Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Perkembangan resistensi terhadap antimikroba dan munculnya patogen multi resisten telah
membangkitkan kepedulian kalangan medis di dunia. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri
resisten dikaitkan dengan angka perawatan rumah sakit yang lebih tinggi, masa perawatan
rumah sakit yang lebih lama, serta tingkat kesakitan dan kematian yang lebih tinggi.1
Golongan Fluorokuinolon adalah antibiotik yang sangat aktif, memiliki spektrum luas
dan banyak digunakan baik pada manusia maupun hewan.2 Fluorokuinolon memiliki
kelebihan karena dapat melawan berbagai jenis patogen multiresisten disebabkan cara
kerjanya yang melalui target – target yang berbeda dari golongan antimikroba lain.
Mekanisme resistensi fluorokuinolon juga tidak seperti kebanyakan mekanisme resistensi
dari antibiotik lain, yaitu tidak melalui plasmid atau integron.1
Saat ini, fluorokuinolon semakin banyak digunakan untuk terapi empiris disebabkan
resistensi terhadap antimikroba empiris yang biasa dipakai. 1,2 Siprofloksasin, yang pertama
kali diperkenalkan pada tahun 1987 merupakan golongan fluorokuinolon yang paling banyak
digunakan. Siprofloksasin memiliki spektrum lebih luas terhadap bakteri gram negatif
daripada kuinolon generasi pertama, namun aktivitasnya terhadap gram positif lebih lemah,
terutama terhadap Streptococcus pneumoniae.4
Faktor harga yang murah dan kenyamanan pemakaian, dimana golongan
siprofloksasin cukup diminum sekali atau dua kali sehari mengakibatkan pemakaian
siprofloksasin amat meningkat, bahkan mengakibatkan pemakaian yang tidak rasional.
Harga Netto Apotik (HNA) siprofloksasin generik adalah Rp 864,00 per butir (SK Menkes
No. 12/Menkes/SK/I/2005), sedangkan di pasaran obat ini biasa dijual hanya Rp 11.000,00
per box isi 50 tablet, yang berarti per butirnya dihargai Rp 550,00.5 Hal ini mengindikasikan
persaingan harga yang tidak sehat akibat tidak adanya regulasi harga jual yang seyogianya
merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah. Industri farmasi turut berperan dalam
penyalahgunaan siprofloksasin melalui pemberian diskon yang sangat besar, bahkan
mencapai 90% . Salah satu contoh dampak dari diskon besar-besaran ini adalah laporan
dari satu puskesmas yang menggunakan seluruh anggaran belanjanya dalam satu tahun
untuk pembelian siprofloksasin dengan diskon 90%. Hal ini akan semakin mendorong
pemakaian siprofloksasin yang tidak pada tempatnya, sehingga pada akhirnya akan
merugikan masyarakat sebagai konsumen kesehatan. 5,6
Fenomena lain, yaitu kian gencarnya peresepan siprofloksasin untuk mengobati
infeksi saluran nafas atas yang didapat dari komunitas walaupun siprofloksasin memiliki
aktivitas sangat lemah terhadap Streptococcus pneumoniae.4,7 Di Inggris dilaporkan dua
kasus infeksi pneumokok sistemik yang mengancam nyawa, dimana infeksi tersebut berasal
dari saluran nafas atas dan sebelumnya fluorokuinolon telah diresepkan sebagai terapi
antibiotik empiris.7
Sebagai akibat pemakaian yang tidak rasional, resistensi terhadap siprofloksasin
makin meningkat. Di Amerika, Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
melaporkan kasus strain Neisseria gonorrhoeae yang resisten terhadap fluorokuinolon,
padahal diketahui bahwa siprofloksasin dan ofloksasin merupakan golongan fluorokuinolon
yang diremendasikan untuk terapi gonore tanpa komplikasi.8 Di Amerika, terjadi ledakan
salmonella yang resisten terhadap fluorokuinolon.9 Namun, data dari Laboratorium Klinik
Mikrobiologi FKUI tahun 2004 menunjukkan seluruh Salmonella typhi yang diisolasi masih
sensitif terhadap siprofloksasin.10
Masalah lain adalah interaksi siprofloksasin dengan obat lain yang berdampak
negatif. Siprofloksasin sering menimbulkan gangguan gastrointestinal, seperti mual,
kembung dan muntah sehingga siprofloksasin diberikan bersama antasid dan sukralfat,
dimana hal ini dapat menurunkan bioavailabilitas siprofloksasin secara bermakna.11
Pemberian siprofloksasin bersama teofilin juga mengakibatkan meningkatnya kadar teofilin
dalam darah, yang berbahaya karena teofilin memiliki rentang dosis aman yang sempit.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Siprofloksasin di Indonesia_hlm 2/28
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah siprofloksasin dapat menginduksi resistensi
silang terhadap kuinolon lain maupun antibiotik golongan lain yang tidak berhubungan.
Timbulnya resistensi ini dipengaruhi oleh dosis siprofloksasin.
Maslah lain yang juga perlu disikapi adalah penggunaan fluorokuinolon pada hewan
secara irasional sehingga mengakibatkan munculnya resistensi fluorokuinolon pada
beberapa bakteri zoonosis seperti Salmonella typhimurium dan Campylobacter spp.2,12 FDA
melaporkan pemberian fluorokuinolon pada ayam, yang merupakan reservoir dari banyak
patogen yang ditularkan melalui hewan, mencakup Campylobacter dan Salmonella. Data di
Amerika menunjukkan bahwa Campylobacter merupakan penyakit infeksi bakteri yang
diperantarai makanan (bacterial food borne) yang paling umum.12 Angka resistensi
Campylobacter terhadap fluorokuinolon semakin meningkat13, padahal fluorokuinolon
merupakan antibiotik pilihan untuk terapi empiris infeksi gastrointestinal pada manusia,
karena merupakan salah satu dari sedikit antibiotik yang memiliki aktivitas terhadap baik
Campylobacter jejuni maupun Salmonella spp.2,12,13 Oleh karena itu, penggunaan
fluorokuinolon pada hewan berpotensi menimbulkan dampak yang sangat merugikan
terhadap manusia.2,12
II. Permasalahan
1. Penggunaan siprofloksasin yang tidak tepat
2. Interaksi siprofloksasin dengan obat-obat lain yang menimbulkan dampak
negatif
3. Timbulnya resistensi silang yang diinduksi oleh siprofloksasin
III.Tujuan
Tujuan Umum :
• Terwujudnya rekomendasi sebagai acuan dan masukan dalam menetapkan
kebijakan penggunaan siprofloksasin di Indonesia.
Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian mengenai penggunaan siprofloksasin di Indonesia, yang
meliputi indikasi, dosis, interaksi obat, dan resistensi obat berdasarkan bukti ilmu
kedokteran yang mutakhir dan sahih.
2. Memberikan rekomendasi bagi penetapan kebijakan penggunaan siproflokasin.
BAB II
METODOLOGI PENGKAJIAN
Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai berdasarkan evidence based medicine,
ditentukan hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi. Hierarchy of evidence dan
derajat rekomendasi didasarkan pada klasifikasi dari Scottish Intercollegiate Guidelines
Network (SIGN), sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh US Agency for Health Care
Policy and Research.
Hierarchy of evidence:
Ia. Meta-analysis of randomised controlled trials.
Ib. Minimal satu randomised controlled trials.
IIa. Minimal satu non-randomised controlled trials.
IIb. Cohort dan Case control studies
IIIa. Cross-sectional studies
IIIb. Case series dan case report
IV. Konsensus dan pendapat ahli
Derajat rekomendasi :
A. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib.
B. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan II b.
C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb dan IV.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Siprofloksasin di Indonesia_hlm 4/28
BAB III
SIPROFLOKSASIN
III.1. Deskripsi
III.2. Farmakokinetik
A. Absorpsi
Tabel 1. Konsentrasi serum maksimum dan area di bawah kurva dari siprofloksasin14
Dosis (mg) Konsentrasi serum maksimal Area di bawah kurva
(ug/mL) (mg.hr/mL)
250 1.2 4.8
500 2.4 11.6
750 4.3 20.2
1000 5.4 30.0
Konsentrasi serum maksimal dicapai 1 sampai 2 jam setelah dosis oral. Konsentrasi
rata-rata 12 jam setelah dosis 250, 500 dan 750 mg adalah 0,1; 0,2 dan 0,4 mg/mL.14
B. Distribusi
Ikatan siprofloksasin terhadap protein serum adalah 20-40% sehingga tidak cukup
untuk menyebabkan interaksi ikatan protein yang bermakna dengan obat lain.
Setelah administrasi oral, siprofloksasin didistribusikan ke seluruh tubuh. Konsentrasi
jaringan seringkali melebihi konsentrasi serum, terutama di jaringan genital, termasuk
prostat. Siprofloksasin ditemukan dalam bentuk aktif di saliva, sekret nasal dan bronkus,
mukosa sinus, sputum cairan gelembung kulit, limfe, cairan peritoneal, empedu dan jaringan
prostat.14,15 Siprofloksasin juga dideteksi di paru-paru, kulit, jaringan lemak, otot, kartilago
dan tulang. Obat ini berdifusi ke cairan serebro spinal, namun konsentrasi di CSS adalah
kurang dari 10% konsentrasi serum puncak. Siprofloksasin juga ditemukan pada konsentrasi
rendah di aqueous humor dan vitreus humor.13
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Siprofloksasin di Indonesia_hlm 5/28
C. Metabolisme
Empat metabolit siprofloksasin yang memiliki aktivitas antimikrobial yang lebih
rendah dari siprofloksasin bentuk asli telah diidentifikasi di urin manusia sebesar 15% dari
dosis oral. 14
D. Ekskresi
Waktu paruh eliminasi serum pada subjek dengan fungsi ginjal normal adalah sekitar
4 jam. Sebesar 40-50% dari dosis yang diminum akan diekskresikan melalui urin dalam
bentuk awal sebagai obat yang belum diubah. Ekskresi siprofloksasin melalui urin akan
lengkap setelah 24 jam . Dalam urin semua fluorokuinolon mencapai kadar yang melampaui
konsentrasi hambat minimal (KHM) untuk kebanyakan kuman patogen selama minimal 12
jam.14 Klirens ginjal dari siprofloksasin, yaitu sekitar 300 mL/menit, melebihi laju filtrasi
glomerulus yang sebesar 120 mL/menit. Oleh karena itu, sekresi tubular aktif memainkan
peran penting dalam eliminasi obat ini. Pemberian siprofloksasin bersama probenesid
berakibat pada penurunan 50% klirens renal siprofloksasin dan peningkatan 50% pada
konsentrasi sistemik.14
Siprofloksasin bersifat bakterisid, terutama aktif terhadap bakteri gram negatif dan
memiliki aktivitas lemah terhadap gram positif.
menyatakan bahwa azitromisin dan siprofloksasin sama efektif, baik secara klinis
maupun bakteriologis, untuk terapi demam tifoid yang disebabkan oleh organisme
yang sensitif ataupun S. typhi resisten multi obat.24 (Level of evidence 1b)
Pemilihan antibiotika untuk bronkitis kronik eksaserbasi akut dengan FEV1 <
35% ditujukan pada kuman yang sering ditemukan yaitu Pseudomonas aeruginosa
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Siprofloksasin di Indonesia_hlm 9/28
Bronkiektasis Terinfeksi
ekspresi berlebih dari pompa semacam itu tampaknya tidak efektif sebagai
mekanisme resistensi.
Akibat penggunaan yang irasional, saat ini mulai berkembang resistensi bakteri gram
negatif yang dahulu dapat diatasi dengan baik oleh siprofloksasin. Berikut ini merupakan
pola sensitivitas bakteri gram negatif terhadap siprofloksasin di Laboratorium Mikrobiologi
Klinik FKUI tahun 2004.10
Gambar 1. Pola sensitivitas bakteri gram negatif terhadap siprofloksasin di Laboratorium Klinik Mikrobiologi FKUI tahun 2004
120
100
100 92
78
80 73
62 62
60 55 56
40
20
e
e
0
ia
na
on
sa
s
is
li s
ae
i
e
al
h
i
m
ol
o
en
bi
yp
h
oz
in
eu
.c
ira
rr
og
.t
ug
E
ta
pn
ss
.m
S
er
er
a
.c
e
ss
.a
.a
P
ia
M
E
e
P
on
ia
m
on
u
m
ne
u
.p
ne
K
.p
K
Sumber : Laporan Hasil Uji Resistensi Bakteri terhadap Berbagai Antibiotika tahun 2004, di Laboratorium Klinik
Mikrobiologi FKUI
Pseudomonas aeruginosa
Data dari hasil uji resistensi bakteri terhadap berbagai antibiotika tahun 2004
di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI menunujukkan sensitivitas Pseudomonas
aeruginosa terhadap siprofloksasin sebesar 62%. 10
Escherichia coli
E. coli merupakan patogen penting penyebab infeksi saluran kemih. Data RS
Sanglah tahun 2004 mengenai sensitivitas E. coli yang dikultur dari urin
menunjukkan sensitivitas E. coli terhadap siprofloksasin hanya sebesar 27%.75
Juniastuti dkk. melakukan penelitian terhadap isolat dari urin porsi tengah atau urin
kateter di RSU Dr. Soetomo dan mendapatkan sensitivitas E. coli terhadap
siprofloksasin sebesar 44,6%.74 Studi AMRIN (Antimicrobial Resistance In
Indonesia: Prevalence and Prevention) yang dilakukan di Semarang dan Surabaya
pada kurun waktu September 2000 – September 2002 melaporkan data E. coli
resisten terhadap siprofloksasin sebagai berikut :35
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Siprofloksasin di Indonesia_hlm 13/28
30
25
20
15
10
5
0
grup I grup II grup III grup IV
Neisseria gonorrhoeae
Gonore merupakan penyakit menular seksual dengan insidens tertinggi di
Indonesia. Komplikasi gonore dapat menimbulkan kebutaan pada anak-anak dan
kemandulan pada wanita. Pemakaian antibiotik secara tidak rasional telah
mendukung timbulnya resistensi N. gonorrhoeae. Budayanti melakukan uji
sensitivitas pada 47 isolat N. gonorrhoeae yang diambil dari swab mata (13), uretra
(10) dan serviks (24) terhadap beberapa antibiotik yang sering digunakan untuk
gonore. Didapatkan bahwa resistensi N. gonorrhoeae terhadap siprofloksasin
sebesar 42%.36
Siprofloksasin dan ofloksasin merupakan antimikroba yang direkomendasikan
untuk terapi infeksi gonorrhoea tanpa komplikasi. Strain N. gonorrhoeae resisten
fluorokuinolon telah dilaporkan mulai tahun 1990 di Timur Jauh, sedangkan di
Amerika telah dilaporkan secara sporadis. Morbidity and Mortality Weekly Report
(MMWR) dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada bulan Oktober
1997 melaporkan kasus isolat N. gonorrhoeae dari 2 pasien yang resisten terhadap
siprofloksasin dan ofloksasin.8
Berikut ini adalah pola sensitivitas bakteri gram positif terhadap siprofloksasin di
Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI tahun 2004.
Gambar 3. Pola sensitivitas bakteri gram positif terhadap siprofloksasin di Laboratoium Klinik Mikrobiologi FKUI tahun 2004
100
90 87
79
80 76
70
63
60 57
55
50
40 36
34
30 26
20
10
)
id
B
A
ro
0
)
)
)
)
e
E
te
p
A
ia
-h
u
S
S
h
S
ro
ro
n
R
S
ip
a
R
S
h
G
(M
(M
G
(M
(M
(d
lp
m
m
a
sp
s
s
s
s
e
e
e
u
s,
u
u
n
a
a
lb
lb
m
re
re
n
p
-h
-h
a
a
u
u
.
ta
ta
id
ri
.a
.a
.
.
S
e
e
e
ir
S
ct
b
v
b
a
.
.
.
S
S
b
e
n
ry
o
C
Sumber : Laporan Hasil Uji Resistensi Bakteri terhadap Berbagai Antibiotika tahun 2004, di
Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Siprofloksasin di Indonesia_hlm 14/28
Dosis dan interval pemberian dosis dari suatu antimikroba harus didesain dengan
mengacu pada parameter farmakodinamik dan farmakokinetik. Rasio
farmakokinetik/farmakodinamik merupakan prediktor yang sangat bermanfaat bagi potensi
efikasi suatu antibakteri. Namun parameter efikasi spesifik yang menentukan hasil akan
bergantung pada keadaan klinis dan model korelasi yang digunakan. Oleh karena itu,
hubungan indeks-efikasi harus ditentukan untuk setiap keadaan klinis dan menggunakan
strategi korelasi yang berbeda.
Indeks tersebut merupakan prediktor untuk hasil yang baik. Beberapa studi
memperlihatkan bahwa rasio antara Cmax/MIC merupakan prediktor yang baik terhadap
aktivitas antibakterial dari golongan aminoglikosid. Untuk antibiotik beta laktam, lamanya
konsentrasi serum melebihi MIC (T>MIC) merupakan indeks yang paling relevan yang
mempengaruhi aktivitas bakterisidal. Namun untuk golongan kuinolon, masih belum ada
persetujuan mengenai prediktor terbaik untuk efikasi.37
Sanchez-Recio (2000) melakukan analisis retrospektif terhadap hubungan antara
indeks farmakokinetik/farmakodinamik dan efikasi siprofloksasin dengan menggunakan
model korelasi yang berbeda. Pada setiap kasus dihitung Cmaxss/MIC, Tss > MIC, (AUCss)/MIC
dan AUICss dari kurva level plasma yang berhubungan dengan rejimen dosis yang
diberikan. Analisis korelasi univariat dilakukan terhadap efikasi sebagai variabel dependen
dan keempat indeks tersebut sebagai variabel independen sesuai dengan model
farmakokinetik-farmakodinamik model linear dan non-linear. Hasilnya menyatakan bahwa
Tss > MIC dan AUICss merupakan parameter terbaik yang berkorelasi dengan persentase
dari efikasi. 37
Walaupun fluorokuinolon merupakan agen bakterisidal yang bergantung pada
konsentrasi, terdapat perbedaan dalam aktivitas antibakteri di antara anggota-anggota
golongan ini. Parameter efikasi ini, yang berhubungan dengan S. pneumoniae dan P.
aeruginosa, untuk siprofloksasin, levofloksasin dan gatifloksasin dapat dilihat pada tabel 2.
Hasil terbaik Cmax/MIC dan AUIC dicapai oleh siprofloksasin terhadap P. aeruginosa,
sedangkan terhadap S. pneumoniae hasil terbaik dicapai oleh moksifloksasin. 1
Tabel 2. Perbandingan parameter farmakokinetik dan farmakodinamik terhadap Streptokokus pneumoniae dan
Pseudomonas aeruginosa
Streptokokus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa
Fluorokuinolon Dosis Cmax AUC24 MIC Cmax:MIC AUIC MIC Cmax:MIC AUIC
(mg) (mg/L (mg x
) h/L)
Siprofloksasin 500 3.0 28 2 1.5 14 4 0.75 7
750 3.6 32 2 1.8 16 4 0.9 8
Levofloksasin 500 5.7 48 1 5.7 48 16 0.36 3
Moksifloksasin 400 4.5 48 0.25 18 192 8 0.56 6
Gatifloksasin 400 4.2 34 0.5 8.4 68 8 .52 4.25
Sumber : Scheld WM. Mantaining Fluoroquinolon Class Efficacy: Review of Influencing Factors. Emerging Infectious Disease.
Vol 9, No.1, January 2003
BAB IV
HASIL DAN DISKUSI
Penggunaan siprofloksasin yang tidak tepat, baik dalam hal indikasi, dosis, durasi
pemberian telah mengakibatkan resistensi berbagai bakteri terhadap siprofloksasin. Berikut
ini merupakan keadaan-keadaan dimana siprofloksasin tidak dianjurkan sama sekali
ataupun tidak dianjurkan sebagai terapi lini pertama :
Rinosinusitis
Infeksi Tenggorok
pasien yang terinfeksi / dicurigai terinfeksi MDR-TB, apabila pola sensitivitas obat
tidak diketahui.51 (Level of evidence IIIb)
(dasar); 0,25; 0,50; 1,0; 2,0; 4,0; 6,0; 8,0; 12,0; 24,0; 36,0 dan 46 jam. Hasilnya, area di
bawah kurva konsentrasi-waktu untuk teofilin selama terapi kombinasi tidak berbeda dengan
bila diberikan siprofloksasin saja.70 (Level of evidence IIa)
yang diinkubasi dengan ½ KHM siprofloksasin sebelumnya adalah 4 sampai 16 kali lebih
besar daripada KHM pada inokulat yang diinkubasi tanpa antibiotika. Tiga strain P.
aeruginosa menunjukkan KHM imipenem meningkat 16 hingga 32 kali setelah penggunaan
siprofloksasin dibandingkan nilai KHM pada awal percobaan. Penemuan ini
mengindikasikan bahwa penggunaan siprofloksasin secara luas dan tidak bijaksana
merupakan risiko potensial timbulnya resistensi P. aeruginosa tidak hanya terhadap
kuinolon tetapi juga terhadap antimikroba lain yang tidak berkaitan, yaitu imipenem.73
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Siprofloksasin di Indonesia_hlm 23/28
BAB VI
REKOMENDASI
II. Siprofloksasin tidak dianjurkan sebagai terapi lini pertama pada keadaan
berikut :
B. Rinosinusitis
Siprofloksasin tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertama.
Untuk sinusitis kronik, siprofloksasin dapat digunakan sebagai antibiotik
alternatif bila tidak ada perbaikan dengan antibiotik lini pertama.
(Rekomendasi C)
3. Anak
3.1. Siprofloksasin hanya dianjurkan untuk digunakan sebagai lini kedua, pada
situasi dan penyakit tertentu dimana tidak ada obat pilihan lain yang lebih
baik, yaitu :
3.1.1. Demam tifoid resisten multiobat
3.1.2. Disentri shigella
Penggunaan kuinolon pada anak dengan shigellosis berat, terutama
bila terapi empiris non-kuinolon telah gagal dan uji sensitivitas
antibiotik tidak memberikan alternatif yang jelas. (Rekomendasi B)
3.2 Penggunaan siprofloksasin tidak hanya mempertimbangkan aspek efektivitas
dan keamanannya, tetapi juga dengan memperhitungkan tingkat kecepatan
terjadinya resistensi pada kuman tertentu terhadap siprofloksasin. (Rekomendasi
A)
3.3 Pada anak dengan fibrosis kistik, siprofloksasin merupakan pilihan pertama untuk
terapi antipseudomonas rumatan yang efektif dan cukup aman. (Rekomendasi A)
1. Infeksi saluran cerna yang disebakan oleh Shigella dysentriae dan Salmonella typhi
resisten multi obat. (Rekomendasi A)
2. Infeksi saluran kemih dengan atau tanpa komplikasi. (Rekomendasi A)
3. Penyakit menular seksual, yaitu gonore, terutama yang disebabkan oleh PPNG
(Penicillinase Producing-Neisseria gonorrhoeae). (Rekomendasi A)
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Siprofloksasin di Indonesia_hlm 24/28
4. Terapi empiris pada infeksi saluran napas bawah yang diduga disebabkan oleh
Pseudomonas aeruginosa :
4.1. Bronkitis kronik eksaserbasi akut derajat berat dengan FEV1 <50
(Rekomendasi C)
4.2. Bronkiektasis eksaserbasi akut (Rekomendasi C)
4.3. Pneumonia komuniti yang dirawat di ICU yang penyebabnya diduga
Pseudomonas aeruginosa.
Faktor risiko infeksi Pseudomonas aeruginosa dapat dilihat pada halaman 13
(Rekomendasi C)
4.4. Pneumonia nosokomial late onset
(Rekomendasi C)
4.5. Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan/memburuk maka
pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitivitas
IV. Interaksi siprofloksasin dengan obat lain yang menimbulkan dampak negatif
Saran :
BAB VII
KEPUSTAKAAN
1. Scheld WM. Mantaining Fluoroquinolon Class Efficacy: Review of Influencing Factors. Emerging Infectious Disease.
Vol 9, No.1, January 2003
2. Piddock LJV. Fluoroquinolone Resistance. BMJ 1998; 317: 1029-1030
3. Hooper DC. Emerging Mechanism of Fluoroquinolone Resistance. Emerging Infectious Disease. Vol. 7, No. 2,
March-April 2001
4. Legg JM, Bint AJ. Will pneumococci put quinolones in their place? Journal of Antimicrobial Chemotherapy 1999; 44:
425-427
5. Review terhadap SK Menkes mengenai Penurunan HNA obat generik
6. Kepustakaan sedang dicari oleh dr. Husniah
7. Korner JR, Reeves SD, MacGowan PA. Lesson of the Week: Dangers of Oral fluoroquinolon treatment in community
acquired upper respiratory tract infections. BMJ 1994; 308: 191-192
8. Fluoroquinolone-Resistant Neisseria gonorrhoeae – San Diego, California, 1997. Morbidity and Mortality Weekly
Report, Centers for Disease Control and Prevention. May 29, 1998; Vol.47, No.20
9. Olsen SJ, DeBess EE, McGivern TE, et al. A Nosocomial Outbreak of Fluoroquinolone-Resistant Salmonella
Infection. N Engl J Med 2001; Vo.344, No. 21
10. Sudiro TM, Karuniawati A, editor. Hasil Uji Resistensi Bakteri terhadap Berbagai Antibiotika tahun 2004 di
Laboratorium Klinik Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
11. The Human Health Impact of Fluoroquinolone-Resistant Campylobacter. FDA
12. Goossens H, Sprenger MJW. Community Acquired Infections and Bacterial Resistance. BMJ 1998; 317 654-657
13. Ciprofloxacin. Available at: www.rxlist .com. Cited at July 21, 2006
14. Setiabudy R. Antimikroba Lain. Dalam: Ganiswara SG. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 1995: 682-5
15. Yusra, Gambaran Jenis Kuman dan Kepekaan Antibiotik terhadap Otitis Media Supuratif Kronik tipe Benigna dan
Tipe Maligna. (Tesis). Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2005
16. Helmi, Diagnosis dan Penatalaksanaan Otitis Media. Disampaikan pada Simposium Satelit Penanganan Mutakhir
Kasus Telinga Hidung Tenggorok, Jakarta, 12 April 2003.
17. Soetjipto D. Penatalaksanaan Baku Sinusitis. Disampaikan pada Kursus, Pelatihan dan Demo Bedah Sinus
Endoskopik Fungsional, Makasar, 10-12 Juni 2000
18. Antimicrobial Treatment Guidelines for Acute Bacterial Rhinosinusitis 2004. Supplement to Otolaryngology-Head and
Neck Surgery. January 2004;130(1)
19. Zuniar. Gambaran Mikrobiologik Aerob Permukaan dan Bagian Dalam Tonsil dengan Peradangan Kronis. (Hasil
Penelitian) Program Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Studi Ilmu Penyakit THT. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta 2001
20. Sanchez-Recio MM, Colino CI, Navarro AS. A retrospective analysis of pharmacokinetic/pharmacodynamic indices
as indicators of the clinical efficacy of ciprofloxacin. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 2000; 45: 321-328
21. Zhanel GG, Roberts D, Waltky A, et al. Pharmacodynamics activity of fluoroquinolones against siprofloksasin-
resistant Streptococcus pneumoniae. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 2002;49: 807-812
22. Ida Sri Iswar, The Susceptibility Pattern of Urine Bacteria from the Surgery Departement at Sanglah Hospital, 2004.
[Free Papers]. Disampaikan pada Simposium Evidence Based Use of Antimicrobials in the Era of Alarming
Resistance, Jakarta, 2-3 July 2005.
23. Juniastuti, Kuntaman, Eddy Mudihardi, Debora K, Purwanta M. Bacterial Isolates causing UTI and the Resistance
Patterns in Deptartement of Clinical Microbiology, Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya. [Free Papers].
Disampaikan pada Simposium Evidence Based Use of Antimicrobials in the Era of Alarming Resistance, Jakarta, 2-3
July 2005.
24. Laporan studi Antimicrobial Resistance in Indonesia (AMRIN)
25. Budayanti NS, Pola Kepekaan Isolat Neisseria gonorrhoeae di Laboratorium Mikrobiologi FK Unud. [Free Papers].
Disampaikan pada Simposium Evidence Based Use of Antimicrobials in the Era of Alarming Resistance, Jakarta, 2-3
July 2005
26. Miro, Nurio MD. Controlled multicenter study on chronic suppurative otitis media treated with topical application of
ciprofloxacin 0,2 % solution in a single-dose containers or combination of polimixin B, neomycin, hydrocortison
suspension. Otolaryngology-Head &Neck Surgery. 123(5);617-623. November 2000
27. Nash D, Wald E. Sinusitis. Pediatrics in Review 2001;22:111-7
28. Weis M, Hendrick K, Tillotson G, Gravelle K. Multicenter comparative trial of ciprofloxacin versus cefuroxim axetil in
the treatment of acute rhinosinusitis in a primary care setting. Clinical Therapy, 1998;20(5):921-32
29. Esposito S, D’Errico G, Montanoro C. Oral Ciprofloxacin for treatment of acute bacterial pharyngotonsilitis. Journal of
Chemotherapy.1990 April; 2(2):108-12)
30. Basran GS, Joseph J, Abbas AM, Hughes C, Tillotson GS. Treatment of acute exacerbations of chronic obstructive
airways disease-a comparison of amoxycillin and ciprofloxacin. [Abstract] J Antimicrob Chemother 1990;Suppl F:19-
24
31. Anzueto A, Niederman MS, Haverstock DC, Tillotson GS, Bronchitis Study Group. Efficacy of ciprofloxacin and
clarithromycin in acute bacterial exacerbations of complicated chronic bronchitis: interim analysis. [Abstract] Clinical
Therapeutics 1997; 19(5): 989-1001
32. Anzueto A, Niederman MS, Tillotson GS, Bronchitis Study Group. Etiology, susceptibility and treatment of acute
bacterial exacerbations of complicated chronic bronchitis in the primary care setting: ciprofloxacin 750 mg BID versus
clarithromycin 500 mg BID. [Abstract] Clinical Therapeutics, September-October 1998; 20(5): 885-900
33. Chan TH, Ho SS, Lai CK, Cheung SW, Chan RC, et al. Comparison of Oral Ciprofloxacin and Amoxycillin in Treating
Infective Exacerbations of Bronchiectasis in Hong Kong. [Abstract] Chemotherapy Mar-Arpil 1996; 42(2): 150-6
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Siprofloksasin di Indonesia_hlm 26/28
34. Chemotherapy and Management of tuberculosis in the United Kingdom: recommendations 1998. Joint Tuberculosis
Committee of the British Thoracic Society. Thorax 1998;53:536-548
35. Humma, Larisa M. Prevention and Treatment of Drug-resistant tuberculosis. Am J Helath-Syst Pharm. 1996;53:2291-
8
36. Yew WW. Management of Multidrug-Resistant Tuberculosis: Chemotherapy and Beyond. Clinical Pulmonary
Medicine, September 2001;8(5):265-272
37. Berning, Shaun E. The Role of Fluoroquinolones in Tuberculosis Today. [Article] Drugs, 2001;1(1):9-18
38. Kennedy N, Berger L, Curram J, Fox R, Gutmann J, et al. Randomized controlled trial of a drug regimen that includes
ciprofloxacin for the treatment of pulmonary tuberculosis. Clinical infectious diseases, May 1996;22(5):827-33
39. Kennedy N, Fox R, Kisyombe GM, et al. Early bactericidal and sterilizing activities of ciprofloxacin in pulmonary
tuberculosis. Am Rev Respir Dis, 1993;148:1547-51
40. Ziganshina LE, Vizel AA, Squire SB. Fluoroquinolones for Treating Tuberculosis [Review]. The Cochrane Database
of Systematic Reviews, Vol.3, 2005.
41. Hanafiah MA. Efikasi Siprofloksasin dengan Kombinasi OAT Lainnya dalam Pengobatan Tuberkulosis Paru yang
Resisten terhadap Rifampisin dan Isoniazid. [Tesis]. Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1998
42. Berning, Madsen SE, Iseman L, Peloquin CA. Am J Respir Crit Care Med, Jun 1995;151(6):2006-9
43. Pneumonia Komuniti, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2003:19-21
44. Rizzato G, Allegra L, Dotti A, Ferliga M, Marcobruni N, Grassi V, et al. Efficacy and tolerability of a teicoplanin-
ciprofloxacin combination in severe community-acquired pneumonia. [Abstract]. Clinical Drug Investigation
1997;14(5):337-45
45. Johnson RH, Levine S, Traub SL, Echols RM, Haverstock D, Arnold E, Kowalsky SF. Sequential intravenous/oral
ciprofloxacin compared with parenteral ceftriaxone in the treatment of hospitalized patients with community-acquired
pneumonia. [Abstract]. Infectious Diseases in Clinical Practice 1996; 5(4):265-72
46. Mouton Y, Beuscart C, Leroy O, Ajana F, Charrel J. Evaluation of ciprofloxacin versus amoxicillin + clavulanic acid or
erythromycin for the empiric treatment of community-acquired pneumonia. [Abstract]. Pathologie-biologie 1991;
39(1): 34-7
47. Pneumonia Nosokomial, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Indah Offset Citra Grafika. Jakarta 2005:5
48. Torres A, Bauer TT, Léon-Gil C, Castillo F, Alvarez-Lerma F, Martinez Pellús, et al. Treatment of severe nosocomial
pneumonia: a prospective randomised comparison of intravenous ciprofloxacin with imipenem/cilastatin. Thorax
2000; 55:1033-9
49. Fink MP, Snydman DR, Niederman MS, Leeper KV, Johnson RH, Heard SO, et al. Treatment of severe pneumonia
in hospitalized patients, result of a multicenter, randomized, double-blind trial comparing intravenous ciprofloxacin
with imipenem-cilastatin. Antimicrobial Agents and Chemotherapy 1994; 38(3): 547-57
50. Pichler H, Diridl G, Wolf D. Ciprofloxacin in the treatment of acute bacterial diarrhea: a double blind study. Eur J Clin
Microbiol 1986 April;5(2): 241-3
51. Wallace MR, Yousif AA, Mahroos GA, Mapes T, Threlfall EJ, Rowe B, et al. Ciprofloxacin versus ceftriaxone in the
treatment of multiresistant typhoid fever. Eur J Clin Microbiol Infect Dis Dec 1993;12(12):907-10
52. Girgis NI, Butler T, Frenck RW, Sultan Y, Brown FM, Trible D, et al. Azithromycin versus Ciprofloxacin for Treatment
of Uncomplicated Typhoid Fever in a Randomized Trial in Egypt That Included Patients with Multidrug Resistance.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy, June 1999;43(6):1441-1444
53. Mehnert-Kay SA. Diagnosis and Management of Uncomplicated Urinary Tract Infections. Am Fam Physician 2005;
72: 451-6, 458
54. McCarty JM, Richard G, Huck W, Tucker RM, Tosiello RL, et al.; for the Ciprofloxacin Urinary Tract Infection Group.
A randomized trial of short-course ciprofloxacin, ofloxacin, or trimetoprim/sulfamethoxazole for the treatment of acute
urinary infection in women. [Abstract] Am J Med 1999; 106:292-9
55. Iravani A, Klimberg I, Briefer C, Munera C, Kowalsky SF, Echols RM. A trial comparing low-dose, short-course
ciprofloxacin and standard 7 day therapy with co-trimoxazole or nitrofurantoin in the treatment of uncomplicated
urinary tract infection. J Antimicrob Chemother 1999; 43(suppl A):S67-75
56. Vogel T, Verreault, Gordeau M, Morin M, Grenier-Gosselin L, Rochette L. Optimal duration of antibiotic therapy for
uncomplicated urinary tract infection in older women: a double-blind randomized controlled trial. CMAJ
2004;170(4):469-73
57. Navarro MDS, Marinero MLS, Navarr AS. Pharmakokinetic/Pharmacodyamic modeling of ciprofloxacin 250 mg/12h
versus 500 mg/24h for urinary infections. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 2002;50:67-72
58. Hooton TM, Scholes D,Gupta K, Stapleton AE, Roberts PL, Stamm WE. Amoxicillin-Clavulanate vs Ciprofloxacin for
the Treatment of Uncomplicates Cystitis in Women, A Randomized Trial. JAMA, February 23, 2005;293(8):949-955
59. Fang G, Brennen C, Wagener M, Swanson D, Hilf M, et al. Use of Ciprofloxacin versus Use of Aminoglycosides for
Therapy of Complicated Urinary Trict Infection: Prospective, Randomized Clinical and Pharmacokinetic Study.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy, Sept 1991; 1849-1855
60. Allais JM, Preheim LC, Cuevas TA, Roccaforte JS, Mellencamp MA, Bittner MJ. Randomized, Double-Blind
Comparison of Ciprofloxacin and Trimethoprim-Sulfamethoxazole for Complicated Urinary Tract Infections.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy, Sept 1998; 1327-1330
61. Thorpe EM, Schwebke JR, Hook III EW, Rompalo A, Cormack WM, Mussari KL, et al. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy, Dec 1996; 2775-2780
62. De los Reyes MRA, Pato-Mesola V, Klausner JD, Manalastas R, Wi T, Tuazon CU, et al. A Randomized Trial of
Ciprofloxacin versus Cefixime for Treatment of Gonorrhea aftyer Rapid Emergence of Gonococcal Ciprofloxacin
Resistance in The Philippines. Clinical Infectious Diseases 2001; 32: 1313-8
63. Licitra CM, Brooks RG, Sieger BE. Clinical Efficacy and Levels of Ciprofloxacin in Tissue in Patients with Soft Tissue
Infection. Antimicrobial Agents and Chemotherapy May 1987;31(5):805-807
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Siprofloksasin di Indonesia_hlm 27/28
64. Gentry LO, Rodriguez GG. Oral Ciprofloxacin Compared with Parenteral Antibiotics in the Treatment of
Osteomyelitis. Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Jan 1990:34(10):40-43
65. Greenberg RN, Newman MT, Shariaty S, Pectol RW. Ciprofloxacin, Lomefloxacin, or Levofloxacin as Treatment for
Chronic Osteomyelitis. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, Jan 2000;44(1):164-66
66. Gendrel D. Fluorquinolones in paediatrics: a risk for the patient of for the community? [Abstract]. Lancet Infect Dis.
2003 Sep; 3(9): 537-46
67. Thomsen LL, Paerregaard A. Treatment with Ciprofloxacin in Children with Typhoid Fever. Scand J Infect Dis 1998;
30: 355-357
68. Schaad UB, Wedgwood J, Ruedeberg A, Kraemer R, Hampel B. Ciprofloxacin as antipseudomonal treatment in
patients with cystic fibrosis. Pediatr Infect Dis J. Jan 1997; 16(1): 106-11
69. Chalumeau M, Tonnelier S, PharmD, d’Athis P, Treluyer J, Gendrel D, et al. Fluoroquinolone Safety in Pediatric
Patients: A Prospective, Multicenter Comparative Cohort Stufy in France. Pediatrics,June 2003;111(6)e714-719.
Available at http://www.pediatrics.og/cgi/content/filll/111/6/e714
70. Dutta P, Rasaily R, Saha MR, Mitra U, Bhattacharya SK, Bhattacharya MK, et al. Ciprofloxacin for treatment of
severe typhoid fever in children. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, May 1993;37(5):1197-1199
71. Zimbabwe, Bangladesh, South Africa (Zimbasa) Dysentry Study Group. Multicenter, randomized, double blind clinical
trial of short course versus standard course oral ciprofloxacin for Shigella dysentriae type 1 dysentery in children.
[Abstract]. Pediatr Infect Dis J. 2002 Dec; 21(12): 1136-41
72. Leibovitz E, Janco J, Piglansky L, et al. Oral ciprofloxacin vs. intramuscular ceftraixone as empiric treatment of acute
invasive diarrhea in children. [Abstract]. Pediatr Infect Dis J. Nov 2000; 9(11):1060-7
73. Dwipoerwantoro P, Pulungsih SP, Susanti NI, Sadikin MD, Firmansyah D. A Study on the antibiotic resistance of
Shigella. Paediatr Indones 2005;45:49-54
74. Frost RW, Lasseter KC, Noe AJ, Shamblen EC, Lettieri JT. Effects of Aluminium Hydroxide and Calcium Carbonate
Antacids on the Bioavailability of Ciprofloxacin. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, April 1992;36(4):830-832
75. Garrelts JC, Godley PJ, Peterie JD, Gerlach EH, Yakshe CC. Sucralfate Significantly Reduces Ciprofloxacin
Concentrations in Serum. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, May 1990;34(5):931-933
76. Batty KT, Davis TM, Ilett KF, Dusci LJ, Langton SR. The effect of ciprofloxacin on theophylline pharmacokinetics in
healthy subjects. [Abstract]. Br J Clin Pharmacol, May 1995;39(3):305-11
77. Fuhr U, EM Anders, Mahr G, Sorgel F, Stab AH. Inhibitory potency of quinolone antibacterial agents against
cytochrome P450IA2 activity in vivo and in vitro. Antimicrob Agents Chemother 1992;36:942-948
78. Periti P, Mazzei T, Mini E, Novelli A. Pharmakokinetic drug interactions of macrolides. Clin Pharmacokinet
1992;23:106-131
79. Gillum JG, Israel DS, Scott RB, Climo MW, Polk RE. Effect of Combination Therapy with Ciprofloxacin and
Clarithromycin on Theophylline Pharmaokinetics in Healthy Volunteers. Antimicrobial Agents and Chemotherapy,
July 1996;40(7):1715-1716
80. Higgins PG, Fluit AC, Hafner D, Verhoef J, Schmitz FJ. Evidence of cross-resistance between ciprofloxacin and non-
fluoroquinolones in European Gram-negative clinical isolates. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 2002;50:433-
442
81. Chow AW, Wong J, Bartlett KH, Shafran SD, Stiver HG. Cross-resistance of Pseudomonas aeruginosa to
ciprofloxacin, extended-spectrum β-lactams, and aminoglycosides and susceptibility to antibiotic combinations.
Journal of Antimicrobial Chemotherapy 1989;33(8):1368-72.
82. Radberg G, Nilsson LE, Svensson S. Development of quinolone-imipenem cross resistance in Pseudomonas
aeruginosa during exposure to ciprofloxacin. Antimicrobial Agents and Chemotherapy 1990;34(11):2142-7.
HTA Indonesia_2005_Penggunaan Siprofloksasin di Indonesia_hlm 28/28
PANEL AHLI
Prof.DR.Dr. Amin Soebandrio, PhD, Sp.MK
FKUI / RSCM, Jakarta
TIM TEKNIS
Ketua : Prof.Dr.dr. Sudigdo Sastroasmoro, SpA(K)
Anggota : dr. Untung Suseno, Mkes
dr. Rustam S. Pakaya, MPH
dr. Husniah Rubiana Th. Akib, MS, M.Kes, Sp.FK
dr. N. Soebijanto, SpPD
dr. Santoso Soeroso, Sp.A
dr. Ratna Mardiati, SpKJ
dr. Wuwuh Utami N., MKes
Drg. Rarit Gempari, MARS
dr. Klara Yuliarti
dr. Desy Dewi Saraswati
dr. Cahyani Gita Ambarsari
dr. Rita Andriyani