyimpulkan bahwa menurunnya angka kematian penderita yang
dirawat di unit stroke terutama karena berkurangnya kematian akibat komplikasi sekunder.
Sedangkan penurunan angka ketergantungan adalah sebagai akibat penurunan disabilitas.
Anggota tim stroke harus mempunyai kompetensi dan pengetahuan mengenai tatalaksana
stroke yang meliputi:
B. RUANG LINGKUP
Fase prapatogenesa merupakan suatu fisik seseorang/individu yang mempunyai potensi untuk
mendapat serangan stroke, kecenderungan ini umumnyadisebabkan oleh adanya faktor resiko
(hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, hiperkolesterol, dll) yang sudah lama diderita
pasien.
Fase patogenesa umumnya terjadi pada individu yang sedang menderita serangan stroke dan
membutuhkan terapi/tindakan klinis di rumah sakit, penatalaksanaan fase ini terdiri dari
penatalaksanaan stadium hiperakut, stadium akut dan stadium sub akut .
Pada fase pasca patogenesa, penatalaksanaan stroke setelah melampaui fase akut mengutamakan
prosedur neurorestorasi. Lesi patologik dianggap sudah stabil dan perubahan yang ada hanya
merupakan proses adaptif dari sistem saraf terhadap lesi patologik atau adaptasi sosial terhadap
kemampuan dan kecacatan yang ada.
1. Stadium Hiperakut
Stadium Hiperakut adalah kumpulan gejala klinis yang terjadi pada menit/1 jam pertama
serangan otak. Saat ini merupakan waktu yang ideal untuk melakukan tindakan
emergency.
2. Stadium Akut
Stadium Akut ditandai oleh keadaan fungsi vital dan keadaan klinis yang belum stabil.
Keadaan ini berlangsung sejak fase hiperakut sampai dengan 2 minggu pasca serangan,
Stadium sub akut ditandai oleh adanya pemulihan pada lesi patologik saraf
dan reorganisasi dari seluruh sistem saraf (kondisi ini masih tidak stabil), atadium
ini disebut juga stadium restoratif. Tergantung dari jenis dan keparahan lesi syaraf
sampai 1 bulan pasca serangan otak yang tergantung pada keparahan klinis.
Unsur Penyelenggaraan
Unsur penyelenggara Unit stroke, terdiri dari 2 (dua) unsur penyelenggara yaitu
tim inti dan tim konsultan.
a. Tim Inti
Adalah pelaksana yang mempunyai akses terhadap semua pasien stroke yang
dirawat dan terhadap sumber daya (tenaga,sarana dan peralatan)yang digunakan untuk
pengobatan, perawatan dan rehabilitasi sesuai dengan mekanisme pelayanan standar yang
ditetapkan. Anggota tim inti dapat merupakan bagian dari Unit Stroke yang secara
geografis terlokalisir atau merupakan tim yang mobile (bergerak yang mengelola seluruh
pasien stroke yang dirawat secara berpencar di ruang rawat lainnya yang tidak me
mungkinkan untuk dipindahkan ke Unit Stroke.
Pekerja sosial.
b. Tim Konsultan
Adalah para ahli yang ikut mengelola pasien stroke sesuai dengan probema yang
membutuhkan pengelolahan sesuai dengan bidang keahlian yang bersangkutan.
Tim konsultan melaksanakan pengelolaan atas dasar konsultatif.
1. Kebutuhan dasar
Tugas dokter:
1. Mempertahankan jalan napas tetap paten dan sirkulasi agar tetap adekuat dengan
infuse cairan isotonis.
2. Monitor tanda vital secara berkala (tekanan darah ki/ka, frekuensi nadi, suhu, dan
frekuensi pernafasan). Laporkan bila ada kelainan atau perubahan signifikan.
3. Monitor status .neurologis (GCS, pupil, fungsi motorik dan fungsi sensorik).
4. Mengatur posisi dengan elevasi kepala 15-30 derajat bila tidak ada kontra
indikasi.
5. Berikan oksigen sesuai kebutuhan atau 1-2 L/menit.
6. Bila gelisah, periksa fundus kandung kencing, bila penuh keluarkan dengan
kateter Neolation.
7. Lakukan seizure pre caution.
8. Monitor kadar gula darah dan pertahankan kadar gula darah dalam batas normal.
Stadium Akut:
Tugas dokter:
1. Melakukan assesment secara teratur: tingkat kesadaran, tanda vital dan besar pupil serta
fungsi motorik dan sensorik.
2. Melakukan assesment fungsi kandung kemih berupa pengukuran sisa urin sesudah
berkemih.
3. Melakukan assesment terhadap kemampuan menelan pasien.
4. Memonitor keseimbangan cairan.
5. Mengkaji kemampuan pasien untuk mobilisasi (duduk, pindah dan berdiri)
6. Mengkaji kemampuan pasien untuk berkominikasi.
7. Mengawasi fungsi saluran cerna.
8. Mengkaji status gizi pasien dan mengatur kebutuhan nutrisi pasien sesuai petunjuk ahli
gizi dan kondisi pasien.
9. Melakukan Basic Cardiac Life support (BCLS).
10. Melakukan Basic Neurology Life Support
11. Membaca EKG secara sederhana.
12. Mengantisipasi terjadinya komplikasi dengan cara mengatur dan merubah posisi secara
berkala dan melakukan fisioterapi dada.
13. Melakukan mobilisasi dan stimulasi dini sesuai kondisi pasien.
14. Memonitor adanya komplikasi sedini mungkin dan melaporkan pada dokter.
15. Memberikan rasa nyaman kepada pasien dan keluarga.
16. Memberikan informasi/edukasi kepada pasien dan keluarga.
17. Membimbing pasien dan keluarga untuk melakukan latihan sesuai petunjuk dokter
rehabilitasi medik/dokter/fisioterapist/perawat yang telah dididik.
Tugas dokter:
1. Melibatkan pasien dan keluarga dalam perawatan diri dan melakukan aktivitas sehari-
hari.
2. Melakukan perawatan kulit.
3. Mempertahankan patensi jalan napas.
4. Memonitor fungsi dan melatih keteraturan defekasi.
5. Melakukan bladder training.
6. Memonitor keseimbangan cairan
7. Melakukan perawatan mata bila perlu.
Tugas dan fungsi terapis/tim rehab:
Terapis wicara:
Fisioterapi:
Mengembangkan , memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh pasien stroke.
Berkolaborasi dengan perawat dan fisioterapi dengan melaksanakan:
Tenaga Okupasi:
Terapis Sosial:
Dietisien:
1. Memberikan terapi gizi berdasarkan pengkajian status gizi yang meliputi riwayat gizi,
pengukuran antropometri, review data laboratorium, perkiraan kebutuhan gizi, intervensi
gizi dan hasil intervensi tersebut (hasil evaluasi).
2. Bekerja sama dengan ketua tim dan anggota tim lainnya dalam menangani pasien stroke
sesuai dengan keterbatasannya.
3. Memberikan konsultasi gizi kepada pasien dan keluarga pada saat dirawat dan sesuadah
pulang rawat.
3. Tugas dan Fungsi Tim Konsultasi