Sunteți pe pagina 1din 5

ANALISIS KASUS PRITA MULYASARI

Disusun oleh: Hengky Hindianto TK-1B 3.33.09.1.06

POLITEKNIK NEGERI SEMARANG

Media masa baik televisi, koran dan online telah gencar beritakan kasus seorang ibu 2 anak bernama Prita Mulyasari yang kecewa dengan pelayanan RS. Omni (Rumah Sakit Omni Internasional). Asal muasalnya adalah dari curhat rasa kecewa Prita yang tercurahkan melalui mailing list yang diikutinya. Akhirnya, berita kecewa itu menyebar dari satu email ke email lainnya, dari satu orang ke orang yag lain, dan seterusnya hingga akhirnya terbaca oleh pihak RS. Omni. Penyelesaian yang ditempuh dari pihak RS. Omni adalah dengan memperkarakan Prita dan berujung pada penjara dengan aduan pencemaran nama baik. Dan pada 13 Mei 2009 Prita dimasukkan dalam sel. Kisah Prita yang didakwa dengan Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE) tentang pencemaran nama baik lewat dunia maya menimbulkan reaksi kontraproduktif dari pengguna internet (netter & blogger) Indonesia. Dengan teknologi internet, netter menumpahkan segala pendapat yang rata-rata menentang kesewenanganRS. Omni dengan menuliskannya di blog, mendiskusikan di forum online, milis, komentar blog, dan membuat komunitas mendukung pembebasan Prita Mulyasari dengan Facebook, dll. Beberapa diantara bentuk partisipatif masyarakat terhadap kasus Prita dan RS. Omni : Banner dukungan pembebasan Prita Mulyasari yang termuat di website : http://ibuprita.suatuhari.com dan bisa dipasang pada website/blog para netter.

Sebuah halaman dalam Facebook yang menggalang partisipasi dukungan untuk : Say NO RS Omni Internasional. Sebuah halaman petisi (causes) dalam Facebook untuk pembebasan Prita Mulyasari : Petisi Dukungan Prita Mulyasari. Menurut kode etik kedokteran pasal 7C yang memperbolehkan pasien untuk mengetahui hasil pemeriksaan dokter, seharusnya dokter yang menangani Prita memberikan hasil lab yang menunjukkan bahwa trombosit sebesar 27.000 sesuai permintaan Prita. Dan menurut kode etik Rs yang ada mengatakan bahwa Hak Asasi Manusia yang menjadi pasien rumah sakit harus didahulukan sesuai dengan ajaran agarna Islam.

Soal dokter tidak memberikan keterangan obat yang disuntikkan merupakan etika komunikasi yang kerap menjadi bagian terlemah para dokter dan perawat. Inform consent (IC) minimal diperlukan saat pasien akan rawat inap, terutama jika ada tindakan (operasi) yang akan dilakukan dan saat DRM( Data Rekam Medis ) diperlukan sebagai bukti di pengadilan. Namun, apa saja yang diperlukan untuk IC bergantung pada kebijakan RS. Dalam aspek hukum, DRM menjadi alat bukti seluruh layanan yang diberikan RS terhadap pasien. Jika Prita harus berhadapan dengan pengadilan, DRM dipakai sebagai bukti dan dibawa seorang ahli medical record yang harus disumpah lebih dulu bahwa ia tidak menukar, mengurangi, atau menambah data atau informasi dalam DRM. Jika dilihat dari tulisan yang ditulis oleh Prita Etika Komunikasi Kasus Prita Sifat tulisannya cenderung deskriptif belaka. Siapa pun akan melakukan hal sama dengan Prita jika mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan. Untuk sekadar diketahui bahwa analisis wacana (discourse analysis) adalah sebuah teknik menganalisis naskah (dalam hal ini dalam bentuk tulisan e-mail yang dibuat Prita) yang bertujuan menemukan "jalan pikiran" yang terdapat dalam naskah yang dianalisis. Melalui proses pemaknaan atas bagian demi bagian dari naskah yang dianalisis dan menghubungkan antarmakna yang timbul dari setiap bagian, kita selaku analis bisa menyimpulkan "jalan pikiran" yang dikandung pada sebuah naskah. Tentu saja, setiap pembuatan sebuah naskah (wacana) seperti dilakukan Prita adalah versi si pembuatnya. Karenanya kedudukannya merupakan versi pembuatnya, ada dua konsekuensi yang mesti kita pahami bersama. Hendaknya sebuah versi wacana dipahami dari sudut pandang si pembuatnya. Jika yang bersangkutan membuat wacana itu tanpa fakta dan data, bolehlah dia disebut berbohong bahkan mencemarkan nama baik. Tetapi jika yang bersangkutan masih mengacu pada fakta dan data, tidak bisa dikatakan sepenuhnya berbohong, melainkan hanya mengungkapkan data dan data menurut versinya sendiri. Sepertinya semua opini publik seakan-akan -karena didukung oleh media massa-berada di belakang Prita. Dalam mengungkapkan informasi, Prita diasosiasikan telah melakukan komunikasi dengan prinsip etika komunitarian. Bahwasanya, apa yang dia sampaikan ditafsirkan sebagai upaya untuk kepentingan orang banyak. Kalimat pertamanya dalam tulisan e-mail di surat pembacanya itu: "Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lain. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan titel internasional karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan." Dalam kalimat ini jelas Prita mencoba mewakili kepentingan publik, kemaslahatan semua orang.

UU ITE Vs UU Perlindungan Konsumen Kenyataannya, pasal 27 ayat 3 seakan menjadi "amunisi tambahan" bagi pasal pencemaran nama baik yang biasanya hanya ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Prita adalah contoh nyata, bagaimana pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut dipergunakan. Padahal, yang dilakukan oleh Prita adalah menulis keluhan dan menyatakan haknya untuk komplain sebagai seorang konsumen. Tindakan Prita ini sebenarnya telah dijamin oleh UU Perlindungan Konsumen. Namun, patut dipertanyakan mengapa UU Perlindungan konsumen tidak dipergunakan dalam kasus ini. Seberapa besar sebenarnya pengaruh UU ITE dibanding UU Perlindungan Konsumen ? tentu tidak dapat dibandingkan. Namun, jika bicara fakta, UU Perlindungan Konsumen termasuk yang paling jarang diimplementasikan. Dari cerita di atas, sdri. Prita Mulyasari sebenarnya dapat melakukan tuntutan berupa ganti rugi atas penanganan yang keliru dari rumah sakit Omni International, atau melakukan tuntutan pidana. Hal ini telah ditegaskan dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999. Berikut petikannya: Pasal 19 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Pihak Kepolisian seharusnya mampu mengembangkan kasus tersebut dengan kemungkinan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh rumah sakit Omni International berupa pelayanan rumah sakit yang merugikan konsumen dengan pasien sdri. Prita Mulyasari, dan tidak langsung berfokus pada soal pencemaran nama baik.

Daftar Pustaka

http://www.ilunifk83.com/peraturan-perijinan-f16/kode-etik-kedokteranindonesia-kodeki-t130.htm http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=10975&coid=1&caid=34 http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/244212/ http://www.menkokesra.go.id/content/view/11446/1/ ronny-hukum.blogspot.com/2009/06/prita-mulyasari-dan-uu-ite.htm http://jakarta.wartaegov.com/index.php? option=com_content&view=article&id=3438:kasus-prita-uu-ite-vs-uuperlindungan-konsumen&catid=44:ragamberita&Itemid=56 http://news.okezone.com/read/2009/06/04/58/225991/etika-komunikasi-kasusprita http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jkptyarsi-gdl-s12002-oji-2743-kode KOMPAS, Selasa 9 Juni 2009 http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/hukumindonesia/analisa-kode-etik-jaksa

S-ar putea să vă placă și