Sunteți pe pagina 1din 131

KAJIAN POLA REPRODUKSI PADA KANCIL (Tragulus javanicus) DALAM MENDUKUNG PELESTARIANNYA

NAJAMUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) Dalam Mendukung

Pelestariannya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2010

Najamudin NRP B361060011

ABSTRACT NAJAMUDIN. Study of Mouse Deer Reproduction Pattern (Tragulus javanicus) in Supporting Sustainability. Under the supervision of TUTY L. YUSUF as chairman, SRIHADI AGUNGPRIYONO and AMROZI as members of the supervisory Committee. This research aimed to study the reproductive pattern of mouse deer in order to support their conservation. In general, the male and female mouse deer reproductive organs are similar with those of other domestic animals. The duration of standing time of female mouse deer during estrous was significantly longer than the standing time during non-estrous. The vulva of an estrous female was reddened, swollen and loose; in contrast, the vulva of a non-estrous female appeared pale and tight. Another way to detect estrous was by holding the back of the mouse deer; estrous animals elevated their hindquarters, displaying a lordosis reflex. Male mouse deer also displayed flehmen reaction and appeared more active during the female estrous phase. Behaviours of male when they approached a female in heat included increased activities, flirtation, licking the mammae as well as the back, marking, and mating. Male mouse deer mounted the female by raising both front feet off the ground to be placed on the top of the female hips in order to have a safe mating position. When mounted, nonestrous female mouse deer displayed a slightly lower position to avoid copulation, and ran. Average of first mounting time was 3 minutes (in the range of 1-5 minutes); second mounting attempt had a similar duration. In this study, the average frequency of the male mouse deer mounted the female was 23 times/day (in the range of 11-34 times/day). In this study, it was observed that mouse deer were not monogamous. The duration of estrous was determined 2-3 days (48-72 hours), based on the vaginal cytology. The estimated length of the estrous cycle was 11.6 days (9-14 days range); this was determined by calculating the duration of time to have a repeated highest percentage of superficial cells on the vaginal cytology. The interluteal phase progesterone concentration was 804.46165.09-948.76116.37 ng/g, while the luteal phase concentration was 1887.6144833-2093.56513.68 ng/g in female mouse deer. Based on the progesterone profile, the average length of estrous cycle was 12 days (9-15 days range), the length of luteal phase was 7-8 days, the length of interluteal phase was 4-5 days, and the duration of estorus was 2-3 days. Macroscopic evaluation on semen in this study demonstrated the average volume was 3512.91 l, pH 7.5, and yellow-creamy white in color. Microscopically, the average percentage of sperm motility was 40.08.165 %, the average sperm concentration was 366.66148.08x106 ml-1, the average percentage of alive sperm was 65.005.77% and the percentage of sperm with abnormal morphology was 29.18%.
Key words: mouse deer, behaviour, vaginal cytology, estrous cycle, progesterone

RINGKASAN

NAJAMUDIN. Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) dalam Mendukung Pelestariannya. Di bawah bimbingan TUTY L. YUSUF sebagai ketua, SRIHADI AGUNGPRIYONO dan AMROZI masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing. Kancil (Tragulus javanicus) merupakan salah satu satwa langka. Satwa ini hanya ditemukan di hutan tropis bagian selatan Asia, termasuk di pulau pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Populasi hewan ini diduga cenderung menurun karena perusakan dan konversi habitatnya menjadi lahan olahan manusia serta aktivitasaktivitas perburuan. Untuk mendukung usaha pelestarian kancil diperlukan kemampuan dan keberhasilan dalam perkembangbiakan. Akan tetapi hingga saat ini pengetahuan tentang pola fisiologi reproduksi kancil belum banyak diketahui. Mengingat status reproduksi betina merupakan faktor penting dalam keberhasilan penerapan teknologi reproduksi, maka sebagai langkah awal seperti tingkah laku reproduksi betina dan perubahan sitologis vagina serta pola hormonalnya selama siklus estrus perlu diteliti. Demikian juga pada jantan sangat diperlukan informasi lebih lanjut tentang karakteristik kualitas semen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap pola reproduksi kancil (Tragulus javanicus) dalam rangka mendukung pelestariannya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu; (1) mengamati pola adaptasi kancil pada kondisi penangkaran, (2) anatomi dan morfometri organ reproduksi jantan dan betina, (3) mengamati pola dan tingkah laku seksual kancil jantan dan betina, (4) mengamati panjang siklus estrus dan lama periode estrus kancil melalui pengamatan perubahan sitologis sel-sel epitel vagina dan profil metabolit hormon steroid (estrogen dan progesteron) dan (5) mengamati karakteristik dan kualitas semen kancil yang dikoleksi dengan metode elektroejakulator. Kancil adalah hewan yang memiliki stres tinggi, terutama disebabkan oleh faktor lingkungan, akan tetapi stres hanya bersifat akut artinya terjadi saat pertama kali ditempatkan dalam kandang. Berdasarkan pengamatan terlihat kancil yang digunakan dalam penelitian ini bertahan hidup sampai sekarang (2 tahun), terlihat nyaman di dalam kandang (terkondisi), bila dipegang tidak memberontak, sehat dan siklus estrus teratur, dengan kata lain kancil telah beradaptasi dengan lingkungan. Kancil mempunyai potensi untuk dijadikan ternak budidaya atau merupakan satwa harapan. Hal ini dapat dilihat dari kemampuannya didalam memanfaatkan jenis bahan yang tersedia pada lingkungan ex situ seperti umbiumbian (wortel, ubi jalar) dan sayuran (kangkung, kacang panjang, ketimun). Dalam penelitian ini pakan yang diberikan berupa campuran wortel, kacang panjang, kangkung dan diberi tambahan konsentrat (pellet kelinci). Kancil dapat memakan rata-rata 552,50 gr/hari. Air minum diberi ad-libitum dan di sudut kandang juga disediakan garam. Selain itu, untuk meningkatkan kekebalan tubuh, setiap minggu diberikan vitamin A, E dan C (anti oksidan) dan sebulan sekali diberi Biosalamin secara intramuskuler serta setiap enam bulan diberikan obat cacing (Calbazen).

Secara umum bagian-bagian dari organ reproduksi kancil jantan hampir sama dengan organ reproduksi ternak domestik lainnya, yaitu terdiri dari organ kelamin primer (gonad jantan atau testis), kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap (ampula, kelenjar vesikularis, prostat dan bulbourethralis) dan saluran-saluran yang terdiri dari epididimis, vas deferens dan urethra, serta organ kelamin bagian luar atau organ kopulatoris yang disebut dengan penis. Penis kancil mempunyai fleksura sigmoidea dan termasuk fibroelastis. Panjang testis kancil adalah 12.332.89 mm, diameter 8.201.92 mm dengan berat 0.810.17 gr, panjang vas deferens adalah 1133.60 mm, ampula kancil 17.332.87 mm dengan diameter mm, panjang kelenjar vesikularis pada kancil 18.003.46 mm dan tebal 5.71.10 mm, panjang kelenjar prostat 17.332.52 mm dengan tebal 6.530.06 mm, sepasang kelenjar bulbourethralis dengan panjang 8.261.02 mm dan tebal 5.470.85 mm dengan berat (0.860.04 gr). Panjang penis bebas preputium pada kancil (58.3310.41 mm). Organ reproduksi kancil betina terdiri dari sepasang ovarium, oviduct, uterus, cervix dan vagina. Ovarium kanan kancil berukuran lebih panjang 4.82.61 mm dan lebar 3.031.70 mm di bandidngkan dengan ovarium kiri panjang 4.40.61 mm dan lebar 2.830.67 mm. Tuba Fallopii kanan memiliki panjang (30.672.08 mm) dan yang kiri 29.673.21 mm. Cornua uteri kanan juga lebih panjang (32.673.05 mm) dibanding Cornua kiri dengan panjang 21.001.73 mm. Corpus uteri memiliki panjang 32.672.08 mm. Cervix kancil mempunyai panjang 24.332.52 mm dengan diameter 5.330.58 mm. Pada kancil terlihat cervix relatif lebih panjang dari vagina, dimana berbeda dengan pada ternak mamalia lainnya. Vagina memiliki panjang 20.335.57 mm. Karakteristik tingkah laku pada penelitian ini diukur berdasarkan pengamatan terhadap: lama berdiri, gelisah, urinasi, nafsu makan dan perubahan vulva. Lama berdiri pada pada saat estrus kancil memperlihatkan perubahan yang jelas (7.91.13 jam/hari) dibanding non estrus (3.3 0.84 jam/hari). Gelisah (gerakan berpindah tempat) saat estrus 18.4 3.91 kali/menit dibanding non estrus 3.4 kali/menit. Urinasi saat estrus lebih sering (7.6 0.89 kali/hari) dibanding non estrus (3.40.55 kali/hari). Defekasi terjadi saat estrus (4.40.55) dan non estrus (2.20.45 kali/hari). Konsumsi pakan menurun pada saat estrus (436.353.70 gr/hari) dibanding non estrus (552.5043.62 gr/hari). Dari pengamatan terhadap perubahan vulva terlihat kancil menunjukan pembukaan dan pembengkakan vulva yang jelas (+++) pada saat estrus. Sebaliknya pada saat non estrus, vulva agak tertutup dan pucat. Betina kadang melakukan sentakan kaki yang diduga untuk mengalihkan perhatian pejantan. Parameter lain yang diamati dengan cara memegang punggung. Kancil betina yang dipegang punggunngnya posisi pinggul dinaikkan atau pelegokan punggung (lordosis) dan tidak bergerak. Hasil pengamatan pada jantan dimana bila ada betina estrus, terdapat peningkatan gerak sebanyak (17.61.5 kali/menit) dibanding bila betina non estrus (6.61.1 kali/menit). Frekuensi defekasi (5.20.8 kali/hari) dibanding dengan saatbetina non estrus (2.60.5 kali/hari). Terjadi peningkatan frekuensi urinasi (6.01.1 kali/hari) dibanding dengan saat betina non estrus (2.40.5 kali/hari). Kancil jantan bersifat dominan terhadap jantan yang baru datang, sehingga pejantan yang baru tidak menunjukkan agresivitas.

Pola tingkah laku kawin ditandai dengan perubahan sifat pejantan yaitu menjadi lebih aktif, percumbuan (courtship), menjilati dada dan punggung, menggosok-gosokkan intermandibular scent glandnya ke betina dan kopulasi. Pada saat mounting kancil jantan akan menaikkan kaki depannya ke atas pinggul dengan sejajar atau menyilangkan kaki diatas pinggul betina hingga posisinya aman untuk terjadinya kopulasi. Ereksi terjadi saat kaki sudah terfiksir di atas pinggul dan saat tersebut terjadi intromisi. Lama mounting rata-rata 3 menit (berkisar antara 1-5 menit). Demikian juga waktu yang dibutuhkan dari mounting pertama kali dan waktu mounting yang kedua rata-rata 3 menit (berkisar antara 1-5 menit). Kancil yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai libido yang tinggi dari pengamatan diketahui juga bahwa kancil tidak bersifat monogamus. Siklus estrus kancil dapat ditentukan dengan melihat perubahan sel-sel epitel vagina. Berdasarkan sitologis vagina, lama estrus adalah 2-3 hari (48-72 jam) dan lama siklus estrus berdasarkan jarak antara titik tertinggi sel-sel superfisial, yaitu 11.6 hari dengan kisaran (9-14 hari). Dari profil progesteron, panjang siklus berdasarkan antara dua titik dimulainya peningkatan konsentrasi progesteron sampai peningkatan konsentrasi progesteron berikutnya (di atas garis threshold ) pada kancil no 1 adalah 12 hari (9-15 hari) dan pada kancil no 2 adalah 12 hari (12-13 hari). Lama fase luteal pada kancil no 1 adalah adalah 8 hari dan kancil no 2 adalah 7 hari serta lama fese interluteal baik pada kancil no 1 dan no 2 adalah 4-5 hari dengan lama estrus 2-3 hari. Karakteristik semen yang didapatkan pada penelitian ini secara makroskopis yakni sebesar 35.0012,91 l, pH 7.5, berwarna kuning dan konsistensi kental. Secara mikroskopis tidak menunjukkan gerakan massa, konsentrasi spermatozoa (366.66148.08x106 ml-1), persentase motilitas (40.08.165), persentase hidup 65.005,77 dan persentase abnormalitas 29.18. Abnormalitas pada kepala yang ditemukan pada kancil, antara lain adalah pear shape (0.56%), narrow at the base (kepala mengecil ke bawah) (1.12%), narrow (tappered head) (1.12%), undeveloped (3.37%), round head ((1.68%), double heads (1.12%), detached head (2.81%), abaxial (1.12%), microcephalus (1.12%) dan macrocephalus (1.12%). Sedangkan abnormalitas pada ekor antara lain adalah ekor tanpa kepala (1.12%), coiled under the head (1.13%), simple bent (3.37%), midpiece defect (1.12%) dan double tail (0.56%), proximal cytoplasmic droplet (1.69%) dan distal cytoplasmic droplet (2.80%).

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN POLA REPRODUKSI PADA KANCIL (Tragulus javanicus) DALAM MENDUKUNG PELESTARIANNYA

NAJAMUDIN

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Penguji pada Ujian Tertutup : 1

Dr. Drh. M. Agus Setiadi (Dosen pada Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor)

2 Dr. Drh. M. Agil, M.Sc. (Dosen pada Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka : 1

Dr. Ir. Tonny R. Soehartono, M.Sc. (Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, Departemen Kehutanan RI)

2 Dr. R. Iis Arifiantini, M.S. (Dosen pada Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor)

Judul Disertasi

: Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) dalam Mendukung Pelestariannya. : Najamudin : B361060011

Nama NRP

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf, M.S. Ketua

Dr. drh. Srihadi Agungpriyono, PAVet(K) Anggota

Dr. drh. Amrozi Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi/ Mayor Biologi Reproduksi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. drh. Iman Supriatna

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 20 Januari 2010

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Alhamdu Lillahi Rabbil Alamin atas segala rahmat dan karunianya yang engkau berikan ya Allah, sehingga Karya Ilmiah DISERTASI ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW atas suri tauladan-Nya. Disertasi ini memuat hasil penelitian tentang pola adaptasi kancil pada kondisi penagkaran, tingkah laku reproduksi jantan dan betina, penentuan siklus estrus melalui gambaran sitologis vagina dan profil hormon metabolit dari feses serta karakteristik spermatozoa kancil. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada: Ibu Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf, MS. sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. drh. Srihadi Agungpriyono, PAVet(K) dan Bapak Dr. drh. Amrozi, masing-masing sebagai anggota pembimbing, atas arahan dan bimbingannya dimulai dari pembuatan proposal dan pelaksanaan peneltian sampai pada penulisan disertasi sehingga dapat menambah wawasan penulis dalam berbagai hal yang tertuang dalam disertasi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula pada pimpinan Universitas Tadulako, Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Biologi Reproduksi SPs-IPB, serta Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Laboratorium Rehabilitasi Reproduksi, Laboratorium Riset Anatomi AFF FKHIPB beserta seluruh staf, atas kesempatan dan segala fasilitas yang diberikan selama penulis menenpuh pendidikan sehingga penelitian ini dapat berlangsung dengan baik. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. M. Agus Setiadi dan Bapak Dr. drh. M. Agil, M.Sc, yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup dan Ibu Dr. Nastiti Kusumorini, sebagai pimpinan sidang pada ujian tertutup. Terima kasih juga kepada Bapak Dr. Ir. Tonny R. Soehartono M.Sc dan Ibu Dr. R. Iis Arifiantini, M.S, atas kesediaanya menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka dan Bapak Dr. drh. H. Hasim, DEA (Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB), sebagai pimpinan sidang pada ujian terbuka.

Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan pada Bapak Prof. Dr. drh. Iman Supriatna, Bapak Prof. Ir. Muhammad Salim Saleh, MP, Bapak Dr. Ir. Muh. Nasir Nanne, MS, Bapak drh. R. Kurnia Achyadi, MS, Bapak Dr. drh. Adi Winarto, Ibu Dr. drh. Hera Maheswari, yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan perhargaan pada rekan-rekan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Pascasarjana Biologi Reproduksi, Dr. Ir. Tomas Mattahine, M.Si, Bayu Rosadi, SP, M.Si, Drs. Hurip M.Si, Dr. drh. Enny T, M.Si, drh. Yudi, M.Si, Hary, S.Si, drh. Riadi, Ir. Golib dan teman-teman seangkatan SVT (2006/2007) Dr. drh. I Nyoman Suarsana, M.Si (UDAYANA), Dr. Muharram Saifuloh, MSc, drh. Sutiastuti W. M.Si (BALIVET), drh. Mustafa Sabri (UNSYIAH), Dr. drh. Ketut Karuni N. Natih, M.Si (BPMSOH) dan Dr. drh. Sophia Setiawati, MP (Karantina-Jakarta), dan Ibu Endang, Drh Dedy R. Setiadi, Bondan Ahmadi, SE, AMd atas bantuaan dan kerjasamanya selama penulis menenpuh studi S-3. Terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman Wacana Sulawesi Tengah: Ir. Abd. Kadir Paloloang, MP, Ir. Muh. Nur Sangaji, DEA, Ir. Ivon Iskandar, M.Si, Dr. Nurdin, MP, Ir. Abd. Syakur, M.Si, Ir. Abd. Rosyid, M.Si, Alimudin Laapo, SP, M.Si dan Ir. Nova Rugayah, MES. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada

Ayahanda Atong Hi. Saing (Alm) dan Ibunda Jubaere dan kakak dan adik-adikku yang senantiasa memberikan doa dan dukungan moril. Terima kasih dan perhargaan kepada Ulfah, S.Pd (istri) dan Maghfirah

Pratiwi Ramadina, Khalisah Rahmah Dinitya dan Syafina Aulia Rahmah (anakanak) atas doa tulus, pengorbanan, pengertian, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada pernah putus, Mohon maaf selama tiga tahun terakhir tidak dapat memberikan kasih sayang yang utuh kepada kalian semua. Semoga apa yang Bapak lakukan ini menjadi teladan bagi kalian. Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas dan bernilai ibadah kepada Allah SWT, amin. Bogor, 20 Januari 2010 Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Baturube, 19 Oktober 1969. Penulis merupakan anak kedua dari 8 bersaudara dari pasangan Atong Hi Saing (Alm) dan Jubaere. Penulis menikah dengan Ulfah, S.Pd pada tanggal 12 April 1999, dan dikaruniai tiga putri yaitu Maghfirah Pratiwi Ramadinah, lahir 02 Januari 2000 (10 tahun), Khalishah Rahmah Dinitya, lahir 14 Juli 2001 (8 tahun) dan Syafina Aulia Rahmah, lahir 02 Juli 2003 (6 tahun). Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri Tirongan Bawah tamat tahun 1981, SMP Negeri Baturube tamat 1984, SMA Muhammadiyah Luwuk pada tamat tahun 1987. Pada tahun 1987, penulis melanjutkan pendidikan di Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, lulus tahun 1992. Tahun 1996 penulis menempuh pendidikan pascasarjana pada Program Studi Biologi Reproduksi IPB dan lulus tahun 1998. Sejak tahun 2006, penulis terdaftar sebagai mahasiswa program doktor (S3) pada Program Studi Biologi Reproduksi SPs-IPB dengan beasiswa pendidikan dari BPPS DIKTI, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonensia. Sejak tahu 1994 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai dosen tetap di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Selama mengikuti program S3, penulis menghasilkan karya ilmiah berjudul: Penentuan Siklus Estrus pada Kancil (Tragulus javanicus) Berdasarkan Perubahan Sitologis Vagina pada Jurnal Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Udayana (Diterima untuk diterbitkan).

DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI .............. DAFTAR TABEL . xiii xv xvi 1 1 4 4 5 8 8 9 12 13 14 17 17 18 18 20 22 22 24 26 26 27 29 33 35 35 35 35 36 36 38 39 39

DAFTAR GAMBAR ...... PENDAHULUAN .............................................................................................. Latar Belakang ............................................................................................. Tujuan Penelitian ........................................................................................ Manfaat Penelitian ....................................................................................... Kerangka Pemikiran .................................................................................... TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... Klasifikasi dan Sebaran Kancil ................................................................... Karakteristik Umum Kancil ........................................................................ Pakan Kancil ................... .......................................................................... Habitat .......................................................................................................... Faktor-faktor Lingkungan yang Berpengaruh pada Ternak ......................... Karakteristik Reproduksi Kancil . Anatomi Organ Reproduksi Jantan Anatomi Organ Reproduksi Betina Pola Reproduksi Kancil .. Tingkah Laku Seksual . Mekanisme Kerja Hormonal dalam Siklus Estrus ....................................... Hormon Reproduksi ............................................................................... Periode Siklus Estrus ............................................................................... Metode Penentuan Siklus Estrus Sitologi Epitel Vagina ............................................................................. Profil Metabolit Hormon di dalam Feses dan Urin ................................. Metabolisme dan Ekskresi Steroid Reproduksi ........................................... Karakteristik Semen Kancil BAHAN DAN METODE ................................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................... Hewan Penelitian ......................................................................................... Alat dan Bahan Penelitian ............................................................................. Metode Penelitian ..... Masa Adaptasi Kandang dan Pemeliharaan Anatomi dan Morfometri Organ Reproduksi Kancil Jantan dan Betina Pengukuran dan Penimbangan Organ Reproduksi Organ Reproduksi Jantan

Halaman

Organ Reproduksi Betina Tingkah Laku Seksual pada Kancil Kancil Jantan ................................................................................... Kancil Betina .................................................................................... Tingkah Laku Kawin ....... Penentuan Siklus Estrus pada Kancil Gambaran Sitologik Vagina ............................................................. Profil Metabolit Hormon Progesteron ............................................... Koleksi Sampel Feses ............................................................... Ekstraksi Steroid Feses ............................................................... Analisis Hormon Metabolit .................................................. .... Analisis Data .............................................................................. Koleksi dan Evaluasi Semen ....................................................................... Koleksi Semen .................................................................................. Evaluasi semen ............. HASIL DAN PEMBAHASAN ... Adaptasi Kandang dan Pemeliharaan ........................................................... Anatomi dan Morfometri Organ Reproduksi Kancil Jantan dan Betina ..... Organ Reproduksi Jantan ....................................................................... Organ Reproduksi Betina ...................................................................... Karakteristik Tingkah Laku Seksual pada Kancil Jantan dan Betina ......... Betina ..................................................................................................... Jantan ...................................................................................................... Tingkah Laku Kawin .............................................................................. Penentuan Siklus Estrus pada Kancil ... Gambaran Sitologis Epitel Vagina . Profil Metabolit Hormon Pergesteron ............................... Koleksi dan Evaluasi Semen Koleksi Semen ... Evaluasi Semen ...................................................................................... Morfologi Spermatozoa .......................................................................... PEMBAHASAN UMUM ................................................................................... SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... Simpulan ................................................................................................ Saran ...................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ LAMPIRAN ........................................................................................................

40 40 40 41 42 42 42 43 43 43 44 44 45 45 45 47 47 53 52 58 61 61 64 65 70 70 76 84 84 85 88 94 99 99 100 101 112

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Parameter pengamatan estrus . 2 Kriteria penentuan siklus estrus berdasarkan gambaran perubahan sitologis epitel vagina .................................................................................... 3 Morfometri organ reproduksi pada kancil jantan .......................................... 4 Morfometri organ reproduksi pada kancil betina .......................................... 5 Karakteristik tingkah laku estrus kancil betina .............................................. 6 Karakteristik tingkah laku seksual jantan ....................................................... 7 Karakteristik sel epitel vagina kancil pada siklus estrus 8 Panjang siklus estrus berdasarkan titik puncak sel-sel superfisial dan parabasal pada kancil ................................................................................... 9 Rataan konsentrasi metabolit progesteron di feses selama 2 siklus estrus ..... 10 Karakteristik semen kancil . 11 Abnormalitas spermatozoa pada kancil .........................................................

41 43 54 59 61 65 70 75 77 86 90

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur kerangka pemikiran ................................................................................. 2 Peta penyebaran kancil (Tragulus javanicus) di beberapa pulau dan negara ......................................................................................................... 3 Perbandingan ukuran antara Tragulus napu dan Tragulus javanicus ............. 4 Kancil dewasa mempunyai gigi taring ........... 5 Metabolisme estrogen .................................................................................... 6 Metabolisme progesteron ................... .......................................................... 7 Skema jalur ekskresi hormon steroid .............................................................. 8 Bagan alur penelitian anatomi dan morfometri kancil jantan dan betina ....... 9 Model kandang penelitian .............................................................................. 10 Kancil yang mengalami luka pada muka, dada dan lutut ... 11 Luka yang sudah mengering .. 12 Kancil yang sudah beradaptasi (keadaan relaks dalam kandang) ... 13 Kancil yang sudah jinak . 14 Pakan kancil: wortel, kacang panjang dan kangkung dalam potongan kecil 15 Anatomi organ reproduksi jantan ... 16 Perbandingan morfologi kelenjar asesoris pada ternak ... 17 Perbandingan morfologi glans penis .. 18 Organ reproduksi kancil betina ... 19 Keadaan vulva pada kancil ................. 20 Respon kancil pada saat dipegang daerah belakang 21 Tingkah laku kancil menjelang perkawinana ...................... 22 Jantan mencium menjilat urin kancil betina ... 23 Tngkah laku menandai pada kancil betina oleh kancil jantan .... 24 Posisi kancil saat kawin .. 25 Sikap kancil betina saat tidak estrus ........ 26 Morfologi sel epitel vagina kancil pada fase proestrus ... 27 Morfologi sel epitel vagina kancil pada fase estrus 28 Morfologi sel epitel vagina kancil pada fase diestrus 29 Uji paralisme contoh feses untuk hormon progesteron ..... 30 Profil metabolit hormon progesteron di feses ...

7 9 10 10 30 31 32 38 49 49 49 50 51 52 53 56 57 58 62 64 66 66 67 68 69 71 71 73 77 79

xvi

Halaman

31 Perubahan sel-sel epitel vagina pada betina no 1 32 Perubahan sel-sel epitel vagina pada betina no 2 33 Proses elektroejakulasi diawali dengan pemasukkan probe ke dalam rektum .............................................................................................. 34 Semen hasil ejakulat ........................................................................................ 35 Spermatozoa kancil dengan pewarnaan eosin 2% ......................................... 36 Morfologi spematozoa abnormal pada kepala ................................................ 37 Morfologi spematozoa abnormal pada ekor ....................................................

81 82 84 85 88 91 92

xvii

PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber kekayaan alam hayati beraneka ragam flora maupun fauna, sebagian besar dari fauna yang ada belum dimanfaatkan secara optimal dan hidup liar di hutan. Secara ekologis, satwa liar memberikan keseimbangan dalam menjaga rantai makanan. Namun demikian, keberadaan mereka terancam karena menjadi sasaran perburuan baik untuk kepentingan hobi, hewan model atau hewan kesayangan. Salah satu satwa liar tersebut adalah kancil (Tragulus javanicus). Penyebarannya di Indonesia terbatas pada daerah-daerah tertentu, yaitu: Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan jumlah populasi yang belum diketahui secara tepat. Kancil merupakan satwa liar yang statusnya termasuk dilindungi (Dephut 1978). Populasi satwa ini diduga cenderung menurun akibat perburuan dan konversi habitatnya menjadi lahan olahan manusia. Ancaman lain adalah predator yang bisa memangsanya, seperti harimau, kucing hutan dan garangan, burung besar dan reptil besar. Mengingat kancil bukan hanya merupakan kekayaan

keanekaragaman fauna Indonesia tetapi juga dunia, maka perlu dilakukan usaha konservasi spesies ini, baik dari sisi perlindungan habitat maupun dari sisi satwa itu sendiri. Telah diketahui bahwa kancil memiliki komposisi protein tinggi (21.42%), lemak (0.51%) dan kolesterol rendah (50%) (Rosyidi 2005). Dengan demikian kancil dapat dijadikan satwa harapan. Namun demikian, pembiakan kancil secara alami di penangkaran belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Ada kemungkinan faktor penyebab kurang berhasilnya pembiakan kancil di penangkaran disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan tentang biologi

reproduksinya. Strawder (2004) melaporkan di habitatnya kancil hidup secara soliter dan monogami. Saat ditangkarkan kancil tidak stabil dan agresif, libidonya rendah dan tidak mampu untuk mounting (Kudo et al. 1995 dalam Haron et al. 2000). Faktor tersebut menyebabkan upaya perkembangbiakan kancil mengalami kesulitan.

Sistem reproduksi jantan dan betina merupakan faktor penting dalam menunjang keberhasilan teknologi reproduksi pembiakan satwa, maka sebagai langkah awal dalam penelitian ini akan melihat anatomi organ reproduksi, tingkah laku seksual dan siklus estrus. Pengetahuan siklus estrus pada kancil betina,

terutama lama periode estrus dan waktu ovulasi merupakan informasi yang sangat penting dalam menentukan tingkat keberhasilan perkawinan. Pada hewan betina, penentuan siklus estrus dapat dilakukan melalui pengamatan tingkah laku seksual. Namun belum memberikan informasi yang tepat dalam menentukan waktu perkawinan. Metode lain dalam pengamatan siklus estrus diantaranya dengan mempelajari gambaran perubahan sel epitel vagina dan melihat profil hormon, baik yang diperoleh secara invasif dalam plasma darah maupun non invasif dalam urin dan feses. Pengaturan siklus estrus dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron melalui aktifitas ovarium. Hormon estrogen disekresikan oleh sel-sel granulosa dari folikel ovarium karena pengaruh Follicle Stimulating Hormone (FSH). Pada saat progesteron rendah, peningkatan konsentrasi estrogen akan menyebabkan umpan balik positif dengan meningkatnya sekresi Luteinizing Hormone (LH) dari hipofisa anterior ke dalam peredaran darah dan menyebabkan ovulasi folikel. Setelah ovulasi terbentuk corpus luteum (CL) yang mensekresikan progesteron. Pada akhir fase luteal jika tidak terjadi kebuntingan, CL akan mengalami regresi atas pengaruh prostaglandin F2 (PGF2). Dengan menurunnya progesteron maka terjadi umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofisa sehingga terjadilah pembentukan folikel baru untuk memasuki siklus estrus yang baru. Perubahan fisiologis yang menyertai siklus estrus tersebut juga berpengaruh terhadap gambaran sitologi sel epitel vagina. Pada fase luteal dimana hewan tidak estrus sebagian besar sel epitel vagina merupakan sel parabasal, sedangkan ketika memasuki fase estrus sel epitel berubah menjadi sel intermediet, superfisial dan sel tanduk (kornifikasi) yang menandakan hewan dalam keadaan puncak estrus. Dengan demikian, keberadaan sel superfisial dan sel tanduk dapat

digunakan untuk menentukan waktu optimum melakukan inseminasi buatan (IB) atau kawin alam. Di dalam proses metabolismenya, hormon steroid akan dikonjugasikan dengan glukuronida atau sulfat. Metabolit hormon yang telah terkonjugasi tersebut selanjutnya akan kembali ke sirkulasi sistemik dan diekskresikan melalui urin atau melewati membran kanakuli hati ke empedu, selanjutnya akan memasuki sirkulasi enterohepatik dan diekskresikan melalui feses (OMaley & Strott 1999). Adanya hormon yang diekskresikan tersebut dapat digunakan untuk melakukan pengukuran konsentrasi hormon reproduksi satwa liar termasuk kancil. Metode pengamatan hormon yang non invasive ini sangat bermanfaat karena dapat meniadakan pengaruh cekaman. Analisis profil metabolit hormon dari urin dan feses telah digunakan beberapa peneliti terdahulu dan hasilnya dapat merefleksikan kondisi reproduksi satwa (Brown & Wildt 1997; Kusuda et al. 2007a). Kusuda et al. (2007a) melaporkan bahwa siklus estrus pada okapi dapat diamati berdasarkan pada perubahan konsentrasi pregnanediol glukoronide (PdG) dalam urin dan feses. Deteksi kebuntingan dengan menganalisa konsentrasi estrogen dari feses sudah dilakukan pada berbagai ungulata, seperti kerbau, zebra dan bison

(Schwarzenberger et al. 1996). Namun sampai saat ini, penelitian serupa pada kancil betina belum pernah dilaporkan. Dengan demikian biologi reproduksi kacil perlu dikaji untuk meningkatkan populasinya. Hal tersebut dapat didekati dengan pengkajian tingkah laku berahi, gambaran sitologi epitel vagina dan pola hormon pada betina. Sehingga diketahui siklus estrus, panjang masa estrus dan perkiraan waktu ovulasi yang menentukan ketepatan waktu kawin. Kajian tersebut harus juga melibatkan pemeriksaan Pengetahuan tentang karakteristik semen

karakteristik dan kualitas semen.

tersebut dapat digunakan dalam menentukan kesuburan atau kemungkinan pembuatan semen cair atau beku.

Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap pola reproduksi kancil dalam rangka peningkatan populasi untuk mendukung pelestariaannya. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1 Mempelajari pola adaptasi kancil pada kondisi penangkaran 2 Mempelajari anatomi dan morfometri organ reproduksi kancil jantan dan betina 3 Mengamati pola dan tingkah laku seksual kancil jantan dan betina 4 Mengetahui panjang siklus estrus dan lama periode estrus kancil melalui pengamatan perubahan sitologi sel-sel epitel vagina dan profil metabolit hormon steroid (progesteron) 5 Mengetahui karakteristik dan kualitas semen kancil yang dikoleksi dengan metode elekroejakulator.

Manfaat Penelitian
1. Data yang diperoleh dapat digunakan sebagai data dasar dalam upaya pelestarian dan konservasi satwa kancil baik secara in-situ maupun ex-situ. 2. Dalam aplikasi reproduksi, hasil penelitian dapat menentukan waktu optimal kawin pada betina dan pada jantan sebagai dasar pengembangan pengolahan semen.

Kerangka Pemikiran Pengaturan estrus dipengaruhi oleh hormon gonadotropin, yaitu FSH dan LH dimana akan menyebabkan perkembangan folikel dan pembentukan CL. Folikel yang matang akan mensekresikan estrogen yang bertangungjawab untuk proliferasi endometrium, meningkatkan ukuran dan cairan dinding uterus melalui hiperplasia dan hipertrofi sel-sel mukosa, meningkatkan volume dan ukuran pembuluh darah ke uterus sehingga darah mengalir ke dan dari uterus dengan bebas serta berpengaruh pada otak yang ada hubungannya dengan tingkah laku estrus atau berahi. Estrogen juga mengontrol perubahan pada alat kelamin betina, produksi mucus, pada uterus merubah aktivitas metabolismenya, kesemuanya itu dimaksudkan spermatozoa. Gejala estrus yang diperlihatkan karena efek estrogen pada poros hipotalamus-hipofisa meningkatkan sekresi LH ke dalam peredaran darah, sehingga menyebabkan ovulasi. Hormon progesteron yang dihasilkan CL mulai meningkat setelah ovulasi, dimana hal tersebut menandakan bahwa hewan berada dalam fase luteal. Hormon progesteron akan bertahan beberapa waktu, dimana hal tersebut menandakan bahwa hewan berada dalam fase luteal. Pada akhir fase luteal jika tidak terjadi kebuntingan, CL akan mengalami regresi atas pengaruh PGF2. Dengan menurunnya progesteron maka terjadi pelepasan gonadotropin oleh adenohipofisa, sehingga terjadilah pembentukan folikel baru untuk memasuki siklus estrus yang baru. Fluktuasi hormon estrogen dan progesteron tersebut, akan berpengaruh terhadap gambaran sel epitel vagina. Proses perubahan sel-sel parabasal menuju sel intermediet kemudian sel-sel superfisial dan sel-sel anucleate sebagai berikut: (1) bentuk bundar atau oval perlahan-perlahan akan berubah menjadi bentuk poligonal atau bentuk tidak beraturan, (2) ukuran inti yang besar secara perlahanlahan akan mengecil, pada beberapa kasus inti mengalami kematian atau rusak secara bersamaan, (3) ukuran sitoplasma akan lebih tipis daripada semula. Proses perubahan di atas merupakan salah satu proses pada siklus estrus. Pada fase luteal guna mempersiapkan uterus untuk menerima ovum dan

dimana hewan tidak estrus terdapat sel parabasal, sedangkan memasuki fase estrus sel epitel berubah menjadi sel superfisial dan sel tanduk yang menandakan hewan dalam keadaan puncak estrus. Setelah disekresikan dari organ endokrin, sebagian besar hormon akan berada di dalam aliran darah dalam keadaan terikat dengan protein dan sisanya merupakan hormon yang bebas. Di dalam proses metabolismenya, hormon akan dikonjugasikan dengan glukuronida atau sulfat. Metabolit hormon yang telah terkonjugasi tersebut selanjutnya akan kembali ke sirkulasi sistemik dan diekskresikan via urin atau akan melewati membran kanakuli hati ke empedu, Hormon yang disekresikan ke dalam empedu akan diserap kembali ke dalam sirkulasi enterohepatik dan selanjutnya diekskresikan melalui feses. Mengingat profil hormon reproduksi yang diperoleh dari analisa darah, sulit diterapkan bagi satwa liar terutama yang mudah tercekam, sehingga pendekatan non invasif yaitu melalui urin dan feses merupakan suatu alternatif. Kancil merupakan salah satu satwa yang sangat rentan terhadap stres, sehingga pengambilan sampel non invasif tidak mengalami stres akibat penanganan sehingga hasil yang diperoleh benar-benar mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Informasi tentang karakteristik semen sebagai penentu fertilitas jantan dilakukan koleksi semen dengan teknik elektroejakulator. Pemeriksaan

konsentrasi, motilitas dan abnormalitas merupakan faktor penting yang dapat menentukan fertilitas jantan.

Kancil jantan

Kancil betina

Masa adaptasi - Kandang - Pakan Anatomi dan morfometri organ reproduksi jantan dan betina

-Tingkah laku seksual

Gambaran sitologis vagina

Siklus estrus

Analisis progesteron feses

Waktu optimum kawin

Keberhasilan perkawinan

S e m e n

Koleksi dan evaluasi semen makroskopis &


mikroskopis

Tingkat kesuburan pejantan

Gambar 1 Alur kerangka pemikiran

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Sebaran Kancil Klasifikasi kancil adalah sebagai berikut: kelas ordo subbordo infra ordo famili genus spesies : : : : : : : : : Mamalia Artiodactyla Ruminantia Tragulina (chevrotain) Tragulidae (mouse deer) Tragulus T. javanicus (osbeck 1965) T. meminna (Erxleben 1777) T. napu (Cuvier 1822)

Meijaard dan Goves (2004) membagi Tragulus menjadi enam spesies dan 24 subspesies berdasarkan morfometri dan daerah sebaran dimana kancil

ditemukan. Enam spesies ini, yakni : Tragulus napu (ada 8 subspesies), Tragulus nigican, Tragulus versicolor, Tragulus javanicus, Tragulus kanchil (ada 16 subspesies) dan Tragulus williamsoni. Smit-van Dort (1969) diacu dalam Meijaard dan Goves (2004) membedakan dua spesies Tragulus dengan menggunakan karakter dari skeleton, yaitu Tragulus napu (selain lebih besar juga memiliki kaki yang lebar dan kuat) dan Tragulus javanicus. Osbec adalah orang yang pertama kali memproklamirkan nama ilmiah Tragulus javanicus untuk kancil pada abad ke 18 (Hoogerwerf 1970). Dari nama tersebut diketahui bahwa hewan kancil pada mulanya ditemukan di Pulau Jawa, karena contoh yang dipakai sebagai dasar penamaan ditemukan di kampung Jungkulan yang terletak di muara Cikuja, Jawa Barat (Suyanto 1983). Hal ini bukan berarti kancil hanya terdapat di Pulau Jawa karena pada kenyataannya kancil menyebar di beberapa tempat baik di dalam maupun di luar negeri. Kancil dapat dijumpai di Thailand, Myanmar, Kamboja, beberapa pulau di wilayah Indonesia seperti: Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Di Pulau

Melayu tersebar luas di dataran rendah dan kaki gunung dengan hutan primer dan

sekunder, juga Pulau Langkawi, Penang, Singapura dan Redang (Medway 1978) (Gambar 2).

Gambar 2 Peta penyebaran kancil (Tragulus javanicus) di beberapa pulau dan negara (warna hijau) (Robin 1990, diacu dalam Huffman 2004)

Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa Tragulus javanicus populasinya banyak terdapat di Pulau Jawa dan berasal dari Pulau Jawa, sedangkan Tragulus napu banyak terdapat di Pulau Sumatera dan Tragulus meminna hanya terdapat di India (Walker 1968). Karakteristik Umum Kancil Kancil bentuknya menyerupai kijang tetapi badannya kecil dan tidak

bertanduk. Kancil secara eksterior mempunyai kemiripan dengan rusa, karena itu hewan ini dikenal dengan nama mouse deer. Menurut Dubost (1986) ada dua jenis mouse deer, yaitu Tragulus napu dan Tragulus javanicus. Perbedaan yang

menyolok dari kedua jenis ini adalah bahwa Tragulus napu mempunyai bobot badan antara 4-6 kg, sedangkan Tragulus javanicus mempunyai bobot badan 1.31.8 kg (Gambar 3). Karena bobot badannya yang rendah, beberapa peneliti

menyarankan bahwa kancil memiliki potensi untuk digunakan sebagai ternak model untuk mempelajari ruminansia (Fukuta et al. 1991).

Kancil tergolong dalam ruminansia terkecil di dunia (Medway 1978; Nowak 1991), dan merupakan hewan ungulata yang paling primitif yang masih ada (Whittow et al. 1977). Kancil dapat bertahan hidup di penangkaran lebih dari 16 tahun (Jones 1993). Kancil jantan mempunyai badan yang lebih besar dibandingkan betina.

Gambar 3 Perbandingan besar tumbuh kancil jantan dewasa, Tragulus napu lebih besar dibandingkan Tragulus javanicus (Lekagul & McNeely 1977). Kancil memiliki kaki depan lebih pendek dari kaki belakang dan langsing (Hoogerweff 1970). Beberapa ciri menunjukkan kemiripan dengan babi, yaitu tidak mempunyai tanduk tetapi yang jantan mempunyai gigi taring atas yang subur sampai mencuat keluar sepanjang 3 cm, sedangkan gigi taring bawah kurang berkembang (Gambar 4).

Gigi taring

Gambar 4 Kancil jantan dewasa mempunyai gigi taring

10

Kancil mempunyai kepala segitiga dan badannya mengalami peninggian pada bagian belakang serta mempunyai kaki yang kecil dan langsing dengan diameter kira-kira sebesar pensil (Strawder 2004). Bulunya berwarna coklat

kemerah-merahan dengan warna putih pada bagian dagu sampai bagian ventral tubuh (Anderson & Jones 1967; Baker 2004). Pada Tragulus javanicus rambut putih tersebut membentuk tiga garis yang jelas (Smit-van Dort 1989, diacu dalam Meijaard & Goves 2004). Kancil merupakan hewan malam yang memiliki sifat hidup soliter dan berpasangan pada musim kawin (Young 1981), penakut, senang bersembunyi dari pada melarikan diri, larinya cepat tapi mudah capek, mudah gugup dengan lingkungan baru (Kudo et al. 1997). Oleh karena itu sebaiknya dalam tahapan penangkaran perlu terlebih dahulu ditutupi dengan kain yang gelap dan membiarkannya dalam keadaan gelap, tetapi apabila terlampau gelap hewan ini akan menjadi gugup. Apabila tahapan proses penangkaran dilakukan dengan baik hewan kancil bisa menjadi jinak seperti halnya hewan peliharaan lainnya, tetapi kancil betina cenderung lebih cepat jinak dibandingkan kancil jantan. Kancil mempunyai mata yang besar, daun telinga yang relatif kecil dan lidah yang relatif panjang serta kaki yang ramping dan kuku yang tajam (Gzimek 1975; Anonim 1978). Mempunyai 34 buah gigi, dimana gigi taring bagian atas akan tumbuh terutama pada jantan. Susunan gigi seri dan geraham pada kancil sama dengan sapi (Slijper 1954). Kancil bersifat pemalu dan selalu berusaha untuk tidak terlihat. Dalam kedaan ketakutan dan tidak nyaman, kancil akan menangis dengan mengeluarkan suara melengking (Medway 1969; Strawder 2004). Kancil hidup dalam kelompok, beberapa soliter dan bersifat monogami, kancil berpasangan ditemui pada saat musim kawin. Jantan bersifat teritorial yang akan menandai

daerah teritorialnya dengan sekresi dari kelenjar intermandibular dan disertai dengan urinasi dan defekasi (Strawder 2004). Kancil tidak mempunyai tanduk namun pada jantan dewasa terdapat gigi taring yang memanjang keluar (Anderson & Jones 1967). Kancil jantan akan melindungi dirinya serta pasangannya dengan mengejar/menghalau serta

11

menyayat/melukai musuhnya dengan menggunakan gigi taringnya ini (Strawder 2004). Kancil diketahui bersifat nokturnal, namun penelitian yang dilakukan oleh Matsubayashi et al. (2002) yang dipasang radiotracking pada habitatnya di hutan Kabili-Sepilok, Sabah (Malaysia), menunjukkan bahwa individu akan aktif makan dan bergerak sepanjang hari dan inaktif/istirahat pada malam hari. Ukuran tubuh kancil kecil dan eritrosit dengan ukuran yang kecil dan dalam jumlah yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan tingkat metabolisme yang tinggi (Snyder & Weathers 1977), dimana hemoglobin yang tinggi diperlukan karena kancil merupakan hewan yang gesit degan aktifitas otot yang banyak (Vidyadaran et al. 1979). Kancil tidak mempunyai lambung yang kompleks

seperti pada artiodactyla pada umumnya dimana kancil hanya memiliki retikulum, rumen dan abomasum, namun tidak memiliki omasum (Richardson Agungpriyono et al. 1992). Pakan Kancil Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam pemeliharaan kancil. Oleh karena itu suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa walaupun secara alamiah kancil tergolong hewan ruminansia, tetapi perlu diingat bahwa kancil termasuk hewan yang memiliki alat pencernaan sederhana (hanya memiliki rumen, retikulum dan abomasum tidak memiliki omasum), tidak mampu mencerna bahan makanan yang serat kasarnya tinggi, maka perlu diberikan makanan yang serat kasarnya rendah dan kandungan energi cukup tinggi. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa di alam, kancil menyukai makan buah-buahan hutan yang sudah jatuh ke tanah seperti kayu besi (Eusideroxylojn zwarger) dan buah-buahan ceplukan (Physalis maxima). Kancil di tempat pemeliharaan sangat menyukai:1) bahan makanan yang banyak mengandung karbohidrat tinggi sebagai sumber energi misalnya ubi rambat (Ipomea batatas), 2) bahan makanan sebagai sumber protein, misalnya kangkung (Ipomea aquatica), 3) sedikit rumput (Suyanto, 1983). Medway (1978) melaporkan bahwa di kebun binatang New York, pasangan kancil berkembang biak dengan pakan berupa potongan apel, pisang, wortel dan ubi 12 et al. 1988;

mentah serta ditambahkan pakan pellet berupa mixed gain, crushed monkey pellet, rollet oats dan alfalfa hay. Darlis et al. (1999) melaporkan bahwa kancil di Malaysia menyukai kangkung, kacang panjang, kacang perancis (bean french) sebagai roughages dan sumber protein; ubi (sweet potato), wortel (carrot) sebagai sumber karbohidrat dan pellet kelinci komersial sebagai pakan komplit. Waktu pemberian pakan sebaiknya dilakukan tiga kali sehari semalam dengan waktu pagi sekitar pukul 06.00-07.00 WIB, siang pada pukul 13.00-14.00 WIB dan malam pukul 18.00-19.00 WIB. Cara pemberian pakan sebaiknnya diberikan dalam wadah dan dalam kondisi segar, karena bila pakan sudah dalam keadaan layu dan kotor, maka kancil enggan memakannya. Kancil menyukai pakan yang segar dan kandungan air tinggi dan memiliki daya cerna tinggi serta kandungan serat kasarnya rendah (Rosyidi 2005). Habitat Habitat adalah tempat dimana suatu mahluk hidup melangsungkan kehidupannya. Alikodra (1979) manyatakan bahwa habitat adalah kompleksitas berbagai komponen antara lain iklim, fisiogafi, vegetasi dengan kualitasnya dan merupakan tempat hidup organisme. Sedangkan Djuwantoko (1986) menyatakan bahwa habitat merupakan suatu daerah yang sangat penting bagi populasi satwa agar dapat berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air dan naugan (shelter). Menurut Moen (1972) habitat satwa sangat dipengaruhi oleh lingkungan biotik maupun non-biotik. Habitat satwa sering secara sederhana ditafsirkan sebagai tipe vegetasi karena umumnya syarat hidup suatu jenis satwa selalu melibatkan aspek vegetasi (Dashman 1981). Krebs dan Davies (1981) menyatakan habitat mencerminkan tipe vegetasi yang tidak terbatas luasnya. Vegetasi diartikan sebagai kumpulan tumbuhan, biasanya terdiri atas beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat dan didalamnya terdapat interaksi yang erat baik antara individu itu sendiri maupun dengan binatang yang hidup bersamanya sehingga merupakan suatu ekosistem yang hidup dan dinamis (Marsono 1977). Habitat yang memenuhi 13

syarat bagi kelangsungan hidup satwa harus memiliki empat komponen dasar yaitu: pakan, pelindung, air dan ruang. Kancil menyukai tinggal di hutan primer dan sekunder, di tanah kering yang tidak jauh dengan sungai-sungai dengan vegetasi rapat, baik didataran rendah maupun tinggi (1.200 m dpl), kaki-kaki bukit. Tempat persembunyiannya di

rongga-rongga pohon, celah-celah batu, gua-gua maupun di semak-semak. Usia yang dapat dicapai pada habitat aslinya adalah 12-14 tahun (Strawder 2004). Faktor-Faktor Lingkungan yang Berpengaruh pada Ternak Peningkatan produksi dan produktifitas ternak, di mana saja, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besar faktor tersebut dapat ditinjau dari aspek pakan, aspek ternak sendri dan aspek manusia dalam menempatkan, menilai dan memanfaatkan ternak tersebut. Hewan tidak dapat memisahkan diri dengan

lingkungannya, karena antara duanya telah terbentuk suatu sistem yang saling berinteraksi antara satu sama lain. Kemampuan hewan untuk beradaptasi dalam lingkungan dapat dilihat dari beberapa parameter, seperti tingkat harapan hidup dan kemampuan berkembang biak atau prestasi reproduksi (Krimbas 1984). Kendala dalam memelihara kancil adalah karena hewan ini termasuk satwa liar dan memilki sifat berbeda dengan hewan domestikasi. Salah satu fenomena yang unik pada satwa liar termasuk kancil adalah cekaman (stres) yang mudah muncul. Sajuthi dan Lelana (2000) menyatakan penyebab cekaman (stressor) pada satwa liar setidaknya ada empat faktor, yaitu: 1 Somatic stressor, seperti suara, bau, perubahan temperatur, zat kimia dan obat-obatan, sentuhan-sentuhan yang tidak diduga maupun peregangan otot dan tendon yang tidak normal. 2 Psychological stressor, seperti beberapa aspek yang berkaitan dengan pola adaptasi dan praktek restrain. 3 Behavior stressor, seperti lingkungan yang asing, terlalu padat, ruangan terlalu sempit, perubahan ritme biologis, kehilangan teritorial, hirarki sosial, kontak sosial maupun makanan yang biasa dikonsumsi

14

4 Miscellaneus stressor, seperti malnutrisi, zat-zat toksik, agen penyakit, parasit, kebakaran, serta perlakuan medis yang kurang legeartis. Apabila ternak dipindahkan ke lingkungan yang tidak dikenal, ternak tersebut dapat menjadi gelisah, lelah kepanasan atau kedinginan. Semua kondisi tersebut akibat dari respon dalam tubuh ternak yang disebabkan oleh berbagai faktor dalam lingkungan baru. Bila ternak dalam kondisi seperti itu, sering dinyatakan bahwa ternak tersebut mengalami cekaman (stres). Istilah stres itu sendiri adalah suatu gambaran umum yang merujuk pada penyesuaian fisiologis, seperti perubahan detak jantung, laju pernafasan, temperatur tubuh dan tekanan darah yang terjadi selama ternak dibiarkan terhadap kondisi yang merugikan. Hal ini terjadi selama lingkungan menjadi tidak nyaman atau berbahaya bagi ternak. Gejala stres terlihat sebagai gangguan psikologis, emosional maupun kegelisahan (Smith & French 1997). Berdasarkan waktunya, stres terbagi menjadi:1) stres jangka pendek yang ditandai dengan peningkatan denyut jantung, ketegangan otot dan laju pernapasan yang dangkal; 2) stres jangka panjang dengan gejala kurangnya nafsu makan, gangguan pencernaan dan kulit serta penurunan libido; dan 3) stres internal dengan gejala ketakutan, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, murung atau justru emosi yang meledak-ledak. Menurut Fowler (1999), stres yang berlangsung secara terus-menerus dan berlangsung lama berimplikasi pada penurunan imun, reproduksi, sistem syaraf dan sistem endokrin dalam tubuh. Respon endokrin terhadap stres muncul ketika impuls syaraf

simpatik menstimulir kelenjar medula adrenal. Kelenjar endokrin segera melepasakan katekolamin (epineprin/adrenalin dan noradrenalin) ke dalam aliran darah. Selanjutnya, hipotalamus menstimulir hipofisa anterior untuk melepaskan Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) sampai terjadi peningkatan glukocortikoid untuk membantu peningkatan suplai energi terutama ketika dalam keadaan bahaya (Ackerman 1996; Guytom & Hall, 1996). Banyak unsur-unsur lingkungan yang dapat membuat stres bagi ternak di bawah kondisi tertentu, seperti perbedaan besar dalam temperatur, kelembaban, cahaya, suara dan ruang. Unsur-unsur ini efektif dalam menghasilkan perubahanperubahan kondisi pada ternak. Akan tetapi unsur-unsur tersebut berbeda dalam

15

pengaruhnya, karena respons yang akan dihasilkan dari kondisi lingkungan bergantung pada spesies, bobot, umur, jenis kelamin, daya tahan stres bawaan dan status emosional dari ternak. Temperatur. Lingkungan merupakan faktor utama penyebab stres.

Apabila faktor lingkungan menjadi lebih dingin dari pada temperatur tempat asal ternak, maka ternak tersebut mulai memanfaatkan proses-proses tambahan untuk menghasilkan dan mempertahankan panas tubuh. Keadaan menggigil dapat menyebabkan suatu pengurangan dalam tingkat glikogen otot, karena tipe kontraksi ini diiringi dengan suatu peningkatan aliran darah dalam otot dan tidak menghasilkan asam laktat. Dilain pihak, temperatur tinggi yang tidak wajar meningkatkan permintaan terhadap mekanisme pendinginan terhadap ternak. Sering kali temperatur otot akan meningkat karena tubuh ternak tidak mampu membuang panasnya dengan cukup cepat. Ternak yang berkemampuan jelek dalam menghilangkan panas dari tubuhnya dapat mengembangkan temperatur otot sampai 42-43oC. Temperatur tinggi seperti ini dapat mempercepat reaksi metabolisme seperti pemutusan adenosin triphosphat (ATP) dan glikolisis, yang berlangsung ketika stres dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian ternak. Kelembaban. Jumlah air dalam udara (kelembaban) dapat mempengaruhi kedahsyatan pengaruh temperatur yang baru saja dijelaskan. Kenyataannya,

terdapat interaksi dari kedua unsur lingkungan ini sebagian besar menentukan pada kenyamanan ternak. Umumnya kelembaban tinggi meningkatkan ketidak

nyamanan ternak yang dibiarkan terhadap temperatur dingin atau panas dalam periode pendek. Apabila ternak memerlukan pendinginan, uap air dan udara lebih menyulitkan dalam menghilangkan panas melalui pernapasan. Pada lingkungan dingin, kadar air udara meningkatkan kecepatan menghilangkan panas lingkungan dari tubuh. Cahaya, Suara dan Ruang. Perilaku ternak seringkali dipengaruhi oleh unsur-unsur lingkungan seperti cahaya, suara dan ruang. Apabila dikandangkan dalam lingkungan gelap, ternak cenderung bergerak menuju sumber cahaya. Kancil menyenangi lingkungan yang kurang cahaya karena ternak ini merupakan

16

ternak yang nokturnal. Sebagian ternak merasa tak nyaman apabila diikat atau dibatasi dalam ruang yang tidak memungkinkan pergerakan bebas. Suara-suara yang tak dikenal juga menimbulkan penuh cekaman bagi banyak ternak. Sebagian ternak menjadi ketakutan pada lingkungan tidak Perbedaan dalam

dikenalnya, sementara ternak lainnya menjadi bermusuhan.

bersikap ini mungkin berkaitan dengan banyak faktor dalam ternak, seperti: keseimbangan hormon, kelembaban atau pengalaman sebelumnya. Oleh karena itu muncul respon-respon emosional yang tidak dapat diduga (Forrest et al. 1975). Karakteristik Reproduksi Kancil Anatomi Organ Reproduksi Jantan Sebagaimana hewan mamalia pada umumnya, organ reproduksi jantan mempunyai fungsi utama dalam menghasilkan sel-sel kelamin jantan (spermatozoa) dan hormon kelamin jantan (testoteron). Anatomi organ reproduksi jantan terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu: (1) organ reproduksi primer berupa gonad jantan yang disebut testis, orchyd atau didymous, (2) organ kelamin pelengkap meliputi saluran-saluran kelamin yang terdiri dari epididimis, vas deferens, ampula vas deferens dan urethra; kelenjar kelamin pelengkap (asesoris) meliputi; kelenjar prostat, kelenjar vesikularis dan kelenjar bulbouretralis (cowper) dan (3) organ kelamin luar sebagai alat kopulasi, yaitu penis dan skrotum sebagai pelindung testes (Toelihere 1993). Organ reproduksi kancil jantan terdiri atas sepasang gonad (testis), penis dan kelenjar asesori. Haron et al. (2000) menyatakan bahwa kelenjar asesori kancil jantan relatif kecil dibandingkan dengan hewan lain. Sekresi kelenjar-kelenjar ini sebagian besar menjadi plasma semen. Dilaporkan oleh Boever (1986) organ reproduksi kancil hampir sama dengan babi. Perbedaan ukuran organ reproduksi terutama pada testisnya, biasanya berhubungan erat dengan produksi spermatozoa. Semakin besar ukuran testes diharapkan produksi spermatozoa lebih tinggi.

17

Penis terdiri atas radix, corpus dan glans penis. Pada corpus penis ruminansia umumnya ditemukan lengkungan berbentuk huruf S sebagai ciri khas dari tipe penis fibroelastis (Hafez 2000). Anatomi Organ Reproduksi Betina Secara umum anatomi organ reproduksi kancil betina memiliki susunan yang sama dengan hewan ruminansia lainnya, terdiri atas satu pasang gonad (ovarium), satu pasang tuba Fallopii, satu pasang cornua uteri dan satu buah corpus uteri, cervix, vagina dan vulva (Hamny 2006). Ovarium mempunyai fungsi utama sebagai penghasil sel-sel kelamin betina, yaitu ovum dan sebagai penghasil hormon-hormon kelamin betina adalah estrogen yang berfungsi menampakkan gejala estrus dan progesteron dengan fungsi utama memelihara kebuntingan. Saluran reproduksi betina dimulai dari vulva, vagina (alat kopulasi), cervix (tempat seleksi spermatozoa dan pelindung uterus dari pengaruh luar), uterus (tempat berkembangnya fetus) dan tuba Fallopii (tempat terjadinya fertilisasi). Pola Reproduksi Kancil Data tentang pola reproduksi kancil masih sangat terbatas. Belum diperoleh informasi yang jelas terhadap pola reproduksi atau perkembangbiakan kancil di kawasan in-situ maupun ex-situ. Strawder (2004) melaporkan bahwa kancil mengalami kematangan seksual (sexual maturity) pada umur 5-6 bulan (spesies yang ada di Asia) dan 10 bulan (spesies yang ada di Afrika). Kudo et al. (1995) melaporkan bahwa baik umur dewasa kelamin maupun lama kebuntingan sangat bervariasi bergantung pada lokasi dan pemeliharaan kancil, terutama manajemen pemberian pakannya. Siklus berahi pada kancil betina diperkirakan berlangsung 16 hari dengan lama berahi selama 2 hari, kopulasi bisa terjadi beberapa kali (Kudo et al. 1995). Kebuntingan berlangsung selama 4-5 bulan dengan menghasilkan satu anak yang diasuhnya selama 8-12 minggu.

18

Anderson dan Jones (1967) menyatakan bahwa secara alami musim kawin berlangsung pada Juni dan Juli, sedangkan lama kebuntingan berkisar antara 152172 hari (Medway 1969). Bila mengacu kepada pernyataan tersebut dapat diperkirakan bahwa anak yang dilahirkan kemungkinan besar akan terjadi pada Nopember atau Desember. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Rosyidi (2005) dalam penelitiannya diperoleh 5 ekor bunting dari 8 ekor pasang kancil yang diamati, didapatkan 5 ekor anak yang dilahirkan pada akhir Januari (1 ekor), akhir April (2 ekor), awal Mei (1 ekor), dan akhir Juli (1 ekor). Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara musim kawin dengan kejadian betina bunting dan waktu beranak. Data tersebut menunjukkan bahwa pola perkembangbiakan kancil terjadi sepanjang tahun, sama dengan yang dilaporkan oleh Nowak (1991). Hasil ini juga sama dengan hasil penelitian Arifin (2004), pada Tragulus napu mampu beranak sepanjang tahun yang ditandai dengan jumlah induk beranak pada bulan-bulan basah tidak berbeda dibandingkan dengan bulan-bulan kering (P 0.05). Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa, meskipun di lingkungan terbatas, ternyata kancil mampu berkembang biak dan bahkan mampu beranak lebih dari satu kali dalam setahun. Hal itu berarti kancil mampu beradaptasi dengan baik meskipun berada pada lingkungan terbatas. Pada betina kelenjar mamae mempunyai empat puting. Induk betina

mengasuh anaknya selama 2-3 minggu dengan masa sapih 8-12 minggu (OIA 1991). Kadang induk mengeluarkan suara mencicit (squaking) seperti jantan dan anaknya akan menjawabnya dengan suara yang sama (Ralls et al. 1975). Hoogerwerf (1970) melaporkan bahwa kancil beranak 2 kali setahun atau setiap 5 bulan sekali dan kadang-kadang 2 ekor setiap kelahiran. Kudo et al. (1997) melaporkan berat lahir anak mencapai 120-190 g atau 10% dari berat badan induknya dan bentuk plasenta kancil adalah difusa dan villous (Anderson & Jones 1967), bentuk difusa, seperti halnya plasenta unta (Young 1981). Kancil diketahui mengalami estrus pertama postpartus yang cepat. Davis (1965) diacu dalam Ralls et al. (1975) melaporkan bahwa terjadi kopulasi 85 menit setelah partus. Kancil dapat bunting kembali setelah 14 hari melahirkan (Ralls et

19

al. 1975). Hal ini didukung oleh Kudo et al. (1997), yang mengamati bahwa kancil betina dapat melakukan perkawinan 30 menit setelah beranak. Selanjutnya Medway (1978) melaporkan kancil betina melakukan perkawinan 48 jam setelah melahirkan dan anak sudah berkembang dengan dapat berdiri dalam waktu 30 menit setelah dilahirkan, induk menyusui anaknya sambil berdiri dengan tiga kakinya. Tingkah Laku Seksual Tingkah laku seksual menurut Hafez (1993) adalah beberapa variasi pola tingkah laku dari percumbuan, daya tarik dan aktivitas motorik yang bertujuan untuk mendekatkan jantan dan betina sehingga terjadi perkawinan dan akhirnya menghasilkan keturunan. Sedangkan Austine dan Short (1985) menyatakan bahwa pengertian tingkah laku reproduksi sudah semakin meluas tidak hanya fisiologik dan mekanisme endokrin, tetapi juga strategi dari ternak untuk melakukan perkawinan pada kondisi alamnya. Tingkah laku seksual tidak hanya menyangkut pada saat kopulasi dimana gamet jantan dideposisikan ke saluran reproduksi betina tetapi juga bagaimana membawa hewan jantan dan betina tersebut untuk bertemu, melakukan percumbuan serta menentukan perkawinan pada waktu &Short 1985). Fenomena tingkah laku (behaviour) muncul akibat adanya rangsangan (stimulus) yang dapat berasal dari dalam atau dari luar tubuh (Austine & Short 1985). Rangsangan dari dalam tubuh, berupa hormon yang dapat mempengaruhi tingkah laku seksual, sedangkan rangsangan dari luar dapat berupa rangsangan penciuman (olfactory), pendengaran (auditory), dan penglihatan (visual). Rangsangan olfactory pada jantan sebagai contoh adanya pheromon yang dilepaskan oleh betina yang estrus, akan menyebabkan hewan jantan untuk mendekati hewan betina (Becker et al. 1992). Betina estrus juga menunjukkan tanda punggung tegak, telinga berdiri, kepala diangkat, mulut terbuka, vulva membengkak dan mengeluarkan cairan jernih dari vagina yang berbau khas, kaki digerak-gerakkan ke depan dan ke belakang, selalu diikuti oleh pejantan sambil menjilat ekor dan mencium urin betina tersebut. 20 yang optimal (Austine

Betina estrus juga sering memperlihatkan perilaku berdiri di belakang betina lainnya sambil mencium ekornya. Jika ada dua ekor betina yang estrus bersamaan, kadangkadang mereka saling menaiki. Becker et al. (1992) membagi tingkah laku seksual pada betina menjadi tiga bagian, yaitu aktraktif, tingkah laku proreceptive (menerima dicumbu) dan receptivity (menerima untuk koitus). Nalley (2006) melaporkan pada rusa timor betina terdapat tujuh gejala estrus setelah pencabutan implan CIDR-G, yaitu: (1) tidak menolak saat didekati oleh keeper, (2) sering mengeluarkan suara, (3) gelisah, (4) vulva terlihat merah, agak bengkak dan basah, (5) tidak menolak jika punggung dipegang, (6) nafsu makan berkurang dan (7) tidak menolak pada saat vulva dipegang. Selama masa estrus seekor rusa betina biasa dinaiki tiga sampai empat kali selama kurang lebih dua jam oleh seekor pejantan sebelum terjadi ejakulasi, bahkan kadang-kadang seekor rusa betina estrus bersedia menerima lebih dari satu pejantan. Kelakuan ini biasa berlangsung selama 12 jam sebelum betina mencapai puncak estrus. Sering terjadi perkelahian antar pejantan memperebutkan betina estrus (Nalley 2006). Penelitian mekanisme fisiologik yang berperan dalam tingkah laku seksual pada betina lebih sering difokuskan pada refleks kopulasi, penerimaan seksual yang disebut lordosis. Lordosis ditandai dengan tidak bergeraknya tubuh betina, posisi membungkuk dengan kaki depan direndahkan, kemudian badan membentuk lengkungan, pada spesies yang mempunyai ekor yang panjang; kopulasi biasanya ditandai dengan diangkatnya ekor ke salah satu sisinya. Postur lordosis akan mucul akibat adanya kontak dengan pejantan, pada spesies tertentu lordosis dapat juga terjadi akibat stimulasi manual pada punggung betina. Tingkah laku seksual pada jantan (libido) dapat dilihat dari keinginan kawin. Pada jantan perubahan periferal (contoh: penis), lebih nyata terlihat.

Hormon dapat menyebabkan tingkah laku seksual melalui aktifitas struktur periferal. Tingkah laku seksual pada jantan dipisahkan menjadi motivasi seksual (libido) dan kemampuan koitus (Beaker et al. 1992). Sedangkan menurut Bearden dan Fuquay (1997) tingkah laku seksual pada jantan lebih mengarah pada tingkah

21

laku kawin yang terdiri atas (1) keinginan (libido) untuk mencari pasangan dan (2) kemampuan untuk kawin atau kopulasi. Pada jantan tahapan proses tingkah laku kawin terdiri atas daya tarik seksual (sexual arousal), percumbuan (courtship), ereksi, menaiki (mounting), intromisi, ejakulasi, dan turun (dismounting) kembali. Kancil jantan sering menjilat sampai minum urin dari kancil betina, kadang kancil betina juga menjilat urin kancil jantan. Kancil jantan sering menggosokgosokkan kelenjar intermandibularisnya pada betina untuk menandai kancil betina (Ralls et al. 1975), kancil jantan akan mendekati betina dari belakang dan menggosokkan kelenjarnya di bagian tengah atau belakang kancil betina dari beberapa sisi dan menandai betina dimana saja seperti bagian dorsal, belakang atau leher. Ekor kancil jantan terlihat lurus tail-flashes ketika mengikuti betina (Ralls et al. 1975). Ketika menandai dan mendekati betina, kancil jantan mengeluarkan suara mencicit. Pada saat kancil jantan menaiki betina, umumnya kancil betina menaikkan pantatnya hingga posisi lordosis dan tidak bergerak sehingga memudahkan kancil jantan untuk menaiki betina. Jantan akan menaikkan kaki depan ke punggung betina sehingga posisinya aman untuk terjadinya kopulasi.

Mekanisme Kerja Hormonal dalam Siklus Estrus Hormon Reproduksi Hormon yang bekerja pada proses reproduksi pada jantan dan betina pada dasarnya terdiri dari: hormon hipotalamus, hormon hipofisa, dan hormon gonad. Hormon gonadotropin (FSH dan LH) merupakan hormon yang disekresikan oleh hipofisa untuk mengontrol kelenjar gonad (Ovarium dan testis). Aktivitas ovarium dan testis diperlukan kerjasama yang baik antara hipotalamus, hipofisa, dan testis. Hormon hipotalamus mengeluarkan faktor-faktor pelepas yaitu Gonadotropin Releasing Factor (GnRF) atau GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) untuk menstimulasi keluarnya hormon FSH dan LH dari hipofisa (Reeves 1987).

22

Pada ternak betina estrogen mempunyai banyak fungsi, diantaranya: (1) merubah sifat sekresi yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa anterior, (2)

mempengaruhi pada otak yang ada hubungannya dengan tingkah laku estrus atau berahi, (3) mengontrol perubahan pada alat kelamin betina, produksi mucus dan (4) merubah aktivitas metabolisme pada uterus, kesemuanya itu dimaksudkan guna mempersiapkan uterus untuk menerima ovum dan spermatozoa (Reeves 1987). Estrogen yang diproduksi dari aktifitas gelombang folikel selama fase siklus luteal, menginisiasi luteolisis. Hal ini dimediasi dari pembentukan reseptor oksitosin di dalam endometrium ternak yang sudah dikondisikan dahulu oleh progesteron. Efek estrogen pada poros hipotalamus dan hipofisadapat bersifat positif dan negatif. Efek negatif dapat bervariasi bergantung pada musim, pubertas, menyusui dan nutrisi. Kehadiran progesteron pada fase luteal siklus estrus, meningkatkan efek negatif pada estrogen dalam pelepasan LH dan FSH sehingga pematangan folikel dan ovulasi terhambat (InterAg 1996). Umpan balik positif dengan peningkatan produksi estrogen dalam ketidak hadiran progesteron meningkatkan sekresi LH ke dalam peredaran darah. Selanjutnya di bawah pengaruh serta peran LH yang disekresikan dari hipofisa anterior terjadilah ovulasi. Progesteron merupakan hormon yang dihasilkan oleh CL, plasenta dan kelenjar adrenal. Progesteron mempunyai peranan mempersiapkan lingkungan uterus untuk implantasi dan memelihara kebuntingan melalui peningkatan sekresi kelenjar endometrium dan menghambat motilitas miometrium (Toelihere 1993). Selain itu progesteron menghambat sel-sel limfosit yang dapat menolak jaringan dan merupakan immuno supresif alami yang mencegah penolakan maternal terhadap fetus (Hansen & Liu 1996). Lebih lanjut Hansen (1997) melaporkan bahwa progesteron memainkan peranan utama dalam pengaturan respons kekebalan uterus dimana induksi progesteron menghasilkan uterine milk protein (UTMP) atau protein susu uterus yang menghambat aktifitas limfosit di dalam uterus. Dilaporkan juga oleh McDonald (1989) bahwa progesteron juga bekerja secara sinergis dengan estrogen untuk merangsang sekresi alveoli dan pertumbuhan kelenjar mammae.

23

Menurut InterAg (1996) pada sapi level basal progesteron dalam peredaran darah lebih <1 ng/ml. Setelah perkembangan CL pada awal fase luteal siklus, konsentrasi progesteron plasma meningkat sampai 7 ng/ml dan selama kebuntingan konsentrasi progesteron plasma dapat mencapai 20 ng/ml atau lebih. Tingginya konsentrasi progesteron plasma pada fase luteal siklus, menekan pelepasan LH yang berhubungan dengan pematangan folikel dominan. Jika folikel dominan matang mencapai ukuran lebih besar dari sembilan mm, sementara konsentrasi progesteron plasma >4 ng/ml, maka folikel dominan berangsur-angsur hilang (atresia) dan terbentuk folikel baru. Ketika konsentrasi progesteron plasma turun ke level sub-luteal (<2 ng/ml), LH meningkat dan cukup untuk memelihara pertumbuhan folikel dominan. Jika konsentrasi progesteron plasma di antara dua dan empat ng/ml, folikel dominan tetap bertahan tanpa ovulasi dan mencegah inisiasi gelombang folikuler baru (InterAg, 1996). Bila ovum tidak dibuahi dan hewan tidak bunting, proses perkembangan folikel, ovulasi dan pembetukan CL akan terjadi secara teratur. Umur CL dibatasi oleh uterus yang pada hari-hari terakhir siklus pada hewan tidak bunting memproduksi PGF2 secara pulsasi ke dalam vena uterus, lalu ditransfer ke arteri ovari melalui mekanisme arus berlawanan. Di bawah pengaruh PGF2 mengalami regesi dan produksi progesteron terhenti. Selain itu PGF2 CL akan

mengalami perubahan kimiawi dan fisik yang akan berakibat langsung dalam pengurangan sintesis steroid yang berakhir dengan terjadinya luteolisis dan akan mulai siklus estrus baru. Periode Siklus Estrus Periode siklus estrus, yaitu estrus, metestrus, diestrus dan proestrus yang berlangsung secara siklik dan berurutan. Kontrol reproduksi secara umum dan aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam satu siklus estrus khususnya pada ternak betina melibatkan sistem hormonal. Periode estrus ditetapkan sebagai periode waktu ternak betina mau menerima pejantan dan akan berdiri diam dinaiki. Toelihere (1993) menyatakan periode ini pada ternak betina menghasilkan sel telur yang hidup. Proses terjadinya estrus sangat erat kaitannya dengan sistem 24

hormonal. Estrus dan siklus estrus merupakan suatu kejadian fisiologik pada hewan betina yang dimanifestasikan dengan memperlihatkan keinginan kawin. Hormon pada hewan betina selalu dihubungkan dengan ovulasi, pendekatan jantan, courtship dan terjadinya kopulasi. Partodihardjo (1992) menyatakan, bahwa estrus ternak ditandai sebagai periode dimana akan menerima dan diam untuk dikawini. Kejadian estrus dapat dijadikan dasar yang lebih baik dalam menerangkan fisiologi kelamin dan dapat digunakan sebagai titik permulaan dari satu siklus estrus. Estrus pada betina merupakan fase yang sangat penting yang ditandai dengan terjadinya kopulasi. Ovulasi terjadi pada fase ini, CL mulai

terbentuk pada saat LH dari hipofisis anterior meningkat dan FSH menurun. Apabila hewan betina menolak untuk kopulasi walaupun gejala-gejala estrus terlihat dengan jelas, maka penolakan tersebut memberi pertanda bahwa hewan betina masih dalam fase proestrus atau fase estrus telah lewat. Metestrus adalah periode awal sejak berakhirnya estrus atau fase setelah ovulasi. Utamanya pada periode ini pembentukan CL (corpora lutea pada ternak multiovulator) (McDonald 1989). Corpus luteum dipertahankan oleh LTH (Luteotropic Hormone) atau prolaktin dari hipofise anterior. Metestrus ditandai dengan terhentinya estrus dan rongga folikel segera berangsur mengecil dan pengeluaran lendir terhenti. Selama metestrus, epitel vagina melepaskan sebagian sel-sel barunya yang terbentuk. Lamanya periode ini bergantung pada lamanya waktu hipofisis anterior mengsekresikan LTH. Diestrus merupakan periode dari siklus estrus yang ditandai terbentuknya CL yang berfungsi secara penuh atau periode terakhir dari siklus estrus. Jika CL berkembang secara sempurna dan pengaruh progesteron tampak pada dinding uterus (Salisbury & VanDemark 1985). Perkembangan otot uterus dan ukuran kelenjar terus meningkat. Kelenjar uterus mensekresikan cairan yang kental untuk ketersediaan makanan bagi zigot (McDonald 1989). Jika terjadi kebuntingan, fenomena ini akan diperpanjang selama kebuntingan dipertahankan oleh LTH yang disekresikan oleh plasenta.

25

Periode proestrus berawal ketika terjadi regesi CL dan konsentrasi hormon progesteron turun dan berakhir sampai muncul estrus. Hal pokok yang terjadi dalam proestrus adalah berlangsungnya pertumbuhan folikel yang cepat. Akhir periode ini, dapat dilihat pengaruh hormon estrogen pada sistim saluran reproduksi dan tingkah laku gejala-gejala akan terjadinya estrus.

Metode Penentuan Siklus Estrus Sitologi Epitel Vagina Pengamatan aktivitas siklus estrus dalam sistem reproduksi melalui perubahan sitologik epitel vagina telah banyak dilakukan pada berbagai jenis hewan. Cara tersebut adalah dengan membuat preparat ulas vagina dan melihat bentuk sel dari selaput lendir (mucosa) cervix (Dugweker et al. 1978; Bishnoi et al. 1982) yang bertujuan untuk mengetahui relaksasi saluran cervix dan tonus uterus, atau untuk mengetahui perkembangan folikel dan CL. Pengamatan ini juga telah dilakukan pada satwa lain seperti pada Macaca fasicularis, anjing, rodensia dan beruang matahari (sun bear). Sel epitel vagina dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu sel parabasal, intermediate dan superfisial (Bourne 1990; Anonim 2002). Proses pertumbuhan sel dari epitel vagina fase siklus estrus dapat diurutkan sebagai berikut: sel-sel parabasal dijumpai pada fase proestrus dan pada fase akhir diestrus, sel-sel intermediet dijumpai pada fase proestrus akhir dan metestrus awal, dan sel-sel superfisial dan sel-sel squamous tanpa inti dijumpai pada fase estrus. Sel parabasal adalah sel epitel kecil yang khas ditemukan pada ulasan vagina, bentuknya bulat atau membulat dan mempunyai inti yang relatif besar dibandingkan dengan sitoplasma. Sel-sel parabasal umumnya ditemukan pada saat diestrus dan anestrus dan tidak umum ditemukan awal proestrus serta tidak terdapat selama masa estrus. Sel-sel intermediet mempunyai bentuk dan ukuran yang bervariasi dan mempunyai diameter dua atau tiga kali lebih besar dari pada sel parabasal. Oleh karena itu banyak para ahli sel (sitolog) yang mensubklasifikasikan sel ini menjadi

26

dua golongan, yaitu sel intermediate yang kecil dan sel intermediate yang besar. Sel intermediate ditemukan pada semua stadia siklus, kecuali pada saat estrus. Sel superfisial adalah sel besar yang terdapat pada usapan vagina, bentuknya poligonal dan pipih, kadang-kadang tidak memiliki inti piknotik (sangat kecil dan gelap). Sel superfisial yang tidak berinti sering disebut dengan sel tanduk. Sel superfisial tidak umum ditemukan pada saat anestrus, tetapi ditemukan secara bertahap pada saat proestrus. Jika superfisial ini ditemukan dalam jumlah banyak, menandakan ternak berada dalam kondisi estrus (McDonald 1989; Anonim 2002). McDonald (1980) menyatakan bahwa lapisan epitel vagina pada anjing mengalami perubahan di bawah pengaruh hormon estrogen, terutama pada waktu estrus. Epitel vagina terdiri atas sel-sel yang pipih, tetapi pada pertengahan siklus beberapa sel epitel berbentuk kubus yang rendah. Pada fase proestrus epitel

vagina mempunyai inti yang besar dan terletak berkelompok. Pada fase estrus selsel epitel vagina menjadi lebar dan tak berinti serta mengalami kornifikasi. Pada ulasan vagina sapi yang diambil tiga sampai lima hari sesudah estrus memperlihatkan jumlah sel-sel yang mengalami kornifikasi bertambah (Salisbury et al. 1978). Hansel et al. (1949) menyatakan kornifikasi juga terjadi oleh pengaruh progesteron pada lapisan mukosa antara hari ke-9 dan ke-16 dari siklus estrus. Profil Metabolit Hormon di dalam Feses dan Urin Berdasarkan manipulasi pada hewan, pengambilan sampel dikelompokkan menjadi invasif (plasma/serum, saliva) maupun non-invasif (feses dan urin) (Brook & Marshall, 1996). Mengingat hampir semua satwa eksotik sangat mudah stres, hal tersebut akan mempengaruhi pada proses reproduksi, maka analisa hormon dalam feses dan urin merupakan satu-satunya metoda yang

memungkinkan untuk memonitor status reproduksi dalam jangka waktu yang panjang baik dipenangkaran maupun di habitat alaminya (Hodges 1985). Secara umum keuntungan dari penggunaan sampel feses dan urin adalah hewan tidak perlu dianestesi (Heistermann et al. 2001), namun pakan hewan kadang-kadang

27

dapat mempengaruhi hasil.

Selanjutnya dikatakan bahwa dibandingkan urine,

penggunaan feses dipandang lebih menguntungkan karena sampel masih memungkinkan dikoleksi meskipun satwa diletakkan di dalam kandang kelompok, sampel feses harus diambil secara keseluruhan karena kandungan metabolit hormon pada bagian luar maupun dalam berbeda konsentrasinya. Lama penyimpanan setelah sampel dapat mempengaruhi konsentrasi metabolit hormon. Lynch et al. (2003) menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada kesepakatan yang jelas tentang lama penyimpanan sampel feses karena setiap hormon mempunyai ciri tersendiri. Meskipun demikian, pada prinsipnya level steroid akan berubah dalam waktu beberapa jam setelah defekasi apabila tidak segera dilakukan preservasi (Mhle et al. 2002). Disamping waktu penyimpanan, kandungan steroid pada feses bagian luar dan dalam berbeda. Dengan demikian dianjurkan bahwa sebelum disimpan di dalam almari pendingin seluruh feses (dalam sekali defekasi) diambil secara keseluruhan, dicampur kemudian diambil dalam jumlah tertentu (Hau et al. 2004). Semua proses reproduksi bergantung pada kerja hormon, untuk itu analisa hormon adalah metoda yang sangat tepat digunakan untuk menentukan status reproduksi pada suatu spesies secara tidak langsung (Hodges & Heisterman 2002). Pemeriksaan hormon yang berperan mengatur proses reproduksi pada hewan betina, estrogen dan progesteron dalam urin dan feses sekarang sangat luas digunakan untuk memonitor status reproduksi satwa liar (Agil 2006). Analisis steroid dari urine dan feses telah memberikan informasi dasar yang sangat bermanfaat tentang karakteristik hormon selama siklus ovarium dan kebuntingan pada satwa primata dan satwa lainnya (Heisterman et al. 1996). Deteksi kebuntingan dengan menggunakan analisa estrogen dari feses sudah dilakukan pada berbagai ungulata, seperti kerbau, zebra, sable antelope dan bison (Schwarzenberger et al. 1997). Lebih lanjut dinyatakan bahwa siklus estrus,

kebuntingan dan partus pada okapi dapat diketahui melalui metode ekstraksi metanol pada feses dan enzyme immunoassay (Kusuda et al. 2007).

28

Metabolisme dan Ekskresi Steroid Reproduksi Menurut Agil (2006) jenis metabolit steroid yang dapat dianalisa dalam feses dan urin berbeda untuk satu spesies dengan spesies yang lain, walaupun ada beberapa spesies memiliki kesamaan jenis metabolismenya. Hal tersebut menandakan bahwa untuk aplikasi metoda analisa hormon dalam feses dan urin untuk setiap spesies baru harus dilakukan validasi terhadap analisa hormon yang digunakan apakah sesuai atau tidak (hormone assay sesuai jenis metabolit hormon yang terdapat dalam sampel feses atau urin yang akan dianalisa). Pengetahuan jenis metabolit pada setiap spesies sangat penting untuk mendapatkan informasi yang tepat dan dapat dipercaya. Kesalahan dalam penggunaan analisa hormon yang tidak sesuai dengan jenis metabolit yang dianalisa akan mengakibatkan kekeliruan dalam interpretasi hasil dan validitas data yang diperoleh. Demikian juga dalam proses ekskresi hormon steroid juga terdapat perbedaan waktu ekskresi metabolit dari sejak hormon tersebut diekskresikan dari kelenjar endokrin ke dalam pembuluh darah, yang disebut time lag of excretion. Hormon setelah

disekresikan akan mengalami proses metabolisme dan proses ekskresi yang berbeda-beda. Perbedaan waktu ekskresi sangat bergantung pada rute ekskresi, jenis hormon dan spesiesnya. Ekskresi hormon lebih cepat mencapai puncak ekskresinya apabila diekskresikan dalam urin dibandingkan dalam feses (Agil 1995). Proses metabolisme estrogen dan metabolit yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan untuk progesteron pada Gambar 6. Tipe metabolit estrogen maupun progesteron yang dihasilkan tergantung pada keberadaan enzim yang diperlukan untuk pembentukan metabolit tersebut dan juga ekskresinya (Heistermann & Hodges 1995, Jurke et al. 2000).

29

2-Metoksiestradiol

2-Hidroksiestradiol

Estradiol

4-Hidroksiestron 17CHSD

2-Metoksiestradiol

2-hidroksilase 2-Hidroksiestradiol Estron

16-hidroksilase 16-Hidroksiestron

16-hidroksilase 16-Hidroksiestron

17-Epiestriol

Estriol

16-Ketoestridiol

16 Epiestriol

Gambar 5 Metabolisme estrogen Di dalam metabolisme estrogen, tidak terjadi proses reduksi lanjut, sehingga produk yang dihasilkan tetap berupa steroid yang mengandung C-18. Lain halnya dengan progesteron (Gambar 7), di dalam metabolismenya mengalami beberapa proses reduksi seperti reduksi pada C-20 oleh enzim 20- dan 20CHSD menghasilkan 20- dan 20-dihidroprogesteron. Selain itu proses reduksi juga terjadi pada struktur cincin A oleh enzim 4-ene-5/-reduktase menghasilkan 5/-Pregnane-3,40 dione. Proses reduksi ketiga terjadi pada C-3 oleh enzim 3/-OHSD menghasilkan 5/-Pregnane-3/-ol-20-one, serta reduksi pada C-3, C-20 dan di struktur cincin A, akan menghasilkan pregnanediol.

30

Progesteron

17-hidroksilase P450 20/-OHSD 17-Hidroksiprogesteron 20/-Dihidroprogesteron 4-ene-5/-reduktase 3,20-reduktase 4-ene5/-reduktase 5-Pregnane-3, 17, 20-triol

16-hidroksilase 16-Hidroksiprogesteron

5/-Pregnane-3,20 dione 3/-OHSD 5/-Pregnane-3/-ol-20-one 3,20-reduktase

5/-Pregnane-3/-diol Gambar 6 Metabolisme progesteron Proses katabolisme steroid terutama terjadi di hati, walaupun aktifitas katabolisme dapat pula terjadi di ginjal dan juga instestin (Gambar 7). Dalam proses metabolismenya, selain mengubah steroid menjadi inaktif, juga mengubah sifat steroid menjadi larut dalam air (hidrofilik) dengan melakukan proses konjugasi dengan glukoronida atau sulfat sehingga bersifat larut dalam air. Proses konjugasi dengan glukoronida memerlukan enzim glukoronil transferase dan uridine diphosphoglucuronic acid (UDPGA). Asam glukoronida ini akan berikatan dengan gugus OH dari molekul steroid. Pembentukan konjugasi lainnya, yaitu dengan sulfat memerlukan enzim sulfokinase dan berlangsung di sitosol hati, testikular, adrenal dan jaringan fetus. Proes ini juga mengikat gugus -OH dan steroid. 31

Ovarium Plasenta Testis Adrenal

Ginjal

Urine

Hati

Empedu Sirkulasi Darah Sirkulasi Enterohepatik Air Susu, Saliva Gambar 7 Skema jalur ekskresi hormon steroid (Steiner 2003) Steroid yang telah terkonjugasi tersebut selanjutnya akan bersirkulasi sistemik dan dieksresikan via urine atau akan melewati membran hati ke empedu. Sebagian besar estrogen diekskresikan melalui urine sebagai estradiol, estron dan estriol yang terkonjugasi dengan glukoronat dan sulfat, sedangkan progesteron diekskresikan dalam bentuk pregnanediol dan sebagian kecil 5-pregnanedion dan pregnanelon yang terkonjugasi dengan glukoronat dan sulfat (OMaley & Strott 1999). Steroid yang terkonjugasi yang memasuki empedu selanjutnya akan memasuki sirkulasi enterophepatik untuk kembali ke hati atau ke usus untuk kemudian dieskresikan melalui feses. Di dalam empedu, steroid tersebut sebagian besar merupakan steroid yang terkonjugasi, akan tetapi dalam feses dapat pula ditemukan steroid bebas (tidak terkonjugasi). Adanya steroid bebas di dalam feses disebabkan telah terjadi proses hidrolisis dari steroid yang terkonjugasi asal empedu oleh enzim hidrolase, dehidroksilase, reduktase, epimerase dan glukoronidase dari bakteri di usus (Honour 1984). Selain urin dan feses, jalur ekskersi steroid adalah saliva dan air susu.

Usus

Feses

32

Karakteristik Semen Kancil Penampungan semen pada hewan atau satwa yang masih liar (belum didomestikasi) perlu dilakukan secara khusus, karena tidak mungkin menggunakan vagina buatan. Sebelum dilakukan penampungan semen, hewan dianastesi untuk mengurangi stres pada hewan sehingga kesehatannya tidak terganggu. Metode panampungan semen pada kancil dilakukan dengan menggunakan

elektroejakulator. Metode ini sudah digunakan pada penampungan semen pada kancil oleh Haron et al. (2000) dan Prasetyaningtyas (2006). Penilaian terhadap karakteristik semen dapat dilakukan secara makroskopis maupun mikroskopis. Pengamatan secara makroskopis meliputi volume, warna, konsistensi (kekentalan), dan pH. Semen yang berkualitas baik umumnya berwarna krem hingga putih susu dengan konsistensi sedang sampai kental dengan pH 6.8-7.2 (rataan 7.1). Sedangkan pengamatan semen secara mikroskopis yang harus diperhatikan adalah gerakan massa, gerakan indvidu (motilitas), konsentrasi dan abnormalitas spermatozoa. Haron et al. (2000) melaporkan karakteristik semen kancil yaitu: warna yang didapat adalah krem, putih dan kuning dan encer, volume semen adalah 23.37 2.5 l, konsentrasi spermatozoa 366.9 12.8x106 ml-1, motilitas spermatozoa 40.0 3.1%, persentase spermatozoa normal 71.4% 1.6 % dan viabilitas 59.6% 2.1% dan pH semen 7-8. Prasetyaningtyas et al. (2006) melaporkan bahwa volume semen kancil adalah 19.446.8 l, konsentrasi spermatozoa 47.444.9x106 ml-1, motilitas 36.431.1%, spermatozoa hidup 53.113.0% dan abnormalitas 21.031.05%. Lebih lanjut Prasetyaningtyas et al. (2006) melaporkan bahwa kandungan seminal plasma pada kancil, yaitu: fruktosa (10.2-11.5 mg/100 ml), asam sitrat (22.07-24.5 mg/100 ml), protein (65 mg/100 ml), sorbitol (22.07-24.5 mg/100 ml), sodium (91.1-94.71 mg/100 ml), potassium (0.1 mg/100 ml), calsium (12.8 mg/100 ml), magnesium (0.8 mg/100 ml) dan chlorida (10.72-11.2 mg/100 ml). Abnormalitas spermatozoa merupakan hal yang penting karena

menentukan fertilitasnya. Aspek morfologi merupakan faktor yang jarang dilaporkan, padahal berhubungan dengan proses pengenceran pada pembuatan

33

semen cair dan semen beku. Abnormalitas spermatozoa diketahui disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: penyakit, stres panas dan musim (Barth & Oko 1989). Selain itu juga biasa disebabkan oleh teknik penampungan dan pewarnaan semen. Secara umum abnormalitas spermatozoa terdiri abnormalitas primer dan sekunder (Barth & Oko 1989). Abnormalitas primer adalah segala bentuk

perubahan yang terjadi pada saat proses spermatogenesis di tubuli seminiferi, sedangkan abnormalitas sekunder terjadi setelah spermatozoa meninggalkan tubuli seminiferi, selama perjalanan melalui epididimis, ejakulasi atau penampungan ejakulat termasuk pemanasan yang berlebihan, pendinginan yang cepat, kontaminasi dengan air, urin dan antiseptik. Abnormalitas primer meliputi kepala yang terlampau besar

(macrocephalus) atau kecil (microcephalus), kepala pendek dan melebar, ekor ganda, ekor melingkar (coiled), putus atau terbelah. Sedangkan abnormalitas

sekunder meliputi kepala tanpa ekor, bagian tengah yang melipat, adanya butiranbutiran sitoplasmik proksimal atau distal dan selubung akrosom yang lepas (Hafez & Hafez 2000).

34

MATERI DAN METODE


Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2007 sampai Oktober 2009 di Laboratorium Lapangan dan Assay Hormon, Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR), Depertemen Klinik, Reproduksi dan Patologi; Laboratorium Riset Anatomi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Materi Penelitian Kancil yang digunakan untuk penelitian sebanyak 5 ekor (3 jantan dan 2 betina). Semua kancil yang digunakan sudah dewasa (mempunyai gigi taring) dan sehat dengan bobot badan berkisar 1.8-2.0 Kg. Pakan berupa irisan kangkung, kacang panjang (sumber protein), ubi (sumber karbohidrat), wortel (sumber vitamin) (ukuran irisan 1 cm) dan pellet kelinci komersial sebagai pakan komplit, serta pemberian air minum ad-libitum. Selain pakan diatas untuk meningkatkan kekebalan diberikan vitamin A, E dan C (anti oksidan). Waktu pemberian pakan, pagi pukul 06.000 dan sore pukul 17.00 WIB dengan berat basah makanan antara 564.11-571.56 g/hari (Jumaliah 1999). Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan adalah: meteran, mikrokaliper, plastik (koleksi

feses), freezer (menyimpan feses), Freeze Dry Machine (CHRIST GAMMA 1-16 LSC) (mesin kering beku), Mortar, saringan, analitical balance, tabung skala 15 ml (penumbukan dan penimbangan feses); Tabung ukur 100 ml, tabung ukur 25 ml, elenmeyer 200 ml, sentrifus, mikropipet, electric micropipet, timbangan analitik, shaker digunakan untuk ekstraksi. Washer machine (BioTek Elx 50), microplate reader (BioTek EL 808) dan seperangkat komputer (program Gen-5) untuk asai hormon. Syringe, mikroskop, electroejaculator (koleksi semen).

35

Untuk pembiusan digunakan xylazine dan ketamin(merek dan pabrikan...), sedangkan bahan untuk persiapan sebelum analisa metabolit hormon progesteron, yaitu: (1) Plastik (untuk koleksi feses), alkohol 70%, methanol dan milli-Q serta feses dan urin 0,050 g digunakan untuk ekstraksi, (2) untuk analisa metabolit hormon menggunaan kit progesteron (produk DRG, buatan Jerman) yang mengandung anti-progesterone antibody (policlonal) yang terlapis dalam sumuran, (3) Eosin, negrosin, natrium sitrat, aquabidestilata, NaCl (untuk evaluasi semen) dan pewarna Giemsa dan Papanicolaou (untuk analisa sel epitel vagina). Metode Penelitian Kegiatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: I Masa adaptasi kandang dan pemeliharaan II Mempelajari anatomi dan morfometri organ reproduksi jantan dan betina III Mengamati tingkah laku seksual jantan dan betina VI Penentuan siklus estrus pada kancil melalui: Gambaran sitologi epitel vagina Profil metabolit hormon progesteron

V Koleksi dan evaluasi semen secara makroskopis dan mikroskopis. Masa Adaptasi Kandang dan Pemeliharaan Tahap ini merupakan penelitian pendahuluan yang dilaksanakan di kandang percobaan Unit Rehabilitasi Reproduksi FKH, IPB. Kancil sebanyak 15 ekor (8 jantan dan 7 betina) diamati dalam penelitian ini. Selama masa adaptasi tidak semua kancil dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan perkandangan yang ada. Kancil yang dapat bertahan hidup dan beradaptasi dengan baik hanya 5 ekor (3 jantan dan 2 betina). Selanjutnya kancil tersebut digunakan untuk pengamatan pola reproduksinya. Sedangkan kancil yang mati karena tidak dapat beradaptasi dimanfaatkan (6 ekor) untuk mempelajari anatomi dan morfometri organ reproduksi.

36

Masa adaptasi ini dilakukan karena materi yang digunakan adalah kancil yang baru ditangkap dari hutan dan masih memiliki sifat liar (masih berontak seperti melompat dan menabrak kandang) dan cukup sensitif (mudah stres), sehingga perlu adanya penjinakan, adaptasi kandang dan adaptasi pakan serta air minum ad-libitum. Disamping itu pada tahap ini dapat digunakan untuk pengecekan kondisi fisik (cacat, luka, stres) dan kesehatan. Pada tahap

pendahuluan ini dilakukan pula adaptasi kandang dan pakan selama dua bulan. Adaptasi pakan dimaksudkan untuk mengetahui kesukaan pakan (food preference) dan perkiraan kebutuhan pakan yang disajikan untuk pagi dan sore. Disamping itu untuk melatih kancil terbiasa dengan pakan yang disajikan. Kancil dinyatakan telah berdaptasi terhadap lingkungan (kandang) bila keadaan kancil diam di tempat tersebut dan tidak berontak lagi untuk keluar dari kandang. Sedangkan kancil dinyatakan telah beradaptasi dengan pakan bila dapat memakan pakan dan

menghabiskannya. Demikian juga terhadap pengamatan pola reproduksinya, dimana bila siklus estrus kancil sudah menunjukkan normal. Untuk melakukan pengamatan biologis yang berhubungan dengan perilaku, kesukaan pakan serta pola reproduksi kancil digunakan sebuah bangunan kandang besar dengan ukuran 10 x 10 m2. Dalam kandang besar ini kancil ditempatkan pada kandang kecil yang berukuran 170 x 50 x 60 cm3 yang disekat menjadi dua petak. Tiap petak diisi satu ekor (jantan dan betina terpisah). Kandang ini

dilengkapi dengan tempat air minum dari plastik, tempat pakan terbuat dari kawat empat persegi panjang dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing 40 cm, 10 cm dan 30 cm. Kandang ini diupayakan dapat memberikan kenyamanan fisik dan kesehatan sesuai dengan syarat penelitian dan pemeliharaan.

37

Anatomi dan Morfometri Organ Reproduksi Kancil Jantan dan Betina Tahap penelitian ini menggunakan kancil jantan dan betina yang tidak beradaptasi (mati) pada tahap pendahuluan. Kancil yang mati kemudian dipreparir untuk pengambilan organ reproduksi yang lengkap. Organ yang diperoleh dibersihkan dari lemak serta disusun sesuai bentuk asal. Organ reproduksi jantan maupun betina yang diperoleh diamati, didokumentasikan, diukur, ditimbang beratnya dan data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif (Gambar 8).

Kancil
Jantan (3 ekor) Betina (3 ekor)

II. Morfometri: 1. Testes (1,2,4) 2. Vas deferens (1,2,4) 3. Ampula (1,2,4) 4. Kelenjar vesikularis (1,3,4) 5. Prostat (1,3,4) 6. Kelenjar Cowper (1,3,4) 7. Penis (1,2) Parameter: 1. Panjang 2. Diameter 3. Tebal 4. Berat

I. Morfometri: 1. Ovarium (1,2,,4) 2.Tuba Fallopii (1) 3. Uterus (1) 4. Cervix (1,4,5) 5. Vagina (1) Parameter: 1. Panjang 2. Lebar 3. Berat 4. Diameter 5. Jumlah cincin

Analisis Data Secara Deskriptif


Gambar 8 Bagan alur penelitian anatomi dan morfometri kancil jantan dan betina 38

Organ Reproduksi jantan Testes. Panjang testes diukur dengan cara menempatkan pita meteran pada ujung testes dari salah satu sisi yang lain dengan atau tanpa caput dan cauda epididimis. Diameter testes diukur mengunakan mikrokapiler pada bagian terbesar dari testes, kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitik. Vas deferens. Panjang vas deferens diukur dengan dengan cara

menempatkan pita meteran pada akhir cauda epididimis kemudian ditarik hingga mencapai ujung sebelum pembesaran vas deferens menjadi ampula, diameter vas deferens diukur dengan menggunakan mikrokaliper, kemudian dilakukan penimbangan. Ampula vas deferens. Panjang ampula vas deferens diukur dari awal pembesaran vas deferens hingga bagian yang berbatasan dengan kelenjar vesikularis, diameter ampula diukur pada bagian terbesar selanjutnya ditimbang. Kelenjar vesikularis. Pengukuran kelenjar vesikularis adalah bagian yang terpanjang, sedangkan bagian yang terpendek dianggap sebagai lebarnya. Pengukuran tebal kelenjar vesikularis menggunakan mikrokaliper selanjutnya

kedua kelenjar vesikularis dipisahkan dari organ utama kemudian ditimbang beratnya. Prostat. Pengukuran terhadap badan prostat sama seperti pengukuran

yang dilakukan pada kelenjar vesikularis meliputi panjang, tebal dan selanjutnya ditimbang beratnya. Bulbourethralis (Cowper). Pengukuran terhadap bulbourethralis sama seperti pengukuran yang dilakukan pada kelenjar vesikularis meliputi panjang, tebal dan selanjutnya ditimbang beratnya Penis. Pengukuran terhadap panjang total penis dimulai dari pangkal penis atau radix penis hingga ke ujung bebas penis, kemudian pengukuran panjang juga dilakukan terhadap bagian-bagian penis seperti glans penis dan preputium. Diameter penis diukur pada bagian yang terbesar dari penis.

39

Organ Reproduksi Betina Pengukuran organ reproduksi betina meliputi pengukuran gonad (ovarium), saluran reproduksi tuba Falopii, uterus, cervix dan vagina. Pengukuran ovarium dilakukan terhadap panjang dan lebar serta berat kedua ovarium kiri dan kanan. Tuba Falopii diukur mengunakan benang dimulai dari corong saluran telur (infundibulum) sampai bagian ujung isthmus berbatasan dengan apex cornua uteri, selanjutnya panjang dari benang hasil pengukuran diukur pada pita meteran kain. Pengukuran dilakukan pada kedua tuba Fallopii. Uterus diukur pada bagian corpus (badan) dan kedua cornuanya (tanduk). Pengukuran panjang corpus uteri dimulai dari batas akhir cervix internal sampai ke bifurcatio yang memisahkan cornua uteri kiri dan kanan. Sedangkan pengukuran panjang kedua cornua uteri dilakukan mulai dari bifurcatio hingga ujung akhir apex cornua uteri. cervix pengukuran yang dilakukan meliputi panjang, diameter bagian luar dan jumlah cincin cervix. Panjang vagina diukur pada bagian vestibulum dan vagina bagian anteriornya (portio vaginalis cervisis). Panjang bagian vestibulum vagina diukur mulai dari vulva sampai muara urethra dan vesica urinaria sampai pada mulut cervix, pengukuran bagian dari vagina ini dilakukan dengan cara membuka lumen vagina. Data yang diperoleh dari setiap pengukuran ditabulasi, dihitung rataan dan dianalisis secara deskriptif kemudian didokumentasi. Tingkah Laku Seksual Jantan dan Betina Kancil Jantan Pejantan di tempatkan dalam kandang individual bersebelahan dengan kandang betina. Sebelum pengambilan data, dilakukan penelitian pendahuluan untuk memperoleh gambaran tingkah laku yang muncul sebagai dasar pengambilan data selanjutnya. Parameter tingkah laku seksual pejantan yang

diamati adalah gelisah (gerakan berpindah tempat), urinasi, defekasi dan flehmen. Pengukuran setiap parameter dilakukan dengan cara menghitung frekwensi 40

pemunculan tingkah laku seksual. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 12 jam mulai pukul 06.00-18.00 WIB selama dua bulan. Selama pengambilan data, pengamat berada di dekat kandang dengan jarak tiga meter (terlindung) agar tidak mengganggu gerakan alamiah hewan. Kancil ditempatkan di dalam kandang

khusus untuk jantan dan kandang untuk betina. Kancil Betina Penelitian tingkah laku seksual betina dilakukan secara individu. Parameter yang diamati adalah frekwensi gelisah (gerakan berpindah tempat), lama berdiri (jam per hari), urinasi dan defekasi. Gejala-gejala estrus yang diamati berdasarkan gejala yang sudah ditentukan sebagai parameter, yaitu konsumsi makan (kg/hari), gerakan berpindah (bolak balik/menit), lama berdiri (gerak dan diam) (jam/hari), urinasi dan defekasi (kali/hari). Pengukuran intensitas estrus dilakukan pada saat pengamatan estrus (Tabel 1). Penilaian intensitas estrus berdasarkan kebengkakan, kemerahan dan basah dengan kriteria jelas (+++), sedang (++) dan kurang (+) (Yusuf, 1990). Tabel 1 Parameter Pengamatan Estrus
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Gejala - gejala Nafsu makan menurun Gerakan berpindah Lama berdiri (gerak dan diam) Urinasi dan Defekasi Vulva merah, bengkak dan basah Dipegang punggung Parameter Kg/hari Bolak-balik/menit Jam/hari Kali/hari +++, ++, dan + Tidak bergerak (diam)

41

Tingkah Laku Kawin Kancil jantan dan betina ditempatkan dalam satu kandang. Kancil jantan yang digunakan adalah kancil jantan yang paling dominan hasil seleksi diantara kelompok, sedangkan kancil betina digunakan adalah yang memperlihatkan siklus estrus yang teratur dari kelompoknya. Tingkah laku yang diamati adalah meliputi tingkah laku seksual pada kancil jantan dan betina dari pengamatan pendahuluan. Tingkah laku kancil jantan dan betina yang estrus dan non estrus dan tingkah laku kawin diamati, ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Penentuan Siklus Estrus pada Kancil Penentuan siklus estrus dilakukan melalui dua metode, yakni gambaran sitologi epitel vagina melalui preparat ulas vagina dan profil hormon estrogen dan progesteron melalui pengambilan sample feses dan urin. Gambaran Sitologik Epitel Vagina Ulasan vagina diambil setiap hari pada jam 07.00 pagi selama dua bulan. Sampel usapan vagina diambil pada lokasi kira-kira satu cm dari vulva menggunakan kapas (cotton swab) yang dibasahi dengan NaCl fisiologis. Hasil usapan dioleskan pada gelas obyek dan dibiarkan kering di udara terbuka. Preparat diwarnai dengan Giemsa (Rao et al. 1979). Dalam penelitian ini juga dilakukan pewarnaan Papaniculaou sebagai patokan perbandingan terhadap Giemsa. Kriteria siklus estrus berdasarkan gambaran perubahan bentuk sel epitel (Tabel 2). Kriteria fase siklus estrus ditentukan berdasarkan persentase gambaran morfologi sel epitel yang teramati. Fase diestrus ditetapkan bila sel-sel superfisial tidak ditemukan pada usapan vagina. Fase proestrus bila secara progresif persentase sel-sel intermediet/superfisial meningkat. Fase estrus, dimana persentase sel-sel

superfisial/kornifikasi mencapai maksimum pada ulasan epitel vagina.

42

Tabel 2 Kriteria penentuan siklus estrus berdasarkan gambaran perubahan sitologis epitel vagina
No. 1 2 Sel epitel Sel Parabasal Sel Intermediet Bentuk sel Sel kecil, bulat dengan inti besar Sel lebih besar dari pada sel parabasal dengan inti lebih kecil 3 Sel Superfisial Sel besar, bentuk poligonal inti yang sangat kecil atau tanpa inti Fase Diestrus Diestrus proestrus Proestrus estrus

Evaluasi sel epitel dengan melihat gambaran perubahan sel epitel di bawah mikroskop cahaya listrik dengan pembesaran 450x dihitung sebanyak minimum 200 sel diamati. Data hasil analisis tipe sel yang teramati dikelompokkan berdasarkan fase siklus estrus dan ditabulasi dalam persentase kemudian dianalisis secara deskriptif. Gambar didokumentasikan menggunakan mikroskop kamera (Nikon FDX-35). Pofil Metabolit Hormon Progesteron dan estrogen Koleksi Sampel Feses Koleksi feses dan dilakukan setiap hari selama lebih kurang 2 bulan, antara pukul 07.00-08.00. Pengambilan dilakukan dengan mengambil beberapa butiran antara 5-10 g feses per hari untuk masing-masing hewan percobaan. Feses segar yang dikumpulkan dalam suatu kantong plastik dan langsung dibekukan pada suhu -30oC tanpa penambahan pengawet sampai saatnya dianalisis. Ekstraksi Steroid Feses Analisis progesteron dan estrogen steroid dalam sampel feses diestrak menggunakan metode ekstraksi metanol (Kusuda et al. 2007a). Feses yang telah dikering bekukan selama 2-3 hari dan digerus sampai terbentuk tepung. Sebanyak 0.1 g feses selanjutnya diekstraksi dengan methanol 80% sebanyak 3 ml, divortex selama 30 menit. Kemudian langsung disentrifus selama 10 menit dengan 4000 g, selanjutnya supernatan ditempatkan dalam wadah bersih disimpan di dalam freezer

43

-30oC sampai dilakukan asai menggunakan ELISA (Enzime Link Imonosorbent Assay). Analisis Hormon Metabolit Analisis metabolit dalam feses dilakukan dengan metode ELISA sesuia buku panduan yang terdapat dalam kit (produk DRG progesterone). Urutan kerjanyan sebagai berikut: sebanyak 225 l mili Q water dimasukkan ke dalam sumuran blanko, 25 l ke dalam sumuran zero, larutan standar dan sampel ke dalam sumuran, kemudian diinkubasi selama 5 menit dalam suhu ruang kemudian menambah 200 l enzim conjugate ke dalam masing-masing sumuran. Selanjutnya dihomogenkan dengan shaker selama 10 menit dan inkubasi selama 60 menit dalam temperatur ruang. Selanjutnya dilakukan pencucian sebanyak 3-4 kali (350400 l/sumur), kemudian dikeringkan dengan membalikkan sumuran. Berikutnya dilakukan penambahan 200 l larutan subtrat ke dalam sumuran, lalu diinkubasi selama 15 menit dalam temperatur ruang. Selanjutnya penambahan 100 l larutan penyetop (stop solution), kemudian inkubasi selama 15 menit. Selanjutnya sumuran dimasukkan ke dalam ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm. Analisis Data Profil hormon yang diperoleh dari feses digunakan untuk mengetahui fase lutal, fase inter-luteal dan perkiraan ovulasi. Fase luteal ditetapkan berdasarkan saat mulainya kenaikan konsentrasi progesteron (di atas garis threshold) sampai saat menurunnya konsentrasi progesteron. Fase interluteal ditetapkan berdasarkan nilai konsentrasi progesteron (di bawah garis threshold) sebelum mengalami kenaikan secara signifikan. Peningkatan konsentrasi progesteron dapat diketahui dengan melihat nilai konsentrasi progesteron lebih besar dari nilai rerata 2 SD yang diproleh dari 3-5 nilai sebelumnya. Panjang siklus estrus dapat ditentukan yaitu dengan menghitung jarak antara peningkatan progesteron ke peningkatan progesteron berikutnya (di atas garis threshold). Fase perkiraan ovulasi ditetapkan 2-3 hari sebelum peningkatan konsentrasi progesteron (Engelhardt et al. 2005).

44

Koleksi dan Evaluasi Semen Koleksi Semen Pada penelitian (electric ini semen ditampung Fujihiro menggunakan Ltd, Japan). metode Probe

electroejaculator

stimulator,

Co,

electroejakulator yang digunakan memiliki ukuran panjang 29 cm dengan diameter 0,5 cm dengan elektrode yang melingkar. Penampungan dilakukan pada kancil dalam keadaan teranestesi. Anestesi dilakukan dengan menggunakan

kombinasi xylazin dengan dosis 0,1 mg/kg/BB dan ketamin dengan dosis 11 mg/kg/BB yang diinjeksikan secara intarmuskular (im). Pada kancil dilakukan stimulasi listrik dengan voltase antara 5-15 volt selama 5 detik on/of dan dilakukan secara berulang, sampai didapatkan semen. Semen yang keluar ditampung pada tube ependorf. Evaluasi Semen Semen yang baru ditampung dievaluasi secara makroskopis dan mikroskopis. Penilaian makroskopik meliputi: Volume semen: diukur menggunakan mikropipet setelah penampungan. Warna semen: pengamatan warna semen segar segera setelah semen ditampung. Konsistensi (kekentalan) semen: pengamatan kekentalan semen segar setelah ditampung. Kekentalan digolongkan ke dalam: encer, sedang dan kental. Derajat keasaman (pH): penentuan pH semen segar menggunakan pH paper. Penilaian mikroskopik meliputi: Konsentrasi spermatozoa: Jumlah sel spermatozoa dalam satu milliliter semen. Dihitung menggunakan hemositometer atau kamar hitung Neubauer. Persentase motil spermatozoa: spermatozoa yang bergerak progresif ditentukan secara subyektif pada seluruh lapang pandang yang berbeda. Nilai yang diberikan berkisar antara 0% dan 100% dengan skala 5%. Persentase spermatozoa hidup: ditentukan dengan menggunakan pewarnaan eosin B 2%, dimana spermatozoa hidup ditandai dengan kepala putih, sedangkan yang mati ditandai dengan kepala berwarna merah (eosinofilik).

45

Persentase abnormalitas spermatozoa: Pengamatan terhadap persentase abnormalitas spermatozoa dilakukan menggunakan pewarna Williams. Persentase abnormalitas spermatozoa dilakukan berdasarkan kelainan mofologi pada bagian kepala dan ekor.

46

HASIL DAN PEMBAHASAN


Adaptasi Kandang dan Pemeliharaan Penanganan kancil secara budidaya (ex situ) belum dilakukan, kecuali sebagai satwa kesayangan atau pajangan. Dalam pelestarian kancil perlu mengupayakan metode pengembangan melalui penangkaran di luar habitatnya merupakan suatu yang perlu diteliti kemungkinan-kemungkinannya. Faktor-faktor seperti masalah pakan dan reproduksi merupakan kajian yang cukup penting untuk diperhatikan dalam pemeliharaan satwa tersebut, sebagai upaya mencari solusi penanganan di dalam tata laksana pemeliharaan kancil. Adaptasi terhadap

konsumsi pakan, jenis bahan pakan yang dimakan (palatable), sehingga kancil dapat beradaptasi lebih baik pada kondisi ex situ. Demikian pula terhadap

penampilan reproduksi seperti estrus, lama estrus dan gejala-gejala saat estrus serta aspek penampilan reproduksi lainnya yang perlu diketahui. Kancil yang baru diperoleh dari hutan dan baru sampai di lokasi penelitian masih tetap memperlihatkan sifat liar seperti keadaan waspada, menabrak kandang, rasa takut dan curiga. Namun juga kancil mempunyai sifat cepat beradaptasi, mereka akan diam dan tidak berontak lagi untuk keluar dari kandang, serta cepat beradaptasi terhadap pakan dan lingkungan baru. Sifat ini membuat kancil tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi pada sistem prabudidaya. Hasil pengamatan, kancil dapat beradaptasi dalam dua minggu. Sistem pemeliharaan kancil, sering mengalami hambatan karena kancil hewan yang memiliki stres tinggi, terutama disebabkan oleh faktor lingkungan. Pada penelitian ini tingkat kematian kancil terutama di awal penelitian adalah 66.7%. Hasil penelitian ini masih lebih baik bila dibandingkan dengan yang laporan Kudo et al. (1997) bahwa angka mortalitas kancil dalam kondisi di penangkaran kebun binatang Malaysia bisa mencapai 75%. Dari pengamatan selama penelitian kancil dapat bertahan hidup bila sudah seminggu di tempat yang baru (kandang penelitian).

47

Penyebab kematian kancil dalam penelitian ini adalah kemungkinan mengalami stres yang ditunjukan dengan kegelisahan yang disertai nafsu makan menurun bahkan tidak mau makan yang biasanya diikuti diare. Penyebab lainnya adalah sifat liar seperti keadaan waspada, rasa takut dan curiga sehingga menabrak kandang yang dapat mengakibatkan luka dan apabila luka ini sangat parah akan mengakibatkan kematian. Hal tersebut terjadi karena kancil masih asing terhadap kandang baru. Hal ini sesuai dengan pernyataan Israil et al. (1988), mengamati kematian kancil dalam kandang disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) apabila pemeliharaanya dicampur satu sama lainnya, maka selalu terjadi perkelahian, kemudian luka dan berakhir dengan kematian, (2) kancil mengalami stres, kemudian berlari-lari sampai menerjang dinding kandang hingga terjepit, apabila hal ini terjadi, walupun kancil tidak luka, akhirnya juga mati karena memar pada hidung atau kakinya. Creel (2001) melaporkan bahwa adanya perubahan lingkungan pasti akan menimbulkan stres pada hewan maupun manusia yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi kortisol tubuh. Bila stresor dapat ditangulangi dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari, maka konsentrasi kortisol dapat kembali normal. Peningkatan konsentrasi kortisol dalam hal ini dibutuhkan untuk meningkatkan metabolisme karbohidrat, lemak, protein serta glukoneogenesis dalam menaggulangi stres (Guyton & Hall 1995). Hal ini sesuai laporan Sibly dan Calow (1986) bahwa stres lingkungan memicu peningkatan laju metabolisme tubuh sehingga meningkatkan kebutuhan energi. Jika kebutuhan hidup pokok tidak terpenuhi dalam pakan, maka energi yang terdeposit dalam bentuk lemak tubuh akan dimanfaatkan. Bila dihubungkan dengan kandang yang digunakan dalam penelitian ini (Gambar 9) menggunakan alas dari kayu (ring ukuran 3 cm) dan dinding menggunakan kawat kasa. Kandang ini memiliki beberapa kelemahan yang

ditemui, yaitu kancil yang baru dtempatkan dalam kandang mengalami luka pada bagian tubuh seperti muka, dada terutama bagian kaki (Gambar 10). Bila luka ini tidak diobati, kancil dapat mengalami kematian. Pengobatan diberikan terhadap luka tersebut sehingga sembuh (Gambar 11). Selain untuk meningkatkan

48

kekebalan tubuh, setiap minggu kancil diberikan vitamin A, E dan C (anti oksidan) dan sebulan sekali diberi Biosalamin secara intramuskuler serta setiap enam bulan diberikan obat cacing (Calbazen).

Gambar 9 Model kandang penelitian

Gambar 10 Kancil yang mengalami luka pada, muka, dada dan lutut

Gambar 11 Luka yang sudah mengering Keberhasilan dalam memelihara kancil diperlukan kandang yang baik, artinya bangunan kandang yang dibangun sesuai dengan fungsi dan lingkungan kehidupan kancil yang akan dipelihara. Dari pengalaman penelitian, diperlukan kandang kancil yang memiliki syarat: 1) hindari penggunaan kandang beralaskan kawat kasa karena kaki kancil tidak tahan terlalu lama di atas kawat, disamping itu kaki kancil dengan kuku yang lancip dan tajam sehingga sering terjepit ke kawat 49

kasa mengakibatkan kematian, 2) dekat dengan pemilik, karena kancil memerlukan banyak pengawasan langsung, baik terhadap kesehatan maupun keamanan, 3) membuat ventilasi kandang, karena ventilasi berguna untuk mengeluarkan udara kotor dari dalam kandang dan menggantikan udara segar dari luar, sehingga keaadaan udara segar dalam kandang bisa dipertahankan dan

kelembaban berkurang, 4) sebelum membangun kandang perlu memperhatikan arah sinar matahari agar bisa masuk ke dalam kandang. Sinar matahari ini dapat membantu proses pembentukan vitamin D, sebagai desinfektan, selain itu dapat mempercepat pengeringan kandang sehabis dibersihkan dengan air. Bila bentuk dan ukuran kandang yang sesuai, satwa dapat hidup dan nyaman, sehingga diharapkan pertumbuhan serta reproduksi dapat berjalan dengan lancar. Hal ini merupakan salah satu cara untuk menurunkan stres lingkungan serta memudahkan sosialisasi. Pada penelitian ini kandang tidak dilengkapi tempat persembunyian dengan alasan agar kancil cepat bersahabat dengan manusia, sehingga dalam pengambilan data tidak memberikan bias yang terlalu besar. Alasan lainnya karena dalam tahapan penelitian tertentu dalam pengambilan datanya secara invasif. Dari hasil pengamatan stres hanya bersifat akut artinya terjadi saat pertama kali ditempatkan dalam kandang. Berdasarkan pengamatan terlihat kancil yang digunakan dalam penelitian ini bertahan hidup sampai sekarang (2 tahun), terlihat nyaman di dalam kandang (terkondisi) (Gambar 12), bila dipegang tidak memberontak (Gambar 13), sehat dan siklus estrus teratur, dengan kata lain kancil telah beradaptasi dengan lingkungan.

Gambar 12 Kancil yang sudah beradaptasi (keadaan relaks dalam kandang) 50

Gambar 13 Kancil yang sudah jinak. Kancil yang telah beradaptasi dan jinak dapat dipegang dengan baik dan bersifat tenang. Adaptasi terhadap bahan pakan merupakan kemampuan hewan untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang baru antara lain dapat dilihat dari kemudahannya dalam memanfatkan jenis bahan pakan yang tersedia di daerah tersebut. Semakin banyak dan beragam jenis pakan yang disukai berarti hewan bersangkutan mampu menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, bila dilihat dari keragaman pakan yang dapat dikonsumsi dan disukai, kemampuan kancil beradaptasi terhadap jenis bahan pakan yang tersedia pada kondisi ex situ cukup tinggi. Kualitas pakan berperan dalam siklus reproduksi betina mulai dari pencapaian pubertas induk sampai dengan muncul estrus kembali bagi induk yang baru melahirkan. Pencapaian pubertas berkaitan erat dengan berat atau skor kondisi tubuh induk dan hal ini merupakan refleksi kondisi pakan yang diberikan sebelumnya. Dalam penelitian ini pakan yang diberikan berupa campuran wortel, kacang panjang, kangkung dan diberi tambahan konsentrat (pellet kelinci). Kancil dapat memakan rata-rata 552,50 g/hari (Gambar 14). Air minum diberi adlibitum dan di sudut kandang juga disediakan garam. Namun kancil aktivitas minum jarang dilakukan, sehingga air minum yang disediakan menjadi kotor karena terkena pakan dan feses. Hal ini kemungkinan disebabkan kebutuhan air sudah terpenuhi dari pakan yang disediakan. Dilaporkan oleh Rosyidi (2005) bahwa kemampuan menahan haus pada kancil diduga karena kemampuan dinding

51

sel darah merah kuat sehingga mampu menahan terjadinya hemolisis. Hal ini dibuktikan hasil analisis laboratorium darah kancil tahan terhadap penambahan NaCL 25%.

Gambar 14 Pakan kancil. Pakan yang diberikan berupa wortel, kacang panjang dan kangkung dalam potongan kecil. Waktu pemberian pakan dilakukan dua kali sehari semalam dengan waktu pagi sekitar pukul 06.00-07.00 WIB dan malam pukul 17.00-18.00 WIB. Cara pemberian pakan diberikan dalam wadah dan dalam kondisi segar, karena bila pakan sudah dalam keadaan layu dan kotor, maka kancil enggan memakannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rosyidi (2005) bahwa kancil menyukai pakan yang segar dan kandungan air tinggi dan memiliki daya cerna tinggi serta kandungan serat kasarnya rendah. Dari uraian diatas, kancil mempunyai potensi untuk dijadikan ternak budidaya atau merupakan satwa harapan. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan kancil memanfaatkan jenis bahan yang tersedia pada lingkungan ex situ seperti umbi-umbian (wortel, ubi jalar) dan sayuran (kangkung, kacang panjang, ketimun). Namun perlu usaha pengembangbiakan baik melalui kawin alam atau dengan cara penerapan teknologi reproduksi berbantuan.

52

Anatomi dam Morfometri Organ Reproduksi Kancil Jantan dan Betina Organ Reprododuksi Jantan Secara umum bagian-bagian dari organ reproduksi kancil jantan hampir sama dengan organ reproduksi ternak domestik lainnya, yaitu organ kelamin primer (gonad jantan atau testis), kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap (ampula, kelenjar vesikularis, prostat dan bulbourethralis) dan saluran-saluran yang terdiri dari epididimis, vas deferens dan urethra, serta organ kelamin bagian luar atau organ kopulatoris yang disebut dengan penis. Organ-organ tersebut secara

anatomis berhubungan dengan traktus urinarius yang terdiri dari ginjal dan vesica urinaria (Gambar 15). Sehingga kesemuanya disebut apparatus urogenitalis hewan jantan (Salisbury & Van Demark 1985).
9 8 7 6

10 11 12

14

13 5 1 3 2 1 1 cm 4 12

Gambar 15 Anatomi organ reproduksi jantan.


Keterangan: (1) Testis cauda, (2) epididmis, (3) corpus epididimis, (4) caput epididimis, (5) vas deferens, (6) ampula, (7) kelenjar vesikularis, (8) kelenjar prosta, (9) kelenjar bulbourethralis, (10) m. retractor penis, (11) flexura sigmoid, (12) penis bebas preputium, (13) glans penis dan (14) vesica urinaria.

53

Testis.

Kancil memiliki sepasang testis yang terbungkus oleh tunica

albugenia dan dilindungi oleh scrotum pada bagian luarnya. Testis berfungsi untuk menghasilkan spermatozoa dalam suatu proses yang disebut

spermatogenesis dan menghasilkan hormon testosteron pada bagian sel interstitial (Leydig) (Hafez & Hafez 2000; Toelihere 1993). Panjang testis kancil adalah 12.332.89 mm, diameter 8.201.92 mm dengan berat 0.810.17 g (Tabel 3). Ukuran-ukuran ini berbeda dengan rusa timor dan domba, dimana panjang dan diameter testis rusa timur (82.043.53 mm dan 36.55413 mm) (Nalley 2006) dan domba (100 mm dan 60 mm) (Ashdown 1987). Tabel 3 Morfometri organ reproduksi pada kancil jantan
Organ Testes tanpa scrotum Keterangan Panjang (mm) Diameter (mm) Berat (g) Panjang (mm) Diameter Berat (g) Panjang (mm) Diameter (mm) Berat (g) Panjang (mm) Tebal (mm) Berat (g) Panjang (mm) Tebal (mm) Berat (g) Panjang (mm) Tebal (mm) Berat (g) Panjang total (mm) Panjang bebas preputium (mm) Glans penis (mm) Diameter (mm) Kancil 12.332.89 8.201.92 0.810.17 1133.60 2.0 0.480.04 17.332.87 2.0 0.070.01 18.003.46 5.731.10 0.290.09 17.332.52 6.530.06 0.430.07 8.261.02 5.470.85 0.860.04 142.3314.74 58.3310.41 44.332.08 4.0

Vas deferens

Ampula

Kelenjar vesikularis

Prostat (badan)

Kelenjar bulbourethralis

Penis

54

Epididimis. Epididimis merupakan suatu struktur yang memanjang dan melekat rapat dengan testis. Epididimis kancil terdiri dari caput di anterior, corpus di dorsal dan cauda epididimis terletak di posterior. Fungsi epididimis adalah sebagai tempat transportasi spermatozoa, konsentrasi, maturasi dan tempat penyimpanan sperma (Morel 1999). Vas deferens. Vas deferens menghubungkan epididimis dengan kelenjar assesorius, berfungsi sebagai saluran transportasi spermatozoa dari epididimis ke ampula. Panjang vas deferens kancil hasil penelitian adalah 1133.60 mm, lebih pendek dari rusa timor (452.00.44 mm) (Nalley 2006) dan domba (24 cm) (Hafez 1987). Ampula vas deferens. Ampula vas deferens merupakan perbesaran dari bagian ujung vas deferens sebelum kelenjar vesikularis. Panjang ampula kancil (17.332.87 mm), lebih kecil dibanding ampula rusa Timor (72.532.39 mm) (Nalley 2006) dan domba (70 mm) (Hafez 1987). Salisbury dan vanDemark (1985) melaporkan bahwa pada sapi ampula mengeluarkan sekresinya yang mengandung fruktosa dan asam sitrat, walaupun kelenjar vesikularis adalah sumber kedua zat tersebut. Kelenjar vesikularis. Kelenjar vesikularis terdapat sepasang yang

menempel pada pinggir dorsolateral leher vesica urinaria. Menurut Hafez (1987), sekresi kelenjar vesikularis mengandung protein, kalium, asam sitrat, fruktosa dan beberapa enzim dalam konsentrasi tinggi, kadang berwarna kuning karena mengandung flavin. Pada sapi pH-nya berkisar 5.7 sampai 6.2 dan sekresinya merupakan 50% dari volume ejakulat. Panjang kelenjar vesikularis pada kancil 18.003.46 mm dan tebal 5.731.10 mm, lebih kecil dibanding kelenjar vesikularis rusa timor (45.361.42 mm) dan domba (40 mm). Kelenjar prostat. Kelenjar prostat dapat teramati dengan jelas,

berlobulasi dan berukuran panjang 17.332.52 mm dengan tebal 6.530.06 mm.


Menurut Hafez (1987) pada sapi, babi dan anjing terdiri dari dua bagian, yaitu corpus prostatae dan pars disseminata prostatae. Pada kuda merupakan kelenjar berlobulasi

terdiri dari dua lobi lateral, kiri dan kanan pada leher vesica urinaria.

55

B C
1

A B

Gambar 16 Perbandingan morfologi kelenjar asesoris pada ternak.


Keterangan: (A) bulbourethralis, (B) prostat, (C) vesikularis dan (D) ampula. (1) kancil, (2) kuda (Senger 1999), (3) babi (Senger 1999) dan (4) rusa timor (Nalley 2006).

Kelenjar bulbourethralis (Cowper).

Pada kancil memiliki sepasang

kelenjar bulbourethralis, dengan panjang (8.261.02 mm) dan tebal (5.470.85 mm) dengan berat (0.860.04 g). Kelenjar bulbourethralis ini juga sangat jelas terlihat pada kuda dan babi (Gambar 16). Dilaporkan Nalley (2006) pada rusa

timor, kelenjar ini tidak ditemukan. Kelenjar ini menghasilkan sekresi alkalis, diperlukan untuk menetralisir dan membersihkan urethra dari bekas urin dan kotoran-kotoran lainnya sebelum dilewati semen (Hafez 1987). Penis. jaringan erektil. Penis adalah alat kopulasi hewan jantan yang dibentuk oleh Penis kancil termasuk fibroelastik sama dengan penis sapi,

sehingga corpus dan glans penis hanya sedikit mengalami pembesaran dalam keadaan ereksi.

56

Kancil

Sapi

Domba

Babi

Kuda

Gambar 17 Perbandingan morfologi glans penis.


Keterangan: Kancil (penelitian ini) Sapi, domba, babi dan kuda (Senger 1999).

Penis kancil terdiri dari radix, corpus mempunyai flexura sigmoid sama dengan pada ternak ruminansia pada umumnya. Panjang penis bebas preputium pada kancil (58.3310.41 mm) lebih panjang dibanding penis pada rusa timor (35.380.88 mm) (Nalley 2006) dan domba (40 mm) (Hafez 1987). Karakteristik penis memiliki ciri-ciri yang membedakan dengan ternak lain, seperti ujung penis membentuk putaran (spiral) searah jarum jam dengan jumlah putaran dua setengah dan bercabang, dimana fungsinya belum diketahui secara pasti (Gambar 17). Hal yang sama dijumpai pada penis babi tetapi putaran berlawanan dengan arah jarum jam dengan jumlah putaran satu setengah.

57

Organ Reproduksi Betina Organ reproduksi kancil betina terdiri atas alat kelamin dalam (internal genital) yaitu sepasang ovarium, tuba Fallopii, uterus, cervix dan vagina. Organ reproduksi kancil betina terletak retroperitoneal dalam rongga pelvis. Organ ini digantung oleh fascia yang luas yang terdiri dari penggantung ovarium (mesovarium), penggantung tuba Fallopii (mesosalphynx) dan penggantung uterus (ligamentum uteri). Ovarium. Ovarium kancil dibungkus oleh suatu selaput bursa ovary

(Hamny 2006). Ovarium berbentuk oval yang sama juga terlihat pada ruminansia lainnya seperti domba dan sapi. Organ reproduksi kancil dapat dilihat pada Gambar 18. Salisbury dan vanDemark (1985) menyatakan bahwa organ reproduksi primer betina (ovarium) berperan melaksanakan fungsi eksokrin (menghasilkan telur) dan fungsi endokrin (mensekresikan hormon betina, yaitu estrogen dan progesteron).

2 1 3 5 4

1 cm

Gambar 18 Organ reproduksi kancil betina.


Keterangan: (1) cornua uteri, (2) corpus uteri, (3) cervix, (4) vagina dan (5) vesica urinaria.

Ukuran ovarium kancil baik panjang, lebar dan berat ditampilkan pada Tabel 4. Jika dibandingkan dengan ukuran ovarium domba, rusa dan sapi, ovarium kancil memiliki ukuran yang lebih kecil. Ovarium kanan kancil berukuran lebih panjang (4.82.61 mm) dan lebar (3.031.70 mm) di bandingkan dengan ovarium 58

kiri panjang (4.40.61 mm) dan lebar (2.830.67 mm). Data ini menunjukkan bahwa ovarium kanan lebih aktif dibandingkan ovarium kiri. Perbedaan ukuran ovarium kanan dan kiri bergantung pada aktifitasnya. Menurut Toelihere (1993), bentuk dan morfometri ovarium akan menunjukkan perbedaan sesuai dengan spesies dan fase siklus berahi (fase folikuler atau fase luteal). Selain itu umur juga mempengaruhi ukuran ovarium; semakin dewasa umur hewan tersebut, maka ovarium semakin besar yang berada di bawah kontrol hormon-hormon reproduksi yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis. Tabel 4 Morfometri organ reproduksi pada kancil betina
Organ Ovarium Berat (g) Panjang (mm) Lebar (mm) Keterangan Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kancil* 0.0320.031 0.0190.005 4.82.61 4.40.61 3.031.70 2.830.67 Kancil** 0.0570.01 0.0360.01 7.530.90 5.571.17 4.450.50 3.350.50

Tuba Fallopii Panjang (mm)

Kanan Kiri

30.672.08 29.673.21

43.900.85 39.500.94

Uterus Panjang (mm)

Cornua kanan Cornua kiri Corpus

32.673.05 21.001.73 32.672.08

26.301.19 18.301.28 25.600.61

Cervix Panjang (mm) Diameter (mm) Jumlah cincin Vagina Panjang (mm)

24.332.52 5.330.58 3

38.701.36 -

20.335.57

31.201.11

Keterangan : *= Hasil penelitian ini dan **= Hamny (2006),

59

Perbedaan berat ovarium ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti umur, spesies, paritas (banyaknya kelahiran), tingkat gizi pakan dan siklus reproduksi (Hafez & Hafez 2000). Berat ovarium akan meningkat ketika folikel ovarium tumbuh menjadi matang (Toelihere 1993). Tuba Fallopii. Tuba Fallopii adalah saluran telur yang terdiri atas

fimbriae, infundibulum, ampula dan isthmus (Hafez dan Hafez 2000). Saluran ini mempunyai peranan penting dalam reproduksi yaitu sebagai tempat kapasitasi spermatozoa, fertilisasi dan pembelahan embrio. Tuba Fallopii kanan memiliki panjang 30.672.08 mm dan yang kiri 29.673.21 mm. Cornua dan Corpus Uteri. Uterus merupakan saluran reproduksi utama yang terbagi atas cornua, corpus dan cervix. Cornua terbagi atas kornua kanan dan kiri yang berbentuk melengkung seperti tanduk. Cornua uteri kanan juga lebih panjang 32.673.05 mm dibanding kornua kiri dengan panjang 21.001.73 mm. Corpus uteri memiliki panjang 32.672.08 mm. Cervix. Cervix merupakan bagian leher uterus yang mengandung otot kunci dan terdiri atas cincin anuler. Cervix kancil mempunyai panjang 24.332.52 mm dengan diameter 5.330.58 mm. Pada kancil terlihat cervix relatif lebih panjang dari vagina, dimana berbeda dengan pada ternak mamalia lainnya. Hal ini diduga berkaitan dengan fisiologi kopulasi, dimana ukuran penis bebas preputium pada kancil relatif panjang di banding panjang penis bebas preputium pada rusa dan domba. Berdasarkan data di atas, pada saat kopulasi penis mencapai cervix untuk mengejakulasikan semen. Dugaan lain, karena volume semen kancil ini sangat rendah dibanding dengan ternak mamalia lain sehingga semen diejakulasikan melewati cervix atau di cervix. Vagina. Vagina adalah saluran reproduksi yang berfungsi sebagai alat (lubang) bersenggama, tempat masuknya penis pada perkawinan alami dan saluran keluarnya fetus pada saat partus. Vagina memiliki panjang 20.335.57 mm. Data morfometri organ reproduksi kancil secara anatomi makroskopis akan sangat membantu untuk meningkatkan pemahaman tentang fisiologi reproduksi kancil betina antara lain untuk kemungkinan penerapan teknologi reproduksi dalam mendukung pelestarian dan peningkatan populasi kancil.

60

Karakteristik Tingkah Laku Seksual pada Kancil Jantan dan Betina Betina Karakteristik tingkah laku pada penelitian ini diukur berdasarkan pengamatan terhadap; lama berdiri, gelisah urinasi, defekasi, nafsu makan, sentaksentak kaki dan perubahan vulva. Lama berdiri pada pada saat estrus kancil memperlihatkan perubahan yang jelas (7.91.13 jam/hari) dibanding non estrus (3.3 0.84 jam/hari). Gelisah

(gerakan berpidah tempat) saat estrus 18.43.91 dibanding non estrus 3.41.14 kali/menit. Urinasi saat estrus 7.6 0.89 dibanding non estrus 3.40.55 kali/hari dan defekasi (4.40.55) dibandingan non estrus (2.20.45 kali/hari). Konsumsi pakan menurun pada saat estrus 436.353.70 g/hari dibanding non estrus 552.5043.62 g/hari (Tabel 5). Tabel 5 Karakteristik tingkah laku estrus kancil betina
Parameter tingkah laku Estrus 1. 2. 3. 4. 4. 5. 6. 7. Lama berdiri (gerak dan diam) (jam/hari) Gerakan berpindah tempat (kali/menit) Urinasi (hari) Defekasi Konsumsi pakan (g/hari) Sentakkan kaki Kondisi vulva: Bengkak, terbuka, merah, basah Bila dipegang bagian pinggul 7.91.13 18.43.91 7.60.89 4.40.55 436.353.70 Ya +++ Posisi lordosis Fase Non estrus 3.30.84 3.4 1.14 3.40.55 2.20.45 552.543.67 Tidak 0 Menghindar

61

Dari observasi terlihat perbedaan mencolok pada kancil yang estrus yaitu tidak tenang (gerakan berpindah tempat), urinasi dan nafsu makan menurun. Kancil sering berlari dan ingin keluar sambil mengangkat kepala melihat ke tempat pejantan dan kaki sering disentak-sentakkan. Hal ini terjadi karena adanya

perbedaan kondisi fisiologik antara kancil yang sedang estrus dengan tidak estrus. Tingginya konsentrasi hormon estrogen diekspresikan oleh betina dengan

berbagai tingkah laku untuk menarik perhatian kancil jantan. Hal ini terjadi juga pada sapi estrus sangat tidak tenang, kurang nafsu makan dan sering mengangkat ekornya. Parameter gelisah ini masih sangat bias pada kancil, mengingat kancil masih sulit didekati oleh orang yang tidak dikenalnya atau mendengar suara lain di lingkungan sekitar kandang. Pengamatan terhadap kondisi vulva, merupakan hal yang lazim pada ternak ruminansia. Dari pengamatan terhadap perubahan vulva, terlihat kancil

menunjukkan pembukaan, pembengkakan dan kemerahan vulva yang jelas (+++) pada saat estrus (Gambar 19 A). Sebaliknya pada saat non estrus, vulva agak tertutup dan pucat (Gambar 19 B). Perubahan pada vulva ini muncul seiring dengan perubahan tingkah laku. Pengamatan yang sama dilaporkan oleh Kusuda et al. (2007b) pada Malayan tapirs (Tapirus indicus) bahwa pengeluaran mukosa dan pembengkakan vulva terjadi ketika konsentrasi progesteron mulai menurun.

Gambar 19 Keadaan vulva pada kancil.


Keterangan: (A) saat estrus: vulva bengkak, terbuka dan basah dan (B) saat tidak estrus: vulva tertutup, pucat dan kering

62

Wiliams et al. (1992) menyatakan bahwa pembengkakan vulva selama proestrus dan estrus terjadi pada semua spesies ternak. Peningkatan pembengkakan vulva dimulai fase proestrus dan mencapai maksimal pada saat estrus. Estrogen bertangungjawab untuk proliferasi endometrium, berfungsi dalam peningkatan ukuran dan cairan dinding uterus melalui hiperplasia dan hipertrofi sel-sel mukosa, meningkatkan retensi air dan sodium dalam ginjal sehingga meningkatkan volume darah serta bertanggungjawab dalam peningkatan jumlah dan ukuran pembuluh darah ke uterus sehingga darah mengalir ke dan dari uterus dengan bebas. Estrogen juga meningkatkan jumlah sel darah putih dalam darah (leukosit) untuk mencegah infeksi dan peradangan. Sedangkan perubahan warna merah terjadi karena peningkatan sirkulasi darah pada vulva. Mukosa berwarna merah jambu

terjadi kongesti karena vaskularisasi bertambah (Toelihere 1993). Hal ini sesuai dengan pernyataan Senger (1999), bahwa selama estrus, estrogen akan mempengaruhi organ reproduksi betina terutama uterus dan vulva. Pengamatan dengan cara memegang punggung kancil memperlihatkan bagian belakang dinaikkan dan pelegokan punggung (lordosis) serta tidak bergerak (Gambar 20A). Penyesuaian posisi ini meliputi perentangan kaki, sikap berdiri dan peninggian bagian belakang yang mempermudah untuk menampung

intromisi atau pemasukan penis oleh pejantan. Sebaliknya pada kancil non estrus punggungnya dinaikkan (kiposis), kaki belakang akan ditekuk dan berusaha untuk menghindar (Gambar 20 B). Posisi lordosis sebagai salah satu ciri penerimaan jantan secara seksual oleh betina saat memasuki periode estrus (Toelihere 1993; Hafez dan Hafez 2000). Selama periode ini betina akan mencari dan menerima kancil jantan untuk aktifitas kopulasi. Penerimaan terhadap pejantan disebabkan pengaruh hormon estrogen terhadap system syaraf pusat yang menghasilkan tingkah laku yang khas yaitu reseptivitas kancil. Lordosis ditandai dengan tidak bergeraknya tubuh betina, posisi membungkuk dengan kaki depan direndahkan, kemudian badan membentuk lengkungan, pada spesies yang mempunyai ekor yang panjang; kopulasi biasanya ditandai dengan diangkatnya ekor ke salah satu sisinya. Postur lordosis akan mucul akibat adanya kontak dengan pejantan, pada spesies tertentu lordosis dapat juga

63

terjadi akibat stimulasi manual pada punggung betina. Toelihere (1993) melaporkan bahwa babi betina, apabila diberi tekanan pada punggungnya (oleh babi jantan atau manusia) akan memberi respon diam, menegakkan telinga dan mengkakukan bagian belakang. Respon ini disebut sikap kawin sering dipergunakan dalam mendeteksi estrus pada babi untuk perkawinan alam atau IB.

Gambar 20 Respon kancil pada saat dipegang daerah belakang.


Keterangan: (A) saat estrus: lordosis dengan bagian belakang dinaikkan dan (B) saat tidak estrus: merendahkan bagian belakang

Jantan Hasil pengamatan pada kancil jantan dimana jika terdapat betina estrus frekuensi defekasi meningkat (5.20.8 kali/hari) dibanding betina non estrus (2.60.5 kali/hari). Urinasi dimana bila terdapat betina estrus terjadi peningkatan frekuensi (6.01.1 kali/hari) dibanding betina non estrus (2.40.5 kali/hari). Demikian juga pada parameter gelisah (bolak-balik dalam kandang sambil melihat ke kandang betina) bila ada betina estrus (17.61.5) dibanding bila betina non estrus (6.61.1) (Tabel 6). Selain parameter diatas, juga terlihat tingkah laku flehmen dan lebih aktif. Hal ini terjadi karena terkait dengan kondisi fisiologik kancil jantan, dimana tahap ini sintesis dan sekresi hormon testosteron berada dalam keadaan maksimal. Secara fisiologik, meningkatnya konsentrasi testosteron di dalam darah akan diekspresikan hewan jantan berupa menonjolnya sifat kejantanan (libido) (Hafez 1987) dan kemampuan koitus (Becker et al. 1992). Sedangkan menurut Bearden

64

dan Fuquay (1997), tingkah laku seksual pada jantan lebih mengarah pada tingkah laku kawin yang terdiri atas (1) keinginan kawin (libido) untuk mencari pasangan dan (2) kemampuan untuk kawin atau kopulasi. Tabel 6 Karakteristik tingkah laku seksual jantan
Parameter Defekasi/hari Urinasi/hari Gerakan berpindah tempat (kali/menit) Flehmen Betina estrus 5.20.8 6.01.1 17.61.5 Ya Betina non estrus 2.60.5 2.40.5 6.61.1 Tidak

Pada penelitian ini juga dilaporkan bahwa jantan bersifat dominan terhadap pejantan yang baru datang, sehingga pejantan yang baru tidak menunjukkan agesif. Bila disatukan (jantan dengan jantan) dalam kandang menghalau jantan yang lebih kecil dan kadang menyerangnya. Fenomena ini juga diamati oleh Nalley (2006) pada rusa timor. Lekagul dan McNeeli (1977) melaporkan bahwa pada masa-masa kawin umumnya sering terjadi perkelahian sesama jantan untuk memperebutkan pasangannya yaitu betina yang sedang berahi. Tingkah Laku Kawin Perilaku kawin merupakan suatu peristiwa untuk mendukung kelangsungan reproduksi, setiap hewan akan memperlihatkan pola tingkah laku yang khas sebelum proses perkawinan tersebut berlangsung. Respon pejantan berupa tingkah laku sebelum melakukan kawin dapat dijadikan sebagai indikator kapasitas keinginan kawin (libido) seekor pejantan. Data ini diperlukan sebagai salah satu syarat untuk menentukan unggul tidaknya seekor pejantan. Hal ini juga penting diketahui karena sifat libido ini umumnya menurun secara genetik. Sehubungan dengan itu setiap hewan akan memperlihatkan pola tingkah laku yang khas sebelum proses itu berlangsung.

65

Tingkah laku kawin diamati bila terdapat betina estrus dan disatukan dalam satu kandang. Pola tingkah laku kawin ditandai dengan perubahan sifat pejantan yaitu menjadi lebih aktif dan berusaha untuk mendekati betina. Percumbuan (courtship) merupakan awal tingkah laku seksual maupun kontak fisik dengan kancil betina (21 A). Sambil mendekati betina, moncong diarahkan ke atas seolaholah mencium sesuatu. Jantan selalu mendekati betina kemudian menjilati dada (Gambar 21 B) dan punggung (22 C).

Gambar 21 Tingkah laku seksual menjelang perkawinanan.


Keterangan: (A) sedang bercumbu, (B) jantan menjilat dada dan (C) menjilat punggung sampai pangkal ekor betina

Kancil jantan juga sering menjilat pangkal ekor sampai vulva dan menjilat sampai menjilat urin kancil betina (Gambar 22). Kancil jantan juga memperlihatkan tingkah laku flehmen ketika menjilat urin. Tingkah laku flehmen ini berbeda dengan ternak mamalia lainnya, kancil ketika flehmen terlihat

membuka mulut (menyeringai) sambil menggoyang seolah-olah mengunyah makanan.

Gambar 22 Jantan mencium dan menjilat urin kancil betina. 66

Tingkah laku seksual yang khas juga dapat dilihat, yaitu intermandibular scent gland menonjol keluar (membesar) ketika mendekati betina (Gambar 23 A). Kancil jantan akan mendekati betina dari belakang dan menggosokkan intermandibular scent gland dari leher (Gambar 23 B), selanjutnya di bagian tengah atau belakang kancil betina dari beberapa sisi untuk menandai (marking) (Gambar 23 C). Ekor kancil jantan terlihat lurus tail-flashes ketika mengikuti betina. Ketika mendekati dan menggosok scent gland pada betina, kancil jantan mengeluarkan suara yang mengendus.

Intermandibular scent gland

Gambar 23 Tngkah laku menandai pada kancil betina oleh kancil jantan.
Keterangan: (A) kelenjar intermandibular scent gland tanpak menonjol saat mendekati betina (B), (C) Menggosokkan kelenjar intermandibular scent gland pada leher sampai punggung.

Pada saat kancil jantan mounting, kancil betina menaikkan pantatnya hingga posisi lordosis dan tidak bergerak sehingga memudahkan kancil jantan untuk mounting. Pada kancil, tidak seperti ternak mamalia lainnya (sapi, kambing dan domba), ereksi terjadi saat kaki sudah terfiksir di atas pinggul dan saat tersebut terjadi intromisi. Pada saat mounting pejantan menggoyang bagian pinggul diikuti ekor yang melipat ke atas (Gambar 24 A) dan setelah penis terfiksir di dalam vagina ekor dilipat di antara kedua kaki belakang (Gambar 24 B). Berbeda dengan ternak mamalia lainnya, pada jantan, kancil akan menaikkan kaki depannya ke atas pinggul dengan sejajar (Gambar 24 A) atau menyilangkan kaki diatas pinggul betina (Gambar 24 B) hingga posisinya aman untuk terjadinya kopulasi.

67

Ekor melipat ke atas

Kaki sejajar

Kaki disilangkan

A Gambar 24 Posisi kancil saat kawin.

Ekor dilipat diantara 2 kaki

Keterangan: (A) posisi kaki sejajar dan ekor melipat ke atas dan (B) posisi kaki disilangkan dan saat penis terfiksir dalam vagina ekor dilipat di antara 2 kaki belakang.

Lama pejantan

menaiki betina (mounting) rata-rata 3 menit (berkisar

antara 1-5 menit). Demikian juga waktu yang dibutuhkan dari menaiki betina pertama kali dan waktu menaiki yang kedua rata-rata 3 menit (berkisar antara 1-5 menit). Kancil yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai libido yang

tinggi. Indikator libido ini ditunjukkan dengan kemampuan menaiki betina ratarata 23 kali/hari (berkisar antara 11-34 kali/hari). Hal ini tidak berbeda dengan yang dilaporkan Toelihere (1985) bahwa domba jantan berkopulasi rata-rata 20 kali sehari selama periode 7 hari, sedangkan domba jantan dengan libido rendah berkopulasi rata-rata 4 kali sehari pada kelompok betina dengan hanya satu pejantan. Boland et al. (1985) melaporkan bahwa dalam waktu 20 menit domba jantan mampu menaiki betina (mounting) dan ejakulasi terhadap domba betina estrus masing-masing sebanyak rata-rata 10.30 dan 3.50 kali pada domba Suffolk, 6 dan 3,90 kali pada domba Texel, serta 4.50 dan 3.60 kali pada domba Dorset hom. Sebaliknya bila tidak estrus, betina merendahkan badannya (melipat lutut), menghindar dan berlari (Gambar 25).

68

Gambar 25 Sikap kancil betina saat tidak estrus.


Keterangan: (Panah hitam) kancil betina merendahkan bagian belakang dengan kaki ditekuk bila didekati pejantan.

Hasil penelitian ini juga dilaporkan bahwa kancil tidak bersifat monogami hal ini berbeda dengan yang dilaporkan Strawder (2004). Pada penelitian ini kancil jantan dapat mengawini betina lain yang sedang estrus demikian juga betina dapat kawin dengan pejantan lain. Hal ini mungkin disebabkan karena penelitian ini dilakukan dalam kandang individu, dimana pejantan lain tidak dapat mengganggu pejantan yang mengawini betina. Tetapi apabila betina yang estrus disatukan dengan dua pejantan dalam kandang, maka pejantan yang dominan tidak memberi kesempatan pejantan yang lain untuk mengawini betina. Hal ini juga dilaporkan oleh Tomaszewska et al. (1991) pada pada kambing dominan dan tertua dalam kelompok akan melakukan hampir seluruh perkawinan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam keadaan tertutup, pejantan dominan menghalang-halangi pejantan subordinat untuk kawin walaupun pejantan dikandangkan terpisah. Kejadian ini dikenal dengan istilah pengaruh pemirsa (audience effect). Tingkat dominansi mempunyai peranan sangat penting dalam keadaan kawin di kandang, sedangkan dalam keadaan dilepas, pejantan yang dominan tidak bisa mempertahankan kelompoknya dan pejantan yang subordinat bisa mengawini betina dalam jumlah yang sama.

69

Penentuan Siklus Estrus pada Kancil Gambaran Sitologik Epitel Vagina Berdasarkan patokan dan karakteristik estrus yang berasal dari epitel vagina kancil didapatkan jumlah sel parabasal sebayak 81,4%, sel intermediet dan superfisial sebanyak 18.6% dan sel kornifikasi 0%. Hal ini dikategorikan dalam fase diestrus/anestrus. Fase proestrus didapatkan kelompok sel parabasal sebanyak 43.2% dan sel intermediet 56.8%. Pada fase estrus hanya didapatkan sel (kornifikasi)

superficial 13.7% dan sisanya 86.3% ditemukan sel keratinisasi (Tabel 7).

Fase siklus estrus tidak dapat dipisahkan dari proses perubahan yang terjadi pada sel-sel epitel vagina. Sel epitel adalah sel yang menyusun jaringan epitelium, biasanya terletak pada bagian tubuh yang mempunyai lumen dan kantong misalnya vagina. Tabel 7 Karakteristik sel epitel vagina kancil pada siklus estrus
Fase Estrus Sel parabasal (%) Diestrus/anestrus Proestrus Estrus 81,4 43,2 0 Sel intermediet dan superfisial (%) 18,6 56,8 13,7 Sel Superfisial terkornifikasi (%) 0 0 86,3

Pada fase proestrus, se-sel vagina menampakkan suatu fenomena kehadiran sel-sel yang bergeser dari sel-sel parabasal ke sel-sel intermediet dan superfisial, selain itu sel darah merah dan neutrofil juga dapat diamati. Sel-sel parabasal adalah sel-sel termuda yang terdapat pada siklus estrus. Karakteristik dari sel-sel parabasal adalah sebagai berikut: (1) bentuknya bundar atau oval, (2) mempunyai bagian nukleus yang lebih besar daripada sitoplasma, (3) Sitoplasmanya biasanya tampak tebal dan (4) secara umum dengan pewarnaan berwarna gelap (Anonim, 2002). Sel-sel intermediet adalah sel yang terletak diantara sel parabasal dan superfisisal. Sel intermediet adalah tipe sel epitel vagina yang lebih tua dari parabasal. 70

Pada fase proestrus, sel-sel epitel vagina yang teramati adalah sel-sel intermedier dan sel-sel superfisial (Gambar 26).

b a

30 m

50 m

Gambar 26 Morfologi sel epitel vagina kancil pada fase proestrus. Keterangan: (a) sel-sel intermediet dan (b) sel-sel superfisial
(A) Pewarnaan Giemsa dan (B) Pewarnaan Papanicolaou

Karakteristik sel pada saat estrus yaitu penampakan sitologi dari ulas vagina didominasi oleh sel-sel superfisial, tetapi terdapat kornifikasi pada hasil preparat, pengamatan yang berulang menampakkan sel-sel superfisialnya ada yang bersifat anucleate. Sel kornifikasi adalah tipe sel vagina yang paling tua dari sel parabasal, sel intermediat, sel superfisial, dan mempunyai ciri nukleus yang tidak lengkap (Gambar 27).

30 m

30 m

Gambar 27 Morfologi sel epitel vagina kancil pada fase estrus.


Keterangan: (A) pewarnaan Giemsa dan (B) pewarnaan Papanicolaou

71

Jika sel-sel superfisial ini ditemukan dalam jumlah banyak, menandakan hewan sedang berada dalam kondisi estrus. Sel superfisial yang tidak berinti sering mengalami kornifikasi atau keratinisasi yang berfungsi untuk melindungi mukosa vagina dari iritasi saat kopulasi. Sel-sel yang mengalami keratinisasi tampak sebagai individu-individu terpisah. Fase estrus pada kancil betina ditandai dengan adanya sekresi lendir yang cukup banyak pada vagina. Pada fase estrus ini, sel-sel epitel yang teramati adalah sel-sel superfisial/kornifikasi. Jika sel-sel superfisial/kornifikasi ini ditemukan dalam jumlah banyak, menandakan hewan sedang berada dalam kondisi estrus (McDonald 1989; Anonim 2002). Sel superfisial yang tidak berinti sering mengalami kornifikasi atau keratinisasi yang berfungsi untuk melindungi mukosa vagina dari iritasi saat kopulasi. Hilangnya inti sel epitel pada fase estrus

kemungkinan juga karena proses keratinisasi. Sel-sel yang mengalami keratinisasi tampak sebagai individu-individu terpisah. Sel-sel tersebut kemudian

berdegenerasi karena terhalangnya difusi nutrisi dari kapiler-kapiler di dalam jaringan ikat oleh lapisan keratin. Pada fase ini, desquamasi dari sel-sel superfisial bisa juga terdeteksi. Memasuki fase diestrus populasi sel superfisial menurun dan sebaliknya terjadi peningkatan jumlah sel intermediet dan parabasal. Menjelang akhir diestrus terjadi degenerasi menyebabkan terbentuknya vakuola pada sitoplasma dan inti sel terdesak di bagian pinggir (Gambar 28). Anestrus adalah periode yang panjang dari siklus reproduksi. Pada kancil, fase ini ditandai dengan sekresi lendir sedikit dan kental atau tidak ada, cervix menutup dan mukosa vagina terlihat pucat. Pada fase ini sel-sel parabasal mendominasi, sedangkan sel-sel superfisial tidak ditemukan. Solis et al. (2008) menyatakan bahwa sel-sel parabasal sangat dominan selama fase sebelum estrus pada domba, diikuti dengan sel-sel intermediet dan sel-sel superfisial, sedangkan pada saat estrus, sel-sel superfisial mendominasi.

72

30 m

30 m

Gambar 28 Morfologi sel epitel vagina kancil pada fase diestrus.


Keterangan: (A) pewarnaan Giemsa dan (B) pewarnaan Papanicolaou.

Proses perubahan sel-sel parabasal menuju sel intermediet kemudian sel-sel superfisial dan sel-sel yang tidak berinti dapat dijelaskan sebagai berikut: bentuk bundar atau oval perlahan-perlahan akan berubah menjadi bentuk poligonal atau bentuk tidak beraturan, ukuran inti yang besar secara perlahan-lahan akan mengecil, pada beberapa kasus inti mengalami kematian atau rusak secara bersamaan, ukuran sitoplasma akan lebih tipis daripada semula. Warna sel berubah menjadi lebih terang/cerah. Proses perubahan di atas dapat ditengarai sebagai salah satu proses pada siklus estrus. Secara umum, fase siklus estrus dapat dikelompokkan menjadi fase folikuler (proestrus dan estrus) dan fase luteal (diestrus dan anestrus). Fluktuasi konsentrasi hormon selama siklus estrus akan berpengaruh terhadap gambaran sel epitel vagina. Pada fase luteal, hormon progesteron memelihara keadaan uterus sehingga pada keadaan ini (tidak estrus) sel-sel epitel yang ditemukan adalah selsel parabasal. Pada fase estrus, hormon estrogen akan meningkatkan keaktifan dinding uterus, menyebabkan hipersekresi dan keratinisasi sel-sel epitel uterus dan vagina sehingga sel yang terikut dalam ulasan adalah sel-sel superfisial atau sel tanduk (McDonald 1989; Boume 1990; Anonim 2002). Dalam prakteknya, pemeriksaan sitologis ulasan vagina ini sering digunakan untuk menentukan siklus estrus dan waktu inseminasi yang terbaik (McDonald 1989). 73

Suraatmaja (1982) yang melakukan penelitian terhadap proses kornifikasi epitel vagina tikus menyatakan bahwa kemungkinan hormon estradiol berperan dalam proses keratinisasi melalui pembentukan butir-butir keratohialin, yang kemudian bertindak sebagai pusat-pusat proses desintegasi filamen intraseluler. Salisbury et al. (1978) melaporkan bahwa pada ulasan vagina sapi yang diambil tiga sampai lima hari sesudah estrus memperlihatkan pertambahan jumlah sel-sel yang mengalami kornifikasi. Nalley (2006) melaporkan bahwa siklus reproduksi dengan melihat perubahan sitologi vagina pada rusa timor (Cervus timorensis) dimana fase folikuler ditemukan sel superfisial dominan (92%) dan pada fase luteal sel parabasal dominan (86%) dari siklus estrus. Dari hasil pengamatan harian selama dua bulan pada kancil betina no 1 terdapat enam titik puncak jumlah sel-sel superfisial/kornifikasi, yaitu hari ke-1 (89%), hari ke-15 (88%), hari ke-28 (85%), hari ke-37 (87%), hari ke-49 (83%), hari ke-59 (86%), dengan jarak 14, 13, 9, 12, dan 10 hari dengan rataan 11,6 hari. Hal ini menunjukkan bahwa lama siklus estrus yang ditentukan berdasarkan persentase sel superfisial/kornifikasi adalah 11.60 hari dengan kisaran 9-14 hari. Sedangkan dari hasil pengamatan sel basal dan parabasal yang merupakan tanda hewan dalam keadaan fase luteal, ditemukan lima titik sel-sel parabasal, yaitu hari ke-5 (79%), hari ke-17 (81%), hari ke-30 (80%), hari ke-41 (84%), hari ke-52 (83%), dengan jarak 11, 12, 10 dan 14 dengan rataan 11.7 hari (kisaran 11-14 hari). Pada kancil betina no 2 ditemukan enam titik puncak jumlah sel-sel superfisial/ kornifikasi, yaitu hari ke-1 (85%), hari ke-12 (87%), hari ke-25 (89%), hari ke-36 (96%), hari ke-50 (93%), hari ke-59 (91%), dengan jarak 11, 13, 11, 14, dan 9 hari dengan rataan 11.6 hari (9-14 hari). Sedangkan dari hasil pengamatan sel basal dan parabasal yang merupakan tanda hewan dalam keadaan fase luteal, ditemukan lima titik sel-sel parabasal, yaitu hari ke-3 (86%), hari ke-15 (86%), hari ke-28 (81%), hari ke-39 (80%) dan hari ke-49 (76%), dengan jarak 12, 13, 11 dan 10 dengan rataan 11.5 hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lama siklus estrus yang ditentukan berdasarkan persentase sel basal dan parabasal

74

adalah 11,60 hari dengan kisaran 10-13 hari (Tabel 8). Hasil penelitian ini berbeda dengan pernyataan Kudo et al. (1997) yang memperkirakan siklus estrus pada kancil berlangsung 16 hari. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa siklus estrus pada kancil sama dengan rusa Rein 9-12 hari (Pramono 1988 dalam Nalley 2006), sapi 18-24 hari dan domba 14-20 hari (Toelihere 1989). Tabel 8 Panjang siklus estrus berdasarkan titik puncak sel-sel superfisial dan parabasal pada kancil.
No. Hari ke1 15 Kancil 1 28 37 49 59 Rataan 1 12 Kancil 2 25 36 50 59 Rataan Jarak (hari) 14 13 9 12 10 11.6 11 13 11 14 9 11.6 Superfisial (%) 89 88 85 87 83 86 85 87 89 96 93 91 5 16 28 38 52 3 15 28 39 49 Hari keJarak (hari) 11 12 10 14 11.7 12 13 11 10 11.5 86 86 81 80 76 Parabasal (%) 79 81 80 84 83 -

Dari hasil penelitian ini ditemukan lama berahi pada kancil adalah 2-3 hari (48-72 jam) hal ini didasarkan pada persentasi sel superfisial mulai meningkat hari -1 dan mencapai puncak pada hari ke-0 dan mulai menurun pada hari kesatu.

75

Profil Metabolit Hormon Progesteron dan estrogen Uji Validasi. Pada penelitian ini untuk mengetahui profil hormon estrogen digunakan kit progesterone DRG yang mempunyai krosreaktifitas terhadap progesteron 100,00%, 17 OH progesterone 0,30%, dan pregnenolone 0,35%. Menurut Agil (2006) bahwa jenis metabolit steroid yang dapat dianalisa dalam feses dan urin dapat berbeda antara satu spesies dengan spesies lainnya, walaupun ada beberapa spesies yang memiliki kesamaan jenis metabolismenya. Dalam aplikasi metode analisa hormon dalam feses dan urin untuk setiap spesies baru, harus dilakukan validasi terhadap analisa hormon yang digunakan apakah sesuai atau tidak. Uji validasi terhadap respon-dosis dilakukan dengan membuat uji paralisme dalam pengenceran berseri menggunakan larutan penyangga (Todd et al. 1999).
Uji paralelisme dilakukan terhadap contoh feses untuk mengkonfirmasi bahwa analisis yang dilakukan sesuai dengan hormon yang diukur. Uji validasi terhadap respon konsentrasi yang dilakukan terhadap contoh feses menggunakan progesteron dengan pengenceran 1:2, 1:4, 1:8, 1:16, 1:32, 1:64 dan 1:128, menghasilkan gambaran yang paralel terhadap standar progesteron (Gambar 29). Hasil uji paralisme ini menunjukkan bahwa antibodi yang digunakan dalam kit progesteron bersifat imunoreaktif terhadap target metabolit hormon progesteron yang diukur. Berdasarkan hasil paralelisme ini juga didapatkan konsentrasi pengenceran, yaitu 1:10.

Dalam gambar terlihat bahwa untuk contoh feses, semakin tinggi pengenceran antibodi yang digunakan, maka konsentrasi metabolit hormon yang terukur akan semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa ada reaksi silang antara target hormon yang diukur dengan antibodi standar yang digunakan.

76

128

64

32

16

Gambar 29 Uji paralisme contoh feses untuk hormon progesteron

Profil metabolit steroid progesteron di feses dari dua ekor kancil betina yang diteliti disajikan secara individu. Pada kancil no 1 rataan konsentrasi hormon progesteron di feses pada fase interluteal yaitu 948.76116.37 ng/g dan fase lueal adalah 1887.61448.33 ng/g dan pada kancil no 2 rataan konsentrasi hormon progesteron di feses pada fase interluteal yaitu 804.46 165.09 ng/g dan pada fese luteal yaitu dan 2093.56513.68 ng/g (Tabel 9). Tabel 9 Rataan konsentrasi metabolit progesteron di feses selama 2 siklus estrus
Rataan konsentrasi metabolit progesteron (ng/g feses) No Betina 1 Betina 2 Fase interluteal 948.76116.37 804.46165.09 Fase luteal 1887.61448.33 2093.56513.68

Penentuan satu siklus estrus didasarkan pada interval antara dua titik dimulainya kenaikan konsentrasi hormon progesteron (Gambar 30). Dari profil progesteron, panjang siklus berdasarkan antara dua titik dimulainya peningkatan konsentrasi progesteron sampai peningkatan konsentrasi progesteron berikutnya (di atas garis threshold ) pada kancil betina no 1 adalah 12 hari (9-15 hari) dan pada kancil betina no 2 adalah 12.5 hari (12-13 hari). Adapun lama fase luteal dapat pula ditetapkan dari profil progesteron, yaitu berdasarkan nilai konsentrasi progesteron setelah garis threshold dan nilai di bawah garis threshold adalah fase

77

interluteal. Lama fase luteal pada kancil betina no 1 adalah adalah 8 hari dan kancil betina no 2 adalah 7 hari serta lama fese interluteal baik pada kancil betina no 1 dan no 2 adalah 4-5 hari. Hal ini berdasarkan pernyataan Pereira et al. (2006) bahwa nilai konsentrasi di bawah garis threshold diindikasikan sebagai fase interluteal dan nilai diatas garis threshold adalah fase luteal. Lebih lanjut

Thompson et al. (1998) melaporkan bahwa dua metode dasar untuk memonitor siklus ovarium yaitu pengukuran konsentrasi estrogen yang mengindikasikan fase follikulogenesis dan pengukuran siklik fluktuasi konsentrasi progesteron untuk menentukan berfungsinya CL. Heistermann et al. (2001) juga melaporkan bahwa profil progesteron feses dapat digunakan untuk menentukan perkiraan waktu ovulasi dan fase fertil dari masing-masing siklus ovarium. Lebih lanjut Engelhardt et al. (2005) menyatakan bahwa masing-masing siklus, terdapat peningkatan level iPdG di atas nilai threshold yang digunakan untuk memperkirakan waktu ovulasi dan fase fertil yaitu terjadi dalam periode 2 hari. Periode ini terdiri dari hari ke -2 dan -3 dari peningkatan iPdG feses (hari ke-0). Lebih lanjut Heistermann et al. (2002) melaporkan bahwa nilai level progesteron diatas threshold diindikasikan fase postovulatory. Pada kondisi hormon estrogen tinggi dan progesteron rendah

menunjukkan bahwa hewan betina berada dalam periode estrus. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini diperkirakan 2-3 hari sebelum kenaikan progesteron adalah waktu ovulasi (hari ke-0). Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan sel epitel vagina terjadi peningkatan dua hari sebelum terjadi kenaikan konsentrasi progesteron. Hal ini didukung oleh pernyataan Thierry et al. (1996) bahwa waktu ovulasi dapat diperkirakan dari fluktuasi metabolit steroid, terutama metabolit progesteron karena profilnya relatif konstan dibandingkan profil metabolit estrogen.

78

Konsentrasi progesteron (ng/g feses)


1000 1500 2000 2500 3000 3500 500 0 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000

B
Konsentrasi progesteron (ng/g feses)

500

Threshold d

Threshold d

Threshold

Threshold d Daerah ovulasi

Kenaikan progesteron Daerah ovulasi

Waktu pengambilan feses Waktu pengambilan feses Kenaikan progesteron Threshold d

Gambar 30 Profil metabolit hormon progesteron di feses.


Threshold * d
27.2.08 28.2.08 29.2.08 01.3.08 02.3.08 03.3.08 04.3.08 05.3.08 06.3.08 07.3.08 08.3.08 09.3.08 10.3.08 11.3.08 12.3.08 13.3.08 14.3.08 15.3.08 16.3.08 17.3.08 18.3.08 19.3.08 20.3.08 21.3.08 22.3.08 23.3.08 25.3.08 26.3.08 27.3.08 28.3.08 29.3.08 30.3.08 31.3.08

Keterangan: (A) kancil betina no 1 dan (B) kancil betina no 2

27.6.08 28.6.08 29.6.08 30.6.08 1.7.08 2.7.08 3.7.08 4.7.08 5.7.08 6.7.08 7.7.08 8.7.08 9.7.08 10.7.08 11.7.08 12.7.08 13.7.08 14.7.08 15.7.08 16.7.08 17.7.08 18.7.08 19.7.08 20.7.08 21.7.08 22.7.08 23.7.08 24.7.08 25.7.08 26.7.08 27.7.08 28.7.08 29.7.08 30.7.08

79

Panjang siklus estrus pada pengamatan sitologis epitel vagina adalah 11.6 hari (9-14 hari) sedangkan pada hasil profil hormon adalah 12 hari (9-15 hari) (Gambar 31 dan 32). Perbedaan ini diduga adanya time lag ekskresi metabolit feses. Champbell et al. (2001) melaporkan time lag antara ekskresi metabolit di urin dan feses dibandingkan dengan konsentrasinya di serum adalah 1-3 hari. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan panjang siklus estrus pada rusa berkisar antara 9 hari (siklus pendek) dan 26 hari (siklus panjang) (Semiadi 1995). Dilaporkan oleh Loskutoff et al. (1987) dalam Kusuda et al. (2007) bahwa siklus estrus pada okapi 15 hari berdasarkan perubahan konsentrasi pregnanediol glukoronide (PdG) dalam urine dan feses. Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh bahwa pengukuran metabolit hormon progesteron dapat dilakukan melalui pendekatan non-ivasif menggunakan contoh feses. Dari data profil hormon progesteron ini dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan status reproduksi seperti siklus estrus, panjang masa estrus dan perkiraan waktu ovulasi. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Pereira et al. (2006) enzymeimmunoassay progesteron non-invasive dapat digunakan

untuk memonitor fungsi endokrin selama periode siklus estrus, kebuntingan dan periode post-partum pada brown broket deer (Mazama gouazoubira). Hasil penelitian ini berbeda dengan laporan Pereira et al. (2006) pada brown brocket deer dimana rataan konsentrasi metabolit progeteron di feses fase luteal adalah 357.322.0 ng/g dan fase inter-luteal 91.39.6 ng/g. Demikian juga ada perbedaan konsentrasi progesteron di serum pada rusa timor, dimana konsentrasi progesteron tertinggi 7.76 ng/ml dan terendah 0.02 ng/ml (Nalley 2006). Konsentrasi progesteron pada rusa ekor putih sebesar 7.70.8 ng/ml atau kisaran 3.5-4.5 ng/ml (Plotka et al. 1977), lebih rendah dibanding dengan pada rusa merah, yakni 8-32 ng/ml (Kelly et al. 1982). Pada kondisi konsentrasi hormon progesteron redah menunjukkan bahwa hewan betina berada dalam periode estrus. Seperti pada hewan ungulata lainnya konsentrasi progesteron plasma darah rendah pada saat ovulasi dan estrus. Kondisi ini berbeda dengan betina pada fase metestrus, dimana konsentrasi progesteron meningkat dan mencapai puncak pada fase luteal dan penurunan akan

80

terjadi ke level basal pada fase estrus berikutnya (Adam et al. 1985). Perbedaan tingginya konsentrasi ini dapat disebabkan oleh perbedaan jenis hewan, metode dan jenis antibodi yang digunakan pada saat analisis. Pada penelitian ini dapat dijelaskan bahwa profil metabolit hormon progesteron saling mempunyai hubungan dengan perubahan ganbaran sitologis vagina dan parameter tingkah laku estrus pada kancil penelitian (Gambar 31 dan 32). Rentang waktu antara titik terendah dari progesteron seiring dengan peningkatan sel-sel superfisial memperkuat perkiraan waktu ovulasi pada kancil. Demikian juga parameter konsumsi pakan, lama berdiri, gelisah, urinasi dan defekasi terjadi perubahan seiring dengan fase siklus estrus.

81

Frekuensi urinasi dan defekasi/hari


100 10 15 20 25 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 5 0 4 5 6 7 8 9

C
Frekuensi gelisah (gerakan berpinda (kali/menit) dan lama berdiri (diam dan bergerak)(kali / jam)

Sel-sel superfisial dan parabasal (%)

Sel-sel superfisial

Gelisah

Urinasi Waktu pengamatan Waktu pengamatan Berdiri Pakan Sel-sel parabasal


100

Waktu pengamatan

Defekasi Konsumsi pakan (g/hari)


200 300 400 500 600 700 800 0

Gambar 31 Perubahan sel-sel epitel vagina pada betina no1.


27.2.08 28.2.08 29.2.08 01.3.08 02.3.08 03.3.08 04.3.08 05.3.08 06.3.08 07.3.08 08.3.08 09.3.08 10.3.08 11.3.08 12.3.08 13.3.08 14.3.08 15.3.08 16.3.08 17.3.08 18.3.08 19.3.08 20.3.08 21.3.08 22.3.08 23.3.08 25.3.08 26.3.08 27.3.08 28.3.08 29.3.08 30.3.08 31.3.08 27.2.08 28.2.08 29.2.08 01.3.08 02.3.08 03.3.08 04.3.08 05.3.08 06.3.08 07.3.08 08.3.08 09.3.08 10.3.08 11.3.08 12.3.08 13.3.08 14.3.08 15.3.08 16.3.08 17.3.08 18.3.08 19.3.08 20.3.08 21.3.08 22.3.08 23.3.08 25.3.08 26.3.08 27.3.08 28.3.08 29.3.08 30.3.08 31.3.08 900

Keterangan: (A) sel-sel superfisial dan parabasal, (B) konsumsi pakan, frekuensi gelisah dan lama berdiri dan (C) urinasi dan defekasi.

27.2.08 28.2.08 29.2.08 01.3.08 02.3.08 03.3.08 04.3.08 05.3.08 06.3.08 07.3.08 08.3.08 09.3.08 10.3.08 11.3.08 12.3.08 13.3.08 14.3.08 15.3.08 16.3.08 17.3.08 18.3.08 19.3.08 20.3.08 21.3.08 22.3.08 23.3.08 25.3.08 26.3.08 27.3.08 28.3.08 29.3.08 30.3.08 31.3.08

82

100

Frekuensi urinasi dan defekasi/hari


10 20 30 40 50 60 0 10 15 20 25 0 5 10 4 5 6 7 8 9

C
Frekuensi gelisah (gerakan berpinda (kali/menit) dan lama berdiri (diam dan bergerak)(kali / jam) 70

B
Sel-sel superfisial dan parabasal (%)
80 90

Sel-sel superfisial

Gelisah

Urinasi
Waktu pengamatan Waktu pengamatan Berdiri Sel-sel parabasal Pakan
0 100 200 300 400 500 600 700

Waktu pengamatan

Defekasi

Gambar 32 Perubahan sel-sel epitel vagina kancil no 2


27.6.08 28.6.08 29.6.08 30.6.08 1.7.08 2.7.08 3.7.08 4.7.08 5.7.08 6.7.08 7.7.08 8.7.08 9.7.08 10.7.08 11.7.08 12.7.08 13.7.08 14.7.08 15.7.08 16.7.08 17.7.08 18.7.08 19.7.08 20.7.08 21.7.08 22.7.08 23.7.08 24.7.08 25.7.08 26.7.08 27.7.08 28.7.08 29.7.08 30.7.08 27.6.08 28.6.08 29.6.08 30.6.08 1.7.08 2.7.08 3.7.08 4.7.08 5.7.08 6.7.08 7.7.08 8.7.08 9.7.08 10.7.08 11.7.08 12.7.08 13.7.08 14.7.08 15.7.08 16.7.08 17.7.08 18.7.08 19.7.08 20.7.08 21.7.08 22.7.08 23.7.08 24.7.08 25.7.08 26.7.08 27.7.08 28.7.08 29.7.08 30.7.08

Keterangan: (A) sel-sel superfisial dan parabasal, (B) konsumsi pakan, frekuensi gelisah dan lama berdiri dan (C) urinasi dan defekasi.
Konsumsi pakan (g/hari)

27.6.08 28.6.08 29.6.08 30.6.08 1.7.08 2.7.08 3.7.08 4.7.08 5.7.08 6.7.08 7.7.08 8.7.08 9.7.08 10.7.08 11.7.08 12.7.08 13.7.08 14.7.08 15.7.08 16.7.08 17.7.08 18.7.08 19.7.08 20.7.08 21.7.08 22.7.08 23.7.08 24.7.08 25.7.08 26.7.08 27.7.08 28.7.08 29.7.08 30.7.08

83

Koleksi dan Evaluasi Semen Koleksi Semen Pada penelitian ini, semen ditampung menggunakan elekrtoejakulator (Electric Stimulator, Fujihiro Industri Co, LTD, Japan). Probe elektroejakulator

yang digunakan memiliki ukuran panjang 29 cm dengan diameter 0.5 cm dengan 3 elektroda yang melingkar. Penampungan dilakukan pada kancil dalam keadaan non(Watson

teranestesi. Metode elektroejakulator umumnya digunakan pada hewan domestik (liar) dan dilakukan pada hewan dalam keadaan teranestesi 1978). Prosedur penampungan semen meliputi

handling kancil sebelum

penampungan semen. Anastesi dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara xylazin dengan dosis 0.1 mg/kgbb dan ketamin dengan dosis 11 mg/kgbb secara intramuskuler (im). Setelah kancil dianestesi, probe yang telah dioles pelicin dimasukkan ke dalam rektum dan diupayakan elektroda probe mengarah ke bagian ventral pelvis (Gambar 33). Semen ditampung secara reguler dengan interval waktu dua sampai tiga minggu. Elekroejakulator adalah metode yang aman dan efektif untuk penampungan semen pada hewan liar (Gould et al 1978 diacu dalam Valle et al. 2004). Prinsip pada metode ini adalah melakukan stimulasi listrik dengan voltase rendah dan berulang untuk menstimulasi syaraf yang menginervasi organ reproduksi (Watson 1978; Axner & Linde-Forsbeg 2002).

Gambar 33 Proses elektroejakulasi diawali dengan pemasukkan probe ke dalam rektum 84

Pada penelitian ini stimulasi listrik yang digunakan adalah voltase antara 10-15 volt selama 5 detik dan istrahat 5 detik (on-off) sampai diperoleh ejakulat. Pada penelitian ini penampungan menggunakan elektroejakulator telah berhasil dilakukan pada satwa liar (kancil) (Gambar 34). Namun penampungan mengunakan metode ini kemungkinan tidak mencerminkan karakteristik semen yang sebenarnya seperti volume dan konsentrasi, dimana sangat rendah. Menurut Silva et al. (2004) bahwa karakteristik semen satwa liar dipengaruhi teknik koleksi dan prosedur anestesi yang dipakai, faktor genetik, lingkungan dan nutrisi.

Gambar 34 Semen hasil ejakulat

Evaluasi Semen Karakteristik semen: Karakteristik semen yang didapatkan pada penelitian ini secara makroskopis yakni sebesar 35.0012.91 l, pH 7.5, berwarna kuning dan konsistensi kental. Secara mikroskopis tidak menunjukkan gerakan massa, persentase motilitas 40.08.165, persentase hidup 65.005.77, konsentrasi 366.66148.08x106 spermatozoa/ml dan persentase abnormalitas 29.18 (Tabel 10). Hasil penelitian ini hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Haron et al. (2000) bahwa karakteristik semen kancil yaitu: berwarna krem, putih dan kuning, konsistensi encer, pH semen 7-8, volume semen 23.37 2.5 l, konsentrasi spermatozoa 366.9 12.8x106 ml-1, persentase motilitas spermatozoa 40.0 3.1%, persentase spermatozoa normal 71.4 1.6% dan persentase viabilitas 59.6 2.1%.

85

Hasil penelitian ini memperlihatkan beberapa parameter yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang telah dilaporkan oleh Prasetyaningtyas et al. (2005) dimana volume 19.44 6.8, konsentrasi 47.44 4.9x106 ml-1, persentase hidup 53.11 3.0, persentase motilitas 36.43 1.1. Dibandingkan dengan satwa liar lain, karakteristik semen kancil baik makroskopis maupun mikroskopis jauh lebih rendah dibanding pada rusa timor (Cervus timorensis), dilaporkan Naley (2006) volume semen 2.060.63, gerakan massa ++ s/d +++, konsentrasi spermatozoa 842.35285.14x106 ml-1, persentase motil 75.833.76%, persentase hidup 87.674.37%, persentase abnormalitas 7.312.99%. Tabel 10 Karakteristik semen kancil. Peubah
Makroskopis Volume pH Warna Konsistensi Mikroskopis Gerakan massa Spermatozoa motil (%) Konsentrasi (10. ml ) Spermatozoa hidup (%) Abnormal (%). - Kepala - Ekor
6 -1

Rataan

35.00 12.91 l 7.5 Kuning Kental

40.0 8.165 366.66 148,08 65.00 5,77 29.18 17.39 11.75

Dimensi testikuler berkaitan erat dengan daya produksi dan kualitas semen. Brito et al (2000) menyatakan adanya hubungan positif antara volume testis dengan volume ejakulat, jumlah total spermatozoa dan spermatozoa hidup. Semakin besar ukuran testes diharapkan produksi spermatozoa tinggi. Hasil

penelitian ini dilaporkan bahwa lingkar scrotum pada kancil (5.830.29 cm) lebih kecil dibanding anoa (143.92 cm) Yudi et al. (2009) dan domba (321.66 cm) 86

Rizal (2005). Berdasarkan hal tersebut diduga menjadi salah satu penyebab produksi dan kualitas semen pada kancil rendah. Demikian juga ukuran kelenjar asesoris pada kancil lebih kecil dibanding pada rusa timor dan sapi. Kelenjar asesoris yang terdiri dari atas kelenjar

vesicularis (panjang 17.33 mm dan lebar 5.73 mm), kelenjar prostat (panjang 17.33 mm dan lebar 6.53 mm) dan ampula (panjang 17.33mm dan lebar 2.00 mm). Kelenjar asesoris ini berfungsi mensintesis dan mensekresikan plasma semen yang merupakan bagian tak terpisahkan dari semen itu sendiri. Hal ini sesuai dengan

laporan Paris et al. (2005) bahwa terdapat kaitan yang erat antara volume semen dengan ukuran kelenjar prostat. Lebih lanjut Toelihere (1993) serta Hafez dan Hafez (2000) melaporkan bahwa karakteristik ejakulat hasil koleksi dapat dipengaruhi beberapa faktor, antara lain jenis hewan, umur kondisi kesehatan, musim/iklim, pengalaman teknik koleksi frekwensi dan interval koleksi dan perlakuan hasil koleksi. Lebih lanjut Haron et al. (2000) menyatakan berhubungan dengan aktivitas seksual (misal, mating sebelum penampungan menurunkan konsentrasi), stres, atau kemampuan dalam beradaptasi dengan metode yang digunakan dalam hal ini elektroejakulator. Penanganan kancil pada waktu penampungan yang menyebabkan stres juga bisa mempengaruhi konsentrasi spermatozoa. Dilaporkan bahwa sapi dapat menjadi steril untuk beberapa minggu karena penanganan yang salah pada waktu penampungan (Salisbury & vanDemark 1985). Motilitas spermatozoa biasanya digunakan sebagai indikator viabilitas sel, integitas membran dan fungsi metabolisme. Pengamatan terhadap motilitas individual spermatozoa didapatkan hasil yang rendah (40.08.165%). Rendahnya nilai motilitas selain dipicu oleh faktor internal hewan dan tingkat kematangan seksual, juga disebabkan penanganan semen yang salah, misalnya penurunan suhu yang cepat atau pemanasan hingga 50oC. Persentase hidup 65.005.77%, lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Haron et al. (2000) (59.62.1%), nilai ini masih tergolong rendah dibanding dengan mamalia lainnya. Spermatozoa yang hidup ditandai oleh kepala yang putih, sedangkan yang mati ditandai oleh kepala berarna merah setelah pewarnaan

87

dengan eosin (Gambar 35). Rizal (2005) melaporkan bahwa warna merah terjadi karena pada spermatozoa yang hidup memiliki membran plasma sel meningkat sehingga senyawa-senyawa kimia dapat bebas melewati membran plasma masuk ke sel. Spermatozoa yang hidup memiliki membran plasma yang masih utuh sehingga pompa sodium dapat berfungsi dengan baik. Dengan demikian enzim Na+K+ ATP-ase yang terdapat pada membran plasma akan memompa kembali ion Na yang berikatan dengan pewarna eosin ke luar dari sel. Ini terjadi karena secara alami konsentrasi ion Na+ di dalam sel jauh lebih rendah dibandingkan dengan di luar sel. Hal ini tidak terjadi pada spermatozoa yang mati, karena membran

plasmanya sudah rusak yang berarti pompa sodium pun sudah tidak lagi berfungsi.

a b
10 m

Gambar 35 Spermatozoa kancil dengan pewarnaan eosin 2%.


Keterangan: (a) spermatozoa hidup dengan bagian kepala putih dan (b) spermatozoa mati dengan bagian kepala merah.

Morfologi Spermatozoa Morfologi spermatozoa kancil secara umum sama dengan spermatozoa ruminansia lainnya. Dilaporkan oleh Prasetyaningtyas (2005) bahwa panjang

kepala spermatozoa kancil adalah 5.550.8 m dan lebar 4.770.5 m. Sedangkan pada sapi panjang kepala spermatozoa 8-10 m dan lebar kepala spermatozoa 4-4.5 m (Salisbury & vanDemark 1985), kuda dengan panjang 7 m dan lebar 2.7-4 m (Toelihere 1993) dan manusia mempunyai panjang kepala 4.5 m dan lebarnya 3 m (Curry & Watson 1995). Panjang keseluruhan spermatozoa

88

pada kancil yaitu 36.525.6 m dan ini lebih pendek dari pada ruminansia lainnya. Panjang keseluruhan spermatozoa sapi adalah 683 m (Salisbury & vanDemark 1985) domba 60 m (Evans & Maxwell 1987) dan manusia 53 m (Parastie 2003). Nilai abnormalitas ditentukan berdasarkan jumlah spermatozoa dengan bentuk yang tidak normal. Jumlah spermatozoa abnormal pada kancil adalah 29.18%. Berbagai bentuk abnormal yang ditemukan pada semen kancil ditampilkan pada Tabel 11. Spermatozoa yang abnormal dalam konsentrasi tinggi akan mempengaruhi fertilitas (Roca et al 1992). Abnormalitas pada kepala yang ditemukan pada kacil, antara lain adalah pear shape (seperti buah pir) (0.56%), narrow at the base (kepala mengecil ke bawah) (1.12%), tappered head (mengecil dan panjang) (1.12%), undeveloped (tidak berkembang) (3.37%), round head (membulat) (1.68%), double heads (kepala ganda) (1.12%), knobbed acrosome defect (kerusakan akrosom) (2.25), detached head (kepala patah) (2.81%), abaxial (tidak simetris) (1.12%), macrocephalus (1.12%) dan microcephalus (1.12%) (Gambar 36). Hal yang hampir sama dilaporkan Haron et al (2000) bahwa spermatozoa abnormal pada kancil (28.68.4%) dengan distribusi abnormal macrocephalus (1.71.2%), double head (6.91.1%), double midpiece (2.10.6%), bent midpiece (1.90.4%), looped tail (ekor lepas) (5.51.0%) coiled tail (ekor menggulung) (2.70.7%), no tail (2.90.5%), bent tail (2.61.0%), distal cytoplasmic droplet (1.30.1%) dan proximal cytoplasmic droplet (1.20.2%). Haron et al (2000) melaporkan bahwa morfologi semen menggambarkan keadaan fungsi dari testes dan sistem ductus efferent. Semakin lama spermatozoa di dalam epididimis menyebabkan peningkatan abnormalitas. Hal ini bila dihubungkan dengan sistem perkandangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang individu dimana aktivitas seksual kancil tidak aktif diduga memberikan efek negatif terhadap morfologis spermatozoa dalam epididimis.

89

Tabel 11 Abnormalitas spermatozoa pada kancil Abnormalitas kepala


Pear shape Narrow at the base Narrow (tappered head) Undeveloped Round head Double head Knobbed acrosom defect Detached head Abaxial Macrocephalus Microcephalus Jumlah

Persentase
0.56 1.12 1.12 3.37 1.68 1.12 2.25 2.81 1.12 1.12 1.12 17.39

Abnormalitas ekor
Ekor tanpa kepala Coiled under the head Simple bent Kerusakan midpiece Ekor ganda Butiran sitoplasma proksimal Butiran sitoplasma distal Jumlah

Persentase
1.12 1.13 3.37 1.12 0.56

1.69

2.80 11.79

Secara umum abnormalitas pada spermatozoa dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti genetik, stres, suhu lingkungan, penyakit dan perlakuan kriopreservasi semen. Dalam banyak kasus telah dibuktikan bahwa abnormalitas primer spermatozoa disebabkan oleh gangguan regulasi panas dan hormonal pada testis. Dalam hal ini mencakup lingkungan yang tidak cocok, lemak pada daerah inguinal dan scrotum, suhu lingkungan yang ekstrim, trauma dingin dan peradangan pada scrotum dan testis, dermatitis, hernia inguinalis (Peter & Ball 1986).

90

a b

d e

h f g i

k j

10 m

Gambar 36 Morfologi spermatozoa abnormal pada kepala.


Keterangan: (a) normal, (b) pear shape, (c) round head (d) undevelop, (e) narrow/tapered, (f) abaxia (g) macrocephalus, (h) microcephalus, (i) detached head, (j) knobbed acrosome defect, (k) double head dan (l) narrow at the base. Pewarnaan Williams.

Abnormalitas pada ekor yang ditemukan pada kancil, antara lain adalah ekor tanpa kepala (1.12%), coiled under the head (1.13%), midpiece defect (kerusakan midpiece) (1.12%), simple bend (ekor melengkung) (3.37%), dan ekor ganda (0.56%). Selain itu ada beberapa bentuk abnormalitas yang terjadi akibat kegagalan maturasi spermatozoa di epididimis seperti proximal cytoplasmic droplet (1.69%) dan distal cytoplasmic droplet (2.80%) (Gambar 37). Pada hewan jantan umur berpengaruh pada jumlah butiran sisa sitoplasmik (Barth & Oko 1989).

91

b c

d e

10 m

Gambar 37 Morfologi spermatozoa abnormal pada ekor.


Keterangan: (a) ekor tanpa kepala, (b) coiled under the head, (c) midpiece rusak (d) simple bent, (e) ekor ganda, (f) distal cytoplasmic droplet, (g) proximal cytoplasmic droplet. Pewarnaan Williams.

Persentase abnormalitas dianggap serius apabila abnormalitas primer mencapai 18-20% dari populasi spermatozoa pada hewan domestik, sehingga akan dapat menyebabkan terjadinya penurunan fertilitas (Peter & Ball 1986) Beberapa parameter kualitas semen yang rendah dan abnormalitas tinggi pada beberapa satwa liar diduga karena kurangnya frekwensi kontak dengan lawan jenis, hubungan sosial dan perkawinan dan faktor hormonal (Toelihere 1993). Lingkungan sosial dan kontak dengan lawan jenis atau feromon akan merangsang fungsi-fungsi syaraf dan hormonal sehingga meningkatkan fungsi reproduksi. Sementara stres diduga menjadi masalah pada pemeliharaan kesehatan terkait dengan harmonisasi metabolisme tubuh. Hormon-hormon gonadotropin FSH dalam kaitannya dengan spermatogenesis akan merangsang tubuli seminiferi dan meningkatkan reseptor LH di sel Leydig, dengan demikian meningkatkan sensivitas terhadap LH dan sekresi testosteron, sehinggga mengurangi degenerasi pada spermatogenesis dan meningkatkan pengeluaran spermatozoa (Hafez &

92

Hafez 2000). Defisiensi vitamin A dan E dilaporkan berkaitan dengan penurunan spermatogenesis dan kejadian degenerasi testikuler. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi hormon secara lokal maupun sistemik, metabolisme spermatozoa atau bahkan sel sertoli secara abnormal. Kejadian inbreeding pada satwa liar cukup tinggi, sehingga dapat menurunkan kualitas reproduksi (kualitas semen rendah, kematian janin tinggi dan kemandulan). Hal ini terjadi karena jumlah hewan terbatas, sehingga perkawinan mungkin terjadi diantara anggota keluarga (Holt & Pickard 1999). Beberapa efek negatif akibat inbreeding adalah penurunan kemampuan adaptasi, resiko penurunan genetik, kelainan bawaan genetik dan penurunan reproduksi (termasuk penurunan volume testis, ejakulat, motilitas, normalitas dan konsentrasi spermatozoa) (Holt & Pickard 1999). Inbreeding diduga menjadi penyebab menurunnya kualitas genetik pada harimau india (Jayaprakasa et al 2001). Inbreeding juga diduga menjadi penyebab menurunnya volume testikuler, volume ejakulat, motilitas spermatoozoa pada harimau florida (Felis concolor coryi) (Holt & Pickard 1999).

93

PEMBAHASAN UMUM
Kancil (Tragulus javanicus) saat ini statusnya termasuk hewan langka, keberadaan populasinya belum diketahui, namun diduga populasinya terjadi penurunan. Hal ini disebabkan karena perburuan dan konversi habitatnya menjadi lahan olahan manusia (kerusakan habitat). Selain hambatan tersebut juga terjadi hambatan biologi dimana habitat tidak lagi serasi dan tidak cocok untuk kancil berada ditempat tersebut, karena persediaan makanan tidak mencukupi lagi atau karena adanya musuh-musuh misalnya: harimau, kucing hutan, buaya dan serta penyakit dan sebagainya. Metode penyelamatan populasi kancil seperti bentuk suaka margasatwa dan sejenisnya, juga dianggap belum memadai dan perlu diupayakan sistem penangkaran khusus, sehingga sifat keseharian, tingkah laku dan biologi reproduksi dapat dipelajari (diketahui). Hasil pengamatan ini menjadi bahan

rujukan dalam penaganan diluar habitatnya (ex situ) atau dengan sistem budidaya. Sejauh ini penelitian kancil dalam bidang reproduksi memang belum banyak terungkap. Diharapkan dengan diketahuinya data dasar biologi reproduksi yang telah diketahui dapat dijadikan tolok ukur dalam aplikasi progam teknologi IB. Sejalan dengan itu dapat diupayakan dengan melakukan pengembangan teknik koleksi semen, pembuatan pengencer dan pengolahan semen cair dan semen beku, serta waktu dan teknik yang tepat dalam prosedur inseminasi buatan (IB). Dengan adanya hasil-hasil penelitian yang diperoleh diharapkan populasi kancil di penagkaran dapat ditingkatkan baik secara alami maupun melalui IB. Berdasarkan uraian tersebut di atas, perlu dilakukan penelitian beberapa aspek biologi khususnya dalam bidang reproduksi. Data yang diperoleh diharapkan menjadi landasan pemeliharaan kancil khususnya secara ex-situ agar populasi kancil di penagkaran dapat ditingkatkan baik secara alami maupun melalui penerapan teknologi. Kancil adalah hewan yang memiliki stres tinggi, terutama disebabkan oleh faktor lingkungan, akan tetapi stres hanya bersifat akut artinya terjadi saat pertama kali ditempatkan dalam kandang. Berdasarkan pengamatan terlihat kancil yang

94

digunakan dalam penelitian ini bertahan hidup sampai sekarang (2 tahun), terlihat nyaman di dalam kandang (terkondisi), bila dipegang tidak memberontak, sehat dan siklus estrus teratur, dengan kata lain kancil telah beradaptasi dengan lingkungan. Bila dilihat dari keragaman pakan yang dapat dikonsumsi, kancil mempunyai kemampuannya didalam memanfaatkan jenis bahan yang tersedia pada lingkungan ex situ seperti umbi-umbian (wortel, ubi jalar) dan sayuran (kangkung, kacang panjang, ketimun). Dalam penelitian ini pakan yang diberikan berupa campuran wortel, kacang panjang, kangkung dan diberi tambahan konsentrat (pellet kelinci). Kancil dapat memakan rata-rata 552.50 g/hari. Air minum diberi ad-libitum dan di sudut kandang juga disediakan garam. Selain itu, untuk meningkatkan kekebalan tubuh, setiap minggu diberikan vitamin A, E dan C (anti oksidan) dan sebulan sekali diberi Biosalamin secara intramuskuler serta setiap enam bulan diberikan obat cacing (Calbazen). Secara umum bagian-bagian dari organ reproduksi kancil jantan hampir sama dengan organ reproduksi ternak domestik lainnya, yaitu organ kelamin primer (gonad jantan atau testis). Kancil mempunyai testis yang relatif kecil, dimana panjang testis adalah 12.332.89 mm, diameter 8.201.92 mm dengan berat 0.810.17 g, dan memiliki ketiga kelenjar pelengkap (kelenjar vesikularis, prostat dan bulbourethralis) dan saluran-saluran yang terdiri dari epididimis, vas deferens, ampula dan urethra, serta organ kelamin bagian luar atau organ kopulatoris yang disebut dengan penis. Penis kancil mempunyai fleksura sigmoid dan fibroelastis. Karakteristik penis memiliki ciri-ciri yang membedakan dengan ternak lain, seperti ujung penis membentuk putaran (spiral) searah jarum jam dengan jumlah putaran dua setengah dan bercabang, dimana fungsinya belum diketahui secara pasti. Organ reproduksi kancil betina terdiri dari sepasang ovarium, oviduct, uterus, cervix dan vagina. Pada kancil terlihat cervix relatif lebih panjang dari vagina, dimana berbeda dengan pada ternak mamalia lainnya. Hal ini diduga berkaitan dengan fisiologi kopulasi, dimana ukuran penis bebas preputium pada kancil relatif panjang di banding panjang penis bebas preputium pada rusa dan

95

domba. Berdasarkan data di atas, pada saat kopulasi penis mencapai cervix untuk mengejakulasikan semen. Dugaan lain, karena volume semen kancil ini sangat rendah dibanding dengan ternak mamalia lain sehingga semen di ejakulasikan melewati cervix atau di cervix. Data morfometri organ reproduksi kancil secara anatomi makroskopis akan sangat membantu untuk meningkatkan pemahaman tentang fisiologi reproduksi kancil betina antara lain untuk kemungkinan penerapan teknologi reproduksi dalam mendukung pelestarian dan peningkatan populasi kancil. Dari observasi terlihat perbedaan mencolok pada kancil yang estrus tidak tenang/gelisah (gerakan berpindah tempat), urinasi dan konsumsi pakan menurun. Kancil sering mengangkat kepala melihat ke tempat pejantan dan kaki sering disentak-sentakkan. Parameter gelisah ini masih sangat bias pada kancil, mengingat kancil masih sulit didekati oleh orang yang tidak dikenal atau mendengar suara lain di lingkungan sekitar kandang. Pengamatan terhadap kondisi vulva, merupakan hal yang lazim pada ternak ruminansia. Dari pengamatan terhadap perubahan vulva terlihat kancil

menunjukan pembukaan dan pembengkakan vulva yang jelas (+++) pada saat estrus. Sebaliknya pada saat non estrus, vulva relatif tertutup dan pucat. Perubahan pada vulva ini muncul seiring dengan perubahan tingkah laku. Pengamatan dengan memegang punggung kancil memperlihatkan bagian belakang dinaikkan dan pelegokan punggung (lordosis) serta tidak bergerak. Penyesuaian posisi ini meliputi perentangan kaki, sikap berdiri dan peninggian bagian belakang yang mempermudah untuk menampung intromisi atau

pemasukan penis oleh pejantan. Sebaliknya pada kancil non estrus punggungnya dinaikkan (kiposis), kaki belakang akan ditekuk dan berusaha untuk menghindar. Pola tingkah laku kawin ditandai dengan perubahan sifat pejantan yaitu menjadi lebih aktif dan berusaha untuk mendekati betina. Percumbuan (courtship) merupakan awal tingkah laku seksual maupun kontak fisik dengan kancil betina. Sambil mendekati betina moncong diarahkan ke atas seolah-olah mencium sesuatu. Kancil jantan sering menjilat sampai minum urin dari kancil betina dan menjilat pangkal ekor sampai vulva. Kancil jantan juga memperlihatkan tingkah

96

laku flehmen ketika menjilat urin. Selanjutnya kancil jantan menggosokkan intermandibular scent glandnya dari leher, bagian tengah dan belakang betina. Dari pengamatan diketahui juga bahwa kancil jantan dapat kawin lebih dari satu betina yang sedang estrus demikian juga betina dapat kawin dengan pejantan lain. Bila terdapat dua pejantan dalam satu kandang, maka pejantan yang dominan tidak memberi kesempatan pejantan yang lain untuk mengawini betina. Metode penentuan siklus reproduksi yang digunakan dalam penelitian

yakni pengamatan gambaran perubahan sel epitel (sitologik) dan melihat profil hormonal yang diperoleh secara non invasif (urin dan feses). Panjang siklus estrus pada kancil baik berdasarkan sitologis vagina mupun profil metabolit progesteron di feses adalah 12 hari (9-15 hari). Adapun lama fase luteal dapat pula ditetapkan dari profil progesteron, yaitu berdasarkan nilai konsentrasi progesteron setelah garis threshold dan nilai di bawah garis threshold adalah fase interluteal. Lama fase luteal pada kancil adalah adalah 7-8 hari serta lama fase interluteal adalah 45 hari. Konsentrasi progesteron dalam feses pada fase luteal adalah 1887.61448.33-2093.56513.68 ng/g dan pada fase interluteal adalah

804.46165.09-948.76116.37 ng/g. Dari hasil pengamatan bahwa lama siklus estrus berdasarkan profil metabolit hormon progesteron pada kancil dapat dilakukan melalui pendekatan non-ivasif menggunakan contoh feses. Karakteristik semen yang didapatkan dalam penelitian ini secara makroskopis yaitu: volume sebesar 35.0012.91 l, pH 7.5, berwarna krem/kuning dan konsistensi kental. Secara mikroskopis, tidak menunjukkan gerakan massa, persentase motilitas 40.08.165, konsentrasi spermatozoa 366.66148.086 ml-1 dan persentase hidup 65.005.77. Abnormalitas spermatozoa kancil pada penelitian ini tinggi yaitu 29.18%. Beberapa parameter kualitas semen yang rendah dan abnormalitas tinggi pada beberapa satwa liar diduga karena beberapa faktor seperti: stres, suhu lingkungan, pakan, kurangnya frekwensi kontak dengan betina. Tingginya abnormalitas spermatozoa yang ditemukan pada kancil kemungkinan menjadi salah satu faktor perkembangbiakan kancil di penangkaran belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Pengetahuan mengenai dasar reproduksi dapat digunakan dalam program perkawinan berbantuan ( IB dan IVF).

97

Namun tahap aplikasi IB dapat dilakukan melalui pengembangan teknik penampungan, preservasi dan kriopreservasi semen serta teknik inseminasi sehingga upaya pengembangbiakan kancil dapat berhasil.

98

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 1. Kancil (Tragulus javanicus) telah mampu beradaptasi, baik ditinjau dari segi adaptasinya terhadap kondisi kandang maupun terhadap pakan yang ada pada kondisi ex-situ sehingga memungkinkan untuk dijadikan satwa budidaya. 2. Karakteristik penis kancil mempunyai flexura sigmoidea, bertipe fibroelastis dan di ujung penis sangat khas, dimana membentuk spiral dengan jumlah putaran dua setengah. Sedangkan pada kancil betina memiliki cervix yang lebih panjang dibandingkan panjang vagina. 3. Pola tingkah laku kancil betina pada waktu estrus didominasi tingkah laku gelisah, urinasi, defekasi, vulva (merah basah dan terbuka), diam bila dipegang punggungnya dan kadang-kadang menyentak-nyentakkan kaki. Sedangkan gejala pada pejantan adalah urinasi dan defekasi, gelisah (bolakbalik dalam kandang sambil melihat ke kandang betina) dan lebih aktif. 4. Pola kawin kancil dalam kandang dimulai dengan percumbuan (courtship), pejantan menjilat urin (licking), menggosokkan intermandibular scent glandnya, mounting dan intromisi. Kancil jantan mempunyai libido yang tinggi dan bersifat dominan terhadap pejantan yang lain serta tidak bersifat monogamus. 5. Panjang siklus estrus berdasarkan sitologis vagina maupun profil metabolit progesteron pada kancil adalah 12 hari (9-15 hari), lama fase luteal adalah 7-8 hari, lama fese interlutealnya adalah 4-5 hari serta lama estrus 2-3 hari. 6. Konsentrasi progesteron pada fese luteal kancil no 1 adalah 1887.61448.33 dan fase interluteal adalah 948.76116.37 dan pada kancil no 2 adalah 2093.56513.68 dan fase interluteal adalah 804.46165.09. 7. Karakteristik semen kancil hasil elektroejakulator memperlihatkan volume semen 35.0012,91 l, konsentrasi spermatozoa 366.66148,08 juta/ml, motilitas 40.08.165%, hidup 65.005.77% dan abnormalitas spermatozoa adalah 29.18%.

99

Saran Perlu penelitian lanjut mengenai: 1. Analisis metabolit hormon estrogen mengguanakan kit yang lain (estron atau estriol). 2. Analisis profil metabolit hormon pada saat kebuntingan.

100

DAFTAR PUSTAKA
Abdo MS. 1973. A simple preliminary diagnostic method of the tecting the reproductive disturbances in cows. J Anim. Morph. Physiol. 20: 38-44. Ackerman U. 1996. Human Physiology. Mosby, St. Louis. Adam CL, Moir CE, Atkinson T. 1985. Plasma concentration of progesterone in female red deer (Cervus elaphus) during the breeding season, pregnancy and anosestrus. J. Reprod. Fert. 74: 631-636. Agil M. 1995. The Sumatran rhinoceros Dicerorhinus sumatrensis (fiscer 1814): Reproductive biology and methods of assessing reproductive status. [thesis]. Germany: Faculty of Agriculture, Georg-August University of Gottingen. Agil M. 2006. Metode penelitian status reproduksi pada satwa liar: metode noninvasif melalui analisis metabolit hormon pada feses dan urin. Peranan Bioteknologi Reproduksi dalam Pembangunan Peternakan dan Perikanan Di Indonesia. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Agungpriyono S, Sinowatz F, Adnyane IKM, Setijanto H, Sigit K. 2001. Immonohitochemical survey on the localization of growth hormone receptor in the male genital organs of the lesser mouse deer. Presented at Persada 20 Januari 2001. Agungpriyono S, Kurohmaru M, Adnyane IKM, Setijanto H, Sigit K. 2002. Distribusi glikoprotein pada testis kancil (Tragulus javanicus). Seminar Nasional Bioteknologi Reproduksi. Malang, 30-31 Maret 2002. Alikodra, HS. 1979. Dasar-Dasar Pengelolaan Margasatwa. Kehutanan, Institut Pertanian, Bogor. Fakultas

Amin MR, Toelihere MR, Yusuf TL, Situmorang P, Purwantara B. 2000. Effect of bovine seminal plasma substitution and various extender on the quality of swamp buffalo frozen semen. Proceeding of 14th International congress on Animal Reproduction (ICAR), Stockholm. 17:16, P.144. Abstract Vol. 2. Anderson S, Jones. 1967. Recent Mammals of The Word. Families. New York: Ronald Press Company. A Synopsis of

Anonim. 1978. Mamalia di Indonesia. Pedoman Inventarisasi Satwa. Anonim.1978. Pedoman Pengelolaan Satwa Langka. Jilid I. Departemen Kehutanan. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, Bogor. Anonim. 1995. Artificial Insemination in Red Deer. AgFACT. No: 48. Anonim. 2002. Classification of Vaginal Epithelial Cells. Reproduction Index. http://arbl.cvmbs.colostate.edu/hbooks/pathphys/re.../cell.htm 29.10.2002.

101

Arifin. 2004. Kajian Produktivitas dan Produk Napu (Tragulus napu) Di Propinsi Jambi). [disertasi] Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ashdown RR. 1987. Anatomy of male reproduction. Di dalam Hafez, ESE editor. Reproduction in Farm Animals. Ed. 5th Ed. Lea and Febiger. philadelphia. Attia MA. 1998. Abstract. Cyclic changes in genital organs and vaginal cytology in cynomolgus monkeys (Macaca fascicularis). Dutsch Tierarzti wochenschr. 105(11): 399-404. Austine CR, Short RS. 1985. Reproduction in Mammals. Book 4. Reproductive Fitness. Cambridge University Press. Cambridge.133-175. Axner E, Linde-Forsbeg C. 2002. Semen collection and assessment, and artificial insemination in the cat. Recent Advances in Small Animal Reproduction. www.ivis.org. [15 Juli 2004] Baker N. 2004. Lesser Mouse Deer. http://www.focus.on. [29 April 2004] Barth AD, Oko RJ. 1989. Abnormal Morphology of Bovine Spermatozoa. Iowa: Iowa States University Press. Bearden HJ, Fuquay JW. 1997. The male reproduction system. In: Applied Animal Reproduction. 4th Ed. New Yersey: prentice Hall. P 27. Becker JB, Breadlove M, Crews D. 1992. Behavioral Endocrinology. The Mit Press Cambridge, Massachusetts. Biocheck. 2004. Testosterone Enzyme Immunoassay Test Kit, Biocheck, inc. 323 Vintage Park Dr. Foster city, CA 94404. Bishnoi BL, Vyas KK, Dwaranath PK. 1982. Note on spinnbarkeit and crystallization pattern of bovine cervical mucus during oestrus, Indian. J. Anim. Behav. Sci. 52: 438-440. Bo, GA, Adams GP, Caccia M, Martinez M, Pierson RA, Mapletoft RJ. 1995. Ovarian folicular wave emergence after treatment with progestogen and estradiol in cattle. Anim. Reprod. Sci. 39 : 193 204. Boever, WJ. 1986. Tragulidae. In: Zoo & Wild Animal Medicine. 2nd Ed. (Ed by Fowler ME). WB Saunders Company Philadelphia , London, Toronto, Mexico city. Boland MP, Al-Kamali AA, Crosby TF, Haynes NB, Howles CM, Kelleher DL, Gordon I. 1985. The influence of breed, season and photoperiod on semen characteristics, testicular size, libido and plasma hormone concentration in farm. Anim. Reprod. Sci. 9: 241-252. Bourne LD. 1990. Theory and Practice of Histological Techniques. Edited by Bancroft JD, Steven A and Turner DR. Ed. III Churchill Livingstone. Edinburgh. Pp. 465-492. Brito LFC, Silva AEDE, Rodrigues LH, Vieira FV, Deragon LAG, Kastelic JP. 2002. Effect of age and genetic group on characteristics of the scrotum,

102

testis and testicular vascular cones and on sperm production and semen quality in AI bulls in Brazil. Theriogenology 58: 1175-1186. Brook CGD, Marshal NJ. 1996. Essential Endocrinology, 3rd Edition. Blackwell Science. Pp. Brown JL, Wildt DE. 1997. Assessing reproductive status in wild felids by noninvasive faecal steroid monitoring. Int. Zoo Yearb. 35:173-212. Champbell CJ, Shideler SE, Todd HE, I Asley BL 2001. Fecal analysis of ovarian cycle in female black-handed spider monkeys (Ateles geoffroyi). Am J. Primatol. 54:79-89. Collins DC, Dahl JF, Nadler RD. 1994. Metabolism of progesteron by the adult female gibbon (Hylobates (H.) lar). Am. J. Primatol. 33:193-255. Creel S. 2001. Social Dominance and Stress Hormone. Trends in Ecology & Evolution. 16:9:491-497. Curry MR, Watson PF. 1995. Sperm Structure and Function. In: Grudzinskas JG dan Yovich JL, Editor. Gametes - The Spermatozoon. Cambridge: Cambridge University Pr. Hlm 45-69. Darlis, N. Abdullah, JB. Liang, Jalaludin S, Ho YW. 1999. Preference test requirement for maintenance of mature male mouse deer (Tragulus javanicus) in captivity. Asian-Aus. J. Anim. Sci 12 (8): 1292-1297. Dashman, RF. 1981. Wildlife Biology. New York: John Wiley & Sons. Inc. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1978. Pedoman Pengelolaan Satwa Langka. Jilid I. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Bogor Djuwantoko. 1986. Pemanfaatan Satwa Liar di Hutan Tanaman Industri. [makalah seminar]. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Dubost G. 1986. Tragulidae. In The Encyclopedia of Animals (Ed by DW. McDonald) Vol.4. Helbosha Ltd. Publ, Tokyo, 72-72. Dugweker YG, Takkar OP, Roy KS, Sharma RD. 1978. Exfoliative vaginal cytology of murrah buffaloes during various stages cycle Indian. J. Anim. Res. 12: 102-104. Engelhardt A, Hodges JK, Niemitz C, Heistermann M (2005) Female sexual behavior, but not sex skin swelling is a reliable indicator for the timing of the fertile phase in wild long-tailed macaques (Macaca fascicularis). Horm Behav. 47:195204 Evans G, Maxwell WMC. 1997. Salamons Artificial Insemination of Sheep and Goat. Sydney : Butterworths Forrest JC, Aberle ED, Hendrick HB, Judge MD, Merkel RA. 1975. Priciple of Meat Science. W.H. Freeman and Company. San Franscisco. Fowler ME. 1999. Zoo and Wild Animal Medicine 4th ed. Philadelphia : W.B. Saunders Company. Hlm. 34-35. 103

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. (terjemahan) Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Fukuta KN, Koizumi Y, Murayama N., Fuzina H, Goto N. 1991. Morphology of stomach in the newborn mouse deer, Tragulus javanicus. In; Proceding of 3rd International Symphosium on the Nutrition of Herbivores Malaysian Sociaty of Animal Production (Ho, YW., HK Vyong, N. Abdullah, and AZ. Tajuddin, eds.). Selangor, Malaysia: Kula Lumpia Press, p.47. Gordon I. 1994. Laboratory Production of Cattle Embryos, Biotechnology In Agriculture Series. Dublin-Ireland. Grzimek B. 1975. Grzimes Animal Life Encyclopedia. New York: Van Nostrand Ranhold Company. Guyton AC, Hall JE. 1996. Texbook of Medicine Physiology, 9th Ed. W.B, Saunders Company, Philadelphia, Pennsilvania. Hafez ESE. 1987. Anatomy of male reproduction in: Reproduction in Farm Animals. Ed. 7th Ed. Lea and Febiger. Philadelphia. Hafez ESE. 1987. Reproductive cycle in: Reproduction in Farm Animals. Ed. 7th Ed. Lea and Febiger. Philadelphia. Hafez ESE and Hafez B. 2000. Anatomy of female reproduction in: Reproduction in Farm Animals. Ed. 7th Ed. Lippincott Williams & Williams. Hafez ESE and Hafez B. 2000. Spermatozoa and seminal plasma in: Reproduction in Farm Animals. Ed. 7th Ed. Lippincott Williams & Williams. Hamny 2006. Studi Morfologi Reproduksi Kancil (Tragulus javanicus) Dengan Tinjauan Khusus pada Ovarium, Perkembangan Folikel dan Pematangan Oosit In Vitro. [Thesis] Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hansel W. Asdell SA, Robert SJ. 1949. The vaginal smear of the cow and causes of its variation. J. Anim. of Vet. Research. 10:221-228. Hansen PJ. 1997. Interactions between the immune system and the bovine conceptus. Theriogenology. 47 : 121 - 130. Hansen PJ, Liu WJ. 1996. Immunological aspects of pregnancy: concepts and speculations using the sheep as a model. Anim. Reprod. Sci. 42 : 483 - 493. Haron AW, Yong M, Zainudin ZZ. 2000. Evaluation of Semen Collected by Electro ejaculation from Captive Lesser Mouse Deer Malay Chevrotain (Tragulus javanicus). J.of Zoo and Wildlife Medicine. 31:164-167. Hau J. Abelson KS, Carisson HE, Royo F. 2004. Stress-Assassed by Quantification of Non-invasive Stress Marker, University of Copenhagen & State Hospital and Uppsala University. Heistermann M, Hodges JK. 1995. Endocrine monitoring of the ovarium cycle and pregnancy in the saddle-black tamarin (Sanguinus fuscicolis) by measurement of steroid conjugates in urine. Am. J. Primatol 35:117-127. 104

Heistermann M, Mhle U, Vervaecke H, Van Elsacker L, Hodges JK. 1996. Aplication of urinary and fecal steroid measurements for monitoring ovarian function and pregnancy in the Bonobo (Pan paniscus) and evaluation of perineal swelling patterns in relation to endocrine events. Biol Reprod. 55:844-853. Heistermann M, Mstli E, Hodges JK. 1995. Non-invasive endocrine monitoring of female reproductive status: Methods and applications to captive breeding and conversation of exotic species. In: Gansloer U. Hodges JK. and Kammans W. editor. Research And Captive Propagation. Erlangen: Filander verlag GmBH. Hlm 36-48. Heistermann M, Uhrigshardt J. Husung A, Kaumanns W, Hodges JK. Measurement of faecal steroid metabolites in the lion-tailed macaque (Macaca silenus): A non-invasive tool for assessing female ovarian function. Primate Rep. 59:27-42. Hindle JE, Mosti E, Hodges JK. 1992. Measurement of urinary oestrogen and 20 alpha-dihydroprogesterone during ovarian cycle of Black (Diceros bicornis) and white (Cheratotherium simun) rhinoceros. J. Reprod Fert. 94:237-249. Hodges JK. 1985. The endocrine control of reproduction. Symp Zool Soc Lond 54: 149-168. Hodges JK, Heistermann M. 2002. Non-invasive assessment of reproductive function in primata. Evalutionary Antrophology Suppl 1: 180-182. Hoogerwerf A. 1970. Udjung Kulon the Land of Last Javan Rhinoceros. Netherlands: Leiden EJ. Brill. Holt WV, Picard AR. 1999. Role of reproductive technologies and genetic resource banks in animal concervation. Rev. Reprod. 4:143-150. Honour JW. 1984. Billiary ecretion and enterohepatic circulation. in: Makin HIJ, editor. Biochemistry of Steroid Hormone. 2nd ed,. Oxford: Blackwell Scientific Publication. Hlm 382-393. Huffman HB. 2004. Tragulus javanicus. Lesser www.ultimateungulate.com. [29 April 2004]. malay mouse deer.

Hutchinson TC. 1970. Vaginal cytology and reproduction in the squirrel monkey (Samiri sciureus). Folio Primat. 12: 12-223. InterAG. 1996. Controlled Breeding and Reproductive Management. Eazi-Breed CIDR. Hamilton New Zeland. Israil I, Rosyidi D, Kusmartono. 1998. Upaya penangkaran kancil (Tragulus javanicus) dengan cara pendayagunaan sebagai hewan ternak penghasil daging dan kemungkinan pelestariannya dengan metode nucleus flock dan multiplier flock. Malang: Universitas Brawijaya.

105

Jayaprakasa D, Patil SB, Kumar MN, Majumdar KC, Shivaji S. 2001. Semen characteristics of the captive Indian leophard (Panthera pardus). J. Androl. 22:25-33. Jones, ML. 1993. Longevity of ungulates in captivity. Intern. Zoo Yearbook. 32:159-169. Jumaliah N. 1999. Pola perilaku, estimasi kuantitatif konsumsi dan daya cerna kancil (Tragulus javanicus) terhadap pakan di Kebun Binatang Ragunan Jakarta. [Tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Jurke MH, Hagey LR, Jurke S, Czekale NM. 2000. Monitoring Hormones in Urine and Feces of Captive Bonobos (Pan paniscus). Primates 41 (3):311319. Kelly RW, Mc Netty KP, Moore GH, Ross D, Gibb M. 1982. Plasma concentration of LH, prolactin, oestradiol and progesterone in female red deer (Cervus elaphus) during pregnancy. J. Reprod. Fertil. 64:475-483. Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods. 2nd Ed. Pergamon Press. Kudo H, Abdullah N, Ho YW, Jalaludin S, Hawa S, Fujita H. 1997. Behavior and reproduction of captive Lesser Mouse Deer. (Tragulus javanicus). Malay J. Anim Scie 1:24-28. Kusuda S, Morikaku K, Kawada K, Ishiwada K, Doi O. 2007a. Excretion patterns of fecal progestagens, androgen dan estrogens during pregnancy, parturition and postpartum in okapi (Okapia johnstoni). J. Reprod. And Dev. 35 (1): 143-150. Kusuda S, Ikoma M, Morikaku K, Koizumi J, Kawaguchi Y, Kobayashi K, Matsui K, Nakamura A, Hashikawa H, Kobayashi K, Ueda M, Kaneko M, Akikawa T, Shibagaki S, Doi O. 2007b. Estrous cycle based on blood progesterone profile and changes in vulvar appearance of Malayan Tapir (Tapirus indicus). J. Reprod. Dev. 53 (6):1283-1289. Krebs JR, Davies. 1981. An Introduction to Behavioural Ecology. Massachussetts: Blackwell Scientific Publication. Krimbas CB. 1984. On adaptation, Neo Darwin tautology and population and fitness. Evol. Biol. 17:1-57. Lekagul B, J.A. McNeely, 1977. Mammals of Thailand. Bangkok: Sahakarnbat Co. Lima GI, Barros FFPC, Costa LLM, Castelo TS, Fontenele-Neto JD, Silva AR. 2008. Determination of semen characteristics and sperm cell ultrastructure of captive coatis (Nasua nasua) collected by electroejaculation. Anim. Reprod. Sci. 1-6. Lynch JW, Khan MZ, Altmann J, Njahira MN, Rubenstain N. 2003. Concentration of four fecal steroids in wild baboons: Shor-term storage

106

condition and concequences for data interperetation. Endocr. 132:264-271.

Gen and Comp.

Maheswari H. 2007. Profil Metabolit Steroid Sebagai Indikator Dalam Penentuan Siklus ovarian Owa Jawa (Hylobates moloch AUDEBERT, 1797). [disertasi] Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Martin P, Batesan P. 1993. Measuring Behavior. Cambridge Univ. Press. Matsubayashi H, Bosi E, Kohshima S. 2002. Activity and Habitat Use of Lesser Mouse Deer (Tragulus javanicus). J. Mammal 84:234-242. Marsono, D. 1977. Deskripsi Vegetasi dan Tipe-Tipe Vegetasi Tropis. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. McDonald LD. 1989. Reproductive patterns of dogs. In: Mc. Donald LE Ed. Veterinary Endocrinology and Reproduction. 4th Ed. Lea and Febiger. Philadelphia, London. P. 545 - 547. Medway L. 1969. The Wild Mamalls of Malaya and Osffshore Island Including Singapore. London: Oxford University Press. Medway L. 1978. The Wild Mammalls of Malaya (Peninsula Malaysia) and Singapure. Second Ed London: Oxford University Press. Meijaard E, Groves CP. 2004. A taxonomic revision of the Tragulus mouse deer (Artiodactyla). Zool. J. of the Linnean: Society, 2004, 140: 63-102. Moen, AN. 1972. Wildlife Ecology. An Analytical Aproach. San Fransisco: Cornell University. WH. Freeman and Company. Monfort SL, Mashburn BS, Brewer BA, Creel R. 1998. Evaluation adrenal activity in African Wild Dogs (Licaon pictus) by fecal costicosteroid analysis. J. Zoo and Wildl Med. 292: 129-133. Mhle U, Heistermann M, Pahme R, Hodges JK. 2002. Characterization of urinary and fecal metabolite of testosterone and their messurement for assessing gonadal endocrine function in male nonhuman primates. General and Comparative Endocrinology. 129:135-145. Morel DMCG. 1999. CABI. Equine Artificial Insemination. Walingford, Oxon, UK

Nalley WMM, Handarini R, Toelihere MR, Yusuf TL, Purwantara B, Semiadi G. 2004. Kriopreservasi Semen Rusa Timor (Cervus timorensis) dalam berbagai konsentrasi gliserol. Disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Ciawi.4-5 Agustus 2004. Nalley WMM. 2006. Kajian Biologi Reproduksi dan Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan pada Rusa Timor (Cervus timorensis). [disertasi] Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nowak M. 1991. Chevrotain or Mouse Deer. In Walkers Mammals of the world. Vol. 2., 5th eds. Kuala Lumpur: Oxford University Press. 107

[OIA] Office of International Affairs. 1991. Micro Livestock: Little-Known Small Animals With a Promisisng Economic Future. Mouse Deer. PP: 291-298. OMaley BW and Strott CA. 1999. Steroid Hormones: Metabolism and Mechanism of Action. Di dalam: Yen SSC, Jaffer RB, and Barbieri RL, editor. Reproductive endocrinology: Physioloy, Patophysiology and Clinical Management. 4th Ed. Philadelphia: WB Saunders Company. hlm. 110-132. OMalley BW, Strott CA. 1999. Steroid Hormones: Metabolism and Mechanism of Action. In: Yen SSC, Jaffe RB and Barbieri RL, editor Reproductive Endocrinology: Physiology and Clinical Management. Ed ke-4. Philadelphia: WB Saunders Company. Hlm 110-132. Onuma M, Suzuki M, Uchida E, Ohtaishi N. 2002. Annual changes in fecal estradiol-17 concentration of the sun Bear (Helarctos malayanus) in Sarawak Malaysia. J. Vet.Med Sci. 64(4): 309-313. Parastie S. 2003. The Importance of Sperm Morphology in the Evaluation of Male Infertility. Compana A, Editor. 8th Postgraduates Course for Training in Reproductive Medicine and Reproductive Biology. 13 Agustus 2003. Paris DBBP, Taggart DA, Shaw G, Tmple-Smith PD, Renfree MB. Birth of pouch young after AI in the tammar walabi (Macropus eugenii). Biol reprod. 72: 451-459. Pereira RJG, Polegato BF, deSousa S, Negrao JA, Duarte JMB. 2006. Monitoring ovarian cycles and pregnancy in brown brocket deer (Mazama gouazoubaira) by measurement of fecal progesterone metabolites. Theriogenology. 65:387-399. Peters AR, Ball JH. 1986. Reproduction in Cattle. London: Butterworths London. Plotka ED, Seal Us, Louis J, Verme, Ozoga JJ. 1980. Reproductive steroids in deer III. Lutenizing hormone, estradiol and progesterone around estrus. Biol. Reprod. 22:576-581. Prasetyaningtyas WE, Setiadi MA, Fahrudin M, Haron AW, Agungpriyono S. 2006. Karakteristik dan komposisi semen kancil (Tragulus javanicus) yang dikoleksi dengan elektoejakulator. J. Anatomi Indonesia. 01: 30-37. Ralls K, Barasch C, Mincowski K. 1975. Behavior of captive Mouse Deer, Tragulus napu. Z Tierpsycol 37:356-378. Rao PR, Rao AR, Sreeraman PK. 1979. A note on the motility of vaginal cytology in detection oestrous cycle and certain reproductive disorder in bovines. Indian J. Anim. Sci. 50: 156-161. Reeves JJ. 1987. Endocrinology of Reproduction Anatomy of male reproduction. In: Hafez, ESE, editor. Reproduction in Farm Animals. Ed. 5th. Lea and Febiger. Philadelphia.

108

Richardson KC, Vidyadran MK, Azmi TI, Fazina NH. 1988. Topographic Anatomy of the abdomen of the Lesser Mouse Deer (Tragulus javanicus). Pertanika 11: 419-426. Rizal M. 2005. Fertilitas Spermatozoa Ejakulat dan Epididimis Domba Garut Hasil Kriopreservasi Menggunakan Modifikasi Pengencer Tris Dengan Berbagai Krioprotektan dan Antioksidan. [disertasi] Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Roca J, Martinez E, Sanches-Valverde MA, Ruiz S, Vasques JM. 1992. Seasonal variation of semen quality in male goat: studi abnormalities. Theriogenology 38:115-125. Rosenblum LA, Nathan T, Nelson J, Kaufman ICH. 1967. Vaginal cornification cycles in the Squirrel monkey (Saimiri sciurea). Folio Primat 6: 83-91. Rosyidi D. 2005. Beberapa aspek biologi dan karakteristik karkas Kancil (Tragulus javanicus). [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Salisbury GW, VanDemark NL. 1985. Fisiologi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. R. Djanuar, Penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Physiology Of Reproduction and Artificial Insemination of Cattle. Salisbury GW, VanDemark NL, Lodge JR. 1978. The reproduktive system of the cow. Dalam: Physiology of Reproduction and Artificial Insemination of Cattle, 2nd ed. WH. Freeman and Co. San Francisco. Pp. 35-51. Sajuthi D, Lelana A. 2000. Zoonosis pada Satwa Peliharaan yang Dilindungi. Dalam Prosiding Lokakarya Penangkaran Satwa Liar yang Dilindungi. Direktorat Perlindungan Hutan dan Kebun. Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam Bekerja Sama Dengan Yayasan Gibbon Indonesia. Schwarzenberger F, Mstl E, Palme R, Bamberg E. 1996. Faecal steroid analysis for non-invasive monitoring of reproductive status in farm, wild and zoo animal. Anim. Reprod. Sci. 42: 515-226. Senger PL. 1999. Pathways to Pregnancy and Parturition. USA: Current Conception, Inc, Washington. Semiadi G. 1995. Biology of deer reproduction: a comparation between temperate and tropical species, Review. Bul. Peternakan. 19:9-18. Sibly RM, Calow P. 1986. Physiological Ecology of Animal and Evolutionary Approach. Oxford: Blackwell Scientific Publications. Silva AR, Morato RG, Silva LDM. 2004. The potential for gamet recovery from non-domestics canida and felids. Anim. Reprod.sci. 81: 159-128. Slijper, EJ. 1954. Manusia dan Hewan Piara. Fakultas Kedokteran Hewan (Ed) Muslihun. Universitas Indonesia, Bogor.

109

Smith TE, French JA. 1997. Psychosocial stress and urinary cortisol excretion in Marmoset Monkeys (Callthrix kuhli), Physiol Behav. 62 (2): 225-232. Snyder GK, Weathers WW. 1977. Hematology, viscosity and respiratory function of whole blood of the lesser mouse deer, Tragulus javanicus. J Applied Physiology 42:673-678. Solis G, Aguilera JI, Rincon RM, Banuelos R, Arechiga CF. 2008. Characterizing cytology (ECV) in ewes from 60 d of age through parturition. J. Anim Sci. Vol 82, Suppl. 1. Steiner T. 2003. Steroid Hormone Metabolism. http://www.gfmer.ch/books/reproductivehealth/steroid hormone metabolism. Strawder N. 2004. Tragulus javanicus (lesser mouse deer). The University of Michigan of Zology. Suraatmadja TO. 1982. Cornification process in the vaginal epithelium of the laboratory rat (Rattus norvegicus) under the influence of oestradiol valerate: an electron microscope study. [thesis] Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suyanto A. 1983. Fauna Indonesia. Vol 1 No. 2. Masyarakat Zologi Indonesia. Takandjandji M, Sutrisno E, Garnadi D. 1997. Prospek Budidaya Rusa Timor (Cervus timorensis) Sebagai Ternak. Prosiding Diskusi Hasil-hasil Penelitian BPK. Kupang. Telford IR, Bridgman CF. 1995. Introduction to Function Histology. Ed ke-2 New York: Harper Collins College Publisher. Thierry B, Heistermann M, Aujard F, Hodges JK. 1996. Long-term data on basic reproductive parameters and evaluation of endocrine, morphological and behavioral measures for monitoring reproductive status in a group of semifree-ranging tonkean macaques (Macaca tongkeana). Am. J. Primatol 39:47-62. Toelihere MR. 1993. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa Bandung. Tomaszewska MW, Sutama IK, Putu IG, Chaniago TD. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Thompson KV, Mashbura KL, Monfort SL. 1998. Characterization of estrous cyclicity in the Sable Antelope (Hippotragus niger) through fecal progestagen monitoring. Gen Comp Endokrinol. 112:129-137. Todd HE, Shideler SE, Laughlin LS, Overstreet JW, Pohl CR, Byrd W, Lesley. BL. 1999. Application of an Enzyme immunoassay for urinary follicle different stage of the menstrual cycle in female laboratory macaques. Am. J. Primatol 48:135-151.

110

Vale RR, Guimares MABV, Muniz JAPC, Bamabe RC, Vale WG. 2004. Collection and evaluation of semen from captive howler monkey (Alloutta caraya). Theriogenology. 62:131-138 Vidyadaran MK. Hilmi M, Sirimane RA. 1979. Hematological studies on the Malaysian lasser mouse deer (Tragulus javanicus). Pertanika 2:101-104. Walker EP. 1968. Mammals of The Word. 2nd Ed. Vol. II. Revision by John L. Paradisso. Baltimore: The John Hopkins Press. Watson PF. 1978. A review of tehniques of semen collection in mammals. Symp Zool Soc Lond. 43:97-126. Whittow GC, Scammel CA, Leong M, Rand D. 1977. Temperature regulation in the smallest ungulate, the lesser mouse deer (Tragulus javanicus). Com Biochem. Physiol. 56A, 3-26. Wiliams ES, Thorne ET, Kwiatkowski DR, Lutz K, Anderson SL. 1992. Comparative vaginal cytology of the estrous cycle of black-footed ferrets (Mustela nigripes), Siberian polecats (M. eversmani), and domestic ferrets (M. putorius furo). J. Vet Diagn Invest 4: 38-44. Yudi, Yusuf TL, Purwantara B, Sajuthi D, Mulyono S, Manansang J. 2008. Biometri organ reproduksi bagian luar dan karakteristik ejakulat anoa (Bubalus sp) yang dikoleksi menggunakan elektroejakulator setelah diinjeksi hCG. Media Peternakan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan. 32:1-11. Yusuf TL. 1990. Pengaruh prostaglandin F2 dan gonadotropin terhadap aktifitas estrus dan superovulasi dalam rangka transfer embrio pada sapi Fries Holland, Bali dan Peranakan Ongole. [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Young JZ. 1981. The Life of Vertebrates. New York: Clarendon Oxford Pr. Zen Z. 1983. Pengamatan Perubahan Sitologik Hapusan Vagina Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) pada Siklus Berahi [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

111

LAMPIRAN

1. Pewarnaan Giemsa Bahan : Larutan Giemsa 50% Metanol 90% Prosedur Kerja 1. Preparat ulas kering udara, difiksasi dengan methanol, keringkan. 2. Sampel yang telah kering diteteskan dengan Giemsa selama 2-4 menit. 3. Tambahkan dengan aquabides sebanyak zat pewarna yang diberikan, didiamkan selama satu menit. 4. Giemsa dan aquabides yang terdapat pada obyek gelas tersebut dibuang. 5. Preparat selanjutnya direndam dalam Giemsa selama 8-12 menit. 6. Pencucian dengan aquabides dan dikeringkan. 2. Pewarnaan Papanicolaou Bahan : - Hematoxylin, - Larutan Shorr - Alkohol 50%, 70%, 80% dan alcohol absolute - Silol - Amoniak - Alkohol (97 bagian alkohol 70% dan 3 bagian amoniak 25%) - Ether - Alkohor (ether 50% dan 50% alkohol).

Prosedur Kerja 1. Preparat ulas kering udara difiksasi dengan ether-alkohol 30 menit, keringkan 2. Sampel yang telah kering dicelup dalam alkohol absolut, alkohol 80% dan 50%, aquadest masing-masing 15 celupan. 3. Perendaman dalam hematoksilin selama 6 menit. 4. Perendaman dalam larutan amoniak-alkohol 1 menit. 5. Perendaman dalam larutan Shorr selama 2 menit. 6. Perendaman ke dalam alkohol bertingkat 70%, 80% dan absolut masingmasing 15 kali celupan. 7. Perendaman ke dalam silol beberapa menit. Periksa di bawa mikroskop

112

3. Pewarnaan Williams Bahan : 1. 10 gr basic fuchsin dalam 100 ml alkohol 95%. 2. Saturated bluish eosin dalam alkohol 95%. 3. 10 ml basic fuchsin (hasil larutan pertama) dalam 170 ml Larutan fenol 5%. 4. Chloramin 0.5% Cara pembuatan stok pewarna Williams yaitu dengan cara mencampurkan dua bagian larutan (3) dengan satu bagian larutan (2).

Prosedur Kerja 1. Fiksasi sampel preparat ulas dari semen segar di atas api Bunsen. 2. Pencucian preparat dalam alkohol absolute selama 4 menit, lalu dikering udarakan. 3. Preparat dimasukkan dalam larutan 0.5% chloramin selama 1-2 menit sampai mucus hilang dan ulasan terlihat jernih. 4. Pencucian dengan laurtan Williams selama 8-10 menit. 5. Pencucian dengan air mengalir dan keringkan. Selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop.

113

S-ar putea să vă placă și