Sunteți pe pagina 1din 3

Pengaruh Kebutuhan Kolaborasi Atas Proses Bisnis Perusahaan

Alter menyebutkan bahwa terdapat lima tingkatan integrasi antar proses bisnis, yaitu: common culture, common standards, information sharing, coordination, dan collaboration. Tingkat integrasi yang paling rendah adalah sekadar sejumlah pekerja yang memiliki budaya perusahaan yang sama, namun selain itu mereka bekerja sendiri-sendiri. Pada tingkat common standards, para pekerja proses bisnis telah memiliki terminologi yang konsisten sehingga memungkinkan interfacing secara lebih efektif. Penggunaan database bersama seperti yang diajukan sistem-sistem pertama yang terintegrasi lintas fungsi adalah contoh dari information sharing, di mana setiap proses bisnis tetap dikerjakan masing-masing, namun memakai referensi informasi yang sama. Coordination menyebabkan sejumlah proses bisnis dapat menanggapi kebutuhan-kebutuhan proses bisnis yang lain. Akhirnya, pada tingkat integrasi tertinggi yaitu collaboration, saling ketergantungan antar proses bisnis menyebabkan batasan antara proses-proses itu sudah menjadi kabur. (Alter, 2002:102) Pemaparan dari Alter ini menyebabkan pertimbangan baru dalam menentukan kebutuhan akan sistem informasi kolaborasi antar perusahaan, yaitu bahwa faktor yang harus dipertimbangkan sekarang adalah bukan lagi kolaborasi, melainkan integrasi dalam berbagai gradasinya. Misalkan, ada dua buah perusahaan yang hendak berkolaborasi, namun kedua perusahaan itu hanya memiliki tingkat integrasi terendah, yaitu common culture. Sebuah contoh yang dapat disebutkan di sini adalah toko buku Barnes & Noble dengan versi e-commerce-nya, barnesandnoble.com. Kedua perusahaan itu, meskipun memiliki induk yang sama, dioperasikan sebagai dua perusahaan yang berbeda, masing-masing memiliki manajemen dan proses bisnisnya sendiri-sendiri. (OBrien and Marakas, 2006:311) Di sini, SCM belum ada. Dua perusahaan yang memiliki bukan saja common culture tetapi juga common standards akan memiliki proses bisnis-proses bisnis yang memiliki standard yang sama, meskipun dioperasikan secara terpisah. Misalnya, kedua perusahaan menggunakan standard perangkat keras, perangkat lunak, dan jaringan yang sama. Sistem informasi seperti ini akan sangat mudah dikembangkan menjadi dasar dari sistem SCM, tetapi belum merupakan SCM. Dua perusahaan yang sudah dapat melakukan information sharing artinya bahwa kedua perusahaan tersebut dapat saling mengakses database masing-masing. Dari konteks SCM, maka hal ini berarti bahwa SCM telah terbentuk, di mana misalnya pemasok sebuah pasar swalayan dapat langsung melihat jumlah barangnya yang masih terdapat dalam inventaris pasar swalayan itu. Sistem informasi kolaborasi antar perusahaan seperti ini hanya membutuhkan hak akses belaka. Dua perusahaan yang telah melakukan coordination berarti bahwa antara proses bisnis di perusahaan yang satu dengan proses bisnis di perusahaan yang lain dapat saling merespons terhadap kebutuhan dan kelemahan masing-masing. Meskipun demikian, proses bisnis itu masih terpisah satu sama lainnya. Contoh yang dapat disebutkan di sini adalah perusahaan manufaktur yang menggunakan sistem Just-in-Time (JIT) sehingga setiap kali proses produksi akan dimulai, pemasok bahan bakunya mengirim bahan baku tersebut dalam jumlah yang tepat. Apabila karena sesuatu hal suatu rencana produksi berubah, maka idealnya pemasok bahan baku pun langsung mengetahuinya sehingga dapat

beradaptasi. Sistem informasi kolaborasi seperti ini sudah merupakan bentuk SCM yang matang dan membutuhkan sistem informasi kolaborasi antar perusahaan. Bentuk integrasi tertinggi, yaitu collaboration, merupakan bentuk di mana keterkaitan antar proses bisnis sedemikian tingginya sehingga batasan dari masing-masing proses bisnis di perusahaanperusahaan peserta menjadi kabur. Contoh yang dapat disebutkan di sini adalah collaborative commerce yang telah dijelaskan di atas. Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa telah dibentuk proses bisnis baru yang memang dilaksanakan antar perusahaan-perusahaan. Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dua jenis integrasi yang terendah tidak atau belum membutuhkan sistem informasi kolaborasi antar perusahaan, karena kedua jenis tersebut belum merupakan SCM (meskipun memiliki potensi untuk menjadi SCM). Sedangkan pada tiga bentuk yang terakhir, sangat membutuhkan sistem informasi kolaborasi antar perusahaan, meskipun dalam kadar yang berbeda: a. Pada information sharing, sistem informasi kolaborasi diadakan di masing-masing perusahaan, dan cukup menyediakan hak akses ke database masing-masing perusahaan. b. Pada coordination, sistem informasi kolaborasi diadakan di masing-masing perusahaan serta harus menyediakan hak akses ke database masing-masing, dan juga kemampuan berkomunikasi dengan baik. c. Pada collaboration, sistem informasi kolaborasi yang dibangun merupakan sistem informasi yang tidak dimiliki perusahaan mana pun, tetapi merupakan milik proses bisnis baru yang dibangun antar perusahaan. Terdapat 3 cara bagaimana kolaborator berinteraksi yaitu : conversation, transaction dan kolaborasi. 1. Conversational adalah pertukaran informasi antara dua atau lebih orang dengan tujuan interaksi berupa pembangunan relationship. Disini tidak terdapat orang sebagai pusat entitas tetapi merupakan pertukaran informasi yang bebas tanpa batasan yang didefinisikan. Teknologi komunikasi seperti telepon, instant message dan e-mail biasanya digunakan dalam interaksi conversational interaction. 2. Transactional melibatkan entitas pertukaran informasi yang berfungsi sebagai pengubah relationship sesama partisipan. Entitas transaksi mendefinisikan relationship yang baru. Misalnya seorang participant menukarkan uang dengan barang dan menjadi seorang customer. 3. Collaborative, fungsi participant dalam interaksi ini adalah untuk mengubah collaboration entity (kebalikan dengan transactional). Misalnya pembuatan sebuah ide, penciptaan sebuah desain, pencapaian sebuah tujuan. Oleh karenanya teknologi collaboration mendukung fungsionalitas patisipan untuk memperluas apa yang ingin dicapainya.

Menurut fungsinya, proses kolaborasi dapat dibagi menjadi 3 jenis: [10] 1. Komunikasi Proses-proses kolaborasi yang bertujuan mempertukarkan informasi dari satu pihak dengan pihak yang lain. Contoh : bertukar informasi melalui email, mendiskusikan sebuah topik di suatu ruang diskusi, dll.

2. Koordinasi Kolaborasi yang terjadi bertujuan untuk menghasilkan sebuah kesimpulan, misalnya pemungutan suara untuk menentukan waktu pertemuan. 3. Produksi Kolaborasi yang terjadi bertujuan untuk menghasilkan sesuatu, misalnya berkolaborasi dalam menghasilkan laporan bisnis atau kolaborasi yang terjadi antara siswa untuk menghasilkan sebuah laporan proyek, dll Sebuah aplikasi dalam sistem informasi kolaborasi dapat melakukan lebih dari satu fungsi sekaligus. Beberapa aplikasi yang lain mengkhususkan diri untuk melakukan sebuah fungsi tertentu. Sebuah organisasi yang ingin menentukan konfigurasi sistem informasi kolaborasi perlu menentukan secara spesifik fungsi-fungsi yang dibutuhkan (yang sesuai dengan business needs), kemudian menentukan aplikasi yang dapat memenuhi salah satu, atau kombinasi fungsi-fungsi tersebut. Perangkat lunak PayTPos melakukan ketiga fungsi kolaborasi tersebut, perangkat lunak ini mengkomunikasikan kebutuhan buyer terhadap suplier, kebutuhan buyer dan supplier terhadap jasa PT Pos sebagai officer, mengkoordinasikan antara buyer, supplier dan officer berupa adanya pemesanan, pengecekan balance giro sampai approval transaksi, sampai akhirnya menjalankan fungsi produksi dengan adanya transaksi, sebagai bagian dari SCM, dan dihasilkannya report dari setiap transaksi di officer. Aplikasi PayTPos sebagai aplikasi kolaborasi memiliki keunikan, yaitu menghubungkan beberapa orang ke dalam sebuah proses interaksi, padahal orang-orang tersebut dapat berada pada lokasi yang terpisah, waktu yang berbeda, namun memiliki kepentingan yang sama dalam berkolaborasi.

S-ar putea să vă placă și