Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Nama : LOURENSIA
NIM : 31080225
Kelas : D
Latar Belakang
PENDAPAT PAKAR
Dari hal diatas, ajaran agama ada dan diberikan bukan untuk
pembenaran diri atau kelompok lain namun agar kita sebagai individu dapat
mengelola hidup secara lebih baik untuk memuliakan Tuhan. Usaha
memuliakan Tuhan adalah sekaligus memberikan yang terbaik daripada
hidup kita demi mencapai keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian bagi
semua orang walau mereka berbeda suku, agama / kepercayaan, asal – usul,
ataupun budaya.
Poin lainnya adalah bahwa agama berperan penting sebagai motivator
serta meletakkan landasan etik moral dan spiritual untuk mendorong
pembangunan. Tanpa peranan agama, dikhawatirkan bahwa hal negatif
akibat pembangunan akan semakin meningkat, seperti kesenjangan sosial
yang semakin lebar. Dan tentunya hal ini dapat membawa dampak negatif
pula yang dapat mengancam kesatuan dan persatuan bangsa. Agama di
Indonesia dalam konteks berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara terdapat
5 agama yang diterima oleh Departemen Agama. Agama –agama suku tidak
masuk dalam pengaturan Departemen Agama tapi masuk dalam pengaturan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dimana dianggap sebagai budaya
spiritual bangsa, bukan agama.
Menurut KH. Ali Yafie, rakyat Indonesia telah memiliki sejarah yang
panjang mengenai pluralisme. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
religius dapat dibuktikan dari sejarah, konstitusi dan realita kehidupan sehari
– hari bangsa ini. Konstitusi Republik Indonesia sekarang ini cukup
mencerminkan peta keagamaan di Indonesia yang sejarahnya sudah
berabad-abad dan semenjak berpuluh-puluh tahun kemerdekaan Indonesia,
peta keagamaan kita semakin beragam warnanya. Indonesia dianggap sudah
cukup berpengalaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini
sehingga Indonesia telah menampilkan suatu pola kehidupan beragama yang
telah dituangkan pada konstitusi hukum Indonesia. Menurutnya, Iman dan
takwa perlu untuk berfungsi dengan baik sehingga jikalau iman dan takwa
berfungsi dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara tentunya tidak aka nada lagi pikiran bahwa apakah agama itu
pembawa petaka atau pembawa rahmat.
Itu salah besar. Pluralisme itu mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus
setuju. Selain itu, yang terpenting, bukan sekadar menjadi toleran, melainkan
menghormati ajaran agama orang lain. Dan sadar betul bahwa keberagamaan
orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi
manusia, kata M Syafi'i Anwar (52), seorang intelektual Muslim yang sejak lama
bergelut dengan pluralisme.
Konsep pluralisme yang tidak sekadar toleransi, tetapi lebih menuju kepada
penghormatan (respect) kepada yang lain (the others), diakui Syafi'i misalnya
dikemukakan Klaus-Jurgen Hedrich, salah seorang tokoh Partai CDU (Christian
Democratic Union) Jerman Barat yang juga mantan Wakil Menteri Kerja Sama
Ekonomi dan Pembangunan.
Pendapat Klaus ini saya setujui sepenuhnya. Namun, Islam sendiri sebetulnya juga
mengajarkan pluralisme, ujar pria kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 27 Desember
1953, itu.
Akan tetapi, kegiatan untuk memperjuangkan pluralisme tersebut bukannya tanpa
hambatan. Ketika memimpin jurnal Ulumul Quran darah saya pernah dihalalkan
oleh sekelompok radikal yang meminta mencabut tulisan Cak Nur (Nurcholish
Madjid), tuturnya kepada Kompas pekan ini.
Disertasi itu berfokus pada berbagai perilaku politik para pemimpin Muslim
modernis dalam merespons kebijakan negara di bawah rezim Orde Baru.
Ada dua kelompok Islam yang bisa bertolak belakang satu sama lainnya,
yakni progresif-liberal, dan puritanisme-konservatif. Bagaimana pendapat
Anda?
Munculnya kelompok liberal ini sebagai reaksi dari keberadaan kelompok Islam
garis keras. Kelompok garis keras ini dicirikan dengan sikap yang menafsirkan
segalanya dengan literal tekstual.
Ciri yang paling menyedihkan adalah dipakainya cara kekerasan, baik secara
simbolik maupun fisik. Sikap seperti ini tidak hanya bertentangan dengan hukum
nasional, tetapi juga bertentangan dengan hak asasi manusia. Padahal, dalam
agama Islam sendiri dilarang.
Pertama, muncul dari paradigma berpikir yang dibentuk oleh tafsir yang literal.
Contohnya, dalam kelompok garis keras itu masih percaya orang Yahudi atau
Nasrani itu tidak akan berhenti sebelum kamu masuk agamanya mereka. Nah,
kalau tafsirnya literal tekstual, jelas akan membentuk sikap garis keras apalagi jika
ini kemudian menjadi pola pikir (mindset).
Faktor kedua yang juga mendorong munculnya kelompok ini adalah masyarakat
yang tanpa hukum, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan ketidakpastian politik
sehingga kelompok garis keras melihat hukum yang tak berjalan ini perlu diganti
dengan syariah sebagai alternatif. Ini dilihat mereka sebagai obat mujarab yang
bisa dipakai untuk menyelesaikan semua masalah.
Ya, secara struktural adanya ketakadilan politik global, terutama di Timur Tengah,
khususnya krisis Israel dan Palestina, serta sikap standar ganda AS.
Globalisasi, dalam satu segi positif. Namun, pada saat yang sama juga
menyebabkan hal yang negatif. Di antaranya, terjadinya alienasi terhadap
masyarakat, yang kemudian menimbulkan resistensi yang tinggi. Terutama karena
kita melihat adanya ketidakadilan global, pendapatan, kontribusi dalam diskursus.
Pada saat yang sama agama tidak muncul sebagai solusi, tetapi menjadi sarana
pelarian dari persoalan. Kelompok garis keras ini ingin segera keluar dari masalah
dan mencari jawaban di agama dan membentuk resistensi diri yang memperkuat
identitas diri yang hanya memperkuat keakuannya dan menghilangkan
keberagaman.
Pendidikan pluralisme
Syafi'i Anwar percaya, untuk mengubah pola pikir masyarakat tentang keragaman
keberagamaan, solusinya adalah pendidikan pluralisme dan multikulturalisme di
sekolah-sekolah.
Menurut saya, solusi yang paling jitu adalah melalui pendidikan pluralisme dan
multikulturalisme. Hanya melalui pendidikanlah orang bisa mengubah mindset-nya.
Saya percaya betul dengan pendidikan pluralisme. Namun, karena psikologi
masyarakat Indonesia, untuk membicarakan level teologi akan lebih baik jika sudah
masuk SMA atau perguruan tinggi. Yang terutama diajarkan adalah sejarah agama-
agama. Saya kira orang yang tahu sejarah agama-agama tidak akan pernah
menjadi radikal.
Itulah yang sedang dikerjakan oleh ICIP, seperti membuat program di televisi
tentang dialog antar-agama. Juga pendidikan jurnalistik pluralisme.
Karena itulah, kalau kemudian Islam menjadi mayoritas, tidak selayaknya mereka
menilai rendah kepada minoritas. Nah, itu yang harus disadari. Karena itulah, di
Indonesia yang menjadi negara dengan mayoritas Muslim tidak selayaknya
menekan minoritas.
Sayangnya, dakwah Wali Songo yang terbukti dalam sejarah berhasil menyebarkan
Islam melalui kultural harusnya menjadi contoh. Bagaimana Sunan Kalijaga
memasukkan unsur Islam dalam cerita pewayangan. Tentu itu harus bisa dijadikan
pengalaman berharga dalam melakukan dakwah.
Dari Pemilu 1999, ternyata mereka yang menggaungkan partai Islam terpuruk, di
Pemilu 2004 juga menurun. Kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang naik,
tetapi tidak membawa isu Islam secara spesifik.
Fundamentalisme itu dalam istilah adalah ideologi luar pagar. Ketika masuk
pemerintahan, mereka akan akomodatif. Masyarakat Indonesia itu sangat plural.
Kalau memaksakan kehendak, akan menghancurkan dan menimbulkan konflik yang
luar biasa.
BAB III
Setelah melihat berbagai pendapat yang dituturkan oleh para tokoh melalui
makalah, artikel, buku, blog dan media lainnya, banyak hal yang dapat diambil dan
disimpulkan. Namun sebelum mencapai kesimpulan, ada beberapa hal yang perlu
disinggung mengenai penerapan multikulturalisme dan pluralism di Indonesia.
Pendapat dari berbagai tokoh, akademisi, atau pemikir lainnya banyak yang
menyatakan kesetujuannya terhadap konsep dari multikulturalisme dan pluralism
untuk diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia dan terutama
yang berkaitan dengan tema makalah ini yaitu mengenai Pendidikan agama.
Namun masalah yang ada disini adalah apakah multikulturalisme dan pluralism
agama ini telah berhasil dilakukan dan diterapkan di NKRI ini. Karena dari hal – hal
yang nyata terjadi adalah masih banyaknya penolakan terhadap konsep
multikulturalisme dan pluralism ini seperti contohnya Fatwa MUI yang dikeluarkan
mengenai konsep tersebut.
Permasalahan mengenai pemahaman multikulturalisme dan pluralism masih
menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mampu memahaminya. Umat
beragama Indonesia masih banyak mengenal fanatisme terhadap agamanya atau
sikap menyatakan kelompoknya yang paling benar masih merupakan masalah
besar di Indonesia ini. Permasalahan lainnya adalah penafsiran terhadap konsep
multikulturalisme dan pluralism yang masih dijelaskan secara sepihak sehingga
menimbulkan salah tafsir oleh beberapa kelompok agama tertentu. Penerapan
konsep multikulturalisme secara nyata masih belum terjadi secara benar di
Indonesia, masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dari segi informasi dan
pengetahuan mengenai konsep dan penanaman konsep secara tepat kepada setiap
pribadi sehingga bisa mendukung upaya transformasi multikulturalisme dan
pluralism agama di Indonesia ini. Dan Indonesia tidak terjebak dalam konsep
multikulturalisme yang dipahami salah oleh masyarakatnya.
Pertanyaannya sekarang adalah :
1. Sejauh mana penerapan konsep multikulturalisme dan pluralism dalam
pendidikan agama di Indonesia ini secara nyata di Indonesia?
2. Bagaimana peran dari para agamawan, akademisi, pengajar, dan
pemerintah, serta masyarakat untuk mampu memahami secara benar dari
pada multikulturalisme dan pluralisme dan mampu untuk menerapkan
konsep itu secara tepat sehingga dapat berjalan dengan baik sejalan dengan
keadaan masyarakat Indonesia? Terutama di bidang agama.
3. Apa langkah – langkah yang harus diambil oleh Indonesia untuk menghadapi
tantangan globalisasi yang begitu multikulturalis dan pluralis dan
hubungannya dengan pendidikan agama?
Para tokoh sudah menekankan pada titik-titik vital permasalahan daripada konsep
multikulturalisme dan pluralisme pada pendapat mereka dalam tulisan-tulisannya
dan hal ini dapat menjadi ukuran bagi masyarakat untuk bagaimana mengilhami
dan memahami maksud yang telah disampaikan para tokoh tersebut.Yang saya
tekankan adalah pelaksanaannya yang secara nyata konsep tersebut secara tepat
dan baik sehingga akan lebih baik jika direalisasikan secara cepat tanpa ditunda –
tunda namun dengan rencana yang matang pula. Demikian kritik yang ingin saya
sampaikan.
A. Kesimpulan
Indonesia begitu plural dan kaya dengan budaya sehingga dapat menimbulkan
berbagai perbedaan pendapat yang dapat menyebabkan berbagai hal negatif dan
tidak jarang juga harmoni kebersamaan yang indah dan menyenangkan yang
begitu positif. Konsep multikulturalisme dan pluralisme merupakan hal yang
sebenarnya sederhana tapi juga begitu rumit karena menyangkut perbedaan
pendapat setiap manusia. Indonesia sebagai Negara yang penuh dengan
kepelbagaian sebenarnya tanpa disadari sudah menerapkan konsep ini walau pada
kenyataannya masih banyak benturan yang terjadi.
Begitu banyak perbedaan yang ada di Indonesia yang mencakup SARA dan salah
satu hal yang menjadi banyak argument sampai saat ini adalah konsep
multikulturalisme dan pluralism pada pendidikan agama dan dimana keberadaan
konsep tersebut sejalan dengan agama yang ada di Indonesia. Indonesia bukanlah
Negara dengan satu kepercayaan saja namun memiliki penduduk yang menganut
berbeda-beda agama serta kepercayaan. Konsep multikulturalisme dan pluralisme
adalah hal yang melekat pula pada unsur keberadaan agama di Indonesia ini.
Kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai pendapat pakar / tokoh agama
ataupun akademisi adalah bahwa Agama di Indonesia dinaungi oleh Pancasila
dimana sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa serta juga mendukung
semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang erat kaitannya dengan konsep
Multikulturalisme dan Pluralisme dimana bahwa Indonesia mengakui bahwa Negara
kita sebagai Negara yang beragama memercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa
sesuai dengan kepercayaan agama masing-masing dimana bukan berarti bahwa
menyama-ratakan bahwa semua agama memiliki Tuhan yang sama. Hal ini berbeda
dengan Sinkretisme dan dimaksudkan disini adalah bahwa kita perlu memahami
agama dengan konsep multikulturalisme dan pluralism adalah dengan saling
menghormati dan memahami perbedaan yang ada.
Jadi dapat dikatakan bahwa pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap
pemeluk agama dituntut bukan saja untuk mengakui keberadaan dan hak agama
lain, tapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
tercapainya kerukunan dalam kebhinnekaan. Kedua, pluralisme agama bukanlah
sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur
tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan
bagian integral dari agama baru tersebut.
Kesalahan tafsir pada makna konsep tersebut yang menyatakan bahwa konsep
tersebut hendak menyama-ratakan semua dengan satu Tuhan masih disebabkan
adanya fanatisme dan pikiran sempit atau ketidakpahaman dari seseorang. Oleh
karena itu, tepat dikatakan bahwa pemahaman mengenai konsep lebih tepat
diberikan kepada seseorang yang sudah cukup memiliki pendidikan dan
kemampuan untuk paham secara lebih karena tanpa pengetahuan yang cukup
pemaknaan suatu konsep dapat menjadi keliru.
Untuk paham mengenai agama tersebut, kita juga harus mengerti mengenai
sejarah dari setiap agama sehingga kita juga mengerti apa maksud dari ajaran
setiap agama lain sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dan pemberian
stereotype yang sebenarnya dianggap tidak tepat bahkan salah. Agama di
Indonesia berkembang menjadi begitu plural karena sejarah yang begitu panjang
semenjak jaman menganut animisme dan dinamisme di masa lalu hingga sekarang
ini dan tentunya kita tidak lupa bahwa agama di Indonesia juga sudah bercampur
dan menyesuaikan dengan adat dan budaya di Indonesia yang sudah menjadi
khasanah yang indah dan kekayaan berharga bangsa ini yang tidak dimiliki bangsa
lain. Sehingga kita tidak boleh melupakan hal penting tersebut demi tercapainya
pemahaman tepat mengenai konsep ini.
Pluralisme agama itu mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju.
Selain itu, yang terpenting, bukan sekadar menjadi toleran, melainkan
menghormati ajaran agama orang lain. Dan sadar betul bahwa keberagamaan
orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi
manusia. Faktor paradoks globalisasi juga mungkin salah satu penyebab daripada
pemaknaan konsep multikulturalisme dan pluralism yang tidak tepat. Globalisasi
memang memiliki sisi positif tapi juga tidak lupa adanya sisi negative yang justru
efeknya mungkin menjadi faktor kesalahpahaman konsep. Oleh karena itu
pendidikan merupakan jalan yang harus ditempuh untuk dapat menyelesaikan
masalah pemahaman konsep ini. Kematangan pemahaman hanya dapat dicapai
dari bertambahnya pengetahuan lewat pendidikan sehingga pendidikan merupakan
sarana penting untuk mengajarkan mengenai makna multikulturalisme dan
pluralisme.