Sunteți pe pagina 1din 62

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang.

Kekuasaan pemerintah yang ada pada presiden atau yang biasa disebut dengan kekuasaan Eksekutif merupakan konsekuensi dari salah satu ciri system presidensiil yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945. Presiden sebagai Kepala Pemerintahan memiliki peran dominan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, oleh sebab itu dalam UUD 1945 ketentuan yang mengatur mengenai kekuasaan presiden lebih banyak materinya dibandingkan dengan pengaturan Lembaga Negara lainnya. Sebagai Kepala Eksekutif presiden mendapatkan banyak kewenangan guna menjalankan pemerintahaannya. Namun selain memegang kekuasaan pemerintah, presiden juga memiliki kewenangan dibidang undang-undang (yaitu membuat PP, Kep Pres, dll). Hal ini terjadi karena Undang-undang dibentuk atas persetujuan bersama antara presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh Miriam Budiardjo kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik bentuknya maupun akibatakibatnya, sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan pemerintah tidak hanya mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari warga negara mayarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara dibidang administratif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan presiden dalam bidang pemerintahan dapat diketahui pada:

1. Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar


(pasal 4 ayat (1)). Kekuasaan presiden dalam bidang legislatif yang artinya presiden bekerja sama dengan DPR, yaitu:

1. Mengajukan Rancangan Undang-Undang (pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat(2)). 2. Membahas Anggaran Pendapatan Belanja Negara/APBN (pasal 23 ayat (2)).
Kekuasaan presiden sebagai Kepala Negara meliputi:

1. Memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan
Udara (pasal 10).

2. Menyatakan perang, damai dan perjanjian dengan Negara lain (pasal 11) 3. Menyatakan keadaan bahaya (pasal 12) 4. Mengangkat duta dan konsul dan menerima duta negara lain (pasal 13) 5. Memberi grasi, amnesti, abolosi dan rehabilitasi (pasal 14) 6. Memberi gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan (pasal 15)
Dari rangakaian kekuasaan prasiden diatas, maka yang akan dibahas lebih lanjut adalah mengenai kewenangan presiden sebagai Kepala Negara dalam memberikan amnesti berdasarkan pasal 14 UUD 1945. Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 amnesti, abolisi, rehabilitasi dan grasi mutlak merupakan kekuasaan presiden tanpa harus mempertimbangkan pertimbangan dari DPR, hanya saja Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman. Dengan berlakunya Perubahan Pertama UUD 1945, yang menegaskan pemberian amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan dari DPR, Undangundang Darurat No. 11 tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Pemberian abolisi di Indonesia pun bukan merupakan cerita baru. Selain diatur dalam UUD 1945, pemberian abolisi secara tegas diatur pula dalam Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Tetapi, sesungguhnya UU ini secara filosofis sudah tak bisa diterapkan lagi, sebab mengacu pada Pasal 96 dan Pasal 107 Undang-Undang Dasar Sementera (UUDS) Tahun 1950. UU No 11/1954 pun dinilai terlalu sumir untuk mengatur pemberian abolisi-dan amnesti-secara jelas. Pasal 1 UU No. 11/1954 itu hanya menyebutkan, Presiden atas kepentingan negara, dapat memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman. Dengan berlakunya Perubahan Pertama UUD 1945, yang menegaskan pemberian abolisi harus mendapatkan pertimbangan dari DPR, UU Amnesti dan Abolisi ini walaupun masih berlaku, hanya bisa menjadi acuan, tetapi tidak bisa diterapkan. Dalam sejarah, pemberian amnesti terhadap mereka yang memberontak pernah diterapkan di Indonesia. Di masa Soekarno ada surat Keputusan Presiden RI No 449 Tahun 1961 tentang pemberian amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang tersangkut dengan

pemberontakan. Pemberian Amnesti dan abolisi tersebut ditujukan kepada orang-orang yang tersangkut pemberontakan Daud Beureueh, PRRI/Permesta, Kahar Muzakar, Kartosuwirjo (DI/TII), Ibnu Hajar dan RMS, serta Pemberian Amnesti Terhadap GAM melalui Presiden No. 22 tahun 2005. Pada tahun 1977, Soeharto menawarkan amnesti kepada para pejuang bersenjata FRETILIN, hal mana mereka menolak. Xanana Gusmao dan para tahanan politik Timor Leste lainnya dibebaskan pada tahun 1999. Pardon ditawarkan juga kepada para perwira senior TNI atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan di Timor Leste - misalnya mantan Presiden Indonesia Abdul Rahman Wahid menawarkannya kepada Wiranto jika dia terbukti bersalah, para leader politik Timor Leste menawarkan hal yang sama bagi para lawan politik mereka termasuk FRETILIN terhadap UDT di tahun 1975 dan oleh Xanana Gusmao secara periodis selama masa perjuangan kemerdekaan, termasuk kepada para komandan milisi tahun 1999. Jose Zalaquett seorang mantan pengacara HAM Amnesti Internasional dalam sebuah makalahnya yang diterbitkan Aspen Institute (State Crime: Punishment or Pardon, 1989) mengajukan tiga syarat pemberian amnesti pada pelaku kejahatan berat HAM, yakni:

1. Kebenaran harus terlebih dahulu ditegakkan. 2. Amnesti tidak diberikan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against
humanity) dan genosida (genocide).

3. Amnesti harus sesuai dengan ''keinginan'' rakyat.


Berdasarkan kerangka itu, amnesti yang bersifat ''self-amnesty'' --yakni amnesti yang diberikan kepada aparat negara, misalnya militer atau polisi, tidak dibenarkan. ''Selfamnesty'' harus ditolak, karena memungkinkan negara mengadili/mengampuni dirinya sendiri. Bila ini terjadi berarti melanggar prinsip ''no one can be judge in his own suit''. Amnesti dari presiden diatur dalam sistem hukum Indonesia, melalui pasal 14 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberi pengampunan, amnesti, abolisi dan pemulihan nama baik seseorang. Hal ini ditinjau kembali di dalam amandemen pertama yang memperbolehkan Presiden memberikan amnesti dan abolisi setelah mempertimbangkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat dan pemberian grasi dan pemulihan nama baik seseorang setelah mempertimbangkan saran-saran dari Mahakamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman.

Secara logika hukum, pemberian amnesti diberikan oleh negara kepada para pelaku tindakan makar atau pemberontak (rebellion). Dalam hal ini para pemberontak telah melakukan kejahatan terhadap negara (crimes against state). Negara dalam hal ini telah menjadi korban dari perbuatan pidana oleh karena itu amnesti dapat diberikan kepada mereka yang telah menyerah atau berbuat baik selama menjalani hukuman. Menurut Undang-undang Darurat No.11 tahun 1954 amnesti tersebut diberikan kepada orang-orang yang telah malakukan tindak pidana yang nyata akibat persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda.

B. Pokok Permasalahan.

1. Apa yang menjadi dasar atau kriteria suatu pemberian amnesti oleh presiden kepada
seseorang atau kelompok menurut Undang-undang?

2. Mengapa pemberian amnesti oleh presiden harus dengan persetujuan DPR? 3. Bagaimanakah prusedur pemberian Amnesti yang berlaku di Indonesia sebelum dan
sesudah perubahan Undang-undang Dasar 1945?

C. Tujuan penelitan

1. Untuk menjelaskan/menggambarkan dasar atau kriteria suatu pemberian amnesti


oleh Presiden.

2. Untuk menjelaskan/menggambarkan latar belakang perlunya persetujuan DPR


dalam pemberian amnesti.

3. Untuk menjelaskan/menggambarkan prosedur tata cara pemberian amnesti yang


berlaku di Indonesia.

D. Metode Penelitian

1. Tipe penelitian

Dalam skripsi ini penulis menggunakan penelitian hukum normatif dimana dalam skripsi ini penulis meneliti tentang kewenangan presiden menurut pasal 14 ayat (2) UndangUndang Dasar 1945 yang berlaku saat ini.

2. Sifat Penelitian
Deskriptif yaitu satu penelitian dimana pengetahuan atau teori tenteng objek sudah ada dan ingin memberikan uraian dan gambaran tentang objek penelitian.

3. Pengumpulan Data.
Dalam metode ini penulis dalam mengumpulkan data menggunakan metode library resech Untuk lebih melengkapi skripsi ini dan juga mengadakan serangkaian penelitian dengan cara melakukan observasi lapangan dan wawancara dengan pihak-pihak yang berwenang dalam pelaksanaan hak presiden yang akan diteliti tersebut.

E. Kerangka Konseptual. Secara umum kata Amensti berasal dari bahasa Yunani yang artinya melupakan, yaitu suatu tindakan untuk melupakan sebuah kejahatan. Seseorang yang telah diberi jaminan amnesti tidak akan dituntut atas suatu kejahatan yang tercakup dalam amnesti. Efek hukum sebuah amnesti ialah memandang sebuah kejahatan seakan tak pernah terjadi dan menghapus kejahatan seseorang dan tanggung-jawab sosialnya, sebab gugatan pengadilan tidak akan dilakukan. Amnesti dijamin baik secara kolektif (amnesti umum) maupun atas permintaan perorangan. Amnesti bisa bersifat terbuka atau tertutup. Menjadi jelas bila dinyatakan secara langsung; tertutup bila suatu perjanjian damai diadakan antara kedua belah pihak yang bermusuhan, atau bilamana sebuah pemerintahan tidak mengambil

tindakan. Hak untuk menjamin amnesti biasanya diberikan kepada seorang kepala negara atau parlemen. Selain amnesti dikenal pula istilah Pardon, yang mana diberikan hanya setelah pengadilan dan penghukuman. Dampak Pardon ialah membebaskan seorang yang divonis bersalah dan dijatuhi hukuman dari hukuman itu sendiri. Penghukuman tidak terpengaruh hanya yang dapat dipertimbangkan ialah pengurangan hukuman baik secara menyeluruh maupun sebagiannya saja. Hak untuk memberikan Pardon biasanya diberikan kepada seorang Kepala Negara. Istilah lainnya adalah Imunitas, yaitu kebebasan atau pembebasan dari tahanan dan prosedur hukum lainnya. Biasanya menyangkut kelompok-kelompok yang istimewa seperti halnya pimpinan negara, para anggota parlemen atau diplomat.

F. Sistematika Penulisan. BAB I Pendahuluan Dalam bab ini berisi latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penulisan, metode penelitian, kerangka teori, sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN TENTANG LEMBAGA AMNESTI. Dalam bab ini mengadakan peninjauan dari segi-segi teoritis yang mempunyai hubungan yang erat dan masalah-masalah yang terdapat dalam pokok-pokok permasalahan serta

mengadakan peninjauan secara singkat teori-teori tersebut di Indonesia yang meliputi Lembaga Amnesti. Dan yang meliputi:

1. Definisi amnesti. 2. Kelembagaaan Negara Republik Indonesia 3. Jenis Amnesti 1. Nasional 2. Internasianal 4. Sejarah Amnesti. 5. Prosedur pemberian amnesti 1. Nasional 2. Internasional

BAB III Pelaksanaan Amnesti di Indonesia

1. Pemberian amnesti kepada orang-orang yang tersangkut pada pemberontakan Daud


Bereueh di Aceh.

2. Pemberian amnesty di Indonesia dari masa ke masa. 3. Dampak Pemberian Amnesty

BAB !V Analisis

1. Analisa KEPPRES 449/1961, tentang pemberian amnesti kepada orang-orang yang


tersangkut pada pemberontakan Daud Bereueh di Aceh.

2. Analisa KEPPRES 568/1961, tentang tindakan imbangan terhadap pemberian


amnesti dan abolisi kepada pemberontak/gerombolan, yang menyerah tanpa syarat menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No 449/1961.

BAB IV Kesimpulan dan Saran Dalam bab ini penulis akan menarik sebuah kesimpulan- kesimpulan dan saran-saran yang didapatkan dari apa yang telah penulis lakukan dalam penelitian dilapangan.

G. Tinjauan Pustaka.

1. Bagir manan, Lembaga Kepresidenan, FUII press Jakarta 2003. 2. CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: Balai Pustaka, 1987). 3. CST Kansil HTN Republik Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta 2003. 4. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta 2003. 5. Undang-undang Darurat No. 11 tahun 1954, tentang Amnesti dan Abolisi. 6. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

BAB II TINJAUAN TENTANG LEMBAGA AMNESTI.

1. Definisi amnesti.
Di Indonesia amnesti diatur di dalam pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, dimana dalam pasal tersebut menyatakan bahwa presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memparhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Jelas bahwa setiap pemberian amnesti harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat selaku Badan Legislatif yang mengawasi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. Banyak yang dapat dipersoalkan mengenai materi perubahan UUD 1945 yang menyangkut pelaksanaan Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 tersebut. Misalnya, untuk apa DPR ditumpukkan tambahan-tambahan kewenangan yang justru akan sangat merepotkan DPR secara teknis. Misalnya, untuk apa DPR memerlukan keterlibatan untuk memberikan pertimbangan dalam pengangkatan Duta Besar dan Konsul serta penerimaan Duta Besar dan Konsul negara sahabat seperti di tentukan dalam Pasal 13 baru. Perubahan seperti ini justru akan menyulitkan baik bagi pemerintah maupun bagi DPR sendiri dalam pelaksanaan prakteknya. Demikian pula mengenai pertimbangan terhadap pemberian amnesti dan abolisi yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) baru yang selama ini ditentukan perlu dimintakan kepada Mahkamah Agung, untuk apa dialihkan ke DPR. Namun demikian, terlepas dari kelemahan atau kritik-kritik di atas, semua kewenangan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut biasanya dipahami berkaitan dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. Ada yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi judikatif seperti pemberian grasi dan rehabilitasi, dan ada pula yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi legislatif seperti misalnya pernyataan keadaan bahaya yang berkait erat dengan kewenangan Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu). Dalam kaitannya dengan fungsi legislatif, berdasarkan ketentuan UUD 1945 Pasal 5 ayat (1) lama, memang dinyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan

persetujuan DPR. Dengan ketentuan demikian, dapat dikatakan bahwa kekuasaan legislatif yang utama memang berada di tangan Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan. Hanya saja pelaksanaan kewenangan ini tidak boleh dilakukan semena-mena, dan untuk itu diperlukan persetujuan DPR yang tingkatannya sederajat dengan Presiden. DPR bahkan berhak menolak ataupun menyetujui hanya sebagian rancangan UU yang diajukan oleh Presiden. Bahkan DPR diberi hak pula untuk berinisiatif mengajukan rancangan UU sendiri. Dalam hubungan ini, lembaga DPR dapat dikatakan lebih merupakan lembaga kontrol atau pengawas daripada lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Akan tetapi, dalam rangka Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945, ketentuan demikian itu diubah secara mendasar. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) baru juncto Pasal 20 ayat (1) baru, kewenangan membentuk UU itu telah dialihkan dari tangan Presiden ke DPR. Dalam Pasal 20 ayat (1) baru, ditegaskan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) baru dinyatakan bahwa: Presiden berhak mengajukan rancangan UU kepada DPR. Dengan demikian, DPR telah berubah menjadi pemegang utama kekuasaan membentuk UU. Artinya, kewenangan mengatur (regel) tidak lagi berada di tangan Presiden. Presiden kita sekarang sudah berubah menjadi pelaksana belaka (eksekutif) terhadap segala keputusan legislatif dalam bentuk UU yang ditetapkan oleh DPR, dan demikian juga segala keputusan legislatif MPR sebagai lembaga tertinggi negara, baik dalam bentuk UUD, Perubahan UUD, maupun dalam bentuk Ketetapan MPR.

3. Kelembagaan Negara Republik Indonesia.


Berbicara mengenai lembaga negara berarti berbicara mengenai alat kelengkapan yang ada dalam sebuah negara. Alat kelengkapan negara berdasarkan teori klasik hukum negara meliputi, kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa Presiden atau Perdana Menteri atau Raja; kekuasaan legislatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat; dan kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah Agung atau supreme court. Setiap alat kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu melaksanakan fungsinya. Kekuasaan eksekutif, misalnya, dibantu oleh menteri-menteri yang biasanya memiliki suatu depertemen tertentu. Meskipun demikian, dalam kenyataanya, tipe-tipe lembaga yang diadopsi setiap negara berbeda-beda sesuai dengan perkembangan sejarah politik

kenegaraan dan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Secara konseptual, tujuan diadakan lembaga-lembaga negara atau alat kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Lembaga-lembaga negara harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelengaraan fungsi negara atau istilah yang digunakan Prof. Sri Soemantri adalah actual governmental process. Jadi, meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa berbeda, secara konsep, lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang. Dalam negara hukum yang demokratik, hubungan antara infra struktur politik (Socio Political Sphere) selaku pemilik kedaulatan (Political Sovereignty) dengan supra struktur politik (Governmental Political Sphere) sebagai pemegang atau pelaku kedaulatan rakyat menurut hukum (Legal Sovereignty), terdapat hubungan yang saling menentukan dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, hubungan antar dua komponen struktur ketatanegaraan tersebut ditentukan dalam UUD, terutama supra struktur politik telah ditentukan satu sistem, bagaimana kedaulatan rakyat sebagai dasar kekuasaan tertinggi negara itu dibagi-bagi dan dilaksanakan oleh lembaga- lembaga negara. Kedudukan lembaga negara dapat dilihat dari konteks negara dan konteks masyarakat, lembaga negara dalam konteks negara dapat diketahui melalui sistem dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang berlaku sebagaimana yang dianut dalam UUD NRI 1945. dalam konteks masyarakat dapat dilihat dari kerja Infra Struktur Politik masyarakat yang meliputi partai politik (political party), golongan kepentingan (interest group), golongan penekan (pressure group), alat komunikasi politik (media political communication), dan tokoh politik (political figure) dalam mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan- kebijakan penyelenggara negara. Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan UUD 1945 sebelum perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah perubahan, lembaga negara berdasarkan ketentuan UUD adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara.

Untuk mengetahui bagaimana proses penyelenggaraan negara menurut UUD, maka Prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan perlu dicermati karena sangat mempengaruhi hubungan dan mekanisme kelembagaan antar lembaga negara. Dengan penegasan prinsip tersebut, sekaligus untuk menunjukan ciri konstitusionalisme yang berlaku dengan maksud untuk menghindari adanya kesewenang-wenangan kekuasaan. Adanya pergeseran prinsip pembagian ke pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 telah membawa implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Perubahan prinsip yang mendasari bangunan pemisahan kekuasaan antar lembaga negara adalah adanya pergeseran kedudukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang semula ditangan MPR dirubah menjadi dilaksanakan menurut UUD. Dengan perubahan tersebut, jelas bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat dalam prakteknya dibagikan pada lembaga-lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang jelas dan tegas. Di bidang legislatif terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif terdapat Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat; di bidang yudikatif terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; di bidang pengawasan keuangan ada BPK. Namun demikian, dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan negara.

1. Kekuasaan Presiden
Presiden adalah penyelengara pemerintahan. Selain menjalankan kekuasaan eksekutif, presiden juga menjalankan kekuasaan membentuk peraturan perundang-undangan, Kekuasaan yang berkaitan dengan kekuasaan Yudikatif dalma pemberian grasi, amnesty, abolisi dan sebagainya. Setiap konstitusi biasanya mengatur secara terinci kekuasaan presiden bandingkan dengan lembaga lainnya. Hal ini disebabkan presiden sebagai kepala Negara memiliki peran yang lebih dominan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Itu sebabnya maka dalam UUD 1945, ketentuan yang mengatur mengenai kekuasaaan presiden lebih banyak dibandinkan dengan pengaturan lembaga Negara lainnya.

Kekuasan pemerintah yang ada pada presiden atau biasa disebut kekuasaan eksekutif merupakan konsekuesi dari system pemerintahan presindensiil dalam UUD 1945. Sebagai kepala eksekutif maka pesiden mendapatkan banyak kewenangan guna menjalankan pemerintahannya. Namun selain memegang kekuasaan pemerintahan, Presiden juga memiliki kekuasaaan atau kewenangan dibidang perundang-undangan (legislatif). Hal ini terjadi karena Undang-undang dibahas bersama antara Presiden dengan DPR. Selain dua kekuasaan itu, Presiden masih memiliki satu kekuasaan lagi, yaitu kekuasaan sebagai kepala Negara. Secara umum kewenangan Presiden berdasarkan UUD 1945 terbagi atas beberapa kewenangan seperti :

1. Kewenangan yang bersifat eksekutif atau kewenangan dalam penyelenggaraan


pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar.

2. Kewenangan yang bersifat legislatif atau kewenangan untuk mengatur kepentingan


umum atau publik.

3. Kewenangan yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait
dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi masa hukuman, pengampunan ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait dengan kewenangan pengadilan.

4. Kewenangan bersifat diplomatik yaitu kewenangan dalam menjalin hubungan


dengan negara lain atau subjek hukum internasional yang lainnya dalam konteks hubungan luar negeri, baik dalam keadaan perang atau damai.

5. Kewenangan bersifat administratif.

Perubahan UUD 1945 yang cukup signifikan dan mendasar bagi penyelenggaraan demokrasi yaitu pemilihan presiden secara langsung. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilu. Pemilihan secara langsung presiden dan wakil presiden akan memperkuat legitimasi seorang presiden sehingga presiden diharapkan tidak mudah untuk diberhentikan di tengah jalan tanpa dasar memadai, yang bisa mempengaruhi stabilitas politik dan pemerintahaan secara aktual. Presiden merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan dibidang eksekutif. Seiring dengan Perubahan UUD 1945, saat ini kewenangan Presiden diteguhkan hanya sebatas pada bidang kekuasaan dibidang pelaksanaan pemerintahan negara. Namun demikian, dalam UUD 1945 juga diatur mengenai ketentuan bahwa Presiden juga menjalankan fungsi yang berkaitan dengan bidang legislatif maupun bidang yudikatif.

Sebagai negara yang menganut ciri constitutional government sebagai unsur penting negara hukum, maka kekuasaan Pemerintah, dalam hal ini Presiden, diatur dalam UUD 1945 [Lihat Pasal 4 ayat (1)]. Adapun beberapa hak atau kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Presiden pasca Perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut:

1. Mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR [Pasal 5 ayat (1)]; 2. Menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undangn
sebagaimana mestinya [Pasal 5 ayat (2)];

3. Memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7);

4. Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angakatan Laut, dan
Angkatan Udara (Pasal 10);

5. Dengan persetujuan DPR, menyatakan perang, membuat perdamaian, dan


perjanjian dengan negara lain [Pasal 11 ayat (1)];

6. Membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembukaan undang-undang dengan persetujuan DPR [Pasal 11 ayat (2)];

7. Menyatakan keadaan bahaya yang syarat-syaratnya dan akibatnya ditetapkan


dengan undang-undang (Pasal 12);

8. Mengangkat duta dan konsul dengan memerhatikan pertimbangan DPR [Pasal 13


ayat (1)];

9. Menerima penempatan duta negara lain dengen memerhatikan pertimbangan DPR


[13 ayat (2)];

10. Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan pertimbangan Mahkamah


Agung [Pasal 14 ayat (1)];

11. memberi amnesti dan abolisi dengan memerhatikan pertimbangan DPR [Pasal 14
ayat (2)];

12. Memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan
undang-undang (Pasal 15);

13. Membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat dan
pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dalam undang-undang (Pasal 16);

14. Mengangkat dan memberhentikan menteri negara (Pasal 17 ayat (2)];

15. Mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR
dan Presiden menjadi undang-undang [Pasal 20 ayat (4)];

16. Mengajukan rancangan undang-undang tentang APBN untuk dibahas bersama DPR
dengan memerhatikan pertimbangan DPD [Pasal 23 ayat (2)];

17. Meresmikan anggota BPK yang telah dipilih oleh DPR dengan memerhatikan
pertimbangan DPD [Pasal 23F ayat (1)];

18. Menetapkan hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan mendapatkan
persetujuan DPR [Pasal 24A ayat (3)];

19. Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR
[Pasal 24B ayat (3)];

20. Menetapkan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi yang diajukan masingmasing oleh Mahkamah Agung tiga orang, oleh DPR tiga orang, dan oleh Presiden tiga orang [Pasal 24C ayat (3)].

Terhadap Hak Prerogratif atau Hak Mutlak merupakan hak yang dimiliki Presiden secara penuh dan tidak memerlukan persetujuan dari pihak atau lembaga lain dalam penggunaannya. Sebagai contoh, dari beberapa hak Presiden di atas, pemberian amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi merupakan hak mutlak di tangan Presidn. Walaupun Presiden diharuskan memerhatikan pertimbangan DPR atau MA, akan tetapi pertimbangan tersebut tidak mengikat dan tidak mutlak mempengaruhi hak penuh presiden sendiri. Begitupula dengan pengangkatan menteri-menterinya, merupakan hak mutlak Presiden. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar, Presiden haruslah warga negara Indonesia yang sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain. Perubahan ketentuan mengenai persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tuntutan zaman serta agar sesuai dengan perkembangan masyarakat yang makin demokratis, egaliter, dan berdasarkan rule of law yang salah satu cirinya adalah pengakuan kesederajatan di depan hukum bagi setiap warga negara. Hal ini juga konsisten dengan paham kebangsaan Indonesia yang berdasarkan kebersamaan dengan tidak membedakan warga negara atas dasar keturunan, ras, dan agama. Kecuali itu, dalam perubahan ini juga terkandung kemauan politik untuk lebih memantapkan ikatan kebangsaan Indonesia. Selanjutnya, sebagai perwujudan negara hukum dan checks and balances system, dalam UUD diatur mengenai ketentuan tentang periode masa jabatan Presiden dan Wakil

Presiden serta adanya ketentuan tentang tata cara pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa jabatan Presiden dapat dikontrol oleh lembaga negara lainnya, dengan demikian akan terhindar dari kesewenang-wenangan dalam penyelenggaraan tugas kenegaraan. Berkaitan dengan pelaksanaan prinsip checks and balances system serta hubungan kewenangan antara Presiden dengan lembaga negara lainnya, antara lain mengenai pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi yang semula menjadi hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara, saat ini dalam menggunakan kewenangannya tersebut harus dengan memperhatikan pertimbangan lembaga negara lain yang memegang kekuasaan sesuai dengan wewenangnya. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan dalam hal pemberian grasi dan rehabilitasi dari pelaksana fungsi yudikatif. DPR memberikan pertimbangan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasarkan pada pertimbangan politik. Oleh karena itu DPR sebagai lembaga perwakilan/lembaga politik kenegaraan adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai hal itu. Adanya pertimbangan MA dan DPR (lembaga di bidang yudikatif dan legislatif) juga dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi dan saling mengimbangi antara Presiden dan kedua lembaga negara tersebut dalam hal pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan. Menurut Pasal 3 ayat (6) Ketetapan MPR No. III/ MPR/ 2000, Keputusan presiden adalah keputusan yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan. Persetujuan dan pertimbangan DPR diberikan dalam rangka melakukan fungsi pokoknya yaitu fungsi pengawasan yang merupakan the original power DPR. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan ini pula UUD 1945 telah mengakomodirnya dengan menetapkan hakhak DPR baik yang bersifat intitusional, seperti hak interpe- lasi (hak meminta keterangan), hak angket (hak untuk melakukan penyelidikan), dan hak menyatakan pendapat, maupun yang bersifat personal, seperti hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat dan hak imunitas. Mendasarkan pada pengawasan ini DPR dapat memberikan Memorandum I dan II serta meminta Sidang Istimewa kepada MPR. Dalam sistem presidensiil sebagaimana dianut oleh UUD 1945, kedudukan eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR) adalah sejajar. Kedua lembaga ini tidak dapat saling menjatuhkan. Sistem dalam UUD 1945 memang

merupakan sistem yang unik, meskipun DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden, tetapi secara tidak langsung DPR dapat menyebabkan Presiden jatuh. Mendasarkan pada Tap MPR No.III/MPR/1978 jo Tap MPR No.II/MPR/2000, setelah memorandum I dan II, Sidang Istimewa dapat digelar atas permintaan DPR, dan salah satu kemungkinan yang dapat terjadi dalam Sidang Istimewa itu adalah MPR (yang mayoritas anggotanya adalah anggota DPR) dapat memberhentikan Presiden. Melihat kekuasaan serta hak-hak yang dimiliki DPR sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan pelaksanaannya dalam praktik selama ini menunjukkan adanya keinginan untuk mendudukkan DPR sebagai lembaga yang memiliki kekuatan. Dengan demikian tidaklah keliru apabila terdapat pandangan yang menyatakan bahwa amandemen UUD 1945 telah memberikan supremasi kepada MPR. Demikian pula yang terjadi dalam praktik, pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR (terutama terhadap kasus Buloggate dan Bruneigate) dianggap sebagai tindakan yang over-acting. Tetapi apakah benar bahwa dengan amandemen UUD 1945 telah mendudukkan DPR sebagai lembaga yang supreme. Apa yang dilakukan oleh DPR (terutama dalam fungsi pengawasan) setidak- tidaknya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor:

1. Kekuasaan yang dimiliki DPR telah diterapkan dalam konstitusi (UUD 1945) yang
merupakan the supreme law of the land. Artinya, apa yang dilakukan oleh DPR telah mempunyai legitimasi konstitusional. Hal ini yang menjadikan DPR lebih confident dan berani dalam melaksanakan apa yang memang menjadi tugasnya, karena adanya jaminan konstitusi tadi.

2. Adanya tuntutan demokratisasi dan reformasi yang didukung keanggotaan DPR


yang dihasilkan melalui Pemilu yang lebih demokratis serta reposisi TNI dan Polri yang menjadikan DPR lebih independent.

3. Tampaknya DPR ingin mengubah citra dari lembaga yang selama ini tersubordinasi
kekuasaan eksekutif menjadi sebuah lembaga yang memiliki kekuatan, di samping munculnya para "politisi" muda yang masih sarat dengan idealismenya, yang memberikan nuansa dan semangat baru bagi DPR. Kesan over-acting ini bisa jadi karena terjadi semacam "kekagetan" dalam diri masyarakat karena apa yang dilakukan oleh DPR sekarang hampir tidak pernah dijumpai selama tiga dekade. Jangankan memberikan memorandum, melaksanakan hak interpelasi atau hak angketpun tidak pernah dilakukan.

Eksitensi DPR dengan kekuasaan pengawasannya merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip demokrasi. Di dalam negara demokrasi (perwakilan) dengan bentuk negara, bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan apapun, pengawasan oleh DPR/Parlemen (legislative control) merupakan sesuatu yang mutlak harus ada. Pengawasan merupakan cara dalam meminta pertanggungjawaban, dan pertanggungjawaban merupakan komponen yang sangat penting dalam demokrasi. Dalam kerangka UUD 1945, fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR tidak dapat diartikan sebagai supremasi legislatif karena fungsi pengawasan oleh DPR merupakan fungsi yang sifatnya inheren. Fungsi pengawasan DPR hendaknya dipahami sebagai upaya untuk mewujudkan check and balance serta mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government), bukan sekadar sebagai tindakan yang hanya ingin menun- jukkan bahwa DPR sekarang berbeda dengan DPR dahulu, atau hanya untuk ke- pentingan sesaat bagi golongan/kelompok atau partai. Sejarah bahwa supremasi di tangan eksekutif yang tanpa pengawasan telah menghasilkan pemerintahan yang sentralistis dan otoriter, hendaknya menjadi dasar pemahaman bahwa memberikan kekuasaan atau supremasi kepada DPR tanpa adanya pengawasan hanya akan mengulang sejarah (yang buruk). Sekilas tentang pengertian fungsi dan tugas Presiden dalam administrasi negara dan administrasi pemerintahan adalah sebagai berikut :

1. Dalam administrasi negara, maka fungsi dan tugas Presiden adalah memberikan
pelayanan (service) yang baik kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, serta mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Untuk itu agar penyelenggaraan administrasi negara ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa maka dituntut partisipasi masyarakat (social participation), dukungan dari masyarakat kepada Presiden sebagai pimpinan tertinggi administrasi negara (social support), pengawasan dari masyarakat terhadap kinerja Presiden (social control), serta harus ada pertanggung jawaban dari kegiatan Presiden kepada masyarakat (social responsibility).

2. Sebagai pelaksana administrasi pemerintahan maka fungsi dan tugas Presiden


adalah sebagai pelaksana tata laksana dalam mengambil tindakan hukum dan tindakan materil untuk melaksanakan fungsi pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Dalam praktik ketatanegaraan, Keputusan Presiden memiliki bentuk-bentuk yang berbeda satu sama lain yang bersumber dari kewenangan-kewenangan yang diberikan. Misal, Keputusan Presiden yang berasal dari kewenangan yang bersifat eksekutif atau kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar maka dalam pratiknya disebut Peraturan Presiden. Hal ini sebagaimana dimaksud UU No. 10 Tahun 2004 yang pada pokoknya menyatakan Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden yang berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Contoh lain, Keputusan Presiden yang berasal dari kewenangan yang bersifat legislatif atau kewenangan untuk mengatur kepentingan umum atau publik dalam praktiknya disebut Instruksi Presiden. Hal ini dapat dilihat dari Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi dan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang keseluruhan isi materinya lebih bersifat mengatur pelayanan kepentingan umum atau publik. Kekuasaan Presiden Yang Mandiri. Kekuasaan yang tidak diatur mekanisme pelaksanaannya secara jelas, tertutup atau yang memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden. Yang termasuk kekuasaan ini adalah :

1. Kekuasaan tertinggi atas AD, AL, AU dan Kepolisian Negara RI 2. Kekuasaan menyatakan keadaan bahaya 3. Kekuasaan mengangkat duta dan konsul 4. Kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 5. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri 6. Kekuasaan mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU inisiatif DPR 7. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung RI 8. Kekuasaan mengangkat Panglima ABRI 9. Kekuasaan mengangkat LPND

Mekanisme yang paling baik adalah mengadakan hearing terlebih dahulu di DPR. Kekuasaan Presiden Dengan Persetujuan DPR. Yang termasuk dalam kekuasaan ini adalah : 1. Kekuasaan menyatakan perang dan membuat perdamaian 2. Kekuasaan membuat perjanjian dengan negara lain 3. Kekuasaan membentuk undang-undang 4. Kekuasaan menetapkan PERPU 5. Kekuasaan menetapkan APBN Sebelum melaksanakan kekuasaan tersebut, Presiden memerlukan persetujuan DPR terlebih dahulu. Sebagai contoh, jika DPR menganggap penting suatu perjanjian, maka harus mendapat persetujuan DPR. Jika perjanjian dianggap kurang penting oleh DPR dan secara teknis tidak efisien bila harus mendapat persetujuannya terlebih dahulu, dapat dilakukan dengan persetujuan Presiden. Hal ini dilakukan untuk menghindari terulangnya peminggiran peranan wakil rakyat dalam peranannya menentukan arah kebijakan politik negara. Kekuasaan Presiden dengan konsultasi. Kekuasaan tersebut adalah :

1. Kekuasaan memberi grasi 2. Kekuasaan memberi amnesti dan abolisi 3. Kekuasaan memberi rehabilitasi 4. Kekuasaan memberi gelaran 5. Kekuasaan memberi tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya 6. Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah 7. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim 8. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Hakim Agung, ketua, Wakil
Ketua, Ketua Muda dan Hakim Anggota MA

9. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Ketua, Wakil Ketua dan


Anggota DPA

10. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Ketua, Wakil Ketua dan


anggota BPK

11. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Wakil jaksa agung dan jaksa
agung Muda

12. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Kepala Daerah Tingkat I 13. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Panitera dan Wakil Panitera
MA

14. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen, Irjen, dan Dirjen


departemen

15. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen DPA 16. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen BPK 17. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota MPR yang
diangkat

18. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota DPR


yangdiangkat

19. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Gubernur dan Direksi Bank


Indonesia

20. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Rektor 21. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Deputi-deputi atau jabatan
yang setingkat dengan deputi LPND Sebagai contoh, kekuasaan memberi tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya. Di masa datang, Presiden harus mendapat usulan atau pertimbangan dulu dari Dewan Tanda-tanda Kehormatan, dan Presiden dengan sungguh-sungguh memperhatikan pertimbangan atau usulan tersebut.

B.1. Presiden sebagai Kepala Negara Kekuasaan persiden dalam bidang pemerintahan dapat diketahui pada pasala 4 ayat (1) yang berbunyi: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar. Ketentuan ini tidak mnalami perubahan selama proses amandemen pertama hingga keempat, dengan demikian ketentuan ini tetap dipertahankan sebagaimana awalnya. Pasal 4 ayat (1) tersebut membari wewenang terhadap Presiden secara luas dan tidak terperinci, sehingga segala pelaksanaan pemerintaan itu sedikit banyak tergantung kepad presiden. Namun demikian tidak berarti presiden itu dapat berbuat sekehendak hatinya,

karena UUD 1945 membatasinya antara lain: pasal 5 ayat (1) dan (2) UUD 1945, pasal 14 ayat (1) dan (2) UUD 1945 Kekuasaan Presiden RI sebagai kepala negara sering disebut dengan istilah "hak prerogatif Presiden" dan diartikan sebagai kekuasaan mutlak Presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. Secara teoritis, hak prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara yang lain. Dalam sistem pemerintahan negara-negara modern, hak ini dimiliki oleh kepala negara baik raja ataupun presiden dan kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi. Hak ini juga dipadankan dengan kewenangan penuh yang diberikan oleh konstitusi kepada lembaga eksekutif dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintahannya (terutama bagi sistem yang menganut pemisahan kekuasaan secara tegas, seperti Amerika Serikat), seperti membuat kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi. Sistem pemerintahan negara-negara modern berusaha menempatkan segala model kekuasaan dalam kerangka pertanggungjawaban publik. Dengan demikian, kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan, dalam prakteknya sulit mendapat tempat. Sehingga, dalam praktek ketatanegaraan negara-negara modern, hak prerogatif ini tidak lagi bersifat mutlak dan mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang ketatanegaraan tidak pernah menyatakan istilah hak prerogatif Presiden. Namun dalam prakteknya, selama orde baru, hak ini dilakukan secara nyata, misalnya dalam hal pengangkatan menteri-menteri departemen. Hak ini juga dipadankan terutama dalam istilah Presiden sebagai kepala negara yang sering dinyatakan dalam pengangkatan pejabat negara. Kekuasaan Kepala Negara. Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara hanyalah kekuasaan administratif, simbolis dan terbatas yang merupakan suatu kekuasaan disamping kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan. Di Indonesia, kekuasaan Presiden sebagai kepala negara diatur dalam UUD 1945 Pasal 10 sampai 15. Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara di masa mendatang selayaknya diartikan sebagai kekuasaan yang tidak lepas dari kontrol lembaga lain (DPR).

Pemberian amnesty oleh presiden dalam jabatannya sebagai kepala Negara adalah suatu hak yang dimiliki oleh presiden yang preogratif,hal tersebut tertuang dalam Pasal 14 mengenai pemberian grasi dan rehabilitasi, serta pemberian amnesti dan abolisi; hak tersebut dapat digunakan untuk memberikan amesti kepada siapa saja yang menurutnya (Presiden) layak mendapatkan suatu pemberian amnesty dengan atas mmpertimbangkan pertimbangan DPR, B.2. Presiden sebagai Kepala Pemerintahan Kekuasaan Kepala Pemerintahan. Kekuasaan Presiden sebagai kepala pemerintahan di Indonesia diatur dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (1). Kekuasaan pemerintahan sama dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang membatasi kekuasaan pemerintahan secara sempit pada pelaksanaan peraturan hukum yang ditetapkan lembaga legislatif. Kekuasaan eksekutif diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Kekuasaan ini terbatas pada penetapan dan pelaksanaan kebijakankebijakan politik yang berada dalam ruang lingkup fungsi administrasi, keamanan dan pengaturan yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya, kekuasaan ini tetap besar dan mendapat pengawasan dari badan legislatif atau badan lain yang ditunjuk oleh konstitusi untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dalam UUD 1945, fungsi pengawasan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh DPR. Kekuasaan Legislatif. UUD 1945 menetapkan fungsi legislatif dijalankan oleh Presiden bersama dengan DPR. Presiden adalah "partner" DPR dalam menjalankan fungsi legislatif. Dalam kenyataannya, Presiden mempunyai kekuasaan yang lebih menonjol dari DPR dalam hal pembentukan undang-undang, karena penetapan akhir dari suatu undangundang yang akan diberlakukan ada di tangan Presiden. Produk undang-undang yang dikeluarkan orde baru lebih memihak kekuasaan daripada kehendak rakyat Indonesia. Oleh karena itu sistem check and balance mendesak untuk diterapkan dengan mekanisme yang jelas. Bila ada pertentangan antara Presiden dan DPR dalam hal persetujuan suatu undangundang, maka Presiden harus menyatakan secara terbuka dan menggunakan hak vetonya. Dengan demikian, di akhir masa jabatannya masing-masing lembaga dapat diminta pertanggungjawabannya baik di sidang umum maupun dalam pemilihan umum. Dalam sistem yang dianut oleh UUD 1945, Presiden Republik Indonesia mempunyai kedudukan sebagai Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan. Memang ada kedudukan lain yang juga disebut dalam UUD 1945, yaitu dalam Pasal 10 yang menyatakan

bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Kedudukan ini biasa disebut sebagai Panglima Tertinggi atas ketiga angkatan bersenjata atau ketiga angkatan Tentara Nasional Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 10A (baru), dinyatakan pula bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kewenangan-kewenangan yang ditetapkan dalam Pasal-pasal 10, 11, 12, 13, 14, dan Pasal 15 UUD 1945 (Red) biasanya dikaitkan dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. Pasal 11 mengatur mengenai kewenangan Presiden untuk menyatakan perang dan damai serta kewenangan untuk membuat perjanjian dengan negara lain. Pasal 12 berkenaan dengan kewenangan menyatakan keadaan bahaya, Pasal 13 berkenaan dengan pengangkatan dan penerimaan Duta Besar dan Konsul. Pasal 14 mengenai pemberian grasi dan rehabilitasi, serta pemberian amnesti dan abolisi; dan Pasal 15 mengenai pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya. Sesuai hasil Perubahan Pertama UUD 1945, pelaksanaan kewenangan Presiden tersebut di atas secara berturut dipersyaratkan diperhatikannya pertimbangan DPR, pertimbangan MA, ataupun diharuskan adanya persetujuan DPR, dan bahkan diharuskan adanya UU terlebih dahulu yang mengatur hal itu. Pelaksanaan kewenangan yang diatur dalam Pasal 11 memerlukan persetujuan DPR. Pelaksanaan kewenangan yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 15 mempersyaratkan adanya UU mengenai hal itu lebih dahulu. Pelaksanaan kewenangan dalam Pasal 13 memerlukan pertimbangan DPR yang harus diperhatikan oleh Presiden. Sedangkan pelaksanaan kewenangan dalam Pasal 14 dibagi dua, yaitu untuk pemberian grasi dan rehabilitasi diperlukan pertimbangan MA, sedangkan pemberian amnesti dan abolisi diperlukan pertimbangan DPR.D Dalam kaitannya dengan fungsi legislatif, berdasarkan ketentuan UUD 1945 Pasal 5 ayat (1) lama, memang dinyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR. Dengan ketentuan demikian, dapat dikatakan bahwa kekuasaan legislatif yang utama memang berada di tangan Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan. Hanya saja pelaksanaan kewenangan ini tidak boleh dilakukan semena-mena, dan untuk itu diperlukan persetujuan DPR yang tingkatannya sederajat dengan Presiden. DPR bahkan berhak menolak ataupun menyetujui hanya sebagian rancangan UU yang diajukan oleh Presiden. Bahkan DPR diberi hak pula untuk berinisiatif mengajukan rancangan UU sendiri. Dalam hubungan ini, lembaga DPR dapat dikatakan lebih merupakan lembaga kontrol atau pengawas daripada lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Akan tetapi, dalam rangka Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945, ketentuan demikian itu diubah secara mendasar. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) baru juncto

Pasal 20 ayat (1) baru, kewenangan membentuk UU itu telah dialihkan dari tangan Presiden ke DPR. Dalam Pasal 20 ayat (1) baru, ditegaskan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) baru dinyatakan bahwa: Presiden berhak mengajukan rancangan UU kepada DPR. Dengan demikian, DPR telah berubah menjadi pemegang utama kekuasaan membentuk UU. Artinya, kewenangan mengatur (regel) tidak lagi berada di tangan Presiden. Presiden kita sekarang sudah berubah menjadi pelaksana belaka (eksekutif) terhadap segala keputusan legislatif dalam bentuk UU yang ditetapkan oleh DPR, dan demikian juga segala keputusan legislatif MPR sebagai lembaga tertinggi negara, baik dalam bentuk UUD, Perubahan UUD, maupun dalam bentuk Ketetapan MPR. Karakteristik Presiden sebagai pejabat eksekutif itu tentu haruslah berubah dari keadaan sebelumnya dimana Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif juga memegang kekuasaan legislatif dalam membentuk UU. Sejak berlakunya Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945 tersebut, otomatis Presiden tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengatur kepentingan umum yang berisikan materi pengaturan mengenai hak dan kewajiban warganegara. Kalaupun Presiden memerlukan untuk membuat dan menetapkan peraturan-peraturan untuk melaksanakan UU tersebut, maka kewenangannya untuk mengatur itu haruslah bersumber dari kewenangan yang lebih tinggi yang berada di tangan MPR dan DPR. Oleh karena itu, di masa mendatang tidak boleh lagi ditetapkan adanya Keputusan-Keputusan Presiden yang bersifat mandiri dengan fungsi untuk mengatur seperti dipahami selama ini. Kewenangan mengatur (regeling) terhadap kepentingan umum atau pengaturan mengenai hak dan kewajiban warganegara yang boleh ditetapkan secara mandiri oleh Presiden hanya terbatas pada hal saja, yaitu: (a) dalam hal dipenuhinya syarat untuk diberlakukannya keadaan darurat (emergency law) yang memungkinkan Presiden menetapkan Perpu, dan (b) dalam hal materi yang perlu diatur memang berkenaan dengan keperluan internal administrasi pemerintahan yang tidak berkaitan dengan kepentingan umum. Dalam hal yang terakhir ini, dikenal adanya prinsip freijsermessen (kebebasan bertindak) yang memungkinkan Presiden dapat memiliki ruang gerak yang leluasa untuk mengadakan peraturan-peraturan kebijakan atau policy rules (beleid regels) dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan tugas-tugas pembangunan sehari-hari. Selain kedua hal tersebut, Presiden tidak berwenang menetapkan peraturan yang bersifat mandiri dalam arti bukan dalam rangka menjalankan perintah UU ataupun menjabarkan ketentuan UU sebagai produk lembaga legislatif. Pemberian suatu amnesty di Indonesia tidak diatur dalam Undang-undang secara khusus, apakah ada suatu pengecualian atau tidaknya hanya Presiden selaku kepala

Negara yang berhak memberikannya. Presiden pun dalam memberikan amnseti tidak dapat sembarangan, harus memperhatikkan pertimbangan-pertimbangan dari DPR selaku rekan kerja pemerintah dalam menjalankan pemerintahan dan juga masyarakat internasional yang juga mengawasi prilaku hukum yang terjadi pada setiap negara. Pertimbangan tidak hanya datang dari DPR, akan tetapi dari Presiden itu sendiri, karena biasanya suatu pemberian amnesty adalah suatu tindakan politik dari Presiden yang berkuasa agar mendapatkan simpai rakyat, maka dari itu suatu pemberian amnesty seringkali diberikan bagi mereka yang berstatus tahanan politik pada masa pemerintah sebelumnya, dengan demikian pemerintahan yang sekarang dianggap memiliki nilai lebih dibandinkan masa pemerintahan sebelumnya. Suatu pemerian amnesty juga harus memperhatikan segi keamanan masyarakat luas baik dari dalam negri maupun luar negri, sebagai contoh: amnesty diberikan kepada seseorang/kelompok yang secara jelas-jelas dengan segala tindakaannya telah meresahkan masyarakat internasional dengan cara meneror, hal ini tidak dapat dibenarkan, karena jika orang/kelompok tersebut diberikan amnesty berarti pemerintah yang memeberikan telah memaafkan segala tindakannya dimasa lalu, akan tetapi masyarakat yang telah menjadi korban apakah mereka dapat menerima keputusan pemerintah tersebut?. Dalam hal ini aspek keamanan masyarakat harus lebih dipentingkan daripada sekedar pemberian pemaafan semata.

2. Sejarah Amnesti.
secara historis amnesti bak ''fosil hidup''. Ia peninggalan zaman ketika seorang raja yang maha perkasa mempunyai kekuasaan untuk menghukum dan mengurangi sanksi senagi tindakan kemurahan hati. Kini, amnesti berkembang menjadi sebuah ''alat'' politik praktis. Misalnya, digunakan demi kepentingan mengamankan konsolidasi demokratik dan stabilitas masa depan pemerintahan yang baru merangkak dari kubangan otoritarian atau totaliter. Meski begitu, amnesti harus disesuaikan dengan aturan hukum yang berlaku. International Criminal Court (ICC) merupakan institusi internasional terbesar yang terakhir di abad kedua puluh satu ini. Dibentuknya ICC adalah berdasarkan Rome Statute 1998 (Statuta Roma), suatu perjanjian internasional di antara negara-negara pesertanya yang bertujuan untuk membentuk suatu mahkamah internasional bidang pidana internasional, dengan subjek hukumnya adalah individu-individu. Ini pula yang membuatnya

berbeda dengan institusi litigasi internasional yang telah ada, yaitu International Court of Justice Hadirnya mahkamah pidana internasional seperti ICC bukanlah tanpa latar belakang historis. Dunia internasional telah pemah memiliki mahkamah pidana yang berkompetensi untuk mengadili kejahatan-kejahatan internasional yang paling serius, yang melanggar hakhak asasi manusia, yang merupakan perbuatan yang dikutuk oleh semua negara-negara di dunia. Kita telah melihat kesuksesan pada Nuremberg Tribunal dan Tokyo Tribunal, juga atas Resolusi Dewan Kemanan PBB (United Nations Security Council Resolution atau UNSCR), telah pemah dibentuk International Court Tribunal for the former of Yugoslavia (ICTY) dan International Court Tribunal of Rwanda (ICTR). Kesemua pengadilan ini memiliki visi dan misi yang hampir sama dengan ICC, hanya saja ICC bukanlah suatu institusi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi adalah bentuk-bentuk kejahatan yang merupakan bagian dari yurisdiksi ICC. Masuknya kejahatan genosida dan kejahatan perang ke dalam yurisdiksi ICC merupakan gejala yang wajar, mengingat sejarah tersebut di atas. Yang unik adalah dengan dimasukkannya kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan agresi, yang masih harus dicarikan formulasinya. Mengingat Statuta Roma merupakan bentuk perjanjian internasional semata, maka berdasarkan asas Pacta sunt servanda (bahwa perjanjian yang sudah disepakati berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang bersangkutan) dan asas Pacta tertiis nee nocent nee prosunt (Sebuah perjanjian mengikat pihak-pihak dan hanya pihak-pihak; tidak membuat kewajiban untuk ketiga Negara-nya tanpa izin), maka praktisnya Statuta Roma dan ICC hanya berlaku terhadap negara-negara pesertanya saja, sama sekali tidak berpengaruh apa-apa terhadap negara-negara pihak keriga atau negara bukan peserta (nonstate party). Salah satu perkembangan di tengah-tengah masyarakat internasional saat ini adalah mengarah kepada kondisi dimana adanva tendensi untuk memberikan pengampunan atau amnesti semata kepada para pelaku kejahatan internasional yang paling serius sedemikian. Hal ini dapat terlihat dengan jelas pada apa yang telah dilakukan oleh negara Afrika Selatan dengan institusi Truth and Reconciliation Comission (TRC) dan lembaga amnesti yang menyertainya. Duduk persoalannya adalah ketika terjadi kejahatan internasional yang paling serius yang di teritorial negara peserta Statuta Roma oleh individu berkewarganegaraan negara bukan peserta Statuta Roma, yang belakangan tertangkap di wilayah negara yang lain. Sebagai negara yang mengalami kerugian langsung, negara teritorial akan sangat berkeinginan untuk membawa pelaku kejahatan sedemikian ke hadapan ICC. Tetapi, negara dari kewarganegaraan si pelaku (nationality state) akan merasa kedaulatannya dilanggar.

Terlebih lagi dengan adanya contoh pengalaman kesuksesan di Afrika Selatan dengan TRC mereka, kecenderungan untuk memperlakukan pelaku kejahatan internasional dengan memberi amnesti, semakin membesar. Dari sini kita dapat melihat adanya pertentangan kepentingan (conflict of interest), antara lembaga amnesti dan institusi ICC dalam memperlakukan ataupun menjalankan wewenangnya terhadap kejahatan internasional yang paling serius. Masing-masing mengusung nama keadilan dan ingin menuntut pertanggungjawaban pidana dari kejahatan itu, tetapi dengan hasil akhir (output) yang sangat jauh berbeda, di satu sisi ingin mengampuni dan di sisi lain ingin menghukum (condemn). Untuk dapat menyatukan gagasan ini, maka di dalam skripsi ini ditelaah lebih lanjut mengenai kedudukan lembaga amnesti itu sendiri di dalam menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan internasional yang paling serius dan bagaimana peluang kemungkinannya untuk ditempatkan bersama-sama dengan kepentingan serta kompetensi ICC dalam menuntut pertanggungjawaban pidana yang serupa. Artinya, dilakukan penelitian terhadap lembaga amnesti dan institusi ICC tentang klausula-klausula yang pada masing-masing, sehingga keduanya dapat dijaiankan secara simultan ataupun dengan solusi Jainnya, tanpa mengurangi esensi dari tujuan keduanya, yaitu menegakkan keadilan. Artinya, prinsip-prinsip dan pelaksanaannya disinkronisasikan di antara lembaga amnesti dan institusi ICC. Karena bagaimanapun juga, kedua bidang ini mempunyai beberapa persamaan. Dan dengan beranjak dari persamaan kepentingan ini, sebaliknya dari pada berkiblat pada perbedaan prinsipnya, dapatlah ditemukan formula tentang bagaimana kedudukan lembaga amnesti bagi pelaksanaan kewenangan ICC di dalam menuntut dan mengadili kejahatan internasional yang paling serius. Amnesti adalah alat rekonsiliasi dengan MILF yang selama 22 tahun ingin mendirikan negara Islam di Filipina Selatan," kata Estrada. Namun, MILF menanggapi dingin. Mereka tetap bertekad untuk jihad melawan pasukan pemerintah. Di Rusia, pada 1999, Presiden Boris Yeltsin menawarkan amnesti bagi pemberontak Chechnya yang tidak terlibat kejahatan serius. Namanya, amnesti parsial. Sayangnya, Perdana Menteri Vladimir Putin agak keras. "Penyelesaian politik masalah Chechnya baru bisa dilakukan jika pusat terorisme di Chechnya sudah dihancurkan," kata Putin. Singkat kata, amnesti adalah penyembuhan luka masa lalu dengan menolak solusi ala Neurenberg (sebuah kamp konsentrasi Jerman), yakni ketika para penjahat politik dieksekusi secara massal dan kejam sebagai balasan setimpal atas tindak kejahatan politik masa lalu.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menaruh perhatian untuk amnesti ini. Dalam pedoman PBB bagi para perwakilannya tentang aspek tertentu dari negosiasi dan resolusi konflik tertulis. Amnesti dapat dianggap penting dan wajar menjamin kekebalan hukum bagi para anggota pasukan lawan yang ingin berintegrasi kembali dalam komunitas masingmasing, sebagai bagian dari pada proses rekonsiliasi nasional'. Namun, bagi PBB, amnesti haram diberikan bagi para pelaku pemusnahan massal (genosida), pelanggaran HAM, dan kejahatan perang. Pemberian amnesti di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Sejak Presiden pertama Soekarno hingga BJ Habibie telah belasan keputusan presiden (keppres) tentang pemberian amnesti dikeluarkan. Hanya Presiden Soeharto dan Megawati Soekarnoputri yang belum pernah mengeluarkan keppres amnesti. Presiden Soekarno misalnya, melalui Keppres No 303 Tahun 1959 dan Keppres No 449 Tahun 1961 telah memberikan amnesti bagi para tahanan yang tersangkut kasus pemberontakan mulai dari DI/TII Aceh di bawah pimpinan Daud Beureuh dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Demikian pula dengan Presiden BJ Habibie. Beberapa orang yang sempat menjalani tahanan politik di era kepemimpinan rezim Orde Baru dapat 'hadiah' amnesti dari kedua presiden tersebut. Salah satu tokoh tersebut adalah Sri Bintang Pamungkas. Pada masa Pesiden Gus Dur memerintah, amnesti deras ditawarkan. Pada 1999, sebanyak 80 orang yang terlibat gerakan pengacau keamanan (GPK), kecuali mereka yang terlibat G30-S/PKI, ditawari amnesti. Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Sudjatmiko, salah satunya. Dari Aceh, Abu Bakar bin M Arifin dan Ishak bin Muhammad Daud. Dari Timor-Timur, Bernardo da Silva, Joao Soares Reis, dan masih banyak lagi. Berdasarkan dua kasus di atas, tahanan politik dapat digolongkan menjadi dua kelompok. Pertama adalah tahanan politik separatisme. Mereka umumnya ditahan karena aktivitas yang berusaha untuk memisahkan diri dari NKRI. Kelompok kedua adalah tahanan politik subversi. Tahanan politik ini biasanya ditahan karena aktivitas sosial politik mereka yang dianggap menyerang kebijakan maupun keberadaan eksekutif pemerintahan. Melalui Undang-Undang Subversi Nomor 11/PNPS/Tahun 1963, rezim yang berkuasa menjerat pelaku dan tokoh politik yang dianggap berbahaya dengan dakwaan perbuatan subversi. Belakangan, undang-undang ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1999.

3. Prosedur pemberian amnesti 3. Nasional


Menurut UUD 1945, proses pemberian amnesti hadir atas inisiatif Presiden selaku kepala negara. Hal ini berbeda dengan grasi yang insiatif permohonannya datang dari terpidana itu sendiri. Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, Presiden mempunyai kewenangan mutlak untuk memberikan Amnesti (dan Abolisi). Namun demikian, dalam memberikan amnesti, Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR terlebih dahulu, walaupun pertimbangan tersebut tidaklah mengikat secara absolut. Soal Grasi, Amnesti & Rehabilitasi merupakan ketentuan konstitusional dalam bab kekuasaan pemerintah negara. Dalam UUD'45 ditentukan bahwa "Presiden memberi Grasi, Amnesti dan Rehabilitasi". Lebih rinci, dalam UUDS 1950, diatur bahwa "Amnesti dan Rehabilitasi hanya dapat diberikan dengan Undang-Undang ataupun atas kuasa UndangUndang, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung". Dalam sejarah ketatanegaraan kita, pada tahun 1954 sudah pernah dilaksanakan Amnesti dan Abolisi. Amnesti dan Abolisi itu diberikan kepada "semua orang yang telah melakuan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Jogyakarta) dan Kerajaan Belanda". Pelaksanaan ini dituangkan dalam UndangUndang Darurat No. 11 tahun 1954. Grasi adalah permohonan seseorang kepada Presiden yang berhubungan dengan suatu hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan. hukuman itu sudah tidak dapat lagi diubah karena telah berkekuatan tetap. Dengan begitu permohonan Grasi itu dimaksudkan agar hukuman tersebut dirubah sesuai dengan kebijaksanaan Presiden. Ketentuanketentuan tentang Grasi ini (lebih banyak soal prosedur) diatur dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1950. Berbeda dengan Grasi, Amensti dan Abolisi tidak memerlukan permohonan tersendiri. Tapi dengan kewenangan konstitusional yang ada, Presiden dapat melakukannya. Dengan pemberian Amnesti maka semua akibat pidana dihapuskan sementara dengan pemberian Abolisi maka penuntutan ditiadakan. Dan Rehabilitasi adalah pemulihan hak-hak mereka selanjutnya. Perlu dipahami bahwa amnesti hanya dapat diberikan untuk para pelaku kejahatan politik. Bukan untuk pidana biasa. Dan pemberiannya pun bersifat massal kepada banyak orang. Berbeda dengan grasi yang mesti ada permohonan dari siterpidana. Sedangkan dalam hal pemberian amnesti, semata-mata lahir

atas inisiatif kepala negara sendiri, sebagai suatu kearifan dan kebajikannya. Jadi bukan dimohonkan oleh si tersangka atau terpidana. Dengan diberikannya amnesti oleh kepala negara maka semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang bersangkutan dalam kejahatan politik tertentu sebagaimana dinyatakan dalam Keppres-nya menjadi hapus.

Pemberian amnesti murni lahir dari presiden selaku kepala negara. Hak prerogatif ini
sesuai dengan amanat undang-undang dasar kepada presiden selaku kepala negara. Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 tentang Amnesti dan Abolisi, kewenangan pemberian amnesti, mutlak berada di tangan presiden. Amendemen pertama UUD 1945 kemudian menambahkan bahwa dalam memberikan amnesti, presiden diharapkan memerhatikan pertimbangan lembaga legislatif meski tidak memengaruhi hak mutlak presiden. Selain Undang-Undang Dasar 1945, masalah amnesti dan abolisi di Indonesia belum diatur secara khusus. Hingga sekarang, Indonesia masih memakai UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Sebenarnya di masa kepemimpinan presiden sebelumnya ada rencana untuk membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Amnesti. Namun, sampai sekarang rencana itu tidak terdengar lagi. Dalam Pasal 1 UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tersebut mengatur presiden atas kepentingan negara dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan suatu tindakan pidana. Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal tersebut berlaku untuk persengketaan politik, yang kala itu antara pemerintah RI dan Kerajaan Belanda. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 UU darurat tersebut. Pemberian abolisi secara tegas diatur pula dalam Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Tetapi, sesungguhnya UU ini secara filosofis sudah tak bisa diterapkan lagi, sebab mengacu pada Pasal 96 dan Pasal 107 UndangUndang Dasar Sementera (UUDS) Tahun 1950. UU No 11/1954 pun dinilai terlalu sumir untuk mengatur pemberian abolisi-dan amnesti-secara jelas. Pasal 1 UU No. 11/1954 itu hanya menyebutkan, Presiden atas kepentingan negara, dapat memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman. Dengan berlakunya Perubahan Pertama UUD 1945, yang menegaskan pemberian abolisi harus mendapatkan pertimbangan dari DPR, UU Amnesti dan Abolisi ini walaupun masih berlaku, hanya bisa menjadi acuan, tetapi tidak bisa diterapkan. Di samping kedua perundangan di atas, pengertian amnesti juga disinggung dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (telah

dinyatakan tidak berlaku). Amnesti dalam undang-undang ini merupakan pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

4. Internasional
Secara hukum internasional, batasan amnesti sudah jelas. Amnesti tidak bisa diberikan terhadap kasus-kasus kejahatan perang internasional, kejahatan melawan umat, dan pemusnahan etnis (genoside). Secara khusus pula pedoman Perserikatan BangsaBangsa (PBB) juga mengatur ketentuan amnesti bagi para negara anggotanya. Menurut PBB, permintaan amnesti dianggap penting demi menjamin kekebalan hukum bagi para anggota pasukan lawan yang ingin kembali berintegrasi dalam komunitas masing-masing. Hal ini sebagai bagian dari proses rekonsiliasi nasional. Jose Zalaquett seorang mantan pengacara HAM Amnesti Internasional dalam sebuah makalahnya yang diterbitkan Aspen Institute (State Crime: Punishment or Pardon, 1989) mengajukan tiga syarat pemberian amnesti pada pelaku kejahatan berat HAM, yakni:

1. Kebenaran harus terlebih dahulu ditegakkan. 2. Amnesti tidak diberikan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against
humanity) dan genosida (genocide).

3. Amnesti harus sesuai dengan ''keinginan'' rakyat.


Berdasarkan kerangka itu, amnesti yang bersifat ''self-amnesty'' --yakni amnesti yang diberikan kepada aparat negara, misalnya militer atau polisi, tidak dibenarkan. ''Selfamnesty'' harus ditolak, karena memungkinkan negara mengadili sendiri kasusnya. Bila ini terjadi berarti melanggar prinsip ''no one can be judge in his own suit''. Hukum internasional masih kurang jelas pengaturan tentang amnesti dalam kaitan dengan kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan dalam konflik bersenjata yang bersifat interen/dalam negeri. Akan tetapi kasus hukum tentang Pengadilan Internasional yang terjadi di Yugoslavia memperjelas bahwa kejahatan-kejahatan dimaksud merupakan kejahatan internasional sehingga harus tunduk pada yuridsdiksi universal. Status Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda dan Pengadilan Internasional memberikan kepada pengadilan-pengadilan tersebut wewenang yurisdiksi atas kejahatan berat

perang/pelanggaran atas hukum HAM yang dilakukan dalam konflik bersenjata interen/dalam negeri. Dalam pedoman PBB bagi para Perwakilannya tentang Aspek Tertentu dari Negosiasi dalam Resolusi Konflik dikatakan bahwa permintaan amnesti dapat dilakukan atas nama berbagai unsur. Dapat dianggap penting dan wajar menjamin kekebalan hukum bagi para anggota pasukan lawan yang ingin kembali bereintegrasi dalam komunitas masing-masing, sebagai bagian dari pada proses rekonsiliasi nasional. Para juru runding Pemerintah dapat mencari dukungan atas usul-usul amnesti bagi mereka sendiri; Akan tetapi PBB tidak dapat menerima amnesti untuk kejahatan perang, pelanggaran HAM dan pemusnahan etnis atau membantu mereka yang melanggar perjanjian yang dilakukan antara pihak terkait.

BAB III Pelaksanaan Amnesti di Indonesia

1. Pemberian amnesti kepada orang-orang yang tersangkut pada


pemberontakan Daud Bereueh di Aceh. Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara GAM dan Pemerintah Indonesia maka berakhir pula ketegangan yang terjadi selama bertahun-tahun di Aceh, dimana terdapat ketidakpuasan sekelompok orang yang menamakan dirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menentang atas kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia terhadap daerahnya (Aceh). Perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah terjadi selama

bertahun-tahun telah memakan korban yang tidak sedikit dari penduduk sipil di Aceh, rasa tidak nyaman, ketakutan, bahkan sampai perang antara GAM dengan TNI yang dikerahkan pemerintah Indonesia untuk membantu mengamankan Aceh sekaligus menumpas pasukan GAM yang dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah Indonesia. Setelah bertahun-tahun lamanya masyarakat Internasional (Khususnya ASEAN dan Uni Eropa) mengisyaratkan bahwa perlu adanya tindakan-tindakan yang menganjurkan adanya negosiasi antara pihak GAM yang di motori oleh petinggi-petinggi GAM yang berdomisili di luar Indonesia dengan Pemerintah Indonesia yang dilaksanakan di Helsinki yang akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk menandatangani Nota Kesepahaman antara keduanya dan menghentikan konflik kepanjangan antara GAM dan Pemerintah RI di Aceh. Banyak yang menilai bahwa Nota Kesepahaman antara GAM dengan Pemerintah Indonesia lebih dikaitkan pada desakan masyarakat Internasional kepada pemerintah RI untuk sesegera mungkin menyelesaikan konflik yang terjadi di Aceh dengan waktu yang mendesak. Belum lagi pasal pasal yang diatur didalamnya dinilai sangat tidak menguntungkan pemerintah Indonesia dan disisi lain sangat menguntungkan bagi pihak GAM.

Sejarah Singkat Asal Mula GAM Putus sudah harapan damai di Aceh. Sejak pemerintah mulai memberlakukan darurat militer di Aceh. Enam bulan lamanya operasi bakal dilakukan TNI. Militer diterjunkan untuk melumpuhkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mengapa dan bagaimana lahirnya ''si Anak Nakal'' di Aceh itu? Bicara GAM, mau tak mau, harus bicara kelahiran negara Republik Indonesia. Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan dimulai. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Di bawah Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan. Pada 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ''Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia

sampai titik darah saya yang terakhir.'' Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur). Tengku Nyak Arief gubernur di bumi Serambi Mekah. Ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946. Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh. Oleh karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI. Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi

pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa. Soekarno makin represif. Setiap ketidakpuasan dihancurkan oleh kekuatan militer. PRRI/Permesta pun disikat habis. Republik Persatuan Indonesia (RPI) pun ditumpas. Pemimpinnya ditangkapi. Tahun 1961, Presiden RPI Syfarudin Prawiranegara menyerah. Diikuti tokoh DI/TII lainnya, seperti M Natsir. Tetapi, Daud Beureueh tetap gerilya di hutan, melawan Soekarno. Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001). GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan. Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM. Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.

Selama 30 tahun lamanya GAM wujud di Aceh dan Indonesia, banyak hal yang terjadi dan menjadi liputan sejarah yang cukup bermakna bagi semua bangsa. Mulai dari sejumlah kecil kaum ulama dan tokoh masyarakat di beberapa wilayah Aceh Teungku Hasan Muhammad telah berhasil mempengaruhi fikiran dunia sehingga dunia antarabangsa tahu bahawa di pulau Sumatera ada satu wilayah dalam negara RI yang bernama Aceh. Lebih jauh dari itu bangsa-bangsa di dunia hari ini telah mengerti bahawa Aceh didiskriminasi oleh RI dengan cara yang sangat biadab, suasana sebegini muncul sangat dalam masa perang DI/TII (Darul Islam/Tentera Islam Indonesia) tahun 1953 sampai 1963, praktik Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1989 sampai 1998 dan masa Darurat Militer/Darurat Sipil tahun 2003 sampai 2005. Walaupun selama terjadinya konflik antara RI dengan GAM dalam masa lumayan lama itu banyak dan hampir semua orang Aceh terseksa, namun ketika perdamaian itu tiba maka hampir semua orang senang, bergembira dan sepertinya tidak terjadi apa-apa. Namun demikian beberapa kisah biadap dan tidak berprikemanusiaan yang pernah terjadi terhadap siapa saja dalam konteks konflik tersebut tetap menjadi sejarah penting dalam memori Bangsa Aceh. Selisih pendekatan atau dalam bahasa sedikit kasar perpecahan yang pernah terjadi dalam tubuh GAM sendiri menjadi sebuah daya tarik tersendiri dalam konteks Aceh Damai hari ini. Sebagaimana juga organisasi perjuangan pembebasan wilayah lain di dunia ini, GAM terjadi beberapa kali perselisihan dalam tubuh organisasinya semenjak tempoh awal sampai selesainya perdamaian dengan RI. Terlepas dari mana asal muasalnya perselisihan itu datang, sejarah telah mencatat bahawa tersingkirnya kelompok Dr. Husaini (barangkali termasuk Daud Paneuk, Syahbuddin, M. Yussuf Daud, dll) dari koordinasi Teungku Hasan yang sama-sama bermukim di Sweden merupakan satu babak sejarah hitam dalam perjalanan dan perjuangan GAM masa lalu. Selanjutnya muncul gerakan baru dalam tubuh GAM sendiri dengan nama MP-GAM yang dikoordinasikan Teuku Don Zulfahri di Kuala Lumpur Malaysia dalam era reformasi (1998-2000) menjadi satu sejarah hitam dalam rentetan perjuangan GAM. Walaupun gerakan ini berakhir setelah terbunuhnya Teuku Don Zulfahri di sebuah restoran kawasan Ampang, Kuala Lumpur dalam tahun 2000, namun kesannya dapat berimbas untuk masa panjang. Selain itu, Teungku Fauzi Abu Hasbi Geudong (mantan orang kuat GAM) yang pernah muncul dengan beberapa bukunya yang menentang kewujudan kepemimpinan Teungku Hasan Muhammad Tiro menjadi edisi tersendiri perselisihan dalam tubuh GAM. Semua itu menjadi pengalaman yang amat berharga baik

bagi GAM sendiri mahupun kepada seluruh bangsa Aceh khususnya yang berjiwa patriot. Ketika terjadinya tandatangan MoU di Helsinki, malah jauh sebelumnya, sebahagian tokoh GAM di luar negeri juga masih memilih berperang sampai merdeka berbandinh berdamai dengan Indonesia. Walaupun tokoh-tokoh yang menetap di Norway, Australia, Sweden dan Malaysia tersebut tidak membuka perlawanan terhadap induk GAMnya. Hampir di semua tempat mempunyai sifat yang sama berkenaan dengan perselisihan dan perpecahan dalam tubuh sesuatu organisasi. Ketika GAM dilanda sedikit perpecahan dalam sejarah perjuangannya, maka di sana pula terjadi kematian yang tidak sepatutnya terjadi. Kes kematian Teuku Don Zulfahri, Teungku Usman Pasi Lhok dan sejumlah pejuang lain di Malaysia merupakan kesan dari perselisihan tersebut. Lebih jauh kesan dari suasana seperti itu terjadinya pemisahan kehidupan orang Aceh dalam beberapa golongan baik di dalam mahupun di luar negeri. Itu memang alami sifatnya dan banyak terjadi di tempat lain, namun semua kita diminta agar dapat mengurangkan dan bahkan menghindari sama sekali kematian tidak proporsional kerana itu termasuk dalam kategori dosa besar. Akibat dari perpecahan seumpama itu, di satu sisi kewujudan GAM semakin kental kerana tidak ada lagi cabaran dari dalam. Selain itu semua komponen dan pendukung GAM semakin bersatu menghadap Jakarta dengan segala upaya yang ada. Ketika GAM tidak ada oposisi yang dapat mengugat perjuangannya dari dalam, maka kewujudan dan hakikat perjuangannya semakin sempurna dan bersatu dalam ikatan perjuangan kemerdekaan. Hal ini berbeza dengan perjuangan kemerdekaan lain di dunia seperti di Moro (Filipina Selatan), Palestin, Kashmir, dan perjuangan bangsa Kurdi di Turki yang mengalami perpecahan dalam tubuh organisasinya sehingga membawa kepada kegagalan. Namun pada masa-masa awal konflik dalaman GAM terjadi, banyak penggemar dan masyarakat awam yang benci terhadap kezaliman Indonesia merasa kecewa dan dilanda depressi. Paling tidak mereka bingung dengan keadaan GAM yang sedang berjuang melawan kebejatan Indonesia di satu sisi dengan keretakan dalamannya di sisi lain. Barangkali ada juga sejumlah orang yang tidak bersabar yang membelot ke arah RI kerana tidak memiliki kekuatan pssikologi yang mantap. Dan tidak kurang juga di antara mereka yang terbang menuju dunia luar, bahkan banyak yang berhasil di luar berbanding tetap bertahan di dalam negeri. Satu lagi kebimbangan kita akibat terjadinya konflik dalaman GAM pada zaman sebelum berdamai dengan RI adalah terbukanya peluang bagi Jakarta untuk membelah Aceh menjadi dua atau tiga wilayah. Perkara seumpama ini pernah terjadi di wilayah Pattani (Thailand Selatan) yang sampai hari ini muslim di sana masih menuntut kemerdekaan dari negara Thailand. Di Aceh, sudah ada senario dari pihak-pihak tertentu di Jakarta untuk membela Aceh menjadi tiga wilayah iaitu; wilayah NAD sendiri, wilayah Aceh

Leuser Antara (ALA) dan wilayah Aceh Barat Selatan (ABAS). Perhitungan tesebut ternyata sekarang jauh dari kenyataan setelah terjadinya perdamaian GAM dengan RI ekoran MoU yang terjadi pada tanggal 15 Ogos 2005 di Helsinki, Finland kerana wilayah Aceh ditetapkan dari Sabang sampai Kutacane.

Hasil Perjuangan GAM Yakin atau tidak yakin, mengakui atau tidak mengakui, perjuangan GAM telah membawa banyak hasil yang amat positif bagi kehidupan bangsa. Memang tidak boleh dinisbikan di sana tentu ada malapetaka akibat perang dalam waktu lama. Namun demikian, adanya perhatian pemerintah Indonesia yang mengawal Aceh dari Jakarta terhadap perbaikan jalan-jalan, jambatan-jambatan, pusat-pusat pemerintahan di Aceh, pendidikan dan sejumlah infrastruktur lainnya dalam masa 20 tahun terakhir tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan GAM. Otonomi Khusus dengan wewenang luas yang didapati Aceh dan tidak didapati wilayah lain di Indonesia juga tidak boleh lepas dengan perjuangan GAM. Di akui atau tidak, menurut kebiasaan Indonesia tanpa perlawanan GAM terhadap RI maka mustahil Autonomi Khusus tersebut dapat dimiliki Aceh. Dan, yang satu ini terbukti kepada daerah-daerah lain yang tidak melawan Jakarta dengan senjata sampai hari ini tidak mendapatkannya walaupun nafsu mereka cukup tinggi untuk memperoleh itu. Autonomi Khusus ini pula yang membuat Aceh harus memiliki sejumlah Undang-undang sebagai media operasinya. Lahirnya UU. No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU. No. 18 Tahun 2001 Tentang Autonomi Khusus juga sulit dipisahkan dengan perjuangan GAM. Kerana untuk mendukung Autonomi Khusus, maka perlu adanya Undang-undang dan untuk kesempurnaannya tidak cukup satu Undang-undang yang diperlukan. Malah selain dua Undang-undang tersebut di atas, Aceh memerlukan banyak Qanun untuk menjalankan amanat dua Undang-undang tersebut. Terakhir Undang-undang paling istimewa dimiliki Aceh sebagai kesan dari perlawanan GAM adalah UU. No. 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Dapat dipastikan tidak satupun wilayah di Indonesia yang memiliki Undang-undang pemerintahan sendiri seperti yang dimiliki Aceh. Perkenalan Aceh ke peringkat dunia antarabangsa sehingga ia popular seperti zaman Kerajaan Aceh Darussalam lewat perlawanan terhadap kezaliman Indonesia menjadi salah satu upaya keras GAM dalam perjuangan menuntut kemerdekaannya. Selama perjuangan GAM nama Aceh kembali popular di Amerika, Eropa, Afrika, Australia dan hampir seluruh penjuru dunia yang sebelumnya orang Malaysia saja tidak tahu di mana Aceh dan apa itu Aceh. Di

terimanya sejumlah tokoh GAM bermastautin di Sweden merupakan babak awal kemenagan populariti Aceh di Eropa. Terjadinya perbincangan antara GAM dengan RI yang diprakarsai oleh Hendri Dunant Center (HDC) dalam tahun 2000 menjadi satu langkah baru bagi dunia antarabangsa untuk lebih mengenal Aceh secara dekat. Dan perdamaian paling akhir di Helsinki (Findland) yang diprakarsai mantan Perdana Menteri negara tersebut Martti Ahtisaari lewat lembaganya Cricis Management Initiative (CMI) membuat informasi Aceh sangat melonjak di peringkat antarabangsa. Terlepas ada pihak yang sangat senang atau tidak senang dengan pemberlakuan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, sejarah telah mencatat bahawa Aceh mendapatkan semua itu berkat perlawanan GAM terhadap RI yang sangat diskriminatif terhadap Aceh. Ketika RI sulit mengamankan Aceh dari Gerakan Aceh Merdeka yang berlangsung hampir 30 tahun, maka sebagian tokoh Aceh dan Indonesia mencari penyelesaian lain bagi menenangkan Aceh dengan pemberlakuan Syariat Islam. Diharapkan dengan cara itu Aceh boleh aman dan GAM dengan sukarela meletakkan senjata kerana dalam sejarah perjuangan Aceh selalu mengutamakan Syariat Islam serta jakarta tahu bahwa bangsa Aceh sangat cinta terhadap Islam. Walau bagaimanapun, perjuangan GAM yang berakhir dengan usaha kesepakatan damai dengan RI di Helsinki belumlah menjadi satu keberhasilannya bila diukur dengan lamanya berperang melawan Indonesia. Sesungguhnya sasaran perjuangan GAM adalah dapat mendirikan Negara Aceh yang mandiri dan lepas dari Indonesia, ketika sasaran ini tidak tercapai maka secara mudah dapat dikatakan perjuangan itu telah gagal. Namun melihat keadaan Aceh hari ini tidaklah secara serta merta boleh dikatakan perjuangan GAM telah gagal kerana mereka sudah merubah sistem dan pendekatan perjuangan dari memakai senjata kepada memakai pena (dari perlawanan lewat senjata ke perlawanan lewat jalur politik). Secara politis, amnesti seringkali digunakan sebagai salah satu cara untuk meredam dan menyelesaikan konflik yang berkepanjangan antara pemerintah dan pemberontak. Pemberian amnesti tersebut ditujukan untuk mewujudkan kembali integritas nasional atau dalam terminologi politik pemerintah Indonesia saat ini adalah untuk mempersatukan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam konteks Perundingan Helsinki, amnesti sepantasnya menjadi modalitas yang tak tergantikan untuk merintis dan mengisi perdamaian di Aceh. Praktik dan implementasi pemberian amnesti harus seluruhnya tunduk pada makna dan tujuan politik itu. Dengan

demikian, setiap kasus yang berakibat merugikan perdamaian di dalam proses seleksi pemberian amnesti haruslah dicegah. Realisasi pemberian amnesti tersebut sudah seharusnya dijalankan secara konsisten oleh pemerintah. Oleh karenanya, rencana pemberian amnesti tidak cukup hanya dituangkan dalam nota kesepakatan antara pemerintah RI dan GAM, tapi juga perlu diatur secara jelas dan tegas dalam satu kebijakan politik pemerintah (Keppres) dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum dan meminimalisasi, bahkan meniadakan pengkhianatan atas hasil perundingan yang telah disepakati. Perjanjian damai di Helsinki sepatutnya menjadi titik tolak untuk menghentikan konflik dan kekerasan di Aceh. Lebih dari itu, implementasi pemberian amnesti hendaknya jadi awal bagi pemerintah Indonesia untuk tidak hanya memaafkan atau melupakan atas segala tindakan yang telah dilakukan oleh GAM. Tapi juga jadi awal bagi pemerintah untuk sungguh-sungguh membangun dan mendistribusikan keadilan politik maupun ekonomi terhadap masyarakat Aceh.

1. Pemberian amnesty di Indonesia dari masa ke masa. 1. Masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Pada masa pemerintahan presiden soekarno berkuasa adalah masa dimana awal berdirinya gerakan spratisme. Dimana gerakan sparatisme bergejolak dimana diseluruh wilayah Indonesia. Dengan dikeluarkannya Keppres No 303 Tahun 1959 dan Keppres No 449 Tahun 1961 dimana dalam Keppres ini memberikan amnesti bagi para tahanan yang tersangkut kasus pemberontakan mulai dari DI/TII Aceh di bawah pimpinan Daud Beureuh dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Dimaksud kan agar menciptakan suasana yang kondusif di Negara Kesatuan Republik Indonesia

2. Masa pemerintahan Presiden Soeharto.


Pada tahun 1977, Soeharto pernah menawarkan amnesti kepada para pejuang bersenjata FRETILIN, hal mana mereka menolak. Xanana Gusmao dan para

tahanan politik Timor Leste lainnya dibebaskan pada tahun 1999 pada masa pemerintahan BJ abibie yang menggantikan Presiden soeharto yang menyatakan mengundurkan diri dari kursi Kepresidenan. Selain itu Presiden Soeharto juga mengeluarkan Keppres No 303 Tahun 1959 dan Keppres No 449 Tahun 1961 telah memberikan amnesti bagi para tahanan yang tersangkut kasus pemberontakan mulai dari DI/TII Aceh di bawah pimpinan Daud Beureuh dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Dan juga Keppres nomor:1/a tahun 1969 (1a/1969) pemberian amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang tersangkut di dalam peristiwa awom dan kawan-kawan. peristiwa mandacan dan kawan-kawan dan peristiwa wagete-enaratoli di irian barat

3. Masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.


Pada masa pemerinahan BJ Habibie merupakan masa pemulihan, dimana runtuhnya suatu rezim yang telah berkuasa selama 33 tahun lengser dari kursinya, dan telah banyak memasukkan orang kedalam penjara bagi lawan-lawan politiknya yang menuntut suatu reformasi pada pemerintahan era Soeharto. Dalam pemberian amnesti terhadap tahanan politik ini pun tidak berjalan dengan mulus, ada diantaranya yang menyatakan menolak pemberian amnesty tersebut, diantaranya adalah Muchtar Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas, Nuku Sulaiman, Budiman Sudjatmiko dan para aktivis PRD, serta Xanana Gusmao, mereka menolak kalau pemerintah memberikan amnesti kepada mereka. Mereka menghendaki pembebasan tanpa syarat karena mereka merasa tidak pernah melakukan kesalahan. Amnesti, yang berarti pengampunan, dapat menjadi "cap" mereka telah bersalah. Xanana Gusmao dibebaskan dengan pemberian amnesty yang diberikan oleh Presiden Habibie dengan Keputusan Presiden RI nomor 108 tahun 1999 Xanana adalah tokoh perlawanan rakyat Maubere menjadi sasaran militer Indonesia selama bertahun-tahun. Para pengikut Fretelin dikejar-kejar dan ditumpas. Ia akhirnya ditangkap di tempat persembunyiannya disebuh rumah anggota polisi Timtim di Lahane Barat, Dili pada pukul dua dini hari, 20 November 1992. Xanana diadili di Pengadilan Negeri Dili dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Kemudian tahun 1993 mendapat grasi sehingga hukuman Xanana diturunkan menjadi 20 tahun penjara. Ia sempat mendekam di penjara Dili, kemudian dipindah ke LP Semarang sebelum dibawa ke LP Cipinang, Jakarta Timur kemudian dipindahkan ke LP Khusus, Salemba hingga pembebasannya. Keinginan memberikan amnesti dalam upaya menyelesaikan konflik Aceh pernah dirancang Pemerintahan BJ Habibie, akan tetapi tersendat ditengah jalan karena dalam perjalanannya, realisasi pemberian amnesti tersebut tidak terlaksana dan

mendapatkan penolakan dari pihak GAM dengan alasan rencana dan konsep amnesti yang diberikan memiliki banyak masalah.

4. Masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid


Pada masa pemerintahan ini Abdurahman Wahid mengeluarkan amnesty dengan Keppres No: 141 TAHUN 2000, yang diberikan kepada Amir syam, sh, Ridwan ibbas, bsc, drs. Abdullah husen, M. Thaher daud, sm.hk. Selain itu pada masa ini pemerintah juga mengeluarkan Keppres No:92 tahun 2000, memberikan amnesti kepada sdr. Romo i sandyawan sumardi s.j dan sdr. benny sumardi, keduanya tererat kasus menyembunyikan borunan polisi yang terjerat kasus penghinaan terhadap Presiden, menyatakan permusuhan di muka umum dana penghinaan terhadap penguasa.

5. Masa pemerintahan Presiden Megawati.


Pada masa kepemimpinan Presiden Megawati masih tidak pernah mengeluarkan Keppres mengenai Amnesty, kendati sesubguhnya ada suatu wacana bahwa Presiden Megawati akan memberikan Abolisi (pengampunan) terhadap Mantan Presiden Soeharto yang tengah dijerat kasus dalam kasus dugaan penyimpangan penggunaan dana tujuh yayasan yang diketuainya, dan tidak dapat diproses dipengadilan karena yang bersakutan dinyatakan sakit keras dan sudah tidak dapat menjalani proses pemeriksaan hukum. Namun hingga masa akhir jabatannya rencana tersebut tidak terlaksanakan.

6. Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (sekarang).


Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yuhdhoyono merupakan masa dimana penyelesaian amnesty dimasa lalu di jaman pemerintahan Presiden Soekarno, pada masa pemerintahan ini, pemerintah telah berhasil merangkul kembali tokoh-tokoh GAM untuk kembali ke NKRI, baik yang berada didalam negri maupun yang berada diluar negri dengan dikeluarkannya Keppres No: 22 Tahun 2005 tentang Pemberian Amnesti Umum dan Abolisi kepada setiap orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka atau tepat lima belas hari setelah penandatanganan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. Dalam Kepres itu disebutkan bahwa amnesti umum dan abolisi diberikan kepada setiap orang yang terlibat GAM, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri, dan mereka yang belum atau telah menyerahkan diri kepada yang berwajib.

Selain itu, amnesti umum dan abolisi juga diberikan kepada mereka yang sedang atau telah selesai menjalani pembinaan oleh yang berwajib, sedang diperiksa atau ditahan untuk proses penyidikan di depan pengadilan, telah dijatuhi pidana baik yang belum maupun yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan atau sedang menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan.

1. Dampak Pemberian Amnesty


Secara politis, amnesti seringkali digunakan sebagai salah satu cara untuk meredam dan menyelesaikan konflik yang berkepanjangan antara pemerintah dan pemberontak. Pemberian amnesti tersebut ditujukan untuk mewujudkan kembali integritas nasional atau dalam terminologi politik pemerintah Indonesia saat ini adalah untuk mempersatukan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Amnesti tidak bisa dan tidak boleh diberikan kepada aparat negara (seperti polisi dan TNI) yang melakukan kejahatan (self amnesty). Karena pada prinsipnya negara tidak bisa mengadili dan memaafkan dirinya sendiri (no one can be judge in his own suit). Amnesti juga tidak bisa diberikan pada pelaku kejahatan HAM berat. Dan sekali-sekali tak boleh mengganggu jalannya penuntutan terhadap pelaku kejahatan berat HAM sebagaimana ditegaskan dalam The Princeton Principles dan Brussels Principles against Impunity and for International Justice. Pemberian amnesti oleh kepala negara hanya ditujukan kepada mereka-mereka yang melakukan kejahatan terhadap negara (crime against state) seperti subversi, kudeta ataupun separatisme. Dengan asumsi negara yang menjadi korban negara dalam hal ini kepala negaramemiliki kewenangan untuk meniadakan akibat hukum yang mengancam terhadap suatu perbuatan atau sekelompok yang melakukan kejahatan terhadap negara. Dengan demikian, semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang bersangkutan dalam kejahatan terhadap negara menjadi hapus. secara historis amnesti bak ''fosil hidup''. Ia peninggalan zaman ketika seorang raja yang maha perkasa mempunyai kekuasaan untuk menghukum dan mengurangi sanksi senagi tindakan kemurahan hati. Kini, amnesti berkembang menjadi sebuah ''alat'' politik praktis. Misalnya, digunakan demi kepentingan mengamankan konsolidasi demokratik dan stabilitas masa depan pemerintahan yang baru merangkak dari kubangan otoritarian atau totaliter. Meski begitu, amnesti harus disesuaikan dengan aturan hukum yang berlaku.

Amnesti sebagai jalan keluar ketika proses formal tidak bisa diberikan akibat kondisi objektif 'perangkat hukum transisi'. Kasusnya pun bervariasi. Sedangkan proses menuju permohonan amnesti tidaklah mudah, sebab melewati pembahasan dan perdebatan. Kalau presiden tidak memberi amnesti berarti kasusnya harus ke pengadilan HAM ad hoc. Bila instrumen hukum amnesti dipilih, maka pertanyaannya sekarang adalah seberapa jauh kesesuaiannya (compatibility) dengan hukum internasional. Bukankah pemberian amnesti oleh negara kepada aparatnya sendiri pada dasarnya berwujud pengingkaran terhadap prinsip tanggungjawab negara berdasarkan hukum internasional? Hukum HAM internasional secara tegas membebankan kewajiban kepada negara melakukan pengusutan dan penghukuman terhadap pelanggar berat HAM. Hal ini bukan saja datang bukan saja digariskan oleh perjanjian-perjanjian multilateral HAM, namun juga berasal dari hukum kebiasaan internasional. Kewajiban ini bersifat imperatif terhadap negara-negara; negara wajib melaksanakannya. Di sini terlihat jelas tidak terjadi kompatibilitas antara kewajiban yang dipikul hukum internasional dengan kebijakan pemberian amnesti. Tak mengherankan bila badan-badan HAM PBB mengecam sederet panjang pemberian amnesti, termasuk yang dikeluarkan pemerintahan transisi. Apakah kewajiban internasional dimaksud harus selalu dipahami demikian? menurut Jose Zalaquet secara prinsip pendekatan itu benar --sejauh berdasar kecenderungan bahwa setiap langkah yang bertujuan mencairkan tanggungjawab negara dapat memperlemah perlindungan HAM dan hukum internasional. Namun, ia mengingatkan, penetapan standar terlalu kaku dan tidak praktis, dapat merusak hukum internasioanl sendiri, ''Dalam situasi transisi, pemerintah seringkali tidak memiliki kekuatan dalam melaksanakan banyak kewajiban positif.... Haruskah pemerintah berusaha melaksanakan kewajiban itu dengan menanggung risiko ditumbangkan oleh pihak-pihak yang tanggungjawabnya sedang diselidiki?'' dalam sebuah makalahnya yang diterbitkan Aspen Institute (State Crime: Punishment or Pardon, 1989). ''Toleransi'' khusus kepada suatu negara, khususnya yang berada di tengah dilema transisi, dapat diposisikan dalam konteks ''public emergency'' -sebagaimana diatur pasal 4 Persetujuan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Negara yang sedang menghadapi emergency dibolehkan melakukan pengurangan (derogation) sebagian kewajiban internasionalnya. Singkatnya, pemberian amnesti tidak harus selalu dipandang sebagai kebijakan yang inkonsisten dengan hukum internasional.

Dalam pedoman PBB bagi para Perwakilannya tentang Aspek Tertentu dari Negosiasi dalam Resolusi Konflik dikatakan bahwa permintaan amnesti dapat dilakukan atas nama berbagai unsur. Dapat dianggap penting dan wajar menjamin kekebalan hukum bagi para anggota pasukan lawan yang ingin kembali bereintegrasi dalam komunitas masing-masing, sebagai bagian dari pada proses rekonsiliasi nasional. Para juru runding Pemerintah dapat mencari dukungan atas usul-usul amnesti bagi mereka sendiri; Akan tetapi PBB tidak dapat menerima amnesti untuk kejahatan perang, pelanggaran HAM dan pemusnahan etnis atau membantu mereka yang melanggar perjanjian yang dilakukan antara pihak terkait. Argumen kalangan konsekuensialis mendasarkan penolakannya terhadap amnesti dengan mempersoalkan akibat politiknya pada proses transisi demokratik di suatu negeri. Menurut argumen ini, harus diperiksa apakah latar yang membuat suatu transisi politik mengambil pilihan untuk mengampuni-ketimbang mengadili dan menghukum-para pelaku kejahatan di masa lalu. Sering, tak terkecuali di Afrika Selatan, alasannya adalah suatu realisme politik: kekuatan otoriter masih sangat kuat. Hingga, kalau pemerintah sipil dalam proses transisi memaksakan pengadilan terhadap mereka, dikhawatirkan justru akan menimbulkan political backlash. Dengan kata lain, keadilan dengan sengaja dikorbankan demi mencapai harmoni sosial. Kendati alasan demikian kedengaran masuk akal, namun pada saat yang sama, mesti juga dipertimbangkan dampak pemberian amnesti pada proses transisi demokratik. Apabila amnesti dipilih sebagai akibat dari ketakutan terhadap ancaman militer, misalnya, maka pemberian amnesti justru akan menguatkan posisi politik militer itu sendiri. Pemberian amnesti akan menjadi konfirmasi terhadap kekuatan militer yang tidak bisa disentuh hukum. Periksa pengalaman di Guatemala dan El Savador. Memberikan amensti terhadap militer justru membuat mereka semakin ditakuti, dan sebagai akibatnya, kasus-kasus involuntary disappearances, torture, extra-judicial killings dan rape terus menjadi kenyataan. Pemberian amnesti juga membutuhkan persyaratan tertentu apabila ia diharapkan dapat memajukan proses truth seeking. Di Afrika Selatan, alasan utama mengapa banyak eks-aktor rejim apartheid memilih untuk melamar amnesti dan bersedia memberi kesaksian adalah karena mereka takut terhadap hukuman dari pengadilan yang relatif masih berwibawa. Dengan kata lain, tanpa adanya judicial stick yang riel, maka insentif amnesti sebenarnya tak akan memiliki daya tarik. Maka, bagi suatu negeri di mana pengadilan dan sistem hukumnya hancur dan korup, seperti di Indonesia, pemberikan amnesti terhadap pelaku past human rights abuses sebenarnya tidak berguna sama sekali. Untuk mengambil contoh yang dekat: buat apa

jenderal-jenderal yang harus bertanggung jawab dalam kasus Trisakti meminta amnesti, kalau tangan-tangan hukum sama sekali tak mampu menyentuh baju seragam mereka. Dalam konteks perang Aceh, banyak warga sipil yang tidak terlibat dalam kegiatan GAM kemudian menjadi korban dari kebijakan represi aparatur keamanan. Di sadari atau tidak oleh pihak yang berunding di Helsinki, absennya keterwakilan masyarakat sipil berakibat tidak diperhitungkannya satu faktor penting. Faktor itu adalah fakta bahwa tidak semua mereka yang pernah dituduh dan atau diputus bersalah terlibat GAM adalah benar anggota GAM. Diantara mereka yang dipersalahkan terkait dengan GAM tersebut adalah warga biasa atau aktifis kemanusiaan. Mereka biasanya dipersalahkan dengan tuduhan membantu GAM. Tindakan membantu yang biasa dilakukan biasanya merupakan suatu tindakan yang sulit mereka hindari karena keadaan atau panggilan kemanusiaan. Contoh, menolong anggota GAM yang sakit atau terluka. Tindakan semacam ini, telah diberi tafsir tunggal yang sering bersinggungan antara pilihan pengelompokan yang dibentuk oleh mereka yang berkonflik sebagai kawan atau lawan. Tidak hanya itu, bila sial ketahuan berbincang-bincang dengan anggota GAM, disadari maupun tidak, terlepas dari konteks pembicaraannya, dapat menjadi alasan kuat untuk memasukkan siapapun ke dalam penjara. Bila pada masa orde baru orang dapat dipidana karena memiliki buku yang beraliran kiri/komunis, maka di Aceh mereka yang memiliki buku GAM disamakan sebagai anggota dari gerakan tersebut. Disini, definisi GAM mengalami perluasan dan tidak terbatas mereka yang jelas-jelas anggota GAM. Hubungan kekeluargaan dan kekerabatan pun menjadi bagian yang tak terpisah bagi aparat keamanan untuk menyatakan mereka sebagai GAM juga. Lebih dari itu, dalam relasi sosial tersebut penyanderaan, penahanan, dipenjarakan bahkan kekerasan menjadi sah diberlakukan terhadap mereka. Inilah yang saya maksud dengan korban peng-GAM-an. Tentu pemberian kompensasi bagi kalangan sipil yang terkena dampak ini bisa diperluas tidak sebatas pemenuhan kebutuhan material tetapi juga pengembalian kehormatan yang dirampas akibat stigmatisasi GAM selama konflik. Untuk memenuhi kebutuhan akan pemberian rehabilitasi ini pemerintah dapat memulai membuka pos khusus untuk menerima laporan dari masyarakat atau korban siapa saja khususnya mereka yang pernah dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena terkait dengan GAM. Lalu diikuti dengan klarifikasi (penelitan) untuk memutuskan pemberian rehabilitasi tersebut.

Praktek-praktik kriminalisasi terhadap mereka yang terkena dampak perang tidak boleh diabaikan, tapi harus diakhiri. Pengakhirannya tidak terbatas pada tindakan dimasa depan yang lebih menghormati hukum dan hak asasi manusia namun juga dengan memulihkan nama baik korban yang selama ini terlanjur tercemar. Pemerintah tentu tidak boleh menghindar dari pemenuhan hak korban ini, bila rasa keadilan seluruh warga Aceh menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dari upaya perdamaian. Apalagi negara telah memberi kewenangan kepada Presiden pada UUD 1945 pasal 14 ayat (1) untuk memberikan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Rehabilitasi disini adalah pemulihan nama baik bagi mereka yang pernah dinyatakan bersalah padahal mereka tidak bersalah. Tindak penghukuman bagi mereka yang tidak bersalah ini merupakan suatu kelaziman yang dilakukan oleh pemerintah yang represif. Dari uraian diatas maka, pemberian amnesti dan abolisi ini sebaiknya diikuti juga dengan pemberian rehabilitasi nama baik bagi warga sipil yang selama ini menjadi korban dari konflik bersenjata antara TNI/POLRI dan GAM. Sebab rehabilitasi amat penting artinya bagi penegakan hukum dan pemenuhan rasa keadilan untuk seluruh warga Aceh, tanpa kecuali. Melewatkan pemberian rehabilitasi sama saja melestarikan kejahatan yang menjadi ancaman bagi perdamaian itu sendiri.

BAB IV Analisis

Banyak yang dapat dipersoalkan mengenai materi perubahan UUD 1945 yang menyangkut pelaksanaan Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 tersebut. Misalnya, untuk apa DPD atau kepada DPR ditumpukkan tambahan-tambahan kewenangan yang justru akan sangat merepotkan DPR secara teknis. Misalnya, untuk apa DPR memerlukan keterlibatan

untuk memberikan pertimbangan dalam pengangkatan Duta Besar dan Konsul serta penerimaan Duta Besar dan Konsul negara sahabat seperti di tentukan dalam Pasal 13 baru. Perubahan seperti ini justru akan menyulitkan baik bagi pemerintah maupun bagi DPR sendiri dalam pelaksanaan prakteknya. Demikian pula mengenai pertimbangan terhadap pemberian amnesti dan abolisi yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) baru yang selama ini ditentukan perlu dimintakan kepada Mahkamah Agung, untuk apa dialihkan ke DPR. Namun demikian, terlepas dari kelemahan atau kritik-kritik di atas, semua kewenangan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut biasanya dipahami berkaitan dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. Ada yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi judikatif seperti pemberian grasi dan rehabilitasi, dan ada pula yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi legislatif seperti misalnya pernyataan keadaan bahaya yang berkait erat dengan kewenangan Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu). Sebenarnya, dalam kaitannya dengan fungsi legislatif, berdasarkan ketentuan UUD 1945 Pasal 5 ayat (1) lama, memang dinyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR. Dengan ketentuan demikian, dapat dikatakan bahwa kekuasaan legislatif yang utama memang berada di tangan Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan. Hanya saja pelaksanaan kewenangan ini tidak boleh dilakukan semena-mena, dan untuk itu diperlukan persetujuan DPR yang tingkatannya sederajat dengan Presiden. DPR bahkan berhak menolak ataupun menyetujui hanya sebagian rancangan UU yang diajukan oleh Presiden. Bahkan DPR diberi hak pula untuk berinisiatif mengajukan rancangan UU sendiri. Dalam hubungan ini, lembaga DPR dapat dikatakan lebih merupakan lembaga kontrol atau pengawas daripada lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya.

Akan tetapi, dalam rangka Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945, ketentuan demikian itu diubah secara mendasar. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) baru juncto Pasal 20 ayat (1) baru, kewenangan membentuk UU itu telah dialihkan dari tangan Presiden ke DPR. Dalam Pasal 20 ayat (1) baru, ditegaskan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) baru dinyatakan bahwa: Presiden berhak mengajukan rancangan UU kepada DPR. Dengan demikian, DPR telah berubah menjadi pemegang utama kekuasaan membentuk UU. Artinya, kewenangan mengatur (regel) tidak lagi berada di tangan Presiden. Presiden kita sekarang sudah berubah menjadi pelaksana belaka (eksekutif) terhadap segala keputusan legislatif dalam bentuk UU yang ditetapkan oleh DPR, dan demikian juga segala keputusan legislatif MPR sebagai lembaga

tertinggi negara, baik dalam bentuk UUD, Perubahan UUD, maupun dalam bentuk Ketetapan MPR. Persetujuan dan pertimbangan DPR diberikan dalam rangka melakukan fungsi pokoknya yaitu fungsi pengawasan yang merupakan the original power DPR. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan ini pula UUD 1945 telah mengakomodirnya dengan menetapkan hak-hak DPR baik yang bersifat intitusional, seperti hak interpe- lasi (hak meminta keterangan), hak angket (hak untuk melakukan penyelidikan), dan hak menyatakan pendapat, maupun yang bersifat personal, seperti hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat dan hak imunitas. Mendasarkan pada pengawasan ini DPR dapat memberikan Memorandum I dan II serta meminta Sidang Istimewa kepada MPR. Dalam sistem presidensiil sebagaimana dianut oleh UUD 1945, kedudukan eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR) adalah sejajar. Kedua lembaga ini tidak dapat saling menjatuhkan. Sistem dalam UUD 1945 memang merupakan sistem yang unik, meskipun DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden, tetapi secara tidak langsung DPR dapat menyebabkan Presiden jatuh. Mendasarkan pada Tap MPR No.III/MPR/1978 jo Tap MPR No.II/MPR/2000, setelah memorandum I dan II, Sidang Istimewa dapat digelar atas permintaan DPR, dan salah satu kemungkinan yang dapat terjadi dalam Sidang Istimewa itu adalah MPR (yang mayoritas anggotanya adalah anggota DPR) dapat memberhentikan Presiden. Melihat kekuasaan serta hak-hak yang dimiliki DPR sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan pelaksanaannya dalam praktik selama ini menunjukkan adanya keinginan untuk mendudukkan DPR sebagai lembaga yang memiliki kekuatan. Dengan demikian tidaklah keliru apabila terdapat pandangan yang menyatakan bahwa amandemen UUD 1945 telah memberikan supremasi kepada MPR. Demikian pula yang terjadi dalam praktik, pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR (terutama terhadap kasus Buloggate dan Bruneigate) dianggap sebagai tindakan yang over-acting. Tetapi apakah benar bahwa dengan amandemen UUD 1945 telah mendudukkan DPR sebagai lembaga yang supreme. Apa yang dilakukan oleh DPR (terutama dalam fungsi pengawasan) setidak- tidaknya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor:

1. Kekuasaan yang dimiliki DPR telah diterapkan dalam konstitusi (UUD 1945) yang
merupakan the supreme law of the land. Artinya, apa yang dilakukan oleh DPR telah

mempunyai legitimasi konstitusional. Hal ini yang menjadikan DPR lebih confident dan berani dalam melaksanakan apa yang memang menjadi tugasnya, karena adanya jaminan konstitusi tadi.

2. Adanya tuntutan demokratisasi dan reformasi yang didukung keanggotaan DPR


yang dihasilkan melalui Pemilu yang lebih demokratis serta reposisi TNI dan Polri yang menjadikan DPR lebih independent.

3. Tampaknya DPR ingin mengubah citra dari lembaga yang selama ini tersubordinasi
kekuasaan eksekutif menjadi sebuah lembaga yang memiliki kekuatan, di samping munculnya para "politisi" muda yang masih sarat dengan idealismenya, yang memberikan nuansa dan semangat baru bagi DPR. Kesan over-acting ini bisa jadi karena terjadi semacam "kekagetan" dalam diri masyarakat karena apa yang dilakukan oleh DPR sekarang hampir tidak pernah dijumpai selama tiga dekade. Jangankan memberikan memorandum, melaksanakan hak interpelasi atau hak angketpun tidak pernah dilakukan. Eksitensi DPR dengan kekuasaan pengawasannya merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip demokrasi. Di dalam negara demokrasi (perwakilan) dengan bentuk negara, bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan apapun, pengawasan oleh DPR/Parlemen (legislative control) merupakan sesuatu yang mutlak harus ada. Pengawasan merupakan cara dalam meminta pertanggungjawaban, dan pertanggungjawaban merupakan komponen yang sangat penting dalam demokrasi. Dalam kerangka UUD 1945, fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR tidak dapat diartikan sebagai supremasi legislatif karena fungsi pengawasan oleh DPR merupakan fungsi yang sifatnya inheren. Fungsi pengawasan DPR hendaknya dipahami sebagai upaya untuk mewujudkan check and balance serta mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government), bukan sekadar sebagai tindakan yang hanya ingin menun- jukkan bahwa DPR sekarang berbeda dengan DPR dahulu, atau hanya untuk ke- pentingan sesaat bagi golongan/kelompok atau partai. Sejarah bahwa supremasi di tangan eksekutif yang tanpa pengawasan telah menghasilkan pemerintahan yang sentralistis dan otoriter, hendaknya menjadi dasar pemahaman bahwa memberikan kekuasaan atau supremasi kepada DPR tanpa adanya pengawasan hanya akan mengulang sejarah (yang buruk) Berbeda dengan grasi, yakni inisiatif atau permohonan untuk memperolehnya ada pada si terpidana, pemberian amnesti murni lahir dari presiden selaku kepala negara. Hak prerogatif ini sesuai dengan amanat undang-undang dasar kepada presiden selaku kepala

negara. Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 tentang Amnesti dan Abolisi, kewenangan pemberian amnesti, mutlak berada di tangan presiden. Amendemen pertama UUD 1945 kemudian menambahkan bahwa dalam memberikan amnesti, presiden diharapkan memerhatikan pertimbangan lembaga legislatif meski tidak memengaruhi hak mutlak presiden. Selain Undang-Undang Dasar 1945, masalah amnesti dan abolisi di Indonesia belum diatur secara khusus. Hingga sekarang Indonesia masih memakai UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Dalam Pasal 1 UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tersebut mengatur presiden atas kepentingan negara dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan suatu tindakan pidana. Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal tersebut berlaku untuk persengketaan politik, yang kala itu antara pemerintah RI dan Kerajaan Belanda. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 UU darurat tersebut. Di samping kedua perundangan di atas, pengertian amnesti juga disinggung dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Red (Dinyatakan telah dibatalakan pemberlakuannya oleh Mahkamah konstitusi). Amnesti dalam undang-undang ini merupakan pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kewenangan ini (Amnesti) tidak diterapkan bagi aparatnya sendiri, karena membuka peluang negara mengadili sendiri kasusnya. Di samping itu, orang yang mendapat amnesti tidak dapat lagi dituntut secara perdata; misalnya oleh sanak-keluarga korban. Alasannya, tanggungjawabnya sudah diambil alih negara. Amnesti sebagai jalan keluar ketika proses formal tidak bisa diberikan akibat kondisi objektif 'perangkat hukum transisi'. Kasusnya pun bervariasi, sedangkan proses menuju permohonan amnesti tidaklah mudah sebab melewati pembahasan dan perdebatan. Kalau presiden tidak memberi amnesti berarti kasusnya harus ke pengadilan HAM ad hoc. Pemberian amnesti oleh kepala negara hanya ditujukan kepada para pelaku yang melakukan kejahatan terhadap negara (crime against state) seperti subversi, kudeta ataupun separatisme. Dengan asumsi negara yang menjadi korban, negara dalam hal ini kepala Negara memiliki kewenangan untuk meniadakan akibat hukum yang mengancam terhadap suatu perbuatan atau sekelompok yang melakukan kejahatan terhadap negara. Dengan demikian, semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang bersangkutan dalam kejahatan terhadap negara menjadi hapus.

Amnesti tidak bisa dan tidak boleh diberikan kepada aparat negara (seperti polisi dan TNI) yang melakukan kejahatan (self amnesty). Karena pada prinsipnya negara tidak bisa mengadili dan memaafkan dirinya sendiri (no one can be judge in his own suit). Amnesti juga tidak bisa diberikan pada pelaku kejahatan HAM berat. Dan sekali-sekali tak boleh mengganggu jalannya penuntutan terhadap pelaku kejahatan berat HAM. Secara politis, amnesti seringkali digunakan sebagai salah satu cara untuk meredam dan menyelesaikan konflik yang berkepanjangan antara pemerintah dan pemberontak. Pemberian amnesti tersebut ditujukan untuk mewujudkan kembali integritas nasional atau dalam terminologi politik pemerintah Indonesia saat ini adalah untuk mempersatukan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam sejarah, pemberian amnesti terhadap mereka yang memberontak pernah diterapkan di Indonesia. Di masa Soekarno ada surat Keputusan Presiden RI No 449 Tahun 1961 tentang pemberian amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan. Pemberian Amnesti dan abolisi tersebut ditujukan kepada orang-orang yang tersangkut pemberontakan Daud Beureueh, PRRI/Permesta, Kahar Muzakar, Kartosuwirjo (DI/TII), Ibnu Hajar dan RMS. Demikian pula dengan Presiden BJ Habibie dan Abdurahman Wahid (Gus Dur). Beberapa orang yang sempat menjalani tahanan politik di era kepemimpinan rezim Orde Baru dapat 'hadiah' amnesti dari kedua presiden tersebut. Salah satu tokoh tersebut adalah Sri Bintang Pamungkas. Berdasarkan dua kasus di atas, tahanan politik dapat digolongkan menjadi dua kelompok. Pertama adalah tahanan politik separatisme. Mereka umumnya ditahan karena aktivitas yang berusaha untuk memisahkan diri dari NKRI. Kelompok kedua adalah tahanan politik subversi. Tahanan politik ini biasanya ditahan karena aktivitas sosial politik mereka yang dianggap menyerang kebijakan maupun keberadaan eksekutif pemerintahan. Melalui Undang-Undang Subversi Nomor 11/PNPS/Tahun 1963, rezim yang berkuasa menjerat pelaku dan tokoh politik yang dianggap berbahaya dengan dakwaan perbuatan subversi. Belakangan, undang-undang ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku melalui UndangUndang Nomor 6 Tahun 1999. Kelompok pertama inilah yang dialamatkan pada beberapa tokoh gerakan separatis di Indonesia. Mulai dari Xanana Gusmao hingga beberapa 'pentolan' GAM. Pemberian amnesti juga membutuhkan persyaratan tertentu apabila ia diharapkan dapat memajukan proses truth seeking. Di Afrika Selatan, alasan utama mengapa banyak eks-aktor rejim apartheid memilih untuk melamar amnesti dan bersedia memberi kesaksian adalah karena mereka takut terhadap hukuman dari pengadilan yang relatif masih

berwibawa. Dengan kata lain, tanpa adanya judicial stick yang riel, maka insentif amnesti sebenarnya tak akan memiliki daya tarik. Maka, bagi suatu negeri di mana pengadilan dan sistem hukumnya hancur dan korup, seperti di Indonesia, pemberikan amnesti terhadap pelaku past human rights abuses sebenarnya tidak berguna sama sekali. Untuk mengambil contoh yang dekat: buat apa jenderal-jenderal yang harus bertanggung jawab dalam kasus Trisakti meminta amnesti, kalau tangan-tangan hukum sama sekali tak mampu menyentuh baju seragam mereka Secara hukum internasional, batasan amnesti sudah jelas. Amnesti tidak bisa diberikan terhadap kasus-kasus kejahatan perang internasional, kejahatan melawan umat, dan pemusnahan etnis (genoside). Secara khusus pula pedoman Perserikatan BangsaBangsa (PBB) juga mengatur ketentuan amnesti bagi para negara anggotanya. Menurut PBB, permintaan amnesti dianggap penting demi menjamin kekebalan hukum bagi para anggota pasukan lawan yang ingin kembali berintegrasi dalam komunitas masing-masing. Hal ini sebagai bagian dari proses rekonsiliasi nasional. Atas dasar ini pulalah pemberian amnesti bagi para mantan anggota GAM dirasakan perlu demi proses reintegrasi mereka ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amnesti untuk kejahatan-kejahatan perang internasional, kejahatan melawan umat manusia dan pemusnahan etnis, tidak diperbolehkan berdasarkan hukum internasional. Masih kurang jelas pengaturan hukum internasional tentang amnesti dalam kaitan dengan kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan dalam konflik bersenjata yang bersifat interen/dalam negeri. Akan tetapi kasus hukum tentang Pengadilan Internasional baru-baru ini yang terjadi di Yugoslavia memperjelas bahwa kejahatan-kejahatan dimaksud merupakan kejahatan internasional sehingga harus tunduk pada yuridsdiksi universal. Status Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda dan Pengadilan Internasional memberikan kepada pengadilan-pengadilan tersebut wewenang yurisdiksi atas kejahatan berat perang/pelanggaran atas hukum HAM yang dilakukan dalam konflik bersenjata interen/dalam negeri. Hukum HAM internasional secara tegas membebankan kewajiban kepada negara melakukan pengusutan dan penghukuman terhadap pelanggar berat HAM. Hal ini bukan saja datang bukan saja digariskan oleh perjanjian-perjanjian multilateral HAM, namun juga berasal dari hukum kebiasaan internasional. Kewajiban ini bersifat imperatif terhadap negara-negara; negara wajib melaksanakannya.

Pasca Penandatanganan Nota Kesepahaman antara RI dan GAM di Helsinki

Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara GAM dan Pemerintah Indonesia maka berakhir pula ketegangan yang terjadi selama bertahun-tahun di Aceh, dimana terdapat ketidakpuasan sekelompok orang yang menamakan dirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menentang atas kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia terhadap daerahnya (Aceh). Perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah terjadi selama bertahun-tahun telah memakan korban yang tidak sedikit dari penduduk sipil di Aceh, rasa tidak nyaman, ketakutan, bahkan sampai perang antara GAM dengan TNI yang dikerahkan pemerintah Indonesia untuk membantu mengamankan Aceh sekaligus menumpas pasukan GAM yang dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah Indonesia. Setelah bertahun-tahun lamanya masyarakat Internasional (Khususnya ASEAN dan Uni Eropa) mengisyaratkan bahwa perlu adanya tindakan-tindakan yang menganjurkan adanya negosiasi antara pihak GAM yang di motori oleh petinggi-petinggi GAM yang berdomisili di luar Indonesia dengan Pemerintah Indonesia yang dilaksanakan di Helsinki yang akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk menandatangani Nota Kesepahaman antara keduanya dan menghentikan konflik kepanjangan antara GAM dan Pemerintah RI di Aceh. Nota Kesepahaman antara GAM dengan Pemerintah Indonesia lebih dikaitkan pada desakan masyarakat Internasional kepada pemerintah RI untuk sesegera mungkin menyelesaikan konflik yang terjadi di Aceh dengan waktu yang mendesak. Belum lagi pasal pasal yang diatur didalamnya dinilai sangat tidak menguntungkan pemerintah Indonesia dan disisi lain sangat menguntungkan bagi pihak GAM. Untuk rakyat Aceh, perjanjian itu perjanjian itu merupakan hal lama yang ditunggu terhadap pengakuan atas haknya untuk hidup, kebebasan, serta keamanan yang merupakan bagian dari hak-hak dasar setiap manusia yang seharusnya dilindungi dalam keadaan apa pun. Sebaliknya, untuk rakyat Indonesia, perjanjian itu merupakan kemenangan politik akal sehat yang seharusnya menjadi bagian dari cara berpikir bangsa Indonesia yang selama ini lebih memilih jalan kekerasan. Dalam perjanjian ini kedua belah pihak sepakat untuk melakukan beberapa hal, di antaranya penarikan mundur pasukan nonorganik TNI, peletakan senjata oleh GAM, serta pemberian amnesti kepada para anggota GAM. Untuk masalah terakhir, masih menyisakan tanda tanya besar, khususnya bagi para pembela hak asasi manusia (HAM). Indonesia mengingat implikasi pemberian amnesti ini akan menjadi persoalan tersendiri dalam penegakan HAM diIndonesia. Hal ini penting mengingat dalam perjanjian tersebut tidak secara tegas dinyatakan apakah dengan pemberian amnesti kepada anggota

GAM akan berakibat pada hilangnya hak korban untuk melakukan tuntutan kepada negara atas pelanggaran HAM yang telah terjadi selama masa darurat hingga 15 Agustus. dengan kata lain pemerintah menggunakan kesempatan pemberian amnesty seagai sebuah kompromi untuk mengindar dari tuntutan keadialn terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh aparatusnya di Aceh. Perbedaan antara Kesepahaman dengan Persetujuan. Kesepahaman adalah adanya kesamaan visi dan misi antara yang satu dengan yang lain, akan tetapi tidak mengikat keduanya. Sedangkan Persetujuan; akibat hukumnya dilihat pasal-pasal yang dilahirkannya, jika ada salah satu pasal yang dilanggar maka akan dijerat oleh pasal-pasal yang mengaturnya. Nota Kesepahaman ini dapat menimbulkan kecemburuan daerah-daerah lain, karena dalam nota ini pihak GAM lebih diberi keleluasaan yang seluas-luasnya dalam mengatur daerahnya sendiri dimana menurut pendapat saya bahwa pemerintah Indonesia dibatasi campur tangannya jika hal tersebut menyangkut masalah Aceh. Misalnya yang terdapat pada pasal 1.1.2. (c) Nota Kesepahaman antara GAM dengan Pemerintah Indonesia keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia yang terkaiy dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dengan persetujuan legislative Aceh. Hal tersebut sangat ironis karena dapat diartikan bahwasannya suatu keputusan DPR RI yang menyangkut masalah Aceh dapat gugur jika tidak mendapat persetujuan dari legislative Aceh. Jika harus diteliti lebih dalam lagi masih banyak pasal-pasal yang sangat merugikan pemerintah RI, bukan hal yang mustahil bahwa Nota Kesepahaman ini dapat dijadikan alat untuk menyusun kekuatan bagi GAM untuk memerdekakan diri dari Indonesia. Ini merupakan suatu contoh ketidakmampuan pemerintah RI dalam menangani tekanan dari masyarakat Internasional dalam menangani masalah Aceh, Bagi ketatanegaraan Indonesia jika melihat pasal 1.1.2. (b) Nota Kesepahaman antara GAM dengan Pemerintah Indonesia yang menyebutkan persetujuan-persetujuan Internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang terkait dengan hal ihwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku denga konsultasi dan persetujuan legislative Aceh. Hal tersebut dapat diartikan bahwa selama kebijakan Internasional tersebut tidak menyangkut masalah Aceh maka Pemerintah RI masih dibolehkan mengurus kepentingan Aceh, itupun harus di konsultasikan dulu dengan legislative Aceh. Apakah pemerintah Aceh lebih kuat dibandingkan Pemerintah Indonesia? Dan lagi suatu peraturan

atau yang berlaku umum bagi seluruh masyarakat Indonesia terdapat pengecualian diAceh?. Pemberian Amnesti terhadap para pejuang GAM Keputusan Presiden No. 22 tahun 2005 tentang Pemberian Amnesti Umum dan Abolisi kepada setiap orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka. Mengandung arti bahwa setiap orang entah orang tersebut WNI ataupun WNA sekalipun akan mendapat pemberian Amnesti dari Presiden. Hal ini menimbulkan konflik baru Karena peradilan Indonesia tidak pernah memberikan vonis kesalahan tindakan pidana apapun kepada mereka. Tidak ada vonis apapun terhadap mereka, mereka tidak pernah ditahan, dihukum sehingga tidak perlu amnesti". lazimnya, seseorang bisa dberikan amnesti jika pernah masuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia, serta memiliki bukti-bukti. Jose Zalaquett seorang mantan pengacara HAM Amnesti Internasional mengajukan tiga syarat pemberian amnesti pada pelaku kejahatan berat HAM, yakni:

1. Kebenaran harus terlebih dahulu ditegakkan. 2. Amnesti tidak diberikan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against
humanity) dan genosida (genocide).

3. Amnesti harus sesuai dengan ''keinginan'' rakyat.


Pada point pertama di tegaskan bahawa Kebenaran harus terlebih dahulu ditegakkan, artinya seseoran baru dapat mendapatkan pemeberian amnseti apabila kebenaran telah ditegakkan. Kebenaran dalam hal ini didapat disimpulkan sebegai hukum. Penegakkan terhadap hukum adalah suatu hukuman atas kesalahannya dimasa lalu, dengan artian lain bahwa orang tersebut telah menjalani proses pengadilan. Pemberian Amnseti di Indonesia belum ada ketentuan khusus yang mengaturnya, hal ini pula yang menyebabkan pemberian amnesty di Indonesia menjadi agak tidak jelas batasan-batasannya serta ketentuannya. Amnesti dari presiden diatur dalam sistem hukum Indonesia, melalui pasal 14 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberi pengampunan, amnesti, abolisi dan pemulihan nama baik seseorang. Hal ini ditinjau kembali di dalam amandemen pertama yang memperbolehkan Presiden memberikan amnesti dan abolisi setelah mempertimbangkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat dan pemberian grasi dan pemulihan nama baik seseorang setelah

mempertimbangkan saran-saran dari Mahakamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman. Secara logika hukum, pemberian amnesti diberikan oleh negara kepada para pelaku tindakan makar atau pemberontak (rebellion). Dalam hal ini para pemberontak telah melakukan kejahatan terhadap negara (crimes against state). Negara dalam hal ini telah menjadi korban dari perbuatan pidana oleh karena itu amnesti dapat diberikan kepada mereka yang telah menyerah atau berbuat baik selama menjalani hukuman. Pemberian amnesti murni lahir dari presiden selaku kepala negara. Hak prerogatif ini sesuai dengan amanat undang-undang dasar kepada presiden selaku kepala negara. Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 tentang Amnesti dan Abolisi, kewenangan pemberian amnesti, mutlak berada di tangan presiden. Amendemen pertama UUD 1945 kemudian menambahkan bahwa dalam memberikan amnesti, presiden diharapkan memerhatikan pertimbangan lembaga legislatif meski tidak memengaruhi hak mutlak presiden. Selain Undang-Undang Dasar 1945, masalah amnesti dan abolisi di Indonesia belum diatur secara khusus. Hingga saat ini, Indonesia masih memakai UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Dalam Pasal 1 UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tersebut mengatur presiden atas kepentingan negara dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan suatu tindakan pidana. Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal tersebut berlaku untuk persengketaan politik, yang kala itu antara pemerintah RI dan Kerajaan Belanda. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 UU darurat tersebut. Di samping kedua perundangan di atas, pengertian amnesti juga disinggung dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Amnesti dalam undang-undang ini merupakan pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan. 1. Dalam sejarah pemberian amnesty di Indonesia tidak ada suatu Undang-undang yang menjelaskan kritera dan dasar secara rinci tentang pemberian suatu amnesty. Pemberian suatu amnesty oleh Presiden di Indonesia masih mengacu kepada Undang-Undang Darurat No.11 tahun 1954 dimana dalam undang-undang darurat tersebut amnesty diberikan kepada orang-orang yang telah malakukan tindak pidana yang nyata akibat persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda. Jika dilihat dan mengacu dari undang-undang tersebut maka pemberian amnesty di Indonesia kebanyakan diberikan terhadap orang-orang yang melakukan tindakan pemberontakan dan atau persengketaan politk terhadap pemerintahan Indonesia yang terjadi dimasa lampau. Suatu pemberian amnesty tidak dapat diberikan kepada aparatnya sendiri.

1. UUD 1945 menetapkan fungsi legislatif dijalankan oleh Presiden bersama dengan
DPR. Presiden adalah "partner" DPR dalam menjalankan fungsi legislatif.

Persetujuan dan pertimbangan DPR diberikan dalam rangka melakukan fungsi pokoknya yaitu fungsi pengawasan yang merupakan the original power DPR. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan ini pula UUD 1945 telah mengakomodirnya dengan menetapkan hak-hak DPR baik yang bersifat intitusional, seperti hak interpelasi (hak meminta keterangan), hak angket (hak untuk melakukan penyelidikan), dan hak menyatakan pendapat, maupun yang bersifat personal, seperti hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat dan hak imunitas. Pemberian amnesty di Indonesia tidak harus mendapat persetujuan dari DPR, dalam Undang-undang Dasar 1945 perubahan ke empat menyatakan presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memparhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi pertimbangan tersebut tidak mengikat dan tidak mutlak mempengaruhi hak penuh presiden sendiri

1. dalam hal prosedur pemberian amnesi di Indonesia juga belum ada ketentuan yang
memuat hal itu, tetapi jika dilihat dari praktiknya dapat dilihat tataan pemberian amnesty sebagai berikut:

I. II. III. IV.

Presiden berkonsultasi kepada Mahkamah Agung untuk memberikan amnesty terhadap sesorang dan atau kelompok. setelah mendengar pendapat dari Mahlamah Agung Presiden meinta pertimbangan dari DPR. setelah mendapat pertimbangan dari DPR presiden mengeluarkan Surat Keputusan pemberian amnesty. Pemberian amnesti diserahkan di kantor Departemen Kehakiman dimana disaksi oleh Mentri Kehakiman dan HAM. Surat Keputusan dilembarkan dalam Lembaran Negara.

Saran Pemerintah dan DPR hedaknya segera membuat Undang-undang yang mengatur mengenai syarat dan prosedur pemberian amnesty yang sesuai dengan ketentuan hukum Internasional tentang amnesty. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi konflik dan kesimpang siuran dikemudian hari terhadap pemberian amnesty kepada seseorang atau kelompok.

58

S-ar putea să vă placă și