Sunteți pe pagina 1din 69

PENATALAKSANAAN PERIOPERATIF PADA LUKA BAKAR

DI SUSUN OLEH

VICTOR JANSEN

PENDAHULUAN Luka bakar bukan luka biasa, luka bakar mempunyai dampak langsung terhadap perubahan lokal maupun sistemik tubuh yang tidak terjadi pada kebanyakan luka lain, merupakan kasus yang memerlukan perhatian khusus dibidang medis, Angka mortalitas masih tetap tinggi, dalam tahun 1998-2003 di RSUPN Cipto Mangunkusumo tercatat sekitar 36,5%. Di Amerika Serikat, sekitar 1,25 juta orang dirawat karena luka bakar tiap tahunnya, 50.000 pasien harus dirawat dirumah sakit, dan 5.500 pasien meninggal karena luka bakar tiap tahunnya. Luka bakar termal mempengaruhi lebih dari 2 juta orang pertahun, dengan 4% nya harus dirawat di rumah sakit dan 0,5% meninggal. Keberhasilan dari penyelamatan luka bakarberhubungan dengan umur penderita, ukuran luka bakar, dan ada atau tidaknya cedera inhalasi. Luka bakar menyebabkan banyak komplikasi dan kematian. Luka bakar berat (primary insult) dapat menyebabkan lepasnya mediator inflamasi massif yang selanjutnya menyebabkan lingkaran setan inflamasi yang menyebabkan immunosupresi meningkatkan kepekaan pasien terhadap infeksi dan kegagalan multiorgan diikuti kematian. 1,2,3

Paradigma penatalaksanaan luka bakar mengalami perubahan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran (iptekdok), khususnya bidang biomolekular dan traumatologi. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi memerlukan pendekatan beberapa disiplin ilmu (multidisipliner), bersama-sama mengupayakan penurunan mortalitas luka bakar. Dilain pihak, dengan perkembangan iptekdok yang semakin pesat, dituntut pemikiran rasional dan dasar (alasan) yang kuat dalam melakukan tindakan, tidak hanya berdasarkan logika dan intuisi semata. Oleh karenanya, diperlukan suatu standar pelayanan yang memiliki dasar keilmuan, ditunjang oleh evidence-based medicine dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Standar pelayanan dimaksud adalah suatu standar prosedur pelayanan. 4 Setiap fase luka bakar diwarnai oleh permasalahan spesifik dan perubahanInfeksi terutama pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien luka bakar. Pasien luka bakar tanpa inhalation injury yang memerlukan ventilasi mekanik menunjukkan kemungkinan mendapat pneumonia yang tinggi. Meskipun banyak kemajuan dalam memperbaiki hasil akhir dan angka harapan hidup pasien luka bakar, penatalaksanaan pasien ini masih banyak membutuhkan tantangan bagi seluruh unit perawatan yang terlibat. Referat ini akan menjelaskan perhatian khusus bagi anestesi dalam menangani pasien luka bakar. Luka Bakar Kulit memiliki berbagai fungsi mencegah kehilangan cairan, melindungi tubuh terhadap infeksi, mempertahankan suhu tubuh, memberikan stimulus sensorik, menghasilkan vitamin D dan menentukan identifikasi indivual. Ketika terjadi luka bakar kulit merupakan salah satu organ yang pertama kali mengalami paparan zat pembakar. Otomatis akan mempengaruhi fungsi-fungsi kulit sesuai dengan berat ringannya luka bakar. Tiga faktor penting yang harus menjadi perhatian pada kejadian luka bakar adalah : 1,3,5,6 1. Etiologi 2. Kedalamanan Luka Bakar secara terpadu

3. Luas Luka Bakar ETIOLOGI Berdasarkan etiologinya pembagian luka bakar berhubungan dengan pembagian jenis atau macam luka bakar, yaitu : a. b. c. d. e. Luka Bakar yang disebabkan api (Flame) Luka Bakar yang disebabkan air panas Luka Bakar yang disebabkan bahan kimia Luka Bakar yang disebabkan radiasi Luka Bakar yang disebabkan listrik (Electrical)

Kedalaman Luka Bakar Secara umum tingkat keparahan luka baka ditentukan menurut luas dan kedalaman kerusakan jaringan yang diakibatkan. Inti dari permasalahan yang timbul pada luka bakar berat adalah kerusakan endotel dan epitel akibat cedera termis yang memicu pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi dan berkembang menjadi Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Kondisi ini hampir selalu berlanjut menjadi Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan berakhir dengan kematian. Klasifikasi kedalaman luka bakar menurut Ishandono (2004) 1. Luka Bakar Derajat I Luka bakar derajat satu atau dikenal dengan Superficial Skin Burn adalah jika kulit terbakar dan berwarna merah muda, tanpa bula dan hanya mengenai epidermis. Penyebab terbanyak karena paparan berlebihan sinar matahari atau terkena cairan panas. adalah :

Gambar 1. Luka Bakar Derajat Satu

Gambar 2. Kedalaman Luka Bakar Derajat Satu

2. Luka Bakar Derajat II Luka bakar derajat dua dikenal dengan Partial Thickness Skin Burn adalah luka bakar dengan ketebalan parsial, meliputi epidermis dan dermis. Kulit

terasa nyeri, eritematous, lembab, mengandung bula dan memucat jika disentuh.

Gambar 3. Luka Bakar Derajat Dua

Gambar 4. 3. Luka Bakar Derajat III

Kedalaman Luka Bakar Derajat Dua

Luka bakar derajat tiga dikenal dengan Full Thickness Skin Burn merupakan luka bakar dengan ketebalan penuh terlihat dengan kulit yang putih, tidak terasa dan tidak memucat jika disentuh. Pembuluh darah yang trombosis kadang dapat terlihat melalui jaringan yang rusak ini, yang disebut dengan

eskar. Kehilangan cairan dan efek metabolisme dari luka bakar termal yang dalam adalah setara dengan luka bakar ketebalan penuh.

Gambar 5.

Luka Bakar Derajat Tiga

Gambar 6.

Kedalaman Luka Bakar Derajat Tiga

Luas Luka Bakar Luas Luka Bakar menggunakan Rule of Nines : Kepala leher 9 % --9% Lengan 9 % --18 % Badan depan --18 % Badan belakang --18 % Tungkai 18% --36 % Genitalia / perineum --1% -----------------------------------------------100 %

Gambar 7. Perhitungan Luas Luka Bakar Modifikasi Rule of Nines pada anak-anak : Persentasi permukaan tubuh berdasarkan umur New Born Head Trunk Arms Legs 18% 40% 16% 26% 3 tahun 15% 40% 16% 29% 6 tahun 12% 40% 16% 32%

TABEL LUND & BROWDER

EXTENT O Area Head


- Ekstremitas ----> Iskemia

Berdasarkan lokasi tempat yang terkena pada tubuh, luka bakar terbagi menjadi : Wajah Luka Bakar karena inhalasi Mata Corneal scarring, disfungsi pada mata, kebutaan Tangan dan kaki jaringan parut dan kontraktur Circumferential burns : - Neck ----> Laryngeal edema, obstruksi jalan napas - Chest wall ----> Respirasi failure

Kriteria berat ringan luka bakar menurut American Burn Association : 1. Luka bakar ringan

Luka bakar derajat II < 15 % Luka bakar derajat II < 10 % pada anak-anak Luka bakar derajat III < 1 % 2. Luka bakar sedang Luka bakar derajat II 15-25% pada orang dewasa Luka bakar derajat II 10-20% pada anak-anak Luka bakar derajat III < 10% 3. Luka bakar berat Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak Luka bakar derajat III 10% atau lebih Luka bakar mengenai tangan, wajah telinga, mata, kaki dan genitalia/perineum Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain Kategori Luka Bakar Mayor jika didapatkan : Luka Bakar derajat Dua >25% luas permukaan tubuh pada dewasa Luka Bakar derajat Dua >20% luas permukaan tubuh pada anak-anak Luka Bakar derajat Tiga >10% luas permukaan tubuh Mengenai wajah, kedua mata, kedua tangan, kaki atau perineum Semua luka bakar listrik/elektrik Semua luka bakar inhalasi Luka bakar komplikasi dengan trauma mayor lain

Permasalahan Luka Bakar Luka bakar merupakan suatu keadaan yang sangat jauh berbeda dengan penyakit atau kelainan yang ada / diketahui di dunia kedokteran. Kompleksitas permasalahan yang ada pada setiap fase menyebabkan kesulitan dalam menyusun suatu bentuk standar pelayanan baku, sehingga memerlukan beberapa alternatif.

10

Sebagai jalan keluar untuk mengatasi permasalahan standar pelayanan ini, maka penyusunan standar kembali mengacu pada evidence-based medicine yang terdiri dari beberapa kategori; menghasilkan beberapa kelas rekomendasi.1,7,8,9,10

0-48 (72)jam

s/d 21

Deteriorasi ABC

SIRS &

s/d 8-12 bulan

Parut: Hipertrofik
Keloid Kontraktur

Gambar 8. Masalah pada luka bakar berdasarkan kronologi Fase akut berlangsung selama 0-48jam bila mengacu pada proses penyembuhan luka, namun bila mengacu pada gangguan permeabilitas kapilar, fase akut dapat berlangsung lebih dari waktu tersebut. Demikian pula halnya dengan fase subakut: bila mengacu pada konsep SIRS, maka fase subakut berlangsung s/d hari ke-32 karena SIRS dapat dijumpai sampai dengan 32 hari pasca cedera. a. Permasalahan tahap awal. Sebagaimana diketahui, masalah yang timbul pada luka bakar fase akut terutama berkaitan dengan gangguan jalan nafas (cedera inhalasi), gangguan mekanisme bernafas dan gangguan sirkulasi; ketiganya menyebabkan gangguan perfusi jaringan yang menyebabkan kematian dalam waktu singkat; atau bila korban dapat bertahan (hidup) selama fase akut disertai kemungkinan timbulnya SIRS dan MODS yang berakhir fatal. Cedera inhalasi merupakan gangguan mukosa saluran nafas akibat paparan atau kontak dengan sumber termis (sangat jarang), sisa pembakaran yang tidak sempurna (toxic fumes), berbagai zat toksik seperti CO dan zat kimia lainnya. Cedera inhalasi ini umumnya dijumpai pada luka bakar yang disebabkan api,

11

terperangkap di ruang tertutup, atau terpapar pada zat kimia. Dugaan kuat mengenai adanya cedera inhalasi ini bila dijumpai luka bakar mengenai muka dan leher, serta adanya tanda bulu hidung terbakar, sputum dan liur mengandung karbon. Kerusakan mukosa sebagaimana dijelaskan juga dapat terjadi pada kasus luka bakar yang disebabkan minyak panas, air panas atau bahan kimia yang mengenai muka, leher dan dada bagian atas. Terjadi edema mukosa mulai dari daerah orofaring dan laring (saluran nafas bagian atas) sampai membran alveoli (saluran nafas bagian bawah). Gejala yang timbul sangat bervariasi tergantung derajat paparan dan penyebab. Edema yang bermakna pada saluran nafas bagian atas dapat menyebabkan obstruksi, ditandai dengan perubahan suara (serak, stridor), kesulitan bernafas, dan pasien tampak gelisah (hipoksik). Obstruksi seperti ini relatif jarang dijumpai, umumnya terjadi dalam waktu kurang dari 8jam pasca cedera dan bersifat fatal bila tidak ditangani segera. Proses inflamasi pada mukosa disertai produksi sekret yang banyak (hipersekresi) merupakan hal yang umum dan menyebabkan masalah pada saluran nafas. Inflamasi pada mukosa berlanjut dengan disrupsi; silia pada mukosa mengalami nekrosis yang kemudian lepas (sloughing mucosa), disertai fibrin-fibrin yang terbentuk pada proses dan atau partikel karbon bereaksi dengan sekret membentuk cast (mucus plug) yang sulit dilepaskan; menyebabkan obstruksi lumen. Obstruksi seperti ini lebih sering dijumpai, umumnya terjadi hari keduakeempat pasca cedera . 1,11,12,13,14,15 Pada luka bakar kimia (baik dalam bentuk cedera inhalasi maupun kontak dengan bahan kimia) dan luka bakar listrik seringkali disertai bronkospasme yang bukan merupakan hal yang umum terjadi pada luka bakar oleh sebab lainnya. Bronkospasme terjadi akibat kerusakan atau reaksi inflamasi yang melibatkan otot polos bronkus (proses inflamasi akibat luka bakar kimiawi lebih hebat dibandingkan cedera termis lainnya; sedangkan pada luka bakar listrik spasme timbul sebagai reaksi akibat aliran listrik).

12

Gangguan mekanisme bernafas Terbatas / menurunnya kemampuan bernafas oleh karena berkurangnya daya ekspansi dinding toraks disebabkan adanya eskar melingkar dan atau adanya cedera toraks yang menyebabkan gangguan pernafasan (misal pneumotoraks, hematotoraks, fraktur tulang iga dsb). Kondisi ini menyebabkan gangguan mekanisme respirasi yang berdampak pada penurunan compliance paru dan berkurangnya suplai oksigen yang diperlukan oleh sel / jaringan untuk menyelenggarakan metabolisme sehingga akan memperberat dampak dari cedera pada sel/jaringan.

Eskar melingkar di dinding dada menyebabkan gangguan proses ekspansi rongga toraks yang menyebabkan penurunan kapasitas bernafas (penurunan compliance paru).16,18,19

Gambar 9. Eskar melingkar di dada menghalangi gerakan ekspansi rongga toraks digambarkan sebagai jeratan tambang, menyebabkan penurunan compliance paru. b. Permasalahan tahap lanjut Sloughing mucosa dan jaringan nekrosis merupakan pemicu dilepaskannya mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sistemik menyerang

13

organ-organ lain, terutama parenkim paru. Parenkim paru yang terkena umumnya saluran jaringan nafas interstisiel bawah, disekitar yang pembuluh juga kapilar perialveolar, alveoli tidak menyebabkan gangguan perfusi-difusi (V/Q mismatch).1 Edema mukosa di bagian melibatkan bermanifestasikan obstruksi, namun gangguan ini biasanya timbul pada 4-5 hari pasca cedera (mungkin dijumpai sampai dengan hari ke10-15) dalam bentuk Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).14,15,16,17 Reaksi inflamasi yang timbul disebabkan beredarnya makrofag di alveolus (lihat gambar 4 di halaman sebelumnya), menyebabkan kerusakan surfaktan dan proliferasi fibrin di permukaan alveoli yang berlanjut dengan pembentukan membran serupa dengan Membrane Hyaline Disease pada neonatus (Neonatal Respiratory Distress Syndrome atau Congenital Respiratory Distress Syndrome).13,16,18

Gambar 10. Perubahan patologik membran basalis alveolus pada ARDS. Kerusakan surfaktan disertai pembentukan membran hialin yang menghalangi proses

14

perfusi difusi; terjadi karena proses inflamasi sistemik dengan fokus primer di luar paru.

PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk cedera, sehingga penatalaksanaannya secara umum sesuai dengan penatalaksanaan cedera yang diterapkan menurut Advanced Trauma Life Support (ATLS), secara khusus menurut Advanced Burn Life Support (ABLS) dijabarkan sebagai berikut: 18,20 A. Survai Primer 1. Penilaian jalan nafas (Airway) Perhatian utama ditujukan pada status pernafasan pasien yang berhubungan dengan adanya riwayat paparan saluran nafas terhadap suhu tinggi dan atau asap /sisa pembakaran yang terhisap. Adanya cedera inhalasi dicurigai pada kasus-kasus seperti dibawah ini: 1. Riwayat terbakar di dalam ruang tertutup 2. Riwayat terpapar pada ledakan 3. Luka bakar mengenai muka 4. Bulu hidung dan alis terbakar 5. Dijumpai deposit karbon dan tanda-tanda radang akut daerah orofaring 6. Sputum mengandung karbon. Komplikasi jalan napas dapat terbagi pada 3 fase sindrom : a. Komplikasi dini (0-24 jam post trauma) meliputi keracunan carbon monoxide dan direct inhalation injury, dan bisa berlanjut menjadi obstruksi airway dan edema pulmonal. b. Delayed injury (2-5 hari post trauma) terjadi respiratory distress sndrome c. Komplikasi lanjut, muncul setelah hitungan hari atau minggu, terjadi pneumonia, atelektasis, danemboli pulmonal.

15

2. Penilaian mekanisme bernafas (Breathing) Perhatian utama ditujukan pada gangguan mekanisme bernafas oleh karena adanya eskar melingkar di dinding dada dan atau ada cedera toraks (misal pneumotoraks, hematotoraks, fraktur tulang iga dsb). 14,18,21 Cedera Inhalasi Adalah suatu terminologi cedera mukosa akibat paparan terhadap cedera termis dan atau kimiawi yang terjadi pada luka bakar. Cedera panas secara langsung yang menyebabkan edema yang dapat berlanjut menjadi suatu bentuk obstruksi saluran nafas bagian atas (edema jalan nafas besar, di atas glotis) Inhalasi sisa pembakaran yang tidak sempurna (misalnya partikel-partikel karbon dan gas toksik, cedera kimiawi) yang menyebabkan (cedera di bawah glotis): - edema: edema laring - trakeobronkitis - pneumonia kondisi patologik ini menyebabkan gangguan suplai oksigen yang diperlukan oleh sel / jaringan untuk menyelenggarakan metabolisme sehingga akan memperberat dampak dari cedera pada sel / jaringan. Cedera inhalasi asap panas Insidensinya berkisar 5 35% dari semua pasien luka bakar. Angka kematian pada cedera inhalasi terisolasi sekitar 10 %, tetapi akan meningkat menjadi 2 kali lipat apabila disertai luka bakar ditempat lain. Cedera inhalasi menimbulkan efek berbahaya pada saluran nafas atas dan bawah. Produk kimiawi pada asap (seperti amonia, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan klorida) yang bereaksi dengan uap air pada saluran nafas akan menghasilkan asam dan basa kuat (misalnya sulfur dioksida akan membentuk asam sulfur). Hasil akhir ini akan menyebabkan bronkospasme, udema jalan nafas, dan ulkus membran

16

mukosa. Gas lain seperti nitrogen oksida, fosgen, asam hidroklorid, dan asam sulfur dapat menembus jalan nafas lebih dalam, sehingga dapat merusak membran alveoli, dan mengganggu aktivitas surfaktan. Hasil akhir cedera inhalasi adalah nekrosis epitel trakhea dan bronkus, sehingga menyebabkan obstruksi jalan nafas parsial atau komplit, dan merusak sistem pertahanan jalan nafas terhadap infeksi. 1,14,16,21 Senyawa aldehida seperti akrolein yang dihasilkan oleh terbakarnya katun, kayu, dan bermacam serabut sintetik akan mengganggu fungsi silier dan merusak permukaan mukosa (terjadi udema dan transudasi mukus). Kadar akrolein hanya 10 ppm sudah dapat menimbulkan udema pulmo. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat mengarahkan secara akurat terjadinya cedera inhalasi. Pasien yang ditemukan pada lingkungan api di ruang tertutup atau terjebak (misalnya di rumah atau dalam mobil) merupakan resiko tinggi terjadinya cedera inhalasi. Luka bakar pada wajah, dahak berwarna hitam (karbon), dan gangguan bernafas merupakan tanda penunjang. Pemeriksaan gas darah sangat membantu dalam penatalaksanaan berikutnya, dengan mengetahui tekanan parsial oksigen dan karbondioksida, saturasi oksigen, dan lain-lain. Pemeriksaan lainnya yang diperlukan yaitu rontgen thorak dan bronkoskopi fiberoptik. Terdapat hubungan antara gambaran bonkoskopi dengan faktor resiko cedera inhalasi yang dapat meningkatkan akurasi diagnosis. Gambaran bronkoskopi yang positif menunjukkan terjadinya cedera inhalasi didapatkan pada 96 % pasien yang memiliki trias: api di ruang tertutup, kadar karboksihemoglobin >10 %, dan dahak berwarna hitam karbon. Gambaran positif muncul sebesar 70% pada pasien yang hanya memiliki 2 parameter klinis cedera inhalasi, dan hanya <30% pada pasien dengan 1 parameter klinis cedera inhalasi. Penatalaksanaan cedera inhalasi yang terpenting adalah intubasi trakheal seawal mungkin, dengan bantuan ventilasi mekanik dan perawatan intensif untuk mengantisipasi terjadinya bronkospasme berat, kerusakan alveolar, dan udema paruparu. Komponen senyawa kimiawi khusus, seperti karbonmonoksida dan sianida, memerlukan penanganan yang lebih spesifik.

17

Cedera sistem respirasi yang tidak langsung terjadi pada pasien luka bakar di kulit tanpa ada bukti klinis terjadi cedera inhalasi. Mekanismenya bermacam-macam, misalnya akibat resusitasi cairan yang masif, atau akibat terjadinya penurunan tekanan onkotik plasma melalui kehilangan protein plasma melalui jaringan luka bakar. Mediator inflamasi (lipid peroksida, prostanoid, komplemen) yang dilepaskan oleh jaringan yang terbakar juga ikut berperan dalam terjadinya udema paru-paru.
1,4,12,16

Penatalaksanaan Jalan Nafas Informasi awal yang harus diperoleh adalah ada tidaknya abnormalitas jalan nafas sebelumnya, cedera jalan nafas yang ada sekarang, dan tanda-tanda obstruksi jalan nafas. Setelah informasi terkumpul, maka rencana terbaik dalam penatalaksanaan jalan nafas dapat segera disusun saat pasien datang ke rumah sakit. Meskipun jalan nafas pasien tampak normal, perlu dipertimbangkan untuk melakukan intubasi endotrakheal profilaktik. Tidak semua cedera jalan nafas bermanifestasi segera. Udema jalan nafas yang berhubungan dengan resusitasi cairan masif dapat mengganggu jalan nafas dan mempersulit dilakukannya intubasi trakhea. Sebagai kaidah umum, lebih baik melakukan intubasi pasien luka bakar secepatnya daripada terlambat melakukannya. 1,2,9,11,15, Apabila terdapat cedera jalan nafas atas dengan tanda obstruksi jalan nafas, pasien memerlukan intubasi trakheal sesegera mungkin. Sehingga diperlukan tenaga dan sarana yang mencakup anestesiolog yang berpengalaman, peralatan untuk berbagai macam teknik intubasi, mesin anestesi, dan termasuk kemungkinan dilakukannya pembebasan jalan nafas secara operatif. Patofisiologi kerusakan parenkim paru sampai saat ini penyebabnya belum jelas, apakah disebabkan langsung oleh panas (thermal) atau bahan-bahan kimia (chemical) atau karena efek tidak langsung akibat terapi cairan yang berlebihan, infeksi sekunder, ARDS ataupun karena edema paru.

18

Gangguan pernapasan umumnya disebabkan karena kerusakan termal atau kemikal pada permukaan epitel pada saluran napas. Kerusakan sekunder disertai pneumonia bakterial dapat terjadi beberapa hari setelah terpapar, yang selanjutnya menyebabkan kerusakan sitotoksik. Proses inflamasi akan menyebabkan infiltrasi neutrofil, merusak makrofag dalam alveoli, sehingga memudahkan berkembang biak. Hipoksemia terjadi karena penurunan konsentrasi oksigen yang dihisap pasien ditempat kejadian, sumbatan jalan napas, kerusakan parenkim paru atau toksn-toksin (sianida dan CO) yang menghambatan transport oksigen ke jaringan. Disfungsi multi organ yang sering timbul akibat hipoksia tersebut akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas meningkat tajam. ---Penatalaksanaan luka bakar tanpa distress pernapasan : 1. Intubasi (pemasangan pipa endotrakeal) tanpa menggunakan pelumpuh otot dan tanpa ventilator 2. Pemberian oksigen 2-4 liter/menit melalui pipa endotrakeal 3. Penghisapan sekret secara berkala 4. Humidifikasi dengan pemberian nebulizer setiap 6 jam 5. Pemberian bronkodilator (Ventolin inhalasi) dilakukan bila jelas dijumpai gejala dan tanda distress pernapasan 6. Pemantauan gejala/tanda distress pernapasan : a. Gejala subyektif : gelisah, sesak napas b. Gejala obyektif : peningkatan frekuensi pernapasan (>30 x/menit), sianotik, stridor, aktivitas otot pernapasan bertambah c. Untuk pemantauan ini dilakukan pemeriksaan : * Analisis gas darah : - pada pertama kali penderita ditolong (saat resusitasi) - pada 8 jam pertama - dalam 24 jam pasca cedera - selanjutnya sesuai kebutuhan bakteri

19

Foto thorax 24 jam pasca cedera

7. Pemeriksaan radiologi 8. Pelaksanaan dilakukan di ruang resusitasi instalasi gawat darurat

Penatalaksanaan Cedera Inhalasi Kasus luka bakar dengan kecurigaan / bukti klinis-obyektif adanya cedera inhalasi (seperti edema muka sekitar hidung-mulut dan leher, bulu hidung terbakar dan edema mukosa hidung) tanpa gejala dan tanda distres pernafasan. Pada kasus ini mendapat perhatian dan perlakuan secara khusus dalam 8 (delapan) jam pertama pasca kejadian, didasari pemikiran bahwa obstruksi akibat edema mukosa saluran nafas bagian atas (edema jalan nafas besar, di atas glotis) biasanya terjadi dalam kurun waktu tersebut; meskipun obstruksi dapat terjadi dalam 24-36 jam pertama (edema jalan nafas dengan diameter lebih kecil). Pada umumnya kondisi ini disebabkan oleh cedera termis. 2,16,17,20 Prosedur yang dilakukan, antara lain: 1. Intubasi dan atau krikotiroidotomi: - Bila dijumpai distres pernafasan, kerjakan krikotiroidotomi - Bila tidak dijumpai distres pernafasan, kerjakan intubasi dan atau krikotiroidotomi Intubasi (pemasangan pipa endotrakea) tanpa menggunakan pelumpuh otot sebagai premedikasi, dilanjutkan perawatan dengan atau tanpa ventilator 2. Pemberian oksigen 2-4 liter/menit melalui pipa endotrakea 3. Penghisapan sekret secara berkala 4. Humidifikasi dengan melalui pipa endotrakea dan atau kanula krikotiroidotomi selama 24 jam 5. Lavase bronko-alveolar (bronchial washing, pulmonary toilet) untuk melepaskan sekret kental yang melekat dan mengencerkannya serta membersihkan sloughing mucosa yang memicu terbentuknya cast penyebab obstruksi.

20

6. Pemberian bronkodilator-selektif secara inhalasi: 1 ampul diuapkan dalam nebulizer, 3 kali sehari; dilakukan bila cedera inhalasi disebabkan oleh sisa pembakaran tak sempurna yang berasal dari bahan-bahan kimiawi (luka bakar kimia dan luka bakar listrik). 7. Pemantauan gejala dan tanda distres pernafasan: Gejala subyektif : gelisah (akibat hipoksia), sesak nafas (dispnu). Pada penderita yang gelisah selalu dipikirkan kemungkinan pertama telah terjadi hipoksemia khususnya pada sirkulasi serebral sebagai penyebab kegelisahan. Kemungkinan oleh sebab lain dipikirkan kemudian. Gejala obyektif : Klinis: peningkatan frekuensi pernafasan (>30kali per menit), pernafasan dangkal, sianotik, stridor, aktivitas otot-otot pernafasan tambahan, Pemeriksaan bantuan: perubahan nilai hasil pemeriksaan analisis gas darah (yang terjadi pada masa akut / 8 jam pertama pasca kejadian) sementara gambaran perselubungan / infiltrat pada paru biasanya baru dijumpai >24jam s/d 4-5 hari (biasanya dikaitkan dengan entitas Acute Respiratory Distress Syndrome, ARDS), untuk pemantauan ini , maka dilakukan pemeriksaan : a. Analisis gas darah serial 1. Pertama kali pasien ditolong (saat resusitasi) 2. Dalam 8jam pertama 3. Dalam 24jam pasca cedera 4. Selanjutnya sesuai kebutuhan b. Foto toraks/paru, 24jam pasca cedera dan 3-4 hari pasca cedera. Pemeriksaan radiologik (foto toraks/paru) dikerjakan bila masalah pada jalan nafas, pernafasan dan gangguan sirkulasi telah diatasi. 8. Pelaksanaan intubasi-krikotiroidotomi dan perawatan jalan nafas dilakukan di Ruang Resusitasi Instalasi Gawat Darurat (IGD) 9. Tindakan resusitasi jalan nafas dilakukan sebelum tindakan resusitasi cairan

21

10. Penatalaksanaan di ruang intensif selanjutnya adalah perawatan saluran nafas (trakeostomi atau krikotiroidotomi) dengan penghisapan sekret secara periodik, humidifikasi dan lavase bronkial (bronchial-washing, pulmonary toilet). Seringkali dijumpai sekret kental bercampur dengan sloughing mucosa yang dapat menyebabkan obstruksi (cast, mucus plug) dengan gejala distres pernafasan; dalam hal ini diperlukan prosedur pembersihan kanula trakeostomi trakeostomi / krikotiroidotomi secara periodik. 11. Prosedur rehabilitasi pernafasan dilakukan dengan cara mengatur posisi pasien (duduk atau setengah duduk, pronasi), vibrasi dan latihan otot-otot pernafasan baik secara pasif maupun aktif, latihan refleks batuk dsb dimulai sejak awal. Penatalaksanaan cedera inhalasi tanpa distres pernafasan diperlakukan sebagai cedera inhalasi dengan distres pernafasan (lebih agresif), sampai terbukti tidak ada distres pernafasan yang membahayakan jiwa pasien. Intubasi dan atau krikotiroidotomi disini bukan merupakan sarana mengatasi obstruksi jalan nafas akut, namun untuk memfasilitasi perawatan jalan nafas. Dengan intubasi dan atau krikotiroidotomi, perawatan jalan nafas (penghisapan sekret, humidifikasi, lavase bronko-alveolar, dsb) dapat dikerjakan secara optimal. Penatalaksanaan cedera inhalasi dengan distres pernafasan yang bersifat gawat darurat memerlukan tindakan agresif agresif untuk mengatasi distres pernafasan yang membahayakan jiwa pasien. Yang terbaik adalah melakukan trakeostomi / krikotoroidotomi. Distres pernafasan merupakan suatu kondisi yang membahayakan jiwa pasien karena terjadi hipoksia jaringan (khususnya membahayakan sel-sel glia/otak yang akan menyebabkan gangguan sentral dan sistemik). Upaya memelihara tersedianya suplai oksigen dilakukan secara maksimal dengan menjaga patensi saluran nafas (baik dengan intubasi maupun trakeostomi / krikotiroidotomi), perawatan saluran nafas dengan melakukan penghisapan sekret secara berkala, humidifikasi (menggunakan uap air) untuk mengencerkan sekret kental; serta menyediakan suplai oksigen 2-4 liter per menit.

22

Dengan perawatan ini, proses inflamasi pada mukosa akan diredam, saluran nafas bebas dan suplai oksigen akan terselenggara baik. Proses pembuktian (sekaligus perawatan saluran nafas) terbaik dikerjakan menggunakan bronkoskop, sehingga diagnosis cedera inhalasi dapat ditegakkan lebih awal dan penatalaksanaan selanjutnya menjadi lebih tepat. Bila kasus ini diabaikan (tidak melakukan tindakan perawatan secara agresif, hanya melakukan observasi saja) pada saat proses inflamasi semakin hebat dan manifestasi distres pernafasan menjadi nyata, pertolongan (resusitasi) jarang memberikan hasil baik. Prosedur Intubasi Endotrakea dan Krikotiroidotomi Sebagaimana diketahui, tujuan prosedur intubasi disini yang utama ada dua, yaitu : pertama, mempertahankan patensi jalan nafas (mencegah atau mengatasi obstruksi terutama jalan nafas bagian atas) dan kedua, sebagai fasilitas pemeliharaan jalan nafas (penghisapan lendir berkala, lavase bronko-alveolar); yang tidak selalu harus dilanjutkan dengan penggunaan ventilator.1,11 Premedikasi dan pemberian zat pelemas otot bertujuan mempermudah prosedur intubasi (mengatasi spasme) pada pembiusan elektif, yang kemudian dilanjutkan dengan penggunaan ventilator. Pada cedera inhalasi (yang merupakan kasus gawat darurat), premedikasi justru menekan respon tubuh yang terjadi (sebagai mekanisme kompensasi pada suatu cedera) sehingga akan membahayakan pasien. 1,4,15,18 Intubasi pada prosedur elektif dimungkinkan untuk dikerjakan sampai dengan tiga kali diselingi oksigenasi; ketentuan ini tidak berlaku pada prosedur intubasi emergensi pada cedera inhalasi karena akan memperberat patologi mukosa. Penerapan klinik kedua hal tersebut di atas memang tidak mudah, namun dengan keahlian dan pengalaman hal ini menjadi relatif mudah. Yang perlu diperhatikan adalah prinsip-prinsip yang mendasar disertai rasionalitas (evidence based), oleh karenanya tidak ada gold standard untuk masalah ini.6-7 Krikotiroidotomi dan atau trakeostomi emergensi menjadi topik pro dan kontra karena dianggap terlalu agresif dan menimbulkan morbiditas lebih besar

23

dibandingkan intubasi. Sebetulnya prosedur krikotiroidotomi lebih mudah dikerjakan tanpa morbiditas berarti, namun jelas efektif menurunkan mortalitas. Penggunaan kanula trakeostomi tidak menimbulkan permasalahan yang timbul akibat adanya pipa panjang di bronkus: bertambahnya dead space,8 berkurangnya volume tidal, memfasilitasi reaksi inflamasi dengan manifestasi bertambahnya hipersekresi dan meningkatkan kemungkinan terbentuknya mucus plug dan atelektasis. Karenanya, timbul pemikiran untuk melakukan krikotiroidotomi primer maupun konversif pada kasus-kasus yang diperkirakan akan lama menggunakan intubasi (lebih dari 2 minggu, misalnya pada luka bakar luas disertai cedera inhalasi) dan memerlukan ventilator.11-13 Disamping itu, efektifitas intubasi dipertanyakan dalam hal perawatan jalan nafas (humidifikasi, penghisapan sekret dsb); yang tidak demikian halnya dengan krikotiroidotomi.

Penggunaan pipa dengan balon (cuff) menimbulkan pro dan kontra. Balon akan menyebabkan iritasi pada mukosa yang inflamatif dan menyebabkan mukosa bronkus di sepanjang pipa yang terletak ke arah proksimal (oral/nasal) tidak mendapat perawatan jalan nafas sebagaimana tujuan utama prosedur intubasi itu sendiri.

24

Namun, terlepas dari kelebihan / kekurangan masing-masing, intubasi atau krikotiroidotomi mutlak dikerjakan dalam resusitasi jalan nafas (Rekomendasi A).7 Prosedur intubasi harus dilanjutkan dengan perawatan pipa secara periodik (tiap 2-5 hari)7; bila perawatan pipa tidak dimungkinkan (pipa dibersihkan di luar) maka segera konversi ke krikotiroidotomi, terapi inhalasi (nebulization), lavase bronko-alveolar, pemberian bronkodilator dan terapi oksigen. Prosedur Intubasi Indikasi Airway maintenance 1. Selama prosedur anestesi 2. Pada keadaan-keadaan darurat: a. Obstruksi jalan nafas bagian atas (trauma jalan nafas bagian atas memerlukan krikotiroidotomi) b. Facial burns c. Cedera kepala dan leher d. Respiratory failure e. Cardiac arrest f. Aspirasi isi lambung Kontraindikasi - Kondisi hipoksik Untuk prosedur intubasi elektif atau kondisi darurat, selalu upayakan ventilasi O2 menggunakan sungkup (face mask) dan breathing bag sebelum prosedur intubasi - Cedera vertebra servikalis Untuk melakukan maintain jalan nafas, upayakan melalui prosedur krikotiroidotomi sebagai upaya mencegah ekstensi kepala saat prosedur intubasi. 1,11,17,21 Intubasi pasien luka bakar dengan kemungkinan intubasi sulit

25

Teknik paling aman pada kasus ini adalah melakukan intubasi pada kondisi pasien sadar. Kunci penanganan pada teknik ini adalah anestesi topikal yang adekuat, memposisikan pasien dengan baik, dan pemberian oksigen dengan baik. Pemberian opioid intravena dapat diberikan untuk analgesi sistemik, tetapi obat sedatif harus hati-hati atau jangan diberikan pada pasien ini karena dapat memperburuk kondisi jalan nafas. Teknik intubasi yang ideal adalah dengan menggunakan fiberoptik fleksibel, meskipun teknik terbaik tergantung kemampuan dan pengalaman anestesiolog yang ada. Apabila jalan nafas bagian atas sudah sangat rusak atau intubasi trakheal tidak bisa dilakukan, perlu dilakukan tindakan penanganan jalan nafas dengan pendekatan pembedahan (krikotiroidotomi jarum, krikotiroidotomi pembedahan, atau trakheostomi). Pasien anak yang memerlukan intubasi perlu dilakukan induksi dengan inhalasi (halotane atau sevoflurane), karena umumnya mereka tidak kooperatif. Pemilihan pipa endotrakheal (dengan atau tanpa balon/cuff) memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. Secara umum lebih disukai menggunakan pipa endotrakheal tanpa balon pada pasien bayi/anak, karena diameter pipa endotrakheal akan lebih besar dan cincin krikoid yang sempit akan menyekat kebocoran aliran udara dengan baik. Pasien anak yang lebih besar dan pasien yang memerlukan tekanan inspirasi tinggi selama menggunakan ventilator mekanik akan memerlukan pipa endotrakheal dengan balon. Stridor pasca ekstubasi merupakan komplikasi intubasi trakheal tersering pada anak akibat terjadinya udema jalan nafas. Ekstubasi dilakukan jika udema jalan nafas sudah tidak ada, yang dapat diketahui dengan adanya kebocoran aliran udara disekitar pipa endotrakheal atau dengan melihat secara langsung menggunakan laringoskopi direk. Perlu dilakukan pengawasan ketat terjadinya obstruksi jalan nafas pasca ekstubasi selama 24-48 jam. Intubasi pada pasien luka bakar tanpa prediksi intubasi sulit Apabila pasien tidak terdapat prediksi intubasi sulit, intubasi dilakukan dengan teknik urutan cepat (RSI) menggunakan induksi intravena dan pelumpuh otot

26

kerja cepat. Telah diketahui bersama bahwa pemberian suksinilkolin tidak aman pada pasien > 24 jam pasca luka bakar. Reseptor asetilkolin ekstrajungsional berproliferasi setelah terjadi luka bakar, akibatnya terjadi pelepasan kalium yang berlebihan setelah pemberian suksinilkolin. Peningkatan cepat kadar kalium sampai > 9 mMol/L pernah dilaporkan, dan dihubungkan dengan terjadinya henti jantung mendadak. Masih terdapat jeda waktu aman sampai 24 jam pasca terjadi luka bakar, karena proses proliferasi reseptor membutuhkan waktu beberapa hari. Masih belum jelas sampai berapa lama respon hiperkalemi ini akan terjadi. Rokuronium dosis tertentu dapat digunakan sebagai alternatif pemakaian suksinilkolin untuk RSI. Ekstubasi 1. Hisap sekret di faring 2. Hisap pipa endotrakea: Batasi hanya sekitar 10 detik Bila tidak ada sekret, dengan sendirinya prosedur ini tidak diperlukan 3. Ventilasi pasien Gunakan breathing bag dengan oksigen 100% Beri beberapa pernafasan dalam 4. Pencabutan pipa Kempeskan cuff Penarikan pipa dilakukan setelah inspirasi dalam Berikan O2 melalui sungkup (face mask) Krikotiroidotomi untukemergency airway maintenance Indikasi Emergency airway maintenance setelah kegagalan intubasi Obstruksi orofaring akibat trauma atau benda asing. Krikotiroidotomi merupakan tindakan darurat, lebih cepat dan aman dibandingkan trakeostomi pada kondisi genting, dapat dikerjakan di luar ruang operasi.

27

Persiapan alat : Pemegang pisau No 3 Blade skalpel No 11 Dilator Delaborde Hemostat Needle holder Jarum dan benang bedah Suction equipment Semprit 10ml Set trakeostomi ukuran standar dengan soft cuff Teknik 1. Pengaturan posisi: supine, tempat tidur di sisi kepala elevasi 15 derajat dan bahu diganjal, hiperekstensi leher 2. Tindakan a dan antisepsis 3. Persiapkan pipa / kanul trakeostomi, periksa adanya kebocoran cuff dengan mengembangkannya di dalam air pada kanula. 4. Identifikasi anatomical landmark Palpasi ruang krikotiroid Pegang kartilago tiroid di antara jari pertama dan kedua 5. Infiltrasi anestesi lokal, terutama transversal melintasi membran krikotiroid 6. Insisi membran krikotiroid 7. Sayat kulit dan membran krikotiroid menggunakan blade skalpel sampai menembus trakea. Perlebar sayatan masing-masing 1cm ke setiap sisi 8. Insersi dilator Delaborde. Insersi dilator pada sayatan disisi blade; cabut blade 9. Insersi pipa trakeostomi 10. Kembangkan dilator 11. Insert pipa trakeostomi dan obturatornya 12. Lepaskan obturator

28

13. Penghisapan trakea 14. Ventilasi melalui pipa trakeostomi 15. Kembangkan cuff dengan tekanan minimal 16. Pengamanan pipa trakeostomi: Jahitkan wing trakeostomi ke kulit. Pita trakeostomi lingkarkan ke leher pasien 17. Balut dengan kasa steril Penggunaan ventilator Respirasi inadekuat memerlukan bantuan ventilator mekanik. Penggunaannya didasari pertimbangan klinik, khususnya pada fase awal dan bukan pada fase terminal. Namun, parameter yang umum diterapkan untuk menentukan indikasi penggunaan ventilator berdasarkan adanya tanda-tanda gagal nafas, yaitu frekuensi pernafasan >30kali per menit, aktivitas otot pernafasan tambahan, hipoksemia (PaO2 <70mmHg), hiperkapnia (PaCO2 <50mmHg) dan kapasitas vital <4mL/kg. Rasio PaO2/FiO2 turun <200, menunjukan kerusakan parenkim paru yang serius, biasanya berakhir fatal. Penatalaksanaan eskar melingkar di dada Kasus luka bakar dengan kecurigaan / bukti klinis-obyektif adanya cedera inhalasi seperti edema muka sekitar hidung-mulut dan leher, bulu hidung terbakar dan edema mukosa hidung; tanpa gejala dan tanda distres pernafasan. 1,3,4,17 1. Pemantauan gejala dan tanda distres pernafasan: Gejala subyektif : gelisah (akibat hipoksia), sesak nafas (dispnu) Gejala obyektif : peningkatan frekuensi pernafasan (>30kali per menit), dangkal, disertai tanda-tanda distres pernafasan lain sebagaimana dijelaskan sebelumnya. 2. Untuk pemantauan ini, dilakukan pemeriksaan sebagaimana penatalaksanaan cedera inhalasi. 3. Sayatan-sayatan pada kulit menembus seluruh ketebalan eskar (eskarotomi) untuk melepaskan jeratan eskar yang menyebabkan gangguan ekspansi rongga toraks di

29

beberapa tempat; dengan atau tanpa anestesi lokal menggunakan pisau dengan bilah no 10, 22 atau 24. 4. Tindakan ini dilakukan sebelum tindakan resusitasi cairan 5. Pelaksanaannya dilakukan di Ruang Resusitasi Instalasi Gawat Darurat (IGD) 6. Penatalaksanaan di ruangan selanjutnya adalah melakukan perawatan luka sayatan Kasus ini mendapat perhatian dan perlakuan khusus terutama pada kesempatan pertama pasca kejadian, didasari pemikiran: Suplai oksigen yang adekuat harus terselenggara dalam memperbaiki perfusi selular/jaringan untuk mencegah disfungsi organ yang akan berlanjut dengan kerusakan yang bersifat ireversibel. Suplai oksigen terganggu bukan hanya disebabkan karena adanya gangguan jalan (saluran) nafas semata, namun juga karena adanya gangguan mekanisme respirasi (ekspansi rongga toraks) yang disebabkan adanya eskar melingkar di dinding rongga toraks. Beberapa sayatan pada eskar (eskarotomi) akan melepaskan jeratan eskar sehingga gerakan ekspansi rongga toraks dapat terselenggara dengan baik. Penatalaksanaan eskarotomi dikerjakan sebagai prioritas kedua setelah resusitasi saluran nafas. Sebagai dasar ilmiah bahwa Complance paru dipengaruhi oleh gerakan dinding dada pada proses respirasi. Adanya eskar khususnya melingkar akan menyebabkat limitasi gerakan dinding dada sehingga menurunkan kapasitas pengembangan paru 1,3,21. B. Penilaian Sirkulasi (Circulation) Perhatian utama ditujukan pada adanya manifestasi klinik syok hipovolemia intravaskular dan syok selular yang timbul pada luka bakar (yaitu: gangguan kesadaran, pucat, takikardi, nadi cepat dan tidak teratur disertai pengisian kapilar yang tidak adekuat atau uji pengisian kapilar > 2detik, suhu tubuh turun baik suhu sentral maupun perifer) .1,9,17 Patofisiologi gangguan sirkulasi pada luka bakar

30

Setelah suatu cedera termis, terjadi pelepasan histamin yang diikuti oleh aktivasi faktor komplemen yang mengakibatkan perlekatan leukosit PMN dengan endotel. Endotel inflamatif melepaskan radikal bebas, diikuti oleh peroksidasi lipid yang mengaktivasi metabolisme asam arakidonat. Hal ini menyebabkan aktivasi kaskade koagulasi dan pelepasan sitokin, khususnya interleukin (IL1 dan IL6) serta tumor necrotizing factor (TNF ). Proses inflamasi mengakibatkan perubahan morfologi endotel (membulat) dengan jarak interselular membesar, mengakibatkan perubahan keseimbangan tekanan onkotik di ruang intravaskular dan interstisiel dan keluarnya cairan ke ruang interstisiel (patogenesis edema interstisiel). Edema interstisiel menyebabkan hipovolemia dengan dampak gangguan sirkulasi, dengan akibat hipoksia (gangguan perfusi) jaringan dengan dampak terganggunya metabolisme sel (metabolisme aerob berubah menjadi metabolisme anaerob); sementara penimbunan cairanpun merupakan penyebab terjadinya gangguan perfusi distal dari daerah edema. Hipoksia jaringan berlanjut diperberat dengan beredarnya hasil metabolisme anaerob, pelepasan radikal bebas dan mediator-mediator pro-inflamasi lainnya menyebakan gangguan perfusi bertambah berat (cedera reperfusi) dengan akibat disfungsi organ yang berakhir dengan kegagalan organ menjalankan fungsinya .1,9,17 Ernest H Starling (1866-1927, Physiologist di London, UK) menjelaskan faktor yang menentukan perpindahan cairan melalui endotel kapilar. Menurutnya, perpindahan cairan ke ruang interstisiel dikendalikan oleh gradien tekanan hidrostatik yang dilawan oleh gradien tekanan osmotik dari koloid; dikenal sebagai hukum Starling (Starlings forces) : 1 Jv = Kf (PMV PIS) - (COPMV COPIS) Jv : mencerminkan kecepatan filtrasi cairan melalui kapilar Kf : koefisien ultrafiltrasi (ukuran permeabilitas) PMV : tekanan hidrostatik di dalam kapiler PIS : tekanan hidrostatik di ruang interstitiel S : koefisien-refleksi dan nilai relativ yang menggambarkan kemampuan membran

31

semipermeabel mencegah berpindahnya cairan COPMV : tekanan onkotik di kapiler COPis : tekanan onkotik koloid di jaringan Peningkatan permeabilitas dari tempat yang mengalami luka bakar dan melalui jalur mikrovaskular menyebabkan pergeseran cairan dari volume plasma ke ruang interstitial. Terjadi destruksi sel darah merah, hematokrit akan meningkat karena kontraksi dari volume intravaskular. Penurunan volume intravaskular paling sering terjadi pada 24 jam pertama dan digantikan dengan cairan kristaloid (seperti Ringer Laktat 2-4 ml/kg per persentasi luas luka bakar). Cardiak output akan menurun seiring terjadinya kontraksi dari volume plasma dan faktor yang mendepresi sirkulasi miokardial. Perfusi dari organ vital dimonitor dengan mengukur urine output lewat folley kateter. Jika volume replacement tidak adekuat maka pemberian supportif obat inotropik dengan Dopamine dapat dipertimbangkan. Untuk dapat mempertahankan keseimbangan (cairan tetap berada di dalam ruang intravaskular), harus mempunyai nilai besar (mendekati 1.0). Nilai berbeda pada tiap jaringan; misalnya, paru tergolong moderately permeable (= 0.6); otot tergolong moderately impermeable ( = 0.9); otak dan glomerulus sangat impermeable terhadap protein (= 0.99 dan 1.0). Nilai pada jaringan lain misalnya hati sangat rendah (= 0). 1,2,8 Pada syok luka bakar, terjadi kerusakan endotel yang diikuti oleh perubahan nilai Kf. Dengan sendirinya terjadi perpindahan cairan dari ruang intravaskular ke ruang interstisiel. Starling equation ini berlaku untuk semua jenis cairan yang diberikan, misalnya cairan koloid. Maka COPMV dan COPis adalah nilai-nilai cairan koloid, demikian pula halnya dengan nilai . Bila nilai koloid adalah sama dengan 1.0, maka cairan tersebut akan tetap dipertahankan di dalam ruang intravaskular. Kristaloid memiliki nilai kecil, sehingga pemberian cairan kristaloid akan diikuti perpindahan cairan ke ruang intrerstisiel. Gangguan perfusi merupakan suatu kondisi penyebab hipoksemia yang menjadi fokus perhatian pada patofisiologi syok mengikuti suatu cedera berat. Kerusakan organ yang terjadi sangat tergantung dari waktu karena masing-masing

32

organ mempunyai batas toleransi tertentu untuk kondisi hipoksia ini (waktu iskemik). Sel-sel glia hanya memiliki waktu iskemik 4 menit. Degenerasi sel-sel glia terjadi bila waktu iskemik ini dilampaui, dengan akibat edema serebri disertai gangguan sistim autoregulasi (dengan gejala perubahan derajat kesadaran, hipotensi, takikardia, hiponatremiahipomagnesia dan hipo-atau hipertermi). Sel-sel tubulus ginjal memiliki waktu iskemik 8jam; nekrosis tubular akut yang berlanjut sebagai gagal ginjal akut terjadi bila waktu iskemik ini dilampaui. 2 Sel-sel otot polos memiliki waktu iskemik berbeda dengan otot lurik; otot polos memiliki waktu iskemik 4jam sedangkan otot lurik lebih lama dari itu (kurang lebih 8-10jam). Bila waktu iskemik ini dilampaui, terjadi penguraian aktin dan miosin diikuti peningkatan aktivitas siklus urea dan pelepasan oksida nitrit (NO, radikal bebas, modulator sepsis). Sel-sel mukosa usus memiliki waktu iskemik 4jam; disrupsi mukosa usus diikuti gejala sindroma malobsorpsi dengan intoleransi, diare dan enterokolitis, perdarahan saluran cerna dan translokasi bakteri. 1,4,7

Gambar 12 . Skema sirkulasi yang menggambarkan bejana berhubungan; pada keadaan normal (kiri) dan pada kondisi syok (kanan). Terjadi hipoperfusi pada sirkulasi periferal yang sampai saat ini masih seringkali disebut-sebut sebagai suatu bentuk vasokonstriksi. Terlihat dari skema ini, dengan hipoperfusi periferal yang terjadi akibat mekanisme kompensasi memenuhi kebutuhan sirkulasi sentral, organ-organ periferal mengalami iskemi dan mengalami disfungsi.

33

Hipoperfusi splangnikus menjadi fokus perhatian utama karena disebut-sebut sebagai motor penggerak timbulnya MODS. Sirkulasi splangnikus merupakan bagian dari sirkulasi perifer yang pada keadaan normal menyerap 25% sirkulasi sistemik (sementara sirkulasi renal hanya 20%). Segera setelah makan, terjadi peningkatan sirkulasi di daerah splangnikus (30-40% sirkulasi sistemik beredar di mukosa saluran cerna) untuk proses digesti (hal ini menjelaskan berkurangnya sirkulasi ke serebral yang menyebabkan timbulnya rasa kantuk setelah makan). 2,16 Pada kondisi syok (hipovolemia), perfusi splangnikus jauh berkurang karena berperan sebagai kontributor utama dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi sentral (serebral, kardial dan pulmonal); mengikuti kompensasi tubuh berupa peningkatan aktivitas kardial dan pulmonar; mendahului kontribusi sirkulasi renal. Pelepasan radikal bebas dan mediator pro-inflamasi dari mukosa disruptif ke sirkulasi, diikuti peningkatan netrofil yang beredar di sirkulasi (peningkatan neutrophil recruitment) dengan dampak timbulnya gejala di luar saluran cerna seperti : 1. Beredarnya netrofil dan makrofag di pembuluh peri-alveolar, dengan akibat proses inflamasi dan pembentukan membran di mukosa alveolus yang menyebabkan gangguan perfusi-difusi, dikenal sebagai Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang bersifat fatal. 2. kerusakan hepatosit, juga secara langsung disebabkan adanya hipoperfusi splangnikus, dengan dampak gangguan hepatik: a) Gangguan sintesis protein, ditandai dengan penurunan kadar albumin yang memperberat kebocoran protein dengan adanya gangguan permeabilitas kapilar. Selain albumin, faktor pembekuan, antithrombin III dan Protein C terganggu menyebabkan kekacauan metabolisme bertambah berat. b)Gangguan sintesis enzimatik, ditandai dengan peningkatan kadar SGOT dan SGPT. Disamping itu, timbul resistensi insulin yang menjadi topik diskusi pada tahun-tahun terakhir.

34

3. iskemi dan aktivasi Myocardial Depressant Factor (MDF) yang menyebabkan infark miokard, berakhir fatal.

Gambar 13. Iskemia miokardium berlanjut menjadi infark akibat pelepasan Myocardial Depressant Factor (MDF) 4. 5. Kerusakan organ sistem lain (termasuk sistim hematologi) Kerusakan tubulus ginjal (nekrosis tubular akut) dapat disebabkan oleh dua hal, pertama karena proses iskemi (hipoperfusi renalis) dan kedua akibat pelepasan mediator pro-inflamasi yang menyebabkan kerusakan endotel pembuluh aferen dan eferen. 6. Gangguan elektrolit yang terjadi tidak dapat dipisahkan dari gangguan sirkulasi dan menjadi salah satu fokus utama pada resusitasi, selain masalah volume. Natrium, kalium dan klorida adalah 3 (tiga) elektrolit utama Gangguan sirkulasi Pada luka bakar terjadi ekstravasasi cairan intravaskular ke rongga interstisiel akibat gangguan permeabilitas kapilar (kebocoran kapilar), menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskular (syok hipovolemik). Bila seorang dewasa mengalami kehilangan volume cairan tubuh mencapai 20-25% (10% pada anak), maka timbul manifestasi klinik syok. Sirkulasi inadekuat disertai edema interstisiel menyebabkan gangguan transportasi oksigen; sehingga sel yang tidak memperoleh

35

perfusi dan oksigenasi tidak dapat menjalankan fungsi metabolisme secara normal (syok selular). Penurunan sirkulasi ke serebral menyebabkan ensefalopati dan degenerasi sel-sel glia, diikuti terganggunya sistim autoregulasi serebral. Secara klinis ditandai dengan timbulnya kegelisahan dan disorientasi. 1,8,11

Petunjuk Praktis pada gangguan sirkulasi a. Bila terjadi syok, tubuh mengadakan kompensasi dengan meningkatkan aktifitas jantung (takikardia) dan pernafasan (takipnu) untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi khususnya di sirkulasi sentral (serebral, kardial dan pulmonal) agar organ-organ vital ini berfungsi normal. Sirkulasi perifer dengan sendirinya mengalami gangguan; hipoperfusi perifer ini menyebabkan gangguan organ-organ perifer (ginjal, saluran cerna dan hati, sistim muskulatur, integumentum, dsb). b. Hipoperfusi splangnikus merupakan suatu topik yang bersifat revolusioner membawa perubahan paradigma penatalaksanaan luka bakar dan memperoleh perhatian khusus. Hipoperfusi ke sirkulasi splangnikus menyebabkan disrupsi mukosa (iskemianekrosis mukosa bila mengalami hipoksia dalam waktu >4jam) yang menimbulkan gangguan fungsi saluran cerna seperti malabsorpsi, diare (enterokolitis), perdarahan saluran cerna yang dahulu disebut tukak stres (stress ulcer, Curlings ulcer), ileus dan translokasi bakteri yang memicu sepsis. Tes Retensi atau penilaian kuantitas dan kualitas cairan lambung bermanfaat sebagai salah satu cara klinis dalam melakukan penilaian adanya hipoperfusi splangnikus. Penilaian lain yang lebih baik adalah dengan melakukan pengukuran keasaman (pH) submukosa dengan tonometer (sulit diperoleh) dan melakukan penilaian mukosa melalui pemeriksaan endoskopi. c. Berkurangnya perfusi ke sirkulasi renal menyebabkan gangguan fungsi ginjal akibat iskemia tubulus yang berlanjut menjadi Acute Tubular Necrosis, secara klinis ditandai dengan oliguria sampai dengan anuria, gangguan sistim autoregulasi ginjal (produksi renin-angiotensin), penurunan fungsi ginjal

36

(peningkatan ureum/kreatinin darah, gangguan keseimbangan asam-basa) dan berakhir dengan gagal ginjal yang membawa pasien pada kondisi uremia dan kematian. d. Gangguan perfusi ke sistim muskulatur mengaktivasi produksi oksida nitrit (Nitrit Oxide, NO) yang merupakan radikal bebas dan berperan sebagai modulator sepsis. Efek Luka Bakar pada Hematologi Efek luka bakar terhadap parameter hematologi tergantung pada derajat luka bakar dan lamanya terjadi luka bakar. 1,11 Eritrosit Kadar hematrokit meningkat segera setelah terjadi luka bakar akibat translokasi plasma darah ke ekstravaskuler. Transfusi darah umumnya tidak diperlukan saat resusitasi awal luka bakar, kecuali ada trauma penyerta. Anemia pada luka bakar terjadi setelah beberapa minggu, akibat kehilangan darah yang merembes dari luka, dari seringnya diambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium, atau saat operasi untuk penanganan luka bakar. Penelitian menunjukkan terdapatnya pemendekan waktu paruh umur eritrosit, yang dihubungkan dengan kerusakan eritrosit oleh kenaikan suhu saat terjadi luka bakar dan juga disebabkan oleh mediator kimiawi. Trombosit Terjadi penurunan kadar trombosit yang disebabkan oleh dilusi selama resusitasi, tetapi yang terpenting adalah trombositopenia karena pembentukan mikroagregat di kulit yang terbakar dan paru-paru yang terkena cedera inhalasi. Angka trombosit kembali normal pada akhir minggu pertama pasca terjadi luka bakar, dan akan terus normal kecuali terjadi sepsis atau gagal multi organ. Perdarahan yang disebabkan trombositopenia jarang terjadi. Sistem koagulasi

37

Mekanisme trombotik dan fibrinolitik teraktivasi setelah terjadi luka bakar. Secara umum terjadi terjadi penurunan faktor koagulasi oleh karena dilusi atau konsumsi oleh kerusakan kapiler, venula, dan arteriola di kulit. DIC jarang terjadi tetapi dapat terjadi pada luka bakar mayor yang luas. Setelah itu akan terjadi penurunan antitrobin III dan protein, yang dapat menyebakan emboli pulmo. Selama periode ini semua pasien dengan luka bakar mayor membutuhkan propilaksis tromboemboli seperti low dose heparin subkutaneus. Baseline determinations untuk luka bakar mayor adalah pemeriksaan laboratorium darah terdiri dari darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas darah, protein total (albumin dan globulin), glukosa darah, fungsi ginjal dan fungsi hati. Pada penilaian adanya asidosis, maupun melakukan koreksi, perhatikan kadar hemoglobin dan mekanisme kompensasi tubuh. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tekanan parsial CO2, HCO3, Base excess, Na K dan cl, pH dan saturasi oksigen. Pemeriksaan radiologik (misal foto toraks atau kepentingan diagnostik lainnya), bila diperlukan, dapat dilakukan setelah diyakini tidak ada masalah / gangguan jalan nafas, mekanisme bernafas dan gangguan sirkulasi. Resusitasi Cairan Resusitasi cairan merupakan tindakan prioritas ketiga pada ABC penatalaksanaan kasus luka bakar akut (setelah tatalaksana gangguan jalan nafas dan gangguan mekanisme bernafas), ditujukan melakukan koreksi volume (syok hipovolemik) yang terjadi akibat ekstrapasasi cairan (dan elektrolit) ke jaringan interstisiel dalam upaya memperbaiki perfusi. 1,11,12,18

Tatalaksana resusitasi cairan Syok pada luka bakar merupakan suatu hal yang umum terjadi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, syok menjadi faktor utama berperan pada timbul dan

38

berkembangnya SIRS, dan MODS, sehingga harus ditatalaksanai dengan baik. Resusitasi adekuat dengan pemberian cairan kristaloid merupakan prosedur resusitasi yang dianggap paling aman untuk substitusi cairan namun harus disadari bahwa penggunaan larutan kristaloid bukan yang terbaik; meskipun masih dijumpai kontroversi mengenai penggunaan koloid untuk resusitasi. Untuk mencapai tujuan resusitasi, diperlukan pemilihan cairan yang tepat namun harus didasari pemahaman mengenai jenis cairan yang dibutuhkan. Berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik dan koloid masing-masing memiliki kelebihan (keuntungan) dan kekurangan (kerugian) bahkan bahaya penggunaannya pada saat yang tidak tepat. Regimen resusitasi Regimen Parkland sampai saat ini merupakan metode resusitasi yang paling umum diterapkan untuk resusitasi cairan pada kasus luka bakar; menggunakan cairan kristaloid. Namun, sebagaimana disampaikan sebelumnya, resusitasi cairan dengan metode Parkland (hanya) mengacu pada waktu iskemik ginjal (<8jam) sehingga lebih tepat disebut sebagai suatu metode resusitasi renal; dengan sendirinya metode ini akan tepat bila diterapkan pada kasus luka bakar tidak terlalu luas dan tanpa keterlambatan. 11,12,14,20

39

Waktu pasca luka bakar Gambar 14. Kurva fisiologik dari kebutuhan cairan dibandingkan formula Parkland, menegaskan bahwa formula tersebut hanya merupakan suatu guideline untuk terapi cairan selama syok luka bakar. Pengertian keterlambatan disini bukan dimaksudkan dalam pengertian keterlambatan penanganan di rumah sakit (hospital delay) jam) Dasar pemilihan cairan Ada beberapa faktor yang diperhatikan dalam menentukan pemilihan cairan, yaitu : 1) Efek hemodinamik 2) Distribusi cairan dikaitkan dengan 3) Oxygen carrier 4) pH buffering 5) Efek hemostasis 6) Modulasi respons inflamasi 7) Faktor keamanan 8) Metode eliminasi 9) Praktis dan efisien tetapi merujuk pada waktu iskemik organ (khususnya hipoperfusi splangnikus dengan waktu iskemik 4

40

Jenis cairan terbaik untuk resusitasi cairan pada berbagai kondisi klinik masih merupakan topik yang tetap didebatkan dan terus diteliti; memang dalam beberapa tahun terakhir diperoleh informasi yang menggembirakan, khususnya mengenai efek koloid. Selain itu, beberapa

1 ) 2 )
-

pertimbangan dalam memilih jenis cairan sangat dipengaruhi kompleksitas

permasalahan pada luka bakar, sehingga sebagian orang berpendapat kristaloid adalah

jenis cairan paling aman untuk tujuan resusitasi (awal); pada beberapa kondisi klinik entitas klinik lain, yang berlainan dengan kondisi sebelumnya. Hal ini dikaitkan

tertentu (lanjut). Sebagian lain berpendapat bahwa cairan koloid bermanfaat pada dengan karakteristik masing-masing cairan, baik kristaloid maupun koloid memiliki

manfaat (kelebihan, keuntungan) dan risiko (kekurangan, kerugian) pada kondisikondisi klinik tertentu yang bersifat sangat kasuistik; sulit untuk diambil keputusan untuk diterapkan secara umum sebagai protokol. 1,2,12,20 Pastikan harus dilakukan akses vena : akses vena perifer akses vena sentral

-----------> lakukan monitoring dan pengukuran CVP

3 )

Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama

P s rv si p rfu i y re e a e s a te dpd s tia o rja i a a e p rg M imlis s d ne in a a i a lim p te / k l o ,tra ro in o id ia g n . tro e ik Otimlis s s tu v p a a i ta s mn g n k nk le ih e g u aa e b y n te a. a g pt


41

A. Resusitasi syok Menggunakan larutan kristaloid Ringers Lactate atau Ringers Acetate 1. Pemasangan satu atau beberapa jalur intravena. Bila dijumpai kesulitan melakukan pemasangan jalur vena biasa, lakukan vena seksi pada beberapa tempat. Catatan: a) jangan memilih jalur vena pada tungkai bawah karena terdapat hipoperfusi perifer dan banyaknya sistm klep pada vena-vena ekstremitas bawah, b) hindari pemasangan pada daerah luka. 2. Pemberian cairan pada syok atau pada kasus dengan luas >25-30% atau dijumpai keterlambatan >2jam. sebanyak: - 70% adalah volume total cairan tubuh - 25% adalah jumlah minimal kehilangan cairan tubuh yang dapat menimbulkan gejala klinik dari sindroma syok Untuk melakukan resusitasi cairan (melakukan koreksi volume) menggunakan kristaloid, diperlukan 3 kali jumlah cairan yang diperlukan : 3 [ 25% ( 70%XBBkg ) ] ml Misal BB 70 kg, volume cairan (70%) adalah 4,9 liter (dibulatkan menjadi 5 liter). 25% dari jumlah cairan yang hilang adalah kurang lebih 1.250ml maka jumlah cairan kristaloid yang diperlukan untuk resusitasi awal adalah 3.750ml. Prinsip resusitasi cairan yang terbaik adalah memenuhi kebutuhan defisit cairan, sementara mengenai jenis cairan resusitasi tetap masih dijumpai kontroversi: kristaloid, koloid, larutan fisiologik atau hipertonik. Dalam pemilihan jenis cairan agar diperhatikan masingmasing cairan memiliki kelebihan (keuntungan) dan kekurangan (kerugian); adalah penting mengetahui kelebihan/kekurangan masing-masing, dikaitkan dengan resiko yang mungkin terjadi pada pemberian masing-masing jenis cairan. Pemberian cairan selanjutnya disesuaikan dengan kebutuhan disertai perilaku dan kesadaran masyarakat akan kesehatan khususnya pelayanan gawat darurat diragukan, Dalam waktu <4jam pertama diberikan cairan kristaloid

42

tampaknya keampuhan (ketepatan) regimen Parkland dipertanyakan kembali. Hal ini juga dijumpai di negara maju seperti Canada. 1,12,17 Pemberian cairan dilakukan dalam waktu cepat (kurang dari 4jam atau waktu iskemik mukosa saluran cerna), menggunakan beberapa jalur intravena, bila perlu melalui vascular access (vena seksi dan sebagainya). Dengan catatan khusus untuk akses vena, hindari vena-vena di tungkai bawah karena terlalu banyak klep (valve) dan kolaps venosa yang akan menghambat prosedur pemberian cairan. Akses vena juga perlu dihindari pada daerah cedera; edema interstisiel yang timbul pada pemberian kristaloid akan menyebabkan gangguan aliran (sirkulasi) sehingga mengganggu perfusi ke daerah cedera dan mengakibatkan degradasi luka. 1,12,17 Setelah syok teratasi, pemberian cairan mengacu kepada kebutuhan cairan berdasarkan pemantauan klinik dari waktu ke waktu. Sebagai patokan kasar, produksi urin dapat dijadikan pegangan: a) pada saat resusitasi produksi urin 0.5ml/kgBB, b) pada hari pertama, produksi urin antara 0.5-1ml.kgBB, c) pada hari pertama-kedua, produksi urin berkisar antara 1-2ml/kgBB dan d) pada hari ketigaempat, produksi urin berkisar antara 3-4ml/kgBB. Pegangan lainnya adalah nilai-nilai tekanan vena sentralis (CVP) dan nilai-nilai laboratorik darah (darah tepi, fungsi hepar, fungsi ginjal, analisis gas darah, dsb) .

Gambar 1 5.Regimen pemberian cairan untuk mengatasi syok. Volume Ringers Lactate dihitung berdasarkan kebutuhan mengatasi syok: 3kali jumlah 25% dari volume cairan tubuh (5000ml untuk BB 70kg);

43

pemberiannya sebelum 4jam (waktu iskemik mukosa saluran cerna). Selanjutnya pemberian cairan (Ringers Lactate ditambah Glukosa 5% untuk manintenance) disesuaikan kebutuhan yang diketahui berdasarkan pemantauan produksi urin. Setelah delapan-duabelas jam, Ringers Lactate tidak diberikan lagi, digantikan dengan koloid.

44

B. Resusitasi tanpa syok Resusitasi cairan tanpa gejala klinik syok atau pada kasus dengan luas <2530%, tanpa keterlambatan atau dijumpai keterlambatan <2jam Kebutuhan cairan sehari dihitung berdasarkan Rumus Baxter sebagai berikut: Pemberiannya mengikuti metode yang ditentukan berdasarkan formula Parkland. Pemberian cairan resusitasi menggunakan formula Parkland. Pada 24 jam pertama: separuh jumlah cairan diberikan dalam 8jam pertama, sisanya diberikan dalam 16jam berikutnya. 1. Pada bayi dan anak, orang tua kebutuhan cairan adalah 4ml, a. Bila dijumpai cedera inhalasi, maka kebutuhan cairan adalah 4ml, ditambah 1% dari kebutuhan. b. Bila dijumpai hipertermia, kebutuhan cairan ditambahkan 1% dari kebutuhan. 2. Untuk memperbaiki perfusi sirkulasi perifer diberikan zat vasoaktif (Dopamine atau Dobutamin, vasodilator perifer) dengan dosis 3 g/kgBB (dosis rendah, dosis renal) dengan titrasi (menggunakan syringe-pump) atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa 5% dengan jumlah tetesan dibagi rata dalam 24 jam. Pemantauan Pemantauan bertujuan menilai sirkulasi sentral, Central Venous Pressure diupayakan minimal berkisar 6-12cmH2O dan pemantauan sirkulasi perifer yaitu sirkulasi renal, jumlah produksi urin dipantau melalui kateter : Saat resusitasi : 0.51ml/kgBB/jam, kemudian hari 1-2 : 1-2 ml/kgBB/jam. Bila produksi urin <0.5ml/kg/jam, maka jumlah cairan diberikan ditingkatkan sebanyak 50% dari jumlah yang diberikan pada jam sebelumnya. Bila produksi urin >1ml/kg/jam, maka jumlah cairan yang diberikan dikurangi 25% dari jumlah yang diberikan pada jam sebelumnya. Lakukan juga pemeriksaan laboratorium, Fungsi renal: Ureum dan Kreatinin, Berat jenis dan sedimen urin.

45

Selain itu tetap melakukan pemantauan sirkulasi splangnikus : - Penilaian kualitas dan kuantitas produksi cairan lambung melalui pipa nasogastrik, penilaian fungsi hepar (fungsi enzimatik, fungsi sintetik dan metabolik). Diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah perifer lengkap. Komposisi nilai hemoglobin dan hematokrit darah menggambarkan hemokonsentrasi (hipovolemia, cairan yang diberikan kurang) atau hemodilusi (kelebihan cairan, atau permeabilitas kapilar mulai kembali normal ditandai oleh meningkatnya volume cairan). Nilai yang diperoleh dari hasil pemeriksaan ini harus dikonfirmasi pula dengan nilai lekosit dan trombosit; karena pada umumnya terjadi kerusakan endotel pembuluh darah, yang menyebabkan perlekatan komponen-komponen darah tersebut pada dinding vaskular. Penatalaksanaan dalam 24 jam kedua 1. Pada 24 jam kedua, cairan yang diberikan berupa cairan mengandung glukosa. 2. Jumlah cairan diberikan merata dalam 24jam. 3. Jenis cairan yang diberikan pada hari kedua: a. Glukosa 5% atau 10%, 1500-2000ml b. Batasi / kurangi pemberian Ringers Lactate karena akan menyebabkan edema interstitial bertambah dan sulit diatasi 4. Pemantauan: a. Pemantauan sirkulasi Nilai CVP, bila volume cairan intravaskular tetap rendah (CVP di bawah +2) pemberian HES akan bermanfaat. Jumlah produksi urin: 1-2 ml/kgBB/jam. Bila jumlah cairan yang diberikan sudah mencukupi, namun produksi urin tidak sesuai (<1-2ml/kgBB/jam) nilai kembali apakah zat vasoaktif (Dopamine, Dolbutamine) sudah diberikan dengan dosis cukup. Bila dengan dosis 3g belum memberikan efek yang diinginkan, dosis dapat dinaikkan sampai 5g/kgBB. Bila jumlah cairan yang diberikan sudah mencukupi, zat vasoaktif sudah diberikan,

46

produksi urin masih belum sesuai, maka tindakan selanjutnya merubah regimen pemberian cairan menggunakan larutan hipertonik (Nacl 3-6%) atau koloid jangan meningkatkan dosis zat vasoaktif karena justru akan menyebabkan vasokonstriksi. Bila produksi urin <1ml/kg/jam dan CVP meningkat >12cmH20, dapat diberikan diuretikum (khusus untuk pemberian furosemid, tambahkan kalium). Bila pada pemeriksaan urinalisis dijumpai pigmen, berikan Mannitol 20% per infus 0.5gm/kg b. Pemantauan perfusi: Perfusi ke jaringan dipantau dengan menilai analisis gas darah, dengan perhatian khusus pada kadar HCO3, H2CO3, tekanan parsial oksigen (PaO2) dan karbondioksida (PaCO2), nilai pH dan defisit basa (base excess/BE), serta konsentrasi elektrolit. Nilai-nilai ini harus dikonfirmasi dengan menilai kadar hemoglobin darah dan kadar glukosa darah. Jangan melakukan penilaian analisis gas darah dengan hanya memperhatikan pH dan BE saja; dan berupaya melakukan koreksi BE dengan pemberian bicarbonas natricus, karena hanya akan mengaburkan kondisi hipoksia yang sebenarnya terjadi. Pemberian bicarbonas natricus untuk koreksi BE hanya dilakukan bila BE melebihi minus 5, dimana pada nilai tersebut dianggap kemampuan jaringan melakukan kompensasi diatas batas maksimal. Kondisi abnormal pada analisis gas darah mencerminkan gangguan / hambatan perfusi; sehingga harus dinilai kembali. Asupan oksigen yang terjamin baik (tidak ada sumbatan jalan nafas, tidak ada edema paru, gerakan respirasi baik); dengan kata lain tidak dijumpai distres pernafasan Vasokonstriksi perifer yang (masih) berlangsung. 1 Jumlah cairan resusitasi adekuat, sudah diberikan dan tidak ada masalah dengan akses jalur vena. Edema interstisiel yang masif Nyeri hebat Bila kadar glukosa darah melebihi >150-200mg/dl, berikan insulin 5unit subkutan, dilanjutkan pemberian per drip atau melalui syringe-pump. Pemberian insulin

47

harus selalu dilakukan dengan memantau kadar glukosa darah dan kadar elektrolit. Pada pemantauan kadar elektrolit bila pada pemantauan dijumpai abnormalitas kadar natrium dan kalium, pemikiran pertama tertuju pada gangguan soudium-pump yang timbul akibat gangguan perfusi selular, umumnya hiponatremia terjadi akibat edema selular yang mendorong kalium keluar sel. Penatalaksanaan setelah 48 jam 1. Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintenance. 2. Pemantauan sirkulasi: a. Komposisi Hemoglobin terhadap hematokrit mulai mendekati normal, cenderung menurun. Kadang dijumpai anemia relatif. b. Jumlah produksi urin: 3-4ml/kgBB/jam Produksi urin tidak adekuat (tidak sesuai target resusitasi) mencerminkan perfusi ke sirkulasi renal tidak baik. Dalam hal ini perlu dipikirkan penyebabnya, yaitu keseimbangan tekanan onkotik di ruang intravaskular terganggu, demikian pula halnya dengan keseimbangan di jaringan interstisiel. Perbandingan tekanan onkotik intravaskular dengan tekanan onkotik di ruang interstisiel tidak seimbang akibat gangguan permeabilitas kapilar yang masih berlangsung; menyebabkan perfusi tidak terselenggara termasuk ke sirkulasi renal yang mengakibatkan anuria. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan adalah mengupayakan pengembalian keseimbangan tekanan hidrostatik-onkotik; dengan pemberian koloid. Pemberian koloid akan memperbaiki keseimbangan tekanan onkotik di ruang intravaskular, melalui proses penarikan cairan dari jaringan interstisiel. 1,17,18 Cara perhitungan lain tentang kebutuhan cairan pada pasien luka bakar adalah dengan perhitungan Formula Baxter : a. Kebutuhan cairan hari Pertama : Dewasa : RL 4 CC X BB X% Luas LB / 24 jam

48

Anak : RL : DEXTRAN=17:3 Kebutuhan Faali < 1 tahun : BB X 100 CC 1-3 tahun : BB X 75 CC 3-5 tahun: BB X 50 CC -----------> ----------> Dewasa Lakukan : Pemasangan nasogastrik tube Pemasangan urine kateter Assessment perfusi ekstremitas Continued ventilatory assessment Paint management Psychosocial assessment Jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama Diberikan 16 jam berikutnya : diberikan sesuai kebutuhan

b. Kebutuhan cairan hari Kedua : Anak : diberikan sesuai kebutuhan faali

Monitoring resusitasi cairan : 1. Urine produksi setiap jam Dewasa 2. Oligouria Berhubungan dengan sistemik vaskular resistensi dan reduksi cardiac output) 3. Haemochromogenuria (Red Pigmented Urine) 4. Blood pressure 5. Heart Rate 6. Hematokrit dan hemoglobin : 0,5 cc/kg/jam (30-50 cc/jam) Anak : 1 cc/kg/jam

49

Resusitasi cairan menggunakan cara lain: 1. Larutan Nacl 0.9% Merupakan alternatif bila cairan RL tidak tersedia. Penggunaan larutan ini dihadapkan pada kemungkinan timbulnya asidosis hipernatremia dengan segala bentuk resikonya; sehingga diperlukan pemantauan yang lebih terfokus pada keseimbangan elektrolit utama ini. 2. Larutan hipertonik (Nacl 3-6%) Resusitasi menggunakan larutan hipertonik masih tetap kontroversi bahkan sebagian mengatakan berbahaya khususnya bila diterapkan pada kondisi syok. Pemberiannya harus dilakukan dengan pemantauan khusus. Resusitasi dilakukan dengan pemberian 500ml Nacl 3-6% dalam 24jam dengan pemantauan produksi urin dalam 24jam pertama 1ml/kgBB/jam, dan 0.5ml/kgBB/jam untuk 24 jam kedua. 3. Koloid - Pada formula Evans, dalam 24 jam pertama diberikan plasma 1ml / kgBB/%luas luka bakar ditambah larutan fisiologi (Nacl 0.9%) 1ml.kgBB/%luas luka bakar dengan pemantauan produksi urin 0.5ml/kgBB/jam. Selanjutnya, dalam 24 jam kedua, diberikan separuh jumlah regimen terapi hari pertama; ditambah glukosa 5% dengan jumlah yang sama. - Pada formula Brooke, dalam 24 jam pertama diberikan plasma 1.5ml / kgBB/%luas luka bakar ditambah larutan RL 0.5ml.kgBB/%luas luka bakar dengan pemantauan produksi urin 0.5ml/kgBB/jam. Selanjutnya, dalam 24 jam kedua, diberikan separuh jumlah regimen terapi hari pertama; ditambah glukosa 5% dengan jumlah yang sama. - Pemberian HES dipertimbangkan lebih awal (8-12jam pertama pasca cedera), karena koloid ini memiliki efek antiinflamasi yang dapat memperbaiki gangguan permeabilitas kapilar, disamping efek pengembang plasma. Acuan dalam melakukan prosedur resusitasi cairan adalah mengupayakan pengembalian perfusi agar gangguan / kerusakan sel / jaringan / organ berlangsung

50

sesingkat mungkin / seminim mungkin. Berdasarkan hal tersebut, resusitasi cairan mutlak diperlukan bila terjadi gangguan sirkulasi, khususnya pada luka bakar dimana terdapat suatu keadaan hipovolemia. Yang perlu digarisbawahi adalah resusitasi cairan merupakan upaya melakukan koreksi volume cairan (khususnya intravaskular); namun harus dicatat bahwa cairan resusitasi yang diberikan (khususnya kristaloid) bukan merupakan suatu oxygen carrier. Pedoman resusitasi cairan yang ada hanya merupakan panduan untuk memberikan sejumlah cairan yang diperlukan, bukan suatu hal yang mutlak; oleh karenanya dijumpai beragam regimen yang sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kon, dan karena tidak ditunjang oleh suatu bentuk RCT maka protokol resusitasi cairan yang ada hanya merupakan guidelines. Pemberian koloid / plasma, menyebabkan penarikan cairan dari jaringan interstisiel ke intravaskular. Peningkatan volume intravaskular dengan sendirinya meningkat (dipantau melalui peningkatan CVP, preload jantung meningkat), sehingga harus diyakini bahwa jantung dan ginjal dalam keadaan baik. Perawatan di ruang Intensif (ICU) Perawatan kasus luka bakar di ruang perawatan intensif bertujuan untuk mengatasi masalah yang berkenaan dengan: 1,2,12,18,20 1. Adanya gangguan pada proses respirasi yang memerlukan bantuan atau pengambilalihan fungsi respirasi dengan alat bantu pernafasan (ventilator) 2. Adanya gangguan pada proses vital lain yang memerlukan pemantauan dan penanganan perawatan intensif Prosedur perawatan intensif menjadi prioritas penatalaksanaan pada fase akut (fase awal) sebelum terjadi disfungsi organ yang berlanjut pada kerusakan yang bersifat ireversibel; bukan pada fase terminal. Terbaik, bila ruang perawatan intensif (ICU) ada di dalam lingkungan Unit Luka Bakar, atau di dalam ICU tersedia ruangan khusus (isolasi) untuk luka bakar. Indikasi fisiologik perawatan intensif:

51

1. Apical pulse <40 atau >150 kali per menit (>130 kali per menit pada usia >60tahun) 2. Mean Aretrial Pressure (MAP) <60mmHg setelah resusitasi cairan adekuat (>1500ml) atau kebutuhan pemberian zat vasoaktif untuk mempertahankan MAP>60mmHg 3. Tekanan Darah Diastolik >110mmHg dengan : - Edema paru - Ensefalopati - Iskemi miokardial - Aneurisma aorta - Eklampsia ata preeklampsia (diastolik >100mmHg) - Perdarahan subarakhnoid 4. Frekuensi pernafasan >35 kali permenit atau adanya Respiratory Distress 5. PaO2 <55mmHg dengan FiO2 >0.4 (akut) 6. Kalium serum >6.5mEq/L (akut) 7. pHa <7.2 atau > 7.6 (pada ketoasidosis diabetikum <7.0) 8. Glukosa serum >800mg/dl 9. Kalsium serum >15mg/dl 10. Temperatur (core) <32oC . Scoring system untuk diagnosis MODS : a) Pulmonary failure 0 1 2 0.4 b) Cardiac failure 0 : Tekanan darah normal tanpa bantuan zat vasoaktif : Tidak membutuhkan ventilator : Penggunaan ventilator dengan PEEP 10cm H2O dan / atau FiO2 < 0.4 : Penggunaan ventilator dengan PEEP >10cm H2O dan / atau FiO2 >

52

Periode hipotensi yang memerlukan tindakan untuk mempertahankan

tekanan darah >100mmHg, misalnya loading cairan atau penggunaan zat vasoaktiv (dopamine <10g/kg/menit atau nitroglycerin <20g/kg/menit ) 2 : Periode hipotensi yang memerlukan tindakan untuk mempertahankan tekanan darah >100mmHg, misalnya loading cairan atau penggunaan zat vasoaktiv (dopamine >10g/kg/menit atau nitroglycerin >20g/kg/menit ) c) Renal failure 0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 2 : : : : : : : : : : : Serum cretinine normal (<20mg/dl) Serum creatinine >20mg/dl Memerlukan hemodialisis atau dialisis peritoneal SGOT <25unit/L, Bilirubin <2mg/dl SGOT >25<50unit/L, Bilirubin >2mg/dl <6mg/dl SGOT >50unit/L, Bilirubin >6mg/dl Leukosit dan trombosit normal Leukosit >30X106/L <60X106/L, trombosit <50X109/L Leukosit <2.5 X106/L atau >60X106/L, diathesis hemoragic Normal function Ulkus stres atau dijumpai kolesistitis akalkulus

d) Hepatic failure

e) Hematologic failure

f) Gastrointestinal tract failure

: Ulkus stres yang memerlukan transfuse darah >2U dalam 24 jam, necrotizing enterocolitis, pancreatitis, perforasi gall bladder spontan

g) Central Nervous System failure 0 1 2 : : : Fungsi normal Respons lambat/menurun Gangguan respons dan dijumpai neuropati

53

Keterangan: 0 = Tidak ada MODS, 1 = Moderat, 2 = Berat Pemberian Antibiotik Pemilihan jenis antibiotik Dalam 1-3 hari pertama pasca cedera, luka masih dalam keadaan steril sehingga tidak diperlukan antibiotik. Pada hari ketiga sampai ketujuh, luka didominasi oleh bakteri gram positif yang berasal dari apendises kulit (folikel rambut, kelenjar sebasea, dsb), sedangkan setelah 5-7 hari, populasi bakteri digantikan oleh bakteri gram negatif yang lebih virulen. Pemberian antibiotik secara empirik didasari pola ini dan disesuaikan dengan pola kuman yang ada. Pemberian antibiotik yang tepat menunggu hasil pemeriksaan histopatologi dan bakteriologi. Antibiotik topikal Beberapa preparat antibiotik topikal dapat digunakan untuk luka bakar antara lain silver sulfadiazin, mafenide asetate, povidone-iodine, gentamisin sulfat, bacitracin/polymixin, nitrofurantoin, mupirocin (Bactroban ) dan nystatin. - Silver sulfadiazin digunakan sejak tahun 1970an, tersedia dalam bentuk krim 1%, efektif menekan infeksi pada luka bakar yang terutama disebabkan oleh Ps. aurogenosa, mikroba enterik dan Can. albicans. Sedangkan untuk Staph.aureus dan Klebsiella sp. silver sulfadiazin tidak efektif. Daya penetrasi terbatas sampai epidermis. Permasalahan klinik yang dijumpai pada penggunaan krim ini, umumnya adalah rasa nyeri, pembentukan eksudat masif, lisis dan separasi eskar (=degradasi luka) yang berlangsung sangat cepat, gangguan / hambatan proses penyembuhan luka, pengrusakan fibroblas, granulosit dan leukopenia. - Mafenide acetate (tidak ada di Indonesia). Merupakan solusio 10%, memiliki efektifitas antimikrobia luas, terutama terhadap Ps. Aurogenosa dan Clostridium. Permasalahan klinik yang timbul pada penggunaan solusio ini adalah gangguan

54

metabolisme, karena mafenide acetate dikonversi menjadi asam p-sulfamyl-vanzoat oleh monoamide-oxydase yang merupakan inhibitor karbonat anhidrase. - Povidone-iodine ointment 10% memiliki efek antibiotik luas (dan efek antifungal) bila sudah berada dalam bentuk cair. Povidone-iodine paling efektif mengendalikan populasi / mencegah kolonisasi bila diberikan setiap 6 jam. Permasalahan yang dijumpai di klinik pada penggunaan zat ini adalah nyeri saat aplikasi, dan bila digunakan secara ekstensif dapat menyebabkan toksisitas dan gagal ginjal. - Gentamicin sulfate sebagai krim 0.1%, sebagaimana golongan aminoglokosida lain memiliki spektrum antimikroa luas. Umumnya digunakan pada luka terinfeksi Ps. aurogenosa. - Nitrofurantoin. Furacin efektif terhadap MRSA dan stafilokokus lain yang resisten terhadap metisilin, gram-negatif selain Ps. aurogenosa (efektifitasnya mencapai 75%). - Mupirocin yang berasal dari fermentasi Ps. Fluoresence yang dikenal sebagai pseudomonic acid A. Efektif terhadap Ps. aurogenosa, Esch. coli, Kl. pneumonia dan Staph.aureus. Permasalahan klinik yang dijumpai pada penggunaan mupirocin adalah terhambatnya proses penyembuhan luka. - Bacitracin/polymixin umumnya digunakan sebagai topikal untuk prosedur skin graft sebagaimana petroleum gauze dressing karena tidak bersifat toksik terhadap graft, tetapi tidak efektif dalam mengendalikan infeksi luka bakar, untuk gram-negatif selain Ps. aurogenosa efektifitasnya hanya mencapai 21%. Antibiotik sistemik Pemberian antibiotik sistemik secara empirik umumnya dimulai saat tandatanda infeksi oleh mikroba yang sering dijumpai pada populasi luka bakar, dan digantikan dengan jenis antibiotik berdasarkan hasil pemeriksaan kultur dan resistensi. 1,5,9,16,18 Infeksi gram-positif.

55

- Infeksi streptokokal Untuk mencegah infeksi oleh -hemolytic streptococci grup A dan B (Strep. pyogenes dan atau Strep. agalactiae), Penisilin natural (Penisilin G atau Penisilin V) dapat diberikan dalam 72 jam pasca admisi sebagai profilaksis, dilanjutkan dengan antibiotik yang lebih tepat berdasarkan hasil pemeriksaan kultur dan sensitivitas. - Infeksi stafilokokal Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis merupakan patogen alami di kulit yang sering menimbulkan infeksi pada populasi luka bakar, menghasilkan penilisilinase yang memecah cincin penisilin sehingga penggunaan penilisin tidak efektif. Umumnya digunakan golongan penisilin yang resisten terhadap penisilinase terhadap bakteria-bakteria yang tergolong methicillin-sensitive, atau vancomycin untuk methicillin-resistant. - Infeksi enterokokal - Enterokokus yang kerap menimbulkan infeksi pada luka bakar adalah Ec. Faecalis dan Ec.faecium. Tidak seperti bakteria gram-positif lainnya, bacteria enterokokus tidak sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin. Saat ini, antibiotik yang efektif (98-100%) adalah vancomycin; sedangkan carbapenem, imipenem dan aminoglikosid-gentamisin sinergis terhadap enterokokus. Infeksi gram-negatif. Infeksi gram-negatif pada luka bakar umumnya disebabkan oleh Ps. aurogenosa, Esch. coli, Kl. pneumonia, dan Ent. cloacae. Antibiotik yang digunakan sangat bervariasi, dan sangat tergantung sukseptibilitas dari mikroba yang diisolasi. ANESTESI UNTUK PASIEN LUKA BAKAR Pasien luka bakar biasanya akan menjalani berbagai prosedur pembedahan dan anestesi. Cidera dengan kedalaman dan ketebalan penuh akan membutuhkan grafting yang luas untuk perbaikannya. Terapi definitif untuk luka bakar ketebalan partial meliputi pembuangan eskar, yang dapat nerperan sebagai media kultur yang

56

baik untuk pertumbuhan bakteri. Bedah perbaikan dapat dilakukan pada luka bakar ketebalan penuh, yang basanya diambil dari kulit paha, aksila atau split thickness dari beberapa area. Kosmetik, durabilitas dan massa jaringan akan lebih baik dengan menggunakan grafting full thickness. 1,12,17,18,19 Manajemen Anestesi Yang harus diperhatikan dalam manajemen anestesi pasien luka bakar bahwa selalu ditekankan pasien diperlakukan sebagai : 1. Difficult airway 2. Inadequate resuscitated patient 3. Difficulty in establishing IV access 4. Hyperkalemic response to scoline 5. Resistance to non-depolarising muscle relaxant 6. Significant blood and plasma loss 7. Penderita yang memerlukan perhatian khusus untuk posisi 8. Mudah jatuh pada kondisi hipotermia 9. Membutuhkan postoperative analgesia Sangat penting untuk mengetahui tipe dari jenis luka bakar untuk meng assesment kerusakan jalan napas, gangguan fungsi organ lain yang disebabkan oleh trauma luka bakar, kemungkinan kerusakan jaringan lain. I .PRIMARY SURVEY a. Airway dan cervical spine proteksi b. Breathing dan ventilasi c. Sirkulasi dan kontrol perdarahan d. Disability- pemeriksaan neurologis e. Exposure II. SECONDARY SURVEY b. History / anamnesa

57

Anamnesa stantard yang harus kita lakukan pada persiapan preoperatif tetap harus kita lakukan seperti : c. riwayat penyakit sekarang riwayat penyakit dahulu riwayat pengobatan atau obat-obatan yang pernah dan atau masih dikonsumsi riwayat alergi riwayat operasi dahulu riwayat anestesi dahulu

c. Pemeriksaan fisik/lengkap mulai kepala-kaki Pemeriksaan Penunjang : 1. Darah rutin 2. Darah Lengkap 3. Albumin 4. RFT dan LFT 5. Elektrolit, Na, K, Cl, HCO3 6. Blood urea nitrogen 7. Urinalisa 8.Foto Thorak 9. AGD 10. Carboxy Hemoglobin 11. ECG Assement Preop 1. Evaluasi : - Penilaian survai primer - Penilaian survai sekunder - Derajat luka bakar - Luas luka bakar

58

- Daerah yanag akan dioperasi 2. Evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya 3. Pertimbangan pemberian premedikasi di ruang perawatan 4. 5. 6. 7. Pertimbangan analgesi yang adekuat. Minimalisir heat loss untuk menghurangi insiden post-op shivering Monitoring ketat status haemodinamik Replace blood early

8. Harus ada komunikasi yang baik antara ahli anestesi dan ahli bedah untuk mempersiapkan pasien dengan optimal. Penilaian jalan napas rutin dilakukan dnegan perhatian adanya luka bakar di wajah yang akan mempersulit ventilasi sungkup muka. Adanya edema, jaringan parut atau kontraktur akan membatasi pembukaan mulut dan pergerakan leher. Pertimbangan pemberian nutrisi pre-operatif yang adekuat mempengaruhi kebijakan menentukan puasa sebelum operasi. Biasanya pasien mendapatkan asupan makanan enteral melalui pipa nasogstrik. Pasien yang sudah terintubasi tidak perlu dipuasakan , etapi apabila belum di intubasi perlu puasa setidaknya 4 jam sebelum operasi. Penelitian menunjukkan terdapatnya penurunan produksi asam lambung pada periode awal pasca luka bakar. 14,18 Penatalaksanaan Durante Operasi Monitor durante operasi tergantung pada kondisi medis pasien dan jenis pembedahan. Pemasangan elektrokardiogram pada daerah yang terkena luka bakar dapat menggunakan elektroda berjarum. Apabila ujung jari tidak akurat mengukur saturasi menggunakan oksimetri nadi, maka dapat dignakan tempat lain seperti telinga, hidung, atau lidah. Pemasangan monitor invasif (kateter vena sentral, kateter arteri pulmonal dan lain-lain) dapat dipasang sesuai indikasi. Monitor temperatur sangat diperlukan, karena biasanya pasien mudah jatuh dalam kondisi hipotermia.

59

Suhu kamar operasi diupayakan > 28C dan semua cairan intravena harus dihangatkan terlebih dahulu. Monitoring yang diperlukan selama tindakan eksisi dan pelaksanaan grafting adalah pertimbangan tindakan eksisi pada jaringan yang mati biasanya berhubungan dengan kejadian blood loss. Terutama jika operasi dilaksanakan setelah beberapa hari setelah kejadian trauma. Pemasangan kateter vena sentral akan sangat membantu pada pasien yang mengalami kesulitan akses vena. Jika diperlukan, pengukuran tekanan darah noninvasive harus dilakukan sebagai back up arterial line. Terjadinya heat loss melalui jaringan kulit yang terbakar merupakan masalah serius pada pasien luka bakar yang harus dimonitor. Hipotermi dapat diminimalisisr dengan memakai warming blankets dan heat lamps, meningkatkan suhu/temperatur ruangan operasi, humidifikasi gas inspirasi, dan menghangatkan cairan yang dimasukkan pada akses intravena. Pengaruh luka bakar farmakologi obat-obat anestesi Obat anestesi volatil akan mengakibatkan eksaserbasi depresi myokardial. Karena itu Halothane merupakan agent yang harus dihindari terutama jika Epinefrin dipakai untuk penataksanaan blood loss. Pilihan agen inhalasi antara Halothane, Enflurane, Isoflurane dan Sevoflurane tidak terbukti mempengaruhi hasil akhir anestesi pada luka bakar. Bermacam jenis obat intravena menunjukkan hasil yang baik pada pasien luka bakar. Ketamin memberikan keuntungan hemodinamik yang stabil dan menghasilkan analgesia yang adekuat untuk penggantian pembalut luka bakar. Ethomidate dapat menjadi pilihan alternatif dari Ketamine untuk pasien yang hemidinamik tidak stabil. Penggunaan Propofol dan Thiopental harus dipastikan pasien sudah diresusitasi dengan adekuat dan tidak dalam kondisi sepsis. 5,18,19 Selain pertimbangan pemilihan obat induksi dan pemiiharaan, penggunaan opioid dalam anestesi pada pasien luka bakar merupakan hal penting. Pasien luka bakar mengalami nyeri sangat hebat, dan biasanya memerlukan opioid dosis besar

60

untuk tetap merasa nyaman meskipun tidak dilakukan tindakan pada luka bakar ataupun tidak bergerak. Penggunaan antiansietas kecemasan dapat menurunkan ambang nyeri. Analgetik lain yang dapat digunakan saat penggantian balut adlah Ketamine ang memberikan beberapa keuntungan seperti analgetik, peningkatan curah jantung, depresi napas minimal. Penggunaan analgetik NSAID dihindari pada pasien yang menjalani eksisi luas ataupun pencangkokkan kulit, karena memiliki efek antiplatelet dan efek nefrotoksik. Hati-hati pada pemberian cairan, tindakan resusitasi cairan yang agresif memiliki resiko kelebihan cairan yang dapat berupa edema jaringan lunak. Apabila pada akhir operasi tampak edema pada wajah pasien, kemungkinan juga terdapat edema pada jalan napas, sehingga ekstubasi ditunda sampai edema menghilang. Teknik anestesi harus meliputi sedasi, amnesia, analgesia dan stabilitas hemodinamik. Pada umumnya balans anestesi dengan menggunakan oksigen, narkotik, relaksan otot dan agen volatile. Kehilangan darah yang bermakna harus diantisipasi khusus harus ditujukan untuk pemberian ventilasi yang adekuat, oksigenasi, pembuangan sekresi dan pertahanan ginjal. Dengan luka bakar yang ekstrim maka torniquet bisa digunakan untuk meminimalisir perdarahan. Pada pasien luka bakar normothermi kurang lebih berada pada 38,5C yang disebabkan karena penyesuaian pada pusat pengaturan suhu di hypothlamus dan hipermetabolisme setelah luka bakar. Hipotermia akan menyebabkan peningkatan stess fisiologis, penurunan metabolisme obat, peningkatan komplikasi perdarahan dan sukarnya penyembuhan luka. Suhu ruangan harus ditingkatkan untuk mencegah terjadinya gradien pendinginan yang berlebihan. Selimut penghangat, cairan penghangat dna gas yang dilmbabkan dapat diberikan untuk mencegah terjadinya hipotermia. Labilitas hemodinamik selama resusitasi awal diperkirakan dapat menjadi penyulit pada saat operasi. Monitor hemodinamik tambahan direkomendasikan pada kondisi seperti ini. Tekanan jalan napas yang tinggi dapat diantisipasi selama juga perlu diberikan karena

61

ventilasi mekanis akibat penyakit restriktif pada dinding dada dari eskar yang berkontraksi, bronkospasme, sekresi pulmoner dan kemungkinan pneumonia. 1,5,14,20,21 Penggunaan Pelumpuh Otot Pasien luka bakar mengalami resistensi terhadap pelumpuh otot non depolarisasi. Fenomena ini terjadi dalam beberapa minggu sampai dengan sekitar 18 bulan pasca terjadi luka bakar. Resistensi ini nyata terjadi jika area yang terkena luka bakar minimal 30% total area permukaan tubuh. Luka bakar menyebabkan terjadinya proliferasi reseptor asetilkolin di tempat luka bakar dan ditempat selain yang terkena luka bakar. Iritasi lokal ataupun proses inflamasi pada otot yang terkena luka bakar diduga sebagai mekanisme terjadinya proliferasi asetilkolin. Resistensi terhadap pelumpuh otot nondepolarisasi berarti memerlukan dosis yang lebih besar dan durasi obat akan lebih singkat. Pemberian obat Sucnilcholine merupakan kontra indikasi pada pasien luka bakar setelah 24 jam pertama pasca trauma. Karena dapat menyebabkan cardiac arrest karena terjadi peningkatan bermakna dari serum Potassium. Juga bisa terjadi prolonge depolarisasi otot-otot setelah pemberian Succinicholine berhubungan dengan peningkatan reseptor-reseptor postjunctional asetilkolin. Pada pemeriksaan dengan kontras pada pasien luka bakar terlihat peningkatan dibandingkan dengan obat pelumpuh otot nondepolarisasi. Hal ini berhubungan dengan protein binding dan peningkatan jumlah reseptor asetilkolin extrajunctional. Ketika Suksinilkolin diberikan dalam 24-48 jam setelah cidera dapat menyebabkan hiperkalemia yang letal. Depolarisasi dari pengaturan reseptor asetilkolin ekstrajungtional pada jaringan yang terbakar kontraksi otot yang berlebihan dan mengakibatkan pelepasan kalium intra seluler ke area luka bakar. Kadar kalium sebesar 10 mEq/L telah direkomendasikan.
5,19

Namun pada sisi lain pasien luka bakar cenderung resisten

terhadap muscle relaxant Non depolarisasi sehingga membutuhkan jumlah obat 2-5 kali lebih besar dari dosis normal.

62

Setelah periode immobilisasi pada pasien trauma luka bakar,

terjadi

upregulasi dari fetal (2) dan mature (2) nAChRs. Upregulasi dari nAChRs berhubungan dengan resistensi pada Nondepolarisasi neuromuscular blockers dan peningkatan sensitifitas terhadap Succinilcholine. Resistensi terhadap efek nondepolarizing neuromuscular blocking drugs biasanya terjadi pada pasien yang mengalami luka bakar lebih dari 25% total-body surface. Anestesi Regional Pengunaan teknik anestesi regional seperti epidural sangat berguna dalm tatalaksana nyeri pada pasien luka bakar, dengan tanpa tindakan pembedahan/ganti balut. Tetap harus dipertimbangkan untuk penggunaan anestesi regional misalnya ada atau tidak luka bakar pada daerah yang akan dilakukan insersi yang akan mempermudah terjadinya infeksi.

Manajemen post operasi Hal-hal yang harus diperhatikan setelah post operasi adalah : - Kebutuhan oksigen pasien - Kebutuhan pasien untuk nyeri post operative - Temperatur tubuh pasien, kemungkinan membutuhkan penghangat - Kebutuhan cairan pasien Pemberian Nutrisi Pemberian nutrisi merupakan pertimbangan yang tidak kalah penting, dimulai setelah penderita berada di unit luka bakar (ULB). 1,2,5,11,18 a. Luka Bakar Sedang (luas luka bakar 2040%) Pemberian melalui Oral atau Enteral (A) Bila tidak ditemukan kontra indikasi yaitu retensi lambung dan ileus Pemberian dilakukan sedini mungkin 1. Pemberian melalui Oral

63

Bila memungkinkan, diberi makanan R.S. bentuk lunak atau biasa Bila tidak mungkin maka diberikan formula komersial dan makanan R.S. bentuk cair Kepekatan 1 Kal/mL Pemberian dilakukan secara perlahan-lahan sebanyak 60 mL dalam 1 jam. Bila tidak terdapat keluhan kembung, mual atau muntah maka setiap 2 jam ditingkatkan sebanyak 60 mL dari perhitungan awal sampai tercapai kebutuhan energi total 2. Pemberian Nutrisi Enteral Diberikan bila pemberian secara oral tidak memungkinkan. Pasang pipa nasogastrik (nasogastric tube/NGT) 8 12 F Pada awal pemberian: o Kepekatan 1 Kal/mL o Kecepatan tetesan maksimal 20 tetes/menit o Evaluasi setelah 2 jam: Pipa nasogastrik diklem selama 1 jam. Selanjutnya dilakukan aspirasi: o Bila jumlah cairan aspirasi lebih dari 60 mL, maka pemberian nutrisi dihentikan selama 2 jam. Setelah itu dilakukan aspirasi ulang. Bila cairan aspirasi kurang atau sama dengan 60 mL, pemberian nutrisi dilanjutkan kembali dengan tetesan seperti semula o Bila jumlah cairan aspirasi kurang atau sama dengan 60 mL, maka nutrisi dapat diberikan kembali dengan kecepatan tetesan seperti semula atau ditingkatkan secara bertahap bila memungkinkan Lamanya makanan enteral di dalam botol tidak boleh lebih dari 4 jam Formula dan makanan cair RS yang diberikan melalui oral dan enteral, secara bertahap ditingkatkan menjadi makanan lunak dan selanjutnya makanan biasa, bila toleransi dan fungsi saluran cerna baik. b. Luka Bakar Berat (luas luka bakar >40%)

64

Pemberian nutrisi melalui enteral atau parenteral 1. Pemberian Nutrisi Enteral (A) Pasang pipa nasogastrik (NGT) 8 12 F Lakukan tes distensi lambung dengan melihat adanya aliran balik NGT Berikan formula komersial Pada awal pemberian: o Kepekatan 1 Kal/mL o Kecepatan tetesan 15 tetes/menit dengan pompa infus. Bila ditemukan kesulitan dalam pemberian tetesan, kepekatan formula dikurangi menjadi 0,7 Kal/mL o Evaluasi setelah 1 jam Pipa nasogastrik diklem selama 1 jam. Selanjutnya dilakukan aspirasi: o Bila jumlah cairan aspirasi lebih dari 20 mL, maka pemberian nutrisi dihentikan selama 2 jam. Setelah itu dilakukan aspirasi ulang. Bila cairan aspirasi kurang atau sama dengan 20 mL, pemberian nutrisi dilanjutkan kembali dengan tetesan seperti semula o Bila jumlah cairan aspirasi kurang atau sama dengan 20 mL, maka nutrisi dapat diberikan kembali dengan kecepatan tetesan seperti semula atau ditingkatkan secara bertahap bila memungkinkan Lamanya makanan enteral di dalam botol tidak boleh lebih dari 4 jam secara bertahap ditingkatkan menjadi makanan lunak dan selanjutnya makanan biasa, bila toleransi dan fungsi saluran cerna baik. 2. Pemberian Nutrisi Parenteral Bila pemberian Nutrisi Enteral sudah tidak memungkinkan, maka dilakukan pemberian secara parenteral. Nutrisi Parenteral yang diberikan harus lengkap, mengandung karbohidrat, lemak dan protein. Formula dan makanan cair Rumah Sakit yang diberikan melalui oral dan enteral,

65

Pada pemberian nutrisi parenteral harus diperhatikan kandungan karbohidrat dan osmolaritas formula cairan yang diberikan agar tidak terjadi hiperglikemia dan flebitis.

Rehabilitasi Jalan Nafas Rehabilitasi jalan nafas dan pernafasan dimulai segera pada saat resusitasi. Prosedur rehabilitasi yang dikerjakan antara lain: a) mengatur posisi pasien, b) latihan pernafasan, c) melatih refleks batuk. Posisi pasien yang diyakini tepat bila dijumpai cedera inhalasi adalah posisi tegak (menggunakan rotating/circulating bed) atau setengah duduk; bukan berbaring (supinasi). Ada beberapa posisi yang dilaporkan baik untuk kasus-kasus cedera inhalasi, antara lain lateral dekubitus dan pronasi; yang dikaitkan dengan drenase sekret dalam mengatasi hipersekresi. Dengan intubasi dan atau krikotiroidotomi, posisi pronasi dan lateral dekubitus agak sulit diterapkan, namun dengan fiksasi yang baik keduanya tidak akan menimbulkan masalah.Latihan pernafasan dikerjakan secara pasif pada saat pasien dalam kondisi hemodinamik belum stabil dan kesadaran belum baik; latihan aktif dilakukan bila kondisi hemodinamik stabil dan kesadaran lebih baik. Latihan yang dikerjakan khususnya melatih otot-otot pernafasan, dengan melakukan kontraksi otot-otot pernafasan tambahan, vibrasi dan clapping. Perawatan Luka Bakar Perawatan luka bukan merupakan prioritas, karena luka tidak akan menyebabkan kematian dalam waktu dekat (fase akut) dan infeksi bukan merupakan masalah utama pada luka bakar. Namun acuan dalam mencegah berkembangnya SIRS dan MODS, beberapa prinsip tatalaksana perawatan luka harus diperhatikan. Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan cedera termis harus segera dibuang. Nekrotomi dan dbridement dilakukan seawal mungkin

66

(pada hari ke tiga - ke empat pasca cedera pada luka bakar sedang, hari ke tujuh ke delapan pada luka bakar berat), bahkan bila memungkinkan dilakukan penutupan segera (immediate skin grafting) untuk mengatasi berbagai masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup (mencegah evaporative heat loss yang menimbulkan gangguan metabolisme), barrier terhadap kuman dan proses inflamasi berkepanjangan yang mempengaruhi proses penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi yang dalam hal ini mengulur waktu dan memperberat stres metabolisme.1-4 Perawatan luka dilakukan dengan tujuan mencegah berlangsungnya degradasi luka (perubahan dari derajat dua menjadi tiga yang menunjukkan perburukan) dengan mengupayakan suasana kondusif untuk proses penyembuhan. Perawatan luka tertutup diyakini merupakan cara terbaik karena akan mencegah penguapan; perawatan lembab (moist dressing) akan memfasilitasi proses penyembuhan. Prosedur ini dapat dikerjakan pada saat melakukan pemantauan resusitasi.Luka harus dicuci (dilusi) menggunakan pembersih yang tidak bersifat iritatif. Acuan perawatan luka dalam upaya mencegah infeksi adalah pencucian (dilusi) berulang dan perawatan secara aseptik. Pemberian antibiotika perlu mendapat perhatian khusus, baik secara sistemik maupun topikal. Rasionalisasi pemberian menjadi acuan, karena bahaya yang timbul pada penggunaan antibiotika secara irasional justru akan memicu respons inflamasi sistemik (termasuk sepsis) dan MODS. Hindari penggunaan antibiotika yang bersifat nefrotoksik, hepatotoksik, maupun memiliki efek toksik terhadap jaringan lainnya. Hindari pula penggunaan antiseptik yang bersifat iritan dan bahkan toksik terhadap jaringan. 1,5.7,

DAFTAR PUSTAKA 1. Moenadjat, Y., 2005 Petunjuk Praktise Penatalaksanaan Luka Bakar. Asosiasi Luka Bakar Indonesia Diterbitkan oleh Komite Medik Asosiasi Luka Bakar Indonesia

67

2. American College of Surgeons. Guidelines for the Operation of Burn Units. Reprinted from Resources for Optimal Care of the Injured Patient, Chapter 14: Committee on Trauma, 1999. Available in website:http://www.ameriburn.org/guidelinesops.pdf 3. Respiratory Care: Educational symposia. Available in manual book of 36th Annual meeting of American Burn Association. Vancouver: 2004 4. Moossa A.R., Hart M. E., Easter D.W., Surgical complication. In: Sabiston DC Jr, Lyery HK, editors. Textbook of surgery; 15th ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 1997; 347 5. Stoelting. R. K., 1999. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice, 3rd edition., Lippincott-Raven Publishers, Philladelphia 6. Sutjahjo, R. A. 2004. Nyeri pada Luka Bakar. Departement of Anesthesiology & Reanimation School of Medicine. Airlangga University. Dr. Soetomo General Hospital. Surabaya 7. Perdanakusumah, D. S., 2004, Wound Management in Burn. SMF Bedah Plastik FK UNAIR-RSU Dr. Soetomo Unit Luka Bakar. Surabaya 8. Noer, S. M., 2004 Acute Burn Management dalam Bakar Masa Kini. Seminar Luka Bakar. Pp 5-13 9. Duke, J., 2000 Anesthesia Edition. Hanley & Belfus. Inc Philadelphia. Pp 292-7 and Burns in Anesthesia Penanganan Luka Secrets. Second

10. Tomashefsky JF. Acute respiratory distress syndrome: Pulmonary pathology of acute respiratory distress syndrome. Clin chest med 2000 ; vol 21 no. 3. Available in website : http: http://www.home.mdconsult.com/das/article/body/1/jorg 11. Song, C. 2004 Recent Advance in Burn Management dalam Penanganan Luka Bakar Masa Kini, Seminar Luka Bakar. Pp 18-22 12. Morgan, G. E. and Mikhail, M. S. 2002. Clinical Anesthesiology, 3 rd edition., Appleton and Lange. London

68

13. Steinberg KP, Hudson LD. Acute respiratory distress syndrome: Acute lung injury and acute respiratory distress syndrome, the clinical syndrome. Clin chest med 2000; vol 21 no.3. Available in website: http://www.home.mdconsult.com/das/article/body/1/jorg 14. Roberta.,L. H., 2004, Adult Perioperative Anesthesia, Elsevier Mosby, Philadelphia. 15. Tomashefsky J.F., Acute respiratory distress syndrome: Pulmonary pathology of acute respiratory distress syndrome. Clin chest med 2000; vol 21 no.3. Available in website: http://www. home. mdconsult.com/das/article/body/1/jorg 16. Moenadjat Y. Sindroma respons inflamasi sistemik (SRIS), sindroma disfungsi organ multipel (SDOM) dan sepsis pada kasus luka bakar. Disampaikan pada Pertemuan ilmiah tahunan (PIT) IV Perhimpunan dokter spesialis bedah plastik Indonesia (Perapi). Bandung 1999; Dalam: Moenadjat Y. Luka Bakar: Pengetahuanklinis praktis, edisi revisi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. p.4, 23-28 17. American Burn Association. Burn modules. Available in website: http://www.ameriburn.org 18. Marzoeki, D., 2004 Overview in Burn Management dalam Penanganan Luka Bakar Masa Kini, Seminar Luka Bakar Pp 1-2. 19. Naguib, M. and Lien C. A., 2005 Pharmacology of Muscle Relaxants and Their Antagonists in Millers Anesthesia sixth edition . pp 530-1 20. Prayitno, W. B., 2004 Respiratory Problem in Burn dalam Penanganan Luka Bakar Masa Kini. Seminar Luka Bakar. Pp 48- 53 21. Steinberg KP, Hudson LD. Acute respiratory distress syndrome: Acute lung injury and acute respiratory distress syndrome, the clinical syndrome. Clin chest med 2000; vol 21 no.3. Available in website: http://www. home.mdconsult.com/das/article/body/1/jorg

69

S-ar putea să vă placă și